Anda di halaman 1dari 12

K.

PERTIMBANGAN ANESTESI PADA PASIEN HIPERTIROID

Sebelum dilakukan tindakan operasi untuk pengangkatan massa kelenjar tiroid atau yang
disebut tiroidektomi, salah satu persiapan yang harus dilakukan adalah tindakan anestesi.
Namun, terdapat beberapa hal yang penting untuk dinilai dan dipertimbangkan sebelum dan
dalam melaksanakan tindakan anestesi pada pasien hipertiroid.

1. Penilaian Pra-Operatif

a. Kondisi Kadar Hormon Tiroid dalam Tubuh Pasien :

Pasien yang direncanakan tindakan operasi tiroidektomi harus dalam kondisi


eutiroid atau dengan kadar hormon tiroid stabil atau normal. Hal ini
dikarenakan kondisi hormon tiroid yang tinggi ditambah terpicu stress tubuh
akibat adanya proses operasi dapat meningkatkan secara tajam aktivitas
katekolamin dan level aktivitas metabolik basal yang dapat berakibat menjadi
badai tiroid yaitu suatu kondisi yang dapat mengancam keselamatan hidup.
Dimana pada kondisi tersebut terjadi gangguan keseimbangan hemodinamik
dan paling sering terjadi gejala gangguan irama jantung atau aritmia yang
bisa sampai menjadi fibrilasi atria.

Hal ini dapat dinilai dengan mengamati apakah pasien mengalami atau
memperlihatkan tanda dan gejala hipertiroid. Perlu ditanyakan pula apakah
pasien mengetahui riwayat hipertiroid pada dirinya atau keluarganya.
Pemeriksaan kadar dan fungsi tiroid sebelum saat operasi, juga pemeriksaan
nilai beberapa panel laboratorium lain dapat dilakukan.

i. Thyroid Function Test


ii. Nilai Laborat lain

Hemoglobin

Hematocrit

Leukosit

Trombosit

Urea

Elektrolit

Serum Ca

Pengobatan medikamentosa untuk hipertiroid perlu diteruskan hingga 6-8


jam sebelum tindakan operasi. Penting pula mengetahui durasi riwayat
minum obat pasien selama ini, hal ini penting untuk mengetahui kinerja
obat-obatan tersebut sampai memberikan kondisi yang eutiroid untuk setiap
pasien yang direncanakan tiroidektomi. Rata-rata obat antitiroid diberikan
minimal 6-8 minggu sebelum mencapai kondisi kadar fungsi tiroid yang
normal.

b. Kondisi Jalan Nafas Pasien :

Jalan nafas sangatlah penting untuk dinilai, hal ini menentukan apakah jenis
anestesi yang bisa menjadi pilihan dan apakah pasien dapat dilakukan
intubasi untuk dukungan nafas atau tidak selama proses anestesi dan tindakan
tiroidektomi berlangsung. Penilaian jalan nafas juga dipertimbangkan untuk
mencegah komplikasi trauma pada trakea dan jalan nafas. Proses penilaian
jalan nafas dapat dimulai dari anamnesis serta pemeriksaan fisik pasien, serta
dapat dilakukan beberapa pemeriksaan penunjang.

i. Anamnesis
Beberapa pertanyaan dapat diberikan untuk mengidentifikasi apakah
pasien memiliki gangguan atau obstruksi pada saluran nafas :

Apakah pasien mengalami gejala sulit menelan (disfagia) ?


Apakah pasien mengalami gejala suara parau ?
Apakah pasien mengalami gejala mengorok pada saat tidur ?
Apakah pasien mengalami gejala sesak nafas ?
Apakah pasien mengalami gejala kesulitan saat berbaring datar ?

ii. Pemeriksaan Fisik


Beberapa jenis pemeriksaan fisik untuk menilai jalan nafas pasien
hipertiroid yang dapat dilakukan antara lain :

Permeriksaan fisik perabaan kelenjar tiroid 


Dapat menilai posisi, ukuran, perluasan, permukaan, konsistensi,
serta pergerakkan kelenjar. Dapat pula meraba penarikkan atau
penekanan terhadap jaringan sekitar.

Pemeriksaan fisik jantung-paru 


Jantung : Pemeriksaan irama dan aktivitas elektrokardiografi.
Paru : Pemeriksaan suara vesikular paru.

Pemeriksaan Jalan Nafas 


Gerakan sendi temporo-mandibular : Apakah ditemukan keterbatasn
dalam membuka lebar rahang dan mulut.
Jarak thyromental : Jarak normal > 6 cm.
Ekstensi sendi atlanto-oksipital : Diukur dari sudut yang menghadap
penutupan gigi pada rahang bawah dan atas terhadap bidang datar.
Besar sudut normal > 35o
Skor Mallampati :
Skor Cormack-Lehane :

Bedasarkan data epidemiologi 6 % kasus hipertiroid ditemukan


dengan tatalaksana nafas yang sulit untuk dilakukan intubasi. Dalam
kasus ini perlu dipikirkan cara alternatif untuk tetap memberikan
dukungan pernafasan. Contohnya dengan menggunakan ETT jenis
fiberoptik yang fleksible.

iii. Pemeriksaan Penunjang


Berikut beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat membantu
konfirmasi visualisasi jalan nafas seperti pada trakea dan laring :

X-Ray/ Foto Polos Dada 


Dapat memvisualisasi adanya deviasi ataupun kompresi pada trakea.

CT-Scan Dada 
Dindikasikan jika pasien mengeluhkan gangguan dalam pernafasan.
Pemeriksaan ini dapat memvisualisasikan jaringan lunak dan massa
retrosternal dari pembesaran tiroid.

3D CT-Scan Dada/Jalan Nafas 


Dapat memberikan gambaran virtual yang tiga dimensi tentang
trakea, dari mulai bentuk lumen dan diameter untuk mencari tau
apakah terjadi stenosis trakea (diameter normal trakea : 18-20 mm),
serta mengetahui kondisi jaringannya.

2. Pilihan Tehnik Anestesi untuk Operasi Tiroidektomi


a. Anestesi Umum
Merupakan pilihan pertama untuk tindakan anestesi pada pasien hipertiroid
atau yang direncanakan tiroidektomi. Alasannya antara lain anestesi umum
baik dalam menekan fungsi sistem simpatis sehingga mencegah aktivitas
metabolik berlebihan pada saat anestesi dan operasi berlangsung yang dapat
menurunkan sensitifitas terhadap regimen anestesi.

Anestesi umum dipilih jika jalan nafas dinilai baik dan dapat dilakukan
dukungan nafas menggunakan pipa endotrakeal. Anestesi umum juga dipilih
lantaran terdapat kontraindikasi pasien terhadap anestesi lokal seperti alergi
terhadapa regimen anestesi lokal, koagulopati, gangguan cemas berlebih,
riwayat bedah leher sebelumnya, dan riwayat paralisis saraf laring rekuren.

Tehnik Anestesi Umum :


i. Premedikasi
Puasa 6-8 jam sebelum operasi
Midazolam 0,07-0,15 mg/kgBB
Fentanyl 1-3 mcg/kgBB
Omeprazole 4 mg/ml dapat diulang setelah 30 menit.

ii. Tatalaksana Jalan Nafas


Preoksigenasi 4-5 l/menit selama 5-10 menit.

Pelumpuh otot : Rekoronium (awal : 0,6-1 mg/kg, rumatan : 0,1-015


mg/kg), Pipekuronium (awal : 0,05-0,12 mg/kg, rumatan : 0,01-0,15
mg/kg), Doksakurium (awal : 0,02-0,08 mg/kg, rumatan : 0,005-0,01
mg/kg), Atrakurium (awal : 0,5-0,6 mg/kg, rumatan : 0,1 mg/kg)

Pemasangan tabung endotrakeal / Endotracheal tube (ETT) :


Diawali manuever tripel jalan nafas dan oksigenasi manual.
Posisikan pasien terlentang, kepala dan leher ekstensi, dilakukan jaw
thrust, seta diberi ganjal dibawah bahu. Posisi ini disebut Rose
Position.
Lalu dilakukan pemasangan ETT, dengan ukuran pipa disesuaikan
dengan usia pasien ataupun diameter trakea.
Pemeliharan Jalan Nafas : Dengan mengalirkan oksigen 2 l/menit.

iii. Induksi Anestesia


Intravena 
Thiopental 2,5% : 3-7 mg/kgBB selama 30-60 detik.
Propofol 1% : 1-3 mg/kgBB

Inhalasi 
Halothan : 2-4 vol %

iv. Rumatan Anestesia


Intravena 
Propofol : 0,5-2 mg/kgBB/jam
Fentanyl : 10-50 mcg/kgBB
Inhalasi 
Halothan : Nafas kendali (1-2 vol %), Nafas spontan (0,5-1 vol %)
Sevofluran & Isofluran : 2-4 vol %

b. Anestesi Lokal/Regional
Pilihan tehnik anestesi lain selain anestesi umum jika pasien terdapat
kontraindikasi terhadap anestesi umum seperti terdapat gangguan endokrin
yang tidak terkontrol (gula darah tinggi, hormon tiroid tinggi), anemia,
edema paru, tuberkulosis, PPOK, penggunaan alkohol dan rokok berlebih,
myokarditis, aritmia jantung, penyakit katup jantung, dan usia sangat tua
dengan fungsi ginjal dan hati yang buruk.

Tehnik Anestesi Regional :


i. Identifikasi lokasi injeksi anestesi :
Pada tulang belakang level C2-C4 dimana cabang transversalnya
mempersarafi parenkim tiroid.

Gambar 5 : Superficial Cervical Plexus


Block

Tanda-tanda lokasi anatomis yang dapat dipakai sebagai patokan 


Batas posterior otot sternocleidomastoid, batas posterior kepala
clavicula, prosesus mastoid, tuberkel C6, titik tengah antara mastoid
ke C6.

ii. Tindakan injeksi regimen anestesi regional :


Sebelumnya dilakukan tindakan sepsis-asepsis.

Injeksi regimen dengan dosis 


Lidokain : 20-100 mg (2-5 ml pada larutan polos), 20-50 (1-2 ml
pada larutan dengan dextrose).
Bupivakain : 5-20 mg (1-4 ml pada larutan polos), 5-15 (1-3 ml pada
larutan dengan dextrose).

Injeksi dilakukan dengan jarum spinal menembus kulit hingga ke


ruang subarakhnoid.

c. Tatalaksana Nyeri
Opiod 
Fentanyl : 1-3 mcg/kgBB dapat bertahan 30 menit.
Morfin : 1-2 mg IV, dapat diulang.
Tramadol : 50-100mg/4-6 jam, dengan dosis maksimal 400mg
Non-Opioid 
Ketolorac : 10-30 mg/4-6 jam
Diklofenak : 75 mg IV, 50-100mg/8-12jam oral
Meloksikam : 7,5 mg atau 15 mg perhari oral

d. Pengawasan Hemodinamik
Pengawasan selama dilakukan tindakan anestesi dan tindakan operasi :
Saturasi oksigen
Laju pernafasan
Tekanan darah
Perdarahan
Laju denyut nadi
Irama jantung
Suhu tubuh
Kondisi umum dan keluhan pasien

3. Keadaan Penyulit Intra dan Pasca-Operatif


Beberapa keaadan pasca operasi dapat terjadi dan memerlukan perhatian serta
tatalaksana antara lain :

a. Badai Tiroid/Thyroid Storm

Komplikasi hipertiroidisme yang dapat mengancam nyawa adalah krisis tiroid


(thyroid storm). Hal ini dapat berkernbang secara spontan pada pasien hipertiroid yang
menjalani terapi, selama pembedahan kelenjar tiroid, atau terjadi pada pasien hipertiroid
yang tidak terdiagnosis. Akibatnya adalah pelepasan hormon tiroid dalam jumlah yang
sangat besar yang menyebabkan takikardia, agitasi, tremor, hipertermia (41˚C/106˚F), dan
apabila tidak diobati akan menyebabkan kematian(8).

Kriteria diagnostik untuk krisis tiroid ( Burch-Wartofsky)


Temperature
 99 - 100 5 Central nervous system effects
100 - 101 10  Absent 0
101 - 102 15 Mild (agitation) 10
102 - 103 20 Moderate (delirium) 20
103 - 104 25 Severe (seizure, coma) 30
> 104 30 Gastrointestinal effects
Cardiovascular dysfunction  Absent 0
 Tachycardia Moderate (V, D & abd.pain) 10
90 - 110 5 Severe (jaundice) 20
110 - 120 10 Precipitant history
120 - 130 15  Negative 0
130 - 140 20 Positive 10
> 140 25
Congestive heart failure
Likelihood of thyroid storm
 Absent 0
Mild CHF 5 > 45 = Highly suggestive
Moderate CHF 10 25 - 44 = Suggestive
Severe CHF 15 < 25 = Unlikely
Atrial fibrillation 10

Pengobatan Krisis Tiroid(1,2)

Secara umum diberikan cairan untuk rehidrasi dan koreksi elektrolit (NaCl dan cairan
lain) dan kalori (glukosa), vitamin, oksigen, kalau perlu sedasi, kompres es.

i. Pemberian hidrokortison dosis stress 100 mg tiap 8 jam atau


deksametason 2 mg tiap 6 jam (kerana adanya defisiensi steroid
relatif akibat hipermetabolisme dan menghambat konversi perifer T4.
ii. Untuk antipiretik, digunakan asetominofen, bukan aspirin. Aspirin
akan melepas ikatan protein-hormon tiroid hingga free-hormon
meningkat
iii. Mengobati faktor pencetus, seperti infeksi.
iv. Mengkoreksi hipertiroid dengan cepat:
- Memblok sintesis hormon baru; PTU dosis besar (loading
dose 600-1000mg) diikuti dosis 200mg PTU tiap 4 jam
dengan dosis sehari total 1000-1500mg
- Memblok cikal bakalnya hormon dengan Lugol 10 tetes
setiap 6-8.
- Menghambat konversi perifer dari T4 menjadi T3 dengan
propanolol, opiat, B- blocker dan atau kortikosteroid

b. Perdarahan pada Lokasi Operasi


Perdarahan pasca operasi dapat menyebabkan kompresi dan obstruksi jalan
napas yang cepat. Tanda-tanda pembengkakan atau pembentukan hematoma
yang mengurangi jalan napas pasien harus segera didekompresi dengan
pengangkatan klip bedah. Penghapus klip harus disimpan di samping tempat
tidur pasien. Jika ada waktu untuk kembali ke kamar operasi, re-intubasi
sejak dini sebaiknya dilakukan. Dapat diberikan regimen asam traneksamat
250-500 mg IV dalam 2 dosis terbagi atau dengan dosis 10mg/kg IV.

c. Edema Laring
Ini merupakan penyebab yang jarang dari obstruksi pernapasan pascaoperasi.
Hal ini dapat terjadi sebagai akibat dari intubasi trakea traumatik atau pada
pasien yang timbul hematoma yang dapat menyebabkan obstruksi drainase
vena. Hal ini biasanya dapat ditangani dengan steroid (dexamethasone 0,7-9
mg/hari dosis terbagi dalam 6-12 jam secara IV/IM/oral) dan oksigen lembab.

d. Kelumpuhan Saraf Laring Rekuren


Trauma pada nervus laring rekuren dapat disebabkan oleh iskemia, traksi,
terjepit, atau transeksi saraf selama operasi dan dapat unilateral atau bilateral.
Kelumpuhan pita suara unilateral akan hadir dengan kesulitan pernapasan,
suara serak atau kesulitan dalam fonasi sedangkan kelumpuhan bilateral akan
menyebabkan adduksi lengkap pita suara dan stridor. kelumpuhan Bilateral
RLN membutuhkan reintubasi segera dan pasien kemudian mungkin perlu
trakeostomi.

e. Hipokalsemia
Trauma yang tidak diinginkan pada glandula paratiroid dapat menyebabkan
hipokalsemia sementara. Hipokalsemia permanen jarang terjadi. Tanda-tanda
hipokalsemia mungkin termasuk kebingungan, bergetar dan tetani. Hal ini
dapat diperoleh pada Trousseau (kejang carpopedal dipicu oleh inflasi manset)
atau tanda Chvostek (getaran wajah sewaktu menekan kelenjar parotis).
Pengganti Kalsium (Kalsium Glukonas 4-8 mg/kg IV, Kalsitriol dosis awal
250 ng/hari dosis lanjutan 0,5-1 mcg/hari) harus diterapkan segera karena
hipokalsemia dapat memicu laryngospasme, iritabilitas jantung, perpanjangan
QT dan selanjutnya aritmia.

f. Tracheomalacia
Kemungkinan tracheomalacia harus dipertimbangkan pada pasien yang telah
mengalami kompresi trakea dengan goiter besar atau tumor. kebocoran
manset Tes sesaat sebelum ekstubasi adalah meyakinkan tapi peralatan harus
tersedia untuk reintubasi segera jika terjadi.

Anda mungkin juga menyukai