Laporan Kasus
SNAKE BITE
Disusun Oleh:
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan laporan kasus ini yang berjudul “Snake
Bite”.
Laporan kasus ini merupakan salah satu syarat yang harus dilaksanakan
dalam menyelesaikan program internship di RSUD Tarutung. Pada kesempatan
ini penulis mengucapkan terimakasih kepada dokter pembimbing, dr. Benni
Sinaga, Sp. B dan dokter pendamping Internship, dr. Feronika L. Tobing, yang
telah meluangkan banyak waktunya dalam memberikan masukan sehingga penulis
dapat menyelesaikan laporan kasus ini.
Semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat. Akhir kata penulis ucapkan
terimakasih
iii
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN………..……………………………………………. 1
2.2. Klasfikasi….……………………………………………………………… 3
2.3. Patofisiologi……………………………………………………………… 6
2.5. Diagnosis………………………………………………………….……… 9
2.6. Penatalaksanaan…………………………………………………………… 12
2.7. Prognosis…………………………………………………………………. 16
BAB IV KESIMPULAN………………………………………………………. 21
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………….. 22
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.Epidemiologi
Diperkirakan sekitar 5 juta kasus gigitan ular terjadi di seluruh dunia setiap
tahunnya, menyebabkan sekitar 125.000 kematian. Gigitan ular lebih umum
terjadi di wilayah tropis dan di daerah dimana pekerjaan utamanya adalah
agrikultural. Di daerah-daerah ini, sejumlah besar orang hidup berdampingan
bersama sejumlah besar ular. Orang-orang yang digigit oleh ular dikarenakan
memegang atau bahkan menyerang ular merupakan penyebab yang signifikan di
Amerika Serikat. Diperkirakan ada 45.000 gigitan ular per tahun di Amerika
Serikat, terbanyak pada musim panas, sekitar 8000 digigit oleh ular berbisa.
Kasus gigitan ular di Asia Tenggara belum terdata dengan baik karena
lebih banyak ditangani secara tradisional. Pada tahun 2008, diperkirakan 237.379-
1.184.550 kasus gigitan ular, dengan kasus kematian 15.385-57.636 (1,3%-
4,86%) di daerah Asia Pasifik. Di Asia Selatan memiliki kematian akibat gigitan
ular paling tinggi dengan perkiraan 14.112-33.666 kematian dengan 0,912-2,175
(0,0027% - 0,0064%) kematian/100.000/ tahun. Berdasarkan jumlah ini, 12-50%
kasus gigitan ular terjadi di Asia.
Laki-laki umumnya lebih sering terkena dibanding perempuan, kecuali
pada tempat pekerjaan yang didominasi perempuan seperti perkebunan kopi dan
teh. Usia puncak terkena adalah usia anak dan dewasa muda dengan puncak case
3
fatality pada usia dewasa muda dan tua. Pada wanita hamil gigitan ular dapat
berisiko pada janin dan ibu karena efek perdarahan dan aborsi. Gigitan ular paling
banyak bertempat di tungkai bawah dan pergelangan kaki para pekerja.
Di Amerika Serikat, 76% korban adalah laki-laki kulit putih. Studi
nasional di Negara tersebut melaporkan angka perbandingan antara laki-laki dan
perempuan adalah 9:1, dengan 50% korban berada pada rentang usia 18-28 tahun.
Gambar 2.1 Perbedaan tampilan fisik ular berbisa dengan yang tidak berbisa
2.2. Klasifikasi
Sekitar 15% dari 3.000 spesies ular yang dijumpai di seluruh dunia
dipertimbangkan berbahaya bagi manusia.. Diagnosis definitif keracunan bisa ular
memerlukan identifikasi dari jenis ular dan manifestasi klinis envenomasi. Pada
penilaian laporan gigitan dari ular berbisa, harus dibedakan gigitan dari ular yang
tidak berbisa atau hewan lain. Perbandingan ular berbisa dan ular tidak berbisa
dapat terlihat pada gambar
4
dengan banyak sisik kasar pada puncak kepala dan pola warna yang khas
pada permukaan dorsal tubuh.
Enzim yang terdapat pada bisa ular misalnya Larginine esterase menyebabkan
pelepasan bradikinin sehingga menimbulkan rasa nyeri, hipotensi, mual dan
muntah serta seringkali menimbulkan keluarnya keringat yang banyak setelah
terjadi gigitan. Enzim protease akan menimbulkan berbagai variasi nekrosis
jaringan. Phospholipase A menyebabkan terjadi hidrolisis dari membran sel darah
merah. Hyaluronidase dapat menyebabkan kerusakan dari jaringan ikat. Amino
acid esterase menyebabkan terjadi KID. Pada kasus yang berat bisa ular dapat
7
Bisa ular juga mengandung neurotoksik dengan cara kerja: 1) Post sinaps; α-
bungarotoksin dan cobrotoksin, yang terdiri dari 60-74 asam amino, toksin ini
terikat ke reseptor asetilkolin pada motor end plate. 2) Presinaptik; β-
bungarotoksin, crotoksin dan taipoksin, mengandung 120-140 asam amino dan
subunit fosfolipase A. Toksin ini mengeluarkan asetilkolin pada akhiran syaraf
pada neuromuscular junction dan merusak akhiran saraf dan mencegah
pengeluaran neurotransmitter berikutnya.
Tabel 2.5. Protein yang dijumpai dalam bisa ular yang dapat mengganggu
hemodinamik
2.5.Diagnosis
Beberapa korban yang digigit oleh ular (atau dicurigai digigit) dapat
mengalami simptom dan gejala yang khas, bahkan saat tidak ada bisa yang
diinjeksi. Hal ini diakibatkan dari ketakutan yang tidak dipahami dari konsekuensi
gigitan ular berbisa. Korban cemas dapat hiperventilasi sehingga mengalami
sensasi kebas dan ditusuk-tusuk pada ekstremitas, spasme tangan dan kaki, dan
pusing. Korban lainnya dapat mengalami syok vasovagal setelah gigitan, dengan
kolaps disertai penurunan denyut jantung yang berat. Tampilan klinis korban
gigitan ular bervariasi sesuai umur dan ukuran tubuh, spesies ular, jumlah dan
lokasi gigitan, dan kuantitas dan toksisitas bisa. Morbiditas dan mortalitas
10
bergantung pada umur dan ukuran tubuh korban, disertai kondisi komorbiditas
Diagnosis terhadap spesies dapat dilakukan apabila ular dibawa untuk
diidentifikasi, misalnya ular yant telah mati; namun pada kondisi tanpa bukti ular,
identifikasi secara tidak langsung dari deskripsi pasien, bentuk luka gigitan, dan
sindrom klinis gejala dan tanda dapat dilakukan.
Petunjuk adanya envenomasi berat oleh gigitan ular harus dipertimbangkan bila
dijumpai keadaan berikut :
1. Ular diidentifikasi sebagai sangat berbisa.
2. Ekstensi awal yang cepat dari pembengkakan lokal daerah gigitan.
3. Pembesaran awal kelenjar getah bening lokal, menandakan penyebaran
bisa di sistem limfatik.
4. Simptom sistemik awal.
5. Perdarahan sistemik spontan awal (terutama perdarahan gusi).
6. Adanya urine berwarna coklat-gelap.
2.6.Penatalaksanaan
2.6.1. Pertolongan Pertama
antibisa ular tetap diberikan selama terdapat gangguan hemostasis. Antibisa ular
masih kontroversi dalam hal efeknya terdapat nekrosis, namun beberapa bukti
dapat menunjukkan bahwa antibisa ular dapat mengurangi nekrosis jika
langsung diberikan dalam beberapa jam pertama setelah gigitan.
Anti-bisa ular diberikan dengan 2 cara yaitu:
1. Kecepatan kurang dari 2 Ml per menit dengan syringe pump.
2. Infus intravena: antibisa ular dilarutkan dalam 200-500 salin isotonik atau
dextrose 5% dan diberikan dengan tetesan yang konstan dalam 1 jam.
Dalam pemberian antibisa ular, perlu selalu disiapkan epinefrin untuk terapi
emergensi apabila terjadi reaksi alergi terhadap antibisa ular.
Bila dosis antivenom diberikan secara adekuat, maka respons terhadap antivenom
dapat dipantau adalah:
Umum: pasien mengalami perbaikan. Nausea, sakit kepala dan nyeri menyeluruh
berkurang secara cepat. Hal ini juga dapat sebagian peran dari efek plasebo.
Perdarahan sistemik spontaneous: biasanya berhenti dalam 15-30 menit.
Koagulabilitas darah: biasanya kembali normal dalam 3-9 jam. Perdarahan dari
luka baru dan lama biasanya berhenti lebih cepat.
Pada pasien syok: tekanan darah meningkat dalam 30-60 menit pertama dan
aritmia mengalami perbaikan.
Envenomasi neurotoksik pada tipe post-sinaptik (tipe kobra) dapat dijumpai
perbaikan dalam 30 menit setelah antivenom, tetapi biasanya membutuhkan
beberapa jam. Envenomasi dengan toksin presinaptik (krait dan ular laut) tidak
berespons.
Hemolisis dan rhabdomiolisis aktif dapat berhenti dalam beberapa jam dan urine
kembali menjadi warna normal.
f. Rehabilitasi
2.7.Prognosis
Gigitan ular berbisa berpotensi menyebabkan kematian dan keadaan yang
berat, sehingga perlu pemberian antibisa yang tepat untuk mengurangi gejala.
Ekstremitas atau bagian tubuh yang mengalami nekrosis pada umumnya akan
mengalami perbaikan, fungsi normal, dan hanya pada kasus-kasus tertentu
memerlukan skin graft.
17
BAB III
LAPORAN KASUS
A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. JS
Tanggal Lahir : 27/06/1979
Usia : 38 Tahun
Suku : Batak
Alamat : Aek Matio, Adiankoting
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Petani
Agama : Kristen Protestan
No. MR : 15.30.09
Tanggal Masuk : 25 April 2018 15.00WIB
B. ANAMNESIS
C. PEMERIKSAAN KLINIS
VITAL SIGN
Saturation O2 : 97%
18
STATUS GENERALISATA
E. FOLLOW UP
Hari/Tanggal S O A P Keterangan
Rabu, Sesak Nafas (+) KU : Buruk Snake Bite + NaCl 30 gtt/i Observasi Airway
25 April 2018 Luka gigitan (+) Sens : CM Post Debridement SABU 1 Vial/drip
di tangan Kiri TD :110/80 Inj. Caphaflox
HR : 88x/i Inj. Metronidazole
RR : 24 x/i Inj. Dexamethasone
Inj. Ketorolac
Rabu, Sesak Nafas (+) KU : Buruk Snake Bite + Pemasangan ETT Pasien tiba-tiba
25 April 2018 Luka gigitan(+) Sens : Coma Gagal Nafas + Pemasangan Ventilator mengeluh sesak
di tangan Kiri TD : 130/80 Post Debridement IVFD RL 20 gtt/i nafas, dan
Penurunan HR : 54x/i Presitin 10 amp + SA 5 amp + 50 cc mengalami
Kesadaran (+) RR : 24x/i NaCl 0,9% 2cc/jam penurunan
T : 37,3oC Inj. Ketorolac 1 amp/8 jam kesadaran, pindah
Inj. Meropenem 1 gr/8 jam ruangan ke ICU
Inj. Ranitidine 1 amp/8 jam
Inj. Dexametason 1 amp/8 jam
Kateter terpasang
NGT terpasang Diet via NGT
Suction berkala
Kamis,26 April Sesak Nafas (+) KU : Buruk Snake Bite + IVFD RL 20gtt/I Jika HR dibawah
2018 Penurunan Sens : Coma Gagal Nafas + Inj. Meropenem 50x/i berikan Inj. SA
Kesadaran (+) TD : 110/70 Post Debridement Inj. Ketorolac 1 amp/8 jam 5 amp.
Luka Gigit (+) HR : 88x/i Inj. Dexametason 1 amp/8 jam
di tangan Kiri RR : 26x/i Esomex 40mg/hari
Sabu 1 Vial/drip
20
Jumat, Sesak Nafas (+) KU : Sedang Snake Bite + IVFD RL 20gtt/I Keluarga meminta
27 April 2018 Penurunan Sens : Somnolen Gagal Nafas + Inj. Meropenem 1gr/8 jam untuk dilakukan
Kesadaran (+) TD : 120/80 Post Debridement Inj. Metronidazole 500 mg/12 jam pelepasan ventilator
Luka Gigit (+) HR : 68 x/i Inj. Ketorolac 1 amp/8 jam karena alas an biaya
di tangan Kiri RR : 20 x/i Esomex 40mg/hari
Sabtu, Sesak Nafas (+) KU : Sedang Snake Bite + IVFD RL 20gtt/I Sudah dilakukan
28 April 2018 Penurunan Sens : Somnolen Gagal Nafas + Inj. Meropenem 1gr/8 jam percobaan
Kesadaran (+) TD : 120/80 Post Debridement Inj. Metronidazole 500 mg/12 jam melepaskan
Luka Gigit (+) HR : 68 x/i Inj. Ketorolac 1 amp/8 jam ventilator, namun
di tangan Kiri RR : 20 x/i Esomex 40mg/hari pasien tidak sanggup,
sesak nafas(+),
sehingga
pemasangan
ventilator di lakukan
kembali
Minggu, Sesak Nafas (+) KU : Sedang Snake Bite + IVFD RL 20gtt/I Keluarga
29 April 2018 Luka Gigit (+) Sens : CM Gagal Nafas + Inj. Meropenem 1gr/8 jam meminta untuk
di tangan Kiri TD : 120/80 Post Debridement Inj. Metronidazole 500 mg/12 jam melepas
HR : 68 x/i Inj. Ketorolac 1 amp/8 jam Ventilator
RR : 20 x/i Esomex 40mg/hari 17.35 pindah ke
ruangan Aster
Senin, Sesak Nafas (+) KU : Sedang Snake Bite + Pukul 13.00 Os
30 April 2018 Luka Gigit (+) Sens : CM Post Debridement PAPS
di tangan Kiri TD : 120/80
HR : 68 x/i
RR : 20 x/i
21
BAB IV
KESIMPULAN
Envenomasi gigitan ular memiliki banyak efek potensial, namun hanya beberapa
kategori yang memiliki klinis mayor yang signifikan, yaitu flasid paralisis, miolisis
sistemik, koagulopati dan perdarahan, kerusakan dan gangguan ginjal, kardiotoksisitas,
kerusakan jaringan lokal pada daerah gigitan.
Petunjuk adanya envenomasi berat oleh gigitan ular harus dipertimbangkan bila
dijumpai keadaan ular diidentifikasi sebagai sangat berbisa, ekstensi awal yang cepat
dari pembengkakan lokal daerah gigitan, pembesaran awal kelenjar getah bening lokal,
menandakan penyebaran bisa di sistem limfatik simptom sistemik awal. perdarahan
sistemik spontan awal (terutama perdarahan gusi), dan adanya urine berwarna coklat-
gelap.
DAFTAR PUSAKA
Alfi RM, Lothar MS, Sri Sutarni,Cempaka TS.(2017). Viperidae Snake Bite: Kasus
Serial.Berkala Ilmiah Kedokteran Duta Wacana 02(02): 361-374
Djunaedi D. (2009) Penatalaksanaan gigitan ular berbisa. Dalam: Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam, penyunting Sudoyo AW, Setiohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati
S. Edisi ke-5. InternaPublishing: Jakarta, p. 280-283.
Gold BS, Dart RC & Barish RA. (2002) Bites of venomous snake. N Engl J Med
347(5):347-356.
Warrell DA. (2010). Guidelines for the management of snake bites. World Health
Organization Regional Office for South-East Asia. India.