Oleh :
Dr. Witri Intan Susila
NIP 19670410 200212 2 002
RSUD PETALA BUMI
Kata pengantar
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat, ridho dan izin-
Nya. Makalah / laporan kasus ini dengan judul “Gigitan Ular ”.
Laporan kasus ini dibuat untuk syarat kenaikan pangkat setingkat lebih tinggi.
Sangat disadari bahwa dalam pembuatan makalah (laporan kasus) ini masih
terdapat kekurangan-kekurangan yang perlu mendapat perhatian. Karena itu kritik
dan saran yang membangun diharapkan, untuk meningkatkan kemampuan penulis di
masa yang akan datang.
Terima kasih kepada Ibu Direktur Rumah Sakit Umum Daerah Petala Bumi
dan semua pihak yang ikut membantu menyelesaikan pembuatan makalah (laporan
kasus) ini.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
Halaman Judul...................................................................................................... i
Kata Pengantar..................................................................................................... ii
Bab I Pendahuluan............................................................................................... 1
2.2. Patofisiologi.............................................................................................. 3
2.9. Prognosis................................................................................................... 14
Bab IV Pembahasan.............................................................................................. 23
Daftar Pustaka...................................................................................................... 26
iii
BAB I
PENDAHULUAN
Gigitan ular adalah suatu kejadian lingkungan, pekerjaan dan tergantung iklim pada area
pedesaan terutama di area Asia Tenggara. Gigitan ular merupakan penyebab sekurangnya
20.000 kematian setahunnya, membuatnya menjadi salah satu kasus penyakit yang harus
diperhatikan dalam bidang kedokteran tropis. Manifestasi klinis gigitan ular bervariasi
bergantung kepada jenis bisa ular berupa gejala ringan hingga mengancam jiwa. Ketepatan
pertolongan pertama, serta tatalaksana komprehensif dari setiap kasus gigitan ular diperlukan
untuk mengurangi angka kematian dan kesakitan.1
Gigitan atau sengatan binatang berbisa, seperti ular, laba-laba atau binatang berbisa
lainnya, pada umumnya menyebabkan nyeri lokal dan tidak memerlukan perawatan, namun
anak-anak mempunyai risiko tinggi terjadi reaksi berat. Reaksi klinis berat pada anak sering
terjadi karena volume tubuh lebih kecil untuk penyebaran racun atau bisa dibandingkan dengan
orang dewasa. Setiap kasus yang dilaporkan sebagai gigitan ular, harus dipastikan apakah
gigitan tersebut disebabkan ular berbisa. Hal tersebut dapat ditentukan antara lain dari luka
bekas gigitan yang terjadi. Jika identifikasi sulit ditentukan, gejala dan tanda akibat gigitan bisa
ular menjadi dasar untuk menegakkan diagnosis.2 Dalam menghadapi kasus gigitan ular berbisa
diperlukan tata laksana yang cepat, baik dalam menegakkan diagnosis maupun terapinya, oleh
karena dapat menimbulkan kecacatan dan mengancam jiwa.3
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Epidemiologi
Insiden gigitan ular bervariasi pada diurnal dan musiman. Kasus meningkat pada
pekerja pertanian dan musim hujan. Sebagian besar gigitan mengenai kaki dan pergelangan
kaki pekerja pertanian yang bertelanjang kaki tidak sengaja menginjak ular saat berjalan dalam
kegelapan atau saat bekerja di ladang dan perkebunan. Spesies ular memiliki kecenderungan
berbeda dalam menyerang ketika diganggu. Spesies yang terkenal “sensitif” termasuk Russell
dan ular beludak bersisik. Kobra dan krait cenderung memasuki rumah. Kraits menggigit orang
yang tidur di lantai pada malam hari. Gigitan ular lebih sering pada pria dan kejadian puncak
pada anak-anak dan dewasa muda. Pada wanita hamil dan janin risiko kematian menjadi
meningkat.1
Jumlah total gigitan ular setiap tahun melebihi 5 juta dengan angka kematian sebesar
125.000 setiap tahun di dunia. Spesies yang secara medis penting di Indonesia mencakup >
18.000 pulau termasuk B.candidus, N.sputatrix, N. sumatrana, C. rhodostoma, T. (T.)
albolabris; D. siamensis dan di Papua Barat dan Maluku, Acanthophis laevis. Setiap tahun
ratusan gigitan ular dirawat di Sumatra, Jawa, Kalimantan Timur, Sulawesi, Wetar dan Papua
Barat.1
Kasus gigitan ular di Amerika Serikat dilaporkan setiap tahun sekitar 45.000 kasus,
namun yang disebabkan oleh ular berbisa hanya 8000 kasus. 2 Kematian diperkirakan terjadi
pada 5 sampai 15 kasus dan biasanya terjadi pada anak-anak, orang yang lanjut usia, dan pada
kasus yang tidak atau terlambat mendapatkan anti bisa ular. Pasien korban gigitan ular berbisa
15% sampai 40% akan meninggalkan gejala sisa.3,4 Terdapat 3000 spesies ular, 200 spesies
diantaranya termasuk ular berbisa. Ular berbisa sebagian besar berasal dari 3 famili yaitu,
Hydrophidae (ular laut), Elapidae (contohnya cobra) dan Viperidae (Crotalidae) termasuk ular
berbisa. Kasus gigitan ular berbisa 95% disebabkan oleh gigitan ular dari famili Crotalidae.2
2
Gambar 1. Perbedaan jenis ular3
2.2 Patofisiologi
Bisa ular terdiri dari campuran beberapa polipeptida, enzim dan protein. Jumlah bisa,
efek letal dan komposisinya bervariasi tergantung dari spesies dan usia ular. Bisa ular bersifat
stabil dan resisten terhadap perubahan temperatur.2,5 Secara mikroskop elektron dapat terlihat
bahwa bisa ular merupakan protein yang dapat menimbulkan kerusakan pada sel-sel endotel
dinding pembuluh darah, sehingga menyebabkan kerusakan membran plasma.3 Komponen
peptida bisa ular dapat berikatan dengan reseptor-reseptor yang ada pada tubuh korban.
Bradikinin, serotonin dan histamin adalah sebagian hasil reaksi yang terjadi akibat bisa ular.5
Enzim yang terdapat pada bisa ular misalnya Larginine esterase menyebabkan
pelepasan bradikinin sehingga menimbulkan rasa nyeri, hipotensi, mual dan muntah serta
seringkali menimbulkan keluarnya keringat yang banyak setelah terjadi gigitan. Enzim protease
akan menimbulkan berbagai variasi nekrosis jaringan. Phospholipase A menyebabkan terjadi
3
hidrolisis dari membran sel darah merah. Hyaluronidase dapat menyebabkan kerusakan dari
jaringan ikat. Aminoacid esterase menyebabkan terjadi koagulasi intravaskular diseminata.5
Pada kasus yang berat bisa ular dapat menyebabkan kerusakan permanen, gangguan fungsi
bahkan dapat terjadi amputasi pada ekstremitas.6
Bisa ular dari famili Crotalidae/Viperidae bersifat sitolitik yang menyebabkan nekrosis
jaringan, kebocoran vaskular dan terjadi koagulopati.2 Komponen dari bisa ular jenis ini
mempunyai dampak hampir pada semua sistem organ.3 Bisa ular dari famili Elapidae dan
Hydrophidae terutama bersifat sangat neurotoksik, dan mempunyai dampak seperti kurare yang
memblok neurotransmiter pada neuromuscular junction.2 Aliran dari bisa ular di dalam tubuh,
tergantung dari dalamnya taring ular tersebut masuk ke dalam jaringan tubuh.7
Envenomasi gigitan ular pada manusia memiliki banyak efek potensial, namun hanya
beberapa kategori yang memiliki klinis mayor yang signifikan, yaitu: (1) flasid paralisis; (2)
miolisis sistemik; (3) koagulopati dan perdarahan; (4) kerusakan dan gangguan ginjal; (5)
kardiotoksisitas; (6) kerusakan jaringan lokal pada daerah gigitan.8
2.3 Klasifikasi
Tampilan klinis korban gigitan ular bervariasi sesuai umur dan ukuran tubuh, spesies
ular, jumlah dan lokasi gigitan, dan kuantitas dan toksisitas bisa. Morbiditas dan mortalitas
bergantung pada umur dan ukuran tubuh korban, disertai kondisi komorbiditas.9
Tabel 1. Klasifikasi gigitan ular menurut Schwartz10
4
Meskipun ada tumpang tindih mengenai klinis yang disebabkan oleh racun dari spesies
ular yang berbeda, seiring dengan kemajuan pengetahuan, “pendekatan sindrom” bisa
digunakan, terutama ketika ular belum diidentifikasi dan hanya tersedia antivenom
monospesifik.1
5
2.4 Manifestasi Klinis
Pasien dengan dugaan gigitan ular dapat dievaluasi:1
1. Tanda bekas gigitan, disebabkan oleh "dry bite" dari ular berbisa, gigitan ular tidak
berbisa, gigitan/cakaran oleh hewan lain (kadal, ikan, hewan pengerat, laba-laba dll),
atau tusukan oleh vegetasi yang tajam;
2. Nyeri lokal/pembengkakan di sekitar gigitan yang dapat sementara, persisten atau
berkomplikasi dengan nekrosis atau infeksi yang menyebabkan kecacatan permanen;
3. Lokal dan/atau sistemik yang mempengaruhi organ dan jaringan yang jauh dari gigitan
yang dapat bersifat sementara, persisten, mengancam jiwa atau kelemahan secara
permanen;
4. Tanda-tanda kecemasan ekstrim yang disebabkan oleh pengalaman menakutkan:
hiperventilasi, acroparaesthesiae, tetani, pusing/ sinkop, syok vasovagal dengan
bradikardia yang hebat, diare dan muntah, agitasi, perilaku irasional, hipertensi,
takikardia, berkeringat, gemetar dan menyebabkan morbiditas psikologis yang persisten;
5. Efek dari pertolongan pertama dan perawatan pra-rumah sakit lainnya seperti nyeri,
pembengkakan, kongesti akibat torniket ketat dan efek herbal atau obat tradisional
lainnya.
6
2.5 Diagnosis
Penilaian diagnosis meliputi dari aspek yaitu, lokasi gigitan, waktu gigitan, gejala yang
ditimbulkan dan jenis dari ular. Pemeriksaan fisik terfokus pada tanda vital, manifestasi
perdarahan, lokasi gigitan termasuk tanda gigitan, bengkak dan penyumbatan nodus limfatikus.
Pemeriksaan neurologi meliputi nervus cranial, motorik dan sensorik.
Pemeriksaan laboratorium :11,12
a. Darah lengkap, elektrolit, kreatinin, BUN, CT, BT, PT, aPTT, fibrinogen, D-dimer,
SGOT, SGPT, kreatinin kinase dan golongan darah.
b. Rekomendasi SEARO 20-minute whole blood clotting time (20WBCT), pemeriksaan ini
dapat digunakan pada negara berkembang, seperti Indonesia karena gigitan ular terjadi
pada area yang jauh dan hanya memiliki fasilitas kesehatan tingkat pertama yang tidak
memiliki peralatan pemeriksaan pembekuan darah. Teknik 20WBCT yaitu dengan
mengambil 2mL darah vena dan dimasukkan dalam tabung darah yang kering dan
biarkan selama 20 menit. Jika darah tetap tidak mengalami pembekuan bermakna pasien
Venome Induced Comsumption Coagulopathy (VICC). Hal ini dapat memberikan
informasi gigitan viper dan gigitan elapid serta memantau pemberian antivenom.
c. Konsentrasi hemoglobin/ hematokrit: Peningkatan mengindikasikan hemokonsentrasi
diakibatkan peningkatan permeabilitas kapiler (seperti pada gigitan viper Russell).
Penurunan mengindikasikan kehilangan darah yang diakibatkan hemolisis intravascular.
d. Hitung leukosit: leukositosis neutrophil merupakan penanda envenomasi sistemik dari
spesies ular.
e. Abnormalitas biokimiawi: Aminotransferase dan enzim otot (kreatin kinase, aldolase)
dapat meningkat bila dijumpai kerusakan otot lokal yang berat, atau terutama kerusakan
otot menyeluruh (pada gigitan ular laut, beberapa spesies krait, elapid Australia, viper
Russell Srilanka dan India Selatan). Disfungsi hepar ringan mencerminkan peningkatan
enzim serum lain. Bilirubin meningkat diikuti ekstravasasi darah masif. Kalium,
kreatinin, urea atau nitrogen urea darah meningkat pada gangguan ginjal akut pada
gigitan viper Russell dan ular laut. Hiperkalemia dapat dijumpai pada rhabdomiolisis
ekstensif pada gigitan ular laut. Bikarbonat dapat rendah pada asidosis metabolik.
Hiponatremia pernah dilaporkan pada korban gigitan krait di Vietnam utara (Bungarus
candidus dan B. multicinctus).
f. Sistem koagulasi darah: PT dan APTT dapat memanjang pada gigitan viper. Fibrinogen
rendah dengan peningkatan FDP (fibrin degradation product) dapat dijumpai pada
gangguan koagulasi akibat venom.
g. Urinalisis: warna urine (merah jambu, merah, dan coklat gelap) harus diperhatikan, dan
urine diperiksa dengan dipstik untuk darah atau hemoglobin atau mioglobin. Pemeriksaan
mikroskopis dapat mengkonfirmasi adanya eritrosit di urine.
7
2.6 Tatalaksana
2.6.1 Pertolongan pertama
Manajemen pertolongan pertama harus diberikan sesegera mungkin oleh orang terdekat
dengan prosedur yang tepat dan transportasi ke rumah sakit. Prosedur pertolongan pertama
yang paling banyak dipelajari adalah pressure bandage with immobilization (PBI)
direkomendasikan oleh Australia. Elastis perban ukuran 15 cm digunakan pada sisi luka gigitan
dan menutupi seluruh anggota gerak dengan tekanan yang sama. Cara ini dapat menghalangi
aliran limfatik tanpa membuat obstruksi arteri dan vena.11
8
3. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan 20 WBCT, dan pemeriksaan lainnya dapat membantu pada kasus gigitan ular
berbisa.1,12
4. Pemberian Antivenom
Antivenom adalah immunoglobulin yang dimurnikan dari plasma kuda, keledai (equine)
atau domba (ovine) yang telah diimunisasi dengan satu atau lebih racun dari spesies ular.
Antivenom monovalen (monospesifik) menetralkan racun dari hanya satu spesies ular.
Antivenom polivalen (polispesifik) menetralkan racun dari beberapa spesies ular yang berbeda
biasanya spesies yang paling penting dari sudut pandang medis pada area geografis tertentu.
Pemberian antivenom harus diberikan segera diindikasikan dalam beberapa jam pertama setelah
gigitan.1 Indikasi pemberian antivenom adalah apabila pasien dengan dugaan atau terbukti
gigitan ular mengalami satu atau lebih tanda berikut:1,12
Envenomasi sistemik
Abnormalitas hemostatik: perdarahan sistemik spontaneous (klinis); koagulopati (20
WBCT atau tes lain seperti PT), atau trombositopenia (<100.000) (laboratorium).
Tanda neurotoksik: ptosis, optalmoplegia eksternal, paralisis (klinis).
Abnormalitas kardiovaskular: hipotensi, syok, aritmia (klinis); abnormal EKG.
Gangguan ginjal akut: oliguria/ anuria (klinis); peningkatan kreatinin/ urea darah
(laboratorium).
Hemoglobin-/ Mioglobin-uria: urine coklat gelap (klinis), dipstick urine, tanda lain
hemolisis intravaskular atau rhabdomiolisis menyeluruh (nyeri otot, hiperkalemia)
(klinis, laboratorium).
Tanda-tanda pendukung laboratorium adanya envenomasi sistemik.
Envenomasi lokal
- Pembengkakan lokal meliputi lebih dari setengah tungkai yang tergigit (tanpa
tourniquet) dalam 48 jam pertama. Pembengkakan setelah gigitan pada jari-jari.
- Ekstensi cepat pembengkakan (seperti dibawah pergelangan tangan atau kaki dalam
beberapa jam setelah gigitan pada tangan atau kaki).
- Dijumpai pembesaran kelenjar getah bening yang mendrainase tungkai yang tergigit.
Ada dua metode pemberian antivenom yang direkomendasikan:1,12
1. Injeksi “push” intravena: Antivenom diberikan secara injeksi intravena lambat (tidak
lebih dari 2 mL/menit).
2. Infus intravena: Antivenom dilarutkan sekitar 5 mL cairan isotonik per kg berat badan
(seperti 250 mL saline isotonik atau dekstros 5% pada orang dewasa) dan diinfus
dengan kecepatan konstan selama 30-60 menit.
9
Pasien yang diberikan antivenom harus secara ketat dipantau setidaknya selama 1 jam
setelah dimulai pemberian antivenom intravena, sehingga reaksi anafilaksis antivenom dapat
dideteksi dan diobati segera dengan epinefrin (adrenalin). Di Indonesia, satu-satunya antivenom
ular yang tersedia adalah Biosave®, diproduksi oleh Biofarma, yang dibuat dari Equine serum.
Biosave® adalah antivenom polivalen dan diindikasikan untuk neurotoksin yang diproduksi
oleh Naja sputatrix, Bungarus fasciatus dan hematoksin yang diproduksi oleh Agkistrodon
rhodostoma. Dosis awal antivenom yang disarankan dapat diberikan berdasarkan spesies ular.
Untuk dosis pertama, 2 vial @5 ml diencerkan dengan normal saline untuk mencapai
konsentrasi 2%, kemudian diinfuskan dengan kecepatan 40-80 tetes per menit. Dosis
selanjutnya dapat diberikan 6 jam kemudian.12
Jika gejala envenomasi masih bertahan, antivenom dapat diberikan setiap 24 jam
dengan dosis maksimal 80-100 ml. Antivenom yang tidak dilarutkan dapat diberikan secara
injeksi intravena dengan kecepatan sangat lambat. Tes alergi harus dilakukan sebelum
pemberian antivenom dan pemantauan harus dilakukan selama dan pasca pemberian.
Antivenom Polivalen ini tidak efektif untuk menetralkan racun yang diproduksi oleh ular dari
Indonesia Timur seperti Acanthopis antarticus, Xyuranus scuttelatus, Pseudechis papuanus,
Enhydrina cystsa, Bungarus candidus, Daboia siamensis, Trimeresurus dan semua Elapidae
Indonesia Timur, karena tidak ada kemampuan netralisasi silang.1,12
Pemberian antivenom lokal di tempat gigitan tidak dianjurkan. Meskipun rute ini
mungkin tampak rasional, namun tidak boleh digunakan karena sangat menyakitkan,
meningkatkan tekanan intra-kompartemen dan terbukti kurang efektif daripada dengan rute
intravena.1
Antivenom adalah molekul besar, fragmen [F (ab ') atau seluruh IgG] setelah injeksi
intramuskular diabsorbsi perlahan melalui limfatik. Bioavailabilitas yang buruk, terutama
injeksi intragluteal dan kadar antivenom dalam darah tidak pernah mencapai secepat pemberian
intravena. Kerugian lain adalah nyeri tempat injeksi dan risiko pembentukan hematoma pada
pasien dengan kelainan hemostatik.1
Kriteria untuk memberikan pemberian ulang antivenom:1
• Inkoagulasi yang persisten atau rekuren setelah 6 jam atau perdarahan setelah 1-2 jam.
• Perburukan tanda neurotoksik atau kardiovaskular setelah 1 jam.
10
Tabel 3. Dosis antivenom berdasarkan jenis ular1
11
intravena selama beberapa menit). Hidrokortison intravena (dewasa 100 mg, anak-anak
2 mg/ kgBB) dapat diberikan. Pasien dengan bronkospasme diberikan bronkodilator
short acting B2 agonist seperti salbutamol atau terbutalin.
2. Reaksi pirogenik (endotoksin): muncul dalam 1-2 jam setelah pengobatan, gejala
meliputi kekakuan, demam, vasodilatasi, dan penurunan tekanan darah serta pada anak
dapat mempresipitasikan kejang demam; reaksi ini diakibatkan oleh kontaminasi
pirogen selama proses produksi antivenom.
Pasien harus ditempatkan dalam keadaan dingin secara fisik (lepaskan pakaian, beri
dengan kipas angin) dan diberi antipiretik (seperti parasetamol oral atau supositoria).
Cairan intravena harus diberikan untuk memperbaiki hipovolemia.
3. Reaksi terlambat (tipe serum sickness): muncul dalam 1-12 hari (rata-rata 7 hari) setelah
pengobatan, gejala meliputi demam, nausea, muntah, diare, gatal, urtikaria, atralgia,
myalgia, limfadenopati, pembengkakan periartikular, multipleks mononeuritis,
proteinuria dengan nefritis imun kompleks dan jarang ensefalopati. Pasien dengan reaksi
awal dan diobati dengan antihistamin dan kortikosteroid lebih jarang mengalami reaksi
terlambat.
Reaksi ini dapat merespons antihistamin oral selama 5 hari. Pasien yang gagal
merespons dalam waktu 24-48 jam harus diberikan prednisolon selama 5 hari.
Dosis Chlorphenamine: dewasa 2 mg/6 jam, anak-anak 0,25 mg kg/hari dalam dosis
terbagi. Prednisolon: dewasa 5 mg/ 6 jam, anak-anak 0,7 mg/kg/hari dalam dosis terbagi
selama 5-7 hari.
Studi oleh Premawardhena tahun 1999 menunjukkan penggunaan 0,25 mL dari 1:1.000
adrenalin yang diberikan secara subkutan segera sebelum pemberian antivenom terhadap pasien
dengan envenomasi setelah gigitan ular mengurangi kejadian reaksi efek samping akut pada
serum. Studi oleh de Silva et al. tahun 2011 menunjukkan pemberian adrenalin dosis rendah
memiliki penurunan resiko reaksi akut berat terhadap antivenom sedangkan prometazin, dan
hidrokortison tidak memberikan efek yang bermakna. Reaksi anafilaktik dapat diminimalisir
dengan pemberian profilaksis dosis dewasa epinefrin (adrenalin) adalah 0,25 ml dari larutan
0,1% (0,25 mg) dengan injeksi subkutan (anak-anak 0,005 ml/ kg berat badan dari larutan
0,1%).1
2.7.2 Gangguan koagulopati
Venom induced comsumption coagulopathy ditandai dengan tingkat rendah atau tidak
terdeteksi dari satu atau faktor pembekuan, paling sering fibrinogen. Antivenom akan hanya
menghentikan proses konsumtif sehingga setelah diberikan masih memerlukan waktu 24
sampai 48 jam untuk pemulihan penuh dari faktor pembekuan. Penggantian faktor umum
digunakan adalah fresh frozen plasma karena ini adalah yang paling banyak tersedia dan berisi
12
hampir semua faktor penting, seperti fibrinogen, faktor V, faktor VIII, dan Faktor X. Dua studi
observasional dari Australia ini merupakan uji coba acak baru terkontrol di Australia hanya
sebagian mendukung penggunaan fresh frozen plasma.14
2.7.3 Infeksi bakteri
Flora mulut ular liar terdapat bakteri aerob dan anaerob, terutama batang gram negatif
pada faecal dari menelan mangsa. Kultur oral dan racun dari ular Amerika menghasilkan
Enterobacteriaceae termasuk Morganella spp., Escherichia coli, streptokokus Grup D,
Aeromonas spp., dan anaerob seperti Clostridium spp. Intervensi pada luka (sayatan yang
dibuat dengan pisau cukur/ pisau yang tidak disterilkan) menciptakan risiko infeksi bakteri
sekunder dan membenarkan penggunaan antibiotik spektrum luas langsung (misalnya
gentamisin dengan benzyl penicillin, amoxycillin atau sefalosporin ditambah dosis tunggal
gentamisin saja) untuk menghindari risiko cedera ginjal-tambah metronidazole) dan profilaksis
tetanus. Antibiotik lain yang termasuk amoksisilin/ asam caluvulenic, piperacillin/ tazobactam,
ciprofloxacin dan sefalosporin generasi ketiga.1
Sebuah penelitian di Taiwan menemukan bahwa bakteri gram negatif, seperti
Morganella morganii, Aeromonas hydrophila dan Enterococcus adalah patogen umum yang
bertanggung jawab untuk infeksi luka setelah gigitan ular. Mereka merekomendasikan
penggunaan piperasilin/ tazobaktam, kuinolon, sefalosporin generasi kedua atau ketiga untuk
terapi empiris bakteri Gram positif, seperti Staphylococcus aureus adalah patogen yang paling
umum, diikuti oleh bakteri Gram negatif Escherichia coli. Ciprofloxacin direkomendasikan
sebagai terapi empiris karena cakupan gram positif dan negatif.11
13
debridemen, semua jaringan mati harus dieksisi sampai batas jaringan yang viable. Namun, otot
memar yang tampak mati tidak dieksisi karena serat otot dapat beregenerasi. Amputasi dapat
diindikasikan pada kasus gangren jari kaki atau anggota gerak.1
2.9 Prognosis
Gigitan ular berbisa berpotensi menyebabkan kematian dan keadaan yang berat,
sehingga perlu pemberian antibisa yang tepat untuk mengurangi gejala. Ekstremitas atau
bagian tubuh yang mengalami nekrosis pada umumnya akan mengalami perbaikan, fungsi
normal dan hanya pada kasus-kasus tertentu memerlukan skin graft.2
14
BAB III
LAPORAN KASUS
3.2 SUBJECTIVE
Alloanamnesis
Diberikan oleh : Ibu pasien
Pasien seorang anak perempuan datang ke IGD RSUD Petala Bumi dengan
keluhan digigit ular pada tungkai bawah kanan dekat punggung kaki 2 jam sebelum
masuk rumah sakit. Pasien digigit ular saat sedang berjalan di dapur rumah. Ketika itu
pasien langsung menangis dan ayah pasien mendapatkan ular diketahui bercorak warna
coklat. Gigitan sebanyak satu kali dan tidak ada perdarahan mengalir dari luka gigit.
Kaki dibersihkan dengan air sabun dan kaki diikat dengan kain di atas pergelangan kaki.
Pasien mengeluhkan nyeri pada kaki bekas gigitan. Pasien dibawa ke Puskesmas
Tenayan Raya dilakukan pembersihan luka. Saat perjalanan menuju IGD RSUD Petala
Bumi, pasien mengeluhkan sakit kepala dan muntah lebih dari 3 kali, isi makanan dan
tidak ada perdarahan. Tidak ada keluhan sesak, gatal-gatal, berkeringat, kejang,
perdarahan tempat lain, kelemahan anggota gerak, BAB dan BAK.
15
Riwayat imunisasi: Sudah imunisasi Hep.B, BCG, DPT, Polio, Campak.
Riwayat pertumbuhan: BBL 3200gr PB 46cm, BBS 19 kg TB 114 cm.
Riwayat perumahan dan tempat tinggal: rumah permanen, lingkungan sekitar
terdapat kebun sawit
3.3 OBJECTIVE
1. Pemeriksaan Fisik
A. Keadaan Umum : tampak sakit sedang,
B. Kesadaran : compos mentis, E4V5M6
C. Tanda Vital
Tekanan darah : 105/61mmHg
Nadi : 110 x/ menit, irama reguler, kuat angkat
Pernafasan : 24 x/menit
Suhu : 36,50C per axiller
Spo2 : 99 %
D. Gizi
TB : 114 cm
BB : 19 kg
Status gizi= Normal
E. Kepala : Bentuk mesocephal, rambut warna hitam, distribusi normal, tidak
mudah dicabut
F. Mata : mata cekung (-/-), konjungtiva anemis (-/-), sklera anikterik (-/-), pupil
isokor dengan diameter (3mm/3mm), reflek cahaya (+/+)
G. Telinga : nyeri tekan mastoid (-), nyeri tekan tragus (-)
H. Hidung : Nafas cuping hidung (-), sekret (-), deviasi (-).
I. Mulut : Bibir basah, sianosis (-), pucat (-), T1-T1, faring hiperemis (-), papil
lidah atrofi (-), stomatitis (-), bleeding gingiva (-).
J. Leher : Trakea di tengah, simetris, pembesaran kelenjar tiroid (-), tidak ada
pembesaran KGB.
K. Thorax : Bentuk normochest, simetris, pengembangan dada kanan = kiri,
retraksi intercostal (-)
16
Perkusi : timpani, pekak alih (-)
Palpasi : dinding perut supel, hepar teraba 2 jari di bawah arcus costa dan lien
tidak teraba, nyeri tekan epigastrium (-)
M. Alat kelamin : tidak ada kelainan
N. Ekstremitas : akral hangat, CRT <2s
O. Status Neurologis : tidak ada kelainan
P. Status lokalis regio pedis dextra :
Tampak bekas cross insision pada luka gigitan dorsal pedis, hiperemis, edema,
jaringan nekrosis, nyeri (+), terpasang splint dari genue hingga calcaneus regio cruris.
Awal masuk di Unit Gawat Darurat terdapat luka berbentuk 2 tusukan taring ular.
2. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Hematologi, Kimia darah dan Elektrolit tanggal 27 Januari 2020
Pemeriksaan Hasil Nilai normal Satuan
Darah rutin lengkap
Hemoglobin 13,1 12-14 gr/dl
Hematokrit 37 37-43 %
Leukosit 21710 (↑) 4000-11000 /mm
Trombosit 373.000 150.000-400000 /mm
Diff. Count
Basofil 0 0-1 %
Eosinofil 0 1-3 %
Neutrofil 89 (↑) 50-70 %
Limfosit 7 20-40 %
Monosit 4 2-8 %
Eritrosit 4,9 4.5-5.5 juta/mm
MCV 75 89-92 Fl
MCH 27 28-32 Pg
MCHC 36 23-36 %
Elektrolit 27/01/2020
Natrium 161 (↑) 135-148 mmol/L
Kalium 3,8 3.4-5 mmol/L
Chlorida 98 98-107 mmol/L
Kimia darah 28/01/2020
Ureum 15 <50 mg/dL
Creatinin 0,3 0.6-1.3 mg/dL
SGOT 36 0-40 U/L
17
SGPT 14 0-41 U/L
Faktor Koagulasi
28/01/2020
PT 17.2 Control: 14.1 Detik
APTT 51 Control: 30.4 Detik
3.4 DIAGNOSIS
Diagnosis kerja : Snake bite et dorsal pedis dextra+hipernatremia berat
3.5 PENATALAKSANAAN :
3.5.1 Terapi Non Farmakologis
- Nasal canul oksigen 2 liter/menit
- Imobilisasi tungkai dengan bidai anak
- Observasi dan monitor tanda vital di IGD
18
- Inj. Ondansentron 4mg IV k/p
- Drip Parasetamol 200mg/8 jam IV
- Inj. Cefotaxim 1 gr/12 jam IV
- Jika reaksi alergi berlanjut
Difenhidramin tablet 3x20 mg PO
3.6 Follow up
Tanggal Pemeriksaan Terapi
28 Jan 2020 S: -IVFD D5 ½ NS 20 tetes/menit
demam, nyeri pada bekas luka gigitan (makrodrip)
-Inj. Parasetamol 250 mg/6 jam
O: IV
KU: lemah -Inj. Cefotaxim 1 gr/12 jam IV
Kes: composmentis -Diet MB 3x1 porsi
TD 108/54 mmHg -Kompres kaki dengan air
Nadi 97 dpm hangat
RR 20x/i -Cek ulang elektrolit, PT, APTT
T 38,2C
Kepala: konjungtiva anemis (-/-), sklera
ikterik (-/-)
Thorax: cor dan paru dalam batas normal
Abdomen: supel, BU(+), hepar lien tidak
teraba
Akral: hangat, CRT<2s, nadi kuat
19
APTT 51 (kontrol 30.4)
A:
Snake bite (kobra)
Hipernatremia berat (teratasi)
Leukositosis
29 Jan 2020 S: -IVFD D5 ½ NS 20 tetes/menit
demam, nyeri pada bekas luka gigitan, (makrodrip)
muntah malam hari -Inj. Parasetamol 250 mg/6 jam
IV
O: -Inj. Cefotaxim 1 gr/12 jam IV
KU: lemah -Pemberian SABU 1 vial
Kes: composmentis (maintenance) dalam 100cc
TD 91/71 mmHg NaCl 0.9% 80 cc/jam
Nadi 97 dpm Jika alergi injeksi adrenalin
RR 20x/i 1:1000 0,1cc subkutan dan
T 38,8C injeksi difenhiframin 10 mg IV
20
Kepala: konjungtiva anemis (-/-), sklera -Inj. Dexametason 1 amp/8 jam
ikterik (-/-) IV
Thorax: cor dan paru dalam batas normal -Jika TD dibawah 86/49 mmHg
Abdomen: supel, BU(+), hepar lien tidak rencana pemberian vascon
teraba -Diet MB 3x1 porsi
Akral: hangat, CRT<2s, nadi kuat -Kompres kaki dengan air
hangat
Status lokalis: regio dorsal pedis dextra
Hematom sekitar luka gigitan, edem (+),
hangat, nyeri (+)
A:
Snake bite (kobra)
Hipernatremia berat teratasi
Leukositosis
Susp. Sepsis
30 Jan 2020 S: -IVFD D5 ½ NS 20 tetes/menit
Bebas demam 24 jam, nyeri pada bekas (makrodrip)
luka gigitan -Inj. Parasetamol 250 mg/6 jam
IV
O: -Amoxicillin syr 250mg/5mL
KU: baik 3x1 ½ cth
Kes: composmentis -Perawatan luka dari bedah
TD 110/64 mmHg (aspirasi bulla+sufratule)
Nadi 96 dpm -Konsul rehabilitasi medik
RR 20x/i
T 36,4C
Kepala: konjungtiva anemis (-/-), sklera
ikterik (-/-)
Thorax: cor dan paru dalam batas normal
Abdomen: supel, BU(+), hepar lien tidak
teraba
Akral: hangat, CRT<2s, nadi kuat
21
A:
Snake bite (kobra)
Hipernatremia berat teratasi
Bacterial infection
31 Jan 2020 S: - Perawatan luka dari bedah
Bebas demam 24 jam, nyeri pada bekas - Boleh pulang
luka gigitan, - Parasetamol syr 250 mg/5mL
3x1 ½ cth
O: -Amoxicillin syr 250mg/5mL
KU: baik 3x1 ½ cth
Kes: composmentis
TD 110/66 mmHg
Nadi 94 dpm
RR 20x/i
T 36,3C
Kepala: konjungtiva anemis (-/-), sklera
ikterik (-/-)
Thorax: cor dan paru dalam batas normal
Abdomen: supel, BU(+), hepar lien tidak
teraba
Akral: hangat, CRT<2s, nadi kuat
22
BAB IV
PEMBAHASAN
Insiden gigitan ular sangat bervariasi, sebagian besar gigitan mengenai kaki dan
pergelangan kaki yang tidak sengaja menginjak ular. Pada kasus ini terjadi pada anak saat
berjalan di dapur yang gelap dan secara tiba-tiba digigit oleh ular. Puncak kejadian gigitan ular
ditemukan pada usia anak-anak dan dewasa muda. 1 Pada Rumah Sakit Rujukan Nasional Cipto
Mangunkusumo, ada 42 kasus gigitan ular yang dirawat antara 2004 hingga 2009 dengan 17
pasien menunjukkan tanda-tanda envenomasi. Data epidemiologis yang akurat diperlukan bagi
dokter dan pembuat kebijakan kesehatan untuk mengedukasi populasi berisiko tinggi,
mendistribusikan antivenom dengan lebih baik dan menyediakan program pengendalian
pencegahan; sementara tanpa data yang akurat, morbiditas dan mortalitas akan tetap tinggi.3
Setiap kasus yang dilaporkan sebagai gigitan ular, harus dipastikan apakah gigitan
tersebut disebabkan ular berbisa. Hal tersebut dapat ditentukan antara lain dari luka bekas
gigitan yang terjadi. Pada kasus ini didapatkan saat masuk Unit Gawat Darurat, bekas luka
dengan bentuk dua buah tusukan gigi taring ular. Namun saat dilakukan pemeriksaan di
ruangan telah dilakukan insisi pada luka tersebut. Jika identifikasi sulit ditentukan, penilaian
dapat dilakukan yaitu dari manifestasi klinis awal yang menjadi dasar untuk menegakkan
diagnosis.
Reaksi klinis berat pada anak sering terjadi karena volume tubuh lebih kecil untuk
penyebaran racun atau bisa dibandingkan dengan orang dewasa.2 Pada kasus ini pasien dengan
nyeri lokal pada kaki bekas gigitan, sakit kepala, muntah, eritem dan edema. Tanda dan gejala
ini sesuai dengan envenomasi sedang. Sedangkan menurut Schwartz dapat digolongkan pada
derajat II. Pada saat masuk ke UGD tanda vital pasien stabil dan tidak ditemukan gejala
neurotoksik sehingga dilakukan pemeriksaan lebih lanjut dan tatalaksana segera.
Pada gigitan ular perlu dilakukan pemeriksaan penunjang seperti darah lengkap,
elektrolit, koagulasi darah, kimia darah dan urinalisa. Pada pasien ini ditemukan peningkatan
leukosit dengan neutrofil yang tinggi. Flora mulut ular liar terdapat bakteri aerob dan anaerob,
terutama batang gram negatif pada faecal dari menelan mangsa. Sebuah penelitian di Taiwan
menemukan bahwa bakteri gram negatif, seperti Morganella morganii, Aeromonas hydrophila
dan Enterococcus adalah patogen umum yang berperan pada infeksi luka setelah gigitan ular. 11
Aminotransferase dan enzim otot (kreatinin kinase, aldolase) dapat meningkat bila dijumpai
kerusakan otot lokal yang berat, atau terutama kerusakan otot menyeluruh (pada gigitan ular
laut, beberapa spesies krait, elapid Australia, viper Russell Srilanka dan India Selatan). Kalium,
kreatinin, urea atau nitrogen urea darah meningkat pada gangguan ginjal akut pada gigitan viper
Russell dan ular laut. Hiperkalemia dapat dijumpai pada rhabdomiolisis ekstensif pada gigitan
ular laut.1
23
Secara umum bisa ular berbisa mengandung serine protease, metaloproteinase yang
mengganggu hemostasis dengan aktivasi atau menghambat faktor koagulan atau platelet dan
merusak endotel vaskular.1 Pada pasien ini juga ditemukan pemanjangan PTT dan APTT namun
secara klinis tidak tampak perdarahan. Kelainan koagulasi berupa Venom induced comsumption
coagulopathy (VICC) pada kebanyakan kasus merupakan darah sukar beku, mengkonfirmasi
potensi elapid aktivator prothrombin yang terlihat pada studi in vitro.
Terapi yang dilakukan terbagi menjadi tata laksana di tempat gigitan dan di rumah sakit.
Tata laksana di tempat gigitan termasuk mengurangi atau mencegah penyebaran racun dengan
cara membalut tekan tempat gigitan dan imobilisasi ekstremitas. Pada pasien ini dilakukan
pengikatan dengan kain di atas tempat gigitan, namun hal ini tidak direkomendasikan oleh
WHO karena dapat menyebabkan obstruksi aliran arteri yang berujung nekrosis jaringan distal.
Pressure bandage with immobilization (PBI) merupakan teknik yang direkomendasikan tanpa
membuat obstruksi arteri.1 Terapi awal ini dilakukan dari rumah kejadian hingga tiba di rumah
sakit dan imobilisasi dengan pemasangan bidai anak.
Saat di rumah sakit, diagnosis harus ditegakkan dan segera pasien dipasang dua jalur
intravena untuk memasukkan cairan infus dan jalur yang lain disiapkan untuk keadaan darurat.
Pemeriksaan laboratorium seperti darah perifer lengkap, PT, APTT, fibrinogen, elektrolit,
urinalisis dan kadar ureum serta kreatinin darah dilakukan. Pasien ini dilakukan eksisi pada
tempat gigitan namun tidak dapat pemberian anti tetanus. Pada luka berat, bersih, cenderung
tetanus dengan status sudah mendapatkan vaksinasi tetanus tetap dilakukan pemberian suntikan
toksoid tetanus. Pengukuran pada tempat gigitan perlu dinilai untuk mengetahui
progresivitasnya. Kadang perlu dilakukan eksisi dan penghisapan bisa pada saat luka
dibersihkan.5
Saat masuk pasien dilakukan rehidrasi awal dengan Ringer Laktat 60 tetes per menit dan
pada pemeriksaan elektrolit ditemukan peningkatan natrium yaitu 161 mmol/L. Studi kasus
gigitan ular belum ada yang melaporkan dengan adanya hipernatremia. Sebelumnya pasien
muntah saat perjalanan ke rumah sakit, hal ini menyebabkan kehilangan cairan melalui
gastrointestinal yang mengindikasikan dalam keadaan hipovolemik. Terapi yang tepat yaitu
pengganti cairan. Saat diruangan dengan hasil hipenatremia pasien diberikan cairan D5 ½ NS
20 tetes per menit. Hal ini sesuai dengan algoritma penatalaksanaan hipernatremia dan
diberikan cairan hipotonik.15
Serum Anti Bisa Ular (SABU) di Indonesia yang tersedia adalah Biosave®, diproduksi
oleh Biofarma, yang dibuat dari Equine serum. Dosis awal antivenom yang disarankan dapat
diberikan berdasarkan spesies ular. Dosis antivenom yang diberikan pada gigitan ular pada
dewasa dan anak-anak adalah sama, karena ular juga menginjeksikan bisa dengan dosis yang
sama. Untuk dosis pertama, 2 vial @5 ml diencerkan dengan normal saline untuk mencapai
24
konsentrasi 2% sebanyak 100mL, kemudian diinfuskan dengan kecepatan 40-80 tetes per
menit. Dosis selanjutnya dapat diberikan 6 jam kemudian.12
Pasien ini mendapatkan SABU pertama di UGD sesuai dengan dosis pemberian SABU
berdasarkan WHO. Setelah pemberian SABU, muncul reaksi anafilaksis pada pasien berupa
gatal-gatal lalu diberikan adrenalin 0.2cc subkutan dan difenhidramin 20 mg IV. Reaksi
anafilaksis awal muncul dalam 10-180 menit setelah pemberian antivenom, pasien mulai gatal
dan urtikaria, batuk kering, demam, nausea, muntah, kolik abdomen, diare, dan takikardi. Pada
reaksi anafilaktik awal dapat diberikan Epinefrin (adrenalin) diberikan secara intramuskular
(idealnya di paha lateral atas) dalam dosis awal 0,5 mg untuk dewasa, 0,01 mg/ kgBB untuk
anak-anak. Antihistamin anti-H1 blocker dapat diberikan, seperti chlorphenamine maleate
(dewasa 10 mg, anak-anak 0,2 mg/ kgBB dengan injeksi intravena selama beberapa menit).1
Hasil koagulopati juga terdapat pemanjangan aPTT dan PTT menunjukkan envenomasi
sehingga antivenom awal sudah tepat harus diberikan. Setelah 6 jam pemberian SABU pertama,
pasien masih menunjukkan gejala sistemik seperti demam, takikardi dan hipotensi. Hal ini
menunjukkan perburukan kardiovaskular sehingga pemberian SABU yang kedua
dipertimbangkan untuk diberikan.
Tekanan darah pasien sempat hipotensi dan dalam observasi, maka pemberian SABU
kedua 1 vial dalam 100cc normal saline ditunda menjadi hari kedua rawatan. Saat pemberian
SABU kedua berlangsung, diberikan adrenalin 1:1000 sebanyak 0.1cc dan difenhidramin 10 mg
intravena untuk mencegah reaksi anafilaktik. Selama pemberian SABU tetap dipantau tanda-
tanda vital pasien. Pemberian jumlah SABU tergantung dari tingkat envenomasi, pada pasien
ini setelah pemberian SABU kedua tanda-tanda vital baik dan gejala envenomasi telah
berkurang.
Pada pemeriksaan darah perifer lengkap ditemukan leukositosis sehingga pasien
mendapatkan antibiotik Cefotaxim 1g/12 jam intravena. Antibiotik piperasilin/ tazobaktam,
kuinolon, sefalosporin generasi kedua atau ketiga untuk terapi empiris bakteri Gram positif
seperti Staphylococcus aureus adalah patogen yang paling umum, diikuti oleh bakteri Gram
negatif Escherichia coli. Ciprofloxacin direkomendasikan sebagai terapi empiris karena
cakupan gram positif dan negatif.11
25
DAFTAR PUSTAKA
1. World Health Organization. Regional office for South-East Asia. Guideline for the management
of snakebites., 2nd edition. 2016
2. Holve S. Envenomation. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, penyunting. Nelson
textbook of pediatrics. Edisi ke-16. Philadelphia : WB Saunders company,2000. h. 2174-8.
3. Gold BS, Dart RC, Barish RA. Bites of venomous snakes. N Engl J Med, 2002; 347:347-56.
4. Dart RC, Seifert SA, Boyer LV, Clark RF, Hall E, McKinney P, dkk. A randomized multicenter
trial of crotalinae polyvalent immune Fab (ovine) antivenom for the treatment for crotaline
snakebite in the Unites States. Arch Intern Med 2001; 161:2030-6.
5. Snyder CC, Mayer TA. Animal, snake, and insect bite. Dalam: Matlak ME, Nixon GW, Walker
ML, penyunting. Emergency management of pediatric trauma. Edisi ke-1. Philadelphia: WB
Saunders Company. 1985. h. 466-83.
6. Boechat ALR, Paiva CS, Franca FO, Dos-Santos MC. Heparin-antivenom association:
differential neutralization effectiveness in bothrops atrox and bothrops erythromelas
envenoming. Rev Inst Med Trop S Paulo 2001;43:1-16.
7. Young BA, Zatin K. Venom flow in rattlesnake: mechanics and metering. J of Exp Biol 2001;
204:4345-51.
9. Ahmed SM, Ahmed M, Nadeem A, Mahajan J, Choudhary A & Pal J. Emergency treatment of a
snake bite: Pearls from literature. J Emer Trauma Shock: 2008; 1(2):97-105.
10. Djunaedi D. (2009) Penatalaksanaan gigitan ular berbisa. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam, penyunting Sudoyo AW, Setiohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S. Edisi ke-5.
InternaPublishing: Jakarta, p. 280-283.
11. Adiwata R, Nelwan EJ. Snekebite in Indonesia. Acta medica Indonesia. The Indonesian journal
of Internal Medicine. 2015; 47(4)
12. Warrell DA. Guidelines for the management of snake bites. World Health Organization
Regional Office for South-East Asia. India. 2010
13. Luman A, Endang. Gigitan ular berbisa. Divisi penyakit tropik dan infeksi. Departemen Ilmu
Penyakit Dalam. FK USU.
14. Maduwage K, Isbister GK. 2014. Current Treatment for Venom-Induced Consumption
Coagulopathy Resulting from Snakebite. PLOS October 2014; Volume 8. Issue 10
15. Braun MM, Barstow CH, Pyzocha NJ, Diagnosis and management of sodium disorders:
hyponatremia and hypernatremia. Am Fam Physician, Washington: 2015
26