Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN KASUS

SNAKE BITE

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat Mengikuti


Program Internship Dokter Indonesia di RS Muhammadiyah Babat

Pembimbing:
dr. Septian Dany Andia

Oleh :
dr. Intan Indah Puspita

RS MUHAMMADIYAH BABAT LAMONGAN


2023
HALAMAN PENGESAHAN

PORTOFOLIO
SNAKE BITE

Telah disetujui pada 21 Juli 2023

Menyetujui
Dokter Pendamping

dr. Septian Dany Andia

ii
DAFTAR ISI
Halaman
JUDUL............................................................................................................i
LEMBAR PENGESAHAN...........................................................................ii
DAFTAR ISI.................................................................................................iii
BAB 1 PENDAHULUAN.............................................................................4
1.1 Latar Belakang................................................................................4
1.2 Definisi............................................................................................5
1.3 Epidemiologi...................................................................................5
1.4 Etiologi............................................................................................6
1.5 Klasifikasi........................................................................................8
1.6 Patogenesis......................................................................................9
1.7 Diagnosis.......................................................................................12
1.8 Penatalaksanaan............................................................................14
BAB 2 TINJAUAN KASUS.......................................................................17
2.1 Identitas Penderita.........................................................................17
2.2 Anamnesis.....................................................................................17
2.3 Pemeriksaan Fisik..........................................................................17
2.4 Pemeriksaan Penunjang.................................................................18
2.5 Diagnosis.......................................................................................19
2.6 Diagnosis Banding........................................................................19
2.7 Planning.........................................................................................19
2.8 Prognosis.......................................................................................19
BAB 3 PEMBAHASAN..............................................................................20
BAB 4 KESIMPULAN...............................................................................22
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................23

iii
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Gigitan ular merupakan salah satu masalah kesehatan yang sering terjadi di
negara tropis dan subtropis. Pada tahun 2009, WHO memasukkan gigitan ular
dalam daftar neglected tropical disease dan sampai sekarang tetap sebagai
masalah kesehatan masyarakat global. Indonesia adalah salah satu negara tropis
terbesar yang memiliki kasus gigitan ular yang cukup tinggi. Terlebih jumlah
masyarakat yang bekerja di bidang aglikultur cukup banyak, yang dikategorikan
sebagai populasi berisiko tinggi. Namun di Indonesia tidak ada laporan
epidemiologi nasional yang tersedia disebabkan oleh karena sistem pelaporan
yang kurang akurat. Data epidemiologi kasus gigitan ular hanya didapatkan dari
laporan rumah sakit.

Permasalahan yang mendasari gigitan ular ini menjadi penyakit yang


terabaikan. Salah satunya karena korban yang kebanyakan berasal dari wilayah
pedesaan masih menggunakan bantuan tabib atau pengobatan tradisional
daripada fasilitas pelayanan kesehatan, sehingga kejadian gigitan ular tidak
tercatat oleh petugas pelayanan kesehatan. Beberapa faktor yang mendorong
masyarakat masih menggunakan metode pengobatan tradisional diantaranya
adalah jarak ke fasilitas pelayanan kesehatan yang menyediakan antivenom, faktor
biaya jika dibandingkan dengan pengobatan tradisional serta faktor paling
berpengaruh adalah faktor keyakinan dan budaya.

Distribusi keracunan dan kematian akibat gigitan ular di dunia sangat


bervariasi. Angka kejadian cenderung rendah pada dataran Eropa, Australia,
Amerika bagian Utara dan cukup tinggi di Sub Afrika Sahara, Asia Utara, dan
South-East Asia. Data yang dikumpulkan, estimasi gigitan ular 135.000 kasus per
tahun dan angka kematian sebesar 5-10%. Data yang terlapor dan ditangani di
UGD kurang lebih 15.000 kasus pertahun dan yang dikonsultasikan ke RECS
Indonesia kurang lebih 750 kasus pertahun.

4
1.2 Definisi
Gigitan ular merupakan kejadian gawat darurat yang disebabkan oleh bisa
atau racun kompleks yang masuk ke dalam tubuh melalui gigitan ular, selain itu
racun dapat disemprotkan ke mata maupun ke mukosa dengan tujuan untuk
pertahanan ular. Bisa ular dapat membunuh mangsa secara cepat dan
menghilangkan fungsi berbagai reseptor sel pada tubuh manusia maupun pada
hewan sehingga dapat menimbulkan disfungsi multi-organ atau multi-sistem.

Komposisi racun ular menunjukkan kompleksitas dan diversitas tinggi, yang


menghasilkan variabel biokimia dan profil toksikologi dan menghasilkan
berbagai macam manifestasi klinis. Gigitan ular berbisa dapat mengakibatkan
keadaan yang berat hingga dapat menyebabkan kematian. Sehingga gigitan ular
memerlukan penanganan yang akurat dan cepat untuk meminimalisir gejala.

Beberapa toksin dalam bisa ular memicu kerusakan jaringan lokal,


sedangkan yang lain menyebabkan efek sistemik, seperti neurotoksiksitas
(paralisis pernapasan), perdarahan, rhabdomiolisis (kerusakan serat otot),
hiperaktif otonom, atau trombosis.

1.3 Epidemiologi
Kasus gigitan ular di Asia Tenggara belum terdata dengan baik karena lebih
banyak ditangani secara tradisional. Pada tahun 2008, diperkirakan 237.379-
1.184.550 kasus gigitan ular, dengan kasus kematian 15.385-57.636 (1,3%-
4,86%) di daerah Asia Pasifik. Di Asia Selatan memiliki kematian akibat gigitan
ular paling tinggi dengan perkiraan 14.112-33.666 kematian dengan 0,912-2,175
(0,0027%- 0,0064%) kematian/100.000/ tahun. Berdasarkan jumlah ini, 12-50%
kasus gigitan ular terjadi di Asia.1 Laki-laki umumnya lebih sering terkena
dibanding perempuan, kecuali pada tempat pekerjaan yang didominasi perempuan
seperti perkebunan kopi dan teh. Usia puncak terkena adalah usia anak dan
dewasa muda dengan puncak case fatality pada usia dewasa muda dan tua.5

Ular berbisa di wilayah Asia Tenggara sangat beragam jenisnya. Spesies


ular yang terdistribusi secara luas dan mempunyai kaitan utama dengan kesehatan,
seperti Russell’s vipers (Daboia spp.), King cobra, Trimeresurus spp.,
Caloselesma rhodostoma. Estimasi dari Chippaux (2011) adalah 60 kasus per-

5
100.000 orang, hampir sama dengan yang dicatat oleh Maharani (2021) yakni
135.000 per tahun, dengan penduduk Indonesia yang berjumlah 273 juta orang
(2020) atau setara dengan 50 kasus per-100.000 orang. Angka 135.000 adalah
estimasi data dari laporan yang dikumpulkan oleh Indonesia Toxinologi Society
(BPOM, 2017). Insiden terbanyak kasus gigitan ular adalah oleh suku Elapidae
dengan kematian terbanyak pada kasus gigitan King kobra yang dialami oleh
pemelihara ular dan pemain atraksi ular 2

Klasifikasi WHO mengenai ular berbisa yang penting di Asia Tenggara


adalah Elapidae contoh kobra dan Bungarus fasciatus yang ada di Sumatera, Jawa
dan Borneo di Indonesia. Dan jenis ular berikutnya adalah Viperidae yang
memilikigigi taring yang cukup tajam. Jenis ular di Indonesia bagian Barat hanya
5% yang berbisa seperti kobra jawa, ular welang (Bungarus), ular hijau.
Sedangkan di Indonesia Timur seperti Papua dan Maluku 90% merupakan ular
berbisa yang menyerang sel saraf.1

1.4 Etiologi

Ular tersebar secara luas di seluruh dunia, mulai dari dataran rendah hingga
tinggi. Ular bersifat ektoterm dimana panas tubuh ular berasal dari lingkungannya.
Saat siang hari ular seringkali ditemukan ditempat yang sejuk agar terlindung dari
sinar matahari secara langsung. Sementara pada malam hari, ular cenderung
menghangatkan diri dibalik bebatuan atau benda hangat lainya. Karena sifat ular
yang ektoterm, populasi ular lebih banyak ditemukan di wilayah tropis, termasuk
Indonesia.11
Terdapat sekitar 2500 – 3000 spesies ular tersebar di Dunia, dimana 320 -
500 spesies diantaranya adalah ular berbisa. Belum terdapat aturan baku dalam
membedakan ular berbisa dan tidak berbisa, namun secara fisik terdapat beberapa
perbedaan yaitu, ular berbisa cenderung memiliki bentuk kepala tringaular yang
lebih dominan daripada bentuk badan, leher kecil, pupil mata lonjong, lubang
sensor panas antara hidung dan mata, dua buah taring panjang, dan sirip tunggal
dibagian ekor atau anal plate. Sementara, ular tidak berbisa cenderung memiliki
bentuk kepala yang lonjong, pupil mata bulat, tanpa sensor panas, tidak memili
dua taring panjang, serta memilik dua baris sirip di bagian ekor atau anal plate.11

6
Gambar Perbedaan Ular berbisa dan tidak berbisa

Sebagian besar ular berbisa berasal dari tiga famili yaitu, Viperidae (ular
tanah, bandotan, dan viper), Elapidae (ular weling, kobra, welang, king kobra,
dan cabe), dan, Hydrophidae.(ular laut kepala kura kura dan hyrdrophis spp).
Dimana, sekitar 95% kasus gigitan berasal dari famili Viperidae.

Gambar Contoh family Viperida, Elapidae, dan Hydrophidae

Di Indonesia, terdapat sekitar 348 jenis spesies ular dengan 76 spesies diantaranya
tergolong ular berbisa dengan persebaran yang dibagi dalam dua kelompok berdasarkan
karakteristik biogeografikal. Kelompok pertama merupakan semua spesies ular dengan
kemiripan spesies asal wilayah Asia yang tersebar di sebalah barat garis Wallace
(Sumatra, Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi). Sementara kelompok kedua memiliki
kemiripan dengan spesies ular berbisa wilayah Australia – Papua yang tersebar di
sebelah timur garis Wallace (Papua dan Maluku).1
World Health Organizatin (WHO) membagi spesies ular berbisa menjadi dua
kategori berdasarkan kepentingan klinis. Kategori pertama merupakan kelompok ular
berbisa yang tersebar luas dan mengakibatkan angka kesakitan, kecacatan, dan kematian

7
yang tinggi. Kemudian, kategori dua adalah kelompok ular berbisa yang mengakibatkan
angka kesakitan, kecacatan, dan kematian yang tinggi, namun berdasarkan epidemiologi
jarang terjadi karena habitat dan prilakunya jauh dari populasi manusia.11

Tabel 1. Persebaran spesies Ular berbisa di Wilayah Indonesia

Gambar Ular kategori 1 wilayah barat garis Wallace

8
Gambar Ular kategori 1 wilayah timur garis Wallace
1.5 Patogenesis

Komposisi bisa ular 90% adalah protein. Setiap bisa ular dapat mengandung
lebih dari 100 protein yang berbeda: enzim (80-90% pada Viperidae dan 25-70%
pada Elapidae), polipeptida toksin non-enzim dan protein non-toksin seperti nerve
growth factor. Bisa ular mengandung enzim hidrolase, hialuronidase dan aktivator
maupun penghambat proses fisiologis seperti kiniogenase. Kebanyakan venom
mengandung amino acid oxidase, phosphomonodan diesterases, 5’-nucleotidase,
DNAase, NAD-nucleosidase, phospholipase A2 and peptidase. Selain protein,
komponen lain yang dapat ditemuk-an dalam bisa ular adalah lemak, polisakarida,
riboflavin, histamin dan serotonin.
1. Zinc Metalloproteinase Haemorrhagins: memiliki efek menghancurkan
endotel vaskular, menyebabkan perdarahan.
2. Enzim prokoagulan: Bisa ular Vipiridae dan beberapa Elapidae dan Clubridae
memiliki protease serin dan enzim prokoagulan lain yang memiliki struktur
seperti trombin yang mengaktivasi faktor X, protrombin dan faktor pembekuan
lain. Enzim ini menstimulasi pembekuan darah dengan pembentukan fibrin
pada aliran darah. Secara paradoks, proses ini berujung pada ketidakmampuan
darah berkoagulasi karena banyak fibrin yang dihasilkan langsung diurai oleh
plasmin tubuh dan kadangkadang dalam 30 menit dari gigitan, kadar faktor
pembekuan sangat menurun (koagulopati konsumtif) menyebabkan darah tidak
akan membeku. Beberapa bisa ular juga memiliki faktor antihemostatik. Bisa
Uar Viper Russel memiliki toksin yang mengaktivasi faktor V, X, IX dan XII,
fibrinolisi, Protein C, agregasi trombosit, antikoagulasi dan perdarahan.2
3. Phospolipase A2 (lechitinase): merupakan enzim yang banyak dipelajari pada
bisa ular. Enzim ini menghancurkan mitokondria, sel darah merah, leukosit,

9
trombosit, akhiran serabut saraf, otot lurik, endotel vaskular dan membran lain.
Enzim ini menghasilkan aktivitas neurotoksin presinaptik, efek sedasi seperti
opiat yang akan menyebabkan pelepasan histamin dan zat antikoagulan.2
4. Asetilkolinesterase: ditemukan pada bisa Elapidae, enzim ini memberikan
efek neurotoksitas.2
5. Hialuronidase: memberikan efek penyebaran bisa pada jaringan. Enzim ini
termasuk enzim proteolitik (metaloproteinase, endopeptidase atau hidrolase)
dan sitotoksin polipeptida (kardiotoksin) yang akan meningkatkan
permeabilitas vaskular yang berakibat edema, pembentukan bula dan nekrosis
tempat gigitan.
Bisa ular juga mengandung neurotoksik dengan cara kerja: 1) Post sinaps; α-
bungarotoksin dan cobrotoksin, yang terdiri dari 60-74 asam amino, toksin ini
terikat ke reseptor asetilkolin pada motor end plate. 2) Presinaptik;
βbungarotoksin, crotoksin dan taipoksin, mengandung 120-140 asam amino dan
subunit fosfolipase Toksin ini mengeluarkan asetilkolin pada akhiran syaraf pada
neuromuscular junction dan merusak akhiran saraf dan mencegah pengeluaran
neurotransmitter berikutnya. Golongan Viperidae terdiri dari beberapa jenis yang
hidup di daerah Asia Tenggara seperti Russell’s viper (Daboia spp), Malayan pit
viper (Calloselasma rhodostoma), dan green pit viper (Cryptelytrops albolabris
dan C macrops/ Trimeresurus spp). Bisa Russell’s viper mengaktivasi faktor V dan
X serta dapat menyebabkan disseminated intravascular coagulation (DIC). Bisa
Calloselasma spp dan Trimeresurus spp memiliki efek thrombin-like yang
menyebabkan hipofibrinogenemia, trombositopenia, dan hiper-fibrinolisis2
Daya toksik bisa ular yang telah diketahui ada beberapa macam :
1. Bisa ular yang bersifat racun terhadap darah (hematoxic), Bisa ular yang
bersifat racun terhadap darah, yaitu bisa ular yang menyerang dan
merusak (menghancurkan) sel-sel darah merah dengan jalan
menghancurkan stroma lecethine (dinding sel darah merah), sehingga sel
darah menjadi hancur dan larut (hemolysin) dan keluar menembus
pembuluh-pembuluh darah, mengakibatkan timbulnya perdarahan pada
selaput tipis (lender) pada mulut, hidung, tenggorokan, dan lain-lain.
2. Bisa ular yang bersifat saraf (Neurotoxic), yaitu bisa ular yang merusak
dan melumpuhkan jaringan-jaringan sel saraf sekitar luka gigitan yang

10
menyebabkan jaringan-jaringan sel saraf tersebut mati dengan tanda-
tanda kulit sekitar luka gigitan tampak kebiru-biruan dan hitam
(nekrotis). Penyebaran dan peracunan selanjutnya mempengaruhi
susunan saraf pusat dengan jalan melumpuhkan susunan saraf pusat,
seperti saraf pernafasan dan jantung. Penyebaran bisa ular keseluruh
tubuh, ialah melalui pembuluh limfe.
3. Bisa ular yang bersifat Myotoksin, Mengakibatkan rabdomiolisis yang
sering berhubungan dengan maemotoksin. Myoglobulinuria yang
menyebabkan kerusakan ginjal dan hiperkalemia akibat kerusakan sel-sel
otot.
4. Bisa ular yang bersifat kardiotoksin, Merusak serat-serat otot jantung
yang menimbulkan kerusakan otot jantung.
5. Bisa ular yang bersifat cytotoksin, Dengan melepaskan histamin dan zat
vasoaktifamin lainnya berakibat terganggunya kardiovaskuler.2

6. Bisa ular yang bersifat cytolitik, Zat ini yang aktif menyebabkan
peradangan dan nekrose di jaringan pada tempat gigitan.6

1.6 Klasifikasi
Derajat berat kasus gigitan ular berbisa umumnya dibagi dalam 4 skala,
yaitu derajat 1 (minor) : tidak ada gejala, derajat 2 (moderate) : gejala lokal,
derajat 3 (severe) : gejala berkembang ke daerah regional, derajat 4 (major) :
gejala sistemik. Pada umumnya gejala yang ditimbulkan oleh bisa ular terjadi
dalam 2-6 jam setelah gigitan. Infark serebri sering terjadi karena gigitan ular dari
famili Crotalidae/ Viperidae, terjadi dalam waktu 7 jam sampai 1 minggu setelah
gigitan.7

Famili Viperidae Famili Elapidae

Derajat Derajat Gejala dan tanda Derajat Derajat Gejala dan tanda

1 Minor Terdapat tanda bekas 0 Minor Riwayat digigit ular,


gigitan/taring, tidak pembengkakan lokal
ada edem, tidak nyeri, dengan tanda
tidak ada gejala guratan, tidak ada
sistemik, tidak ada

11
koagulopati gangguan neurologis
2 Moderate Terdapat tanda bekas 1 Moderate Derajat 0 ditambah
gigitan/taring, edem gejala neurologis
local, tidak ada gejala atau disertai eforia,
sistemik, tidak ada mual, muntah,
koagulopati
parestesia, ptosis,
kelemahan otot,
paralisis, sesak
3 Severe Terdapat tanda 2 Severe Gejala pada derajat 1
bekas gigitan, edem ditambah paralisis
regional (2 segmen otot pernapasan
dari ekstremitas), dalam 36 jam
nyeri yang tidak pertama
teratasi oleh
analgesik, tidak ada
tanda sistemik,
teradapat tanda
koagulopati.
4 Major Terdapat tanda
bekas gigitan , edem
yang luas terdapat
tanda sistemik
(muntah, sakit
kepala, nyeri pada
perut dan dada,
syok), trombosis
sistemik

1.7 Diagnosis

Diagnosis definitif gigitan ular berbisa ditegakkan berdasarkan identifikasi


ular yang menggigit dan adanya manifestasi klinis. Ular yang menggigit sebaiknya
dibawa dalam keadaan hidup atau mati, baik sebagian atau seluruh tubuh ular.
Perlu juga dibedakan apakah gigitan berasal dari ular yang tidak berbisa atau
binatang lain, dari pemeriksaan fisik pada luka gigitan yang ditinggalkan. Bila
tidak dapat mengidentifikasi ular yang menggigit, manifetasi klinis menjadi hal
yang utama dalam menegakkan diagnosis.7

1. Manifestasi klinis

Efek toksik bisa ular saat menggigit tergantung spesies, ukuran ular,
jenis kelamin, usia, dan efisiensi mekanik gigitan seperti apakah hanya satu

12
atau kedua taring menusuk kulit, serta banyaknya serangan yang terjadi.
Secara umum, akan timbul gejala lokal dan gejala sistemik pada semua
gigitan ular.5

Tanda dan gejala lain gigitan ular berbisa dapat dibagi ke dalam beberapa
kategori:

1. Efek lokal, antara lain bekas gigitan, nyeri lokal, perdarahan lokal,
bengkak, kebiruan, abses, dan nekrosis. Gejala umum yang dapat timbul
adalah mual, muntah, syok, pingsan, malaise, nyeri perut, hipotensi dan
aritmia jantung.

2. Perdarahan, gigitan oleh famili viperidae atau beberapa elapid Australia

3. dapat menyebabkan perdarahan organ internal, seperti otak atau organ-


organ abdomen. Korban dapat berdarah dari luka gigitan atau berdarah
spontan dari mulut atau luka yang lama. Perdarahan yang tak terkontrol
dapat menyebabkan syok atau bahkan kematian.

4. Efek sistem saraf, gejala neurologis pada pasien yang terkena gigitan ular
bisa berupa pusing, parastesia, abnormalisasi pada sistem penciuman dan
pengecap, ptosis, oftalmoplegia eksternal, paralisis dari otot-otot wajah
dan otot-otot yang berinervasi dengan saraf kranial, mengeluarkan suara
sengau atau afonia, regurgitasi melalui hidung, susah untuk menelan air
ludah, dan paralisis dari sistem pernapasan.

5. Kematian otot, Menyebabkan nyeri otot dan kencing gelap sampai


kehitaman akibat rhabdomiolisis dan myoglobinuria yang menyebabkan
oliguria serta gagal ginjal pada gigitan ular laut. Pada tes darah terjadi
peningkatan enzym-enzym otot. Pada gigitan ular laut dan Russel’s viper
terjadi urin gelap sampai kehitaman dan gagal ginjal.

6. Mata, semburan bisa ular kobra dan ringhal dapat secara tepat mengenai
mata korban, menghasilkan sakit dan kerusakan, bahkan kebutaan
sementara pada mata.6

Tanda dan gejala khusus pada gigitan family ular :

1. Gigitan Elapidae (ular kobra, ular weling, ular welang, ular sendok, ular

13
anang, ular cabai, coral snakes, mambas, kraits). Cirinya: Semburan kobra
pada mata dapat menimbulkan rasa sakit yang berdenyut, kaku pada
kelopak mata, bengkak di sekitar mulut. Gambaran sakit yang berat,
melepuh, dan kulit yang rusak. 15 menit setelah digigit ular muncul gejala
sistemik. 10 jam muncul paralisis urat-urat di wajah, bibir, lidah,
tenggorokan, sehingga sukar bicara, susah menelan, otot lemas, kelopak
mata menurun, sakit kepala, kulit dingin, muntah, pandangan kabur, mati
rasa di sekitar mulut dan kematian dapat terjadi dalam 24 jam.

2. Gigitan Viperidae (ular tanah, ular hijau, ular bandotan puspo). Cirinya:
Gejala lokal timbul dalam 15 menit, atau setelah beberapa jam berupa
bengkak di dekat gigitan yang menyebar ke seluruh anggota badan. Gejala
sistemik muncul setelah 50 menit atau setelah beberapa jam. Keracunan
berat ditandai dengan pembengkakan di atas siku dan lutut dalam waktu 2
jam atau ditandai dengan perdarahan hebat.

3. Gigitan Hydropiidae (ular laut). Cirinya: Segera timbul sakit kepala, lidah
terasa tebal, berkeringat, dan muntah. Setelah 30 menit sampai beberapa
jam biasanya timbul kaku dan nyeri menyeluruh, dilatasi pupil, spasme
otot rahang, paralisis otot, mioglobulinuria yang ditandai dengan urin
warna coklat gelap (ini penting untuk diagnosis), ginjal rusak, henti
jantung.

4. Gigitan Crotalidae Misalnya ular tanah, ular hijau, ular bandotan puspo,
cirinya: Gejala lokal ditemukan tanda gigitan taring, pembengkakan,
ekimosis, nyeri di daerah gigitan, semua ini indikasi perlunya pemberian
polivalen crotalidae antivenin. Anemia, hipotensi, trombositopeni.6

1.8 Penatalaksanaan

Prinsip penanganan pada korban gigitan ular yaitu menghalangi penyerapan


dan penyebaran bisa ular, menetralkan bisa, dan mengobati komplikasi.
Tatalaksana yang dilakukan terbagi menjadi tata laksana di tempat gigitan atau
tatalaksana awal dan tatalaksana lanjutan di rumah sakit.

1. Penatalaksaan Awal

14
Pertolongan pertama yang harus dihindari adalah es, insisi, suction,
torniquet (memperburuk edema) dan penghangatan. Penanganan pertama
yang direkomendasikan adalah membuat penderita tetap tenang dan
mengurangi kecemasan agar hearth rate terkontrol, kemudian menjaga agar
tempat gigitan berada lebih rendah dari posisi jantung dan imobilisasi bagian
tangan yang terkena gigitan atau membuat bagian tubuh yang kena gigitan
tidak bergerak.

. Posisi imobilisasi adalah posisi yang nyaman dan aman bagi korban
dengan membuat imobilisasi dari splint (dengan kayu, bambu, kardus yang
rigid) atau sling (dengan kain atau selendang). Hal ini dinamakan dengan
Pressure immobilitation (PIT) yang bertujuan untuk menutup aliran darah
limfatik tanpa mengganggu aliran darah menuju keseluruh tubuh kemudian
dapat mengurangi penyebaran dan absorbs racun ular. Setiap gerakan atau
kontraksi otot akan meningkatkan penyerapan atau penyebaran venom. Pada
Elapid sangat dianjurkan melakukan pressure bandage immobilisasi sebagai
penanganan awal. Kemudian rujuk penderita ke fasilitas kesehatan yang tepat.
Pasien harus diawasi dengan ketat dalam minimal 8 jam dari saat gigitan
pertama dengan evaluasi snake bite severity score. Efek bisa ular bergantung
waktu. Penundaan dalam melakukan penanganan awal akan merugikan
penderita dan menimbulkan komplikasi yang ireversibel.2

2. Penatalaksanaan Khusus
Gigitan ular merupakan suatu kejadian kegawatdaruratan medis,
sehingga tanda dan gejala pasien secepatnya harus segara diperoleh agar
penatalaksanaan yang tepat dan sesuai dapat dilakukan. Pasien harus dalam
keadaan tenang untuk meminimalisir tingkat kecemasan, tindakan awal seperti
primary survey yang disarankan oleh Advance trauma life support dengan
mempertahankan airway, breathing, dan circulation. juga mengamati tanda
hemodinamik dan gejala penyebaran bisa.

Tatalaksana selanjutnya setelah membersihkan bagian yang terluka


dengan cairan faal atau air steril dan imobilisasi menggunakan perban katun
atau kasa elastis yang dibalutkan kuat di sekeliling bagian tubuh yang tergigi

15
tetapi ikatan jangan terlalu kencang agar aliran darah tidak terganggu.

a. Tindakan pendukung berupa stabilisasi yang meliputi penatalaksanaan


jalan nafas, penatalaksanaan fungsi pernafasan, sirkulasi, resusitasi perlu
dikakukan bila kondisi klinis korban berupa hipotensi berat dan shock,
shock perdarahan, kelumpuhan saraf pernafasan, kondisi yang tiba-tiba
memburuk akibat terlepasnya penekanan perban, hiperkalemia akibat
rusaknya otot rangka, serta kerusakan ginjal dan komplikasi nekrosis
lokal.

b. Pemberian suntikan antitetanus, atau bila korban pernah mendapatkan


toksoid maka diberikan satu dosis toksoid tetanus.

c. Pemberian suntikan penisilin kristal sebanyak 2 juta unit secara


intramuskuler.

d. Pemberian sedasi atau analgesik untuk menghilangkan rasa takut cepat


mati/ panik. Pilihan analgesik yang boleh diberikan adalah tramadol atau
paracetamol injeksi.

e. Pemberian serum antibisa. Karena bisa ular sebagian besar terdiri atas
protein, maka sifatnya adalah antigenik sehingga dapat dibuat dari serum
kuda.

f. Semua blister dapat diaspirasi tiga kali sehari dan tidak boleh difasciotomi
karena hematotoxin akan menimbulkan perdarahan sampai DIC. Perawatan
Blister sdapat diberikan salep seperti Burnazin

g. Namun jika didapatkan klinis Compartemen sindrom (dengan tek.


intrakompartmen > 40 mmHg) boleh dikerjakan Fasciotomi jika
hematotoksik dapat mereda dengan SABU.4

Terapi spesifik gigtan ular adalah dengan pemberian antibisa ular, suatu
imunoglobulin yang diekstrak dari plasma kuda, keledai maupun domba yang
telah diimunisasi degan pemberian bisa ular. Antibisa ular ada 2 jenis yaitu:

1. Monovalen: antibisa yang menetralkan bisa ular spesies spesifik

2. Polivalen: antibisa yang dapat menetralkan bisa ular dari beberapa spesies
yang sering muncul pada area geografis tertentu.5

16
Antibisa ular yang banyak dikembangkan adalah yang polivalent yang
menetralkan bisa ular jenis neurotoksik Elapidae (Naja kaouthia, O. hannah,
Bungarus candidus, B. fasciatus) and haematotoksik Viperidae (Daboia
siamensis, Calloselasma rhodostoma, Cryptelytrops- Trimeresurusalbolabris).
Indikasi pemberian anti-bisa ular:

1. Abnormalitas hemostasis: terdapat manifestasi perdarahan secara klinis


dan koagulopati (PT dan PTT abnormal, trombosit < 100.000).

2. Tanda neurotoksik (ptosis, optalmoplegia, paralisis).

3. Abnormalitas kardiovaskular (hipotensi, syok, aritmia, EKG abnormal).

4. Gagal ginjal akut: oliguria/ anuria, peningkatan BUN dan kreatinin.

5. Hemoglobinuria/ mioglobinuria; produk urin kecoklatan, nyeri hebat pada


otot.

6. Pembengkakan lokal yang melibatkan lebih dari setengah ekstremitas


yang tergigit dalam 48 jam atau pembengkakan setelah gigitan pada jari.

7. Penambahan bengkak yang cepat, dalam beberapa jam.

8. Pembesaran limfonodi dan nyeri tekan limfonodi yang menjadi drainase


tempat gigitan.6

Pemberian antibisa ular harus sesegera mungkin diberikan. Antibisa ular


dapat berefek setelah beberapa hari atau jika terdapat abnormalitas
hemostasis, dalam 2 minggu atau lebih. Dapat disarankan agar antibisa ular
tetap diberikan selama terdapat gangguan hemostasis. Antibisa ular masih
kontroversi dalam hal efeknya terdapat nekrosis, namun beberapa bukti dapat
menunjukkan bahwa antibisa ular dapat mengurangi nekrosis jika langsung
diberikan dalam beberapa jam pertama setelah gigitan. Anti-bisa ular
diberikan dengan 2 cara yaitu: 1. Kecepatan kurang dari 2 mL per menit
dengan syringe pump. 2. Infus intravena: antibisa ular dilarutkan dalam 200-
500 salin isotonik atau dextrose 5% dan diberikan dengan tetesan yang
konstan dalam 1 jam. Dalam pemberian antibisa ular, perlu selalu disiapkan
epinefrin untuk terapi emergensi apabila terjadi reaksi alergi terhadap antibisa

17
ular.2

18
BAB 2
TINJAUAN KASUS

2.1 Identifikasi Pasien


Nama : Tn. J (RM 285706)
Umur : 63th
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat :
Tanggal pemeriksaan : 14 Juli 2023

2.2 Anamnesis
 Keluhan utama

Jari bengkak
 Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien dating dengan keluhan digigit ular hijau sebesar jari


kelingking sejak pukul 09.30 SMRS pada jari telunjuk kirinya. Pasien
digigit saat membersihkan rumput di sawah. Pasien merasa jari telunjuk
kirinya menjadi bengkak, pasien di observasi selama 1 jam dan didapatkan
bengkak meluas hingga pergelangan tangan, nyeri (+) sesak (-) mual (-)

 Riwayat Penyakit Dahulu : (-)


 Riwayat Penyakit Keluarga : (-)
 Riwayat Sosial :
2.3 Pemeriksaan Fisik
 Keadaan umum : Baik
 GCS : 456
 Vital sign :

TD : 140/70 mmHg

HR : 68x/menit

Suhu : 36,7o
RR : 22x/menit
19
SaO2 : 98% spontan
 Status generalis :
K/L : A/I/C/D -/-/-/-, napas cuping hidung (-)
Thorax : bentuk normal sim
 Cor : S1S2 tunggal, murmur (-), gallop (-)
 Pulmo : rhonki basah nyaring -/-, wheezing -/-
Abdomen :
 Inspeksi : Bentuk normal
 Auskultasi : BU (+) Normal
 Perkusi : Timpani, undulasi (-)
 Palpasi : NT (-) epigastrium, pembesaran/ massa hepar dan
lien (-)
Ekstremitas : akral dingin, CRT >2 detik, edem (+) local manus sinistra digiti II
Genitalia : dalam batas normal

2.4 Pemeriksaan Penunjang


 Laboratorium :
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
Darah Lengkap
Eritrosit 4,12 3-6,5 juta
Haemoglobin 13,9 11,5-18,0 g/dl
Hematrokrit 39,2 35,0-54,0 %
Leukosit 6.400 4-11 ribu
Trombosit 184.000 150-450 ribu
Difcount 0/0/0/78/17/5 3-5/1-2/54-62/25-33/3-7
Gula Darah Acak

GDA 96 <180 mg/dL


Lab Pre OP
BT 2.0 1-3 menit
CT 11.0 5-15 menit
HbSAg - AntiHIV NR - NR NR - NR

 Radiologi (X-ray Thoraks AP)

Kesan : Cor dan Pulmo dalam batas normal

20
2.5 Diagnosis
Snake Bite Digiti II Manus Sinistra
2.6 Diagnosis banding
Insect bite, vulnus punctum
2.7 Planning
 Planning Diagnosis
 DL (Darah Lengkap)
 CXR (Chest X-Ray)
 EKG
 Planning Terapi
 MRS
 Imobilisasi dan wound toilet
 Inf. RL 14 tpm
 Inj. Santagesik 1 amp
 Inj. Tetagam 1 amp
 Inj. Serum anti bisa Ular
 Konsul dr. Sp.Bedah pro Fasciotomi
 Planning monitoring
 Keadaan umum dan keluhan pasien : monitor efek local
 GCS : monitor efek neurologis
 TTV, monitor ada tidaknya perdarahan

2.8 Prognosis
 Quo ad Vitam : dubia ad bonam
 Quo ad Functionam : dubia ad bonam
 Quo ad Sanationam : dubia ad bonam

21
BAB 3
PEMBAHASA
N

Dalam kasus ini, masalah utama yang dirasakan oleh pasien sehingga pasien
dibawa ke rumah sakit adalah jari bengkak. Jari bengkak yang terjadi pada pasien
disebabkan karena gigitan ular saat pasien sedang membersihkan rumput di
sawah. Berdasarkan data anamnesis yang didapatkan mengenai jenis ular dan
bekas gigitas yang terlihat pada pasien, dicurigai bahwa pasien mengalami gigitan
ular berbisa. Bila dilihat dari bentuk ular yang menggigit dan manifestasi klinis
yang timbul, yaitu bisa ular yang bersifat sitotoksik dan ular yang mengigit adalah
famili Viperidae.
Gigitan oleh Viperidae seringkali menimbulkan gejala pada tempat gigitan
berupa nyeri dan bengkak yang dapat terjadi dalam beberapa menit, bisa akan
menjalar ke proksimal, selanjutnya terjadi edem dan ekimosis. Pada kasus berat
dapat timbul bula dan jaringan nekrotik, serta gejala sistemik berupa mual,
muntah, kelemahan otot, gatal sekitar wajah dan kejang. Pasien jarang mengalami
syok, edem generalisata atau aritmia jantung, tetapi perdarahan sering terjadi.
Pada pasien, didapatkan gejala yang sama yakni nyeri dan bengkak di sekitar
gigitan. Tidak ada keluhan sistemik seperti mual, muntah, kelemahan otot, dan
lemas. Saat ini pada pasien digolongkan dalam kasus derajat II atau moderate,
dimana ditemukan terdapat tanda bekas gigitan/taring, edem local, namun tidak
ada gejala sistemik, dan tidak ada koagulopati. Pada pasien denagn kategori
derajat II (sedang) dimana pasien membutuhkan terapi Serum Anti Bisa Ular
(SABU) untuk mencegah kerusakan jaringan lebih lanjut akibat dari toksin bisa
ular yang menyebar dengan cepat, apalagi pada pasien ini tidak dilakukan kontrol
lokal (Imobilisasi ekstremitas). Selain itu pasien juga memerlukan pemantauan
ketat terhadap terjadinya komplikasi sistemik lainnya.
Pada pasien diperlukan pemantauan ketat terhadap tanda vital, perburukan
gejala lokal dan sistemik. Untuk memastikan adanya komplikasi pada sistem lain
perlu dilakukan pemeriksaan fungsi ginjal (ureum/kreatinin), fungsi hati, serta
pemeriksaan urin lengkap. Pemeriksaan ini tidak dilakukan kepada pasien. Hal ini
seharusnya dilakukan kepada pasien karena dapat terjadi perburukan derajat
penyakit seiring dengan kerusakan jaringan yang meluas akibat toksin yang tidak
22
ternetralisir, sehingga gejala seperti gagal ginjal yang ditandai dengan
peningkatan kadar ureum darah dapat dihindari.
Sejak pasien datang, penatalaksanaan awal yang harus dilakukan adalah
wound toilet dan imobilisasi ekstremitas yang terkena untuk mencegah
penyebaran toksin. Jalan napas harus dipastikan bebas. Jalur intravena harus
segera diaplikasikan pada ekstremitas yang tidak terkena gigitan. Pada kasus
derajat 2 (Moderate) seharusnya diberikan SABU (Serum anti bisa ular)
dilarutkan dalam 500 cc Natrium Saline 0,9% dan diberikan dengan kecepatan 40-
80 tetes/menit. Jumlah SABU dapat ditambahkan hingga 20 vial tergantung pada
perburukan gejala. Sebelum pemberian SABU seharusnya dilakukan skin test
terlebih dahulu.
Semua anti bisa ular adalah derivat serum binatang, tersering berasal dari
serum kuda, berupa imunoglobulin yang mengikat secara langsung dan
menetralkan protein dari bisa. Produk hewan ini bila terpapar pada pasien dalam
jumlah besar dapat menyebabkan reaksi hipersensitifitas tipe cepat dan tipe III.
Reaksi akut berupa reaksi anafilaktik dapat terjadi pada 20-25% pasien, bahkan
dapat terjadi kematian karena hipotensi dan bronkospasme. Reaksi tipe lambat
dapat terjadi pada 50-75% pasien dengan gejala serum sickness seperti demam,
ruam yang difus, urtikaria, artralgia, hematuria dan dapat bertahan dalam beberapa
hari. Reaksi yang paling sering terjadi adalah urtikaria, namun efek samping yang
serius jarang terjadi. Pemberian anti bisa ular harus dilakukan di rumah sakit yang
tersedia alat-alat resusitasi. Penggunaan adrenalin, steroid dan antihistamin dapat
mengurangi reaksi yang terjadi akibat anti bisa antara 12,5-30%.
Pada pasien, dilakukan imobilisasi ekstremitas kemudian dilakukan wound
toilet pada luka gigitan. Jalur intravena terpasang dengan IVFD NS 500 cc
ditambah SABU. Selain itu, pasien juga diberikan Santagesik 1 ampul untuk
mengurangi rasa nyeri dan inj tetagam 1 vial sebagai profilaksis awal. Kemudian
pasien dikonsulkan kepada dokter spesialis bedah dan dilakukan Tindakan
fasiotomi karena didapatkan adanya compartment syndrome.

23
BAB 4

KESIMPULAN

Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan ditunjang dengan


pemeriksaan laboratorium serta radiologi, pasien didiagnosis sebagai Snake bite
Digiti II manus sinistra Derajat II (Moderate). Pasien diduga terkena gigitan ualr
yang berasal dari golongan Vipiridae.
Terapi yang diberikan pada pasien imobilisasi dan wound toilet,
pemansangan IV line, pemberian anti nyeri, anti tetanus, dan Serum Anti Bisa
Ular (SABU). Kemudian pasien dilakukan Tindakan debridemen yang dilakukan
oleh tim bedah. Dalam perawatannya di rumah sakit, didapatkan kondisi pasien
semakin membaik dan pasien dapat keluar rumah sakit dengan kondisi yang
membaik.

24
DAFTAR PUSTAKA

1. Afni , Anissa Cindy Nurul dan Fakhrudin Nasrul Sani. “Pertolongan Pertama Dan Penilaian
Keparahan Envenomasi Pada Pasien Gigitan Ular.” Jurnal Kesehatan Kusuma Husada –
Januari 2020.
2. “Buku pedoman : Penanganan Gigitan Sengatan Hewan Berbisa dan Keracunan Tumbuhan dan
Jamur.” Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular, Kementrian
Kesehatan RI, tahun 2023.
3. Dafa , Maula Haqul dan Slamet Suyanto. “Kasus Gigitan Ular Berbisa di Indonesia : Case of
Venomous Snake Bite in Indonesia.” J. Pengabdian Masyarakat MIPA dan Pendidikan
MIPA, Vol: 5 (1), 47-52. 2021 : http://journal.uny.ac.id/index.php/jpmmp.
4. Kumalasari, Debby Chintya. Penatalaksanaan Awal Gigitan Ular di Masyarakat. Literature
Review : Program Studi Diploma III Keperawatan. Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Insan
Cendekia Medika. 2021.
4. “Laporan Kasus : Tata Laksana Pasien Neurotoksik Snake Bite di Perawatan Intensif.” Jurnal
Komplikasi Anestesi. Vol. 2 No. 2, Maret 2015.
5. Medikanto, Alfi Rizky, et al. “Viperidae Snake Bite: Kasus Serial”. Berkala Ilmiah Kedokteran
Duta Wacana. Vol: 02, No: 02, April 2017.
6. Nurhasanah, Laelatul. “Praktek Keperawatan Gawat Darurat : Snake Bite (Gigitan Ular).”
Program Profesi Ners Stikes Faathir Husada Tangerang 2022.
7. Niasari , Nia dan Abdul Latief. “Gigitan Ular Berbisa.” Sari Pediatri, Vol. 5, No. 3, Desember
2003: 92-98.
8. Pratama, Gilang Yoghi dan Oktafany. “Gigitan Ular padaRegio Manus Sinistra.” J Medula
Unila. Vol: 7, No: 1, Januari 2017, 33-37
9. Paramadika, Cokorda Agung, IB Aditya Nugraha dan AA Yuli Gayatri. “Komplikasi Dan
Tatalaksana Snakebite.” Jurnal Medika Hutama. Vol. 03 No. 03, April 2022.
10. Warrel, D.A WHO (SEARO). Guidelines for the clinical management of snake bites in the
Southest Asian region 2nd.

25

Anda mungkin juga menyukai