SNAKE BITE
Diajukan Oleh :
Pembimbing :
dr. Heru iskandar, Sp.B
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH
RSUD HARJONO PONOROGO
2017
1
REFRAT
SNAKE BITE
Disusun Oleh:
Septian Guntur Rahmanda
J510170013
Telah disetujui dan disahkan oleh bagian Program Pendidikan Profesi Fakultas
Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta
Pembimbing
dr. Heru Iskandar, Sp. B (...........................................)
Dipresentasikan di hadapan
dr. Heru Iskandar, Sp. B (...........................................)
2
BAB I
PENDAHULUAN
3
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Luka gigitan adalah cidera yang disebabkan oleh mulut dan gigi hewan
atau manusia. Hewan mungkin menggigit untuk mempertahankan dirinya, dan
pada kesempatan khusus untuk mencari makanan. Gigitan dan cakaran hewan
yang sampai merusak kulit kadang kala dapat mengakibatkan infeksi. Beberapa
luka gigitan perlu ditutup dengan jahitan, sedang beberapa lainnya cukup
dibiarkan saja dan sembuh dengan sendirinya4.
Luka gigitan penting untuk diperhatikan dalam dunia kedokteran. Luka ini
dapat menyebabkan4 :
a. Kerusakan jaringan secara umum,
b. perdarahan serius bila pembuluh darah besar terluka
c. infeksi oleh bakteri atau patogen lainnya, seperti rabies
d. dapat mengandung racun seperti pada gigitan ular
e. awal dari peradangan
Spesies ular dapat dibedakan atas ular berbisa dan ular tidak berbisa. Ular
berbisa yang bermakna medis memiliki sepasang gigi yang melebar, yaitu taring,
pada bagian depan dari rahang atasnya. Taring-taring ini mengandung saluran bisa
(seperti jarum hipodermik) atau alur, dimana bisa dapat dimasukkan jauh ke
dalam jaringan dari mangsa alamiahnya. Bila manusia tergigit, bisa biasanya
disuntikkan secara subkutan atau intramuskuler. Ular kobra yang meludah dapat
memeras bisanya keluar dari ujung taringnya dan membentuk semprotan yang
diarahkan terhadap kedua mata penyerang 2,5.
Efek toksik bisa ular pada saat menggigit mangsanya tergantung pada
spesies, ukuran ular, jenis kelamin, usia, dan efisiensi mekanik gigitan (apakah
hanya satu atau kedua taring menusuk kulit), serta banyaknya serangan yang
terjadi5.
5
B. JENIS ULAR DAN CARA MENGIDENTIFIKASINYA
Ular berbisa kebanyakan termasuk dalam famili Colubridae, tetapi pada
umumnya bisa yang dihasilkannya bersifat lemah. Contoh ular yang termasuk
famili ini adalah ular sapi (Zaocys carinatus), ular tali (Dendrelaphis pictus), ular
tikus atau ular jali (Ptyas korros), dan ular serasah (Sibynophis geminatus). Ular
berbisa kuat yang terdapat di Indonesia biasanya masuk dalam famili Elapidae,
Hydropiidae, atau Viperidae. Elapidae memiliki taring pendek dan tegak
permanen. Beberapa contoh anggota famili ini adalah ular cabai (Maticora
intestinalis), ular weling (Bungarus candidus), ular sendok (Naja sumatrana), dan
ular king kobra (Ophiophagus hannah). Viperidae memiliki taring panjang yang
secara normal dapat dilipat ke bagian rahang atas, tetapi dapat ditegakkan bila
sedang menyerang mangsanya. Ada dua subfamili pada Viperidae, yaitu
Viperinae dan Crotalinae. Crotalinae memiliki organ untuk mendeteksi mangsa
berdarah panas (pit organ), yang terletak di antara lubang hidung dan mata.
Beberapa contoh Viperidae adalah ular bandotan (Vipera russelli), ular tanah
(Calloselasma rhodostoma), dan ular bangkai laut (Trimeresurus albolabris)5
6
Gambar 1. Jenis ular Cobra(kiri) dan viper(kanan) yang banyak terdapat di
Indonesia (Sumber : Poisonus Snake in Indonesia, 2010)
C. BISA ULAR
Bisa adalah suatu zat atau substansi yang berfungsi untuk melumpuhkan
mangsa dan sekaligus juga berperan pada sistem pertahanan diri. Bisa tersebut
merupakan ludah yang termodifikasi, yang dihasilkan oleh kelenjar khusus.
Kelenjar yang mengeluarkan bisa merupakan suatu modifikasi kelenjar ludah
parotid yang terletak di setiap bagian bawah sisi kepala di belakang mata. Bisa
ular tidak hanya terdiri atas satu substansi tunggal, tetapi merupakan campuran
kompleks, terutama protein, yang memiliki aktivitas enzimatik5.
7
a. Komposisi Bisa Ular
Bisa ular mengandung lebih dari 20 unsur penyusun, sebagian besar adalah
protein, termasuk enzim dan racun polipeptida. Berikut beberapa unsur bisa ular
yang memiliki efek klinis2 :
a. Enzim prokoagulan (Viperidae) dapat menstimulasi pembekuan darah
namun dapat pula menyebabkan darah tidak dapat berkoagulasi. Bisa dari
ular Russel mengandung beberapa prokoagulan yang berbeda dan
mengaktivasi langkah berbeda dari kaskade pembekuan darah. Akibatnya
adalah terbentuknya fibrin di aliran darah. Sebagian besar dapat dipecah
secara langsung oleh sistem fibrinolitik tubuh. Segera, dan terkadang
antara 30 menit setelah gigitan, tingkat faktor pembekuan darah menjadi
sangan rendah (koagulopati konsumtif) sehingga darah tidak dapat
membeku.
b. Haemorrhagins (zinc metalloproteinase) dapat merusak endotel yang
meliputi pembuluh darah dan menyebabkan perdarahan sistemik spontan
(spontaneous systemic haemorrhage).
c. Racun sitolitik atau nekrotik mencerna hidrolase (enzim proteolitik
dan fosfolipase A) racun polipentida dan faktor lainnya yang
meningkatkan permeabilitas membran sel dan menyebabkan
pembengkakan setempat. Racun ini juga dapat menghancurkan membran
sel dan jaringan.
d. Phospholipase A2 haemolitik and myolitik ennzim ini dapat
menghancurkan membran sel, endotel, otot lurik, syaraf serta sel darah
merah.
e. Phospolipase A2 Neurotoxin pre-synaptik (Elapidae dan beberapa
Viperidae) merupakan phospholipases A2 yang merusak ujung syaraf,
pada awalnya melepaskan transmiter asetilkolin lalu meningkatkan
pelepasannya.
f. Post-synaptic neurotoxins (Elapidae) polipeptida ini bersaing dengan
asetilkolin untuk mendapat reseptor di neuromuscular junction dan
menyebabkan paralisis yang mirip seperti paralisis kuraonium2
8
Bisa ular terdiri dari beberapa polipeptida yaitu fosfolipase A,
hialuronidase, ATP-ase, 5 nukleotidase, kolin esterase, protease,
fosfomonoesterase, RNA-ase, DNA-ase. Enzim ini menyebabkan destruksi
jaringan lokal, bersifat toksik terhadap saraf, menyebabkan hemolisis atau
pelepasan histamin sehingga timbul reaksi anafilaksis. Hialuronidase merusak
bahan dasar sel sehingga memudahkan penyebaran racun6.
b. Sifat Bisa Ular
Berdasarkan sifatnya pada tubuh mangsa, bisa ular dapat dibedakan
menjadi bisa hemotoksik, yaitu bisa yang mempengaruhi jantung dan sistem
pembuluh darah; bisa neurotoksik, yaitu bisa yang mempengaruhi sistem saraf
dan otak; dan bisa sitotoksik, yaitu bisa yang hanya bekerja pada lokasi gigitan.
a. Bisa ular yang bersifat racun terhadap darah (hematotoksik)
Bisa ular yang bersifat racun terhadap darah, yaitu bisa ular yang
menyerang dan merusak (menghancurkan) sel-sel darah merah dengan
jalan menghancurkan stroma lecethine (dinding sel darah merah),
sehinggga sel darah merah menjadi hancur dan larut (hemolysis) dan
keluar menembus pembuluh-pembuluh darah, mengakibatkan timbulnya
perdarahan pada selaput mukosa (lendir) pada mulut, hidung, tenggorokan,
dan lain-lain.
b. Bisa ular yang bersifat racun terhadap saraf (neurotoksik)
Yaitu bisa ular yang merusak dan melumpuhkan jaringan-jaringan sel saraf
sekitar luka gigitan yang menyebabkan jaringan-jaringan sel saraf tersebut
mati dengan tanda-tanda kulit sekitar luka tampak kebiruan dan hitam
(nekrotik). Penyebaran dan peracunan selanjut nya mempengaruhi susunan
saraf pusat dengan jalan melumpuhkan susunan saraf pusat, seperti saraf
pernapasan dan jantung. Penyebaran bisa ular ke seluruh tubuh melalui
pembuluh limfe4.
9
C. PATOFISIOLOGI GIGITAN ULAR BERBISA
Bisa ular diproduksi dan disimpan dalam sepasang kelenjar yang berada di
bawah mata. Bisa dikeluarkan dari taring berongga yang terletak di rahang
atasnya. Taring ular dapat tumbuh hingga 20 mm pada rattlesnake besar. Dosis
bisa ular tiap gigitan bergantung pada waktu yang terlewati sejak gigitan pertama,
derajat ancaman yang diterima ular, serta ukuran mangsanya. Lubang hidung
merespon terhadap emisi panas dari mangsa, yang dapat memungkinkan ular
untuk mengubah jumlah bisa yang dikeluarkan.
Bisa biasanya berupa cairan. Protein enzimatik pada bisa menyalurkan
bahan-bahan penghancurnya. Protease, kolagenase, dan arginin ester hidrolase
telah diidentifikasi pada bisa pit viper. Efek lokal dari bisa ular merupakan
penanda potensial untuk kerusakan sistemik dari fungsi sistem organ. Salah satu
efeknya adalah perdarahan lokal, koagulopati biasanya tidak terjadi saat
venomasi. Efek lainnya, berupa edema lokal, meningkatkan kebocoran kapiler dan
cairan interstitial di paru-paru.
Mekanisme pulmoner dapat berubah secara signifikan. Efek akhirnya
berupa kematian sel yang dapat meningkatkan konsentrasi asam laktat sekunder
terhadap perubahan status volume dan membutuhkan peningkatan minute
ventilasi. Efek blokade neuromuskuler dapat menyebabkan perburukan
pergerakan diafragma. Gagal jantung dapat disebabkan oleh asidosis dan
hipotensi. Myonekrosis disebabkan oleh myoglobinuria dan gangguan ginjal7.
10
a. 15 menit : muncul gejala sistemik
b. 10 jam : paralisis otot-otot wajah, bibir, lidah, tenggorokan, sehingga sukar
berbicara, susah menelan, otot lemas, ptosis, sakit kepala, kulit dingin,
muntah, pandangan kabur, parestesia di sekitar mulut. Kematian dapat
terjadi dalam 24 jam
Gigitan Viporidae/Crotalidae
(misalnya ular tanah, ular hijau, ular bandotan puspo)
1. Gejala lokal timbul dalam 15 menit, setelah beberapa jam berupa bengkak
di dekat gigitan yang menyebar ke seluruh anggota tubuh.
2. Gejala sistemik muncul setelah 5 menit atau setelah beberapa jam
3. Keracunan berat ditandai dengan pembengkakan di atas siku dan lutut
dalam waktu 2 jam atau ditandai dengan perdarahan hebat.
Gigitan Hydropiridae
(misalnya ular laut)
1. Segera timbul sakit kepala, lidah terasa tebal, berkeringat, dan muntah.
2. Setelah 30 menit sampai beberapa jam biasanya timbul kaku dan nyeri
menyeluruh, dilatasi pupil, spasme otot rahang, paralisis otot,
mioglobinuria yang ditandai dengan urin berwarna coklat gelap (penting
untuk diagnosis), kerusakan ginjal, serta henti jantung
11
F. DIAGNOSA KLINIK
Anamnesis2 :
Anamnesis yang tepat seputar gigitan ular serta progresifitas gejala dan tanda baik
lokal dan sistemik merupakan hal yang sangat penting.
Empat pertanyaan awal yang bermanfaat :
1. pada bagian tubuh mana anda terkena gigitan ular?
Dokter dapat melihat secara cepat bukti bahwa pasien telah digigit ular (misalnya,
adanya bekas taring) serta asal dan perluasan tanda envenomasi lokal.
2. kapan dan pada saat apa anda terkena gigitan ular?
Perkiraan tingkat keparahan envenomasi bergantung pada berapa lama waktu
berlalu sejak pasien terkena gigitan ular. Apabila pasien tiba di rumah sakit segera
setelah terkena gigitan ular, bisa didapatkan sebagian kecil tanda dan gejala
walaupun sejumlah besar bisa ular telah diinjeksikan. Bila pasien digigit ular saat
sedang tidur, kemungkinan ular yang menggigit adalah Kraits (ular berbisa), bila
di daerah persawahan, kemungkinan oleh ular kobra atau russel viper (ular
berbisa), bila terjadi saat memetik buah, pit viper hijau (ular berbisa), bila terjadi
saat berenang atau saat menyebrang sungai, kobra (air tawar), ular laut (laut atau
air payau).
3. perlakuan terhadap ular yang telah menggigit anda?
Ular yang telah menggigit pasien seringkali langsung dibunuh dan dijauhkan dari
pasien. Apabila ular yang telah menggigit berhasil ditemukan, sebaiknya ular
tersebut dibawa bersama pasien saat datang ke rumah sakit, untuk memudahkan
identifikasi apakah ular tersebut berbisa atau tidak. Apabila spesies terbukti tidak
berbahaya (atau bukan ular samasekali) pasien dapat segera ditenangkan dan
dipulangkan dari rumah sakit.
4. apa yang anda rasakan saat ini?
Pertanyaan ini dapat membawa dokter pada analisis sistem tubuh yang terlibat.
Gejala gigitan ular yang biasa terjadi di awal adalah muntah. Pasien yang
mengalami trombositopenia atau mengalami gangguan pembekuan darah akan
mengalami perdarahan dari luka yang telah terjdi lama. Pasien sebaiknya
ditanyakan produksi urin serta warna urin sejak terkena gigitan ular. Pasien yang
12
mengeluhkan kantuk, kelopak mata yang serasa terjatuh, pandangan kabur atau
ganda, kemungkinan menandakan telah beredarnya neurotoksin.
Pemeriksaan fisik
Tidak ada cara yang sederhana untuk mengidentifikasi ular berbisa yang
berbahaya. Beberapa ular berbisa yang tidak berbahaya telah berkembang untuk
terlihat hampir identik dengan yang berbisa. Akan tetapi, beberapa ular berbisa
yang terkenal dapat dikenali dari ukuran, bentuk, warna, pola sisik, prilaku serta
suara yang dibuatnya saat merasa terancam.2.
Beberapa ciri ular berbisa adalah bentuk kelapa segitiga, ukuran gigi taring kecil,
dan pada luka bekas gigitan tedapat bekas gigi taring.
Gambar 3. Bekas gigitanan ular. (A) Ular tidak berbisa tanpa bekas taring, (B)
Ular berbisa dengan bekas taring (Sumber : Sentra Informasi Keracunan Nasional
adan POM, 2012)
Tidak semua ular berbisa pada waktu menggigit menginjeksikan bisa pada
korbannya. Orang yang digigit ular, meskipun tidak ada bisa yang diinjeksikan ke
tubuhnya dapat menjadi panik, nafas menjadi cepat, tangan dan kaki menjadi
kaku, dan kepala menjadi pening. Gejala dan tanda-tanda gigitan ular akan
bervariasi sesuai spesies ular yang menggigit dan banyaknya bisa yang
diinjeksikan pada korban. Gejala dan tanda-tanda tersebut antara lain adalah tanda
gigitan taring (fang marks), nyeri lokal, pendarahan lokal, memar, pembengkakan
13
kelenjar getah bening, radang, melepuh, infeksi lokal, dan nekrosis jaringan
(terutama akibat gigitan ular dari famili Viperidae)2.
Tanda dan Gejala Lokal pada daerah gigitan2:
a. Tanda gigitan taring (fang marks)
b. Nyeri lokal
c. Perdarahan lokal
d. Kemerahan
e. Limfangitis
f. Pembesaran kelenjar limfe
g. Inflamasi (bengkak, merah, panas)
h. Melepuh
i. Infeksi lokal, terbentuk abses
j. Nekrosis
14
mual, muntah, nyeri perut, lemah, mengantuk, lemas.
b. Kardiovaskuler (viperidae)
gangguan penglihatan, pusing, pingsan, syok, hipotensi, aritmia jantung, edema
paru, edema konjunctiva (chemosis)
c. Perdarahan dan gangguan pembekuan darah (Viperidae)
perdarahan yang berasal dari luka yang baru saja terjadi (termasuk perdarahan
yang terus-menerus dari bekas gigitan (fang marks) dan dari luka yang telah
menyembuh sebagian (oldrus-mene partly-healed wounds), perdarahan sistemik
spontan dari gusi, epistaksis, perdarahan intrakranial (meningism, berasal dari
perdarahan subdura, dengan tanda lateralisasi dan atau koma oleh perdarahan
cerebral), hemoptisis, perdarahan perrektal (melena), hematuria, perdarahan
pervaginam, perdarahan antepartum pada wanita hamil, perdarahan mukosa
(misalnya konjunctiva), kulit (petekie, purpura, perdarahan diskoid, ekimosis),
serta perdarahan retina.
d. Neurologis (Elapidae, Russel viper)
mengantuk, parestesia, abnormalitas pengecapan dan pembauan, ptosis,
oftalmoplegia eksternal, paralisis otot wajah dan otot lainnya yang dipersarafi
nervus kranialis, suara sengau atau afonia, regurgitasi cairan melaui hidung,
kesulitan untuk menelan sekret, paralisis otot pernafasan dan flasid generalisata.
e. destruksi otot Skeletal ( sea snake, beberapa spesies kraits, Bungarus niger and
B. candidus, western Russells viper Daboia russelii)
nyeri seluruh tubuh, kaku dan nyeri pada otot, trismus, myoglobinuria,
hiperkalemia, henti jantung, gagal ginjal akut.
f. Sistem Perkemihan
nyeri punggung bawah, hematuria, hemoglobinuria, myoglobinuria,
oligouria/anuria, tanda dan gejala uremia ( pernapasan asidosis, hiccups, mual,
nyeri pleura, dan lain-lain)
g. gejala endokrin
insufisiensi hipofisis/kelenjar adrenal yang disebabkan infark hipofisis anterior.
Pada fase akut : syok, hipoglikemia. Fase kronik (beberapa bulan hingga tahun
15
setelah gigitan) : kelemahan, kehilangan rambut seksual sekunder, kehilangan
libido, amenorea, atrofi testis, hipotiroidism
16
1 2
3 4
5 6
17
Gambar 6. Metode pressure-immobilisation pada gigitan Elapidae
(Sumber : WHO,2005)
2. Korban harus segera dibawa ke rumah sakit secepatnya, dengan cara yang
aman dan senyaman mungkin. Hindari pergerakan atau kontraksi otot
untuk mencegah peningkatan penyerapan bisa. Beberapa alat transportasi
yang dapat digunakan untuk membawa pasien adalah tandu, sepeda,
motor, kuda, kereta, kereta api, atau perahu, atau pasien dapat dipikul
(dengan firemans metode). Pasien diposisikan miring (recovery posotion)
bila ia muntah dalam perjalanan
18
4. Terapi yang dianjurkan meliputi:
a. Bersihkan bagian yang terluka dengan cairan faal atau air steril.
b. Untuk efek lokal dianjurkan imobilisasi menggunakan perban katun
elastis dengan lebar + 10 cm, panjang 45 m, yang dibalutkan kuat di
sekeliling bagian tubuh yang tergigit, mulai dari ujung jari kaki sampai
bagian yang terdekat dengan gigitan. Bungkus rapat dengan perban seperti
membungkus kaki yang terkilir, tetapi ikatan jangan terlalu kencang agar
aliran darah tidak terganggu. Penggunaan torniket tidak dianjurkan karena
dapat mengganggu aliran darah dan pelepasan torniket dapat menyebabkan
efek sistemik yang lebih berat.
c. Pemberian tindakan pendukung berupa stabilisasi yang meliputi
penatalaksanaan jalan nafas; penatalaksanaan fungsi pernafasan;
penatalaksanaan sirkulasi; penatalaksanaan resusitasi perlu dilaksanakan
bila kondisi klinis korban berupa hipotensi berat dan shock, shock
perdarahan, kelumpuhan saraf pernafasan, kondisi yang tiba-tiba
memburuk akibat terlepasnya penekanan perban, hiperkalaemia akibat
rusaknya otot rangka, serta kerusakan ginjal dan komplikasi nekrosis
lokal.
d. Pemberian suntikan antitetanus, bila korban pernah mendapatkan
toksoid maka diberikan satu dosis toksoid tetanus.
e. Pemberian suntikan penisilin kristal sebanyak 2 juta unit secara
intramuskular.
f. Pemberian analgesik untuk menghilangkan nyeri.
g. Pemberian serum antibisa.
19
Kandungan Serum Anti Bisa Ular
Tiap ml dapat menetralisasi :
a. Bisa ular Ankystrodon rhodosoma 10-50 LD50
b. Bisa ular Bungarus fascinatus 25-50 LD50
c. Bisa Ular Naya sputatrix 25-50 LD50
d. Dan mengandung Fenol 0,25% sebagai pengawet
20
1. Reaksi anafilaktik (anaphylactic shock)
Dapat timbul dengan segera atau beberapa jam setelah suntikan
2. Penyakit serum (serum sickness)
Dapat timbul 7-10 hari setelah suntikan dan dapat berupa kenaikan suhu,
gatal-gatal, sesak nafas dan lain-lain gejala alergi. Reaksi ini jarang timbul
bila digunakan serum yang sudah dimurnikan
3. Kenaikan suhu (demam) dengan menggigil
Biasanya timbul setelah pemberian serum secara intravena
4. Rasa nyeri pada tempat suantikan
Biasanya timbul pada penyuntikan serum dengan jumlah besar reaksi ini
terjadi dalam pemberian 24 jam
Oleh karena itu, pemberian serum harus berdasarkan atas indikasi yang tajam.
21
denyut nadi cepat, tekanan darah menurun, gatal-gatal, rasa tidak nyaman
di perut, sesak nafas, kesadaran menurun atau kejang.
Reaksi tersebut biasanya ringan dan mudah diatasi dengan adrenalin
1:1000.
Bila tidak timbul reaksi : suntikkan lagi serum yang tidak diencerkan 0,2
ml subkutan dan amati lagi selama 30 menit.
Bila timbul reaksi : serum jangan diberikan
Bila tidak timbul reaksi, suntikkan serum dalam dosis penuh secara
perlahan-lahan dan amati lagi paling sedikit 30 menit.
22
4. Rasa nyeri pada tempat suntikan
Keadaan ini tidak memerlukan tindakan apa-apa, karena akan menghilang
dengan sendirinya.
23
I +/ + + <3cm/12 jam 0
-
II + + +++ >12cm- +. Neurotoksik,
25cm/12jam mual, pusing, syok
III ++ + +++ >25cm/12jam ++,syok,
petekie,ekimosis
I ++ + +++ Pada satu ++, gangguan faal
V + ekstremitas ginjal, koma,
secara perdarahan
menyeluruh
Pedoman terapi SABU mengacu pada Schwartz dan Way (Depkes, 2001):
Derajat 0 dan I tidak diperlukan SABU, dilakukan evaluasi dalam 12 jam,
jika derajat meningkat maka diberikan SABU
Derajat II: 3-4 vial SABU
Derajat III: 5-15 vial SABU
Derajat IV: berikan penambahan 6-8 vial SABU
Anti bisa ular harus diberikan segera setelah memenuhi indikasi. Anti bisa ular
dapat melawan envenomasi (keracunan) sistemik walaupun gejala telah menetap
selama beberapa hari, atau pada kasus kelainan haemostasis, yang dapat
belangsung dua minggu atau lebih. Untuk itu, pemberian anti bisa tepat diberikan
selama terdapat bukti terjadi koagulopati persisten. Apakah antibisa ular dapat
mencegah nekrosis lokal masih menjadi kontroversi, namun beberapa bukti
klinins menunjukkan bahwa agar antibisa efektif pada keadaan ini, anti bisa ular
harus diberikan pada satu jam pertama setelah gigitan.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Pemeriksaan laboratorium :
1. Penghitungan jumlah sel darah
2. Pro trombine time dan activated partial tromboplastin time
3. Fibrinogen dan produk pemisahan darah
4. Tipe dan jenis golongan darah
24
5. Kimia darah, termasuk elektrolit, BUN dan Kreatinin
6. Urinalisis untuk myoglobinuria
7. Analisis gas darah untuk pasien dengan gejala sistemik
b. Pemeriksaan radiologis :
1. Thorax photo untuk pasien dengan edema pulmonum
2. Radiografi untuk mencari taring ular yang tertinggal
c. Pemeriksaan lainnya :
a. Tekanan kompartemen dapat perlu diukur. Secara komersialtersedia alat
yang steril, sederhana untuk dipasang atau dibaca, dan dapat dipercaya
(seperti Styker pressure monitor). Indikasi pengukuran tekanan
kompartemen adalah bila terdapat pembengkakan yang signifikan, nyeri
yang sangat hebat yang menghalangi pemeriksaan, dan jika parestesi
muncul pada ekstremitas yang tergigit
TINDAK LANJUT
Perawatan pasien lebih lanjut di rumah sakit :
Untuk kasus gigitan kering (bisa tidak diinjeksikan) dari ular viper, observasi di
Instalasi gawat Darurat selama 8-10 jam; namun, hal ini sering tidak mungkin
dilaksanakan. Pasien dengan tanda envenomasi (keracunan) yang berat
membutuhkan perawatan khusus di ICU untuk pemberian produk-produk darah,
menyediakan monitoring yang invasif, dan memastikan proteksi jalan nafas.
Observasi untuk gigitan ular koral minimal selama 24 jam. Buat evaluasi serial
untuk penderajatan lebih lanjut dan untuk menyingkirkan sindroma kompartemen.
Tergantung pada skenario klinik, ukur tekanan kompartemen setiap 30-120 menit.
Fasciotomi diindikasikan untuk tekanan yang lebih dari 30-40 mmHg. Tergantung
dari derajat keparahan gigitan, pemeriksaan darah lebih lanjut mungkin
dibutuhkan, seperti waktu pembekuan darah, jumlah trombosit, dan level
fibrinogen.
25
OBSERVASI DAN EVALUASI RESPON TERHADAP PEMBERIAN
ANTIBISA ULAR
Bila dosis adekuat dari antibisa yang tepat telah diberikan, beberapa respon di
bawah ini dapat diobservasi.
a. Umum : pasien merasa lebih baik, mual, muntah dan nyeri secara
keseluruhan dapat hilang secara cepat.
b. Perdarahan sistemik spontan (misalnya dari gusi) : biasanya terhenti pada
15-30 menit.
c. Koagulasi darah : biasanya terhenti dalam 3-9 jam. Perdarahan dari luka
yang menyembuh sebagian terhenti lebih cepat
d. Pada pasien syok : tekanan darah dapat meningkat antara 30-60 menit
pertama dan aritmia seperti sinus bradikardi dapat teratasi
e. Pada pasien dengan neurotoksisitas tipe post sinaps (gigitan ular kobra)
akan membaik dalam 30 menit setelah pemberian antibisa, namun
biasanya membutuhkan waktu bebeerapa jam. Pada keracunan tipe pre
sinaps (Kraits dan ular laut) tidak tampak respon.
f. Hemolisis aktif dan rhabdomyolisis menurun dalam beberapa jam dan
warna urin akan kembali ke warna normal.
Pada pasien yang terkena bisa ular viper, setelah terjadi respon awal
terhadap antibisa ular (perdarahan berkurang, koagulopati darah terhenti), tanda
keracunan sistemik dapat terjadi kembali dalam 24-48 jam. Hal ini dapat terjadi
karena :
a. Absorbsi bisa yang berlanjut dari depot pada lokasi gigitan,
kemungkinan didukung oleh peningkatkan aliran darah setelah koreksi
syok, hipovolemia, dsb, setelah terjadi eliminasi antibisa (tergantung
waktu paruh antibisa : IgG 45 jam, F(ab)2 80-100 jam; Fan 12-18 jam)
b. Redistribusi bisa dari jaringan ke dalam ruang intravaskuler, diakibatkan
oleh terapi antibisa.
26
a. koagulopati menetap atau berulang setelah 6 jamatau perdarahan
setelah 1-2 jam, terdapat perburukan gejala neurotoksik atau gejala
kardiovaskuler setelah 1-2 jam.
b. Bila darah tetap tidak koagulasi, 6 jam setlah pemberian dosis awal
antibisa, dosis yang sama harus diulang. Hal ini berdasarkan observasi
bahwa, bila dosis besar antibisa diberikan ( lebih dari cukup untuk
menetralisasi enzim pro koagulan bisa ular) diberikan pada awal, waktu
yang dibutuhkan oleh hepar untuk memperbaiki tingkat koagulasi
fibrinogen dan faktor pembekuan lainnya adalah 3-9 jam.
c. Pada pasien yang tetap mengalami perdarahan cepat, dosis antibisa
harus diulang antara 1-2 jam.
d. Pada kasus perburukan gejala neurotoksik atau gejala
kardiovaskuler, dosis awal antibisa harus diulang setelah 1-2 jam dan
perawatan pendukung harus dipertimbangkan.
27
DIAGRAM PENANGANAN GIGITAN ULAR
PASIEN DG RIWAYAT
GIGITAN ULAR
PERTOLONGAN PERTAMA:
- TENANGKAN PASIEN
- IMMOBILISASI DAERAH GIGITAN
- TRANSPOR PASIEN KE RS
YA
TIDAK
YA
TIDAK
ULAR DIBAWA KE RS
TIDAK
LIHAT RESPON2
RAWAT RAWAT
TIDAK TANDA ENVENOMASI YA
OBSERVASI* DI RS ULANGI DOSIS INISIASI
SISTEMIK MENETAP RAWAT
ANTIBISA (MAX 80-100 ml)
Disadur dari WHO Guidelines for The Clinical TIDAK ADA PERBAIKAN : ADA PERBAIKAN :
Management of Snake Bite in The South East RUJUK SEGERA OBSERVASI* DI RS
Asia Region 2005
28
KETERANGAN SKEMA
CROSS INSISI
Setelah tergigit Bisa yang dapat terbuang
3 menit 90%
15-30 menit 50%
1 jam 1%
29
1KRITERIA PEMBERIAN SERUM ANTI BISA ULAR
DERAJAT PARRISH
30
CARA PENYUNTIKAN SERUM ANTIBISA ULAR
injeksi 0,2 ml serum encerkan
1: 10 (subkutan)
Amati 30 menit
Amati 30 menit
KETERANGAN :
Reaksi Hipersensitivitas (anafilaktik) dini : pucat, kepala pusing, perasaan panas, Amati respon terhadap
batuk-batuk, kenaikan suhu, mual atau muntah-muntah, pembengkakan lidah serum antibisa ular
atau bibir, denyut nadi cepat, tekanan darah menurun, gatal-gatal, rasa tidak
nyaman di perut, sesak nafas, kesadaran menurun atau kejang
31
a. koagulopati menetap atau berulang setelah 6 jamatau perdarahan
setelah 1-2 jam, terdapat perburukan gejala neurotoksik atau gejala
kardiovaskuler setelah 1-2 jam.
b. Bila darah tetap tidak koagulasi, 6 jam setlah pemberian dosis awal
antibisa, dosis yang sama harus diulang. Hal ini berdasarkan observasi
bahwa, bila dosis besar antibisa diberikan ( lebih dari cukup untuk
menetralisasi enzim pro koagulan bisa ular) diberikan pada awal, waktu
yang dibutuhkan oleh hepar untuk memperbaiki tingkat koagulasi
fibrinogen dan faktor pembekuan lainnya adalah 3-9 jam.
c. Pada pasien yang tetap mengalami perdarahan cepat, dosis antibisa
harus diulang antara 1-2 jam.
Pada kasus perburukan gejala neurotoksik atau gejala kardiovaskuler, dosis
awal antibisa harus diulang setelah 1-2 jam dan perawatan pendukung harus
dipertimbangkan
32
* OBSERVASI
Keadaan umum dan vital sign, tanda envenomasi (keracunan) bisa ular,
pemeriksaan penunjang,
Untuk kasus gigitan kering (bisa tidak diinjeksikan) dari ular viper,
observasi di Instalasi gawat Darurat selama 8-10 jam, dilanjutkan
observasi di ruangan
Pasien dengan tanda envenomasi (keracunan) yang berat membutuhkan
perawatan khusus di ICU untuk pemberian produk-produk darah,
menyediakan monitoring yang invasif, dan memastikan proteksi jalan
nafas.
Observasi untuk gigitan ular koral minimal selama 24 jam.
Evaluasi serial untuk penderajatan lebih lanjut dan untuk menyingkirkan
sindroma kompartemen.
- Ukur tekanan kompartemen setiap 30-120 menit.
- Fasciotomi diindikasikan untuk tekanan yang lebih dari 30-40 mmHg.
Tergantung dari derajat keparahan gigitan, pemeriksaan darah lebih lanjut
mungkin dibutuhkan, seperti waktu pembekuan darah, jumlah trombosit,
dan level fibrinogen
** PERAWATAN KONSERVATIF
1. Bed rest
2. Perawatan luka dengan iodine, hibitane
3. Akses intravena (cairan dan obat-obatan)
4. Pemberian obat-obatan sedatif (Diazepam, Promethazine)
5. Pemberian obat-obatan analgesik (ASA, Paracetamol, Ibuprofen,
Indomethacin, Petidine)
6. Pemerian Antibiotika profilaksis (PPF, Amoxicillin, Ampicillin,
Gentamicin)
7. Pemberian toxoid Tetanus
8. Pemberian Steroid (Hidrocortison, Dexamethasone)
33
H. KOMPLIKASI GIGITAN ULAR
Sindrom kompartemen adalah komplikasi tersering dari gigitan ular pit
viper. Komplikasi luka lokal dapat meliputi infeksi dan hilangnya kulit.
Komplikasi kardiovaskuler, komplikasi hematologis, dan kolaps paru dapat
terjadi. Jarang terjadi kematian. Anak-anak mempunyai resiko lebih tinggi untuk
terjadinya kematian atau komplikasi serius karena ukuran tubuh mereka yang
lebih kecil. Perpanjangan blokade neuromuskuler timbul dari envenomasi
ularkoral.
Komplikasi yang terkait dengan antivenin termasuk reaksi
hipersensitivitas tipe cepat (anafilaksis, tipe I) dan tipe lambat (serum sickness,
tipe III). Anafilaksis terjadi dimediasi oleh immunoglobulin E (IgE), berkaitan
dengan degranulasi sel mast yang dapat berakibat laryngospasme, vasodilatasi,
dan kebocoran kapiler. Kematian umumnya pada korban tanpa intervensi
farmakologis. Serum sickness dengan gejala demam, sakit kepala, bersin,
pembengkakan kelenjar lymph, dan penurunan daya tahan, muncul 1 2 minggu
setelah pemberian antivenin. Presipitasi dari kompleks antigen-immunoglobulin G
(IgG) pada kulit, sendi, dan ginjal bertanggung jawab atas timbulnya arthralgia,
urtikaria, dan glomerulonephritis (jarang). Biasanya lebih dari 8 vial antivenin
harus diberikan pada sindrom ini. Terapi suportif terdiri dari antihistamin dan
steroid7.
34
Tidak semua gigitan oleh ular berbisa menghasilkan racun berbisa. Pada
lebih dari 20% gigitan oleh rattlesnake dan moccasin, sebagai contoh, tidak ada
bisa yang disuntikan. Hal ini disebut gigitan kering yang bahkan lebih umum pada
gigitan yang diakibatkan oleh elapid. Gigitan kering (tanpa injeksi bisa ular)
memiliki komplikasi yang sama dengan gigitan ular tidak berbisa. Seorang korban
yang masih sangat muda, tua, atau memiliki penyakit sistemik lain sebagian besar
tidak mampu mentoleransi jumlah injeksi bisa yang sama dengan orang dewasa
yang sehat. Ketersediaan perawatan medis darurat dan, yang paling penting,
antibisa ular, dapat mempengaruhi bagaimana keadaan korban.
Efek bisa yang serius dapat tertunda untuk beberapa jam. Seorang korban yang
awalnya terlihat baik kondisinya dapat menjadi sangat kesakitan. Seluruh korban
yang tergigit oleh ular berbisa harus segera mendapat perawatan medis tanpa
harus ditunda-tunda.
35
DAFTAR PUSTAKA
36