Di Susun Oleh
Kelompok 7
Azhari 14.IK.379
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan, karena berkat rahmat dan
karunia-Nya lah akhirnya kami dapat menyelesaikan Asuhan Keperawatan Gadar
Multisistem dengan Gigitan Ular untuk memenuhi tugas Keperawatan Gadar
Multisistem .
Kami menyadari sepenuhnya bahwa Laporan Asuhan Keperawata Gigitan
Ular ini masih banyak kekurangan dan jauh dari sempurna, mengingat pengetahuan
dan kemampuan yang dimiliki masih sangat terbatas. Oleh karena itu, kami juga
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun, agar ke depan kami bisa
membuat Asuhan Keperawatan Gigitan Ular dengan lebih baik. Dan kami berharap
makalah ini dapat bermanfaat khususnya bagi penderita Gigita Ular.
Semoga Asuhan Keperawatan Gawat Darurat dengan Gigitan Ular ini dapat
dipahami bagi siapapun yang membacanya. Sekiranya laporan yang telah disusun
ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang yang membacanya. Kami mohon
maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan kami
memohon kritik dan saran yang membangun demi perbaikan di masa depan.
Penulis
DAFTAR ISI
A. Latar Belakang
Ular merupakan jenis hewan melata yang banyak terdapat di Indonesia
Spesies ular dapat dibedakan atas ular berbisa dan ular tidak berbisa. Ular
berbisa memilikisepasang taring pada bagian rahang atas. Pada taring
tersebut terdapat saluran bisa untuk menginjeksikan bisa ke dalam tubuh
mangsanya secara subkutan atau intramuskular. Bisa adalah suatu zat atau
substansi yang berfungsi untuk melumpuhkan mangsa dan sekaligus juga
berperan pada sistem pertahanan diri ( Ifan, 2010 ). Sedangkan menurut
(Sudoyo, 2006) Racun ular adalah racun hewani yang terdapat pada ular
berbisa.
Gigitan ular merupakan suatu keadaan gawat darurat yang apabila tidak
segera ditangani dapat menyebabkan kematian. Resiko infeksi gigitan lebih
besar dari luka biasa karena toksik / racun mengakibatkan infeksi yang lebih
parah. Tidak semua ular berbisa tetapi karena hidup pasien tergantung
ketepatan diagnosa maka pada keadaan yang meragukan ambil sikap
menganggap semua gigitan ular berbisa. Pada kasus gigitan ular 11 %
kemungkinan meninggal karena racun ular bersifat Hematotoksik,
Neurotoksik, dan Hitaminik (Arif Mansyoer, 2006). Menurut (WHO, 2005) di
Indonesia tidak ada data yang dapat diandalkan yang tersedia dari
kepulauan yang luas ini.
Racun adalah zat atau senyawa yang masuk ke dalam tubuh dengan
berbagai cara yang menghambat respons pada sistem biologis dan dapat
menyebabkan gangguan kesehatan, penyakit, bahkan kematian. Keracunan
sering dihubungkan dengan pangan atau bahan kimia. Pada kenyataannya
bukan hanya pangan atau bahan kimia saja yang dapat menyebabkan
keracunan.
Di sekeliling kita ada racun alam yang terdapat pada beberapa
tumbuhan dan hewan. Salah satunya adalah gigitan ular berbisa yang sering
terjadi di daerah tropis dan subtropis. Mengingat masih sering terjadi keracunan
akibat gigitan ular maka untuk dapat menambah pengetahuan masyarakat kami
menyampaikan informasi mengenai bahaya dan pertolongan terhadap gigitan
ular berbisa. Bisa tersebut merupakan ludah yang termodifikasi, yang dihasilkan
oleh kelenjar khusus. Kelenjar yang mengeluarkan bisa merupakan suatu
kelenjar ludah parotid yang terletak di setiap bagian bawah sisi kepala di
belakang mata. Bisa ular tidak hanya terdiri atas satu substansi tunggal,
tetapi merupakan campuran kompleks, terutama protein, yang memiliki aktivitas
enzimatik
Berdasarkan latar belakang tersebut maka penulis tertarik melakukan
asuhan keperawatan pada pasien gigitan ular karena Snake Bite ( gigitan
ular ) merupakan suatu keadaan gawat darurat yang apabila tidak segera
ditangani dapat menyebabkan kematian. Resiko infeksi gigitan lebih besar
dari luka biasa karena toksik / racun mengakibatkan infeksi yang lebih.
Oleh karena itu, peran perawat untuk melakukan asuhan keperawatan pada
pasien dengan Snake Bite secara tepat dan benar selama pasien dirawat.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas pentingnya pencegahan dan
penanganan gigitan ular, rumusan masalahnya adalah “Bagaimana asuhan
keperawatan gawat darurat pada pasien dengan gigitan ular ” ?
C. Tujuan
1) Tujuan Umum
Mampu mengetahui dan menerapkan asuhan keperawatan gawat darurat
pada pasien dengan gigitan ular.
2) Tujuan Khusus
a. Mengetahui definisi tentang gigitan ular.
b. Mengetahui penyebab tentang gigitan ular
c. Mengetahui patofisiologi tentang gigitan ular
d. Mengetahui tanda dan gejala tentang gigitan ular
e. Mengetahui komplikasi tentang gigitan ular
f. Mengetahui pemeriksaan penunjang tentang gigitan ular
g. Mengetahui penatalaksanaan tentang gigitan ular
h. Mengetahui asuhan keperawatan gawat darurat dengan gigitan ular
D. Manfaat
1) Bagi Penulis
Diharapkan agar penulis mempunyai tambahan wawasan dan pengetahuan
dalam penatalaksanaan pada pasien dengan gigitan ular dalam
memberikan asuhan keperawatan gawat darurat pada klien dengan gigitan
ular.
2) Bagi Pasien dan Keluarga
Agar pasien dan keluarga mendapatkan pengetahuan dan penatalaksanaan
tentang gigitan ular
3) Bagi Institusi Pendidikan
Sebagai sumber bacaan atau referensi untuk meningkatkan kualitas
pendidikan keperawatan dan sebagai masukan dalam peningkatan pada
pasien dengan gigitan ular.
BAB 11
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian
Gigitan ular merupakan suatu keadaan gawat darurat yang apabila tidak
segera ditangani dapat menyebabkan kematian. Resiko infeksi gigitan lebih
besar dari luka biasa karena toksik / racun mengakibatkan infeksi yang lebih
parah. Tidak semua ular berbisa tetapi karena hidup pasien tergantung
ketepatan diagnosa maka pada keadaan yang meragukan ambil sikap
menganggap semua gigitan ular berbisa.
Racun ular adalah racun hewani yang terdapat pada ular berbisa. Daya
toksin bias ular tergantung pula pada jenis dan macam ular. Racun binatang
adalah merupakan campuran dari berbagai macam zat yang berbeda yang
dapat menimbulkan beberapa reaksi toksik yang berbeda pada manusia
B. Penyebab
Secara garis besar ular berbisa dapat dikelompokkan dalam 3 kelompok:
1. Colubridae (Mangroce cat snake, Boiga dendrophilia, dan lain-lain)
2. Elapidae (King cobra, Blue coral snake, Sumatran spitting cobra, dll)
3. Viperidae (Borneo green pit viper, Sumatran pit viper , dan lain-lain).
C. Macam-Macam Ular
1. Ular jenis Neurotoksik
Ular yang tergolong berbisa neurotoksik ialah keluarga Epiladae yaitu:
ular kobra, ular kraits, dan ular karang.
Gejala yang ditimbulkan :
a. Jantung berdenyut tak teratur, diikuti dengan kelemahan seluruh
badan dan berakhir dengan syok
b. Sakit kepala hebat, pusing, mengigau, pikiran terganggu sehingga tidak
sadar
c. Otot tidak terkordinasi, sehingga tidak dapat mengambil atau
memindahkan benda kecil
d. Sesak nafas karena terjadi kelumpuhan pernapasan
e. Mual, muntah dan mencret
2. Ular jenis Hemolitik
Ular jenis hemolitik termasuk dalam keluarga Krotaluidae, sering disebut
juga keluarga pit viper yaitu Rattelesnaker (crotalus), ular Copperhead
(Angkis-Trodon)
Gejala yang ditimbulkan
a. Daerah yang digigit dalam waktu 3-5 menit akan membengkak hebat
dan terjadi ganggren. Hal ini disebabkan ular itu selalu mengeluarkan
racun dan enzim proteolitik.
b. Sakit yang hebat di daerah gigitan
c. Daerah yang dihancurkan menembus dinding pembuluh lalu berkumpul
di jaringan sekitarnya
d. Sakit kepala hebat dan haus
e. Terjadinya perdarahan dalam usus dan ginjal sehingga terjadi melena
dan hematuria.
3. Ular Jenis Neurotoksik dan Hemolitik
Ular laut tergolong pada jenis neurotoksik dan hemolitik.
E. Patofisiologi
Bisa ular diproduksi dan disimpan dalam sepasang kelenjar yang berada di
bawah mata. Bisa dikeluarkan dari taring berongga yang terletak di rahang
atasnya. Taring ular dapat tumbuh hingga 20 mm pada rattlesnake besar. Dosis
bisa ular tiap gigitan bergantung pada waktu yang terlewati sejak gigitan
pertama, derajat ancaman yang diterima ular, serta ukuran mangsanya. Lubang
hidung merespon terhadap emisi panas dari mangsa, yang dapat
memungkinkan ular untuk mengubah jumlah bisa yang dikeluarkan. Bisa
biasanya berupa cairan. Protein enzimatik pada bisa menyalurkan bahan-bahan
penghancurnya. Protease, kolagenase, dan arginin ester hidrolase telah
diidenifikasi pada bisa pir viper. Efek local dari bisa ular merupakan penanda
untuk kerusakan sistemik dari fungsi sistem organ. Salah satu efeknya adalah
perdarahan lokal, koagulopati biasanya tidak terjadi saat venomasi. Efek
lainnya, berupa edema lokal, meningkatkan kebocoran kapiler dan cairan
interstitial di paru- paru. Mekanisme pulmoner dapat berubah secara signifikan.
Efek akhirnya berupa kematian sel yang dapat meningkatkan konsentrasi asam
laktat sekunder terhadap perubahan status volume dan membutuhkan
peningkatan minute ventilasi. Efek blokade neuromuskuler dapat
menyebabkan perburukan pergerakan diafragma. Gagal jantung dapat
disebabkan oleh asidosis dan hipotensi. Myonekrosis disebabkan oleh
myoglobinuria dan gangguan ginjal. (Daley, Brian James MD, 2010).
F. Pathway
Inflamasi
2. Gejala sistemik:
a. Umum (general)
mual, muntah, nyeri perut, lemah, mengantuk, lemas.
b. Kardiovaskuler (viperidae)
gangguan penglihatan, pusing, pingsan, syok, hipotensi, aritmia jantung,
edema paru, edema konjungtiva (chemosis).
c. Pendarahan dan gangguan pembekuan darah (Viperidae)
Pendarahan yang berasal dari luka yang baru saja terjadi (termasuk
pendarahan yang terus-menerus dari bekas gigitan (fang marks) dan
dari luka yang telah menyembuh sebagian (oldrus mene parttly-healed
wounds), pendarahan sistemik spontan – dari gusi, epitaksis,
pendarahan intrakranial (meningism, berasal dari pendarahan subdura,
dengan tanda lateralisasi dan atau koma oleh pendarahan cerebral),
hemoptisis, perdarahan perektal (melena), hematuria, perdarahan
pervaginam, perdarahan antepartum pada wanita hamil, perdarahan
mukosa (misalnya konjungtiva), kulit (peteki, purpura, perdarahan
diskoid, echimosis), serta perdarahan retina.
d. Neurologis (Elapide, Russel Viper)
Parestesia, abnormalitas pengucapan dan pembahuan,
potosis,oftalmoplegia eksternal, paralisis otot wajah dan otot lainnya
yang dipersyarafi nervus cranialais, suara sengau atau afonia, regurgitasi
cairan melalui hidung, kesulitan untuk menelan sekret, paralisis otot
pernafasan dan flasid generalisata.
e. Destruksi Otot Skeletal (Sea Snake, beberapa spesies kraits,
bungarus niger and B. Candidus, western Russell’s viper Daboia russelli)
Nyeri seluruh tubuh, kaku dan nyeri pada otot, trismus, miolobinuria,
hiperkalemia, henti jantung, gagal ginjal akut.
f. Sistem Perkemihan
Nyeri pungggung bawah, hematuria, hemoglobinria, mioglobinuria,
oligoria atau anuria, tanda dan gejala uremia (pernafasan asidosis,
hiccup, mual, nyeri pleura, dll)
g. Gejala Endokrin
Insufisiensi hipofisis atau kelenjar adrenal yang disebabkan
infrakhipofisis anterior. Pada fase akut : Syok, hipoglikemia. Fase kronik
(beberapa bulan hingga tahun setelah gigitan) : kelemahan, kehilangan
rambut seksual sekunder, kehilangan libido, aminoria, atrofi testis,
hipotyroidsm.
H. Komplikasi
1. Syok hipovolemik
2. Edema paru
3. Kematian
4. Gagal napas
I. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium :
a. Penghitungan jumlah sel darah
b. Pro trombine time dan activated partial tromboplastin time
c. Fibrinogen dan produk pemisahan darah
d. Tipe dan jenis golongan darah
e. Kimia darah, termasuk elektrolit, BUN dan Kreatinin
f. Urinalisis untuk myoglobinuria
g. Analisis gas darah untuk pasien dengan gejala sistematik.
2. Pemeriksaan radiologis :
a. Thorax photo untuk pasien dengan edema pulmonal
b. Radiografi untuk mencari taring ular yang tertinggal
3. Pemeriksaan lainnya : Tekanan kompartemen dapat perlu diukur. Secara
komersialtersedia alat yang steril, sederhana untuk dipasang atau dibaca,
dan dapat dipercaya (seperti Styker pressure monitor). Indikasi pengukuran
tekanan kompartemen adalah bila terdapat pembengkakan yang signifikan
nyeri yang sangat hebat yang menghalangi pemeriksaan, dan jika parestesi
muncul pada ekstremitas yang tergigit
J. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan tergantung derajat keparahan envenomasi; dibagi menjadi
perawatan di lapangan dan manajemen di rumah sakit
1. Perawatan di Lapangan
Seperti kasus-kasus emergensi lainnya, tujuan utama adalah untuk
mempertahankan pasien sampai mereka tiba di instalasi gawat darurat.
Sering penatalaksanaan dengan autentisitas yang kurang lebih
memperburuk daripada memperbaiki keadaan, termasuk membuat insisi
pada luka gigitan, menghisap dengan mulut, pemasangan turniket, kompres
dengan es, atau kejutan listrik. Perawatan di lapangan yang tepat harus
sesuai dengan prinsip dasar emergency life support. Pertolongan pertama,
pastikan daerah sekitar aman dan ular telah pergi segera cari pertolongan
medis jangan tinggalkan korban. Selanjutnya lakukan prinsip RIGT, yaitu:
a. R: Reassure: Yakinkan kondisi korban, tenangkan dan istirahatkan
korban, kepanikan akan menaikan tekanan darah dan nadi sehingga
racun akan lebih cepat menyebar ke tubuh. Terkadang pasien
pingsan/panik karena kaget.
b. I: Immobilisation: Jangan menggerakan korban, perintahkan korban
untuk tidak berjalan atau lari. Jika dalam waktu 30 menit pertolongan
medis tidak datang, lakukan tehnik balut tekan (pressure-immoblisation)
pada daerah sekitar gigitan (tangan atau kaki) lihat prosedur pressure
immobilization (balut tekan).
c. G: Get: Bawa korban ke rumah sakit sesegera dan seaman mungkin.
d. T: Tell the Doctor: Informasikan ke dokter tanda dan gejala yang
muncul ada korban.
Tenangkan pasien untuk menghindari hysteria selama implementasi ABC
(Airway, Breathing, Circulation); pertolongan pertama :
a. Cegah gigitan sekunder atau adanya korban kedua. Ular dapat terus
mengigit dan menginjeksikan bisa melalui gigitan berturut-turut sampai
bisa mereka habis.
b. Buat korban tetap tenang, yakinkan mereka bahwa gigitan ular dapat
ditangani secara efektif di instalasi gawat darurat. Batasi aktivitas dan
imobilisasi area yang terkena (umumnya satu ekstrimitas), dan tetap
posisikan daerah yang tergigit berada di bawah tinggi jantung untuk
mengurangi aliran bisa.
c. Jika terdapat alat penghisap, (seperti Sawyer Extractor), ikuti petunjuk
penggunaan. Alat penghisap tekanan-negatif dapat memberi beberapa
keuntungan jika digunakan dalam beberapa menit setelah envenomasi.
Alat ini telah direkomendasikan oleh banyak ahli di masa lalu, namun alat
ini semakin tidak dipercaya untuk dapat menghisap bisa secara signifikan,
dan mungkin alat penghisap dapat meningkatkan kerusakan jaringan
lokal.
d. Buka semua cincin atau benda lain yang menjepit / ketat yang dapat
menghambat aliran darah jika daerah gigitan membengkak. Buat bidai
longgar untuk mengurangi pergerakan dari area yang tergigit.
e. Monitor tanda-tanda vital korban — temperatur, denyut nadi, frekuensi
nafas, dan tekanan darah – jika mungkin. Tetap perhatikan jalan nafas
setiap waktu jika sewaktu-waktu menjadi membutuhkan intubasi.
f. Jika daerah yang tergigit mulai membengkak dan berubah warna, ular
yang mengigit kemungkinan berbisa.
g. Segera dapatkan pertolongan medis. Transportasikan korban secara
cepat dan aman ke fasilitas medis darurat kecuali ular telah pasti
diidentifikasi tidak berbahaya (tidak berbisa). Identifikasi atau upayakan
mendeskripsikan jenis ular, tapi lakukan jika tanpa resiko yang signifikan
terhadap adanya gigitan sekunder atau jatuhnya korban lain. Jika aman,
bawa serta ular yang sudah mati. Hati-hati pada kepalanya saat
membawa ular – ular masih dapat mengigit hingga satu jam setelah mati
(dari reflek). Ingat, identifikasi yang salah bisa fatal. Sebuah gigitan tanpa
gejala inisial dapat tetap berbahaya atau bahkan fatal.
h. Jika berada di wilayah yang terpencil dimana transportasi ke instalasi
gawat darurat akan lama, pasang bidai pada ekstremitas yang tergigit.
Jika memasang bidai, ingat untuk memastikan luka tidak cukup bengkak
sehingga menyebabkan bidai menghambat aliran darah. Periksa untuk
memastikan jari atau ujung jari tetap pink dan hangat, yang berarti
ekstrimitas tidak menjadi kesemutan, dan tidak memperburuk rasa sakit.
i. Jika dipastikan digigit oleh elapid yang berbahaya dan tidak terdapat efek
mayor dari luka lokal, dapat dipasang pembalut dengan teknik imobilisasi
dengan tekanan. Teknik ini terutama digunakan untuk gigitan oleh elapid
Australia atau ular laut. Balutkan perban pada luka gigitan dan terus
sampai ke bagian atas ekstremitas dengan tekanan seperti akan
membalut pergelangan kaki yang terpeleset. Kemudian imobilisasi
ekstremitas dengan bidai, dengan tetap memperhatikan mencegah
terhambatnya aliran darah. Teknik ini membantu mencegah efek sistemik
yang mengancam nyawa dari bisa, tapi juga bisa memperburuk kerusakan
lokal pada sisi gigitan jika gejala yang signifikan terdapat di sana.
Penatalaksanaan selanjutnya
a. Margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; margin-left: 78.0pt; margin-
right: 0cm; margin-top: 0cm; text-align: justify; text-indent: -35.45pt;">
5) ABU 2 flacon dalam NaCl diberikan per drip dalam waktu 30 – 40
menit.
b. Heparin 20.000 unit per 24 jam.
c. Monitor diathese hemorhagi setelah 2 jam, bila tidak membaik, tambah 2
flacon ABU lagi. ABU maksimal diberikan 300 cc (1 flacon = 10 cc).
d. Bila ada tanda-tanda laryngospasme, bronchospasme, urtikaria atau
hipotensi berikan adrenalin 0,5 mg IM, hidrokortisone 100 mg IV.
e. Kalau perlu dilakukan hemodialise.
f. Bila diathese hemorhagi membaik, transfusi komponen
g. Observasi pasien minimal 1 x 24 jam
Catatan: Jika terjadi syok anafilaktik karena ABU, ABU harus dimasukkan
secara cepat sambil diberi adrenalin.
h. Pemberian ABU (Anti bisa ular)
K. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Pengkajian Primer
1) Nilai tingkat kesadaran
2) Lakukan penilaian ABC :
- A – airway: kaji apakah ada muntah, perdarahan
- B – breathing: kaji kemampuan bernafas akibat kelumpuhan
otot-otot pernafasan
- C – circulation : nilai denyut nadi dan perdarahan pada bekas
patukan, Hematuria, Hematemesis /hemoptysis
Intervensi Primer
1) Bebaskan jalan nafas bila ada sumbatan, suction kalau perlu
2) Beri O2, bila perlu Intubasi
3) Kontrol perdarahan, toniquet dengan pita lebar untuk mencegah
aliran getah bening (Pita dilepaskan bila anti bisa telah diberikan).
Bila tidak ada anti bisa, transportasi secepatnya ke tempat
diberikannya anti bisa.
b. Secondary Survey
1) Penting menentukan diagnosa patukan ular berbisa
2) Bila ragu, observasi 24 jam. Kalau gejala keracunan bisa nyata, perlu
pemberian anti bisa
3) Kolaborasi pemberian serum antibisa. Karena bisa ular sebagian
besar terdiri atas protein, maka sifatnya adalah antigenik sehingga
dapat dibuat dari serum kuda. Di Indonesia, antibisa bersifat polivalen,
yang mengandung antibodi terhadap beberapa bisa ular. Serum
antibisa ini hanya diindikasikan bila terdapat kerusakan jaringan lokal
yang luas.
4) Bila alergi serum kuda :
- Adrenalin 0,5 mg/SC
- ABU IV pelan-pelan
5) Bila tanda-tanda laringospasme, bronchospasme, urtikaria hypotensi :
adrenalin 0,5 mg/IM, hydrokortison 100 mg/IV
6) Anti bisa diulang pemberiannya bila gejala-gejala tak menghilang atau
berkurang. Jangan terlambat dalam pemberian ABU, karena manfaat
akan berkurang.
7) Kaji Tingkat kesadaran
Nilai dengan Glasgow Coma Scale (GCS)
8) Ukur tanda-tanda vital
2. Diagnosa Keperawatan
a. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan obstruksi
saluran nafas
b. Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri fisik (gigitan ular)
c. Hipertermia berhubungan dengan efek langsung endotoksin pada
hipotalamus
d. Ketakutan/ansietas berhubungan dengan krisis situasi, perawatan di
rumah sakit/prosedur isolasi, mengingat pengalaman trauma, ancaman
kematian atau kecacatan.
e. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan pertahanan tubuh
tak adekuat
3. Intervensi
B. Saran
Segeran bawa ke rumah sakit atau puskesmas terdekat. Informasikan
kepada dokter mengenai penyakit yang diderita pasien seperti asma dan alergi
pada obat-obatan tertentu, atau pemberian antivenom sebelumnya. Ini penting
agar dokter dapat memperkirakan kemungkinan adanya reaksi dari
pemberian antivenom selanjutnya.