Anda di halaman 1dari 25

1

Laporan Kasus

SNAKE BITE

Disusun Oleh:

Nama : dr. Juniarto Sihotang

Pembimbing : dr. Benni Sinaga, Sp. B

Pendamping : dr. Feronika L. Tobing

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH TARUTUNG


TARUTUNG
2018
ii

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan laporan kasus ini yang berjudul “Snake
Bite”.

Laporan kasus ini merupakan salah satu syarat yang harus dilaksanakan
dalam menyelesaikan program internship di RSUD Tarutung. Pada kesempatan
ini penulis mengucapkan terimakasih kepada dokter pembimbing, dr. Benni
Sinaga, Sp. B dan dokter pendamping Internship, dr. Feronika L. Tobing, yang
telah meluangkan banyak waktunya dalam memberikan masukan sehingga penulis
dapat menyelesaikan laporan kasus ini.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan laporan


kasus ini, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca demi
perbaikan kedepannya.

Semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat. Akhir kata penulis ucapkan
terimakasih
iii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ……………………………………………………….. ii

DAFTAR ISI……………………………………………………………………. iii

BAB I PENDAHULUAN………..……………………………………………. 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA …………………………………………….. 2

2.1. Epidemiologi ……………………………………………………………. 2

2.2. Klasfikasi….……………………………………………………………… 3

2.3. Patofisiologi……………………………………………………………… 6

2.4. Manifestasi Klinis ……………………………………………………….. 7

2.5. Diagnosis………………………………………………………….……… 9

2.6. Penatalaksanaan…………………………………………………………… 12

2.7. Prognosis…………………………………………………………………. 16

BAB III LAPORAN KASUS…………………………………………………. 17

BAB IV KESIMPULAN………………………………………………………. 21

DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………….. 22
1

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang

Ular berbisa dapat ditemukan hampir di seluruh dunia (termasuk di lautan),


kecuali pada beberapa pulau, lingkungan yang beku dan pada tempat dengan
ketinggian ekstrim. Kasus kematian maupun keracunan akibat gigitan ular,
merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting. Di beberapa lokasi,
penderita gigitan ular mengalami morbiditas dan mortalitas yang cukup tinggi
karena akses terhadap pelayanan kesehatan yang buruk, suboptimal dan pada
waktu tertentu mengalami kesulitan dalam persediaan anti-bisa yang merupakan
satu-satunya terapi spesifik.
Diperkirakan setidaknya 421.000 kasus envenomasi (injeksi bisa terhadap
korban melalui sengatan/ gigitan oleh hewan berbisa) dan 20.000 kematian timbul
setiap tahunnya di seluruh dunia akibat gigitan ular. Sebagian besar perkiraan
kejadian gigitan ular dijumpai di Asia Selatan dan Asia Tenggara, Sub-Sahara
Afrika, Amerika Tengah dan Amerika Selatan
Epidemiologi gigitan ular di Asia Tenggara tidak diteliti secara adekuat dan
data yang dipublikasi, kebanyakan secara eksklusif berdasarkan laporan rumah
sakit kepada Kementerian Kesehatan, seringkali kurang dapat dipercaya dan
menyebabkan kesalahan data. Masalah mendasar yang dijumpai pada kebanyakan
regional Asia adalah pengobatan gigitan ular masih menganut paham tradisional
dan herbal, maka sebagian besar korban gigitan ular tidak tercatat pada rumah
sakit.
Ditemukan jumlah yang cukup besar penderita yang selamat setelah gigitan
ular dengan disabilitas secara fisik yang besar karena nekrosis jaringan dan
disabilitas secara psikis juga memperberat keadaaan. Efeknya cukup besar tetapi
gigitan ular belum mendapatkan perhatian oleh tenaga kesehatan maupun
pemangku kebijakan kesehatan sehingga dapat dikategorikan sebagai penyakit
tropis yang terabaikan.
2

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.Epidemiologi
Diperkirakan sekitar 5 juta kasus gigitan ular terjadi di seluruh dunia setiap
tahunnya, menyebabkan sekitar 125.000 kematian. Gigitan ular lebih umum
terjadi di wilayah tropis dan di daerah dimana pekerjaan utamanya adalah
agrikultural. Di daerah-daerah ini, sejumlah besar orang hidup berdampingan
bersama sejumlah besar ular. Orang-orang yang digigit oleh ular dikarenakan
memegang atau bahkan menyerang ular merupakan penyebab yang signifikan di
Amerika Serikat. Diperkirakan ada 45.000 gigitan ular per tahun di Amerika
Serikat, terbanyak pada musim panas, sekitar 8000 digigit oleh ular berbisa.

Tabel 2.1 Pekerjaan dengan resiko gigitan ular di Asia Tenggara.

Kasus gigitan ular di Asia Tenggara belum terdata dengan baik karena
lebih banyak ditangani secara tradisional. Pada tahun 2008, diperkirakan 237.379-
1.184.550 kasus gigitan ular, dengan kasus kematian 15.385-57.636 (1,3%-
4,86%) di daerah Asia Pasifik. Di Asia Selatan memiliki kematian akibat gigitan
ular paling tinggi dengan perkiraan 14.112-33.666 kematian dengan 0,912-2,175
(0,0027% - 0,0064%) kematian/100.000/ tahun. Berdasarkan jumlah ini, 12-50%
kasus gigitan ular terjadi di Asia.
Laki-laki umumnya lebih sering terkena dibanding perempuan, kecuali
pada tempat pekerjaan yang didominasi perempuan seperti perkebunan kopi dan
teh. Usia puncak terkena adalah usia anak dan dewasa muda dengan puncak case
3

fatality pada usia dewasa muda dan tua. Pada wanita hamil gigitan ular dapat
berisiko pada janin dan ibu karena efek perdarahan dan aborsi. Gigitan ular paling
banyak bertempat di tungkai bawah dan pergelangan kaki para pekerja.
Di Amerika Serikat, 76% korban adalah laki-laki kulit putih. Studi
nasional di Negara tersebut melaporkan angka perbandingan antara laki-laki dan
perempuan adalah 9:1, dengan 50% korban berada pada rentang usia 18-28 tahun.

Gambar 2.1 Perbedaan tampilan fisik ular berbisa dengan yang tidak berbisa

2.2. Klasifikasi

Sekitar 15% dari 3.000 spesies ular yang dijumpai di seluruh dunia
dipertimbangkan berbahaya bagi manusia.. Diagnosis definitif keracunan bisa ular
memerlukan identifikasi dari jenis ular dan manifestasi klinis envenomasi. Pada
penilaian laporan gigitan dari ular berbisa, harus dibedakan gigitan dari ular yang
tidak berbisa atau hewan lain. Perbandingan ular berbisa dan ular tidak berbisa
dapat terlihat pada gambar
4

WHO mengklasifikasi ular berbisa yang penting secara medis pada


regional Asia tenggara yaitu dijumpai tiga famili ular berbisa pada Asia Tenggara
(Elapidae, Viperidae, dan Colubridae):
a. Elapidae: memiliki gigi taring pendek di depan (proteroglyph). Famili ini
meliputi kobra, raja kobra, kraits, ular koral, ular Australia dan ular laut.
Elapidae secara relatif merupakan ular yang cukup panjang, kurus,
memiliki warna seragam dengan sisik simetrikal besar halus pada puncak
kepala. Beberapa kobra, meninggikan bagian depan tubuhnya dari tanah
dan melebar dan merata dari leher untuk membentuk kerudung. Beberapa
spesies kobra dapat meludahkan bisanya hingga 1 meter atau lebih
terhadap mata korbannya.

Gambar 2.2. Tampilan Taring depan Ular Famili Elapidae

b. Viperidae: memiliki gigi taring yang cukup panjang (solenogyph) yang


secara normal terlipat rata terhadap rahang atas, tetapi saat menyerang
akan menjadi tegang. Ada dijumpai dua subfamili, viper tipikal
(Viperinae) dan viper pit (Crotalinae). Crotalinae memiliki organ khusus
untuk mendeteksi korban berdarah panas yang terletak diantara hidung dan
mata. Viperidae merupakan ular yang relatif pendek, bertubuh tebal
5

dengan banyak sisik kasar pada puncak kepala dan pola warna yang khas
pada permukaan dorsal tubuh.

Gambar 2.3. Taring ular Famili Viperidae

c. Colubridae: dua spesies penting yang telah diidentifikasi pada regional


Asia Tenggara adalah Rhabdophis subminiatus berleher merah dan
Rhabdophis triginus. Piton besar (Boidae), merupakan Python reticularis
di Indonesia, pernah dilaporkan menyerang dan menelan manusia, yang
biasanya petani.

Tabel 2.2. Spesies Ular berbisa di daerah Sumatera, Jawa, Kalimantan


6

Tabel 2.3. Spesies ular berbisa di daerah Maluku dan Papua


2.3.Patofisiologi
Bisa ular terdiri dari campuran beberapa polipeptida, enzim dan protein.
Jumlah bisa, efek letal dan komposisinya bervariasi tergantung dari spesies dan
usia ular. Bisa ular bersifat stabil dan resisten terhadap perubahan temperatur.
Secara mikroskop electron dapat terlihat bahwa bisa ular merupakan protein yang
dapat menimbulkan kerusakan pada sel-sel endotel dinding pembuluh darah,
sehingga menyebabkan kerusakan membran plasma. Komponen peptida bisa ular
dapat berikatan dengan reseptor-reseptor yang ada pada tubuh korban. Bradikinin,
serotonin dan histamin adalah sebagian hasil reaksi yang terjadi akibat bisa ular.
Dalam istilah sederhana, protein-protein ini dapat dibagi menjadi 4 kategori :
a. Hemotoksin, bisa yang menghancurkan eritrosit, atau mempengaruhi
kemampuan darah untuk berkoagulasi, menyebabkan perdarahan internal.
b. Neurotoksin menyerang sistem syaraf, menyebabkan paralisis transmisi
saraf ke otot dan pada kasus terburuk paralisis melibatkan otot-otot
menelan dan pernafasan.
c. Cardiotoksin berefek buruk langsung pada jantung dan mengarah pada
kegagalan sirkulasi
d. Sitotoksin, berefek kepada kerusakan jaringan sekitar envenomasi.

Enzim yang terdapat pada bisa ular misalnya Larginine esterase menyebabkan
pelepasan bradikinin sehingga menimbulkan rasa nyeri, hipotensi, mual dan
muntah serta seringkali menimbulkan keluarnya keringat yang banyak setelah
terjadi gigitan. Enzim protease akan menimbulkan berbagai variasi nekrosis
jaringan. Phospholipase A menyebabkan terjadi hidrolisis dari membran sel darah
merah. Hyaluronidase dapat menyebabkan kerusakan dari jaringan ikat. Amino
acid esterase menyebabkan terjadi KID. Pada kasus yang berat bisa ular dapat
7

menyebabkan kerusakan permanen, gangguan fungsi bahkan dapat terjadi


amputasi pada ekstremitas.

Tabel 2.4. Komponen Bisa Ular

Bisa ular juga mengandung neurotoksik dengan cara kerja: 1) Post sinaps; α-
bungarotoksin dan cobrotoksin, yang terdiri dari 60-74 asam amino, toksin ini
terikat ke reseptor asetilkolin pada motor end plate. 2) Presinaptik; β-
bungarotoksin, crotoksin dan taipoksin, mengandung 120-140 asam amino dan
subunit fosfolipase A. Toksin ini mengeluarkan asetilkolin pada akhiran syaraf
pada neuromuscular junction dan merusak akhiran saraf dan mencegah
pengeluaran neurotransmitter berikutnya.

2.4. Manifestasi klinis


Envenomasi gigitan ular pada manusia memiliki banyak efek potensial, namun
hanya beberapa kategori yang memiliki klinis mayor yang signifikan, yaitu: (1)
flasid paralisis; (2) miolisis sistemik; (3) koagulopati dan perdarahan; (4)
kerusakan dan gangguan ginjal; (5) kardiotoksisitas; (6) kerusakan jaringan lokal
pada daerah gigitan
8

Tabel 2.5. Protein yang dijumpai dalam bisa ular yang dapat mengganggu
hemodinamik

Gigitan oleh Viperidae/ Crotalidae seringkali menimbulkan gejala pada


tempat gigitan berupa nyeri dan bengkak yang dapat terjadi dalam beberapa
menit, bisa akan menjalar ke proksimal, selanjutnya terjadi edem dan ekimosis.
Pada kasus berat dapat timbul bula dan jaringan nekrotik, serta gejala sistemik
berupa mual, muntah, kelemahan otot, gatal sekitar wajah dan kejang. Pasien
jarang mengalami syok, edem generalisata atau aritmia jantung, tetapi perdarahan
sering terjadi. Boyer LV dkk, 13 melaporkan bahwa dari 38 korban gigitan ular
Viperidae, 29 (76%) mengalami koagulopati, dengan 20 (53%) terdapat beberapa
kelainan komponen koagulopati (misalnya hipofibrinogenemia dan
trombositopenia).
9

Gigitan akibat Elapidae biasanya tidak menimbulkan nyeri hebat. Namun


demikian tidak adanya gejala lokal atau minimal, tidak berarti gejala yang lebih
serius tidak akan terjadi. Gejala yang serius lebih jarang terjadi dan biasanya
gejala berkembang dalam 12 jam. Bisa yang bersifat neurotoksik, mempunyai
dampak yang sangat cepat dalam beberapa jam, mulai dari perasaan mengantuk
sampai kelumpuhan nervus kranialis, kelemahan otot dan kematian karena gagal
napas. Laboratorium biasanya menunjukkan peningkatan jumlah neutrofil,
limfopenia, koagulopati dengan PT dan PTT memanjang, serta penurunan jumlah
fibrinogen. Pada pemeriksaan urinalisis dapat terjadi proteinuria (83%), serta
hematuria mikroskopik (50,9%). Hemoglobinuria dan mioglobinuria umumnya
dapat dideteksi dan dapat terjadi leukosituria (56,4%).

2.5.Diagnosis

Gambar 2.4 Fang mark pada kasus gigitan Ular berbisa

Beberapa korban yang digigit oleh ular (atau dicurigai digigit) dapat
mengalami simptom dan gejala yang khas, bahkan saat tidak ada bisa yang
diinjeksi. Hal ini diakibatkan dari ketakutan yang tidak dipahami dari konsekuensi
gigitan ular berbisa. Korban cemas dapat hiperventilasi sehingga mengalami
sensasi kebas dan ditusuk-tusuk pada ekstremitas, spasme tangan dan kaki, dan
pusing. Korban lainnya dapat mengalami syok vasovagal setelah gigitan, dengan
kolaps disertai penurunan denyut jantung yang berat. Tampilan klinis korban
gigitan ular bervariasi sesuai umur dan ukuran tubuh, spesies ular, jumlah dan
lokasi gigitan, dan kuantitas dan toksisitas bisa. Morbiditas dan mortalitas
10

bergantung pada umur dan ukuran tubuh korban, disertai kondisi komorbiditas
Diagnosis terhadap spesies dapat dilakukan apabila ular dibawa untuk
diidentifikasi, misalnya ular yant telah mati; namun pada kondisi tanpa bukti ular,
identifikasi secara tidak langsung dari deskripsi pasien, bentuk luka gigitan, dan
sindrom klinis gejala dan tanda dapat dilakukan.

Tabel 2.6. Derajat Envenomasi dan gejala klinis yang ditimbulkan

Petunjuk adanya envenomasi berat oleh gigitan ular harus dipertimbangkan bila
dijumpai keadaan berikut :
1. Ular diidentifikasi sebagai sangat berbisa.
2. Ekstensi awal yang cepat dari pembengkakan lokal daerah gigitan.
3. Pembesaran awal kelenjar getah bening lokal, menandakan penyebaran
bisa di sistem limfatik.
4. Simptom sistemik awal.
5. Perdarahan sistemik spontan awal (terutama perdarahan gusi).
6. Adanya urine berwarna coklat-gelap.

Pemeriksaan laboratorium memiliki nilai yang sangat kecil pada diagnosis


envenomasi ular, tetapi sangat berguna dalam menentukan prognostik dan
pengambilan keputusan untuk intervensi spesifik. Pemeriksaan laboratorium yang
dapat dilakukan adalah:
a. Uji 20 menit pembekuan darah lengkap (20 WBCT): 20 WBCT
merupakan pemeriksaan koagulopati sederhana untuk mendiagnosa
envenomasi viper dan menyingkirkan kemungkinan gigitan elapidae.
11

b. Enzyme linked immunosorbent assay (ELISA): Pemeriksaan ELISA dapat


mengidentifikasi spesies ular, berdasarkan antigen venom. Namun
pemeriksaan ini mahal dan tidak selalu tersedia, maka memiliki
keterbatasan pada diagnostik. Saat ini, ELISA digunakan terutama pada
studi epidemiologi
c. Konsentrasi hemoglobin/ hematokrit: Peningkatan mengindikasikan
hemokonsentrasi diakibatkan peningkatan permeabilitas kapiler (seperti
pada gigitan viper Russell). Penurunan mengindikasikan kehilangan darah
yang diakibatkan hemolisis intravascular
d. Hitung leukosit: leukositosis neutrophil merupakan penanda envenomasi
sistemik dari spesies ular
e. Abnormalitas biokimiawi: Aminotransferase dan enzim otot (kreatin
kinase, aldolase) dapat meningkat bila dijumpai kerusakan otot lokal yang
berat, atau terutama kerusakan otot menyeluruh (pada gigitan ular laut,
beberapa spesies krait, elapid Australia, viper Russell Srilanka dan India
Selatan). Disfungsi hpear ringan mencerminkan peningkatan enzim serum
lain. Bilirubin meningkat mengikuti ekstravasasi darah masif. Kalium,
kreatinin, urea atau nitrogen urea darah meningkat pada gangguan ginjal
akut pada gigitan viper Russell, hidung punuk Viper, dan ular laut.
Hiperkalemia dapat dijumpai pada rhabdomiolisis ekstensif pada gigitan
ular laut. Bikarbonat dapat rendah pada asidosis metabolik. Hiponatremia
pernah dilaporkan pada korban gigitan krait di Vietnam utara (Bungarus
candidus dan B. multicinctus)
f. Sistem koagulasi darah: PT dan APTT dapat memanjang pada gigitan
viper. Fibrinogen rendah dengan peninfkatan FDP (fibrin degradation
product) dapat dijumpai pada gangguan koagulasi akibat venom
g. Urinalisis: Warna urine (merah jambu, merah, dan coklat gelap) harus
diperhatikan, dan urine diperiksa dengan dipstik untuk darah atau
hemoglobin atau mioglobin. Pemeriksaan mikroskopis dapat
mengkonfirmasi adanya eritrosit di urine
12

2.6.Penatalaksanaan
2.6.1. Pertolongan Pertama

Telah banyak cara yang dilakukan untuk melakukan pertolongan pertama


penderita gigitan ular Pit Viper, namun tidak satupun yang mampu mencegah
morbiditas dan mortalitas. Follow up jangka panjang menunjukkan individu
kehilangan kemampuan gerak di area yang tergigit dan efek negatif lain akibat
pertolongan pertama seperti robekan, hisapan, bebatan.
Prinsip dalam penanganan pertama adalah tidak menambah efek buruk.
Salah satu penelitian tentang penderita yang diberikan pertolongan pertama
maupun yang belum menunjukkan bahwa tidak ada bukti berbeda dalam luaran
jangka pendek. Pertolongan pertama yang harus dihindari adalah es, insisi,
suction, torniquet (memperburuk edema) dan penghangatan. Penanganan pertama
yang direkomendasikan adalah membuat penderita tetap tenang, menjaga agar
tempat gigitan berada lebih rendah dari posisi jantung dan rujuk penderita ke
fasilitas kesehatan yang tepat. Pasien harus diawasi dengan ketat dalam minimal 8
jam dari saat gigitan pertama dengan evaluasi snake bite severity score. Efek bias
ular bergantung waktu. Penundaan dalam melakukan penanganan awal akan
merugikan penderita dan menimbulkan komplikasi yang ireversibel.

2.6.2. Penanganan Lanjutan


Survei primer dan resusitasi
Prinsip penanganan “ABCDE’ secara umum meliputi:
 Airway.
 Breathing (pergerakan nafas).
 Circulation (pulsasi arteri).
 Disability nervous system (kesadaran).
 Exposure and Enviromental Control (perlindungan dari dingin).

Beberapa kondisi khusus yang membutuhkan penanganan segera antara lain:


a. Hipotensi/ syok: dapat sebagai efek langsung pada sistem kardiovaskular
atau sebagai efek sekunder dari hipovolemia, pelepasan substansi
vasoaktif, perdarahan maupun reaksi anafilaksis akibat bisa ular.
13

b. Gagal nafas akibat efek neurotoksik bisa yang melumpuhkan otot


pernafasan.
c. Penurunan kondisi tiba-tiba akibat pelepasan tourniquet yang telah
dipasang.
d. Cardiac arrest akibat hiperkalemia karena rabdomiolisis akibat efek bias
ular pada system otot.
e. Pasien yang terlambat penanganannya dapat terjadi gagal ginjal akut,
septicemia dan nekrosis lokal di daerah yang terkena gigitan.
Berdasarkan panduan penanganan racun ular berbisa di Indonesia langkah-
langkah yang harus diikuti pada penatalaksanaan gigitan ular adalah:
a. Pertolongan pertama, harus segera dilakukan secepatnya setelah
terjadi gigitan ular sebelum korban dibawa ke rumah sakit.
Hal ini dapat dilakukan oleh korban sendiri atau orang lain yang ada di
tempat kejadian. Tujuan pertolongan pertama adalah menghambat penyerapan
bisa, mempertahankan hidup korban dan menghindari komplikasi sebelum
mendapatkan perawatan medis di rumah sakit serta mengawasi gejala dini yang
membahayakan. Segera bawa korban ke tempat perawatan medis. Pertolongan
yang dilakukan adalah menenangkan korban yang cemas, imobilisasi bagian
tubuh yang tergigit dengan cara mengikat atau menyangga dengan kayu agar tidak
terjadi kontraksi otot (karena pergerakan atau kontraksi otot dapat meningkatkan
penyerapan bisa ke dalam aliran darah dan getah bening), pertimbangkan
pressureimmobilization pada gigitan Elapidae, hindari gangguan terhadap luka
gigitan karena dapat meningkatkan penyerapan bisa dan menimbulkan perdarahan
lokal.
b. Korban harus segera dibawa ke rumah sakit secepatnya, dengan cara
yang aman dan senyaman mungkin.
Hindari pergerakan atau kontraksi otot untuk mencegah peningkatan
penyerapan bisa.
c. Pengobatan gigitan ular
Pada umumnya terjadi salah pengertian mengenai pengelolaan gigitan ular.
Metode penggunaan torniket (diikat dengan keras sehingga menghambat
peredaran darah), insisi (pengirisan dengan alat tajam), pengisapan tempat gigitan,
14

pendinginan daerah yang digigit, pemberian antihistamin dan korti-kosteroid


harus di-hindari karena tidak terbukti manfaatnya.
Terapi yang dianjurkan meliputi:
 Bersihkan bagian yang terluka dengan cairan faal atau air steril.
 Untuk efek local dianjurkan imobilisasi menggunakan perban katun elastic
yang dibalutkan kuat di sekeliling bagian tubuh yang tergigit.
 Penggunaan torniket tidak dianjurkan karena dapat mengganggu aliran darah
dan pelepasan torniket dapat menyebabkan efek sistemik yang lebih berat.
 Tindakan pendukung berupa stabilisasi yang meliputi penatalaksanaan jalan
nafas, penatalaksanaan fungsi pernafasan, sirkulasi.
 Pemberian suntikan antitetanus, atau bila korban pernah mendapatkan toksoid
maka diberikan satu dosis toksoid tetanus.
 Pemberian suntikan penisilin kristal sebanyak 2 juta unit secara intramuskuler.
 Pemberian sedasi atau analgesik untuk menghilangkan rasa takut cepat
mati/panik.
 Pemberian serum antibisa.

Adapun indikasi pemberian anti-bisa ular:


1. Abnormalitas hemostasis: terdapat manifestasi perdarahan secara klinis dan
koagulopati (PT dan PTT abnormal, trombosit < 100.000).
2. Tanda neurotoksik (ptosis, optalmoplegia, paralisis).
3. Abnormalitas kardiovaskular (hipotensi, syok, aritmia, EKG abnormal).
4. Gagal ginjal akut: oliguria/ anuria, peningkatan BUN dan kreatinin.
5. Hemoglobinuria/ mioglobinuria; produk urin kecoklatan, nyeri hebat pada
otot.
6. Pembengkakan lokal yang melibatkan lebih dari setengah ekstremitas yang
tergigit dalam 48 jam atau pembengkakan setelah gigitan pada jari.
7. Penambahan bengkak yang cepat, dalam beberapa jam.
8. Pembesaran limfonodi dan nyeri tekan limfonodi yang menjadi drainase
tempat gigitan. Pemberian antibisa ular harus sesegera mungkin diberikan.
Antibisa ular dapat berefek setelah beberapa hari atau jika terdapat
abnormalitas hemostasis, dalam 2 minggu atau lebih. Dapat disarankan agar
15

antibisa ular tetap diberikan selama terdapat gangguan hemostasis. Antibisa ular
masih kontroversi dalam hal efeknya terdapat nekrosis, namun beberapa bukti
dapat menunjukkan bahwa antibisa ular dapat mengurangi nekrosis jika
langsung diberikan dalam beberapa jam pertama setelah gigitan.
Anti-bisa ular diberikan dengan 2 cara yaitu:
1. Kecepatan kurang dari 2 Ml per menit dengan syringe pump.
2. Infus intravena: antibisa ular dilarutkan dalam 200-500 salin isotonik atau
dextrose 5% dan diberikan dengan tetesan yang konstan dalam 1 jam.
Dalam pemberian antibisa ular, perlu selalu disiapkan epinefrin untuk terapi
emergensi apabila terjadi reaksi alergi terhadap antibisa ular.
Bila dosis antivenom diberikan secara adekuat, maka respons terhadap antivenom
dapat dipantau adalah:
 Umum: pasien mengalami perbaikan. Nausea, sakit kepala dan nyeri menyeluruh
berkurang secara cepat. Hal ini juga dapat sebagian peran dari efek plasebo.
 Perdarahan sistemik spontaneous: biasanya berhenti dalam 15-30 menit.
 Koagulabilitas darah: biasanya kembali normal dalam 3-9 jam. Perdarahan dari
luka baru dan lama biasanya berhenti lebih cepat.
 Pada pasien syok: tekanan darah meningkat dalam 30-60 menit pertama dan
aritmia mengalami perbaikan.
 Envenomasi neurotoksik pada tipe post-sinaptik (tipe kobra) dapat dijumpai
perbaikan dalam 30 menit setelah antivenom, tetapi biasanya membutuhkan
beberapa jam. Envenomasi dengan toksin presinaptik (krait dan ular laut) tidak
berespons.
 Hemolisis dan rhabdomiolisis aktif dapat berhenti dalam beberapa jam dan urine
kembali menjadi warna normal.

d. Penanganan supportif/ tambahan


Antivenom dapat menetralkan bisa yang bersirkulasi bebas, mencegah
progresi envenomasi dan memberikan kesembuhan, Namun, proses ini
memerlukan waktu dan pasien envenomasi berat memerlukan sistem pendukung
kehidupan seperti pengobatan syok, ventilator, dan dialisis ginjal hingga
kerusakan berat organ dan jaringan mendapat waktu untuk penyembuhan.
16

e. Penanganan daerah gigitan


Infeksi bakteri dapat ditangani dengan pemberian antibiotik berupa antibiotik
spektrum luas (amoksisilin atau sefalosporin ditambah dosis tunggal gentamisin
ditambah metronidazol) dan profilaksis tetanus apabila dijumpai bukti adanya
infeksi sekunder bakteri, namun profilaksis antibiotik tidak terbukti bermanfaat.
Daerah gigitan dapat membengkak dan nyeri, dan harus ditempatkan dengan
posisi nyaman, tetapi tidak dalam kondisi elevasi berlebihan karena dapat
mengurangi tekanan perfusi arteri pada daerah bengkak yang tegang dan
meningkatkan resiko iskemia intrakompartemen. Kondisi tungkai yang imobile,
membengkak tegang, dingin, dan tanpa denyut dapat merupakan tanda
peningkatan tekanan intrakompartemen yang mengakibatkan iskemia jaringan,
yang memerlukan penanganan fasiotomi.

f. Rehabilitasi

g. Penanganan komplikasi kronik

2.7.Prognosis
Gigitan ular berbisa berpotensi menyebabkan kematian dan keadaan yang
berat, sehingga perlu pemberian antibisa yang tepat untuk mengurangi gejala.
Ekstremitas atau bagian tubuh yang mengalami nekrosis pada umumnya akan
mengalami perbaikan, fungsi normal, dan hanya pada kasus-kasus tertentu
memerlukan skin graft.
17

BAB III
LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn. JS
Tanggal Lahir : 27/06/1979
Usia : 38 Tahun
Suku : Batak
Alamat : Aek Matio, Adiankoting
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Petani
Agama : Kristen Protestan
No. MR : 15.30.09
Tanggal Masuk : 25 April 2018 15.00WIB

B. ANAMNESIS

Keluhan Utama : Luka Digigit Ular di tangan Kiri


Deskripsi : Pasien datang ke IGD karena digigit ular di tangan kiri
sekitar 3 jam SMRS. Hal ini dialami saat pasien bekerja di sawah. Mual (-), sesak
nafas (+), pandangan berkunang-kunang (+)
RPT :-
RPO :-

C. PEMERIKSAAN KLINIS

VITAL SIGN

Keadaan Umum : Sedang Tekanan Darah : 120/80 mmHg

Kesadaran : Compos Mentis Heart Rate : 140x/i

GCS : E4M6V5 Respiratory Rate : 24x/i

Skala Nyeri : VAS 8 Temperature :36,5oC

Saturation O2 : 97%
18

STATUS GENERALISATA

Kepala : Anemis (-), Ikterik(-),Injeksi(-) Edema


Palpebra(-)
Maxilofacial : Deformitas (-)
Leher : Pembesaran KGB (-), TVJ 2 cm H2O
Thoraks : Simetris, Ronki (-),Wheezing (-), Murmur(-),
Gallop(-)
Abdomen : Peristaltik (+), Normoperistaltik
Genital - Perineum : TDP
Recktal Toucher : TDP
Ekstremitas : Edema (+), Eritema(+), Fang Mark(+),
Nekrosis(-), Ganggrene(-), di tangan kiri

D. PENANGANAN AWAL IGD


1. IVFD RL 20 gtt/i
2. IVFD NaCl 0,9%
3. Inj. Ceftriaxone
4. Inj. Ketorolac
5. Inj. Ranitidine
6. Inj. Tetagam
7. Sabu 2 amp (yang masuk 1 amp karena stok sedang kosong)
8. Konsul Spesialis Bedah R/ Debridement
19

E. FOLLOW UP

Hari/Tanggal S O A P Keterangan

Rabu,  Sesak Nafas (+) KU : Buruk Snake Bite +  NaCl 30 gtt/i Observasi Airway
25 April 2018  Luka gigitan (+) Sens : CM Post Debridement  SABU 1 Vial/drip
di tangan Kiri TD :110/80  Inj. Caphaflox
HR : 88x/i  Inj. Metronidazole
RR : 24 x/i  Inj. Dexamethasone
 Inj. Ketorolac
Rabu,  Sesak Nafas (+) KU : Buruk Snake Bite +  Pemasangan ETT Pasien tiba-tiba
25 April 2018  Luka gigitan(+) Sens : Coma Gagal Nafas +  Pemasangan Ventilator mengeluh sesak
di tangan Kiri TD : 130/80 Post Debridement  IVFD RL 20 gtt/i nafas, dan
 Penurunan HR : 54x/i  Presitin 10 amp + SA 5 amp + 50 cc mengalami
Kesadaran (+) RR : 24x/i NaCl 0,9%  2cc/jam penurunan
T : 37,3oC  Inj. Ketorolac 1 amp/8 jam kesadaran, pindah
 Inj. Meropenem 1 gr/8 jam ruangan ke ICU
 Inj. Ranitidine 1 amp/8 jam
 Inj. Dexametason 1 amp/8 jam
 Kateter terpasang
 NGT terpasang Diet via NGT
 Suction berkala
Kamis,26 April  Sesak Nafas (+) KU : Buruk Snake Bite +  IVFD RL 20gtt/I Jika HR dibawah
2018  Penurunan Sens : Coma Gagal Nafas +  Inj. Meropenem 50x/i berikan Inj. SA
Kesadaran (+) TD : 110/70 Post Debridement  Inj. Ketorolac 1 amp/8 jam 5 amp.
 Luka Gigit (+) HR : 88x/i  Inj. Dexametason 1 amp/8 jam
di tangan Kiri RR : 26x/i  Esomex 40mg/hari
 Sabu 1 Vial/drip
20

Jumat,  Sesak Nafas (+) KU : Sedang Snake Bite +  IVFD RL 20gtt/I Keluarga meminta
27 April 2018  Penurunan Sens : Somnolen Gagal Nafas +  Inj. Meropenem 1gr/8 jam untuk dilakukan
Kesadaran (+) TD : 120/80 Post Debridement  Inj. Metronidazole 500 mg/12 jam pelepasan ventilator
 Luka Gigit (+) HR : 68 x/i  Inj. Ketorolac 1 amp/8 jam karena alas an biaya
di tangan Kiri RR : 20 x/i  Esomex 40mg/hari

Sabtu,  Sesak Nafas (+) KU : Sedang Snake Bite +  IVFD RL 20gtt/I Sudah dilakukan
28 April 2018  Penurunan Sens : Somnolen Gagal Nafas +  Inj. Meropenem 1gr/8 jam percobaan
Kesadaran (+) TD : 120/80 Post Debridement  Inj. Metronidazole 500 mg/12 jam melepaskan
 Luka Gigit (+) HR : 68 x/i  Inj. Ketorolac 1 amp/8 jam ventilator, namun
di tangan Kiri RR : 20 x/i  Esomex 40mg/hari pasien tidak sanggup,
sesak nafas(+),
sehingga
pemasangan
ventilator di lakukan
kembali
Minggu,  Sesak Nafas (+) KU : Sedang Snake Bite +  IVFD RL 20gtt/I  Keluarga
29 April 2018  Luka Gigit (+) Sens : CM Gagal Nafas +  Inj. Meropenem 1gr/8 jam meminta untuk
di tangan Kiri TD : 120/80 Post Debridement  Inj. Metronidazole 500 mg/12 jam melepas
HR : 68 x/i  Inj. Ketorolac 1 amp/8 jam Ventilator
RR : 20 x/i  Esomex 40mg/hari  17.35 pindah ke
ruangan Aster
Senin,  Sesak Nafas (+) KU : Sedang Snake Bite + Pukul 13.00 Os
30 April 2018  Luka Gigit (+) Sens : CM Post Debridement PAPS
di tangan Kiri TD : 120/80
HR : 68 x/i
RR : 20 x/i
21

BAB IV

KESIMPULAN

Envenomasi gigitan ular memiliki banyak efek potensial, namun hanya beberapa
kategori yang memiliki klinis mayor yang signifikan, yaitu flasid paralisis, miolisis
sistemik, koagulopati dan perdarahan, kerusakan dan gangguan ginjal, kardiotoksisitas,
kerusakan jaringan lokal pada daerah gigitan.

Petunjuk adanya envenomasi berat oleh gigitan ular harus dipertimbangkan bila
dijumpai keadaan ular diidentifikasi sebagai sangat berbisa, ekstensi awal yang cepat
dari pembengkakan lokal daerah gigitan, pembesaran awal kelenjar getah bening lokal,
menandakan penyebaran bisa di sistem limfatik simptom sistemik awal. perdarahan
sistemik spontan awal (terutama perdarahan gusi), dan adanya urine berwarna coklat-
gelap.

Panduan penanganan gigitan ular di Asia Tenggara oleh WHO adalah


penanganan bantuan dasar, transportasi ke rumah sakit, penilaian klinis dan resusitasi
segera, penilaian klinis mendetail dan diagnosis spesies, pemeriksaan laboratorium,
pengobatan antivenom, pemantauan respons antivenom, menentukan apakah dosis
lanjutan antivenom diperlukan, penanganan supportif/ tambahan, penanganan daerah
gigitan, rehabilitasi, dan penanganan komplikasi kronik.
22

DAFTAR PUSAKA

Ahmed SM, Ahmed M, Nadeem A, Mahajan J, Choudhary A & Pal J. (2008)


Emergency treatment of a snake bite: Pearls from literature. J Emer Trauma Shock
1(2):97-105.

Alfi RM, Lothar MS, Sri Sutarni,Cempaka TS.(2017). Viperidae Snake Bite: Kasus
Serial.Berkala Ilmiah Kedokteran Duta Wacana 02(02): 361-374

Djunaedi D. (2009) Penatalaksanaan gigitan ular berbisa. Dalam: Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam, penyunting Sudoyo AW, Setiohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati
S. Edisi ke-5. InternaPublishing: Jakarta, p. 280-283.

Gold BS, Dart RC & Barish RA. (2002) Bites of venomous snake. N Engl J Med
347(5):347-356.

Kasturiratne A, Wickremasinghe AR, de Silva N, Gunawardena NK, Pathmeswaran A,


Premaratna R, et al. (2009) The global burden of snakebite: A literature analysis and
modelling based on regional estimates of envenoming and deaths. PLoS Med
5(11):e218.

Nia Niasari, Abdul Latief.(2003).Gigitan Ular Berbisa.Sari Pediatri, 05(03): 92 – 98

Warrell DA. (2010). Guidelines for the management of snake bites. World Health
Organization Regional Office for South-East Asia. India.

White J. (2005) Snake venoms and coagulopathy. Toxicon 45:951-967.

Anda mungkin juga menyukai