Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

PERTOLONGAN PERTAMA GIGITAN SERANGGA DAN ULAR


Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Siaga Bencana dan PPGD
Dosen Pembimbing : Suroso, S. Pd., M. Kes

Disusun oleh kelompok 4 :

1. Anggit Woro Subekti P27224020004


2. Anita Puji Rahayu P27224020005
3. Desintya Arifah Syam P27224020009
4. Eliza Septiyanti H P27224020011
5. Hidayatul Nur Hasanah P27224020015
6. Junita Utami Dewi P27224020019
7. Linda Vidianingsih P27224020024
8. Muhandis Ainun S P27224020027
9. Novita Rahayu P27224020031
10. Rahma Hamida P27224020034
11. Salsabila Asyifa Hasanah P27224020038

D-IV ALIH JENJANG DAN PROFESI KEBIDANAN


KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
POLITEKNIK KESEHATAN SURAKARTA
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun ucapkan kehadirat Allah SWT, atas berkah, rahmat dan
karunia-Nya sehingga penyusun dapat menyelesaikan makalah dengan judul “Makalah
Pertolongan Pertama Gigitan Serangga dan Ular ”.

Makalah ini telah disusun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai
pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu penyusun
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam pembuatan
makalah ini.

Harapan penyusun semoga makalah ini dapat menambah wawasan dan pengalaman
bagi para pembaca. Untuk kedepannya dapat memperbaiki bentuk maupun menambah isi
makalah ini agar menjadi lebih baik lagi.

Penyusun menyadari bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat
maupun tata bahasanya. Oleh karena itu, penyusun mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................................i
DAFTAR ISI..............................................................................................................................ii
BAB I.........................................................................................................................................1
A. Latar Belakang................................................................................................................1
B. Rumusan Masalah...........................................................................................................1
C. Tujuan.............................................................................................................................2
BAB II........................................................................................................................................3
A. Gititan Serangga.................................................................................................................3
1. Definisi........................................................................................................................3
2. Gejala Digigit Serangga..............................................................................................3
3. Jenis Serangga.............................................................................................................3
4. Penatalaksanaan...........................................................................................................5
B. Gigitan Ular........................................................................................................................5
1. Definisi........................................................................................................................5
2. Jenis Ular.....................................................................................................................5
3. Tanda dan Gejala Gigitan Ular Berbisa.......................................................................6
4. Penatalaksanaan...........................................................................................................6
BAB III.....................................................................................................................................10
BAB IV....................................................................................................................................11
A. Kesimpulan...................................................................................................................11
B. Saran..............................................................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................12

ii
iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

WHO (World Health Organitation) menyebutkan sebanyak 5 juta orang setiap


tahun digigit ular berbisa sehingga mengakibatkan sampai 2,5 juta orang keracunan,
sedikitnya 100.000 orang meninggal, dan sebanyak tiga kali lipat amputasi serta cacat
permanen lain (Bataviase, 2010).

Kehidupan manusia tidak terlepas dengan lingkungan, diantaranya dengan


hewan. Selain segi yang menguntungkan jelas terdapat juga segi yang merugikan.
Segi negatif inilah yang kita ketemukakan. Tidak saja berupa gigitan tetapi terdapat
pula yang lainya, sesuai dengan jenis binatang. Banyak sekali jenis binatang berbisa
dan beracun yang mungkin menyerang dan mengigit kita. Untuk itu jika terdapat
keluarga, teman, atau mungkin orang lain di sekitar kita di gigit binatang berbisa dan
beracun, apapun jenisnya, berikan beberapa pertolongan, serta pengetahuan tentang
penanganan awal gigitan binatang tersebut (Purwadianto, 2013).

Banyaknya segi yang merugikan akibat gigitan binatang tersebut, masyarakat


sebagai salah satu faktor yang berperan penting dalam kasus gigitan binatang
diharapkan memiliki sikap positif dan dapat memiliki pengetahuan baik. Seseorang
yang dikatakan dapat memiliki pengetahuan baik apabila seorang tahu, memahami,
juga sudah bisa mengaplikasi, menganalisis, dan apabila sudah mencapai tingkatan/
tahapan sintetis dan evaluasi (Notoatmodjo, 2007). Untuk mencegah kematian dan
kecatatan dan berfungsi kembali dalam masyarakat, maka dari itu masyarakat harus
mengetahui tentang penanganan awal gigitan binatang (Purwadianto, 2013).
B. Rumusan Masalah

1. Apakah definisi dari gigitan serangga?


2. Apa saja macam-macam dari gigitan serangga?
3. Apa saja ciri-ciri dari gigitan serangga?
4. Bagaimanakah penatalaksanaan dari gigitan serangga?
5. Apakah definisi dari gigitan ular?
6. Apa saja macam-macam jenis ular?

1
7. Apa saja ciri-ciri dari ular berbisa?
8. Bagaimanakah penatalaksanaan dari gigitan ular?
C. Tujuan

1. Untuk mengetahui definisi dari gigitan serangg


2. Untuk mengetahui macam-macam dari gigitan serangga
3. Untuk mengetahui ciri-ciri dari gigitan serangga
4. Untuk mengetahui penatalaksanaan dari gigitan serangga
5. Untuk mengetahui definisi dari gigitan ular
6. Untuk mengetahui saja macam-macam jenis ular
7. Untuk mengetahui ciri-ciri dari ular berbisa
8. Untuk mengetahui penatalaksanaan dari gigitan ular

2
BAB II
TINJAUAN TEORI

A. Gititan Serangga
1. Definisi

Insectbite (gigitan serangga) adalah kelainan akibat gigitan atau tusukan


serangga yang disebabkan reaksi terhadap toksina atau alergen yang
dikeluarkan antropoda penyerang (Moffit, 2003 & Burns, 2012).
2. Gejala Digigit Serangga

Gejala Klinis : Pada reaksi lokal, pasien mungkin akan mengeluh tidak
nyaman,gatal,nyeri sedang maupun berat, eritema, panas, dan edema pada
jaringansekitar gigitan.2 Pada reaksi lokal berat, keluhan terdiri dari eritema
yangluas, urtikaria,dan edema pruritis. Reaksi lokal yang berat
dapatmeningkatkan kemungkinan terjadinya reaksi sitemik seriuspada
paparanberikutnya (Burns, 2012).

3
3. Jenis Serangga

Menurut Meyer (2003) membagi serangga menjadi beberapa


kelompok, yaitu : serangga primitif adalah Protura, Diplura, Collembola,
Archeognatha, dan Thysanura. Serangga ini sampai dewasa tidak mempunyai
syap (apterigota) dan dalam perkembangannya tidak mengalami metamorphosis
(ametabolous development), yang sayapnya tumbuh menjelang dewasa
(eksopterigota) tetapi sayap tidak dapat dilipat sejajar tubuh (paleoptera).
Serangga yang sayapnya dapat dilipat sejajar tubuhnya ketika beristirahat disebut
neoptera, yang paling primitif adalah Plecoptera dan Embioptera. Pada awal
zaman karbon kelompok ini terbagi menjadi 3 kelompok, yaitu :
a. Orthoperiod
Serangga yang termasuk kelompok ini mempunyai bagian mulut yang
tidak terspesialisasi. Sebagian besar dari kelompok ini (kecuali Mantodea dan
Mantophasmatodea) berperan sebagai herbivore dan pengurai (scavengers).
1) Blattodea – kecoak
2) Isoptera – rayap
3) Mantodea – belalang sembah
4) Dermaptera – serangga ekor capit
5) Orthoptera – belalang, jangkrik
6) Phasmatodea – serangga tongkat
7) Grylloblattodea – perayap karang
8) Mantophasmatodea
9) Zoraptera – zorapteran
b. Hemipteroid
Ordo yang masuk dalam kelompok ini mempunyai bagian mulut yang
terspesialisasi untuk memarut atau menusuk/mengisap. Sebagian besar
berperan sebagai herbivore, tetapi ada yang menjadi predator atau parasit.
1) Psocoptera – psocid
2) Thysanoptera – thrips
3) Phthiraptera – kutu parasite
4) Hemiptera
a) Sub ordo Heteroptera – kutu busuk
b) Sub ordo Homoptera – wereng, aphids

4
c. Endopterigota
Semua serangga yang mempunyai metamorfosis sempurna
(holometabolous development) masuk dalam kelompok ini. Serangga
mempunyai empat tahap dalam daur hidupnya, yaitu telur – larva – pupa –
dewasa. Bentuk larva sangat berbeda dengan dewasa. Sayap dan struktur
dewasa lainnya berkembang pada saat pupa. Endopterigota terdiri atas 9 ordo
yang merupakan 4/5 dari seluruh jenis serangga. Kelompok ini mempunyai
peranan yang sangat banyak di ekosistem, yaitu sebagai pengurai
(scavenger), herbivor, predator, dan parasit.
1) Mecoptera – lalat, kalajengking
2) Diptera – lalat rumah
3) Siphonaptera – pinjal
4) Trichoptera – lalat caddis
5) Lepidoptera – kupu, ngengat
6) Neuroptera – undur-undur
7) Coleoptera – kumbang
8) Strepsiptera – parasit bersayap terpuntir
9) Hymenoptera – semut, lebah.
4. Penatalaksanaan

Jika reaksi lokal ringan, dikopres dengan larutan asam


borat3%,atau kortikosteroid topikal seperti krim hidrokortison, 1-2%. Jika reaksi
beratdengan gejala sistemik,lakukan pemasangan tornikuet proksimal dari
tempatgigitan dan diberi obat sistemik : Injeksi antihistamin seperti
klorferinamin 10 mg ataudifenhidramin 50 mg, adrenalin 1%0,3-0,5 ml
subkutan. Kortikosteroidsistemik diberikan pada penderita tak
tertolongdengan antihistamin atauadrenalin (Amirudin, 2003)

B. Gigitan Ular
1. Definisi

Gigitan ular atau snake bite dapat disebabkan ular berbisa dan ular tidak
berbisa. Gigitan ular yang berbisa mempunyai akibat yang beragam mulai dari
luka yang sederhana sampai dengan ancaman nyawa dan menyebabkan kematian
(BC&TLS, 2008).

5
2. Jenis Ular

WHO mengklasifikasi ular berbisa yang penting secara medis pada


regional Asia tenggara yaitu dijumpai tiga famili ular berbisa pada Asia Tenggara
(Elapidae, Viperidae, dan Colubridae) (Warrell 2010):
a. Elapidae: memiliki gigi taring pendek di depan (proteroglyph). Famili ini
meliputi kobra, raja kobra, kraits, ular koral, ular Australia dan ular laut.
Elapidae secara relatif merupakan ular yang cukup panjang, kurus, memiliki
warna seragam dengan sisik simetrikal besar halus pada puncak kepala.
Beberapa kobra, meninggikan bagian depan tubuhnya dari tanah dan melebar
dan merata dari leher untuk membentuk kerudung. Beberapa spesies kobra
dapat meludahkan bisanya hingga 1 meter atau lebih terhadap mata
korbannya. Ular laut berbisa memiliki ekor yang lebar seperti padel dan skala
ventral mengecil atau hilang.
b. Viperidae: memiliki gigi taring yang cukup panjang (solenogyph) yang secara
normal terlipat rata terhadap rahang atas, tetapi saat menyerang akan menjadi
tegang. Ada dijumpai dua subfamili, viper tipikal (Viperinae) dan viper pit
(Crotalinae). Crotalinae memiliki organ khusus untuk mendeteksi korban
berdarah panas yang terletak diantara hidung dan mata.
1) Viperidae merupakan ular yang relatif pendek, bertubuh tebal dengan
banyak sisik kasar pada puncak kepala dan pola warna yang khas pada
permukaan dorsal tubuh.
2) Colubridae: dua spesies penting yang telah diidentifikasi pada regional
Asia Tenggara adalah Rhabdophis subminiatus berleher merah dan
Rhabdophis triginus.
3) Piton besar (Boidae), merupakan Python reticularis di Indonesia, pernah
dilaporkan menyerang dan menelan manusia, yang biasanya petani.
3. Tanda dan Gejala Gigitan Ular Berbisa

a. Terdapat sepasang lubangan (pungsi) bekas gigitan sebagai tanda luka,


b. Bengkak sekitar gigitan dan berwarna kemerahan,
c. Daerah sekitar gigitan nyeri,
d. Korban berasa mual dan ingin muntah,
e. Sukar bernapas (di kasus yang ekstrem pernapasan mungkin berhenti),

6
f. Penglihatan terganggu,
g. Pengeluaran keringat dan air ludah (saliva) meningkat dan
h. Terdapat mati rasa atau kebas (numbness) atau kesemutan rasa berdenyut-
denyut (tingling) di sekitar wajah atau tungkai dan lengan.
4. Penatalaksanaan
Panduan penanganan gigitan ular di Asia Tenggara oleh WHO adalah sebagai
berikut (Warrell 2010):

a. Penanganan bantuan dasar


Bantuan dasar diberikan secepatnya setelah gigitan, sebelum pasien
mencapai rumah sakit atau penyedia kesehatan. Hal ini dapat dilakukan oleh
korban gigitan ular sendiri atau orang lain yang ada dan mampu. Metode
bantuan dasar tradisional, popular, yang tersedia dan terjangkau seringkali
tidak bermanfaat atau bahkan membahayakan. Metode-metode tersebut
meliputi: insisi lokal, atau tusukan pada area gigitan, usaha untuk menghisap
bisa dari luka, mengikat erat tourniquet di sekitar gigitan, shock elektrik,
penggunaan bahan kimiawi atau topikal, tanaman atau es batu. Prinsip utama
dari bantuan dasar adalah usaha untuk memperlambat sistemik absorpsi bisa,
menyelamatkan hidup dan mencegah komplikasi sebelum pasien mendapat
layanan kesehatan, memantau simptom awal bisa yang membahayakan,
mengatur transportasi pasien ke penyedia kesehatan, dan diatas semua itu
tujuan utama adalah tidak membahayakan/ melukai korban.
Studi oleh Albert set al. tahun 2004 menunjukkan penggunaan pompa
untuk ekstraksi darah dari luka simulasi gigitan ular berhasil membuang cairan
darah, tetapi tidak membuang bisa, yang menandakan ekstraksi/ penghisapan
tidak menjadi pengobatan efektif untuk mengurangi bisa dalam tubuh setelah
gigitan ular berbisa.
b. Transportasi ke rumah sakit
Korban harus secepatnya ditransfer ke penyedia kesehatan/ rumah
sakit, tetapi dengan sedapat mungkin aman dan nyaman. Pergerakan terutama
pada daerah gigitan dikurangi hingga seminimal mungkin untuk mencegah
peningkatan absorpsi sistemik bisa. Kontraksi otot dapat meningkatkan
penyebaran bisa dari daerah gigitan. Bila mungkin, pasien ditempatkan pada
posisi terlentang, kecuali kalau muntah.

7
c. Penilaian klinis dan resusitasi segera
Resusitasi kardiopulmonari dapat dilakukan, termasuk penggunaan
oksigen dan pemasangan akses intravena. Penanganan klinis dan resusitasi
segera mengikuti pendekatan ABCDE: Airway, Breathing, Circulation,
Disabilitas sistem saraf, Exposure dan kontrol lingkungan.
d. Penilaian klinis mendetail dan diagnosis spesies
Riwayat gigitan ular dan progresi simptom dan tanda lokal dan
sistemik sangat penting. Petunjuk-petunjuk yang menandakan pasien dengan
envenomasi berat, pemeriksaan fisik di daerah gigitan, dan secara umum,
tanda envenomasi neurotoksik (paralisis bulbar dan pernapasan),
rhabdomiolisis menyeluruh harus diperhatikan pada pasien. Diagnosis
terhadap spesies dapat dilakukan apabila ular dibawa untuk diidentifikasi,
misalnya ular yant telah mati; namun pada kondisi tanpa bukti ular,
identifikasi secara tidak langsung dari deskripsi pasien, bentuk luka gigitan,
dan sindrom klinis gejala dan tanda dapat dilakukan.
e. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan 20 WBCT, dan pemeriksaan lainnya dapat membantu
pada kasus gigitan ular berbisa.

f. Pengobatan antivenom
Antivenom merupakan satu-satunya pengobatan antidotum spesifik
terhadap bisa ular. Keputusan paling penting dalam penanganan gigitan ular
adalah perlu atau tidaknya memberikan antivenom. Dalam hal ini, antivenom
hanya diberikan pada pasien dengan mempertimbangkan manfaat melebihi
resikonya, karena antivenom cukup mahal dan sulit diperoleh dan resiko
reaksinya harus turut dipertimbangkan. Indikasi pemberian antivenom adalah
apabila pasien dengan dugaan atau terbukti gigitan ular mengalami satu atau
lebih tanda berikut (Warrell 2010):
1) Envenomasi sistemik
a) Abnormalitas hemostatik: perdarahan sistemik spontaneous (klinis);
koagulopati (20
b) WBCT atau tes lain seperti PT), atau trombositopenia (<100.000)
(laboratorium).
8
c) Tanda neurotoksik: ptosis, optalmoplegia eksternal, paralisis (klinis).
d) Abnormalitas kardiovaskular: hipotensi, syok, aritmia (klinis);
abnormal EKG.
e) Gangguan ginjal akut: oliguria/ anuria (klinis); peningkatan kreatinin/
urea darah
Ada dua metode pemberian antivenom yang direkomendasikan (Warrell
2010):
1) Injeksi “push” intravena: Antivenom diberikan secara injeksi intravena
lambat (tidak lebih dari 2 mL/menit).
2) Infus intravena: Antivenom dilarutkan sekitar 5-10 mL cairan isotonik per
kg berat badan (seperti 250-500 mL saline isotonik atau dekstrosa 5% pada
orang dewasa) dan diinfus dengan kecepatan konstan diatas sekitar 1 jam.
Pasien yang diberikan antivenom harus secara ketat dipantau
setidaknya selama 1 jam setelah dimulai pemberian antivenom intravena,
sehingga reaksi anafilaksis antivenom dapat dideteksi dan diobati segera
dengan epinefrin (adrenalin). Dosis antivenom yang diberikan pada gigitan
ular pada dewasa dan anak-anak adalah sama, karena ular juga
menginjeksikan bisa dengan dosis yang sama. Di Indonesia, antivenom
yang tersedia adalah serum antivenom polivalen (Calloselasma
rhodostoma, Bfasciatus, N sputatrix) yang diproduksi oleh Bio Farma
dengan sediaan ampul 5 mL. Dosis awal antivenom yang disarankan dapat
diberikan berdasarkan spesies ular. Adapun pedoman lain dari terapi
pemberian antivenom dapat mengacu pada Schwartz dan Way (Djunaedi
2009):
a) Derajat 0 dan I: tidak diperlukan antivenom, dilakukan evaluasi dalam
12 jam, bila derajat meningkat maka diberikan antivenom.
b) Derajat II: 3-4 vial antivenom
c) Derajat III: 5-15 vial antivenom
d) Derajat IV: berikan penambahan 6-8 vial antivenom

g. Laboratorium
Hemoglobin-/ Mioglobin-uria: urine coklat gelap (klinis), dipstick
urine, tanda lain. hemolisis intravaskular atau rhabdomiolisis menyeluruh

9
(nyeri otot, hiperkalemia) (klinis, laboratorium). Tanda-tanda pendukung
laboratorium adanya envenomasi sistemik :
1) Envenomasi local
Pembengkakan lokal meliputi lebih dari setengah tungkai yang tergigit
(tanpa tourniquet) dalam 48 jam pertama. Pembengkakan setelah gigitan
pada jari-jari.
2) Ekstensi cepat pembengkakan (seperti dibawah pergelangan tangan atau
kaki dalam beberapa jam setelah gigitan pada tangan atau kaki).
3) Dijumpai pembesaran kelenjar getah bening yang mendrainase tungkai
yang tergigit

10
BAB III

PEMBAHASAN

Makalah ini mengambil jurnal yang berjudul “Hubungan Tingkat Pengetahuan


Dan Sikap Masyarakat Dengan Penanganan Awal Gigitan Binatang” dilatar belakangi
oleh tingginya kasus gigitan binatang di Indonesia. Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui hubungan tingkat pengetahuan dan sikap masyarakat dengan penanganan
awal gigitan binatang di Jorong Baso Nagari Tabek Panjang Kec. Baso Kab. Agam
Tahun 2017. Penelitian ini menggunakan desain deskiptif analitik dan metode cross
secsional study yaitu mengetahui hubungan tingkat pengetahuan dan sikap masyarakat
dengan penanganan awal gigitan binatang di Jorong Baso Nagari Tabek Panjang Kec.
Baso Kab. Agam Tahun 2017. Tempat penelitian ini dilakukan di Jorong Baso Nagari
Tabek Panjang Kec.Baso Kab. Agam Tahun 2017. Penelitian ini telah dilakukan pada

10
tanggal 16 sampai 23 Juni 2017. Populasi dalam penelitian ini adalah 109 orang KK.
Sampel dalam penelitian ini adalah 109 orang responden. Teknik yang digunakan dalam
penentuan sampel untuk penelitian ini total sampling. Alat yang digunakan dalam
penelitian ini menggunakan: kuesioner dan angket, dengan pengolahan data dengan
chai square dengan sistem komputerisasi.

Tingkat pengetahuan sangat dibutuhkan pada saat terkena gigitan binatang yang
berbisa, jika pengetahuannya tinggi maka orang tersebut akan mengetahui penanganan
awal gigitan binatang itu seperti apa yang baiknya, jika seseorang mempunyai tingkat
pengetahuan yang cukup, kurang baik maka orang tersebut kurang mengetahui
bagaimana penanganan awal gigitan binatang. Jika seseorang di gigit binatang yang
berbisa maka orang yang berpengetahuan dan pendidikan tinggi otomatis mengetahui
seperti apa penanganan awal gigitan binatang yang berbisa seperti jangan panik, segra
menjauhi ular, cuci area luka yang terkena gigitan ular dngan lembut, balut dengan kain,
dan segera datang ke pelayanan kesehatan setempat. Sedangkan orang yang mempunyai
pendidikan rendah otomatis membunyai pengetahuan yang cukup rendah kecuali,
pengetahuan itu didapatkan melalui media masa, penyuluhan kesehatan dan lain-
lainnya. Pentingnya penanganan awal ini dibutuhkan untuk mencegah terjadinya hal-hal
yang bisa membahayakan jiwa yang digigit binatang berbisa, setidaknya dengan adanya
pengetahuan yang tinggi bisa mengurangi penyebaran bisa yang ada di dalam tubuh,
untuk tidak menyebar keseluruh tubuh yang telah digigit oleh binatang yang berbisa.

Lebih dari separuh 66 orang sikap masyarakat positif, 34 orang responden sikap
masyarakat negatif. Sikap yang positif akan membantu seseorang dalam menentukan
arah dantujuan yang akan mau dicapai. Pada penelitian ini sikap yang positif bisa
membuat seseorang itu dapat bertindak dengan baik. Contohnya saja pada responden
yang mengalami gigitan binatang berbisa yang bisa mengancam jiwanya, akan
mengambil sikap positifnya untuk penanganan pertama gigitan binatang, pada
umumnya orang yang bersikap positif tidak akan panik dengan keadaannya, dia selalu
berusaha untuk tetap tegar, dan melakukan tindakan yang baik seperti mencuci luka,

11
membalut luka yang terkena gigitan binatang berbisa sehingga bisa mengurangi
penyebaran bisa tersebut.

Maka dapat disimpulkan adanya hubungan tingkat pengetahuan dengan


penanganan awal gigitan binatang di Jorong Baso Nagari Tabek Panjang Kec.Baso
Kab.Agam Tahun 2017. Pada penelitian ini adanya hubungan antara sikap masyarakat
dengan penanganan awal gigitan binatang pada masyarakat. Pada umumnya sikap
positif sangat berpengaruh pada tindakan yang akan dilakukan oleh seseorang. Tindakan
yang baik sangat diperlukan pada masyarakat yang mengalami gigitan binatang yang
berbisa, tindakan yang dimaksud disini adalah tindakan awal yang dapat mencegah
penyebaran racun pada gigitan binatang tersebut.

12
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan

B. Saran

13
14
DAFTAR PUSTAKA

Bataviase.co.id. (2010). Setiap Tahun, Lima Juta Orang Digigit Ular Berbisa..
http://bataviase.co.id/node/208146 (Diakses pada tanggal 28 mei 2020)

Thygerson, Alton. (2009) . First Aid: Buku Ajar Pertolongan Pertama Edisi Kelima
Jakarta: Erlangga

Purwadianto, Agus dan Sampurna, Budi. (2013). Buku Ajar Kedaruratan Medik.
Tanggerang: Binarupa Aksara

Notoatmodjo, Soedkidjo. (2007). Pendidikan dan perilaku kesehatan. Jakarta: PT


Rineke Cipta

BC&TLS. (2008). Materi Panduan Pelatihan Basic Cardiac & Trauma Life Support
(BC&TLS). Jakarta: Emergency Medical Training & Services EMS 119.

Moffitt, John E. MD. (2003). Allergic Reactions to Insect Bites and Stings on
Southern Medical Journal, November 2003, Volume 96, Issue 11,
pp1073-1079

Burns, Bo, DO, FACEP, FAAEM. (2011). InsectBites. Taken from:


http://emedicine.medscape.com/article/769067overview#showall [Diakses
pada tanggal 28 Mei 2020]

Warrell DA. (2010). Guidelines for the management of snake bites. World Health
Organization Regional Office for South-East Asia. India. ( Diakses pada
tanggal 28 Mei 2020)

15
Djunaedi, D. (2009). Penatalaksanaan gigitan ular berbisa. Dalam: Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jakarta :Interna Publishing

Indonesian Journal of Clinical Pathology and Medical Laboratory, Vol. 14, No. 1,
November 2007: 37-41

Amiruddin, M D. (2003). Skabies. Dalam:Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Ed.1.


Makassar: Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin ; P. 5-10. Meyer,
J.R. 2003. ENT 425. Departemen of Entomology. NC State
Universty.http:www.cals.nsc.edu/courselent 425 ( Diakses pada 28 Mei
2020)

16

Anda mungkin juga menyukai