Anda di halaman 1dari 33

PENATALAKSANAAN GIGITAN ULAR

Disusun Sebagai Tugas Mata Kuliah Keperawatan Gawat Darurat dan


Bencana

Pembimbing: Ns. Ardhiles WK, M.Kep

Kelompok 3:
1. Alvi Ilmiatul M (161139)
2. Ariya Dhammayanti (161145)
3. Budi Sulistiyono (161151)
4. Dimas Arsyad (161158)
5. Evi Handayani (161164)
6. Fadilla Putri (161166)
7. Isfatul Khoirul R (161173)
8. Moch. Alfandi P (161179)
9. Putu Eka Indah (161187)
10. Suci Ninggarsari (161194)
11. Yunita Damayanti (161200)

2C KEPERAWATAN
PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN
POLTEKKES RS dr.SOEPRAOEN MALANG
2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT, berkat rahmat dan hidayah-Nya kami dapat
menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul "Penatalaksanaan Gigitan Ular" dengan
tepat waktu.
Dalam Penulisan makalah ini kami merasa masih banyak kekurangan baik pada teknis
penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang kami miliki. Untuk itu kritik dan
saran dari semua pihak sangat kami harapkan demi penyempurnaan pembuatan makalah ini.
Dalam penulisan makalah ini kami menyampaikan ucapan terima kasih yang tak
terhingga kepada pihak-pihak yang membantu dalam menyelesaikan penelitian ini,
khususnya kepada :
1. Kepala Program Studi D-III Keperawatan, Kumoro Asto Lenggono, M.Kep, serta
segenap jajarannya yang telah memberikan kemudahan-kemudahan baik berupa moril
maupun materiil selama mengikuti perkuliahan di Poltekkes RS dr. Soepraoen.
2. Selaku Dosen Pembimbing Keperawatan Gawat Darurat dan Bencana, Ns. Ardhiles
Wahyu K, M.Kep yang telah meluangkan waktu, tenaga dan pikiran dalam pelaksanaan
bimbingan, pengarahan, dorongan dalam rangka penyelesaian penyusunan makalah ini.
3. Rekan-rekan kelas 2-C Keperawatan Poltekkes RS dr. Soepraoen.
Kami berharap semoga Allah memberikan imbalan yang setimpal pada mereka yang
telah memberikan bantuan, dan dapat menjadikan semua bantuan ini sebagai ibadah, semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca, Amiin Yaa Robbal ‘Alamiin.

Malang, 9 Mei 2018

Penulis

2
DAFTAR ISI

Halaman Judul ................................................................................................. 1


Kata Pengantar ................................................................................................. 2
Daftar Isi ............................................................................................................ 3
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang .............................................................................................. 4
1.2 Rumusan Masalah ......................................................................................... 4
1.3 Tujuan ........................................................................................................... 5
1.3.1 Tujuan Umum ............................................................................................ 5
1.3.2 Tujuan Khusus ........................................................................................... 5
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Gigitan Ular ................................................................................. 6
2.2 Patifisiologi Gigitan Ular .............................................................................. 6
2.3 Klasifikasi Gigitan Ular ................................................................................. 7
2.4 Tanda Gejala Gigitan Ular ............................................................................. 8
2.5 Penatalaksanaan Gigitan Ular ........................................................................ 9
BAB 3 PENUTUP
3.1 Kesimpulan ................................................................................................... 12
3.2 Saran ............................................................................................................. 12
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 13

3
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Ular berbisa dapat dijumpai di seluruh belahan dunia, kecuali pada beberapa pulau,
lingkungan dingin, dan terletak tinggi dari permukaan laut. Gigitan ular berbisa dan
kematian yang diakibatkan merupakan masalah kesehatan publik yang penting pada
daerah pedesaan. Populasi pada daerah ini memiliki morbiditas dan mortalitas yang
tinggi karena akses pelayanan kesehatan yang buruk, yang seringkali suboptimal dan
pada beberapa keadaan, kelangkaan antivenom, yang merupakan satu-satunya
pengobatan spesifik. Korban gigitan yang selamat mengalami sekuele fisik permanen
akibat nekrosis jaringan lokal, dan sekuele psikologis. Karena kebanyakan korban gigitan
ular masih muda, maka pengaruh terhadap ekonomi karena disabilitas mereka perlu
dipertimbangkan. Disamping besarnya efek terhadap populasi, gigitan ular tidak
mendapat perhatian yang cukup dari pelayanan kesehatan nasional dan internasional, dan
dapat dikategorisasi sebagai penyakit tropikal yang terabaikan (Kasturiratne et al. 2008).
Diperkirakan setidaknya 421.000 kasus envenomasi (injeksi bisa terhadap korban
melalui sengatan/ gigitan oleh hewan berbisa) dan 20.000 kematian timbul setiap
tahunnya di seluruh dunia akibat gigitan ular. Sebagian besar perkiraan kejadian gigitan
ular dijumpai di Asia Selatan dan Asia Tenggara, Sub-Sahara Afrika, Amerika Tengah
dan Amerika Selatan. Kasus gigitan ular yang bervariasi secara geografik dan musiman,
terutama pada daerah pedesaan tropikal dimana pelaporan dan pendataan masih kurang,
dan sifat pengobatan yang masih dibagi kepada pengobatan tradisional yang kadang
lebih dipilih dibandingkan pengobatan Barat, berkontribusi terhadap kesulitan untuk
mempelajari epidemiologi gigitan ular (Kasturiratne et al. 2008).
Beberapa korban yang digigit oleh ular (atau dicurigai digigit) dapat mengalami
simptom dan gejala yang khas, bahkan saat tidak ada bisa yang diinjeksi. Hal ini
diakibatkan dari ketakutan yang tidak dipahami dari konsekuensi gigitan ular berbisa.
Korban cemas dapat hiperventilasi sehingga mengalami sensasi kebas dan ditusuk-tusuk
pada ekstremitas, spasme tangan dan kaki, dan pusing. Korban lainnya dapat mengalami
syok vasovagal setelah gigitan, dengan kolaps disertai penurunan denyut jantung yang
berat. Tampilan klinis korban gigitan ular bervariasi sesuai umur dan ukuran tubuh,

4
spesies ular, jumlah dan lokasi gigitan, dan kuantitas dan toksisitas bisa. Morbiditas dan
mortalitas bergantung pada umur dan ukuran tubuh korban, disertai kondisi komorbiditas
(Ahmed et al. 2008).
Dalam penanganan pasien dengan kasus gigitan ular membutuhkan penanganan
khusus dan segera. Oleh karena itu sebagai tenaga kesehatan maka diperlukan
pengetahuan yang mumpuni agar dapat memberikan pertolongan yang tepat pada pasien
dengan gigitan ular, sehingga dapat mempercepat penyembuhannya. Dengan penanganan
yang tepat maka diharapkan dapat mengurangi resiko yang mungkin terjadi.

1.2 RUMUSAN MASALAH


1. Apa pengertian gigitan ular?
2. Bagaimana patofisiologi gigitan ular?
3. Bagaimana klasifikasi gigitan ular?
4. Bagaimana tanda dan gejala gigitan ular?
5. Bagaimana penatalaksanaan gigitan ular?
6. Bagaimana askep tentang gigitan ular?

1.3 TUJUAN
1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui konsep teori tentang gigitan ular dan penatalaksanaan pasien
dengan gigitan ular.

1.3.2 Tujuan Khusus


1. Mengetahui pengertian gigitan ular.
2. Mengetahui patofisiologi gigitan ular.
3. Mengetahui klasifikasi gigitan ular.
4. Mengetahui tanda dan gejala gigitan ular.
5. Mengetahui penatalaksanaan gigitan ular.
6. Mengetahui askep tentang gigitan ular.

5
BAB 2
TINJAUAN TEORI

2.1 PENGERTIAN
Menurut arti bahasa, envenomasi adalah keracunan akibat bisa. Kasus envenomasi
ini merupakan kasus kegawatdaruratan yang perlu penanganan secara cepat dan tepat.
Envenomasi adalah proses dimana racun disuntikkan dengan gigitan (atau sengatan) dari
hewan berbisa. Racun adalah zat atau senyawa yang masuk ke dalam tubuh dengan
berbagai cara yang menghambat respons pada sistem biologis dan dapat menyebabkan
gangguan kesehatan, penyakit, bahkan kematian. Kebanyakan racun ditransmisikan
melalui gigitan pada kulit korban, tetapi beberapa racun ada yang diterapkan secara
eksternal, terutama untuk jaringan yang sensitif seperti jaringan yang mengelilingi mata
(PTBMMKI, 2015/2016)

2.2 PATOFISIOLOGI
Komposisi bisa ular 90% terdiri dari protein. Masing-masing bisa memiliki lebih
dari ratusan protein berbeda: enzim (meliputi 80-90% bisa viperidae dan 25-70% bisa
elapidae), toksin polipeptida non-enzimatik, dan protein non-toksik, seperti faktor
pertumbuhan saraf. Enzim pada bisa ular meliputi hidrolase digestif, hialuronidase, dan
aktivator atau inaktivator proses fisiologis, seperti kininogenase. Sebagian besar bisa
mengandung L-asam amino oksidase, fosfomono- dan diesterase, 5`-nukleotidase,
DNAase, NAD-nukleosidase, fosfolipase A2, dan peptidase (Warrell 2010).
Beberapa korban yang digigit oleh ular (atau dicurigai digigit) dapat mengalami
simptom dan gejala yang khas, bahkan saat tidak ada bisa yang diinjeksi. Hal ini
diakibatkan dari ketakutan yang tidak dipahami dari konsekuensi gigitan ular berbisa.
Korban cemas dapat hiperventilasi sehingga mengalami sensasi kebas dan ditusuk-tusuk
pada ekstremitas, spasme tangan dan kaki, dan pusing. Korban lainnya dapat mengalami
syok vasovagal setelah gigitan, dengan kolaps disertai penurunan denyut jantung yang
berat. Tampilan klinis korban gigitan ular bervariasi sesuai umur dan ukuran tubuh,
spesies ular, jumlah dan lokasi gigitan, dan kuantitas dan toksisitas bisa. Morbiditas dan
mortalitas bergantung pada umur dan ukuran tubuh korban, disertai kondisi komorbiditas
(Ahmed et al. 2008). Berikut ini merupakan beberapa factor yang dapat mempengaruhi
keparahan dan hasil akhir dari gigitan ular (Ahmed et al. 2008).

6
Tabel 1. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keparahan dan Hasil Akhir Gigitan
Ular

Faktor Efeknya terhadap hasil akhir


Semakin besar ukuran, hasil akhir semakin baik
1. Ukuran tubuh korban karena jumlah toksin yang lebih sedikit per kg berat
badan.
2. Komorbiditas Predisposisi terhadap efek membahayakan bisa ular.
Gigitan pada tubuh, wajah, dan secara langsung ke
3. Lokasi gigitan
aliran darah memiliki prognosis buruk.
Latihan fisik setelah gigitan ular memiliki hasil akhir
4. Latihan fisik
buruk karena peningkatan absorpsi sistemik toksin.
Sensitivitas individual terhadap bisa mempengaruhi
5. Sensitivitas individual
gambaran klinis.
Jumlah; kedalaman; “gigitan kering”; gigitan
melalui pakaian, sepatu, atau perlindungan lain;
6. Karakteristik gigitan jumlah bisa yang diinjeksi; kondisi gigi taring; dan
durasi ular melekat pada korban mempengaruhi hasil
akhir.
Spesies yang berbeda memiliki dosis, periode
7. Spesies ular
mematikan dan agresifitas berbeda.
Ada atau tidaknya organisme patogenik pada mulut
8. Infeksi sekunder
ular.
Adanya bantuan dasar diberikan dan waktu yang
9. Pengobatan
berlalu sebelum dosis pertama antivenom.
Sumber: Emergency Treatment of a Snake Bite (Ahmed et al. 2008)

7
Menurut Schwartz gigitan ular diklasifikasikan ke dalam beberapa derajat
diantaranya (Djunaedi 2009):
Table 3: Klasifikasi Derajat Gigitan Ular
Edema/
Derajat Venerasi Luka Nyeri Sistemik
Eritema
<3 cm/ 12
0 0 + +/- 0
jam
3-12 cm/ 12
I +/- + - 0
jam
+
12-25 cm/ 12Neurotoksik,
II + + +++
jam mual, pusing,
syok
++
>25 cm/ 12 Petekhiae,
III + + +++
jam syok,
ekimosis
++
Gangguan
IV +++ + +++ > ekstremitas ginjal akut,
koma,
perdarahan
Sumber: Penatalaksanaan gigitan ular berbisa. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam,
(Djunaedi 2009):

Petunjuk adanya envenomasi berat oleh gigitan ular harus dipertimbangkan bila
dijumpai keadaan berikut (Ahmed et al. 2008):
1. Ular diidentifikasi sebagai sangat berbisa.
2. Ekstensi awal yang cepat dari pembengkakan lokal daerah gigitan.
3. Pembesaran awal kelenjar getah bening lokal, menandakan penyebaran bisa di sistem
limfatik.
4. Simptom sistemik awal.
5. Perdarahan sistemik spontan awal (terutama perdarahan gusi).
6. Adanya urine berwarna coklat-gelap.

8
PATHWAY
Bisa ular masuk ke dalam tubuh

Daya Tosik menyebar melalui peredaran darah

Gangguang sistem neurologis Gangguan pada Gangguan pernapasan


Gangguan pada sistem sistem kardiovaskuler

Mengenai saraf yang berhubungan Syok Hipovolemik


sistem pernapasan
Sistem pernapasan

Koagulopati hebat
Oedem pada saluran pernapasan

Sukar bernapas Toksik masukke Gagal napas


pembuluh darah

Hipoptensi

9
2.3 KLASIFIKASI
Menurut PTBMMKI (2015/2016) penggolongan ular dibagi menjadi dua, yakni ular
berbisa dan ular tidak berbisa diaman keduanya memiliki ciri-ciri yang khas:
1. Ciri-ciri ular tidak berbisa
Bentuk kepala : segiempat panjang
Gigi taring : kecil
Bekas gigitan : luka halus berbentuk lengkungan
2. Ciri-ciri ular berbisa
Bentuk kepala : segitiga
Gigi taring : dua besar di rahang atas
Bekas gigitan : dua luka gigitan utama akibat gigi taring

Gambar 2.3.1 Perbandingan Ular Berbisa dan Tidak Berbisa

Sumber: Bites of Venomous Snake (Gold, Dart & Barish 2002).

10
Sedangkan WHO mengklasifikasi ular berbisa yang penting secara medis pada regional
Asia tenggara yaitu dijumpai tiga famili ular berbisa pada Asia Tenggara (Elapidae,
Viperidae, dan Colubridae) (Warrell 2010):
1. Elapidae
Memiliki gigi taring pendek di depan (proteroglyph). Famili ini meliputi
kobra, raja kobra, kraits, ular koral, ular Australia dan ular laut. Elapidae secara
relatif merupakan ular yang cukup panjang, kurus, memiliki warna seragam dengan
sisik simetrikal besar halus pada puncak kepala. Beberapa kobra, meninggikan
bagian depan tubuhnya dari tanah dan melebar dan merata dari leher untuk
membentuk kerudung. Beberapa spesies kobra dapat meludahkan bisanya hingga 1
meter atau lebih terhadap mata korbannya. Ular laut berbisa memiliki ekor yang
lebar seperti padel dan skala ventral mengecil atau hilang.

Gambar 2.3.2 Cobra Snake (Ular Kobra)


Sumber: http://saraung2.blogspot.in

Gambar 2.3.3 Coral Snake (Ular Kolar)


Sumber: http://magazine.job-like.com

11
Gambar: 2.3.4 Ular Laut
Sumber: http://yokotrix.blogspot.in

2. Viperidae
Memiliki gigi taring yang cukup panjang (solenogyph) yang secara normal
terlipat rata terhadap rahang atas, tetapi saat menyerang akan menjadi tegang. Ada
dijumpai dua subfamili, viper tipikal (Viperinae) dan viper pit (Crotalinae).
Crotalinae memiliki organ khusus untuk mendeteksi korban berdarah panas yang
terletak diantara hidung dan mata. Viperidae merupakan ular yang relatif pendek,
bertubuh tebal dengan banyak sisik kasar pada puncak kepala dan pola warna yang
khas pada permukaan dorsal tubuh.

Gambar 2.3.5 Mountain Pit Viper


Sumber: http://ularindonesian.blogspot.com

12
3. Colubridae
Dua spesies penting yang telah diidentifikasi pada regional Asia Tenggara
adalah Rhabdophis subminiatus berleher merah dan Rhabdophis triginus. Piton
besar (Boidae), merupakan Python reticularis di Indonesia, pernah dilaporkan
menyerang dan menelan manusia, yang biasanya petani.

Gambar 2.3.6 Ular Piton


Sumber: http://ularindonesian.blogspot.com

2.4 TANDA GEJALA


Menurut Ahmed et al (2008) gejala dan tanda klinis yang dapat muncul pada pasien yang
satu dengan yang lainnya berbeda-beda tergantung dari derajat keparahan
envenomasinya. Berikut ini merupakan penilaian keparahan envenomasi dari gigitan
ular:
Tabel 2: Penilaian Keparahan Envenomasi
Derajat envenomasi Gejala dan tanda klinis
Tanpa reaksi lokal atau sistemik; tanda gigitan
Tidak ada envenomasi
(+/-).
Tanda gigitan (+). Nyeri sedang, edema lokal
Envenomasi ringan minimal (0-15 cm), eritema (+), ekimosis (+/-),
tidak ada reaksi sistemik.
Tanda gigitan (+), nyeri hebat, edema lokal
sedang (15-30 cm), eritema dan ekimosis (+),
Envenomasi sedang
kelemahan sistemik, berkeringat, sinkop,
nausea, muntah, anemia, atau trombositopenia.
Tanda gigitan (+), nyeri hebat, edema lokal
berat (>30 cm), eritema dan ekimosis (+),
Envenomasi berat
hipotensi, parestesia, koma, edema paru, gagal
napas.
Sumber: Emergency Treatment of a Snake Bite (Ahmed et al. 2008)

13
Sedangkan PTBMMKI (2015/2016) menggolongkan tanda gejala klinis gigitan ular
berdasarkan jenis ularnya, diantaranya:
1. Gigitan Elapidae
a. Semburan kobra pada mata dapat menimbulkan rasa sakit yang berdenyut, kaku
pada kelopak mata, bengkak di sekitar mulut.
b. Gambaran sakit yang berat, melepuh, dan kulit yang rusak.
c. Setelah digigit ular:
1) 15 menit : muncul gejala sistemik.
2) 10 jam : paralisis urat-urat di wajah, bibir, lidah, tenggorokan, sehingga
sukar bicara, susah menelan, otot lemas, kelopak mata menurun, sakit
kepala, kulit dingin, muntah, pandangan kabur, mati rasa di sekitar mulut.
Kematian dapat terjadi dalam 24 jam
2. Gigitan Viperidae
a. Gejala lokal timbul dalam 15 menit, atau setelah beberapa jam berupa bengkak di
dekat gigitan yang menyebar ke seluruh anggota badan.
b. Gejala sistemik muncul setelah 5 menit atau setelah beberapa jam.
c. Keracunan berat ditandai dengan pembengkakan di atas siku dan lutut dalam
waktu 2 jam atau ditandai dengan perdarahan hebat.
3. Gigitan Hydropiidae (ular laut)
a. Segera timbul sakit kepala, lidah terasa tebal, berkeringat, dan muntah.
b. Setelah 30 menit sampai beberapa jam biasanya timbul kaku dan nyeri
menyeluruh, dilatasi pupil, spasme otot rahang, paralisis otot, mioglobulinuria
yang ditandai dengan urin warna coklat gelap (ini penting untuk diagnosis),
ginjal rusak, henti jantung.
4. Gigitan Rattlesnake dan Crotalidae
a. Gejala lokal: ditemukan tanda gigitan taring, pembengkakan, ekimosis, nyeri di
daerah gigitan, semua ini indikasi perlunya pemberian polivalen crotalidae
antivenin.
b. Anemia, hipotensi, trombositopeni

14
2.5 PENATALAKSANAAN
2.5.1 Pertolongan Pertama (First Aid)
Menurut PTBMMKI (2015/2016) terdapat beberapa pertolongan pertama yang harus
dilakukan pada pasien dengan gigitan ular diantaranya:
1. Cek ABC (airway, brething, circulation)
2. Tenangkan korban yang cemas
3. Inspeksi area gigitan: cari tanda gigitan taring (fang marks), edema, eritema, nyeri
lokal, perdarahan, memar, dan nekrosis jaringan (terutama akibat gigitan ular dari
famili Viperidae)
4. Buka semua cincin, perhiasan, jam tangan dan benda apapun yang ketat yang
menghambat aliran darah
5. Lakukan Pressure Bandage Immobilisation (PBI)
a. Tujuan: mencegah pergerakan dan kontraksi otot yang dapat meningkatkan
penyebaran bisa ke dalam aliran darah dan getah bening
b. Teknik:
1) Bersihkan area gigitan dengan cairan faal atau air steril
2) Gunakan perban kasar elastis (lebar ± 10-15 cm), lakukan pembebatan di
area gigitan mulai dari distal (jari kaki) ke bagian proksimal sampai
menutupi seluruh tungkai.
3) Periksa neurovaskularisasi pada bagian yang dibebat untuk menghindari
hambatan aliran darah.
4) Posisikan daerah yang tergigit tetap berada di bawah jantung untuk
mengurangi aliran bias
5) Jangan lepas perban sebelum ke tempat pelayanan medis.
6) Jaga stabilitas jalan nafas, fungsi pernafasan, sirkulasi.
6. Lakukan resusitasi bila ditemukan hipotensi berat dan shock, shock perdarahan,
kelumpuhan saraf pernafasan, nekrosis lokal, dan kondisi buruk lainnya
7. Segera bawa korban ke Rumah sakit secepatnya dengan aman
8. Yang harus dihindari:
a. NO suction dan NO incisions
b. NO ice directly on wound
c. NO tourniquets
d. NO alcohol on wound
e. NO electric shock or „folk remedies‟

15
f. NO antihistamin dan kortikosteroid

2.5.2 Perawatan di Rumah Sakit


Setelah mendapat pertolongan pertama, disarankan pasien memperoleh perawatan
yang intensif di rumah sakit agar penyebaran bisanya dapat segera ditangani
(PTBMMKI, 2015/2016).
1. Pengobatan syok/gagal napas
Atasi syok jika timbul. Paralisis otot pernapasan dapat berlangsung beberapa
hari dan hal ini memerlukan intubasi (lihat buku panduan pelatihan APRC/APLS
dari UKK PGD-IDAI) dan ventilasi mekanik (lihat buku panduan pelatihan
Ventilasi Mekanik pada Anak dari UKK PGD-IDAI) hingga fungsi pernapasan
normal kembali; atau ventilasi manual (dengan masker atau pipa endotrakeal dan
kantung (Jackson Rees) yang dilakukan oleh staf dan atau keluarga sementara
menunggu rujukan ke rumah sakit rujukan yang lebih tinggi terdekat. Perhatikan
keamanan fiksasi pipa endotrakeal. Sebagai alternatif lain adalah trakeostomi
elektif.
2. Antibisa
Jika didapatkan gejala sistemik atau lokal yang hebat (pembengkakan pada
lebih dari setengah ekstremitas atau nekrosis berat) berikan antibisa jika tersedia.
Siapkan epinefrin SK atau IM bila syok dan difenhidramin IM untuk mengatasi
reaksi alergi yang terjadi setelah pemberian antibisa ular (lihat di bawah).Berikan
antibisa polivalen. Ikuti langkah yang diberikan dalam brosur antibisa. Dosis yang
diberikan pada anak sama dengan dosis pada orang dewasa.
Larutkan antibisa 2-3 kali volume garam normal berikan secara intravena
selama 1 jam. Berikan lebih perlahan pada awalnya dan awasi kemung-kinan
terjadi reaksi anafilaksis atau efek samping yang seriusJika gatal atau timbul
urtikaria, gelisah, demam, batuk atau kesulitan bernapas, hentikan pemberian
antibisa dan berikan epinefrin 0.01 ml/kg larutan 1/1000 atau 0.1 ml/kg 1/10.000
SK. Difenhidramin 1.25 mg/kgBB/kali IM, bisa diberikan sampai 4 kali perhari
(maksimal 50 mg/kali atau 300 mg/hari).
Bila anak stabil, mulai kembali berikan antibisa perlahan melalui infus.
Tambahan antibisa harus diberikan setelah 6 jam jika terjadi gangguan pembekuan
darah berulang, atau setelah 1-2 jam, jika pasien terus mengalami perdarahan atau
menunjukkan tanda yang memburuk dari efek neurotoksik atau kardiovaskular.

16
Transfusi darah tidak diperlukan bila antibisa telah diberikan. Fungsi
pembekuan kembali normal setelah faktor pembekuan diproduksi oleh hati. Tanda
neurologi yang disebabkan antibisa bervariasi, tergantung jenis bisa. Pemberian
antibisa dapat diulangi bila tidak ada respons. Antikolinesterase dapat
memperbaiki gejala neurologi pada beberapa spesies ular (lihat buku standar
pediatri untuk penjelasan lebih lanjut).
3. Pengobatan lain
a. Pembedahan
Mintalah pendapat/pertimbangan bedah jika terjadi pembengkakan
pada ekstremitas, denyut nadi melemah/tidak teraba atau terjadi nekrosis lokal.
Tindakan bedah meliputi: Eksisi jaringan nekrosisInsisi selaput otot (fascia)
untuk menghilangkan limb compartments, jika perlu skin grafting, jika terjadi
nekrosis yang luas trakeostomi (atau intubasi endotrakeal) jika terjadi paralisis
otot pernapasan dan kesulitan menelan.
4. Perawatan penunjang
Berikan cairan secara oral atau dengan NGT sesuai dengan kebutuhan per hari.
Buat catatan cairan masuk dan keluar. Berikan obat pereda rasa sakit. Elevasi
ekstremitas jika bengkak. Berikan profilaksis antitetanus. Pengobatan antibiotic
tidak diperlukan kecuali terdapat nekrosis. Hindari pemberian suntikan
intramuskular. Pantau ketat segera setelah tiba di rumah sakit, kemudian tiap jam
selama 24 jam karena racun dapat berkembang dengan cepat.

17
BAB III
TEORI ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Pengkajian
1. Biodata pasien
2. Triage
 Kesadaran : Allert Verbal Pain Unrespon
 Kategori Triase : P1 P2 P3 P4
Merah Kuning Hijau Hitam
 Klasifikasi Kasus : Trauma atau Non Trauma
 Diagnosa Medis : Gigitan Ular
3. Keluhan utama
4. Riwayat penyakit sekarang
5. Riwayat penyakit dahulu
6. Riwayat psikososial
7. Primary survey :
a. Airway
 Jalan nafas bersih
 Tidak terdengar bunyi ronchi
 Tidak ada jejas pada daerah badan
b. Breathing
 Peningkatan frekuensi pernafasan
 Napas dangkal
 Distress pernapasan
 Kelemahan otot pernafasan
 Kesulitan bernafas : sianosis
 Penggunaan otot bantu pernafasan
c. Circulation
 Penurunan curah jantung : gelisah, letargi, takicardia
 Pendarahan di ekstremitas kiri karena gigitan ular
 Akral dingin
 Sakit kepala
 Pingsan

18
 Berkeringat banyak
 Pusing, mata berkunang-kunang
 CRT > 3 detik
 Sianosis
d. Disability
 Dapat terjadi penurunan kesadaran
 Kesadaran somnolen
 Pupil isokor (2mm)
e. Exposure
 Terdapat pendarahan pada luka gigitan ular, adanya edema pada luka, memar

8. Secondary survey
9. Terapi
IVFD RL 30 Tpm
Novalgin 3 x1 ampul
Injeksi SABU 1 ampul
Kalnex inj 3x1
Terfacef 2x1 gr

3.2 DIAGNOSIS
Diagnosis definitif gigitan ular berbisa ditegakkan berdasarkan identifikasi ular
yang menggigit dan adanya manifestasi klinis. Ular yang menggigit sebaiknya dibawa
dalam keadaan hidup atau mati, baik sebagian atau seluruh tubuh ular. Perlu juga
dibedakan apakah gigitan berasal dari ular yang tidak berbisa atau binatang lain, dari
pemeriksaan fisik pada luka gigitan yang ditinggalkan. Bila tidak dapat mengidentifikasi
ular yang menggigit, manifetasi klinis menjadi hal yang utama dalam menegakkan
diagnosis.

DIAGNOSA DAN DATA TUJUAN DAN


NO INTERVENSI
FOKUS KRITERIA HASIL
1 Nyeri akut b.d agen pencedera Setelah dilakukan tindakan NIC:
fisik (trauma gigitan ular) keperawatan selama ….. Manajemen Nyeri
dibuktikan dengan: nyeri berkurang, dengan

19
kriteria hasil: Monitoring
DS: 1. Monitor skala
- Mengeluh nyeri NOC: nyeri pasien
DO:  Level Nyeri 2. Monitor tanda
- Tampak meringis,  Kontrol Nyeri nonverbal nyeri
- Bersikap protektif 1. Level nyeri berkurang pasien
(misalnya, waspada, posisi menjadi skala 3-0 3. Monitor keluhan
menghindari nyeri) 2. Tekanan darah kembali pasien tentang
- Gelisah normal: 120/80 mmHg nyeri
- Frekuensi nadi meningkat 3. Nadi: 60-100x/menit 4. Monitor tindakan
- Sulit tidur 4. RR istirahat 16- pasien untuk
- Tekanan darah meningkat 20x/menit mengurangi nyeri
- Pola napas berubah 5. Pasien mampu 5. Monitor lokasi,
- Nafsu makan berubah melakukan tindakan karakteristik,
- Proses berpikir terganggu untuk mengurangi nyeri durasi, frekuensi,
- Menarik diri (Mis. Distraksi, pencetus dan
- Berfokus pada diri sendiri relaksasi, menghindari keparahan nyeri.
- Diaphoresis pencetus nyeri)
- Skala nyeri … 6. Melaporkan nyeri Mandiri
terkontrol. 1. Gunakan
komunikasi
terapeutik
2. Kaji lebih lanjut
persepsi pasien
terhadap nyerinya
3. Evaluasi tentang
keefektifan dari
tindakan
mengontrol nyeri
yang telah
digunakan.
4. Beri dukungan
terhadap klien

20
dan keluarga

Pendidikan
Kesehatan
1. Berikan
informasi tentang
nyeri seperti:
penyebab, berapa
lama terjadi, dan
tindakan
pencegahan
2. Motivasi klien
untuk memonitor
sendiri nyerinya
3. Ajarkan
penggunaan
teknik relaksasi
nafas dalam dan
distraksi
4. Tingkatkan tidur
dan istirahat yang
cukup.

Kolaborasi
1. Kolaborasi dalam
pemberian
analgesic
2. Kolaborasi
dengan ahli gizi
untuk
menentukan diit
yang tepat.

21
2 Resiko infeksi b.d Setelah dilakukan tindakan NIC:
ketidakadekuatan pertahanan keperawatan selama ….. Kontrol Infeksi
tubuh primer infeksi tidak terjadi, dengan Monitor Asam Basa
kriteria hasil:
Monitoring
NOC: 1. Monitor tanda
 Satatus Imun dan gejala infeksi
 Status Nutrisi 2. Monitor
Pengukuran Kimia granulosit, sel
1. Suhu 36,5 – 37,5 oC darah putih
2. Leukosit 4,5 – 11,0 (WBC)
103/µL 3. Monitor
3. Neutrophil 2,0 – 7,0 kerentanan pasien
109/l (40 – 80 %) terhadap infeksi
4. Platelet 150 – 400 4. Monitor TTV
103/Ml
5. Tekanan darah systole: Mandiri
100-120 mmHg dan 1. Mengganti
diastole: 60-80 mmHg peralatan
6. Hb dalam batas normal perawatan setiap
(L: 12,4 – 14,9 ; P: 11,7 tindakan
– 13,8) 2. Membatasi
jumlah
pengunjung
3. Melakukan cuci
tangan sebelum
dan sesudah
tindakan
4. Menginstruksikan
pengunjung agar
cuci tangan
sebelum dan
sesudah kontak

22
dengan pasien
5. Pengambilan
specimen
laboratorium
untuk mengetahui
keseimbangan Ph
(mis. Urin)
6. Pengambilan
specimen
laboratorium
untuk
pemeriksaan
leukosit,
neutrophil,
trombosit dan Hb
7. Memeriksa
kondisi luka

Pendidikan
Kesehatan
1. Mengajarkan
teknik cuci
tangan yang
benar
2. Mengajarkan
pasien dan
keluarga pasien
dan keluarga
mengenai tanda
dan gejala infeksi
dan kapan harus
melapor pada
petugas

23
Kolaborasi
1. Kolaborasi
dalam pemberian
antibiotic:
SABU,
Dexamethason.
2. Kolaborasi
dengan ahli gizi
dalam pemberian
diit terapi
3 Gangguan pola nafas b.d reaksi Setelah dilakukan tindakan NIC:
endotoksin keperawatan selama ….. Manajemen jalan
gangguan pola nafas nafas
Ds: teratasi, dengan kriteria Monitor respirasi
- Pasien mengatakan hasil: Oksigenasi
sesak
DO: NOC: Monitoring
- Bradipneaa Status respirasi: ventilasi 1. Monitor jumlah,
- Dyspnea 1. RR 16 – 24 x/menit ritme, kedalaman
- Fase ekspirasi lebih 2. Ritme pernafasan dan usaha
Panjang dari inspirasi regular pernafasan
- Otot bantu pernafasan 3. Nadi 60 – 100x/menit 2. Monitor pola
intercoste, clavikula dan 4. Dyspnea tidak ada nafas (bradypnea,
diafragma 5. Tidak ada pernafasan takipnea,
- Ortopnea lewat mulut hyperventilasi,
- Pernafasan cuping kussmaul
hidung respirasi,apneustic
- Irama nafas irregular , blot respiration)
- Frekuensi nafas cepat 3. Monitor status
RR > 24x/menit pernafasan dan
- Kedalaman nafas oksigenasi.
dangkal

24
- Takipnea Mandiri
1. Posisikan untuk
mengurangi
dyspnea
(memposisikan
semi fowler)
2. Membantu pasien
untuk sering
merubah posisi
3. Dorong pasien
untuk bernafas
pelan, nafas dalam
4. Catat pergerakan
dada, lihat
kesimetrisan,
adanya pernafasan
cuping hidung dan
penggunaan otot
bantu pernafasan
5. Memberikan
terapi oksigen
tambahan

Pendidikan
kesehatan
1. Edukasikan pasien
cara melakukan
tehnik pernafasan
menggunakan
bibir.

Kolaborasi
1. Kolaborasi untuk

25
terapi inhaler
2. Kolaborasi untuk
pemberian obat
bronkodilator
3. Kolaborasi untuk
pemberian
analgesic untuk
mencegh
terjadinya
hipoventilasi.
4 Hipertermia b.d peningkatan Setelah dilakukan tindakan NIC: Terapa
laju metabolisme. Ditandai keperawatan selama ….. demam
dengan: pasien tidak mengalami
hipertermi, dengan kriteria Monitoring
DS: - hasil: 1. Monitor suhu
DO: tubuh
- Suhu tubuh meningkat NOC: 2. Monitor warna
- RR meningkat Termoregulasi dan suhu kulit
- Nadi meningkat 1. Suhu tubuh dalam 3. Monitor tekanan
- Warna kulit memerah rentang normal (36,5 – darah nadi dan
- Kulit teraba hangat 37,5 oC) RR
- Letargi 2. RR dalam rentang 4. Monitor intake
- Gelisah normal 16 – 20x/menit dan output
- Kejang 3. Nadi dalam rentang 5. Monitor
normal 60 – 100x/menit elektrolit yang
4. Akral hangat tidak normal
5. Tidak terdapat 6. Monitor
perubahan warna kulit penurunan level
6. Tidak menggigil kesadaran
7. Monitor adanya
kejang

Mandiri

26
1. Berikan kompres
hangat
2. Anjurkan klien
untuk memakai
pakaian berbahan
tipis atau
menyerap
keringat
3. Anjurkan untuk
meningkatkan
intake cairan
4. Anjurkan
istirahat yang
cukup
5. Sediakan
lingkungan yang
aman jika ada
penurunan
kesadaran

Pendidikan
kesehatan
1. Jelaskan tanda-
tanda hipertermia
seperti: kulit
kemerahan,
kelemahan, sakit
kepala/bingung,
nafsu makan
menurun
2. Ajari pentingnya
mempertahankan
masukan cairan

27
yang adekuat
untuk mencegah
dehidrasi
3. Berikan
penjelasan
tentang penyebab
demam atau
peningkatan suhu
tubuh
4. Berikan
penjelasan pada
klien atau
keluarga tentang
hal-hal yang
dapat dilakukan
untuk mengatsi
demam

Kolaborasi
1. Kolaborasi
pemberian
antipiretik sesuai
dengan anjuran
2. Berikan terapi
sesuai dengan
penyebab demam
3. Berikan terapi
intravena sesuai
anjuran
5 Ansietas b.d krisis situasional Setelah dilakukan tindakan NIC:
dibutiak dengan: keperawatan selama ….. Terapi Relaksasi
DS: pasien tidak mengalami Pengurangan
- Merasa bingung ansietas, dengan kriteria Kecemasan

28
- Merasa khawatir dengan hasil:
akibat dari kondisi yang Monitoring
dihadapi NOC: Monitor terjadinya
- Sulit berkonsentrasi Kontrol kecemasan perubahan tingkat
- Mengeluh pusing kecemasan
- Anoreksia 1. Klien mampu
- Palpitasi mengidentifikasi dan Mandiri
- Merasa tidak berdaya mengungkapkan gejala 1. Kaji tanda verbal
cemas dan non verbal
DO: 2. Mengidentifikasi, kecemasan
- Tampak gelisah mengungkapkan dan 2. Dengarkan setiap
- Tampak tegang menunjukkan tehnik keluhan yang
- Sulit tidur untuk mengontrol disampaikan
- Frekuensi napas cemas pasien
meningkat 3. Postur tubuh, ekspresi 3. Berikan pujian/
- Frekuensi nadi wajah, bahasa tubuh, kuatkan perilaku
meningkat dan tingkat aktivitas yang baik secara
- Diaphoresis menunjukkan tepat
- Tremor kurangnya aktivitas 4. Ciptakan
- Muka tampak pucat cemas lingkungan yang
- Suara bergetar tenang (misalnya
- Kontak mata buruk suhu lingkungan
- Sering berkemih yang nyaman)
- Berorientasi pada masa 5. Gunakan suara
lalu yang lembut
dengan irama
yang lambat
untuk setiap kata
6. Dorong klien
untuk mengambil
posisi yang
nyaman dengan
pakaian yang

29
longgar
7. Bantu klien
mengidentivikasi
situasi yang
memicu
kecemasan

Pendidikan
kesehatan
1. Jelaskan semua
prosedur termasuk
sensasi yang akan
dirasakan yang
mungkin akan
dialami klien
selama prosedur
tindakan

Kolaborasi
1. Kolaborasi dengan
dokter dalam
pemberian obat
penenang untuk
mengurangi
kecemasan secara
tepat

30
BAB 4
PENUTUP
4.1 KESIMPULAN
Prinsip Pertolongan Pertama pada korban gigitan ular adalah, meringankan sakit,
menenangkan pasien dan berusaha agar bisa ular tidak terlalu cepat menyebar ke seluruh
tubuh sebelum dibawa ke rumah sakit. Pada beberapa tahun yang lalu penggunaan
torniket dianjurkan. Seiring berkembangannya ilmu pengetahuan kini dikembangkan
metode penanganan yang lebih baik yakni metode pembalut dengan penyangga. Idealnya
digunakan pembalut dari kain tebal, akan tetapi jika tidak ada dapat juga digunakan
sobekan pakaian atau baju yang disobek menyerupai pembalut. Metode ini
dikembangkan setelah dipahami bahwa bisa menyebar melalui pembuluh limfa dari
korban. Diharapkan dengan membalut bagian yang tergigit maka produksi getah bening
dapat berkurang sehingga menghambat penyebaran bisa sebelum korban mendapat
ditangani secara lebih baik di rumah sakit

4.2 SARAN
Segera bawa ke rumah sakit atau puskesmas terdekat. Informasikan kepada dokter
mengenai penyakit yang diderita pasien seperti asma dan alergi pada obat–obatan
tertentu, atau pemberian antivenom sebelumnya. Ini penting agar dokter dapat
memperkirakan kemungkinan adanya reaksi dari pemberian antivenom selanjutnya.

31
DAFTAR PUSTAKA

World Health Organization. WHO guidelines for the production control and regulation of
snake antivenom immunoglobulins [internet]. Jenewa: World Health Organization;
2005 [diakses tanggal 28 April 2018]. Tersedia dari:
http://www.who.int/bloodproducts/sna ke_antivenoms/SnakeAntivenomGuideli
ne.pdf.

Kasturiratne A, Wickremasinghe AR, de Silva N, Gunawardena NK, Pathmeswaran A,


Premaratna R, et al. (2009) The global burden of snakebite: A literature analysis and
modelling based on regional estimates of envenoming and deaths. PLoS Med
5(11):e218.

Sudoyo, A.W., 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Depkes. 2001. Penatalaksanaan gigitan ular berbisa. Dalam SIKer, Dirjen POM Depkes RI.
Pedoman pelaksanaan keracunan untuk rumah sakit.

Ahmed SM, Ahmed M, Nadeem A, Mahajan J, Choudhary A & Pal J. (2008) Emergency
treatment of a snake bite: Pearls from literature. J Emer Trauma Shock 1(2):97-105.

Kasturiratne A, Wickremasinghe AR, de Silva N, Gunawardena NK, Pathmeswaran A,


Premaratna R, et al. (2009) The global burden of snakebite: A literature analysis and
modelling based on regional estimates of envenoming and deaths. PLoS Med
5(11):e218.

Staf Pendidikan dan Pelatihan PTBMMKI. 2015/2016. Kurikulum Pendidikan dan Pelatihan
Perhimpunan Tim Bantuan Medis Mahasiswa Kedokteran Indonesia. Jakarta: Buku
Kedokteran EGC

Gold BS, Dart RC & Barish RA. (2002) Bites of venomous snake. N Engl J Med 347(5):347-
356.

Warrell DA. (2010). Guidelines for the management of snake bites. World Health
Organization Regional Office for South-East Asia. India. Cited 2013 October 14.
Available from: www.toxinology.org/resources/protocols/WHO-SEARO%20Snakebite
%20Guidelines%202010 %20copy.pdf

Khan, Rusdin. (2012). Jenis Ular Berbisa Terbesar di Dunia. :


http://saraung2.blogspot.in/2012/02/king-kobra-jenis-ular-berbisa -terbesar.html.
diakses pada tanggal 12 Mei 2018 pukul 22:20

Anonim. Ular Berbisa Paling Mematikan di Dunia. http://magazine.job-like.com diakses pada


tanggal 12 Mei 2018 pukul 22:15

32
Anonim. (2010). 9 Ular Paling Berbisa di Dunia. http://yokotrix.blogspot.in diakses pada
tanggal 12 Mei 2018 pukul 22:25

SDKI. (2016). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia. Jakarta: Dewan Pengurus Pusat
Persatuan Perawat Nasional Indonesia.

33

Anda mungkin juga menyukai