Anda di halaman 1dari 53

MAKALAH KEPERAWATAN ANAK

KONSEP BERMAIN

Disusun Oleh :
KELOMPOK 3
Fatiha Izza Tuslamia (70300117010)
Arianti (70300117011)
Miftah Nursani (70300117012)
Sri Windayanti (70300117013)
Ainun Amalia Suhri (70300117051)

Muh. Fauzan Adhima (70300117052)


Indah Pebrianti (70300117055)
Mutmainnah (70300117057)
Harmawati H (70300117058)

JURUSAN KEPERAWATAN FAKULTAS


KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UIN
ALAUDDIN MAKASSAR
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun sampaikan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
dengan rahmat-Nya, penyusun dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul
“Konsep Bermain” yang disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan
Anak. Penyusun mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah
membantu menyelesaikan makalah ini dengan baik dan lancar.

Tujuan suatu pendidikan adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa,


membentuk sumber daya manusia yang handal dan berdaya saing, membentuk
watak dan jiwa sosial, berbudaya, berakhlak dan berbudi luhur, serta berwawasan
pengetahuan yang luas dan menguasai teknologi. Makalah ini dibuat oleh penyusun
untuk membantu memahami materi tersebut. Mudah-mudahan makalah ini
memberikan manfaat dalam segala bentuk kegiatan belajar, sehingga dapat
memperlancar dan mempermudah proses pencapaian yang telah direncanakan.

Penyusun menyadari masih banyak kekurangan dalam makalah ini. Oleh


karena itu, segala kritikan dan saran yang membangun akan kami terima dengan
lapang dada sebagai wujud koreksi atas diri tim penyusun yang masih belajar. Akhir
kata, semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Aamiin.

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1
B. Tujuan Penulisan 3
C. Manfaat Penulisan 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4
A. Definisi Bermain 4
B. Teori-Teori Bermain 9
C. Tujuan Bermain 11
D. Fungsi Bermain 13
E. Prinsip-Prinsip Dalam Aktivitas Bermain 15
F. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Terapi Bermain 17
G. Klasifikasi Bermain 21
H. Permainan Edukatif 43
BAB III PENUTUP 46
A. Kesimpulan 46
B. Saran 47
DAFTAR PUSTAKA 48

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Menurut Driyarkara, bermain sudah ada atau seusia dengan umur
manusia (semenjak manusia ada maka permainan juga mulai ada). Menurut
Huizinga, bermain lebih tua daripada kebudayaan (Fathan, 2017).
Berdasarkan fenomena yang ada, selama proses hospitalisasi, anak
dan orang tua dapat mengalami beberapa pengalaman yang sangat
traumatik dan penuh dengan kecemasan, hal ini akan berdampak negatif
bagi anak. Dampak negatif dari efek hospitalisasi sangat berpengaruh
terhadap upaya perawatan dan pengobatan yang sedang dijalani pada anak.
Reaksi yang dimunculkan pada anak akan berbeda antara satu dengan
lainnya. Pada keadaan seperti ini diperlukan suatu tindakan yang dapat
menurunkan tingkat kecemasan. Salah satu upaya yang dapat dilakukan
untuk menurunkan kecemasan adalah melalui kegiatan terapi bermain.
Bermain merupakan salah satu alat komunikasi yang natural bagi anak-anak.
Bermain dapat dilakukan oleh anak yang sehat maupun sakit. Walaupun
anak sedang mengalami sakit, tetapi kebutuhan akan bermain tetap ada
(Adriana, 2011).
Bermain tidak sekedar mengisi waktu, tetapi merupakan kebutuhan
anak seperti halnya makanan, perawatan dan cinta kasih. Anak memerlukan
berbagai variasi permaianan untuk kesehatan fisik, mental dan
perkembangan emosinya. Melalui bermain , anak tidak hanya menstimulasi
perkembangan otot-ototnya, tetapi lebih dari itu. Anak tidak sekedar
melompat, melempar dan berlari, tetapi mereka bermain dengan
menggunakan seluruh emosinya, perasaan dan pikirannya (Imam, 2018).
Perkembangan anak-anak tidak lepas dari bermain. Bagi anak,
seluruh aktivitasnya adalah bermain yang juga mencakup bekerja,
kesenangannya dan metode bagaimana mereka mengenal dunia. Ketika
bermain, anak tidak hanya sekedar melompat, melempar atau berlari, tetapi
mereka bermain dengan menggunakan seluruh emosi, perasaan, dan
pikirannya. Demikian juga pada anak sakit, bermain dapat digunakan

1
sebagai media psiko terapi atau pengobatan terhadap anak yang dikenal
dengan sebutan terapi bermain (Soetjiningsih, 2013).
Dalam keperawatan anak, yang menjadi individu (klien) adalah anak
yang diartikan sebagai seseorang yang usianya kurang dari 18 (delapan
belas) tahun dalam masa tumbuh kembang, dengan kebutuhan khusus yaitu
kebutuhan fisik, psikologis, sosial dan spiritual. Dalam proses berkembang,
anak memiliki ciri fisik, kognitif, konsep diri, pola koping dan perilaku sosial.
Ciri fisik pada semua anak tidak mungkin pertumbuhan fisiknya sama,
demikian pula pada perkembangan kognitif adakalanya cepat atau lambat.
Perkembangan konsep diri sudah ada sejak bayi akan tetapi belum terbentuk
sempurna dan akan mengalami perkembangan seiring bertambahnya usia
anak. Pola koping juga sudah terbentuk sejak bayi di mana bayi akan
menangis saat lapar. Perilaku sosial anak juga mengalami perkembangan
yang terbentuk mulai bayi seperti anak mau diajak orang lain. Sedangkan
respons emosi terhadap penyakit bervariasi tergantung pada usia dan
pencapaian tugas perkembangan anak, seperti pada bayi saat perpisahan
dengan orang tua maka responsnya akan menangis, berteriak, menarik diri
dan menyerah pada situasi yaitu diam (Fadlillah, 2014).
Dalam memberikan pelayanan keperawatan anak selalu diutamakan,
mengingat kemampuan dalam mengatasi masalah masih dalam proses
kematangan yang berbeda dibanding orang dewasa karena struktur fisik
anak dan dewasa berbeda mulai dari besarnya ukuran hingga aspek
kematangan fisik. Proses fisiologis anak dengan dewasa mempunyai
perbedaan dalam hal fungsi tubuh dimana orang dewasa cenderung sudah
mencapai kematangan. Kemampuan berpikir anak dengan dewasa berbeda
dimana fungsi otak dewasa sudah matang sedangkan anak masih dalam
proses perkembangan. Demikian pula dalam hal tanggapan terhadap
pengalaman masa lalu berbeda, pada anak cenderung kepada dampak
psikologis yang apabila kurang mendukung maka akan berdampak pada
tumbuh kembang anak sedangkan pada dewasa cenderung sudah
mempunyai mekanisme koping yang baik dan matang (Desmita, 2015).

2
Proses terapi bermain dan bagaimana terapi bermain itu dapat
meminimalkan masalah hospitalisasi pada anak seperti anak rewel, tidak
mau makan, tidak bisa tidur dan anak yang tidak kooperatif saat menjalani
perawatan di Rumah Sakit (Supatini, 2014).

B. Tujuan Penulisan
Dari uraian latar belakang di atas, maka tujuan penulisan dari
makalah ini adalah:
1. Mahasiswa mampu mengetahui definisi bermain.
2. Mahasiswa mampu mengetahui teori-teori bermain.
3. Mahasiswa mampu mengetahui tujuan bermain.
4. Mahasiswa mampu mengetahui fungsi bermain.
5. Mahasiswa mampu mengetahui prinsip-prinsip dalam aktivitas bermain.
6. Mahasiswa mampu mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi terapi
bermain.
7. Mahasiswa mampu mengetahui klasifikasi bermain.
8. Mahasiswa mampu mengetahui permainan edukatif.

C. Manfaat Penulisan
Dari uraian tujuan penulisan di atas, maka manfaat penulisan dari
makalah ini adalah:
1. Agar mahasiswa mampu memahami definisi bermain.
2. Agar mahasiswa mampu memahami teori-teori bermain.
3. Agar mahasiswa mampu memahami tujuan bermain.
4. Agar mahasiswa mampu memahami fungsi bermain.
5. Agar mahasiswa mampu memahami prinsip-prinsip dalam aktivitas
bermain.
6. Agar mahasiswa mampu memahami faktor-faktor yang mempengaruhi
terapi bermain.
7. Agar mahasiswa mampu memahami klasifikasi bermain.
8. Agar mahasiswa mampu memahami permainan edukatif.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Bermain
Dunia anak adalah dunia bermain. Melalui kegiatan bermain, semua
aspek perkembangan anak ditumbuhkan sehingga anak akan menjadi lebih
sehat sekaligus cerdas. Saat bermain anak akan mempelajari banyak hal
penting. Sebagai contoh, dengan bermain bersama teman, anak akan lebih
terasah rasa empatinya, mereka juga bisa mengatasi penolakan dan
dominasi, serta bisa mengelola emosi. Anak akan bermain dengan
menggunakan seluruh emosinya, perasaannya dan pikirannya. Kesenangan
merupakan salah satu elemen pokok dalam bermain. Anak akan terus
bermain sepanjang aktivitas tersebut menghiburnya. Pada saat mereka
bosan, mereka akan berhenti bermain (Adriana, 2011).
Bermain bagi anak sangatlah penting, dengan bermain maka proses
belajar akan efektif dan lebih cepat ditangkap pada saat mereka bermain
serta salah satu manfaat dari bermain baik untuk pengembangan kognitif
anak (Fadlillah, 2014).
Kemampuan kognitif anak dapat ditunjukan dengan cara
melaksanakan kegiatan bermain menggunakan alat permainan yang
mengandung unsur atau nilai edukatif (Wiyani, 2016).
Melalui bermain akan semakin mengembangkan kemampuan dan
keterampilan motorik anak, kemampuan kognitifnya, melalui kontak dengan
dunia nyata, menjadi eksis di lingkungannya, menjadi percaya diri dan masih
banyak lagi manfaat lainnya (Martin, 2018).
Bermain merupakan kegiatan menyenangkan yang dilakukan dengan
tujuan bersenang-senang, yang memungkinkan seorang anak dapat
melepaskan rasa frustasi. bermain merupakan kegiatan anak-anak, yang
dilakukan berdasarkan keinginannya sendiri untuk mengatasi kesulitan,
stress dan tantangan yang ditemui serta berkomunikasi untuk mencapai
kepuasan dalam berhubungan dengan orang lain. Bermain merupakan

4
kegiatan atau simulasi yang sangat tepat untuk anak. Bermain dapat
meningkatkan daya pikir anak untuk mendayagunakan aspek emosional,
sosial serta fisiknya serta dapat meningkatkan kemampuan fisik, pengalaman
dan pengetahuan serta keseimbangan mental anak (Heri Saputro dan Intan
Fazrin. 2017).
Perkembangan anak-anak tidak lepas dari bermain. Bagi anak,
seluruh aktivitasnya adalah bermain yang juga mencakup bekerja,
kesenangannya dan metode bagaimana mereka mengenal dunia. Ketika
bermain, anak tidak hanya sekedar melompat, melempar atau berlari, tetapi
mereka bermain dengan menggunakan seluruh emosi, perasaan dan
pikirannya (Soetjiningsih, 2013).
Bermain adalah suatu aktivitas yang banyak dilakukan oleh anak-
anak. Dapat dikatakan bahwa sebagian besar waktu yang ada pada masa
anak-anak digunakan untuk bermain. Permainan bagi anak-anak adalah
suatu bentuk aktivitas yang menyenangkan yang dilakukan semata-mata
untuk aktivitas itu sendiri, bukan karena ingin memperoleh sesuatu yang
dihasilkan dari aktivitas tersebut. Hal ini adalah karena bagi anak-anak
proses melakukan sesuatu lebih menarik daripada hasil yang akan
didapatkannya (Desmita, 2015).
Berdasarkan paparan di atas dapat disimpulkan bahwa bermain
merupakan kegiatan yang dilakukan anak untuk mengatasi berbagai macam
perasaan yang tidak menyenangkan dalam dirinya. Dengan bermain anak
akan mendapatkan kegembiraan dan kepuasan.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Yuni Sufyanti A. dkk di ruang
anak RSU Dr. Soetomo Surabaya terhadap anak yang sedang menjalani
perawatan menunjukkan berbagai reaksi saat masuk rumah sakit seperti
menangis, berteriak, memanggil orang tuanya. Hal ini disebabkan karena
adanya faktor perpisahan dengan orang terdekat, kehilangan kontrol, injuri
fisik dan nyeri yang menimbulkan stres pada anak. Penanggulangan stres
hospitalisasi pada anak dapat menggunakan teknik, yaitu terapi bermain
(Sufyanti dkk, 2017).

5
Dalam penelitian Axline (1998) dalam Ira Merianti (2012), terapi
bermain merupakan terapi untuk mengobati anak yang sedang sakit dan
salah satu teknik yang akan membantu penurunan ketegangan emosional
yang dirasakan anak. Menurut survey tahun 2001 hampir 4.000.000 anak di
Amerika Serikat dalam satu tahun mengalami hospitalisasi yang lama. Hal ini
terjadi karena adanya traumatik dan stress yang dialami oleh anak. Di
Indonesia setiap tahun terdapat lebih dari 5.000.000 anak yang menjalani
masa perawatan yang lama di rumah sakit (Lina Indrawaty dkk, 2017).
Banyak anak menolak diajak ke rumah sakit, apalagi menjalani rawat
inap dalam jangka waktu yang lama. Peralatan medis yang terlihat bersih
dirasakan cukup menyeramkan bagi anak-anak. Begitu juga dengan bau obat
yang menyengat dan penampilan para staf rumah sakit dengan baju putihnya
yang terkesan angker Untuk mengurangi ketakutan anak yang harus
mengalami rawat inap di rumah sakit dapat dilakukan beberapa cara salah
satunya adalah melakukan permainan dokter-dokteran dengan membiarkan
anak bereksplorasi dengan alat-alat kedokteran, seperti jarum suntik dan
stetoskop. Anak berperan menjadi dokter, sementara anak lain atau orang
tua menjadi pasiennya (Imam, 2018).
Pada umumnya reaksi anak terhadap sakit adalah kecemasan karena
perpisahan, kehilangan, perlukaan tubuh dan rasa nyeri. Reaksi anak
terhadap hospitalisasi adalah menolak makan, sering bertanya, menangis
perlahan, tidak kooperatif terhadap petugas kesehatan. Sehingga perawatan
di rumah sakit menjadi kehilangan kontrol dan pembatasan aktivitas. Sering
kali hospitalisasi dipersepsikan oleh anak sebagai hukuman, sehingga ada
perasaan malu, takut sehingga menimbulkan reaksi agresif, marah, berontak,
tidak mau bekerja sama dengan perawat (Handayani, 2017).
Dalam beberapa penelusuran literature/jurnal internasional,
dinyatakan bahwa, “Children are the future of every nation. If today’s children
are healthy, it can lead to a much healthier future. Hospitalization to any child
is a very unpleasant and traumatic experience. Hospitalized children require
more recreational play because illness and hospitalization constitute a crisis

6
in child’s life and since these situations are fraught with overwhelming
stresses, children need to play out their fears and anxieties as a means to
cope with these stresses. Play allows children to learn social behaviors,
develop cognitive abilities as well as gross motor skills, and work through
emotional conflicts. Play therapy is very effective to revisited traumatic
memories in order to get a child familiarity to fear and anxiety (Campbell,
2018).
Anak-anak adalah masa depan setiap bangsa. Jika anak-anak hari ini
sehat, itu dapat mengarah ke masa depan yang jauh lebih sehat. Rawat inap
untuk setiap anak adalah pengalaman yang sangat tidak menyenangkan dan
traumatis. Anak-anak yang dirawat di rumah sakit memerlukan lebih banyak
bermain rekreasi karena penyakit dan rawat inap merupakan krisis dalam
kehidupan anak dan karena situasi ini penuh dengan tekanan yang luar
biasa, anak-anak perlu memeriksanya ketakutan dan kecemasan sebagai
sarana untuk mengatasi tekanan-tekanan ini. Bermain memungkinkan anak-
anak belajar perilaku sosial, mengembangkan kemampuan kognitif serta
keterampilan motorik kasar, dan bekerja melalui konflik emosional. Terapi
bermain sangat efektif untuk meninjau kembali kenangan traumatis untuk
membuat anak terbiasa dengan ketakutan dan kecemasan (Campbell, 2018).
Play therapy reduces hospital anxiety. Children utilize play therapy to
help themselves to deal with the stressors of life. It also helps hospitalized
children to divert their mind from pain and loneliness. Play improves
numerous intellectual and motor developments, creativity, and development
of higher functions. The play has been known to divert child’s mind. Toys are
the “tools” of play and provide a more “natural” environment for a child (Patel,
2018).
Terapi bermain mengurangi kecemasan di rumah sakit. Anak-anak
memanfaatkan terapi bermain untuk membantu diri mereka sendiri
menghadapi stres kehidupan. Ini juga membantu anak-anak yang dirawat di
rumah sakit untuk mengalihkan pikiran mereka dari rasa sakit dan kesepian.
Bermain meningkatkan banyak intelektual dan motorik perkembangan,

7
kreativitas, dan pengembangan fungsi yang lebih tinggi. Drama itu telah
dikenal untuk mengalihkan pikiran anak. Mainan adalah "alat" permainan dan
menyediakan lingkungan yang lebih "alami" untuk anak.
Studies on play therapy interventions and children with anxiety have
shown results wherein the levels of anxiety decreases after playing, which
may be due to the expression of emotion and fantasy (Christian, Russ, &
Short, 2017).
Studi tentang intervensi terapi bermain dan anak-anak dengan
kecemasan yang dimiliki menunjukkan hasil di mana tingkat kecemasan
berkurang setelah bermain, yang mungkin disebabkan oleh ekspresi emosi
dan fantasi (Christian, Russ, & Short, 2017).
The research finds that when a child plays, the experience is made
into a more manageable form. This way, the child feels safe and becomes
comfortable with expressing negative emotions which may eventually allow
them to be more comfortable in expressing positive emotions that will
reduces their anxiety (Therese, Karina, & Celine, 2016).
Penelitian menemukan bahwa ketika seorang anak bermain,
pengalaman itu dibuat menjadi bentuk yang lebih mudah dikelola. Lewat sini,
anak terasa aman dan menjadi nyaman dengan menekan emosi negatif yang
akhirnya memungkinkan mereka menjadi lebih nyaman dengan
memunculkan emosi positif yang akan mengurangi kecemasan mereka
(Therese, Karina, & Celine, 2016).
Nowadays, it is common to use play therapy for supporting children
with autism. Play therapy is an active approach that helps a child to reveal his
conscious and unconscious feelings through playing (Rafati, 2018).
Saat ini, sudah biasa menggunakan terapi bermain untuk mendukung
anak-anak dengan autisme. Terapi bermain adalah pendekatan aktif yang
membantu anak mengungkapkan perasaannya yang sadar dan tidak sadar
melalui bermain (Rafati, 2018).
Dalam sebuah hadis, dijelaskan untuk jangan sekali-kali melarang
anak-anak melakukan permainan atau bermain.

8
Artinya : Dari Abu Hurairah: ketika orang-orang Habsyi bermain di
hadapan Rasulullah saw, tiba-tiba datang Umar Bin Khatab r.a lalu ia mengambil
batu-batu kecil dan mereka dilontari dengan batu-batu tersebut. Rasulullah SAW
bersabda : “Biarkanlah mereka bermain hai Umar”. (HR. Bukhari).

B. Teori-Teori Bermain
Menurut Fathan (2017), teori bermain terdiri atas :
1. Teori Bermain Klasik
Teori klasik muncul sebelum abad ke 20 dan sebagian besar
menggambarkan suatu kekuasaan dan kekuatan pada saat teori itu
diangkat atau dimunculkan. Menurut pandangan dari para pakar Psikologi
& Biologi, teori klasik meliputi:
a. Teori Rekreasi/Pelepasan (Lazarus & Schaller)
Bermain merupakan kegiatan yang berlawanan dengan kerja dan
kesungguhan, Bermain merupakan imbangan antara kerja dengan
istirahat. Orang yang merasa penat akan bermain & berkreasi untuk
mengadakan pelepasan agar kesegaran jasmani & rohaninya segera
kembali.
b. Teori Teleologi/Pembawaan (K. Groos & Roeles)
Permainan merupakan kegiatan yang mempunyai tugas biologis yang
akan digunakan oleh manusia untuk mempelajari fungsi hidup,
penguasaan gerak, rasa ingin tahu, persaingan sebagai persiapan
hidup di masa yang akan datang. Seseorang bermain bukan karena
masih muda tetapi melalui bermain seseorang akan menjadi awet
muda.

9
c. Teori Sublimasi (Ed. Clapatade)
Permainan bukan hanya merupakan kegiatan untuk mempelajari
fungsi hidup (Gross), tetapi juga merupakan proses sublimasi
(menjadi lebih mulia, lebih tinggi, atau lebih indah). Melalui bermain
seseorang yang memiliki insting/naluri yang rendah akan belajar
untuk berubah&meningkatkannya menjadi perbuatan & tindakan yang
lebih baik/tinggi.
d. Rekapitulasi/Evolusi/Reinkarnasi (Hall)
Permainan merupakan kesimpulan dari masa lalu (anak akan bermain
permainan yang pernah dimainkan oleh nenek moyangnya), serta
pertumbuhan jiwa manusia yang wajar haruslah melalui tahap-tahap
perkembangan manusia yang wajar sampai pada pertumbuhan yang
sempurna. Kondisi sekarang permainan tradisional hampir tergeser
oleh permainan modern hasil kemajuan IPTEK.
e. Teori Surplus Energi (H. Spencer)
Bahwa surplus atau kelebihan tenaga yang dimiliki oleh seseorang
(yang belum digunakan/tersimpan) akan disalurkan atau dikeluarkan
melalui aktifitas bermain atau permainan. Surplus/kelebihan tersebut
meliputi: kelebihan energi - kelebihan kekuatan hidup - kelebihan
emosi & vitalitas.
f. Teori C. Bühler
Bahwa di samping permainan merupakan kegiatan untuk mempelajari
fungsi hidup (teori Groos), bermain juga merupakan “funtion lust”
(nafsu untuk berfungsi) & “aktivitat drang” (kemauan untuk aktif. Untuk
bisa bermain seseorang harus mempunyai kehendak, kemauan &
nafsu untuk bermain permainan yang diinginkan.
2. Teori Bermain Modern
a. Teori Psikoanalisa (Sigmund Freud)
Bermain merupakan media, sarana, alat atau cara untuk
mengeluarkan/melepaskan emosi-emosi dari dalam diri. Bermain juga
merupakan media untuk belajar mengatasi pengalaman traumatik

10
atau frustasi. Bermain merupakan salah satu cara untuk mengukur,
menguasai dan mengetahui sifat suatu alat.
b. Teori Kognitif (Piaget & Vygotsky)
Bermain merupakan bagian atau tahap perkembangan kognitif (daya
tiru, daya ingat, daya tangkap, daya imajinasi, gaya belajar manusia)
yang harus dilalui oleh seorang anak. Bermain juga merupakan
sarana untuk belajar berpikir mengungkapkan ide-ide (kreatifitas/daya
cipta) atau berimajinasi.
c. Teori Belajar Sosial
Manusia sebagai makluk monodualisme yaitu makluk individu dan
makluk sosial. Bermain dapat menjadi sarana atau media untuk
berkomunikasi, bersosialisasi dan berinteraksi dengan orang lain atau
makhluk hidup lain (makhluk sosial).
d. Teori Kompensasi
Bermain tidak hanya berfungsi sebagai pengisi waktu luang/rekreasi
saja tetapi sekarang sudah menjadi kebutuhan untuk mendapatkan
penghargaan atau untuk mempertahankan hidup (sebagai profesi).

C. Tujuan Bermain
Wong, et al (2009) dalam Heri Saputro dan Intan Fazrin (2017)
menyebutkan bermain sangat penting bagi mental, emosional, dan
kesejahteraan sosial anak. Seperti kebutuhan perkembangan mereka,
kebutuhan bermain tidak berhenti pada saat anak-anak sakit atau di rumah
sakit. Sebaliknya, bermain di rumah sakit memberikan manfaat utama yaitu
meminimalkan munculnya masalah perkembangan anak. Selain itu, tujuan
terapi bermain adalah untuk menciptakan suasana aman bagi anak-anak
untuk mengekspresikan diri mereka, memahami bagaimana sesuatu dapat
terjadi, mempelajari aturan sosial dan mengatasi masalah mereka serta
memberikan kesempatan bagi anak-anak untuk berekspresi dan mencoba
sesuatu yang baru.

11
Adapun tujuan bermain di rumah sakit adalah agar dapat melanjutkan
fase tumbuh kembang secara optimal, mengembangkan kreativitas anak
sehingga anak dapat beradaptasi lebih efektif terhadap stress. Terapi
bermain dapat membantu anak menguasai kecemasan dan konflik.
Permainan juga sangat mendukung pertumbuhan dan perkembangan anak,
yaitu diantaranya:
1. Untuk perkembangan kognitif
a. Anak mulai mengerti dunia
b. Anak mampu mengembangakan pemikiran yang fleksibel dan
berbeda
c. Anak memiliki kesempatan untuk menemui dan mengatasi
permasalahan-permasalahan yang sebenarnya
2. Untuk perkembangan sosial dan emosional
a. Anak mengembangakan keahlian berkomunikasi secara verbal
maupun non verbal melalui negosiasi peran, mencoba untuk
memperoleh akses untuk permainan yang berkelanjutan atau
menghargai perasaan orang lain
b. Anak merespon perasaan teman sebaya sambil menanti giliran
bermain dan berbagi pengalaman
c. Anak bereksperimen dengan peran orang-orang dirumah, di sekolah,
dan masyarakat di sekitarnya melalui hubungan langsung dengan
kebutuhan-kebutuhan dan harapan orang-orang disekitarnya
d. Anak belajar menguasai perasaanya ketika ia marah, sedih atau
khawatir dalam keadaan terkontrol
3. Untuk perkembangan bahasa
a. Dalam permainan dramatik, anak menggunakan pernyataan-
pernyataan peran, infleksi (perubahan nada/suara) dan bahasa
komunikasi yang tepat
b. Selama bemain, anak belajar menggunakan bahasa untuk tujuan-
tujuan yang berbeda dan dalam situasi yang berbeda dengan orang-
orang yang berbeda pula

12
c. Anak menggunakan bahasa untuk meminta alat bermain, bertanya,
mengekspresikan gagasan atau mengadakan dan meneruskan
permainan
d. Melalui bermain, anak bereksperimen dengan kata-kata, suku kata
bunyi, dan struktur bahasa
4. Untuk perkembangan fisik (jasmani)
a. Anak terlibat dalam permainan yang aktif menggunakan keahlian-
keahlian motorik kasar
b. Anak mampu memungut dan menghitung benda-benda kecil
menggunakan keahlian motorik halusnya
5. Untuk perkembangan pengenalan huruf (literacy)
a. Proses membaca dan menulis anak seringkali pada saat anak sedang
bermain permainan dramatik, ketika ia membaca cetak yang tertera,
membuat daftar belanja atau bermain sekolah-sekolahan
b. Permainan dramatik membantu anak belajar memahami cerita dan
struktur cerita
c. Dalam permainan dramatik, anak memasuki dinia bermain seolah-
olah mereka adalah karakter atau benda lain. Permainan ini
membantu mereka memasuki dunia karakter buku.

D. Fungsi Bermain
Menurut Maria Sulanti (2011), fungsi utama bermain adalah
merangsang perkembangan sensorik-motorik, perkembangan intelektual,
perkembangan social, perkembangan kreatifitas, perkembangan kesadaran
diri, perkembangan moral dan bermain sebagai terapi.
1. Perkembangan sensorik motorik
Aktivitas sensorik dan motorik merupakan komponen terbesar yang
digunakan anak dan bermain aktif sangat penting untuk perkembangan
fungsi otot. Misalnya, alat permainan yang digunakan untuk bayi yang
mengembangkan kemampuan sensorik motorik dan alat permainan untuk

13
anak usia toddler dan pra sekolah yang banyak membantu
perkembangan aktivitas motorik baik kasar maupun halus.
2. Perkembangan intelektual
Pada saat bermain, anak melakumbedakan eksploitasi dan manipulasi
terhadap segala sesuatu yang ada di lingkungan sekitarnya, terutama
mengenal warna, bentuk, ukuran, tekstur, dan membedakan objek.
3. Perkembangan sosial
Perkembangan sosial ditandai dengan kemampuan berinteraksi dengan
lingkungannya. Melalui kegiatan bermain, anak akan belajar memberi dan
menerima. Bermain dengan orang lain akan membantu anak untuk
mengembangkan hubungan social dan belajar memesahkan masalah
dari hubungan tersebut. Hal ini terjadi terutama pada anak usia sekolah
dan remaja. Meskipun demikian, anak usia toddler dan prasekolah adalah
tahapan awal bagi anak untuk meluaskan aktivitas sosialnya di luar
lingkungan keluarga.
4. Perkembangan kreatifitas
Berkreasi adalah kemampuan untuk menciptakan sesuatu dan
mewujudkannya ke dalam bentuk objek dan/atau kegiatan yang
dilakukannya. Melalui kegiatan bermain anak akan belajar dan mencoba
merealisasikan ide-idenya. Misalnya, dengan membongkar dan
memasang satu alat permainan akan merangsang kreativitasnya untuk
semakin berkembang.
5. Perkembangan kesadaran diri
Melalui bermain, anak akan mengembangkan kemampuannya dalam
mengatur tingkah laku. Anak juga akan belajar mengenal kemampuannya
dan membandingkannya dengan orang lain dan menguji kemampuannya
dengan mencoba peran-peran baru dan mengetahui dampak tingkah
lakunya terhadap orang lain.
6. Perkembangan moral
Anak mempelajari nilai dasar dan salah dari lingkungannya, terutama dari
orang tua dan guru. Denagan melakukan aktivitas bermain, anak akan

14
mendapat kesempatan untuk menerapkan nilai-nilai tersebut sehingga
dapat diterima di lingkungannya dan dapat menyesuaikan diri dengan
aturan-aturan kelompok yang ada dalam lingkungannya. Melalui kegiatan
bermain anak juga akan belajar nilai moral dan etika, belajar
membedakan mana yang benar dan mana yang salah, serta belajar
bertanggung jawab atas segala tindakan yang telah dilakukannya.
7. Bermain sebagai terapi
Pada saat dirawat di rumah sakit, anak akan mengalami berbagai
perasaan yang sangat tidak menyenangkan, seperti marah, takut, cemas,
sedih, dan nyeri. Perasaan tersebut merupakan dampak dari hospitalisasi
yang dialami anak karena menghadapi beberapa stresorr yang ada di
lingkungan rumah sakit. Untuk itu, dengan melakukan permainan anak
akan terlepas dari ketegangan dan stress yang dialaminya karena
dengan melakukan permaianan anak akan dapat mengalihkan rasa
sakitnya pada permainannya (distraksi) dan relaksasi melalui
kesenanganya melakukan permainan. Dengan demkian permainan
adalah media komunikasi antara anak dengan orang lain, termasuk
dengan perawat atau petugas kesehatan di rumah sakit. Perawat dapat
mengkaji perasaan dan pikiran anak melalui ekspresi nonverbal yang
ditunjukkan selama melakukan permainan atau melalui interaksi yang
ditunjukan anak dengan orang tua dan teman kelompok bermainnya.

E. Prinsip-Prinsip Dalam Aktivitas Bermain


Menurut Yuliastati (2016), agar anak dapat lebih efektif dalam
bermain di rumah sakit, perlu diperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut:
1. Permainan tidak banyak menggunakan energi
a. Menurut Vanfeet (2010), waktu yang diperlukan untuk terapi bermain
pada anak yang dirawat di rumah sakit adalah 15-20 menit. Waktu 15-
20 menit dapat membuat kedekatan antara orangtua dan anak serta
tidak menyebabkan anak kelelahan akibat bermain.

15
b. Menurut Adriana (2011), yang menyatakan bahwa waktu untuk terapi
bermain 30-35 menit yang terdiri dari tahap persiapan 5 menit, tahap
pembukaan 5 menit, tahap kegiatan 20 menit dan tahap penutup 5
menit. Lama pemberian terapi bermain bisa bervariasi, idealnya
dilakukan 15-30 menit dalam sehari selama 2-3 hari. Pelaksanaan
terapi ini dapat memberikan mekanisme koping dan menurunkan
kecemasan pada anak.
2. Mainan harus relatif aman dan terhindar dari infeksi silang
Permainan harus memperhatikan keamanan dan kenyamanan. Anak
kecil perlu rasa nyaman dan yakin terhadap benda-benda yang
dikenalnya, seperti boneka yang dipeluk anak untuk memberi rasa
nyaman dan dibawa ke tempat tidur di malam hari, mainan tidak
membuat anak tersedak, tidak mengandung bahan berbahaya, tidak
tajam, tidak membuat anak terjatuh, kuat dan tahan lama serta ukurannya
menyesuaikan usia dan kekuatan anak.
3. Sesuai dengan kelompok usia
Pada rumah sakit yang mempunyai tempat bermain, hendaknya perlu
dibuatkan jadwal dan dikelompokkan sesuai usia karena kebutuhan
bermain berlainan antara usia yang lebih rendah dan yang lebih tinggi.
4. Tidak bertentangan dengan terapi
Terapi bermain harus memperhatikan kondisi anak. Bila program terapi
mengharuskan anak harus istirahat, maka aktivitas bermain hendaknya
dilakukan ditempat tidur. Permainan tidak boleh bertentangan dengan
pengobatan yang sedang dijalankan anak. Apabila anak harus tirah
baring, harus dipilih permainan yang dapat dilakukan di tempat tidur, dan
anak tidak boleh diajak bermain dengan kelompoknya di tempat bermain
khusus yang ada di ruang rawat.
5. Perlu keterlibatan orangtua dan keluarga
Menurut Wong (2009), keterlibatan orang tua dalam terapi adalah sangat
penting, hal ini disebabkan karena orang tua mempunyai kewajiban untuk
tetap melangsungkan upaya stimulasi tumbuh kembang pada anak

16
walaupun sedang dirawat si rumah sakit. Anak yang dirawat di rumah
sakit seharusnya tidak dibiarkan sendiri. Keterlibatan orangtua dalam
perawatan anak di rumah sakit diharapkan dapat mengurangi dampak
hospitalisasi. Keterlibatan orangtua dan anggota keluarga tidak hanya
mendorong perkembangan kemampuan dan ketrampilan sosial anak,
namun juga akan memberikan dukungan bagi perkembangan emosi
positif, kepribadian yang adekuat serta kepedulian terhadap orang lain.
Kondisi ini juga dapat membangun kesadaran buat anggota keluarga lain
untuk dapat menerima kondisi anak sebagaimana adanya. Hal ini sesuai
dengan penelitian Bratton, 2005, keterlibatan orangtua dalam
pelaksanaan terapi bermain memberikan efek yang lebih besar
dibandingkan pelaksanaan terapi bermain yang diberikan oleh seorang
profesional kesehatan mental. Perawat hanya bertindak sebagai
fasilitator sehingga apabila permainan dilakukan oleh perawat, orang tua
harus terlibat secara aktif dan mendampingi anak mulai dari awal
permainan sampai mengevaluasi hasil permainan bersama dengan
perawat dan orang tua anak lainnya.

F. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Terapi Bermain


Menurut Green (2010), terdapat tiga faktor yang mempengaruhi
pelaksanaan terapi bermain di rumah sakit yaitu:
1. Faktor predisposisi
Faktor predisposisi hal yang menjadi rasional atau motivasi berperilaku
diantaranya:
a. Pengetahuan (cognitive), aktifitas bermain yang dilakukan oleh
perawat di ruangan untuk meminimalkan dampak hospitalisasi dimulai
dari domain kognitif. Faktor-faktor yang mempengaruhi bermain,
prinsip dan fungsi bermain di rumah sakit dan alat mainan yang
diperbolehkan. Semakin tinggi tingkat pengetahuan perawat tentang
aktifitas bermain pada anak maka akan semakin optimal pula perawat
dalam melaksanakan tindakan yang diberikannya.

17
b. Sikap (attitude)
Sikap adalaah suatu bentuk evaluasi atau reaksi perasaan. Sikap
seseorang terhadap suatu objek adalah perasaan yang mendukung
atau memihak maupun perasaan tidak mendukung atau memihak
pada objek tersebut.
2. Faktor pendukung
Faktor pendukung merupakan sesuatu yang memfasilitasi seseorang
kelompok untuk mecapai tujuan yang diinginkan seperti kondisi
lingkungan, ada atau tidaknya sarana atau fasiltas kesehatan dan
kemampuan sumber-sumber masyarakat.
3. Faktor pendorong
Faktor pendorong merupakan akibat dari tindakan yang dilakukan
seseorang atau kelompok untuk menerima umpan balik yang positif atau
negatif yang meliputi seperti sosial, pengaruh teman, nasehat dan umpan
balik oleh pemberi pelayanan kesehatan atau pembuat keputusan.
Adanya keuntungan sosial seperti penghargaan,keuntungan fisik seperti
kenyamanan, hadiah yang nyata, pemberian pujian kepada seseorang
yang mendomenstrasikan tindakannya.
Menurut Maria Sulanti (2011), ada 5 faktor yang mempengaruhi
aktivitas bermain pada anak yaitu tahap pertumbuhan dan perkembangan
anak, status kesehatan anak, jenis kelamin anak, lingkungan yang
mendukung, serta alat dan jenis permainan yang cocok atau sesuai bagi
anak.
1. Tahap perkembangan anak
Aktivitas bermain yang tepat dilakukan anak, yaitu sesuai dengan
tahapan pertumbuhan dan perkembangan anak. Tentunya permainan
anak usia bayi tidak lagi efektif untuk pertumbuhan dan perkembangan
anak usia sekolah. Permainan adalah stimulasi pertumbuhan dan
perkembangan anak. Dengan demikian, orang tua dan perawat harus
mengetahui dan memberikan jenis permainan yang tepat untuk setiap
tahapan pertumbuhan dan perkembangan anak.

18
2. Status kesehatan anak
Untuk melakukan aktivitas bermain diperlukan energi. Walaupun
demikian, bukan berarti anak tidak perlu bermain pada saat sedang sakit.
Kebutuhan bermain pada anak sama halnya dengan kebutuhan bekerja
pada orang dewasa. Yang terpenting pada saat kondisi anak sedang
menurun atau anak terkena sakit bahkan dirawat di rumah sakit orang tua
dan perawat harus jeli memilihkan permainan yang dapat dilakukan anak
sesuai dengan prinsip bermain pada anak yang sedang di rawat di rumah
sakit.
3. Jenis kelamin anak
Ada beberapa pandangan tentang konsep gender dalam kaitannya
dengan permainan anak. Dalam melaksanakan aktivitas bermain tidak
membedakan jenis kelamin laki-laki atau perempuan.untuk
mengembangkan daya piker, imajinatif, kreativitas, dan kemampuan
social anak. Akan tetapi ada pendapat lain yang meyakini bahwa
permainan adalah salah satu untuk membantu anak mengenal identitas
diri sehingga sebagian alat permainan anak perempuan tidak dianjurkan
untuk digunakan oleh anak laki-laki.
4. Lingkungan yang mendukung
Terselenggaranya aktivitas bermain yang baik untuk perkembangan anak
salah satunya dipengaruhi oleh nilai moral, budaya dan lingkungan fisik
rumah. Lingkungan rumah yang cukup luas untuk bermain
memungkinkan anak mempunyai cukup ruang gerak untuk bermain,
berjalan, mondar-mandir, berlari, melompat, dan bermain dengan teman
sekelompoknya.
5. Alat dan jenis permainan yang cocok
Orang tua harus bijaksana dalam memberikan alat permainan untuk
anak. Label yang tertera pada permainan harus dibaca terlebih dahulu
sebelum membelinya, apakah mainan tersebut sesuai dengan usia anak.
Alat permainan tidak selalu harus yang dibeli di took atau mainan jadi,
tetapi lebih diutamakan yang dapat menstimulasi imajinasi dan kreativitas

19
anak, bahkan sering kali disekitar kehidupan anak, akan lebih
merangsang anak untuk kreatif. Alat permainan yang harus didorong,
ditarik, dan dimanipulasi, akan mengajarkan anak untuk dapat
mengembangkan kemampuan koordinasi alat gerak. Permainan
membantu anak untuk meningkatkan kemampuan dalam mengenal
norma dan aturan serta interaksi sosial dengan orang lain.
Menurut Heri Saputro dan Intan Fazrin (2017), hal-hal yang perlu
diperhatikan dalam bermain adalah:
1. Ekstra energi
Untuk bermain diperlukan ekstra energi. Bemain memerlukan energi
yang cukup, sehingga anak memerlukan nutrisi yang memadai. Anak
yang sehat memerlukan aktivitas bermain yang bervariasi, baik
bermain aktif maupun bermain pasif, untuk menghindari rasa bosan
atau jenih.
2. Waktu
Anak harus mempunyai cukup waktu untuk bermain sehingga
stimulus yang diberikan dapat optimal. Selain itu, anak akan
mempunyai kesempatan yang cukup untuk mengenal alat-alat
permainannya.
3. Alat permainan
Untuk bermain diperlukan alat permainan yang sesuai dengan umur
dan perkembangann anak. Orang tua hendaknya memperhatikan hal
ini, sehingga alat permainan yang diberikan dapat berfungsi dengan
benar. Yang perlu diperhatikan adalah bahwa alat permainan tersebut
harus aman dan mempunyai unsur edukatif bagi anak.
4. Ruangan untuk bermain
Ruangan tidak usah terlalu lebar dan tidak perlu ruangan khusus
untuk bermain. Anak bisa bermain di ruang tamu, halaman, bahkan di
ruang tidurnya.

20
5. Pengetahuan cara bermain
Anak belajar bermain melalui mencoba-coba sendiri, meniru teman–
temannya atau diberitahu caranya oleh orang tuanya. cara yang
terakhir adalah yang terbaik, karena anak tidak terbatas
pengetahuannya dalam menggunakan alat permainannya dan anak-
anak akan mendapat keuntungan lebih banyak.
6. Teman bermain
Anak harus merasa yakin bahwa ia mempunyai teman bermain kalau
ia memerlukan, apakah itu saudaranya, orang tuannya atau
temannya. Karena kalau anak bermain sendiri, maka akan kehilangan
kesempatan belajar dari teman-temannya. Sebaliknya kalau terlalu
banyak bermain dengan anak lain, maka dapat mengakibatkan anak
tidak mempunyai kesempatan yang cukup untuk menghibur diri
sendiri dan menemukan kebutuhannya sendiri. Bila kegiatan bermain
dilakukan bersama orang tuanya, maka hubungan orang tua dengan
anak menjadi akrab, dan ibu/ayah akan segera mengetahui setiap
kelainan yang terjadi pada anak mereka secara dini.

G. Klasifikasi Bermain
Menurut Supartini (2014), klasifikasi bermain dibagi berdasarkan:
1. Berdasarkan isi permainan
a. Social affective play (bermain afektif sosial)
Inti permainan ini adalah adanya hubungan interpersonal yang
menyenangkan antara anak dan orang lain. Misalnya, bayi akan
mendapatkan kesenangan dan kepuasan dari hubungan yang
menyenangkan dengan orang tuanya dan/atau orang lain. Permainan
yang biasa dilakukan adalah “ciluk ba” berbicara sambil
tersenyum/tertawa, atau sekedar memberikan tangan pada bayi dan
menggenggamnya tetapi dengan diiringi berbicara sambil tersenyum
dan tertawa.

21
Sumber: https://images.app.goo.gl/jWz8Jfqp4q4FNkhq7

b. Sense of pleasure play (bermain untuk senang-senang)


Permainan ini menggunakan alat yang dapat menimbulkan rasa
senang pada anak dan biasanya mengasyikkan. Misalnya, dengan
menggunakan pasir, anak akan membuat gunung-gunung atau
benda-benda apa saja yang dapat dibentuknya dengan pasir. Bisa
juga dengan menggunakan air anak akan melakukan macam-macam
permainan, misalnya memindahkan air ke botol, bak atau tempat lain.
Ciri khas permainan ini adalah anak akan semakin lama semakin
asyik bersentuhan dengan alat permainan ini dan dengan permainan
yang dilakukan sehingga susah dihentikkan.

Sumber: https://lifestyle.okezone.com/read/2015/06/14/196/1165195/manfaat-bermain-pasir-
bersama-anak

22
c. Skill play (permainan keterampilan)
Sesuai dengan sebutannya, permainan ini akan meningkatkan
keterampilan anak, khususnya motorik kasar dan halus. Misalkan bayi
akan terampil memegang benda-benda kecil, memindahkan benda
dari tempat yang satu ke tempat yang lain, dan anak terampil naik
sepeda.

Sumber: www.motormatters4kids.com/fine-motor-skill-activities

d. Games atau permainan


Adalah jenis permainan yang menggunakan alat tertentu yang
menggunakan perhitungan dan skor. Permainan ini bisa dilakukan
oleh anak sendiri dan atau temannya. Misalnya: ular tangga,
congklak, puzzle,dll.

Sumber: https://www.kompasiana.com/suhardin/557f9cf2509773d7056cd0ea/bermain-sebagai-
terapi?pagi=all

23
e. Unoccupied behavior (permainan yang hanya memperhatikan saja)
Pada saat tertentu, anak sering terlihat mondar-mandir, tersenyum,
tertawa, jinjit-jinjit, bungkuk-bungkuk, memainkan kursi, meja atau apa
saja yang ada disekelilingnya. Jadi, sebenarnya anak tidak
memainkan alat permainan tertentu, dan situasi atau objek yang ada
di sekelilingnya yang digunakannnya sebagai alat permainan. Anak
tampak senang, gembira dan asyik dengan situasi serta
lingkungannya tersebut. Anak memusatkan perhatian pada segala
sesuatu yang menarik perhatiannya. Peran ini berbeda dengan
onlooker, dimana anak aktif mengamati aktivitas anak lain.

Sumber: www.letsplayandlearn.net

f. Dramatic play (permainan simbolik atau pura-pura)


Sesuai dengan sebutannya pada permainan ini anak memainkan
peran sebagai orang lain melalui permainan. Anak berceloteh sambil
berpakaian meniru orang dewasa, misalnya ibu guru, ibunya,
ayahnya, kakanya, dan sebagainya yang ia tiru. Permainan ini penting
untuk memproses/mengindentifikasi anak terhadap peran tertentu.
Contohnya : anak bermain sebagi dokter, atau bermain dagang-
dagangan.

24
Sumber: http://www.google.com/search?q=gambar+dramatic+play&safe=strict&client=ms-
android-oppo&prmd=inv&source-
lnms&tbm=isch&sa=X&ved=0ahUKEwjSslj6tMrhAhUVTY8KHfCDA9MQ_AUIESgB&biw=360&bi
h=559&dpr=1.5#

2. Berdasarkan karakter sosial


a. Onlooker play
Pada jenis permainan ini anak hanya mengamati temannya yang
sedang bermain, tanpa ada inisiatif untuk ikut berpartisipasi dalam
permainan, jadi, anak tersebut bersifat pasif, tetapi ada proses
pengamatan terhadap permainan yang sedang dilakukan temannya
walaupun anak dapat menanyakan permainan itu dan biasanya
dimulai pada usia toddler.

Sumber: https://images.app.goo.gl/dPGRm6tghgv1Vvghz9

25
b. Solitary play
Dimulai dari toddler (1-2 tahun) dan merupakan jenis permainan
sendiri atau independen walaupun ada orang lain disekitarnya. Hal ini
karena keterbatasan sosial, keterampilan fisik dan kognitif. Anak
tampak berada dalam kelompok permainan tetapi anak bermain
sendiri dengan alat permainan yang dimilikinya, dan alat permainan
tersebut berbeda dengan alat permainan yang digunakan temannya,
tidak ada kerja sama, atau komunikasi dengan teman sepermainan.

Sumber: https://images.app.go.gl/XW13oZGLhbECrWHw9

c. Parallel play
Pada permainan ini, toddler (2-3 tahun) dapat menggunakan alat
permainan yang sama, tetapi antara satu anak dengan anak yang lain
tidak terjadi kontak satu sama lain sehingga antara anak yang satu
dengan anak yang lain tidak ada sosialisasi satu sama lain.

Sumber: https://en.wikipedia.org/wiki/Parallel_play

26
d. Assosiatif play
Pada permainan ini sudah terjadi komunikasi antara satu anak
dengan anak yang lain, tetapi tidak terorganisasi tidak ada pemimpin
atau yang memimpin permainan, dan tujuan permainan tidak jelas.
Contoh bermain boneka, bermain hujan-hujanan, bermain masak-
masakan.

Sumber: https://images.app.goo.gl/MQ39wV8Ff4ExAbeB6

e. Cooperative play
Aturan permainan dalam kelompok tampak lebih jelas pada
permainan jenis ini, juga tujuan dan pemimpin permainan. Anak yang
memimpin permainan mengatur dan mengarahkan anggotanya,untuk
bertindak dalam permainan sesuai dengan tujuan yang diharapkan
dalam permainan tersebut. Misalnya, pada permainan sepak bola.

Sumber: https://images.app.goo.gl/FqtfSoDY1L4r9J976

27
f. Therapeutic play
Merupakan pedoman bagi tenaga tim kesehatan, khususnya untuk
memenuhi kebutuhan fisik dan psikologis anak selama hospitalisasi.
Dapat membantu mengurangi stress, memberikan instruksi dan
perbaikan kemampuan fisiologis (Vessey & Mohan, 1990 dikutip oleh
Supartini, 2004). Permainan dengan menggunakan alat-alat medik
dapat menurunkan kecemasan dan untuk pengajaran perawatan diri.
Pengajaran dengan melalui permainan dan harus diawasi seperti
menggunakan boneka sebagai alat peraga untuk melakukan kegiatan
bermain seperti memperagakan dan melakukan gambar-gambar
seperti pasang gips, injeksi, memasang infus dan sebagainya.

Sumber: https://images.app.goo.gl/jjPF8YwUCaDctMZt6

3. Berdasarkan kelompok usia anak


a. Anak Usia 0–1 Tahun
Bermain pada bayi mencerminkan perkembangan dan kesadaran
terhadap lingkungan, tujuan bermain pada usia 0–1 tahun adalah
menstimulasi perkembangan anak, mengalihkan perhatian anak,
mengalihkan nyeri dan ketidaknyamanan yang dirasakan. Pemilihan
mainan anak harus aman, bersih dan selalu dalam pemantauan orang
tua. Anak usia 0–1 tahun mengalami perkembangan oral (mulutnya)
dimana kepuasan ada dalam mulutnya, jadi anak

28
cenderung memainkan mulut dan suka memasukkan semua benda
kedalam mulutnya. Permainan permainan yang dapat dilakukan pada
anak usia 0-1 tahun meliputi:
1) Permainan kerincing
Permainan ini menggunakan penglihatan dan pendengaran anak
yang berfungsi untuk mengalihkan perhatian anak serta melatih
anak untuk menemukan sumber bunyi yang berasal dari
kerincing. Pelaksanaannya dengan menggoyangkan kerincing
hingga anak menoleh ke arah bunyi kerincing, lalu geser kerincing
ke kiri dan ke kanan, jauh mendekat. Jika anak mencoba untuk
meraih, kerincing boleh diberikan ke anak untuk digenggam dan
dimainkan.

Sumber:https://www.google.com/search?q=mainan+anak+kerincingan&safe=strict&cli
ent=ms-android-samsung&prmd=isvn&source-
lnms&tbm=isch&sa=X&ved=2ahUKEwiPupbu5snhAhVFtl8KHSm9AQQQ_AUoAXoEC
AgQAQ&biw=360&bih=560#imgrc=s9NhQgC0gQISLM%3A

2) Mengamati mainan
Permainan ini ditujukan untuk perhatian anak dengan
menggunakan benda-benda yang bergerak. Permainan ini
dilakukan dengan cara menggerakkan benda-benda yang menarik
perhatian seperti boneka berwarna cerah, mainan berwarna
cerah. Benda-benda tersebut diarahkan mendekat dan menjauh

29
atau ke kanan dan ke kiri agar anak mengikuti arah benda
tersebut.

Sumber: http://alatbayi.net/pantau-pertumbuhan-bayi-melalui-pengamatan-setiap-hari/

3) Meraih mainan
Permainan ini melatih motorik kasar anak dan membuat anak
berusaha meraih apa yang disukainya, yang perlu diperhatikan
adalah jika anak sudah mulai bosan karena tidak dapat
menjangkau mainan tersebut, segera dekatkan dan berikan
mainan kepada anak. Permainan ini menggunakan benda-benda
yang cerah dan menarik perhatian anak, diletakkan diatas anak
agar anak berusaha mengambil mainan tersebut. Gerak-gerakkan
mainan tersebut agar anak tertarik untuk memegang.

Sumber:https://bagibunda.com/2012/11/jenis-mainan-bayi-menurut-usianya/

30
4) Bermain bunyi-bunyian
Permainan ini ditujuan untu anak usia 6 bulan lebih. Pada
permainan ini menggunakan alat musik mainan, baik yang ditiup
atau dipukul yang dapat mengeluarkan suara. Pada
pelaksanaannya alat permainan tadi dipukul bisa dengan tangan
atau dengan pulpen/pensil atau sendok. Permainan ini bertujuan
untuk melatih respon anak pada suara benda yang dipukul serta
mengajarkan pada anak benda-benda apa saja yang dapat
menghasilkan bunyi.

Sumber: https://trustdaycare.com/manfaat-musik-untuk-perkembangan-anak-anda/

5) Mencari mainan
Pada permainan ini ditujukan untu melatih toleransi anak terhadap
adanya kehilangan, agar anak bisa beradaptasi jika sesuatu
benda hilang agar tenang dan berfikir cara mendapatkannya.
Permainan dengan menunjukkan suatu benda lalu sembunyikan
benda itu, atau sembunyikan benda yang sebelumnya digunakan
anak lalu ajak anak untuk mencarinya.

31
Sumber:http://www.google.com/search?q=anak+sedang+mencari+mainannya&safe=strict&
client=ms-android-vivo&prmd=inv&source-
lnms&tbm=isch&sa=X&ved=2ahUKEwjUy4n7y8rhAhXGTX0KHaULBfQQ_AUoAXoECAkQ
AQ&biw=360&bih=676#imgrc=4kcM6Ei9YqHFsM

6) Menyusun donat warna warni


Permainan ini menggunakan mainan donat plastik yang
bawahnya besar dan semakin keatas semakin mengecil.
Permainan ini berfungsi untuk melatih koordinasi motorik halus
anak yang menghubungkan mata dengan otot kecil tubuh.

Sumber: http://mommyasia.id/619

32
7) Mengenal bagian tubuh
Permainan ini mengenalkan bagian tubuh anak dan nama-
namanya, anak hanya perlu memperhatikan apa yang dilakukan
oleh fasilitator dan akan dilanjutkan oleh keluarga anak.

Sumber:http://www.google.com/search?q=permainan+anak+mengenal+bagian+tubuh
&safe=strict&client=ms-android-oppo&prmd=inv&source-
lnms&tbm=isch&sa=X&ved=0ahUKEwiHuND9t8rhAhW BinAKHVYCCwoQ_AUIEygB#

b. Anak Usia 1–3 Tahun


1) Arsitek Menara
Bahan yang dibutuhkan adalah kotak/kubus yang berwarna-warni
dengan ukuran yang sama, kemudian anak diminta untuk
menyusun kotak atau kubus ke atas. Penyusunan kubus/kotak
diupayakan yang sama warnanya.

Sumber: https://bangsaid.com/2016/09/10-kegiatan-bermain-yang-membangun-motorik-
halus-anak.html

33
2) Tebak Gambar
Permainan ini membutuhkan gambar yang sudah tidak asing bagi
anak seperti binatang, buah-buahan, jenis kendaraan atau
gambar profesi/pekerjaan. Permainan dimulai dengan
menunjukkan gambar yang telah ditentukan sebelumnya
kemudian ajak anak untuk menebak gambar tersebut, lakukan
beberapa kali. Jika anak tidak mengetahui gambar yang
dimaksud, sebaiknya petugas memberitahu dan menanyakan
kembali ke anak setelah berpindah ke gambar lain untuk melatih
ingatan anak.

Sumber:http://www.google.com/search?q=gambar+anak+main+tebak+gambar&safe=strict&clie
nt=ms-android-oppo&prmd=inv&source-
lnms&tbm=isch&sa=X&ved=0ahUKEwj5g7PoucrhAhW
hmuYKHZ4KDUoQ_AUIEygB&biw=360& bih=559&dpr+1.5#&biw=360&bih=559

3) Menyusun Puzzle
Permainan ini membutuhkan pendampingan petugas dan
diupayakan puzzle yang lebih besar agar anak mudah menyusun
dan memegangnya. Pilih gambar puzzle yang tidak asing bagi
anak, sebelum gambar puzzle dipisah pisah, tunjukkan keanak
gambar puzzle yang dimaksud, kemudian ajak dan dampingi anak
untuk menyusun puzzle. Beri contoh bagaimana cara menyusun
puzzle, seperti dimulai dipojok dahulu atau bagian samping
terlebih dahulu. Hal yang perlu diperhatikan dalam puzzle ini
adalah jumlah puzzle yang dipasang/susun tidak lebih dari 6
potongan.

34
Sumber: https://parenting.dream.co.id/ibu-dan-anak/anak-pra-sekolah.html

c. Anak Usia 4–6 Tahun


1) Bola keranjang
Permainan ini memerlukan bola dan keranjang sampah plastik
(bisa juga kotak kosong). Letakkan kotak/keranjang plastik sejauh
2 meter dari anak, kemudian minta anak melempar bola kedalam
kotak/keranjang sampah plastik, jika ada bola yang tercecer atau
tidak masuk, dibiarkan saja hingga bola sudah habis lalu ajak
anak untuk mengambil bola yang tercecer tersebut dan
memasukkannya kedalam keranjang dari tempat bola itu
jatuh/tercecer.

Sumber:https://www.google.co.id/amp/s/tkislamdarunnajah10.wordpress.com/2014/03/15/
main-lempar-bola-keranjang-di-kelas-a/amp/

35
2) Bermain dokter-dokteran
Permainan ini sangat baik untuk mengenalkan situasi lingkungan
di rumah sakit dengan berperan sebagai profesi kesehatan.
Dalam permainan ini ajak anak untuk bermain drama yaitu anak
sebagai dokternya sedangkan pasiennya adalah boneka. Minta
anak untuk memeriksa boneka dengan stetoskop mulai dada
boneka hingga perutnya. Kemudian berikan spuit/suntikan tanpa
jarum kepada anak untuk berpura-pura menyuntikkan obat
kepasiennya. Permainan bisa dilanjutkan ke boneka lainnya
dengan perlakuan sama hingga menulis resep disebuah kertas
andaikan memungkinkan. Jelaskan juga fungsi suntikan dan obat
itu sebagai apa saja dan hasil dari suntikan dan obat yang didapat
itu apa saja untuk pasien yang sakit.

Sumber: https://www.kaplanco.com/ii/preschool-dramatic-play-learning-center

3) Bermain abjad
Permainan ini membutuhkan pasangan minimal 2 anak,
permainan ini dengan menggunakan jari tangan yang diletakkan
dilantai kemudian jari tersebut dihitung mulai A hingga Z. Jumlah
jari terserah pada anak dan jari yang tidak digunakan dapat
ditekuk. Huruf yang tersebut terakhir akan dicari nama
binatang/nama buahnya sesuai dengan huruf depannya.

36
Sumber:http://www.google.com/search?q=gambar+anak+bermain+abjad&safe=strict&client=ms -
android-oppo&prmd=inv&source-
lnms&tbm=isch&sa=X&ved=kRAnmm9A_eagNcCICu3iN5R34Ustg&sa
=360&bih=559&dpr=1.5#

4) Boneka tangan
Permainan ini dilakukan dengan menggunakan boneka tangan
atau bisa juga boneka jari. Dalam kegiatan ini petugas bercerita
dengan menggunakan boneka tangan. Cerita yang disampaikan
diusahakan mengandung unsur sugesti atau cerita tentang
pengenalan kegiatan dirumah sakit. Biarkan anak memperhatikan
isi cerita, sesekali sebut nama anak agar merasa terlibat dalam
permainan tersebut.

Sumber: https://images.app.goo.gl/qa9vexQtnnERKFMu8

d. Anak Usia 6–12 Tahun


1) Melipat kertas origami
Permainan origami untuk melatih motorik halus anak, serta
mengembangkan imajinasi anak. permainan ini dilakukan dengan

37
melipat kertas membentuk topi, kodok, ikan, bunga, burung dan
pesawat. Ajari dan beri contoh dengan perlahan kepada anak
dalam melipat kertas. Selalu beri pujian terhadap apa yang telah
dicapai anak. Hasil karya anak bisa dipajang di meja anak atau di
dekat infus anak agar mudah terlihat orang lain.

Sumber: https://images.app.goo.gl/eqhdZEjVNPwcwch1A

2) Mewarnai gambar
Permainan ini juga melatih motorik halus anak dan meningkatkan
kreatifitas anak. Sediakan kertas bergambar dan krayon/spidol
warna, kemudian berikan kertas bergambar tersebut kepada anak
dan minta anak untuk mewarnai gambar dengan warna yang
sesuai, ingatkan anak untuk mewarnai didalam garis.

Sumber: http://waspada.co.id

38
3) Menyusun puzzle
Siapkan gambar puzzle yang akan disusun anak, upayakan
pemilihan gambar puzzle yang tidak asing bagi anak-anak.
Pisahkan terlebih dahulu puzzlenya kemudian minta anak untuk
menyusun kembali gambar tersebut. Ajak/buat kompetisi dalam
permainan ini yaitu siapa yang duluan selesai menyusun puzzle,
anak tersebut sebagai pemenangnya. Beri semangat juga bagi
teman lain yang belum menyelesaikan puzzlenya.

Sumber: https://images.app.goo.gl/4pPxMayAvyfEE5vy7

4) Menggambar bebas
Sediakan kertas kosong dan pensil atau krayon/spidol warna, lalu
berikan kepada anak dan minta anak menggambar diatas kertas
tersebut. Kemudian minta anak menceritakan gambar yang telah
dibuatnya. Beri stimulus dalam memulai menggambar seperti beri
ide membuat gambar mobil, gambar binatang atau menggambar
pemandangan.

39
Sumber: https://erde-matabaru/2013/08/menggambar.html

5) Bercerita
Permainan ini ditujukan untuk anak usia 10-12 tahun. Permainan
ini dimulai dengan memberi kesempatan kepada anak untuk
membaca sebuah cerita/dongeng (cerita/dongeng bisa kita
siapkan sebelumnya dalam majalah atau buku cerita). Setelah itu
minta anak menceritakan kembali apa yang telah dibacanya. Beri
tanggapan terhadap isi cerita yang disampaikan anak, seperti
“wah hebat ya anak kancilnya”. Kemudian beri tepuk tangan
setelah anak selesai menceritakan apa yang telah dibacanya.

Sumber: https://app.goo.gl/DTKpNQ9Y54Zb8hK5A

40
6) Meniup balon
Permainan ini sangat baik sekali untuk anak-anak, selain untuk
bermain juga melatih pernafasan anak. Berikan balon bermotif
kepada anak kemudian minta anak untuk meniup balon tersebut
hingga besar. Hal yang perlu diperhatikan adalah pantau anak
dan balonnya, jangan sampai balonnya meletus atau anak
memaksakan untuk meniup balon sedangkan kondisi anak sudah
kelelahan.

Sumber: https://images.app.goo.gl/rbmPAehtt9MZBRWu8

Menurut Yuliastati (2016), jenis permainan berdasarkan kelompok usia


terbagi atas:
a. Anak usia bayi → sense of pleasure play
1) 0–3 bulan :
a) Interaksi yang menyenangkan antara bayi dan orang tua dengan
orang dewasa di sekitarnya.
b) Ciri khas : perasaan senang
c) Alat yang biasa digunakan : gantungan berwarna terang dengan
musik yang menarik (stimulasi pendengaran).

41
2) 3–6 bulan :
Stimulasi penglihatan dengan menonton TV, mainan warna terang,
mudah dipegang, misal cermin di depan bayi.
a) Stimulasi pendengaran : dibiasakan memanggil nama,
menggulang suara yang dikelaurkan, meletakkan mainan yang
berbunyi di dekat anak.
b) Stimulasi taktil : beri mainan yang dapat dipegang, lembut dan
lentur. Saat mandi anak dibiarkan bermain air.
3) 7-9 bulan :
a) Stimulasi penglihatan : mainan berwarna terang, kertas, alat tulis.
Biarkan mencoret sesuai dengan keinginan.
b) Stimulasi pendengaran : diberikan boneka bunyi, mainan yang
dapat dipegang dan berbunyi saat digerakkan.
c) Alat permainan yang biasa diberikan : buku dengan warna terang,
d) mencolok, gelas dan sendok yang tidak pecah, bola yang besar,
boneka, mainan yang didorong.
b. Anak usia toddler (1-3 tahun)
1) Anak banyak bergerak, tidak bisa diam, mengimbangi otonomi dan
kemampuan untuk mandiri.
2) Anak ingin tahu yang besar sehingga anak sering bongkar pasang.
3) Jenis mainan yang tepat = solitary & paralel play (1 – 2 th : solitary
play, 2 – 3 th : paralel play)
4) Jenis mainan yang diberikan : boneka, kereta api, truk, sepeda roda
tiga, alat masak, alat menggambar, bola, pasir, tanah liat, lilin warna
warni.
c. Usia pra sekolah (3-6 tahun)
1) Anak lebih aktif dan kreatif, imajinatif, kemampuan bicara dan
hubungan sosial lebih tinggi.
2) Jenis permainan : associative, dramatic, skil play
3) Jenis mainan yang diberikan : mobil-mobilan, alat olahraga,berenang,
permainan balok besar.

42
4) Anak mampu memainkan peran : drama.
d. Usia sekolah (6-12 tahun)
1) Mampu bekerjasama : pergaulan untuk mengenal norma baik-buruk
2) Anak mengembangkan kemampuannya untuk bersaing secara sehat.
3) Karakteristik bermain untuk laki-laki diberikan mainan jenis mekanik
sehingga kreatif berkreasi, misal : mobil-mobilan.
4) Pada wanita untuk mengembangkan perasaan, pemikiran, sikap
dalam menjalankan peran sebagai wanita, misal : alat masak.
e. Anak Usia remaja (13–18 tahun)
1) Anak remaja berada dalam suatu fase peralihan. Di satu sisi akan
meninggalkan masa kanak-kanak dan di sisi lain masuk pada usia
dewasa dan bertindak sebagai individu sehingga akan mengalami
krisis identitas dan bila tdk sukses melewatinya akan mencari
kompensasi pada hal yang berbahaya, misal : mengkonsumsi obat-
obat terlarang, minumam keras dan/atau seks bebas.
2) Prinsip perrmainan bagi anak remaja yaitu tidak hanya sekedar
mencari kesenangan dan meningaktkan perkembangan
fisioemosional, tetapi juga lebih ke arah menyalurkan minat, bakat,
dan aspirasi serta membantu remaja untuk menemukan identitas
pribadinya.
3) Peran orang tua yaitu mengkomunikasikan/memberitahu anak untuk
mengisi kegiatan yang konstruktif, misal : melakukan permainan
dengan olahraga, turut serta dalam kegiatan oranganisasi remaja
yang positif seperti karang taruna, kelompok bola basket, sepak bola.

H. Permainan Edukatif
Menurut Heri Saputro dan Intan Fazrin (2017), permainan edukatif
adalah suatu kegiatan menggunakan teknik bermain dengan tujuan mendidik
atau memasukkan suatu pengertian atau pemahaman kepada anak.
Permainan edukatif sangat bermanfaat untuk meningkatkan keterampilan
anak dalam berbagai bidang, keterampilan berbahasa, keterampilan motorik

43
kasar dan halus serta keterampilan personal sosial. Selain itu, permainan
edukatif juga bermanfaat untuk mengembangkan kepribadian anak,
mendekatkan hubungan orang tua/keluarga terhadap anak serta
menyalurkan bakat dan ekspresi anak.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam memilih permainan
edukatif pada anak meliputi:
1. Mainan tersebut sesuai dengan usia anak tersebut. Memampuan kognitif
dan memahami masing-masing usia anak berbeda-beda, jadi sebaiknya
pilih dan tentukan permainan yang sesuai dengan usia anak sat itu.
2. Permainan yang multifungsi. Permainan multifungsi ini bertujuan
menstimulasi anak agar lebih kreatif dan mengembangkan imajinasinya
terhadap suatu benda.
3. Melatih anak dalam memecahkan sebuah masalah. Dalam bermain anak
sering mengalami kesulitan dan hambatan, sebaiknya orang tua
memotivasi anak agar mau berusaha dan orang tua hanya membantu
untuk menstimulasi, tidak membantu anak bermain secara keseluruhan.
4. Melatih konsep konsep dasar. Melalui permainan edukatif, anak diajarkan
untuk mengembangkan kemampuan dasarnya seperti mengenal bentuk,
warna, besaran dan juga melatih motorik halusnya.
5. Melatih ketelitian dan ketekunan anak. anak-anak sering mengalami
kebosanan dan keputusasaan apabila tidak dapat mengerjakan atau
menyelesaikan suatu permainan, dalam hal ini anak dilatih untuk
bersabar, lebih tenang agar permainan dapat terselesaikan.
Permainan edukatif sangat tepat dilakukan di rumah sakit, dengan
memasukkan pemahaman anak terhadap alat-alat, peraturan dan tindakan
agar anak dapat kooperatif dalam mengikuti prosedur selama perawatan
anak.
1. Bermain bahasa
Petugas atau orang tua mengajarkan anak tentang hal–hal yang ada di
rumah sakit, seperti menyebutkan kata kerja yang ada di rumah sakit,
menyebutkan peralatan-peralatan yang sering digunakan dalam

44
perawatan dan pengobatan. Pengenalan peralatan ini bisa dengan
gambar bercerita atau petugas bercerita dengan menggunakan peralatan
seperti spuit, tensimeter, stetoskop dan anak boleh memegang benda
tersebut selama dalam pemantauan petugas. Selain itu, anak juga
diminta untuk mengekspresikan perasaannnya, bisa dengan tulisan atau
menggambar. Contohnya meminta anak untuk menuliskan hal-hal yang
disukai dan tidak disukai selama perawatan, meminta anak
menggambarkan anggota tubuh yang sakit.
2. Permainan ilmiah
Permainan ilmiah ditujukan untuk menambah pengetahuan anak tentang
kegiatan yang terjadi di rumah sakit agar anak bisa lebih paham dan
kooperatif. Permainan ini bisa tentang menjelaskan anggota tubuh yang
sakit, menggambar anggota tubuh yang sakit atau terpasang infus,
menjelaskan tentang pentingnya nutrisi untuk tubuh dan alasan mengapa
anak sakit harus makan, menjelaskan cara kerja obat minum, obat suntik,
pemasangan gips serta menjelaskan berapa lama waktu yang diperlukan
untuk penyembuhan.
3. Permainan matematika
Gunakan materi rumah sakit untuk mendiskusikan sistem metrik dan
membuat anak semakin mengenal berat, panjang dan volume badan,
misalnya menimbang berat, mengukur tinggi badan sendiri. Situasi rumah
sakit juga dapat didiskusikan kepada anak seperti jam jaga perawat
dengan jumlah perawat yang ada dalam satu hari.
4. Permainan ilmu sosial
Ajak anak bermain dengan melihat pekerjaan di rumah sakit, tugas dan
fungsinya sebagai apa saja, membutuhkan pendidikan seperti apa saja
(ini berlaku untuk anak yang lebih besar usianya).
5. Permainan geografi
Ajak anak menggambar peta ruangan rumah sakit, arah ke WC, arah ke
ruang jaga perawat, menggambar apa yang dilihat anak diluar jendela,
pohon, rumput, lampu taman.

45
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Adapun kesimpulan dari makalah ini adalah:
1. Bermain merupakan kegiatan yang dilakukan anak untuk mengatasi
berbagai macam perasaan yang tidak menyenangkan dalam dirinya.
Dengan bermain anak akan mendapatkan kegembiraan dan kepuasan.
2. Teori bermain dibedakan menjadi 2 macam, yaitu teori bermain klasik
(teori rekreasi/pelepasan, teori teleologi/pembawaan, teori sublimasi,
rekapitulasi/evolusi/reinkarnasi, teori surplus energi dan teori C. Bühler)
dan teori bermain modern (teori psikoanalisa, teori kognitif, teori belajar
sosial dan teori kompensasi).
3. Tujuan bermain pada anak adalah untuk perkembangan kognitif,
perkembangan sosial dan emosional, perkembangan bahasa,
perkembangan fisik (jasmani) dan perkembangan pengenalan huruf
(literacy).
4. Fungsi utama bermain adalah merangsang perkembangan sensorik-
motorik, perkembangan intelektual, perkembangan social, perkembangan
kreatifitas, perkembangan kesadaran diri, perkembangan moral dan
bermain sebagai terapi.
5. Prinsip-prinsip dalam aktivitas bermain adalah permainan tidak banyak
menggunakan energi, waktu bermain lebih singkat untuk menghindari
kelelahan dan alat-alat permainannya lebih sederhana, mainan harus
relatif aman dan terhindar dari infeksi silang, sesuai dengan kelompok
usia, tidak bertentangan dengan terapi dan perlu keterlibatan orangtua
dan keluarga.
6. Menurut Green (2010), terdapat tiga faktor yang mempengaruhi
pelaksanaan terapi bermain di rumah sakit yaitu faktor predisposisi, faktor
pendukung dan faktor pendorong. Menurut Maria Sulanti (2011), ada 5
faktor yang mempengaruhi aktivitas bermain pada anak yaitu tahap
pertumbuhan dan perkembangan anak, status kesehatan anak, jenis

46
kelamin anak, lingkungan yang mendukung, serta alat dan jenis
permainan yang cocok atau sesuai bagi anak. Menurut Heri Saputro dan
Intan Fazrin (2017), hal-hal yang perlu diperhatikan dalam bermain
adalah ekstra energi, waktu, alat permainan, ruangan untuk bermain,
pengetahuan cara bermain dan teman bermain.
7. Klasifikasi bermain pada anak dibagi berdasarkan isi permainan (social
affective play, sense of pleasure play, skill play, games atau permainan,
unoccupied behavior dan dramatic play), berdasarkan karakter sosial
(onlooker play, solitary play, parallel play, assosiatif play, cooperative play
dan therapeutic play), berdasarkan kelompok usia anak (usia bayi, usia
toddler, usia pra sekolah, usia sekolah dan usia remaja).
8. Permainan edukatif adalah suatu kegiatan menggunakan teknik bermain
dengan tujuan mendidik atau memasukkan suatu pengertian atau
pemahaman kepada anak.

B. Saran
Saran dari penelitian ini bagi profesi keperawatan khususnya bidang
keperawatan anak agar dapat menjadikan terapi bermain sebagai sumber
materi pembelajaran untuk membantu mengurangi kecemasan anak selama
menjalani hospitalisasi. Bagi rumah sakit khususnya kepala ruangan anak
agar dapat menerapkan terapi bermain sebagai salah satu alternatif yang
mudah dan aman digunakan bagi anak untuk mengurangi kecemasan anak
selama menjalani hospitalisasi. Bagi orang tua, diharapkan dapat
memberikan informasi tentang gambaran kecemasan anak selama menjalani
hospitalisasi dan salah satu alternatif permainan yang aman digunakan bagi
anak selama menjalani hospitalisasi. Bagi pemakalah, selanjutnya
diharapkan dapat memperdalam lagi konsep bermain dalam rangka
mengurangi kecemasan anak selama menjalani hospitalisasi.

47
DAFTAR PUSTAKA

Adriana, Dian. 2011. Tumbuh Kembang dan Terapi Bermain Pada Anak. Jakarta:
Salemba Medika.

Alligood, M.R. 2014. Nursing Theoristand Their Work, 8th Edition. Mosby: Elsevier.

Bukhari, Al Jami’ Al Shokih Al Bukhari, Bairut : Dar Al Kutub Al Ilmiyah, 2010. Jakarta:
Maghfirah Pustaka.

Campbell, M., & Knoetze. 2018. Repetitive symbolic play as a therapeutic process in
child-centered play therapy. International Journal of Play Therapy, Vol 19, 222-234.

Christian, K. M., Russ, S., & Short, E. J. (2017). Pretend play processes and anxiety:
Considerations for the play therapist. International Journal of Play Therapy, 20, 179–
192. http://dx.doi.org/10.1037/a0025324.

Desmita. 2015. Psikologi Perkembangan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Offset.

Fadlillah. M, dkk. 2014. Pendidikan Anak Usia Dini. Jakarta: Kencana Prenadamedia
Group.

Handayani, Rahmawati Dewi dan Ni Putu Dewi Puspitasari. 2017. Pengaruh Terapi
Bermain Terhadap Tingkat Kooperatif Selama Menjalani Perawatan Pada Anak Usia
Pra Sekolah (3 – 5 Tahun) Di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta. Staf pengajar
STIKES Surya Global Yogyakarta Alumnus Ilmu Keperawatan STIKES Surya Global
Yogyakarta: Jurnal.

Imam, Saeful. 2018. Prosedur Medis Agar Anak Tidak Lagi Menangis. Jakarta:
Rineka Cipta.

Indrawaty, Lina dkk. 2017. Pengaruh Pemberian Terapi Aktivitas Bermain Terhadap
Tingkat Kecemasan Anak Usia Toddler Akibat Hospitalisasi Di Ruang Rawat Inap
Anak RSUD Kota Bekasi Tahun 2017. Mahasiswa Program Studi S1 Ilmu
Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu Keperawatan Medistra Indonesia Bekasi: Jurnal.

48
Martin. 2018. Bermain Sebagai Media Terapi. Jakarta: Buana Printing.

Nurcahyo, Fathan. 2017. Teori Bermain. Fakultas Ilmu Kedokteran Universitas


Negeri Yogyakarta: Jurnal.

Patel., Ravindra, & Suresh. 2018. Study to assess the effectiveness of play therapy
on anxiety among hospitalized children. IOSR Journal of Nursing and Health
Science, 5 17-23.

Rafati, Fateme Shah. 2018. Effectiveness of Group Play Therapy on the


Communication of 5-8 Years Old Children With High Functioning Autism. Pediatric
Neurorehabilitation Research Center, Department of Psychology and Exceptional
Children Education, University of Social Welfare and Rehabilitation Sciences, Vol. 17
Num. 3.

Saputro, Heri dan Intan Fazrin. 2017. Anak Sakit Wajib Bermain di Rumah Sakit:
Penerapan Terapi Bermain Anak Sakit; Proses, Manfaat dan Pelaksanaannya.
Ponorogo: Forum Ilmiah kesehatan (FORIKES).

Saputro, Heri dan Intan Fazrin. Penurunan Tingkat Kecemasan Anak Akibat
Hospitalisasi dengan Penerapan Terapi Bermain. Jurnal Konseling Indonesia;
2017;3(1):9–12(online),(http://ejournal.unikama.ac.id/index.php/JKI,diakses Oktober
2017).

Soetjiningsih, 2013. Tumbuh Kembang Anak. Jakarta: EGC.

Sufyanti, Yuni dkk. 2017. Efektivitas Penurunan Stres Hospitalisasi Anak Dengan
Terapi Bermain. Program Studi S1 Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran
Universitas Airlangga: Jurnal.

Sulanti, Maria. 2011. Konsep Bermain Pada Anak. Jakarta: Salemba Medika.

Supartini, Y. 2014. Konsep Dasar Keperawatan Anak. Jakarta: EGC.

Therese, Karina G. Fernandez and Celine O. Sugay. 2016. Psychodynamic Play


Therapy: A Case of Selective Mutism. International Journal of Play Therapy, Vol. 25,
No. 4, 203–209.

49
Wiyani, N. Andry. 2016. Konsep Dasar PAUD. Yogyakarta: Gava Media.

Wong, D. L. (2009). Buku Ajar Keperawatan Pediatrik (Vol. Volume 1). Jakarta:
EGC.

Yuliastati, Nining dkk. 2016. Keperawatan Anak; Kementerian Kesehatan Repubik


Indonesia. Jakarta: Pusdik SDM Kesehatan.

50

Anda mungkin juga menyukai