Anda di halaman 1dari 54

BAB I

Laporan Kasus
I.

IDENTITAS PASIEN
Nama
Umur
Agama
Pendidikan
Suku
Pekerjaan
Alamat
Masuk RS

IV.

: Nn. A
: 28
: Islam
: SMA
: Bogor
: Tenaga Kerja Wanita
: Jl. Ujung Harapan RT 01/02 Babelan, Bekasi Utara
: 31 Juli 2016

ANAMNESA (saat masuk RS)


Anamnesis dilakukan dengan autoanamnesa dam alloanamnesa pada
tanggal 31 Juli 2016 di OK Sentral RS POLRI Raden Sukanto Jakarta
Timur.
Keluhan Utama
: Benjolan di leher
Keluhan Tambahan : (-)
Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien masuk rumah sakit di rawat di Ruang Teratai 1 pada tanggal 31 Juli
2016 dengan keluhan benjolan di leher kanan sejak 1 tahun sebelum
masuk rumah sakit. Benjolan disertai nyeri. Demam disangkal. Pasien
datang untuk persiapan operasi.
Riwayat Penyakit Dahulu :
-

Pasien memiliki riwayat benjolan di leher yang sama sebelumnya.

Riwayat Penyakit Keluarga :


-

Ayah pasien memiliki hipertensi.

Riwayat Alergi:
-

Pasien tidak memiliki riwayat alergi obat.

Riwayat Operasi :
Riwayat operasi mengangkat benjolan yg sama sebelumnya.

III.

PEMERIKSAAN FISIK
Diperoleh dari rekam medik :

Keadaan umum : Tampak Sakit Ringan


Status Kesadaran : Compos Mentis
Kesadaran
: GCS:15 (E :4 M: 6 V:5 )
1

Tekanan darah
Nadi
Suhu
RR
Berat badan
Tinggi badan

: 110/70 mmHg
: 85x / menit
: 37,0 C
: 20x/menit
: 50 kg
: 158 cm

KEPALA
-

Tidak terdapat deformitas


Penyebaran rambut pasien

terdapat kebotakan
Kekuatan rambut pasien masih kuat,tidak

merata,tidak

mudah rontok

MATA

HIDUNG

TELINGA

MULUT

LEHER

- Konjungtiva tidak pucat


- Sklera tidak ikterik
- Gerakan bola mata mengikuti arah cahaya
- Respon pupil kanan dan kiri terhadap cahaya
-

baik.
Hidung simetris kiri-kanan

Lubang hidung tidak tampak ada sekret

: -

Daun telinga simetris kiri-kanan


Fungsi pendengaran normal
Liang telinga bersih, tidak terdapat serumen
Mukosa tidak tampak kering
Tidak terlihat adanya pembesaran pada

tonsil
Teraba adanya massa pada leher ukuran 3x2

: : -

Bentuk thorax normal,tidak tampak kelainan


Gerakan dada kanan-kiri simetris
Tidak teraba pelebaran sela iga
Ekspansi paru normal
Vocal fremitus kanan-kiri sama normal
Perkusi pada paru didapatkan sonor pada

cm
THORAX
INSPEKSI

PALPASI

PERKUSI

semua lapangan paru

AUSKULTASI

Batas paru hati terdapat di Intercostal V

Suara nafas: vesiculer di seluruh lapang paru

Suara jantung : normal, tidak terdengar


bunyi murmur atau suara jantung tambahan

ABDOMEN
INSPEKSI

: -

terdapat lesi.
: Tidak teraba pembesaran hati dan spleen
: Bunyi timpani pada seluruh lapang

PALPASI
PERKUSI

Permukaan abdomen rata. Tidak

abdomen

IV.

AUSKULTASI

: -

Bising usus (+) normal,4x/min

PEMERIKSAAN PENUNJANG
26 Juli 2016
Hemoglobin
: 12.0 g/dL (13-16 g/dL)
Hematokrit
: 36% (40-48%)
Leukosit
: 8.200/uL (5.000-10.000/uL)
Trombosit
: 307.000/uL
Masa Perdarahan
: 1 (1-6 menit)
Masa Pembekuan
:11 (10-15 menit)

Kimia Klinik:

V.

SGOT
SGPT
Glukosa Darah Sewaktu
Ureum
Kreatinin

: 13,2 U/L
: 6,9 U/L
: 97
: 23 mg/dL
: 0,5 mg/dL

Laporan operasi
- Dokter ahli bedah: dr. Taslim Sp.B.Onk
- Asisten: Zr. Fitrah/Zr. Puput
- Perawat: Zr. Endar
- Ahli anestesi: dr. Naufal Sp.An
- Jenis anestesi: GA
- Diagnosis pre-op: Ca Thyroid
- Tanggal operasi: 1 Agustus 2016
- Jam mulai: 18.20
- Jam selesai: 19.20
- Lama operasi: 1 jam
Laporan operasi:

1
2
3
4

Pasien Supine dengan General Anastesi.


Insisi di bekas luka operasi.
Total tiroidektomi
Operasi selesai

Laporan anestesi operasi


-

Nama ahli anestesi: dr. Naufal Sp.An


Nama ahli bedah: dr. Taslim, Sp.B.Onk
Nama perawat/bidan: Zr. Endar
Diagnosis pre op: Ca Thyroid
Premedikasi: Fentanyl 100 mcg
Nama/macam operasi: Total Tiroidektomi
Jenis anestesi: GA
Cairan: RL
Tanggal: 1 Agustus 2016
Jam anestesi mulai: 18.20
Jam anestesi selesai: 19.20
Lama anestesi: 1 jam

Persiapan Operasi
-

Surat izin Operasi


Puasa 6-8 jam sebelum operasi
Tidak memakai perhiasan/kosmetik
Tidak ada gigi palsu
Memakai baju khusus kamar bedah.

VI. Laporan Anestesi


Anastesi: General Anestesi.
Medikasi:
-

Propofol 200 mg
Piralen 10 mg
Tramadol 100 mg
Vit K 10 mg
Transamin 250 mg
CROME 50 mg
Noveron 50 mg

Teknik Anestesi:
1. Melakukan pemasangan monitor TTV dan saturasi oksigen (SO2)

2. Persiapan alat ETT no.6,5, laryngoscope, oropharyngeal airway (guedel),


gas anestesi O2, N2O dan Sevofluren, Propofol 200 mg, Noveron 50 mg,
As. Traneksamat 250 mg, Crome 50 mg, Tramadol 100 mg, Vit. K 10 mg.
3. Preoksigenasi dengan face mask
4. Induksi dengan propofol 200 mg dilanjutkan osigenasi, kemudian periksa
reflex bulu mata
5. Bila reflex bulu mata (-), masukan noveron 50 mg,
6. Bila relaxant sudah bekerja ( 1 3 menit), dilakukan intubasi dengan
laryngoscope dan ETT no. 6,5. Lalu auskultasi di kedua lapang paru. Bila
sudah dipastikan masuk (suara nafas kanan sama dengan kiri). ETT di
fiksasi, lalu dipasang oropharyngeal airway (guedel)
7. Monitor TTV dan jalan nafas
8. Diberikan As. Traneksamat 250 mg untuk efek anti-plasminic dan
mencegah degredasi fibrin, Crome 50 mg untuk mengatasi perdarahan dan
Vit. K 10 mg.
9. Saat luka insisi mulai dijahit lapis demi lapis diberikan Tramadol 100 mg.
10. Pasien dibangunkan. Saat pasien sudah dapat bernafas spontan dilakukan
ekstubasi.

VII. DIAGNOSIS
Pasien wanita 28 tahun dengan kanker tiroid
VIII. PROGNOSIS
Quo ad vitam
: dubia ad Bonam
Quo ad functionam : dubia ad Bonam
Quo ad sanantionam : dubia ad Bonam

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kelenjar Tiroid
2.1.1. Anatomi
Kelenjar tyroid terletak dibagian bawah leher, antara fascia koli media dan
fascia prevertebralis. Didalamruang yang sama terletak trakhea, esofagus,
pembuluh darah besar, dan syaraf. Kelenjar tyroid melekat pada trakhea sambil
melingkarinya dua pertiga sampai tiga perempat lingkaran. Keempat kelenjar
paratyroid umumnya terletak pada permukaan belakang kelenjar tyroid.
Tyroid terdiri atas dua lobus, yang dihubungkan oleh istmus dan menutup
cincin trakhea 2 dan 3. Kapsul fibrosa menggantungkan kelenjar ini pada fasia
pretrakhea sehingga pada setiap gerakan menelan selalu diikuti dengan
terangkatnya kelenjar kearah kranial. Sifat ini digunakan dalam klinik untuk
menentukan apakah suatu bentukan di leher berhubungan dengan kelenjar tyroid
atau tidak.
Vaskularisasi kelenjar tyroid berasal dari a. Tiroidea Superior (cabang dari
a. Karotis Eksterna) dan a. Tyroidea Inferior (cabang a. Subklavia). Setiap folikel
lymfoid diselubungi oleh jala-jala kapiler, dan jala-jala limfatik, sedangkan sistem
venanya berasal dari pleksus perifolikular.

Gambar 1. Anatomi Kelenjar Tiroid

Nodus Lymfatikus tyroid berhubungan secara bebas dengan pleksus


trakhealis yang kemudian ke arah nodus prelaring yang tepat di atas istmus, dan
ke nl. Pretrakhealis dan nl. Paratrakhealis, sebagian lagi bermuara ke nl.
Brakhiosefalika dan ada yang langsung ke duktus thoraksikus. Hubungan ini
penting untuk menduga penyebaran keganasan.
2.1.2. Histologi
Kelenjar tiroid terdiri dari nodul-nodul yang tersusun dari folikel-folikel
kecil yang dipisahkan satu dengan yang lainnya oleh suatu jaringan ikat. Folikelfolikel tiroid dibatasi oleh epitel kubus dan lumennya terisi oleh koloid. Sel-sel
epitel folikel merupakan tempat sintesis hormone tiroid dan mengaktikfkan
pelepasannya ke dalam sirkulasi, untuk kemudian memengaruhi denyut jantung,
suhu tubuh dan tingkat energy.
Sel penyekresi hormon lain dalam kelenjar tiroid yaitu sel parafolikular
atau sel C yang terdapat pada dasar folikel dan berhubungan dengan membran

folikel. Sel ini berasal dari badan ultimobrankial embriologis dan menyekresi
kalsitonin, suatu hormon yang dapat menurunkan kadar kalsium serum.
Gambar 2. Histologi Kelenjar Tiroid

2.1.3. Fisiologi

Kelenjar tiroid merupakan tempat penyimpanan iodin tubuh, lebih dari 90%
iodine disimpan dalam kelenjar tiroid. Kebutuhan total iodin tubuh adalah 0,1mg
dan dapat diperoleh dari zat-zat makanan seperti ikan, susu, telur, dan dapat
berupa zat tambahan dalam roti atau garam. Iodin akan diserap dalam jejunum
dalam bentuk iodide dan masuk ke dalam pembuluh darah untuk diedarkan
keseluruh tubuh. Iodin ditranspor secara aktif menuju ke sel-sel folikuler oleh
adenosin triphosphat (ATP) untuk kemudian disimpan di kelenjar tiroid.
Kelenjar tiroid menghasilkan hormon tiroid utama yaitu tiroksin (T 4) yang
kemudian berubah menjadi bentuk aktifnya yaitu triyodotironin (T 3). Iodium
nonorganik yang diserap dari saluran cerna merupakan bahan baku hormon tiroid.
Zat ini dipekatkan kadarnya menjadi 30-40 kali sehingga mempunyai afinitas
yang sangat tinggi di dalam jaringan tiroid.
T3 dan T4 yang dihasilkan ini kemudian akan disimpan dalam bentuk
koloid di dalam tiroid. Sebagian besar T4 kemudian akan dilepaskan ke sirkulasi
sedangkan sisanya tetap di dalam kelenjar yang kemudian mengalami daur ulang.
Dalam sirkulasi, hormon tiroid akan terikat oleh protein yaitu globulin pengikat
tiroid (thyroid binding globulin, TBG) atau prealbumin pengikat albumin
(thyroxine binding prealbumine, TBPA).
Sekresi hormon tiroid dikontrol oleh axis hipotalamus-pituitari-tiroid.
Hipotalamus akan memproduksi hormon, yaitu Thyrotropin-Releasing Hormone
(TRH) yang akan merangsang pengeluaran hormon stimulator tiroid (thyroid
stimulating hormone, TSH) oleh kelenjar pituitari bagian anterior. TSH
memegang peranan terpenting untuk mengatur sekresi dari kelenjar tiroid. Proses
yang dikenal sebagai negative feedback sangat penting dalam proses pengeluaran
hormon tiroid ke sirkulasi. Jika TSH meningkat, maka kerja kelenjar tiroid dalam
memproduksi hormone T3 dan T4 meningkat, dan hal sebaliknya terjadi jika TSH
menurun. Tetapi, kerja TSH juga diatur oleh jumlah hormone tiroid yang beredar
dalam darah. Apabila kadar T3 dan T4 tinggi dalam darah, maka TSH akan
menurun agar kelenjar tiroid mengurangi produksi hormon.
Dengan demikian, sekresi tiroid dapat mengadakan penyesuaian terhadap
perubahan-perubahan di dalam maupun di luar tubuh. Juga dijumpai adanya sel

parafolikuler yang menghasilkan kalsitonin yang berfungsi untuk mengatur


metabolisme kalsium, yaitu menurunkan kadar kalsium serum terhadap tulang.
Untuk membentuk tiroksin dalam jumlah normal, setiap tahunnya
dibutuhkan kira-kira 50 mg yodium yang ditelan dalam bentuk iodide, atau kirakira 1 mg per minggu. Iodida tersebut akan digunakan secara kolektif oleh
kelenjar tiroid untuk sintesis hormone tiroid.
Hormon-hormon

tiroid

memiliki

efek

pada

pertumbuhan

sel,

perkembangan dan metabolisme energi. Hormon tiroid juga dapat merangsang


pertumbuhan somatic dan berperan dalam perkembangan normal system saraf
pusat pada janin.

Gambar 3. Axis hormon hipotalamus-pituitari-kelenjar tiroid

2.2. Karsinoma Tiroid


2.2.1. Definisi
Karsinoma tiroid adalah suatu pertumbuhan yang ganas dari kelenjar
tiroid. Keganasan tiroid dikelompokkan menjadi karsinoma tiroid berdiferensi
baik, yaitu bentuk papiler,folikuler, atau campuran keduanya, karsinoma meduler
yang berasal dari sel parafolikuler yang mengeluarkan kalsitonin, dan karsinoma
berdiferensiasi buruk/anaplastik. Karsinoma sekunder pada kelenjar tiroid sangat
jarang dijumpai. Perubahan dari struma endemik menjadi kasinoma anaplastik
dapat terjadi terutama pada usia lanjut.

2.2.2. Epidemiologi
Karsinoma tiroid termasuk jenis kanker kelenjar endokrin terbanyak
jumlahnya, hampir 10 kali lebih banyak dibandingkan kanker kelenjar endokrin
lainnya. Angka kejadian karsinoma tiroid tidak dapat ditentukan secara pasti.
Temuan karsinoma tiroid pada autopsi berkisar 2,3 - 2,8 %. Bila diambil dari
kasus nodul tiroid, angka ini mencapai 4 % dari kasus nodul tiroid.
Walaupun suatu data registrasi berdasarkan populasi yang menggambarkan
insidens karsinoma tiroid ini ataupun kanker lain belum ada di Indonesia, namun
berdasarkan registrasi patologi (pathological base registration) dapat dikemukakan
bahwa karsinoma tiroid menempati urutan ke 9 dari sepuluh keganasan tersering
yang dijumpai yaitu 4,3 % dengan angka kematian (mortality rate) yang belum
ada catatannya.
Banyak tipe tumor yang dapat tumbuh pada kelenjar tiroid. Hampir semua
tumor-tumor ini adalah jinak (non-kanker). Yang lainnya adalah maligna (kanker),
yang berarti dapat menyebar kedalam jaringan terdekat dan kebagian lain dari
tubuh.
Sekitar 1 dari 20 nodul tiroid adalah kanker. Dua tipe kanker tiroid yang
paling sering adalah karsinoma papiliferum dan karsinoma folikuler. Karsinoma
sel hurthle adalah subtipe dari karsinoma folikuler. Ada beberapa tipe lain dari
kanker tiroid seperti karsinoma tiroid meduler dan karsinoma anaplastik.
Berdasarkan jenis histopatologi dan urutan angka kejadian (menurut
National Cancer Data Base [NCDB]) terbanyak adalah: karsinoma tiroid jenis
papilar (80%), kemudian berturut-turut karsinoma tiroid jenis folikuler (11%),
jenis sel hurthel (3%), jenis anaplastik (4%), dan jenis meduler (2%).
2.2.3. Etiologi dan Faktor Resiko
Paparan radiasi pada daerah leher sewaktu kecil, usia, jenis kelamin, dan
riwayat keluarga merupakan faktor risiko untuk karsinoma tiroid tipe welldifferentiated.
Secara klinis, khusus untuk karsinoma tiroid, berbagai hipotesis muncul
tentang etiologi karsinoma tiroid, yang menggambarkan bahwa sebenarnya

10

etiologi yang pasti belum diketahui, seperti berbagai keganasan yang lain yang
juga yang belum diketahui penyebabnya.
Terdapat beberapa faktor risiko yang dianggap memiliki risiko terhadap
terjadinya keganasan tiroid yaitu :
a. Usia
Secara umum, kanker tiroid terjadi pada usia antara 20 hingga 60 tahun.
Faktor risiko ini berkaitan dengan jenis histopatologi yang ditemukan. Pada
anak berusia kurang dari 20 tahun dengan nodul tiroid, risiko keganasan
didapatkan 2x lipat lebih besar daripada kelompok dewasa.
b. Jenis Kelamin
Perbandingan terjadinya karsinoma tiroid pada perempuan dan laki-laki
c.
d.
e.
f.

ialah 3:1
Ras
Genetik
Riwayat penyakit dalam keluarga
Diet
Masyarakat yang tinggal pada daerah endemik goiter memiliki risiko

karsinoma tiroid lebih tinggi, khususnya pada jenis papiler dan folikuler.
g. Riwayat radiasi
Dampak ionisasi pada radiasi merupakan satu-satunya faktor risiko yang
terbukti berperan pada keganasan tiroid.
h. Kelainan tiroid sebelumnya
Tabel 1. Faktor yang Meningkatkan Faktor Risiko Keganasan7
Faktor-faktor yang Meningkatkan Risiko Potensi Keganasan
Riwayat paparan radiasi pada daerah leher dan kepala
Riwayat keluarga
Usia <14 tahun atau >70 tahun
Perempuan
Nodul yang terus membesar
Konsistensi yang keras
Adenopati servikal
Nodul yang terfiksasi
Disfonia, disfagia, atau dipsnea yang menetap

2.2.4. Patogenesis
Walaupun terdapat berbagai macam faktor risiko pada keganasan tiroid,
mekanisme pasti proses onkogenesis tiroid dan hubungan antara gambaran nodul
tiroid pada ultrasonografi serta karakteristik biologisnya masih belum diketahui.
11

1. Hipotiroid
Hipotiroid diketahui sebagai stimulus pertumbuhan kelenjar tiroid.
Pada kelainan ini, sintesis dan produksi hormon tiroid serta proliferasi sel-sel
folikular dimediasi oleh sekresi TSH. Penurunan kadar hormon tiroid akan
merangsang peningkatan TSH. Pengikatan TSH dengan reseptornya
menyebabkan terjadinya produksi cAMP. Kadar cAMP yang tinggi akan
mengaktivasi protein kinase A yang dependen pada cAMP, kemudian
memfosforilasi substratnya. Salah satu substrat tersebut merupakan faktor
CREB yang dapat mengaktifkan transkripsi gen, proses yang bertanggung
jawab pada proliferasi sel-sel tiroid. Kaskade ini memiliki peran pada
pertumbuhan tumor dalam kelainan hipotiroid dan juga kanker tiroid jenis
well-differentiated. Beberapa studi juga menunjukkan bahwa risiko keganasan
nodul tiroid berbanding lurus dengan peningkatan kadar TSH.
2. Perubahan Molekuler
Perubahan utama yang berperan pada onkogenesis tiroid adalah
mutasi BRAF dan RAS, serta rearrangement pada RET-PTC dan
PAX8/PPAR-gamma.
Gen BRAF terlibat pada jalur pensinyalan RAS/RAF/MEK.
Normalnya BRAF kinase yang diaktifkan oleh ikatan dengan protein RAS
akan menstimulasi terjadi proses kaskade sehingga terjadi pertumbuhan dan
proliferasi sel. Mutasi gen tersebut mengakibatkan aktivitas fosforilasi yang
permanen pada protein BRAF, tidak bergantung lagi pada ikatan dengan
protein RAS. Pada studi yang dilakukan terhadap 115 penderita kanker tiroid
papiler, ditemukan mutasi gen BRAF pada 72 kasus (63%).18
Mutasi lain yang umumnya ditemukan adalah mutasi aktif pada gen
RAS. Selain pada keganasan tiroid, mutasi ini juga didapatkan pada adenoma
folikuler jinak.

19

Meski demikian, mutasi RAS dikaitkan dengan peningkatan

risiko terjadinya karsinoma tiroid folikuler.

12

Gambar 4. Hipotesis karsinogenesis pada tipe karsinoma tiroid yang berbeda.

3. Penyakit Autoimun Tiroid


Korelasi antara tiroiditis Hashimoto (HT) dan karsinoma tiroid papiler
(PTC) masih menjadi perdebatan. Beberapa ahli bahkan menyebutkan bahwa
HT merupakan faktor risiko perkembangan PTC. Lebih lanjut lagi, baik HT
maupun PTC menunjukkan epidemiologi dan gambaran molekular yang
hampir serupa, yaitu: riwayat paparan radiasi, peningkatan insiden pada
perempuan, tinggal pada area dengan konsumsi tinggi iodium.1
4. Kehamilan

Gambar 5. Faktor utama yang mempengaruhi onkogenesis dan progresi tumor pada kelenjar tiroid
selama masa kehamilan

2.2.5. Klasifikasi
a. Karsinoma tiroid papiler
13

Tipe ini merupakan golongan terbesar dari karsinoma tiroid (hampir 80%).
Umumnya tumbuh lambat, terdapat pada usia kurang dari 40 tahun. Sering
ditemukan di daerah yang banyak iodium. Penyebaran secara limfogen pada
kelenjar getah bening. Gambaran makroskopis: konsistensi keras, keputihan,
permukaan yang dipotong granular dengan kemungkinan kalsifikasi.
Gambaran histopatologi karakteristik ditemukannya struktur papiler dari sel
ganas yang uniform baik ukuran maupun intinya.
b. Karsinoma tiroid folikular
Golongan terbanyak kedua setelah adenokarsinoma papiler yakni 10-20%
dari keganasan tiroid. Lebih ganas dari golongan pertama. Sering ditemukan
di daerah yang kekurangan iodium. Lebih banyak pada usia diatas 40 tahun.
Penyebaran terutama melalui sistim vaskular (hematogen), metastasis jauh ke
tulang, alat-alat viseral seperti hati, paru-paru dan kulit, jarang pada kelenjar
getah bening regional.
c. Karsinoma tiroid medular
Ditemukan pada usia tua (50-60 tahun). Insiden 5,1% dari semua keganasan
tiroid. Berasal dari sel C atau para folikuler yang terletak pada bagian atas
dan tengah lobus tiroid. Mikroskopis terlihat adanya hiperplastik sel C yang
mengandung immunoreaktif kalcitonin. Karsinoma ini disebut karsinoma
solidum karena sangat keras seperti batu. Metastasis cepat dan tidak adekuat
dengan penatalaksanaan nonbedah.
d. Karsinoma tiroid anaplastik
Kasus yang jarang yakni kurang dari 5% keganasan tiroid. Perjalanan
penyakit sangat cepat dan fatal. Penyebaran melalui sistem getah bening dan
bermetastasis jauh. Terdapat penekanan dan invasi karsinoma berupa gejala
obstruksi pernafasan atau obstruksi esofagus. Secara histopatologi terdiri dari
anaplastik spindle cell, giant cell dan small cell.

2.2.6. Manifestasi Klinis


Gejala karsinoma tiroid adalah sebagai berikut :

14

1. Pembesaran nodul yang relatif cepat, dan nodul anaplastik cepat sekali
( dihitung dalam minggu), tanpa nyeri.
2. Merasakan adanya gangguan mekanik di leher, seperti gangguan menelan
yang menunjukan adanya desakan esophagus, atau perasaan sesak yang
menunjukkan adanya desakan ke trakea.
3. Pembesaran KGB di daerah leher (mungkin metastasis)
4. Penonjolan / kelainan pada tulang tempurung kepala ( metastasis ke
tengkorak)
5. Perasaan sesak dan batuk-batuk disertai dahak berdarah ( metastasis di
paru-paru bagi jenis folikular)
Kecurigaan klinis adanya karsinoma tiroid didasarkan atas observasi yang
dikonfirmasikan dengan pemeriksaan patologis, dibagi dalam kecurigaan tinggi,
sedang dan rendah.
Yang termasuk kecurigaan tinggi adalah:
o Riwayat neoplasma endokrin multipel dalam keluarga
o Pertumbuhan tumor cepat
o Nodul teraba keras
o Fiksasi daerah sekitar
o Paralisis pita suara
o Pembesaran kelenjar limfe regional
o Adanya metastasis jauh
Kecurigaan sedang adalah:
o Usia > 60 tahun
o Riwayat radiasi leher
o Jenis kelamin pria dengan nodul soliter
o Tidak jelas adanya fiksasi daerah sekitar
o Diameter lebih besar dari 4 cm dan kistik
Kecurigaan rendah adalah tanda atau gejala diluar / selain yang disebutkan
diatas.
2.2.7. Diagnosis

15

A. Anamnesa dan Pemeriksaan Fisik


Dengan anamnesa dan pemeriksaan fisik yang baik diusahakan dapat
menegakkan diagnosis yang sesuai. Kecurigaan adanya proses keganasan
secara klinis pada penderita struma nodosa, apabila ditemukan hal sebagai
berikut :
o Anamnesa :
a. Pengaruh usia dan jenis kelamin
Apabila nodul tiroid terjadi pada usia dibawah 20 tahun atau diatas 50
tahun mempunyai resiko malignansi lebih tinggi
b. Pengaruh radiasi di daerah leher dan kepala
Radiasi pada masa anak-anak dapat menyebabkan malignansi pada
tiroid 33-37 %
c. Kecepatan tumbuh tumor
Nodul jinak membesar dalam waktu yang tidak terlalu cepat
Nodul ganas membesar dalam waktu yang cepat
Nodul anaplastik membesar dengan sangat cepat
Kista dapat membesar dengan cepat
d. Riwayat gangguan mekanik di daerah leher
Keluhan gangguan menelan, perasaan sesak, perubahan suara dan
nyeri (dysfagia) dapat terjadi akibat desakan dan/atau infiltrasi tumor.
e. Riwayat penyakit serupa pada keluarga (karsinoma tiroid atau panyakit
yang tergolong pada multipel endokrin neoplasma II
(phaeochromocitoma , mukosal neuroma dan ganglioneuromatosis,
paratiroid hiperplasia))
o Pemeriksaan Fisik :
Inspeksi:
Adanya benjolan di leher depan atau lateral
Bila terlihat sesak, waspada adanya penekanan pada trakea
Palpasi:
Benjolan kita palpasi, kalau dari tiroid maka pada waktu

menelan akan ikut ke atas.


Pada tumor primer dapat berupa suatu nodul soliter atau
multipel dengan konsistensi bervariasi dari kistik sampai dengan
keras bergantung dari jenis patologi anatominya tetapi biasanya
massa yang merupakan suatu karsinoma berukuran > 4 cm
dengan konsistensi keras dan tidak bisa digerakkan dari
dasarnya.

16

Bila kelenjar besar sekali tetapi belum terlihat gejala sesak


napas, kita bisa tetap curiga ada tidaknya penekanan pada
trakhea, caranya dengan menekan lobus lateral kelenjar maka

akan timbul stridor akibat penekanan pada trakea.


Ada tidaknya pembesaran KGB regional secara lengkap.
Ada tidaknya benjolan pada tulang belakang, clavicula, sternum
serta tempat metastase jauh lainnya di paru, hati, ginjal dan otak.

Meskipun keganasan dapat saja terjadi pada nodul yang multiple, namun
pada umumnya pada keganasan nodulnya biasanya soliter dan konsistensinya
keras sampai sangat keras. Yang multiple biasanya tidak ganas kecuali apabila
salah satu dari nodul tersebut lebih menonjol dan lebih keras dari pada yang
lainnya. Nodul soliter pada tiroid kemungkinan ganasnya 15-20%, sedangkan
nodul multipel mempunyai kemungkinan 5%. Apabila suatu nodul nyeri pada
penekanan dan mudah digerakkan, kemungkinannya ialah suatu perdarahan ke
dalam kista, suatu adenoma atau tiroditis. Tetapi kalau nyeri dan sukar
digerakkan kemungkinan besar suatu karsinoma.
Nodul yang tidak nyeri, apabila multiple dan bebas dan digerakan
mungkin ini merupakan komponen struma difus atau hyperplasia tiroid.
Namun apabila nodul multiple tidak nyeri tetapi tidak mudah digerakkan ada
kemungkinan itu suatu keganasan. Adanya limfadenopati mencurigakan suatu
keganasan dengan anak sebar.
Dari suatu penelitian yang dilaksanakan di Subbagian Bedah Onkologi
tentang tanda-tanda klinis kecurigaan pada keganasan dengan ketepatan
sebesar 82,6 % untuk keadaan :
o

Batas nodul yang tidak tegas

Nodul dengan konsistensi keras

Nodul disertai pembesaran kelenjar getah bening leher

Letak nodul di isthmus

Permukaan nodul yang berbenjol (tidak rata)

17

Stadium klinis karsinoma tiroid ditentukan berdasarkan ukuran tumor


primer, keterlibatan nodi lymphoidea dan penyebaran ke organ yang jauh.11
T

Tumor Primer

Tx

: Tumor primer tidak dapat dinilai

T0

: Tidak didapat tumor primer

T1.

: Tumor dengan ukuran terbesar 2cm atau kurang masih terbatas pada
tiroid

T2

: Tumor dengan ukuran terbesar lebih dari 2 cm tetapi tidak lebih dari 4 cm
masih terbatas pada tiroid

T3

: Tumor dengan ukuran terbesar lebih dari 4 cm masih terbatas pada tiroid
atau tumor ukuran berapa saja dengan ekstensi ekstra tiroid yang
minimal (misalnya ke otot sternotiroid atau jaringan lunak peritiroid)

T4a

: Tumor telah berkestensi keluar kapsul tiroid dan menginvasi ke tempat


berikut : jaringan lunak subkutan, laring, trakhea, esofagus, n.laringeus
recurren

T4b

: Tumor menginvasi fasia prevertebra, pembuluh mediastinal atau arteri


karotis

T4a* : (karsinoma anaplastik) Tumor (ukuran berapa saja) masih terbatas pada
tiroid.
T4b* : (karsinoma anaplastik) Tumor (ukuran berapa saja) berekstensi keluar
kapsul tiroid.
Catatan :
Tumor multifokal dari semua tipe histologi harus diberi tanda (m) (ukuran
terbesar menentukan klasifikasi), contoh : T2(m)
*Semua karsinoma tiroid anaplastik/undifferentiated termasuk T4
Karsinoma anaplastik intratiroid resektabel secara bedah
Karsinoma anaplastik ekstra tiroid irresektabel secara bedah
N

Kelenjar Getah Bening Regional

Nx

: Kelenjar Getah Bening tidak dapat dinilai

18

N0

: Tidak didapat metastasis ke kelenjar getah bening

N1

: Terdapat metastasis ke kelenjar getah bening

N1a

: Metastasis pada kelenjar getah bening cervical Level VI (pretrakheal dan


paratrakheal, termasuk prelaringeal dan Delphian)

N1b

: Metastasis pada kelenjar getah bening cervical unilateral, bilateral atau


kontralateral atau ke kelenjar getah bening mediastinal atas/superior

Metastasis jauh

Mx

: Metastasis jauh tidak dapat dinilai

M0

: Tidak terdapat metastasis jauh

M1

: Terdapat metastasis jauh

Stadium Klinis
Karsinoma Tiroid Papilare atau Folikulare Umur < 45 thn
Stadium I

Tiap T

Tiap N

M0

Stadium II

Tiap T

Tiap N

M1

Papilare atau Folikulare umur 45 thn & medulare


Stadium I

T1

N0

M0

Stadium II

T2

N0

M0

Stadium III

T3

N0

M0

T1,T2,T3

N1a

M0

T1,T2,T3

N1b

M0

T4a

N0,N1

M0

Stadium IVB

T4b

Tiap N

M0

Stadium IVC

Tiap T

Tiap N

M0

Stadium IVA

Anaplastik/ Undifferentiated (semua kasus stadium IV)

19

Stadium IVA

T4a

Tiap N

M0

Stadium IVB

T4b

Tiap N

M0

Stadium IVC

Tiap T

Tiap N

M1

B. Pemeriksaan Laboratorium
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk membantu
diagnosis karsinoma tiroid, kecuali untuk karsinoma jenis meduler. Pada
karsinoma jenis meduler, pemeriksaan kadar kalsitonin dan penting untuk
diagnostik maupun untuk follow up setelah terapi. Langkah pertama adalah
menentukan status fungsi tiroid pasien dengan memeriksa kadar TSH
(sensitif) dan T4 bebas (Free T4 atau FT4). Pada keganasan tiroid, umumnya
fungsi tiroid normal. Namun, perlu diingat bahwa abnormalitas fungsi tiroid
tidak menghilangkan kemungkinan keganasan meskipun memang kecil.
Pemeriksaan kadar antibodi antitiroid peroksidase dan antibodi
antitiroglobulin penting untuk diagnosis tiroiditis kronik Hashimoto,
terutama bila disertai peningkatan kadar TSH. Sering pada Hashimoto juga
timbul nodul baik uni/bilateral sehingga pada tiroiditis kronik Hashimoto
pun masih mungkin terdapat keganasan..
Pemeriksaan kadar tiroglobulin serum untuk keganasan tiroid cukup
sensitif tetapi tidak spesifik karena peningkatan kadar tiroglobulin juga
ditemukan

pada

tiroiditis,

penyakit

Graves,

dan

adenoma

tiroid.

Pemeriksaan kadar tiroglobulin sangat baik untuk monitor kekambuhan


karsinoma tiroid pascaterapi. Tetapi tidak dapat untuk memonitor karsinoma
tiroid medulare dan anaplastik, karena sel anaplastik tidak mensekresi
tiroglobulin. Pada pasien dengan riwayat keluarga karsinoma tiroid
medulare, tes genetik dan pemeriksaan kadar kalsitonin perlu dikerjakan.
Bila tidak ada kecurigaan ke arah karsinoma tiroid medulare atau neoplasia
endokrin multipel II, pemeriksaan kalsitonin tidak dianjurkan sebagai
pemeriksaan rutin.
Apabila meningkat

kadar tiroglobulin

setelah

total tiroidektomi,

kecurigaan pada rekurensi / metstasis, dan perlu diselidiki lebih lanjut.

20

Kadar Tg serum normal 1,5 3,0 ng/ml. Pada kelainan jinak rata-rata 323
ng/ml dan apada keganasan rata-rata 424 ng/ml.
Pada karsinoma tiroid kadar serum T3 dan T4 umumnya normal.
Perlu diingat bahwa abnormalitas fungsi tiroid baik hiper atau hipotiroid
tidak menghilangkan kemungkinan keganasan, meskipun sangat kecil.
C. Pemeriksaan USG
Dengan pemeriksaan USG dapat dibedakan antara yang padat dan cair
(nodul solid atau kistik). Selain itu

dengan berbagai penyempurnaan,

sekarang USG dapat membedakan beberapa bentuk kelainan tetapi belum


dapat membedakan dengan pasti apakah suatu nodul itu ganas atau jinak.
Pemeriksaan ini mudah dilakukan tetapi interpretasinya agak lebih sukar
dari pada sidik tiroid. Selain itu USG juga digunakan sebagai penuntun
dalam tindakan radiologi.
USG pada evaluasi awal nodul tiroid dilakukan untuk menentukan
ukuran dan jumlah nodul. USG pada nodul dingin sebagian besar akan
menghasilkan gambaran solid, campuran solid-kistik dan sedikit kista
simpel. USG juga dikerjakan untuk menentukan multinodularitas yang tidak
teraba dengan palpasi, khususnya pada individu dengan riwayat radiasi
pengion pada daerah kepala dan leher.
Gambaran USG yang didapat dibedakan atas dasar kelainan yang difus
atau fokal yang kemudian juga dibedakan atas dasar derajat ekonya yaitu
hipoekoik, isoekoek atau campuran. Kelainan-kelainan yang dapat
didiagnosis secara USG ialah:
o Kista : kurang lebih bulat, seluruhnya hipoekoeiksonolusen,
dindingnya tipis.
o Adenoma/nodul padat : iso atau hiperekoik, kadang disertai halo yaitu
suatu lingkaran hipoekoik di sekelilingnya.
o

Kemungkinan karsinoma : nodul padat biadanya tanpa halo.

Toroditis : hipoekoek difus meliputi seluruh kelenjar.


Keuntungan USG antara lain :
1. Dapat dilakukan kapan saja

21

2. Tidak perlu persiapan


3. Lebih aman
4. Dapat dilakukan pada wanita hamil dan anak-anak
D. Pemeriksaan Scanning Tiroid
Dasar pemeriksaan ini adalah persentase uptake dan distribusi yodium
radioaktif J131dalam kelenjar tiroid. Yang dapat dilihat dari pemeriksaan ini
adalah besar, bentuk, dan letak kelenjar tiroid serta distribusi dalam kelenjar. Juga
dapat diukur uptake yodiumnya dalam waktu 3, 12, 24 dan 48 jam. Sebelum
dilakukan scanning tiroid , maka obat-obatan yang mengganggu penangkapan
iodium oleh tiroid harus dihentikan 2-4 minggu sebelumnya.
Dari uptake ini diketahui fungsi tiroid apakah hiportiroid, eutiroid atau
hipetiroid. Uptake normal dalam 24 jam adalah 15-40%. Scanning tiroid dapat
dilakukan dengan menggunakan dua macam isotop, yaitu iodium radioaktif (123I) dan technetium pertechnetate (99m-Tc). 123-I lebih banyak digunakan dalam
evaluasi fungsi tiroid, sedangkan 99m-Tc lebih digunakan untuk evaluasi
anatominya. Dari distribusi jodium dapat diketahui sifat tonjolan tersebut tersebut
dan membandingkannya dengan jaringan sekitar.
Pemeriksaan ini tidak untuk membedakan jinak atau ganas secara pasti,
pemeriksaan ini tidak dapat menggantikan pemeriksaan histopatologi untuk
diagnosa pasti. Ada beberapa teknik yang dapat digunakan.
Sidik tiroid dapat dilakukan dengan menggunakan dua macam isotop,
yaitu iodium radioaktif (123-I) dan technetium pertechnetate (99m-Tc). 123-I
lebih banyak digunakan dalam evaluasi fungsi tiroid, sedangkan 99m-Tc lebih
digunakan untuk evaluasi anatominya. Pada sidik tiroid kurang lebih 80 -85%
nodul tiroid memberikan hasil dingin (cold) dan 10-15% dari kelompok ini
mempunyai kemungkinan keganasan. Nodul panas ditemukan sekitar 5% dengan
resiko ganas paling rendah, sedang nodul hangat terdapat 10-15% dari seluruh
nodul dengan kemungkinan keganasan lebih rendah dari 10%.
Hasil sidik tiroid dapat dibedakan 3 bentuk:
1. Nodul dingin bila penangkapan yodium nihil atau kurang dibandingkan
dengan sekitarnya. Hal ini menunjukkan fungsi yang rendah.

22

2. Nodul panas bila penangkapan yodium lebih banyak dari pada sekitarnya.
Keadaan ini memperlihatkan aktivitas yang berlebihan.
3. Nodul hangat bila penangkapan iodium sama dengan sekitarnya. Hal ini
berarti fungsi nodul sama dengan bagian tiroid yang lain.
Keganasan biasanya terekam sebagai nodul dingin soliter, nodul yang
hangat biasanya bukan keganasan, apabila dijumpai nodul yang panas ini hampir
pasti bukan suatu keganasan.
Nodul dingin tidak selalu disebabkan neoplasma, tetapi mesti dihubungkan
dengan beberapa hal :
o Bentuk cold area. Bentuk cold area yang berupa moth eaten
appearance mencurigakan keganasan.
o Hubungan

cold

area

dengan

daerah

sekitarnya.

Cold area dengan distribusi jodium yang tidak merata lebih


cenderung untuk kelainan metabolik, terutama bila lobus tiroid
yang kontralateral untuk membesar.
o Hubungan

cold

area

dengan

unsur

jenis

kelamin

Cold area pada laki-laki usia tua dan anak-anak lebih menambah
kecurigaan akan keganasan.
Hal-hal yang dapat menyebabkan cold area antara lain :
a. Kista.
b. Hematom.
c. Strumaadenomatosa.
d. Perdarahan.
e. Radang.
f. Keganasan.
g. Defekkongenital.
Kegunaan pemeriksaan scanning tiroid ini ialah untuk dapat :
1.

Memperlihatkan nodul soliter pada tiroid

2.

Memperlihatkan multipel nodul pada struma yang klinis


kelihatan seperti nodul soliter

3.

Memperlihatkan retrosternal struma

23

4.

Mencari occult neoplasma pada tiroid

5.

Mengidentifikasi fungsi dari jaringan tiroid setelah


operasi tiroid

6.

Mengidentifikasi ektopik tiroid

7.

Mencari daerah metastase setelah total tiroidektomi


E. Pemeriksaan Needle Biopsy
Dapat dilakukan dengan cara needle core biopsy atau FNBA ( biopsi jarum

halus). Biopsi aspirasi jarum halus (BAJAH) atau Fine Needle Aspiration (FNA),
mempergunakan jarum suntik no. 22-27 cara ini mudah aman dapat dilakukan
dengan berobat jalan. Dibandingkan dengan biopsy cara lama (jarum besar),
biopsi jarum halus tidak nyeri, tidak menyebabkan dan hampir tidak ada bahaya
penyebaran sel-sel ganas pada kista, dapat juga dihisap cairan secukupnya,
sehingga dapat mengecilkan nodul, jadi selain diagnostik, bisa juga terapeutik.
BAJAH merupakan metode yang sangat efektif untuk membedakan nodul
jinak atau ganas. Keterbatasan metode ini adalah sering ditemukan hasil yang
tidak adekuat sehingga tidak dapat dinilai. Keterbatasan yang lain adalah tidak
mampu membedakan neoplasma sel folikular dan sel Hurtle adalah jinak atau
ganas karena keduanya mirip. Keduanya bisa dibedakan dari ada atau tidak
adanya invasi kapsul atau invasi vaskular pada pemeriksaan histopatologis sediaan
dari operasi.
Ada beberapa kerugian pada biopsi, jarum ini yaitu dapat memberikan
hasil negatif palsu atau positif palsu. Negative palsu karena lokasi biopsi kurang
tepat, teknik biopsi yang kurang benar atau preparat yang kurang baik dibuatnya.
Hasil positif palsu terjadi karena salah interpretasi oleh ahli sitologi. Prosedur ini
semakin lama semakin banyak dipakai. Bagi yang belum menerima memberikan
beberapa alasan antara lain :
o Jaringan yang memadai atau jaringan tumor sering sukar didapat walaupun
dikerjakan oleh yang berpengalaman.
o Kekhawatiran terjadinya penyebaran sel-sel ganas dan implantasi di kulit.
o Keengganan dan kesukaran dalam pembacaan untuk membuat diagnosis
oleh patolog dari jaringan yang minim.

24

o Ahli bedah sering menemukan perlengketan-perlengketan sebagai akibat


tindakan ini, yang mempersulit tindakan bedah.
Hasil BAJAH dibagi menjadi empat kategori yaitu :
1.
2.
3.
4.

Jinak
Mencurigakan
Ganas
Tidak adekuat.
Beberapa faktor yang menyebabkan hasil yang tidak adekuat adalah
operator kurang terampil, vaskularitas nodul, terdapat lesi kistik, posisi nodul sulit
(kecil dan di posterior), dan pengenceran aspirat dalam darah atau cairan kista.
Untuk mengurangi hasil yang tidak adekuat tersebut, dianjurkan
mengulang BAJAH apabila nodul masih teraba setelah aspirasi cairan kista, atau
menggunakan USG untuk menuntun tindakan BAJAH khususnya untuk nodul
tiroid yang sulit.
Jenis karsinoma yang dapat segera ditentukan adalah karsinoma papilare,
medulare

atau

anaplastik.

Sedangkan

untuk

jenis

folikulare,

untuk

membedakannya dengan adenoma folikulare dan adenomatosus goiter, harus


dilakukan pemeriksaan histopatologi, yang dapat memperlihatkan adanya invasi
kapsul tumor atau invasi vaskuler.
F. Pemeriksaan Potong Beku
Pemeriksaan yang rutin dikerjakan untuk membedakan jinak atau ganas
waktu operasi berlangsung dan sekaligus untuk menentukan tindakan operasi
definitif. Pemeriksaan potong beku sulit membedakan adenoma folikuler dan
encapsulated folliculer carcinoma Apabila pada potong beku didiagnosa sebagai
sebagai adenoma folikuler maka sikap yang diambil adalah isthmolobektomi. Jika
secara makroskopik kecurigaan ganas ada, sedangkan patologi meragukan maka
dilakukan isthmolobektomi. Hal ini bertujuan mendapatkan terapi seoptimal
mungkin dalam keragu-raguan tersebut karena pasien sering menolak tindakan
operasi ulangan untuk total trioidektomi. Ketepatan pemeriksaan ini 75 % - 83 %.
G. Pemeriksaan Histopatologi
Pemeriksaan ini menggunakan parafin coupe merupakan pemeriksaan
definitif atau gold standar. Untuk kasus inoperable, jaringan diambil dengan
biopsi insisi.

25

Ada 4 tipe histologi mayor :


1. Papillary carcinoma (including follicular variant of papillary
carcinoma)
2. Follicular carcinoma (including Hurthle cell carcinoma)
3. Medullary carcinoma
4. Undifferentiated (anaplastic) carcinoma
H. Pemeriksaan BMR
Pemeriksaan ini dapat menentukan fungsi metabolisme, apakah ada
hubungannya dengan hipotiroid, eutiroid, atau hipertiroid. Untuk tonjolan tunggal
manfaatnya kurang, karena umumnya kasus-kasus ini eutiroid. Bila ada
hipertiroid pada tonjolan tunggal tiroid, hal ni dapat disebabkan adenoma toksik
atau nodul autonom, yang merupakan indikasi untuk operasi.
I. Pemeriksaan Termografi
Merupakan suatu metode pemeriksaan berdasarkan pengukuran suhu kulit
pada suatu tempat. Alatnya adalah Dynamic Telethermografi. Hasilnya disebut
panas apabila perbedaan panas dengan sekitarnya sekitar > 0,9 C dan dingin
apabila < 0,9 C. Cara pemeriksaan dengan dengan termografi ini cukup sensitif
dan spesifik.
2.2.8. Tatalaksana
Bila nodul suspek maligna, nodul tersebut dibedakan apakah kasus tersebut
operabel atau inoperabel. Bila kasus yang dihadapi inoperabel maka dilakukan
tindakan biopsi insisi dengan pemeriksaan histopatologi secara blok parafin.
Dilanjutkan

dengan

tindakan

debulking

dan

radiasi

eksterna

atau

khemoradioterapi. Bila nodul tiroid suspek maligna tersebut operabel dilakukan


tindakan isthmolobektomi dan pemeriksaan potong beku.
Ada 5 kemungkinan hasil yang didapat :
1. Lesi jinak tindakan operasi selesai dilanjutkan dengan observasi
2. Karsinoma papilare.

26

Dibedakan atas risiko tinggi dan risiko rendah berdasarkan klasifikasi


AMES. Bila risiko rendah tindakan operasi selesai dilanjutkan dengan
observasi. Bila risiko tinggi dilakukan tindakan tiroidektomi total.
3. Karsinoma Folikulare Dilakukan tindakan tiroidektomi total
4. Karsinoma Medulare Dilakukan tindakan tiroidektomi total
5. Karsinoma Anaplastik Bila memungkinkan dilakukan tindakan
tiroidektomi total.

Bila tidak memungkinkan, cukup dilakukan

tindakan

dilanjutkan

debulking

dengan

radiasi

eksterna

atau

khemoradioterapi.
Bila nodul tiroid secara klinis suspek benigna dilakukan tindakan FNAB
(Biospi Jarum Halus ). Ada 2 kelompok hasil yang mungkin didapat yaitu:
1. Hasil FNAB suspek maligna, foliculare Pattern dan Hurthle Cell
Dilakukan tindakan isthmolobektomi dengan pemeriksaan potong beku
seperti diatas.
2. Dilakukan terapi supresi TSH dengan tablet Thyrax selama 6 bulan
kemudian dievaluasi, bila nodul tersebut mengecil diikuti dengan
tindakan observasi dan apabila nodul tersebut tidak ada perubahan atau
bertambah besar sebaiknya dilakukan tindakan isthmolobektomi dengan
pemeriksaan potong beku seperti diatas.

27

Bagan 1. Penatalaksanaan nodul tiroid

Bagan 2. Penatalaksanaan metastasis regional

28

Bagan 3. Penatalaksaan metastasis jauh

Bagan 4. Algoritma Follow Up Kanker Tiroid Berdifferensiasi Baik

2.2.9. Prognosis
Terdapat beberapa kriteria penentuan prognosis pada kasus keganasan tiroid,
diantaranya yaitu kriteria AMES, kriteria AGES, dan MACIS.
1. Skor AGES
Skor prognostik = 0.05 usia (jika usia 40),
+ 1 (jika stadium 2)
+ 3 (jika stadium 3 atau 4)
+ 1 (jika ekstratiroid)
+ 3 (penyebaran jauh)
+ 0.2 ukuran tumor (diameter maksimum dalam cm)
Survival rate dengan skor AGES (20-th):
3.99 = 99%
4-4.99 = 80%

29

5-5.99 = 67%
6 = 13%
2. Skor AMES
Risiko rendah:

Laki-laki umur < 41 tahun, wanita < 51 tahun


tidak ada metastase jauh
Laki-laki umur > 41 tahun, wanita > 51 tahun
tidak ada metastase jauh
Tumor primer masih terbatas didalam tiroid untuk karsinoma papilare atau
invasi kapsul yang minimal untuk karsinoma folikulare
Ukuran tumor primer <5cm
Risiko tinggi:

Semua pasien dengan metastase jauh


Laki-laki umur < 41 tahun, wanita < 51 tahun dengan invasi kapsul yang

luas pada karsinoma folikulare


Laki-laki umur > 41 tahun, wanita > 51 tahun dengan karsinoma papilare
invasi extra tiroid atau karsinoma folikulare dengan invasi kapsul yang
luas dan ukuran tumor primer > 5cm
Survival rate berdasarkan kriteria AMES (20 tahun):
Risiko rendah = 99%
Risiko tinggi = 61%
3. Skor MACIS= 3.1 (jika usia <40 tahun) atau 0.08 usia (jika usia 40
tahun)
+ 0.3 ukuran tumor (diameter maksimum dalam cm)
+ 1 (Jika direseksi total)
+ 1 (jika invasif lokal)
+ 3 (jika metastasis jauh)
Survival rate berdasarkan kriteria MACIS (20-tahun):
<6 = 99%
6-6.99 = 89%
7-7.99 = 56%
8 = 24%

30

2.2.10. Komplikasi
Komplikasi yang seringkali muncul adalah pada tiroidektomi yang meliputi:

Perdarahan. Resiko ini minimum, namun hati- hati dalam

mengamankan hemostatis dan penggunaan drain setelah operasi.


Masalah terbukanya vena besar (vena tiroidea superior) dan
menyebabkan embolisme udara. Dengan tindakan anestesi mutakhir,
ventilasi tekanan positif yang intermitten, dan teknik bedah yang

cermat, bahaya ini dapat di minimalkan.


Trauma pada nervus laringeus rekurens, menimbulkan paralisis
sebagian atau total (jika bilateral) laring. Pengetahuan anatomi bedah

yang kuat dan ke hati- hatian pada saat operasi harus diutamakan.
Sepsis yang meluas ke mediastinum. Seharusnya ini tidak doleh
terjadi pada operasi bedah sekarang ini, sehingga antibiotik tidak

diperlukan sebagai pofilaksis lagi.


Hipotiroidisme pasca bedah. Perkembangan hipotiroidisme setelah
reseksi bedah tiroid jarang terlihat saat ini. Ini dievaluasi dengan

pemeriksaan klinik dan biokomia yang tepat pasca bedah.


Hipokalsemi. Karena terangkatnya kelenjar paratiroid pada saat
pembedahan.

ANESTESI PADA KASUS CA TIROID


Anestesi (pembiusan; berasal dari bahasa Yunani an- "tidak, tanpa" dan
aesthtos, "persepsi, kemampuan untuk merasa"), secara umum berarti suatu
tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai
prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh. Istilah anestesi
digunakan pertama kali oleh Oliver Wendel Holmes Sr pada tahun 1846.
Anestesi Umum adalah tindakan meniadakan nyeri secara sentral disertai
hilangnya kesadaran dan bersifat reversible. Anestesi umum yang sempurna
menghasilkan ketidaksadaran, analgesia, relaksasi otot tanpa menimbulkan resiko
yang tidak diinginkan dari pasien.

31

Ada beberapa teori yang membicarakan tentang kerja anestesi umum,


diantaranya :
a. Meyer dan Overton (1989) mengemukakan teori kelarutan lipid (Lipid
Solubity Theory). Obat anestetika larut dalam lemak. Efeknya
berhubungan langsung dengan kelarutan dalam lemak. Makin mudah
larut di dalam lemak, makin kuat daya anestesinya. Ini hanya berlaku
pada obat inhalasi (volatile anaesthetics), tidak pada obat anestetika
parenteral.
b. Ferguson (1939) mengemukakan teori efek gas inert (The Inert Gas
Effect). Potensi analgesia gas gas yang lembab dan menguap terbalik
terhadap tekanan gas gas dengan syarat tidak ada reaksi secara kimia.
Jadi tergantung dari konsentrasi molekul molekul bebas aktif.
c. Pauling (1961) mengemukakan teori kristal mikrohidrat (The Hidrat
Micro-crystal Theory). Obat anestetika berpengaruh terutama terhadap
interaksi molekul molekul obatnya dengan molekul molekul di otak.
d. Trudel (1963) mengemukakan molekul obat anestetika mengadakan
interaksi

dengan

membrana

lipid

meningkatkan

keenceran

(mengganggu membran).
Obat anestesi yang diberikan akan masuk ke dalam sirkulasi darah yang
selanjutnya menyebar ke jaringan, yang pertama kali terpengaruh adalah jaringan
yang banyak vaskularisasinya seperti otak, yang mengakibatkan kesadaran dan
rasa sakit hilang. Kecepatan dan kekuatan anestesi dipengaruhi oleh faktor
respirasi, sirkulasi, dan sifat fisik obat itu sendiri.
I.
Teknik Anestesi Umum
a. Sungkup Muka (Face Mask) dengan napas spontan
Indikasi :
- Tindakan singkat ( - 1 jam)
- Keadaan umum baik (ASA I II)
- Lambung harus kosong
Prosedur :
- Siapkan peralatan dan kelengkapan obat anestetik
- Pasang infuse (untuk memasukan obat anestesi) 8
- Premedikasi + / sedasi/anti-anxiety :benzodiazepine; analgesia: opioid, non opioid, dll
- Induksi

32

Pemeliharaan

b. Intubasi Endotrakeal dengan napas spontan


Intubasi endotrakea adalah memasukkan pipa (tube) endotrakea (ET=
endotrakeal tube) kedalam trakea via oral atau nasal. Indikasi ; operasi
lama, sulit mempertahankan airway (operasi di bagian leher dan kepala)
Prosedur :
- Sama dengan diatas, hanya ada tambahan obat (pelumpuh
II.

otot/suksinil dgn durasi singkat)


Intubasi setelah induksi dan suksinil
Pemeliharaan
Obat-obat dalam anestesi umum

Jenis obat anestesi umum diberikan dalam bentuk suntikan intravena atau
inhalasi.
A. Anestetik intravena
Penggunaan :
- Untuk induksi
- Obat tunggal pada operasi singkat
- Tambahan pada obat inhalasi lemah
- Tambahan pada regional anestesi
- Sedasi
Cara pemberian :
-

Obat tunggal untuk induksi atau operasi singkat


Suntikan berulang (intermiten)
Diteteskan perinfus
Obat anestetik intravena meliputi :
a) Benzodiazepine
Sifat : hipnotik sedative, amnesia anterograd, atropine like effect,
pelemas otot ringan, cepat melewati barier plasenta.
Kontraindikasi : porfiria dan hamil.
Dosis : Diazepam : induksi 0,2 0,6 mg/kg IV, Midazolam : induksi :
0,15 0,45 mg/kg IV.
b) Propofol
Merupakan salah satu anestetik intravena yang sangat penting.
Propofol dapat menghasilkan anestesi kecepatan yang sama dengan
pemberian barbiturat secara inutravena, dan waktu pemulihan yang
lebih cepat. Dosis : 2 2,5 mg/kg IV.
c) Ketamin
33

Ketamin adalah suatu rapid acting nonbarbiturat general anaesthetic.


Indikasi pemakaian ketamin adalah prosedur dengan pengendalian
jalan napas yang sulit, prosedur diagnosis, tindakan ortopedi, pasien
resiko tinggi dan asma. Dosis pemakaian ketamin untuk bolus 1- 2
mg/kgBB dan pada pemberian IM 3 10 mg/kgBB.
d) Thiopentone Sodium
Merupakan bubuk kuning yang bila akan digunakan dilarutkan dalam
air menjadi larutan 2,5%atau 5%. Indikasi pemberian thiopental adalah
induksi anestesi umum, operasi singkat, sedasi anestesi regional, dan
untuk mengatasi kejang. Keuntungannya :induksi mudah, cepat, tidak
ada iritasi mukosa jalan napas. Dosis 5 mg/kg IV, hamil 3 mg/kg IV.
B. Anestetik inhalasi
a) N2O
Nitrogen monoksida merupakan gas yang tidak berwarna, tidak berbau,
tidak berasa dan lebih berat daripada udara. N2O biasanya tersimpan
dalam bentuk cairan bertekanan tinggi dalam baja, tekanan penguapan
pada suhu kamar 50 atmosfir. N2O mempunyai efek analgesic yang
baik, dengan inhalasi 20% N2O dalam oksigen efeknya seperti efek 15
mg morfin. Kadar optimum untuk mendapatkan efek analgesic
maksimum 35% . gas ini sering digunakan pada partus yaitu diberikan
100% N2O pada waktu kontraksi uterus sehingga rasa sakit hilang
tanpa mengurangi kekuatan kontraksi dan 100% O2 pada waktu
relaksasi untuk mencegah terjadinya hipoksia. Anestetik tunggal N2O
digunakan secara intermiten untuk mendapatkan analgesic pada saat
proses persalinan dan Pencabutan gigi. H2O digunakan secara umum
untuk anestetik umum, dalam kombinasi dengan zat lain
b) Halotan
Merupakan cairan tidak berwarna, berbau enak, tidak mudah terbakar
dan tidak mudah meledak meskipun dicampur dengan oksigen. Halotan
bereaksi dengan perak, tembaga, baja, magnesium, aluminium, brom,
karet dan plastic. Karet larut dalam halotan, sedangkan nikel, titanium
dan polietilen tidak sehingga pemberian obat ini harus dengan alat

34

khusus yang disebut fluotec. Efek analgesic halotan lemah tetapi


relaksasi otot yang ditimbulkannya baik. Dengan kadar yang aman
waktu 10 menit untuk induksi sehingga mempercepat digunakan kadar
tinggi (3-4 volume %). Kadar minimal untuk anestesi adalah 0,76%
volume.

c) Isofluran
Merupakan eter berhalogen yang tidak mudah terbakar. Secara kimiawi
mirip dengan efluran, tetapi secara farmakologi berbeda. Isofluran
berbau tajam sehingga membatasi kadar obat dalam udara yang dihisap
oleh penderita karena penderita menahan nafas dan batuk. Setelah
pemberian medikasi preanestetik stadium induksi dapat dilalui dengan
lancer dan sedikit eksitasi bila diberikan bersama N2O dan O2.
isofluran merelaksasi otot sehingga baik untuk intubasi. Tendensi
timbul aritmia amat kecil sebab isofluran tidak menyebabkan
sensiitisasi jantung terhadap ketokolamin. Peningkatan frekuensi nadi
dan takikardiadihilangkan dengan pemberian propanolol 0,2-2 mg atau
dosis kecil narkotik (8-10 mg morfin atau 0,1 mg fentanil), sesudah
hipoksia atau hipertemia diatasi terlebih dulu. Penurunan volume
semenit dapat diatasi dengan mengatur dosis. Pada anestesi yang dalam
dengan isofluran tidak terjadi perangsangan SSP seperti pada pemberian
enfluran. Isofluran meningkatkan aliran darah otak pada kadar labih
dari 1,1 MAC (minimal Alveolar Concentration) dan meningkatkan
tekanan intracranial.
d) Sevofluran
Obat anestesi ini merupakan turunan eter berhalogen yang paling
disukai untuk induksi inhalasi.
C. Intubasi
1. Pengertian Intubasi

35

Intubasi adalah memasukan pipa ke dalam rongga tubuh melalui


mulut atau hidung. Intubasi terbagi menjadi 2 yaitu intubasi orotrakeal
(endotrakeal) dan intubasi nasotrakeal. Intubasi endotrakeal adalah
tindakan memasukkan pipa trakea ke dalam trakea melalui rima
glottidis dengan mengembangkan cuff, sehingga ujung distalnya berada
kira-kira dipertengahan trakea antara pita suara dan bifurkasio trakea.
Intubasi nasotrakeal yaitu tindakan memasukan pipa nasal melalui
nasal dan nasopharing ke dalam oropharing sebelum laryngoscopy.

D. Tujuan Intubasi
Intubasi adalah memasukkan suatu lubang atau pipa melalui
mulut atau melalui hidung, dengan sasaran jalan nafas bagian atas
atau trachea. Tujuan dilakukannya intubasi yaitu sebagai berikut :
a. Mempermudah pemberian anesthesia.
b. Mempertahankan

jalan

nafas

agar

tetap

bebas

serta

mempertahankan kelancaran pernapasan.


c. Mencegah kemungkinan terjadinya aspirasi lambung (pada keadaan
tidak sadar, lambung penuh dan tidak ada reflex batuk).
d. Mempermudah pengisapan sekret trakeobronkial.
e. Pemakaian ventilasi mekanis yang lama.
f. Mengatasi obstruksi laring akut

E. Indikasi dan kontraindikasi


Indikasi bagi pelaksanaan intubasi endotrakheal menurut Gisele
tahun 2002 antara lain :
a.

Keadaan oksigenasi yang tidak adekuat (karena menurunnya


tekanan oksigen arteri dan lain-lain) yang tidak dapat

36

dikoreksi dengan pemberian suplai oksigen melalui masker


b.

nasal.
Keadaan ventilasi yang tidak adekuat karena meningkatnya

c.

tekanan karbondioksida di arteri.


Kebutuhan untuk mengontrol dan mengeluarkan sekret

d.

pulmonal atau sebagai bronchial toilet.


Menyelenggarakan proteksi terhadap pasien dengan keadaan
yang gawat atau pasien dengan refleks akibat sumbatan yang
terjadi.

Dalam sumber lain disebutkan indikasi intubasi endotrakheal antara


lain :
a. Menjaga jalan nafas yang bebas dalam keadaan-keadaan
b.

yang sulit.
Operasi-operasi di daerah kepala, leher, mulut, hidung dan
tenggorokan, karena pada

kasus-kasus demikian sangatlah

sukar untuk menggunakan face mask tanpa mengganggu


pekerjaan ahli bedah.
c. Pada banyak operasi abdominal, untuk menjamin pernafasan
yang tenang dan tidak ada ketegangan.
d. Operasi intra torachal, agar jalan nafas selalu paten, suction
dilakukan dengan mudah, memudahkan respiration control
dan mempermudah pengontrolan tekanan intra pulmonal.
e. Untuk mencegah kontaminasi trachea, misalnya pada
obstruksi intestinal.
f. Pada pasien yang mudah timbul laringospasme.
g. Tracheostomni.
h. Pada pasien dengan fiksasi vocal chords.
Indikasi intubasi nasal (Anonim, 1986) antara lain :
a. Bila oral tube menghalangi pekerjaan dokter bedah, misalnya
tonsilektomi, pencabutan gigi, operasi pada lidah
b. Pemakaian laringoskop sulit karena keadaan anatomi
pasien.
c. Bila direct vision pada intubasi gagal.

37

d. Pasien-pasien yang tidak sadar untuk memperbaiki jalan


nafas.
Kontraindikasi
Tidak ada kontra indikasi yang absolute; namun demikian
beberapa keadaan trauma jalan nafas atau obstruksi yang tidak
memungkinkan untuk dilakukannya intubasi. Tindakan yang harus
dilakukan adalah cricothyrotomy pada beberapa kasus. Trauma servikal
yang memerlukan keadaan imobilisasi tulang vertebra servical,
sehingga sangat sulit untuk dilakukan intubasi.

F. Kesulitan Intubasi
Sehubungan dengan manajemen saluran nafas, riwayat sebelum
intubasi seperti riwayat anestesi, alergi obat, dan penyakit lain yang
dapat menghalangi akses jalan napas. Pemeriksaan jalan napas
melibatkan pemeriksaan keadaan gigi; gigi terutama ompong, gigi seri
atas dan juga gigi seri menonjol. Visualisasi dari orofaring yang paling
sering diklasifikasikan oleh sistem klasifikasi Mallampati Modifikasi.
Sistem ini didasarkan pada visualisasi orofaring. Pasien duduk
membuka mulutnya dan menjulurkan lidah.
Klasifikasi Mallampati :
Mallampati 1 : Palatum mole, uvula, dinding posterior oropharing, pilar
tonsil
Mallampati 2 : Palatum mole, sebagian uvula, dinding posterior uvula
Mallampati 3 : Palatum mole, dasar uvula
Mallampati 4 : Palatum durum saja
Dalam sistem klasifikasi, Kelas I dan II saluran nafas umumnya
diperkirakan mudah intubasi, sedangkan kelas III dan IV terkadang
sulit.

38

Selain sistem klasifikasi Mallampati, temuan fisik lainnya telah


terbukti menjadi prediktor yang baik dari kesulitan saluran nafas.
Wilson dkk menggunakan analisis diskriminan linier, dimasukkan lima
variable : Berat badan, kepala dan gerakan leher, gerakan rahang,
sudut mandibula, dan gigi ke dalam sistem penilaian yang diperkirakan
75% dari intubasi sulit pada kriteria risiko = 2. Faktor lain yang
digunakan untuk memprediksi kesulitan intubasi meliputi :

Lidah besar

Gerak sendi temporo-mandibular terbatas

Mandibula menonjol

Maksila atau gigi depan menonjol

Mobilitas leher terbatas

Pertumbuhan gigi tidak lengkap

Langit-langit mulut sempit

Pembukaan mulut kecil

Anafilaksis saluran napas

39

Arthritis dan ankilosis cervical

Sindrom kongenital (Klippel-Feil (leher pendek, leher menyatu),


Pierre Robin (micrognathia, belahan langit-langit, glossoptosis),
Treacher Collins (mandibulofacialdysostosis)

Endokrinopati

(Kegemukan,

Acromegali,

Hipotiroid

macroglossia,Gondok)

Infeksi (Ludwig angina (abses pada dasar mulut), peritonsillar


abses, retropharyngeal abses,epiglottitis)

Massa pada mediastinum

Myopati menunjukkan myotoniaatau trismus

Jaringan parut luka bakar atau radiasi

Trauma dan hematoma

Tumor dan kista

Benda asing pada jalan napas

Kebocoran di sekitar masker wajah (edentulous, hidung datar, besar


wajah dan kepala, Kumis, jenggot)

Nasogastrik tube

Kurangnya keterampilan, pengalaman, atau terburu-buru.

G. Persiapan intubasi
Untuk persiapan induksi sebaiknya kita ingat STATICS:
Persiapan

untuk

intubasi

termasuk

mempersiapkan

alatalat

dan

memposisikan pasien. ETT sebaiknya dipilih yang sesuai. Pengisian cuff


ETT sebaiknya di tes terlebih dahulu dengan spuit 10 milliliter. Jika
menggunakan stylet sebaiknya dimasukkan ke ETT. Berhasilnya intubasi
sangat tergantung dari posisi pasien, kepala pasien harus sejajar dengan
pinggang anestesiologis atau lebih tinggi untuk mencegah ketegangan
pinggang selama laringoskopi. Persiapan untuk induksi dan intubasi juga
melibatkan preoksigenasi rutin. Persiapan alat untuk intubasi antara lain:

40

STATICS
S = Scope.
Stetoskop untuk mendengarkan suara paru dan jantung. LaringoScope untuk melihat laring secara langsung sehingga bisa memasukkan
pipa trakea dengan baik dan benar. Secara garis besar, dikenal dua macam
laringoskop.

Bilah/daun/blade lurus (Miller,Magill) untuk bayi-anak-dewasa.


Bilah lengkung (Macintosh) untuk anak besar-dewasa.
Pilih bilah sesuai dengan usia pasien. Yang perlu diperhatikan lagi

adalah lampu pada laringoskop harus cukup terang sehingga laring jelas
terlihat.
T = Tubes.
Yang dimaksud tubes adalah pipa trakea. Pada tindakan anestesia,
pipa trakea mengantar gas anestetik langsung ke dalam trakea dan
biasanya dibuat dari bahan standar polivinil klorida. Ukuran diameter pipa
trakea dalam ukuran milimeter. Bentuk penampang pipa trakea untuk bayi,
anak kecil, dan dewasa berbeda. Untuk bayi dan anak kecil di bawah usia
lima tahun, bentuk penampang melintang trakea hampir bulat, sedangkan
untuk dewasa seperti huruf D. Oleh karena itu pada bayi dan anak di
bawah lima tahun tidak menggunakan kaf (cuff) sedangkan untuk anak
besar-dewasa menggunakan kaf supaya tidak bocor. Alasan lain adalah
penggunaan kaf pada bayi-anak kecil dapat membuat trauma selaput lendir
trakea dan postintubation croup. Pipa trakea dapat dimasukkan melalui
mulut (orotracheal tube) atau melalui hidung (nasotracheal tube).
Nasotracheal tube umumnya digunakan bila

penggunaan orotracheal

tube tidak memungkinkan, mislanya karena terbatasnya pembukaan mulut


atau dapat menghalangi akses bedah. Namun penggunaan nasotracheal
tube dikontraindikasikan pada pasien dengan farktur basis kranii. Ukuran
pipa trakea yang tampak pada tabel di bawah ini.

41

A = Airway.
Airway yang dimaksud adalah alat untuk menjaga terbukanya jalan
napas yaitu

pipa mulut-faring (Guedel,orotracheal airway) atau pipa

hidung-faring (naso-tracheal airway). Pipa ini berfungsi untuk menahan


lidah saat pasien tidak sadar agar lidah tidak menyumbat jalan napas.
T = Tape.
Tape yang dimaksud adalah plester untuk fiksasi pipa supaya tidak
terdorong atau tercabut.
I = Introductor
Introducer yang dimaksud adalah mandrin atau stilet dari kawat
yang dibungkus plastik (kabel) yang mudah dibengkokkan untuk pemandu
supaya pipa trakea mudah dimasukkan.
C = Connector.
Connector yang dimaksud adalah penyambung antara pipa dengan
bag valve mask ataupun peralatan anesthesia.
S = Suction.
Suction yang dimaksud adalah penyedot lender, ludah dan cairan
lainnya.
42

H. Cara Intubasi
a.

Rapid sequence induction:


Teknik intubasi dengan induksi cepat dilakukan dengan

menidurkan pasien terlebih dahulu. Urutan tindakan induksi cepat


adalah : posisi kepala dan badan atas agak tinggi 20-30 derajat
(anti Trendelenburg), preoksigenasi (diberi O2 tinggi dulu dengan
sungkup muka), memberi obat pelumpuh otot non-depolarisasi
dosis kecil dulu sebelum memberi suksinil kolin, tekanan pada
tulang krikoid, tanpa melakukan ventilasi positif dengan sungkup
muka, suntikan obat induksi yang cepat (tiopental), suntikan obat
pelumpuh otot (suksinil kolin), kemudian intubasi yang langsung
diikuti dengan mengembangkan balon pipa endotrakea.
Tekanan pada krikoid yang dilakukan oleh asisten harus
sudah dimulai waktu menyuntikkan obat induksi anastesia dan
diteruskan

sampai

intubasi

berhasil

dan

balon

sudah

dikembangkan.Pipa nasogastrik bila sudah terpasang harus dihisap


dan sesudahnya diangkat sebelum melakukan induksi anastesia.
b.

Awake intubation:
Intubasi endotrakea dalam keadaan pasien sadar dengan

anastesia topikal, pilihan teknik untuk mencegah bahaya aspirasi


pada kasus trauma berat pada muka, lehar, perdarahan usus
dsb.Intubasi sadar dilakukan dengan pertolongan obat penenang
seperti diazepam, fentanil atau petidin untuk mempermudah
kooperasi pasien tanpa harus menghilangkan refleks jalan napas
atas (yang harus mencegah aspirasi).
Intubasi Endotrakeal

43

Sebelum dilakukan intubasi terlebih dahulu dilakukan oksigenasi


dengan menggunakan orotracheal tube atau nasotracheal tube dan bag
valve kurang lebih selama 30 detik.
Mulut pasien dibuka dengan tangan kanan dan gagang
laringoskop dipegang dengan tangan kiri. Daun laringoskop dimasukkan
dari sudut kanan dan lapangan pandang akan terbuka. Daun
laringoskop didorong ke dalam rongga mulut. Gagang diangkat ke atas
dengan lengan kiri dan akan terlihat uvula, faring serta epiglotis.
Ekstensi kepala dipertahankan dengan tangan kanan. Epiglotis
diangkat sehingga tampak aritenoid dan pita suara yang tampak
keputihan berbentuk huruf V. Tracheal tube diambil dengan tangan
kanan dan ujungnya dimasukkan melewati pita suara sampai balon
pipa tepat melewati pita suara. Bila perlu, sebelum memasukkan pipa
asisten diminta untuk menekan laring ke posterior sehingga pita suara
akan dapat tampak dengan jelas. Bila mengganggu, stylet dapat
dicabut. Ventilasi atau oksigenasi diberikan dengan tangan kanan
memompa balon dan tangan kiri memfiksasi. Balon pipa dikembangkan
44

dan daun laringoskop dikeluarkan selanjutnya pipa difiksasi dengan


plester.
Dada dipastikan mengembang saat diberikan ventilasi. Sewaktu
ventilasi, dilakukan auskultasi dada dengan stetoskop, diharapkan
suara nafas kanan dan kiri sama. Bila dada ditekan terasa ada aliran
udara di pipa endotrakeal. Bila terjadi intubasi endotrakeal yang terlalu
dalam akan terdapat tandatanda berupa suara nafas kanan berbeda
dengan suara nafas kiri, kadangkadang timbul suara wheezing, sekret
lebih banyak dan tahanan jalan nafas terasa lebih berat. Jika ada
ventilasi ke satu sisi seperti ini, pipa ditarik sedikit sampai ventilasi
kedua paru sama. Sedangkan bila terjadi intubasi ke daerah esofagus
maka daerah epigastrium atau gaster akan mengembang, terdengar
suara saat ventilasi (dengan stetoskop), kadangkadang keluar cairan
lambung, dan makin lama pasien akan nampak semakin membiru.
Untuk hal tersebut pipa dicabut dan intubasi dilakukan kembali setelah
diberikan oksigenasi yang cukup.

45

Intubasi yang gagal tidak harus dilakukan berulang-ulang dengan


cara yang sama.

Perubahan harus dilakukan untuk meningkatkan

kemungkinan keberhasilan, seperti reposisi pasien, mengurangi ukuran


tabung, menambahkan stylet, memilih pisau yang berbeda, mencoba
jalur lewat hidung, atau meminta bantuan dari ahli anestesi lain. Jika
pasien juga sulit untuk ventilasi dengan masker, bentuk alternatif
manajemen
cricothyrotomy

saluran
dengan

napas

lain

(misalnya,

jet

ventilasi,

LMA,

trakeostomi)

Combitube,

harus

segera

dilakukan.
Intubasi Nasotrakeal

46

Intubasi nasal mirip dengan intubasi oral kecuali bahwa NTT


masuk lewat hidung dan nasofaring menuju orofaring sebelum
dilakukan laringoskopi. Lubang hidung yang dipilih dan digunakan
adalah lubang hidung yang pasien bernafas lebih gampang. Tetes
hidung

phenylephrine

(0,5

0,25%)

menyebabkan

pembuluh

vasokonstriksi dan menyusutkan membran mukosa. Jika pasien sadar,


lokal anestesi secara tetes dan blok saraf dapat digunakan.
NTT yang telah dilubrikasi dengan jelly yang larut dalam air,
dimasukkan ke dasar hidung, dibawah turbin inferior. Bevel NTT berada
disisi lateral jauh dari turbin. Untuk memastikan pipa lewat di dasar
rongga hidung, ujung proksimal dari NTT harus ditarik ke arah kepala.
Pipa secara berangsur-angsur dimasukan hingga ujungnya terlihat di
orofaring. Umumnya ujung distal dari NTT dapat dimasukan pada
trachea tanpa kesulitan. Jika ditemukan kesulitan dapat diguankan
forcep Magil. Penggunaannya harus dilakukan dengan hati-hati agar
tidak merusakkan balon. Memasukkan NTT melalaui hidung berbahaya
pada pasien dengan trauma wajah yang berat disebabkan adanya
resiko masuk ke intrakranial.
I. Ekstubasi Perioperatif
Setelah operasi berakhir, pasien memasuki prosedur pemulihan
yaitu pengembalian fungsi respirasi pasien dari nafas kendali menjadi
nafas spontan. Sesaat setelah obat bius dihentikan segeralah berikan
47

oksigen 100% disertai penilaian apakan pemulihan nafas spontan telah


terjadi dan apakah ada hambatan nafas yang mungkin menjadi
komplikasi. Bila dijumpai hambatan nafas, tentukaan apakah hambatan
pada central atau perifer. Teknik ekstubasi pasien dengan membuat
pasien sadar betul atau pilihan lainnya pasien tidak sadar (tidur dalam),
jangan lakukan dalam keadaan setengah sadar ditakutkan adanya
vagal refleks. Bila ekstubasi pasien sadar, segera hentikan obat-obat
anastesi hipnotik maka pasien berangsu-angsur akan sadar. Evaluasi
tanda-tanda kesadaran pasien mulai dari gerakan motorik otot-otot
tangan, gerak dinding dada, bahkan sampai kemampuan membuka
mata spontan. Yakinkan pasien sudah bernafas spontan dengan jalan
nafas yang lapang dan saat inspirasi maksimal. Pada ekstubasi pasien
tidak sadar diperlukan dosis pelumpuh otot dalam jumlah yang cukup
banyak, dan setelahnya pasien menggunakan alat untuk memastikan
jalan nafas tetap lapang berupa pipa orofaring atau nasofaring dan
disertai pula dengan triple airway manuver standar.
Syarat-syarat ekstubasi :
1. Vital capacity 6 8 ml/kg BB.
2. Tekanan inspirasi diatas 20 cm H2O.
3. PaO2 diatas 80 mm Hg.
4. Kardiovaskuler dan metabolic stabil.
5. Tidak ada efek sisa dari obat pelemas otot.
6. Reflek jalan napas sudah kembali dan penderita sudah sadar penuh.
J. Komplikasi
Tatalaksana jalan napas merupakan aspek yang fundamental
pada praktik anestesi dan perawatan emergensi. Intubasi endotrakeal
termasuk tatalaksana yang cepat, sederhana, aman dan teknik
nonbedah yang dapat mencapai semua tujuan dari tatalaksana jalan
napas yang diinginkan, misalnya menjaga jalan napas tetap paten,
48

menjaga paru-paru dari aspirasi, membuat ventilasi yang cukup selama


dilakukan ventilasi mekanik, dan sebagainya.
Faktor-faktor predisposisi terjadinya komplikasi pada intubasi
endotrakeal dapat dibagi menjadi :
Faktor pasien
1. Komplikasi sering terjadi pada bayi, anak dan wanita dewasa karena
memiliki laring dan trakea yang kecil serta cenderung terjadinya
edema pada jalan napas.
2. Pasien yang memiliki jalan napas yang sulit cenderung mengalami
trauma.
3. Pasien dengan variasi kongenital seperti penyakit kronik yang
didapat menimbulkan kesulitan saat dilakukan intubasi atau
cenderung mendapatkan trauma fisik atau fisiologis selama
intubasi.
4. Komplikasi sering terjadi saat situasi emergensi.
Faktor yang berhubungan dengan anestesia
1. Ilmu pengetahuan, teknik keterampilan dan kemampuan menangani
situasi krisis yang dimiliki anestesiologis memiliki peranan penting
terjadinya komplikasi selama tatalaksana jalan napas.
2. Intubasi yang terburu-buru tanpa evaluasi jalan napas atau
persiapan pasien dan peralatan yang adekuat dapat menimbulkan
kegagalan dalam intubasi.
Faktor yang berhubungan dengan peralatan
1. Bentuk standar dari endotracheal tube (ETT) akan memberikan
tekanan yang maksimal pada bagian posterior laring. Oleh sebab
itu, kerusakan yang terjadi pada bagian tersebut tergantung dari
ukuran tube dan durasi pemakaian tube tersebut.
2. Pemakaian stilet dan bougie merupakan faktor predisposisi
terjadinya trauma.
3. Bahan tambahan berupa plastik dapat menimbulkan iritasi jaringan.
4. Sterilisasi tube plastik dengan etilen oksida dapat menghasilkan
bahan toksik berupa etilen glikol jika waktu pengeringan inadekuat.

49

5. Tekanan yang tinggi pada kaf dapat menimbulkan cedera atau kaf
dengan tekanan yang rendah dapat pula menimbulkan cedera jika
ditempatkan di bagian yang tidak tepat.
Kesulitan
mencakup

menjaga

kesulitan

menggunakan

jalan

ventilasi

laringoskopi,

napas
dengan

kesulitan

dan

kegagalan

sungkup,

intubasi

kesulitan

saat

intubasi

dan

melakukan

kegagalan intubasi. Situasi yang paling ditakuti adalah tidak dapat


dilakukannya ventilasi maupun intubasi pada pasien apnoe karena
proses anestesi. Kegagalan dalam oksigenasi dapat menyebabkan
kematian atau hipoksia otak.
Krikotirotomi (bukan trakeostomi) merupakan metode yang dipilih
ketika dalam keadaan emergensi seperti pada kasus cannotventilation-cannot-intubation (CVCI). Tabel Komplikasi pada ETT
Komplikasi pada ETT
Saat Intubasi

Saat

ETT

Sudah

Digunakan
Kegagalan intubasi
Tension pneumotoraks
Cedera korda spinalis dan kolumna Aspirasi pulmoner
vertebralis
Oklusi arteri sentral pada retina Obstruksi jalan napas
dan kebutaan
Abrasi kornea
Diskoneksi
Trauma pada bibir, gigi, lidah dan Tube trakeal
hidung
Refleks autonom yang berbahaya
Pemakaian yang tidak nyaman
Hipertensi, takikardia, bradikardia Peletakan yang lemah
dan aritmia
Peningkatan tekanan intrakranial ETT yang tertelan
dan intraocular
Laringospasme
Bronkospasme
Trauma laring
Avulsi, fraktur

dan

dislokasi

arytenoids
50

Perforasi jalan napas


Trauma
nasal,
retrofaringeal,
faringeal, uvula, laringeal, trakea,
esofageal dan bronkus
Intubasi esophageal
Intubasi bronchial
Selama Ekstubasi
Kesulitan ekstubasi
Kesulitan melepas kaf
Terjadi sutura ETT ke trakea atau
bronkus
Edema laring
Aspirasi oral atau isi gaster

Setelah Intubasi
Suara mendengkur
Edema laring
Suara serak
Cedera saraf
Ulkus pada permukaan laring
Granuloma laring
Jaringan granulasi pada glotis
dan subglotis
Sinekiae laring
Paralisis dan aspirasi korda vokal
Membran laringotrakeal

Komplikasi pada ETT


Saat Intubasi

Saat

ETT

Sudah

Digunakan
Stenosis trakea
Trakeomalacia
Fistula trakeo-esofageal
Fistula trakeo-innominata
K. Analisa Kasus
Pemilihan general anestesi dengan teknik intubasi kasus ini sudah
tepat, karena general anestesi bertujuan agar pasien tidak sadar, merasa
rileks, nyaman, tidak merasakan nyeri saat pembedahan berlangsung.
Pembedahan dilakukan di bagian leher sehingga diperkirakan akan ada
kesulian untuk mempertahankan airway pasien. Untuk itu dipilih general
anestesi dengan teknik intubasi.
Intubasi endotrakea adalah memasukkan pipa (tube) endotrakea
(ET= endotrakeal tube) kedalam trakea via oral atau nasal. Indikasi ;

51

operasi lama, sulit mempertahankan airway (operasi di bagian leher dan


kepala).
Persiapan operasi yang dilakukan pada pasien ini sudah tepat. Pada
pasien ini dilakukan kunjungan pre operatif (anamnesis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan penunjang), dilakukan penilaian kebugaran fisik pasien serta
edukasi puasa sebelum operasi untuk mencegah terjadinya regurgitasi isi
lambung.
Persiapan operasi dimulai saat kunjungan pre operatif. Tujuannya
untuk mengurangi angka kesakitan operasi, mengurangi biaya operasi dan
meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan. Tindakan yang dilakukan saat
kunjungan pre operatif meliputi anamnesis (apakah pasien pernah di
anastesi sebelumnya, alergi, penyakit seperti hipertensi, diabetes mellitus,
asma, kebiasaan seperti merokok, minum alkohol dan sebagainya),
pemeriksaan fisik (penggunaan gigi palsu, pemeriksaan mulut, lidah,
hidung atau hal lain yang penting untuk mengetahui apakah ada hal yang
menyulitkan proses intubasi), pemeriksaan penunjang (laboratorium,
rontgen, ekg). Selain itu perlu juga menilai kebugaran fisik pasien dengan
mengklasifikasikan pasien dalam status yang dibuat oleh ASA.
Refleks laring mengalami penurunan selama anestesia. Regurgitasi
isi lambung dan kotoran yang terdapat dalam saluran nafas merupakan
risiko utama pada pasien-pasien yang menjalani anestesia. Untuk
meminimalkan risiko tersebut, semua pasien dijadwalkan untuk operasi
elektif dengan anestesia harus dipantangkan dari masukan oral (puasa)
selama periode tertentu sebelum induksi anestesia.
Pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam dan
pada bayi 3-4 jam. Makanan tak berlemak diperbolehkan 5 jam sebelum
induksi anestesia. Minuman bening, air putih, teh manis sampai 3 jam dan
untuk keperluan minum obat, air putih dalam jumlah terbatas boleh 1 jam
sebelum induksi anestesia.

52

DAFTAR PUSTAKA
American Thyroid Association Updates Guidelines for Thyroid Nodules and
Cancer. From : http://www.medscape.com
Devita, Hellman, and Rosenbergs : CANCER Principles & Practice of Oncology:
Thyroid Tumors, Chapter 44. From: www.cancerppo8.com
Diagnostic

testing

for

papillary

carcinoma.

From:

http://www.medhelp.org/posts/Thyroid/Diagnostic-testing-for-papillarycarcinoma/show/264509
Doherty, Gerrard M. 2006. Malignant tumors of the thyroid. In current Surgical
Diagnosis & Treatment. Lange Medical Publication. Hal: 283-285.
Ganong, W.F. 2006c. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC
Grace Pierce A, Borley Niel R. 2006. Benjolan Leher dan Keganasan Tiroid. At a
Glance, Ilmu Bedah, Erlangga. Hal: 10 & 134
Moeljanto, Djoko R. 2006. Kelenjar Tiroid, Hipotiroidisme, dan Hipertiroidisme
dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi Keempat. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hal: 1933 1943
Ramli, Muchlis. 2000. Kanker Tiroid Penatalaksanaan Diagnosis dan Terapi
dalam Deteksi Dini Kanker. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Hal 9 31
Sjamsuhidajat R. Jong WD. 1997. Sistem Endokrin. Dalam : Buku Ajar Ilmu
Bedah. Edisi Revisi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Hal: 926940.
Subekti, Imam. 2000. Pendekatan Pasien dengan Nodul Tiroid dalam Deteksi
Dini Kanker. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Hal: 1 8

53

Subekti, Imam. 2006. Karsinoma Tiroid dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Jilid III edisi keempat. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Hal: 1959 1963

54

Anda mungkin juga menyukai