Anda di halaman 1dari 48

LAPORAN KASUS ANESTESI

SEORANG WANITA 39 TAHUN DENGAN


GAGAL NAPAS ET CAUSA MIASTENIA GRAVIS

Diajukan untuk melengkapi syarat kepaniteraan klinik senior di bagian


Anestesiologi Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro

Disusun oleh :
Yustina Wahyuningtiyas

Pembimbing :
dr. Darma Yudistira

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR ILMU ANESTESIOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2017
HALAMAN PENGESAHAN

Nama Mahasiswa : Yustina Wahyuningtiyas


NIM : 22010116210016
Bagian : Anestesiologi RSDK / FK UNDIP
Judul kasus : Seorang Wanita 39 Tahun dengan Gagal Napas et
causa Miastenia Gravis
Pembimbing : dr. Darma Yudistira

Semarang, Mei 2017


Pembimbing

dr. Darma Yudistira

2
BAB I
PENDAHULUAN

Gagal napas merupakan kegagalan sistem respirasi dalam bentuk


kegagalan ventilasi, difusi O2 dan CO2 maupun delivery O2 ke jaringan dimana
hal tersebut masih menjadi masalah dalam penatalaksanaan medis. Secara praktis,
gagal napas didefinisikan sebagai PaO2 < 60 mmHg atau PaCO2 > 50 mmHg.
Walaupun kemajuan teknik diagnosis dan terapi intervensi telah berkembang
pesat, tetapi gagal napas masih merupakan penyebab angka kesakitan dan
kematian yang tinggi di instalasi perawatan intensif.1
Gagal napas akut merupakan penyebab gagal organ yang paling sering di
Intensive Care Unit (ICU) dengan tingkat mortalitas yang tinggi. Hasil studi di
Jerman dan Swedia melaporkan bahwa insidensi gagal napas akut pada dewasa
sebesar 77,6-88,6 kasus / 100.000 penduduk / tahun. The American-European
Consensus on ARDS menemukan insidensi acute respiratory distress syndrome
(ARDS) antara 12,6-28,0 kasus / 100000 penduduk /tahun serta kematian akibat
gagal napas dilaporkan sekitar 40%.2
Penyebab terjadiya gagal napas sering ditemukan di pelayanan kesehatan
medis. Gagal napas sering ditemukan pada pasien dengan penyakit yang bersifat
kronis maupun akut on kronik, salah satunya penyakit Myastenia Gravis.
Myastenia gravis khususnya dalam keadaan krisis myastenik dapat menyebab
kegagalan sistem pernapasan. Penelitian di Spanyol menunjukkan bahwa 15-30%
penderita Myastenia Gravis dapat berkembang menjadi Myasthenic crisis berupa
kelemahan otot-otot pernapasan atau otot bulbar. Prevalensi kejadian Myastenia
Gravis pada perempuan memiliki resiko dua kali lipat dibandingkan laki-laki.
Gagal napas masih merupakan komplikasi penting dari pasien Myastenia Gravis
karena menyebabkan angka mortalitas yang tinggi.3
Pengenalan terhadap tanda-tanda dan ancaman gagal napas sangat penting
agar dapat segera mendapat penanganan yang sesuai. Prinsip tatalaksana darurat
gagal napas adalah mempertahankan jalan napas tetap terbuka. Salah satu cara

3
yang bisa dilakukan adalah intubasi endotrakea, yang merupakan standar baku
emas untuk patensi jalan napas, terutama pada pasien dengan tanda dan ancaman
gagal napas untuk menjamin ventilasi, oksigenasi yang adekuat serta menjamin
keutuhan jalan napas.4

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi dan Fisiologi Saluran Pernapasan


Sistem respirasi mencakup saluran napas yang menuju paru, paru itu
sendiri, dan struktur-struktur thoraks yang berperan menyebabkan aliran udara
masuk dan keluar paru melalui saluran napas. Saluran napas adalah tabung atau
pipa yang menyangkut udara atmofer dan kantung udara (alveolus). Alveolus
merupakan satu-satunya tempat pertukaran gas antara udara dan darah.5

Gambar 1. Saluran Pernapasan Manusia

Saluran napas berawal dari saluran nasal (hidung). Saluran hidung


membuka ke dalam faring, yang berfungsi sebagai saluran bersama untuk sistem
pernapasan dan pencernaan. Faring dibagi menjadi 3 bagian yaitu: nasofaring,
orofaring, dan laringofaring. Terdapat 2 saluran yang berasal dari faring yaitu
trakhea, yang dilalui udara untuk menuju paru, dan esofagus yang dilalui makanan

5
untuk menuju lambung. Bagian faring yang menuju trakhea dihubungkan oleh
laring.5,6
Laring atau voice box, terletak di pintu masuk trakea. Tonjolan anterior
laring membentuk jakun (Adams apple). Pita suara merupakan dua pita jaringan
elastik yang melintang di pintu masuk laring, dapat diregangkan dan diposisikan
dalam berbagai bentuk oleh otot laring.5,6
Dibelakang laring, trakea terbagi menjadi 2 cabang utama, bronkus kanan
dan kiri, yang masing-masing masuk ke paru kanan dan kiri. Di dalam masing-
masing paru bronkus bercabang-cabang menjadi saluran napas yang semakin
sempit, pendek, dan banyak. Cabang-cabang yang lebih kecil dikenal sebagai
bronkiolus. Di ujung bronkiolus terminal berkelompok alveolus, kantung-kantung
udara halus tempat pertukaran gas antara udara dan darah.5,6
Agar aliran udara dapat masuk dan keluar bagian paru tempat pertukaran
berlangsung, kontinum saluran napas penghantar dari pintu masuk melalui
bronkiolus terminal hingga alveolus harus tetap terbuka. Trakea dan bronkus
besar adalah tabung yang cukup kaku tak berotot yang dikelilingi serangkaian
cincin tulang rawanyang mencegah saluran ini menyempit. Bronkiolus yang lebih
kecil tidak memiliki tulang rawan untuk menjaganya tetap terbuka. Dinding
saluran ini mengandung otot polos yang disarafi oleh sistem saraf otonom dan
peka terhadap hormon dan bahan kimia lokal tertentu. Faktor-faktor ini mengatur
jumlah udara yang mengalir dari atmosfer ke setiap kelompok alveolus, dengan
mengubah derajat kosntraksi otot polos bronkiolus sehingga mengubah kaliber
saluran napas terminal.5

2.2. Gagal Napas


Gagal napas merupakan kegagalan sistem respirasi dalam pertukaran gas
O2 dan CO2 serta masih menjadi masalah dalam penatalaksanaan medis. Secara
praktis, gagal napas didefinisikan sebagai PaO2 <60 mmHg atau PaCO2 >50
mmHg. Gagal napas masih merupakan penyebab angka kesakitan dan kematian
yang tinggi di instalasi perawatan intensif walaupun kemajuan teknik diagnosis
dan terapi intervensi telah berkembang pesat.4,6

6
2.2.1. Klasifikasi Gagal Napas
Gagal napas dapat digolongkan menjadi dua yaitu:
1. Gagal napas hipoksemia (gagal napas tipe I)
Gagal napas tipe I (hipoksemia) dihubungkan dengan defek primer
pada oksigenasi. Penyebabnya secara umum dapat disebabkan oleh
penyakit paru okstruktif kronik (PPOK), pneumonia, edema paru,
fibrosis paru, pneumothoraks, bronkiektasis, ARDS, dan emboli paru.
Gagal napas tipe I adalah kegagalan oksigenasi dan terjadi pada tiga
keadaan4:
a. Ventilasi /perfusi yang tidak sepadan atau V/Q mismatch, yang
terjadi bila darah mengalir ke bagian paru yang tidak mengalami
ventilasi adekuat, atau bila area ventilasi paru mendapat perfusi
adekuat.
b. Defek difusi, disebabkan penebalan membran alveolar atau
bertambahnya cairan interstitial pada pertemuan alveolus-kapiler.
c. Pirau intrapulmonal, yang terjadi bila kelainan struktur paru tanpa
berpartisipasi dalam pertukaran gas.4
2. Gagal napas tipe II (hiperkapnia) dihubungkan defek primer pada
ventilasi. Umumnya terjadi karena hipoventilasi alveolar dan biasanya
terjadi sekunder terhadap keadaan seperti disfungsi saraf pusat, sedasi
berlebihan, atau gangguan neuromuskular. Dapat pula disebabkan oleh
PPOK, asma berat, edema paru, dan ARDS.4

2.2.2. Patofisiologi Gagal Napas


Mekanisme gagal napas menggambarkan ketidakmampuan tubuh
untuk melakukan oksigenasi dan/atau ventilasi dengan adekuat yang
ditandai oleh ketidakmampuan sistem respirasi untuk memasok oksigen
yang cukup atau membuang karbon dioksida. Pada gagal napas terjadi
peningkatan tekanan parsial karbon dioksida arteri (PaCO2) lebih dari 50
mmHg, tekanan parsial oksigen arteri (PaO2) kurang dari 60 mmHg, atau

7
kedua-duanya. Hiperkarbia dan hipoksia mempunyai konsekuensi yang
berbeda.4
Peningkatan PaCO2 tidak mempengaruhi metabolisme normal kecuali
bila sudah mencapai kadar ekstrim (>90 mm Hg). Diatas kadar tersebut,
hiperkapnia dapat menyebabkan depresi susunan saraf pusat dan henti
napas. Untuk pasien dengan kadar PaCO2 rendah, konsekuensi yang lebih
berbahaya adalah gagal napas baik akut maupun kronis. Hipoksemia akut,
terutama bila disertai curah jantung yang rendah, sering berhubungan
dengan hipoksia jaringan dan risiko henti jantung.4
Hipoventilasi ditandai oleh laju pernapasan yang rendah dan napas
yang dangkal. Bila PaCO2 normal atau 40 mmHg, penurunan ventilasi
sampai 50% akan meningkatkan PaCO2 sampai 80 mmHg. Dengan
hipoventilasi, PaO2 akan turun kira-kira dengan jumlah yang sama dengan
peningkatan PaCO2. Kadang, pasien yang menunjukkan petanda retensi CO2
dapat mempunyai saturasi oksigen mendekati normal.4
Disfungsi paru menyebabkan gagal napas bila pasien yang
mempunyai penyakit paru tidak dapat menunjang pertukaran gas normal
melalui peningkatan ventilasi. Anak yang mengalami gangguan padanan
ventilasi atau pirau biasanya dapat mempertahankan PaCO2 normal pada
saat penyakit paru memburuk hanya melalui penambahan laju pernapasan
saja. Retensi CO2 terjadi pada penyakit paru hanya bila pasien sudah tidak
bisa lagi mempertahankan laju pernapasan yang diperlukan, biasanya karena
kelelahan otot.4

2.2.3. Gambaran Klinis Gagal Napas


Gagal napas terjadi bila dengan peningkatan upaya napas dan laju
napas, tidak dapat mempertahankan oksigenasi adekuat atau bila oksigenasi
tetap buruk. Dasar patofisiologi gagal napas menentukan gambaran
klinisnya. Pasien gagal napas yang masih mempunyai kemampuan bernapas
normal akan tampak sesak dan gelisah. Sebaliknya, pasien yang telah
menurun kemampuan pusat pernapasannya akan tampak tenang atau bahkan

8
mengantuk. Peningkatan upaya dan laju napas serta takakirdia akan
berkurang bila gagal napas memburuk, bahkan dapat terjadi henti napas.9
1. Stadium kompensasi
Gagal napas diawali oleh stadium kompensasi. Pada keadaan ini
ditemukan peningkatan upaya napas (work of breathing) yang ditandai
dengan adanya distress pernapasan (pemakaian otot pernapasan
tambahan, retraksi, takipnea dan takikardia). Peningkatan upaya napas
terjadi dalam usaha mempertahankan aliran udara walaupun compliance
paru menurun.4,5,6
2. Stadium dekompensasi
Stadium dekompensasi muncul belakangan ditandai dengan menurunnya
upaya napas.4,5,6
Impending gagal napas atau ancaman gagal napas merupakan
kecenderungan seseorang untuk mengalami gagal napas. Impending gagal
napas ditandai dengan dispneu, perubahan mood, disorientasi, pucat, atau
kelelahan. Hiperkapneu akut, flushing, agitasi, sakit kepala, dan takikardi
dapat terjadi. Penurunan SaO2 (saturasi oksigen) mengindikasikan
impending gagal napas.5
Ancaman gagal napas karena penyakit paru ditandai dengan napas cepat
atau takipnea, pemakaian otot pernapasan tambahan berlebihan dan retraksi
epigastrik, interkosta, serta supraklavikula. Ancaman gagal napas yang
disebabkan oleh disfungsi pusat pengatur napas mungkin lebih sulit dikenali
karena penderita dapat tidak menunjukkan tanda distres pernapasan,
misalnya pada pasien overdosis narkotik akan terjadi penurunan upaya
napas dan hipoventilasi. Laju pernapasan yang rendah atau napas yang
dangkal dapat mengidentifikasi pasien tersebut.5,6

2.2.4. Tatalaksana Gagal Napas


Tujuan terapi gagal napas adalah memaksimalkan pengangkutan
oksigen dan membuang CO2. Hal ini dilakukan dengan meningkatkan
kandungan oksigen arteri dan menyokong curah jantung serta ventilasi.

9
Karena itu, dalam tatalaksana terhadap gagal napas, yang perlu segera
dilakukan adalah perbaikan ventilasi dan pemberian oksigen, terapi terhadap
penyakit primer penyebab gagal napas, tatalaksana terhadap komplikasi
yang terjadi, dan terapi supportif.5,6
1. Tatalaksana Darurat
Prinsip tatalaksana darurat gagal napas adalah mempertahankan
jalan napas tetap terbuka, baik dengan pengaturan posisi kepala,
pembersihan lendir atau kotoran dari jalan napas, atau pemasangan
endotracheal tube, penggunaan alat penyangga oropharingeal airway
(gueded), penyangga nasopharingeal airway, dan trakheostomi. Jika
saluran benar-benar terjamin terbuka, maka selanjutnya dilakukan
pemberian oksigen untuk meniadakan hipoksemia. Bila pasien tidak
sadar, buka jalan napas (triple airway manouver: manuver tengadah
kepala, angkat dagu, mengedepankan rahang) dan letakkan dalam posisi
pemulihan. Isap lendir (10 detik), ventilasi tekanan positif dengan O2
100%. Lakukan intubasi endotrakea dan pijat jantung luar bila
diperlukan.
2. Tatalaksana Lanjutan
Dalam tatalaksana lanjutan, yang perlu dilakukan adalah stabilisasi
dan mencegah perburukan. Penderita-penderita dengan gagal napas
banyak mengeluarkan lendir sehingga memperberat beban pernapasan.
Oleh karena itu, perawatan jalan napas sangat memegang peran penting.
Pemberian oksigenasi diteruskan. Kontrol saluran napas, tatalaksana
ventilasi, stabilisasi sirkulasi dan terapi farmakologis (antibiotik,
bronkodilator, nutrisi, fisioterapi).
Pemberian Oksigen: Dalam tatalaksana lanjutan, oksigen harus tetap
diberikan untuk mempertahankan saturasi oksigen arteri diatas 95%.
Walaupun pemberian O2 mempunyai risiko menurunkan upaya
bernapas pada beberapa pasien yang mengalami hipoventilasi kronis,
keadaan ini bukan kontraindikasi untuk terapi O2 bila pasien diobservasi

10
ketat. Bila ventilasi tidak adekuat, maka harus segera diberikan bantuan
ventilasi dengan balon ke masker dan O2.
Hipoksemia diatasi dengan pemberian O2 hangat dan lembab melalui
kanul nasal, masker sederhana, masker dengan penyimpanan (reservoir)
oksigen, kotak penutup kepala (oxyhood), dan alat bantu napas
orofaring atau nasofaring.
Bantuan Pernapasan (Ventilasi): Bantuan pernapasan dapat dilakukan
untuk memperbaiki oksigenasi. Bantuan pernapasan tersebut meliputi
Continius Positive Airway Pressure (CPAP) dan Bilevel Positive
Airway Pressure (BiPAP). CPAP akan membuka alveoli yang kolaps
dan mengalirkan cairan edema paru, sehingga mengurangi
ketidakpadanan ventilasi-perfusi, mengurangi gradien oksigen arteri-
alveolus dan memperbaiki PaO2. Ventilasi tekanan positif non invasif,
Bilevel Positive Airway Pressure (BiPAP) memberikan bantuan
ventilasi tekanan positif dan tekanan saluran napas positif kontinyu
melalui masker nasal, bantalan nasal, atau masker muka. Bantuan
ventilasi ini tidak memerlukan intubasi trakhea.
Pemasangan Pipa Endotrakheal: Intubasi endotrakhea dapat
dilakukan pada beberapa pasien tertentu. Indikasi melakukan intubasi
endotrakhea adalah keadaan berikut ini:
a. Gagal kardiopulmonal/henti kardiopulmonal
b. Distres pernapasan berat/kelelahan otot pernapasan
c. Refleks batuk/gag refleks hilang
d. Memerlukan bantuan napas lama karena apnea atau hipoventilasi
e. Transpor antar rumah sakit untuk pasien yang berpotensi gagal
napas
Pengobatan Terhadap Penyebab Gagal Napas: Penyebab gagal napas
sangat banyak dan sering merupakan stadium akhir dari suatu penyakit.
Penyebab tersering adalah penyakit paru-paru, terutama
bronkhopneumonia dan bronkhiolitis, kemudian gangguan neurologis,
penyakit jantung dan neuromuskuler. Dalam tatalaksana gagal napas,

11
maka terapi terhadap penyebab (penyakit primer) harus dilakukan,
misalnya: pemberian antibiotika, bronkhodilator dan mukolitik.

2.3 Miastenia Gravis


2.3.1 Definisi7
Miastenia gravis adalah suatu kelainan autoimun yang ditandai oleh
suatu kelemahan abnormal dan progresif pada otot rangka yang
dipergunakan secara terus-menerus dan disertai dengan kelelahan saat
beraktivitas7.
Bila penderita beristirahat, maka tidak lama kemudian kekuatan otot
akan pulih kembali. Penyakit ini timbul karena adanya gangguan dari
synaptic transmission atau pada neuromuscular junction,

2.3.2 Epidemiologi7
Myasthenia Gravis dapat dikatakan sebagai penyakit yang masih
jarang ditemukan. Umumnya menyerang wanita dewasa muda dan pria tua.
Penyakit ini bukan suatu penyakit turunan ataupun jenis penyakit yang bisa
menular. Kasus MG adalah 5-10 kasus per 1 juta populasi per tahun, yang
mengakibatkan kelaziman di Amerika Serikat sekitar 25.000 kasus. Tidak
ada kelaziman rasial, tapi orang-orang yang terkena MG pada usia < 40
tahun, 70 % nya adalah wanita. Yang > 40 tahun, 60 % nya adalah pria
Pada Myasthenia bayi, janin mungkin memperolah protein imun
(antibodi) dari ibu yang terkena Myasthenia Gravis. Umumnya, kasus-kasus
dari Myasthenia bayi adalah sementara dan gejala-gejala anak-anak
umumnya hilang dalam beberapa minggu setelah kelahiran. Myasthenia
Gravis tidak secara langsung diwarisi ataupun menular. Adakalanya,
penyakit ini mungkin terjadi pada lebih dari satu orang dalam keluarga yang
sama.

12
2.3.3 Anatomi, Fisiologis dan Biokimia Neuromuscular Junction
a. Anatomi Neuromuscular Junction
Sebelum memahami tentang miastenia gravis, pengetahuan tentang
anatomi dan fungsi normal dari neuromuscular junction sangatlah penting.
Tiap-tiap serat saraf secara normal bercabang beberapa kali dan merangsang
tiga hingga beberapa ratus serat otot rangka. Ujung-ujung saraf membuat
suatu sambungan yang disebut neuromuscular junction atau sambungan
neuromuskular8.
Bagian terminal dari saraf motorik melebar pada bagian akhirnya yang
disebut terminal bulb, yang terbentang diantara celah-celah yang terdapat di
sepanjang serat saraf. Membran presinaptik (membran saraf), membran post
sinaptik (membran otot), dan celah sinaps merupakan bagian-bagian
pembentuk neuromuscular junction9.

b. Fisiologi dan Biokimia Neuromuscular Junction


Celah sinaps merupakan jarak antara membran presinaptik dan
membran post sinaptik. Lebarnya berkisar antara 20-30 nanometer dan
terisi oleh suatu lamina basalis, yang merupakan lapisan tipis dengan serat
retikular seperti busa yang dapat dilalui oleh cairan ekstraselular secara
difusi.
Terminal presinaptik mengandung vesikel yang didalamnya berisi
asetilkolin (ACh). Asetilkolin disintesis dalam sitoplasma bagian terminal
namun dengan cepat diabsorpsi ke dalam sejumlah vesikel sinaps yang
kecil, yang dalam keadaan normal terdapat di bagian terminal suatu
lempeng akhir motorik (motor end plate).
Bila suatu impuls saraf tiba di neuromuscular junction, kira-kira 125
kantong asetilkolin dilepaskan dari terminal masuk ke dalam celah sinaps.
Bila potensial aksi menyebar ke seluruh terminal, maka akan terjadi difusi
dari ion-ion kalsium ke bagian dalam terminal. Ion-ion kalsium ini
kemudian diduga mempunyai pengaruh tarikan terhadap vesikel
asetilkolin. Beberapa vesikel akan bersatu ke membran saraf dan

13
mengeluarkan asetilkolinnya ke dalam celah sinaps. Asetilkolin yang
dilepaskan berdifusi sepanjang sinaps dan berikatan dengan reseptor
asetilkolin (AChRs) pada membran post sinaptik.
Secara biokimiawi keseluruhan proses pada neuromuscular junction
dianggap berlangsung dalam 6 tahap, yaitu6:
1) Sintesis asetil kolin terjadi dalam sitosol terminal saraf dengan
menggunakan enzim kolin asetiltransferase yang mengkatalisasi reaksi
berikut ini: Asetil-KoA + Kolin Asetilkolin + KoA
2) Asetilkolin kemudian disatukan ke dalam partikel kecil terikat-
membran yang disebut vesikel sinap dan disimpan di dalam vesikel ini.
3) Pelepasan asetilkolin dari vesikel ke dalam celah sinaps merupakan
tahap berikutnya. Peristiwa ini terjadi melalui eksositosis yang melibatkan
fusi vesikel dengan membran presinaptik. Dalam keadaan istirahat, kuanta
tunggal (sekitar 10.000 molekul transmitter yang mungkin sesuai dengan isi
satu vesikel sinaps) akan dilepaskan secara spontan sehingga menghasilkan
potensial endplate miniature yang kecil. Kalau sebuah akhir saraf
mengalami depolarisasi akibat transmisi sebuah impuls saraf, proses ini
akan membuka saluran Ca2+ yang sensitive terhadap voltase listrik sehingga
memungkinkan aliran masuk Ca2+ dari ruang sinaps ke terminal saraf. Ion
Ca2+ ini memerankan peranan yang esensial dalam eksositosis yang
melepaskan asitilkolin (isi kurang lebih 125 vesikel) ke dalam rongga
sinaps.
4) Asetilkolin yang dilepaskan akan berdifusi dengan cepat melintasi
celah sinaps ke dalam reseptor di dalam lipatan taut (junctional fold),
merupakan bagian yang menonjol dari motor end plate yang mengandung
reseptor asetilkolin (AChR) dengan kerapatan yang tinggi dan sangat rapat
dengan terminal saraf. Kalau 2 molekul asetilkolin terikat pada sebuah
reseptor, maka reseptor ini akan mengalami perubahan bentuk dengan
membuka saluran dalam reseptor yang memungkinkan aliran kation
melintasi membran. Masuknya ion Na+ akan menimbulkan depolarisasi
membran otot sehingga terbentuk potensial end plate. Keadaan ini

14
selanjutnya akan menimbulkan depolarisasi membran otot di dekatnya dan
terjadi potensial aksi yang ditransmisikan disepanjang serabut saraf
sehingga timbul kontraksi otot.
5) Kalau saluran tersebut menutup, asetilkolin akan terurai dan
dihidrolisis oleh enzim asetilkolinesterase yang mengkatalisasi reaksi
berikut:
Asetilkolin + H2O Asetat + Kolin
Enzim yang penting ini terdapat dengan jumlah yang besar dalam
lamina basalis rongga sinaps
6) Kolin didaur ulang ke dalam terminal saraf melalui mekanisme
transport aktif di mana protein tersebut dapat digunakan kembali bagi
sintesis asetilkolin.

Setiap reseptor asetilkolin merupakan kompleks protein besar dengan


saluran yang akan segera terbuka setelah melekatnya asetilkolin. Kompleks
ini terdiri dari 5 protein subunit, yatiu 2 protein alfa, dan masing-masing
satu protein beta, delta, dan gamma. Melekatnya asetilkolin memungkinkan
natrium dapat bergerak secara mudah melewati saluran tersebut, sehingga
akan terjadi depolarisasi parsial dari membran post sinaptik. Peristiwa ini
akan menyebabkan suatu perubahan potensial setempat pada membran serat
otot yang disebut excitatory postsynaptic potential (potensial lempeng
akhir). Apabila pembukaan gerbang natrium telah mencukupi, maka akan
terjadi suatu potensial aksi pada membran otot yang selanjutnya
menyebabkan kontraksi otot

2.3.4 Patofisiologi
Mekanisme imunogenik memegang peranan yang sangat penting pada
patofisiologi miastenia gravis. Observasi klinik yang mendukung hal ini
mencakup timbulnya kelainan autoimun yang terkait dengan pasien yang
menderita miastenia gravis, misalnya autoimun tiroiditis, sistemik lupus
eritematosus, arthritis rheumatoid, dan lain-lain8.

15
Sejak tahun 1960, telah didemonstrasikan bagaimana autoantibodi
pada serum penderita miastenia gravis secara langsung melawan konstituen
pada otot. Hal inilah yang memegang peranan penting pada melemahnya
otot penderita dengan miastenia gravis. Tidak diragukan lagi, bahwa
antibody pada reseptor nikotinik asetilkolin merupakan penyebab utama
kelemahan otot pasien dengan miastenia gravis. Autoantibodi terhadap
asetilkolin reseptor (anti-AChRs), telah dideteksi pada serum 90% pasien
yang menderita acquired myasthenia gravis generalisata8.
Mekanisme pasti tentang hilangnya toleransi imunologik terhadap
reseptor asetilkolin pada penderita miastenia gravis belum sepenuhnya dapat
dimengerti. Miastenia gravis dapat dikatakan sebagai penyakit terkait sel
B, dimana antibodi yang merupakan produk dari sel B justru melawan
reseptor asetilkolin. Peranan sel T pada patogenesis miastenia gravis mulai
semakin menonjol. Timus merupakan organ sentral terhadap imunitas yang
terkait dengan sel T. Abnormalitas pada timus seperti hiperplasia timus atau
thymoma, biasanya muncul lebih awal pada pasien dengan gejala miasteni,8.
Pada pasien miastenia gravis, antibodi IgG dikomposisikan dalam
berbagai subklas yang berbeda, dimana satu antibodi secara langsung
melawan area imunogenik utama pada subunit alfa. Subunit alfa juga
merupakan binding site dari asetilkolin. Ikatan antibodi reseptor asetilkolin
pada reseptor asetilkolin akan mengakibatkan terhalangnya transmisi
neuromuskular melalui beberapa cara, antara lain : ikatan silang reseptor
asetilkolin terhadap antibodi anti-reseptor asetilkolin dan mengurangi
jumlah reseptor asetilkolin pada neuromuscular junction dengan cara
menghancurkan sambungan ikatan pada membran post sinaptik, sehingga
mengurangi area permukaan yang dapat digunakan untuk insersi reseptor-
reseptor asetilkolin yang baru disintesis8.

16
2.3.5 Manifestasi Klinis
Miastenia gravis dikarakteristikkan melalui adanya kelemahan yang
berfluktuasi pada otot rangka dan kelemahan ini akan meningkat apabila
sedang beraktivitas. Penderita akan merasa ototnya sangat lemah pada siang
hari dan kelemahan ini akan berkurang apabila penderita beristirahat4.
Gejala klinis miastenia gravis antara lain7,8 :
Kelemahan pada otot ekstraokular atau ptosis .Ptosis yang
merupakan salah satu gejala kelumpuhan nervus okulomotorius, seing
menjadi keluhan utama penderita miastenia gravis. Walupun pada miastenia
gravis otot levator palpebra jelas lumpuh, namun ada kalanya otot-otot
okular masih bergerak normal. Tetapi pada tahap lanjut kelumpuhan otot
okular kedua belah sisi akan melengkapi ptosis miastenia gravis7.
Kelemahan otot bulbar juga sering terjadi, diikuti dengan kelemahan pada
fleksi dan ekstensi kepala7,8.
Kelemahan otot penderita semakin lama akan semakin memburuk.
Kelemahan tersebut akan menyebar mulai dari otot ocular, otot wajah, otot
leher, hingga ke otot ekstremitas7,8.
Sewaktu-waktu dapat pula timbul kelemahan dari otot masseter
sehingga mulut penderita sukar untuk ditutup. Selain itu dapat pula timbul
kelemahan dari otot faring, lidah, pallatum molle, dan laring sehingga
timbullah kesukaran menelan dan berbicara. Paresis dari pallatum molle
akan menimbulkan suara sengau. Selain itu bila penderita minum air,
mungkin air itu dapat keluar dari hidungnya8.

2.3.6 Klasifikasi Miastenia Gravis


Menurut Myasthenia Gravis Foundation of America (MGFA),
miastenia gravis dapat diklasifikasikan sebagai berikut7:
a. Klas I
Adanya kelemahan otot-otot okular, kelemahan pada saat menutup mata,
dan kekuatan otot-otot lain normal.

17
b. Klas II
Terdapat kelemahan otot okular yang semakin parah, serta adanya
kelemahan ringan pada otot-otot lain selain otot okular.
c. Klas IIa
Mempengaruhi otot-otot aksial, anggota tubuh, atau keduanya. Juga
terdapat kelemahan otot-otot orofaringeal yang ringan.
d. Klas IIb
Mempengaruhi otot-otot orofaringeal, otot pernapasan atau keduanya.
Kelemahan pada otot-otot anggota tubuh dan otot-otot aksial lebih ringan
dibandingkan klas IIa.
e. Klas III
Terdapat kelemahan yang berat pada otot-otot okular. Sedangkan otot-
otot lain selain otot-otot ocular mengalami kelemahan tingkat sedang.
f. Klas IIIa
Mempengaruhi otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau
keduanya secara predominan. Terdapat kelemahan otot orofaringeal yang
ringan.
g. Klas IIIb
Mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan, atau keduanya
secara predominan. Terdapat kelemahan otot-otot anggota tubuh, otot-otot
aksial, atau keduanya dalam derajat ringan.
h. Klas IV
Otot-otot lain selain otot-otot okular mengalami kelemahan dalam
derajat yang berat, sedangkan otot-otot okular mengalami kelemahan dalam
berbagai derajat.
i. Klas IVa
Secara predominan mempengaruhi otot-otot anggota tubuh dan atau
otot-otot aksial. Otot orofaringeal mengalami kelemahan dalam derajat
ringan.

18
j. Klas IVb
Mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan atau keduanya
secara predominan. Selain itu juga terdapat kelemahan pada otot-otot
anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya dengan derajat ringan.
Penderita menggunakan feeding tube tanpa dilakukan intubasi.
k. Klas V
Penderita terintubasi, dengan atau tanpa ventilasi mekanik.
Biasanya gejala-gejala miastenia gravis sepeti ptosis dan strabismus
tidak akan tampak pada waktu pagi hari. Di waktu sore hari atau dalam
cuaca panas, gejala-gejala itu akan tampak lebih jelas. Pada pemeriksaan,
tonus otot tampaknya agak menurun
Miastenia gravis juga dapat dikelompokkan secara lebih sederhana
seperti dibawah ini :
a. Miastenia gravis dengan ptosis atau diplopia ringan.
b. Miastenia gravis dengan ptosis, diplopi, dan kelemahan otot-otot
untuk untuk mengunyah, menelan, dan berbicara. Otot-otot
anggota tubuhpun dapat ikut menjadi lemah. Pernapasan tidak
terganggu.
c. Miastenia Gravis yang berlangsung secara cepat dengan kelemahan
otot-otot okulobulbar. Pernapasan tidak terganggu. Penderita dapat
meninggal dunia.

2.3.7 Diagnosis Miastenia Gravis


a. Pemeriksaan Fisik Miastenia Gravis
Pemeriksaan fisik yang cermat harus dilakukan untuk menegakkan
diagnosis suatu miastenia gravis. Kelemahan otot dapat muncul dalam
berbagai derajat yang berbeda, biasanya menghinggapi bagian proksimal
dari tubuh serta simetris di kedua anggota gerak kanan dan kiri. Refleks
tendon biasanya masih ada dalam batas normal7.
Miastenia gravis biasanya selalu disertai dengan adanya kelemahan
pada otot wajah. Kelemahan otot wajah bilateral akan menyebabkan

19
timbulnya a mask-like face dengan adanya ptosis dan senyum yang
horizontal.
Kelemahan otot bulbar juga sering terjadi pada penderita dengan
miastenia gravis. Pada pemeriksaan fisik, terdapat kelemahan otot-otot
palatum, yang menyebabkan suara penderita seperti berada di hidung (nasal
twang to the voice) serta regurgitasi makanan terutama yang bersifat cair ke
hidung penderita. Selain itu, penderita miastenia gravis akan mengalami
kesulitan dalam mengunyah serta menelan makanan, sehingga dapat terjadi
aspirasi cairan yang menyebabbkan penderita batuk dan tersedak saat
minum. Kelemahan otot-otot rahang pada miastenia gravis menyebakan
penderita sulit untuk menutup mulutnya, sehingga dagu penderita harus
terus ditopang dengan tangan. Otot-otot leher juga mengalami kelemahan,
sehingga terjadi gangguan pada saat fleksi serta ekstensi dari leher7.
Otot-otot anggota tubuh tertentu mengalami kelemahan lebih sering
dibandingkan otot-otot anggota tubuh yang lain, dimana otot-otot anggota
tubuh atas lebih sering mengalami kelemahan dibandingkan otot-otot
anggota tubuh bawah. Deltoid serta fungsi ekstensi dari otot-otot
pergelangan tangan serta jari-jari tangan sering kali mengalami kelemahan.
Otot trisep lebih sering terpengaruh dibandingkan otot bisep. Pada
ekstremitas bawah, sering kali terjadi kelemahan saat melakukan fleksi
panggul, serta melakukan dorsofleksi jari-jari kaki dibandingkan dengan
melakukan plantarfleksi jari-jari kaki7.
Kelemahan otot-otot pernapasan dapat dapat menyebabkan gagal
napas akut, dimana hal ini merupakan suatu keadaan gawat darurat dan
tindakan intubasi cepat sangat diperlukan. Kelemahan otot-otot interkostal
serta diafragma dapat menyebabkan retensi karbondioksida sehingga akan
berakibat terjadinya hipoventilasi. Kelemahan otot-otot faring dapat
menyebabkan kolapsnya saluran napas atas, pengawasan yang ketat
terhadap fungsi respirasi pada pasien miastenia gravis fase akut sangat
diperlukan7.

20
Biasanya kelemahan otot-otot ekstraokular terjadi secara asimetris.
Kelemahan sering kali mempengaruhi lebih dari satu otot ekstraokular, dan
tidak hanya terbatas pada otot yang diinervasi oleh satu nervus cranialis. Hal
ini merupakan tanda yang sangat penting untuk mendiagnosis suatu
miastenia gravis. Kelemahan pada muskulus rektus lateralis dan medialis
akan menyebabkan terjadinya suatu pseudointernuclear ophthalmoplegia,
yang ditandai dengan terbatasnya kemampuan adduksi salah satu mata yang
disertai nistagmus pada mata yang melakukan abduksi7.

b. Pemeriksaan Penunjang untuk Diagnosis Pasti7


1. Pemeriksaan Laboratorium
Anti-asetilkolin reseptor antibodi
Hasil dari pemeriksaan ini dapat digunakan untuk mendiagnosis suatu
miastenia gravis, dimana terdapat hasil yang postitif pada 74% pasien. 80%
dari penderita miastenia gravis generalisata dan 50% dari penderita dengan
miastenia okular murni menunjukkan hasil tes anti-asetilkolin reseptor
antibodi yang positif. Pada pasien thymoma tanpa miastenia gravis sering
kali terjadi false positive anti-AChR antibody
Antistriated muscle (anti-SM) antibody
Merupakan salah satu tes yang penting pada penderita miastenia
gravis. Tes ini menunjukkan hasil positif pada sekitar 84% pasien yang
menderita thymoma dalam usia kurang dari 40 tahun. Pada pasien tanpa
thymoma dengan usia lebih dari 40 tahun, anti-SM Ab dapat menunjukkan
hasil positif.
Anti-muscle-specific kinase (MuSK) antibodies.
Hampir 50% penderita miastenia gravis yang menunjukkan hasil anti-
AChR Ab negatif (miastenia gravis seronegarif), menunjukkan hasil yang
positif untuk anti-MuSK Ab.
Antistriational antibodies
Dalam serum beberapa pasien dengan miastenia gravis menunjukkan
adanya antibody yang berikatan dalam pola cross-striational pada otot

21
rangka dan otot jantung penderita. Antibodi ini bereaksi dengan epitop pada
reseptor protein titin dan ryanodine (RyR). Antibody ini selalu dikaitkan
dengan pasien thymoma dengan miastenia gravis pada usia muda.
Terdeteksinya titin/RyR antibody merupakan suatu kecurigaaan yang kuat
akan adanya thymoma pada pasien muda dengan miastenia gravis.
2. Imaging
a. Chest x-ray (foto roentgen thorak)
Dapat dilakukan dalam posisi anteroposterior dan lateral. Pada
roentgen thorak, thymoma dapat diidentifikasi sebagai suatu massa
pada bagian anterior mediastinum.
b. Hasil roentgen yang negatif belum tentu dapat menyingkirkan adanya
thymoma ukuran kecil, sehingga terkadang perlu dilakukan chest Ct-
scan untuk mengidentifikasi thymoma pada semua kasus miastenia
gravis, terutama pada penderita dengan usia tua.
c. MRI pada otak dan orbita sebaiknya tidak digunakan sebagai
pemeriksaan rutin. MRI dapat digunakan apabila diagnosis miastenia
gravis tidak dapat ditegakkan dengan pemeriksaan penunjang lainnya
dan untuk mencari penyebab defisit pada saraf otak.
3. Pendekatan Elektrodiagnostik
Pendekatan elektrodiagnostik dapat memperlihatkan defek pada transmisi
neuromuscular melalui 2 teknik :
i.Repetitive Nerve Stimulation (RNS)
Pada penderita miastenia gravis terdapat penurunan jumlah reseptor
asetilkolin, sehingga pada RNS tidak terdapat adanya suatu potensial
aksi.
ii.Single-fiber Electromyography (SFEMG)
Menggunakan jarum single-fiber, yang memiliki permukaan kecil untuk
merekam serat otot penderita. SFEMG dapat mendeteksi suatu jitter
(variabilitas pada interval interpotensial diantara 2 atau lebih serat otot
tunggal pada motor unit yang sama) dan suatu fiber density (jumlah
potensial aksi dari serat otot tunggal yang dapat direkam oleh jarum

22
perekam). SFEMG mendeteksi adanya defek transmisi pada
neuromuscular fiber berupa peningkatan jitter dan fiber density yang
normal.

c. Diagnosis Banding
Beberapa diagnosis banding untuk menegakkan diagnosis miastenia
gravis, antara lain7:
Adanya ptosis atau strabismus dapat juga disebabkan oleh lesi
nervus III pada beberapa penyakit elain miastenia gravis, antara lain :
Meningitis basalis (tuberkulosa atau luetika)
Infiltrasi karsinoma anaplastik dari nasofaring
Aneurisma di sirkulus arteriosus Willisii
Paralisis pasca difteri
Pseudoptosis pada trachoma
Apabila terdapat suatu diplopia yang transient maka kemungkinan
adanya suatu sklerosis multipleks.
Sindrom Eaton-Lambert (Lambert-Eaton Myasthenic Syndrome)
Penyakit ini dikarakteristikkan dengan adanya kelemahan dan
kelelahan pada otot anggota tubuh bagian proksimal dan disertai dengan
kelemahan relatif pada otot-otot ekstraokular dan bulbar. Pada LEMS,
terjadi peningkatan tenaga pada detik-detik awal suatu kontraksi volunter,
terjadi hiporefleksia, mulut kering, dan sering kali dihubungkan dengan
suatu karsinoma terutama oat cell carcinoma pada paru.
EMG pada LEMS sangat berbeda dengan EMG pada miastenia gravis.
Defek pada transmisi neuromuscular terjadi pada frekuensi renah (2Hz)
tetapi akan terjadi ahmbatan stimulasi pada frekuensi yang tinggi (40 Hz).
Kelainan pada miastenia gravis terjadi pada membran postsinaptik
sedangkan kelainan pada LEMS terjadi pada membran pre sinaptik, dimana
pelepasan asetilkolin tidak berjalan dengan normal, sehingga jumlah
asetilkolin yang akhirnya sampai ke membran postdinaptik tidak mencukupi
untuk menimbulkan depolarisasi.

23
2.3.8 Penatalaksanaan
a. Antikolinesterase
Dapat diberikan piridostigmin 30-120 mg per oral tiap 3 jam atau
neostigmin bromida 15-45 mg per oral tiap 3 jam. Piridostigmin biasanya
bereaksi secara lambat. Terapi kombinasi tidak menunjukkan hasil yang
menyolok. Apabila diperlukan, neostigmin metilsulfat dapat diberikan
secara subkutan atau intramuskularis (15 mg per oral setara dengan 1 mg
subkutan/intramuskularis), didahului dengan pemberian atropin 0,5-1,0 mg.
Neostigmin dapat menginaktifkan atau menghancurkan kolinesterase
sehingga asetilkolin tidak segera dihancurkan. Akibatnya aktifitas otot dapat
dipulihkan mendekati normal, sedikitnya 80-90% dari kekuatan dan daya
tahan semula. Pemberian antikolinesterase akan sangat bermanfaat pada
miastenia gravis golongan IIA dan IIB. Efek samping pemberian
antikolinesterase disebabkan oleh stimulasi parasimpatis,termasuk
konstriksi pupil, kolik, diare, salivasi berkebihan, berkeringat, lakrimasi,
dan sekresi bronkial berlebihan. Efek samping gastro intestinal (efek
samping muskarinik) berupa kram atau diare dapat diatasi dengan
pemberian propantelin bromida atau atropin. Penting sekali bagi pasien-
pasien untuk menyadari bahwa gejala-gejala ini merupakan tanda terlalu
banyak obat yang diminum, sehingga dosis berikutnya harus dikurangi
untuk menghindari krisis kolinergik.
b. Steroid
Di antara preparat steroid, prednisolon paling sesuai untuk miastenia
gravis, dan diberikan sekali sehari secara selang-seling (alternate days)
untuk menghindari efek samping. Dosis awalnya harus kecil (10 mg) dan
dinaikkan secara bertahap (5-10 mg/minggu) untuk menghindari eksaserbasi
sebagaimana halnya apabila obat dimulai dengan dosis tinggi. Peningkatan
dosis sampai gejala-gejala terkontrol atau dosis mencapai 120 mg secara
selang-seling. Pada kasus yang berat, prednisolon dapat diberikan dengan
dosis awal yang tinggi, setiap hari, dengan memperhatikan efek samping

24
yang mungkin ada. Hal ini untuk dapat segera memperoleh perbaikan klinis.
Disarankan agar diberi tambahan preparat kalium. Apabila sudah ada
perbaikan klinis maka dosis diturunkan secara perlahan-lahan (5 mg/bulan)
dengan tujuan memperoleh dosis minimal yang efektif. Perubahan
pemberian prednisolon secara mendadak harus dihindari.
c. Azatioprin
Azatioprin merupakan suatu obat imunosupresif, juga memberikan
hasil yang baik, efek sampingnya sedikit jika dibandingkan dengan steroid
dan terutama berupa gangguan saluran cerna,peningkatan enzim hati, dan
leukopenia. Obat ini diberikan dengan dosis 2,5 mg/kg BB selama 8 minggu
pertama. Setiap minggu harus dilakukan pemeriksaan darah lengkap dan
fungsi hati. Sesudah itu pemeriksaan laboratorium dikerjakan setiap bulan
sekali. Pemberian prednisolon bersama-sama dengan azatioprin sangat
dianjurkan.
d. Timektomi
Pada penderita tertentu perlu dilakukan timektomi. Perawatan pasca
operasi dan kontrol jalan napas harus benar-benar diperhatikan.
Melemahnya penderita beberapa hari pasca operasi dan tidak bermanfaatnya
pemberian antikolinesterase sering kali merupakan tanda adanya infeksi
paru-paru. Hal ini harus segera diatasi dengan fisioterapi dan antibiotik.
e. Plasmaferesis
Tiap hari dilakukan penggantian plasma sebanyak 3-8 kali dengan
dosis 50 ml/kg BB. Cara ini akan memberikan perbaikan yang jelas dalam
waktu singkat. Plasmaferesis bila dikombinasikan dengan pemberian obat
imusupresan akan sangat bermanfaat bagi kasus yang berat. Namun
demikian belum ada bukti yang jelas bahwa terapi demikian ini dapat
memberi hasil yang baik sehingga penderita mampu hidup atau tinggal di
rumah. Plasmaferesis mungkin efektif padakrisi miastenik karena
kemampuannya untuk membuang antibodi pada reseptor asetilkolin, tetapi
tidak bermanfaat pada penanganan kasus kronik.

25
KRISIS MYASTENIK

Krisis myastenik merupakan komplikasi dari myastenia gravis yang


ditandai dengan memburuknya kelemahan otot, yang dapat berlanjut
menjadi gagal napas sehingga membutuhkan bantuan napas berupa intubasi
dan ventilasi mekanik8,9.
Krisis mystenik merupakan kasus emergensi, membutuhkan
penanganan serius dan merupakan kasus emergensi neurologi yang
mengenai 20-30% pasien myastenia gravis, biasanya dalam 1 tahun
pertama. Kebanyakan pasien memiliki faktor predisposisi berupa penyakit
infeksi saluran pernapasan. Tanda khas kasus krisis myastenik berupa
bulbar atau respirartory failure. 8,9

a. FAKTOR PREDISPOSISI
Sebagian besar pasien MG memiliki faktor predisposisi berupa infeksi
saluran napas (40%), stress emosi, mikroaspirasi (10%), perubahan regimen
obat, operasi dan trauma merupakan faktor predisposisi terbanyak. Beberapa
obat dapat menyebabkan MG dan pula dapat mencetuskan keadaan Krisis
Myastenik. Penting untuk diketahui bila telithromycin, golongan makrolida
merupakan kontraindikasi absolut diberikan pada pasien MG. 8,9

Tabel 1. Golongan obat yang dapat menimbulkan Myasthenia crisis (MC)


Golongan obat Jenis obat
Antipsikotik Fenotiazin, clozapine, sulpiride
Neuromuscular-blocking drugs Suksinil kolin, vecuronium
Obat antikolinergik Propakain
Obat kardiovaskular Lidokaine,propanolol, prokainamid,
kuinidine, verapamil, statin
Obat psikoaktif dan neurologik Klorpromazin, lithium, fenitoin,
carbamazepine, triheksilfenidin,

26
trimetadion
Antibiotik Aminoglikosida, siprofloksasin,
kolistin, makrolida, eritromisin,
klaritomisin, telithromisin, penisilin,
polimixin,tetrasiklin
Obat antirheumatoid dan Klorokuin, prednison dan
immnosupresan glukokortikoid lain, interferon
Pengobatan lain Aprotinin, levonogestrel, magnesium,
pirantel pamoat, acetazolamid

Agen kontras dan imbalance elektrolit (hipkalemia, hipofosfatemia)


juga dapat menyebabkan eksaserbasi dari kelemahan otot. Penyakit tiroid,
yang biasanya muncul bersama dengan MG dapat pula menyebabkan
eksaserbasi atau unmask kelemahan pasien MG bila tidak diobati. Bila
pasien MG butuh general anestesi, obat neuromuscular blocking agent
sebaiknya diberikan secara khusus atau hati-hati oleh karena sensitif
terhadap agen non depolarisasi dan respon depolarisasi sangat bervariasi.
Kehamilan dapat memperburuk kasus MG (33%) dan pasien MG yang
hamil berdampak pada mortalitas perinatal. 8,9

b. DIAGNOSIS KRISIS MYASTENIK8,9


Kegagalan pernapasan pada pasien krisis myastenik dapat ditandai
dengan FVC dibawah 1 Liter, NIF 20cmH2O atau dibawah dan kebutuhan
bantuan ventilator. Blood gas analysis (BGA) umumnya menunjukkan
hiperkarbia sebelum hipoksia. Diagnosis dapar dilakukan dengan beberapa
pendekatan. 8,9
1. Dari riwayat MG sebelumnya
2. Tes EMG
Pada pasien krisis myastenik, nervus frenicus dan nervus thoracicus
longus sering diperiksa. Hasil pemeriksaan menunjukkan hubungan antara
pengaruh nervus dengan gejala kelemahan otot pernapasan. Single fiber

27
electromyography merupakan pemeriksaan paling sensitif untuk melihat
abnormalitas transmisi neuromuscular.
3. Tes farmakologi : edrophonium (tensilon)
Tes tension berguna untuk mendiagnosis pasien MG serta
membedakan antara krisis myastenik atau krisis kolinergik. Edrophonium
merupakan asetilkolinesterase inhibitor dengan onset cepat dan efeknya
bekerja sampai 5 menit. Berikan dosis inisial 1-2 mg lalu monitoring selama
1 menit. Berikan 3 mg bila dibutuhkan. Bila dalam 1 menit, kekuatan otot
membaik, maka test dikatakan positif dan tidak memerlukan lagi pemberian
edrophonium. Pada pasien krisis kolinergik, pemberian edrophonium akan
memberikan dampak berupa hipersalivasi, hipersekresi bronkus,
diaphoresis, dan peningkatan motilitas gaster.
4. Tes serologis
AchR antibodi pada pasien MG cenderung meningkat. Namun bila
negatif, antibodi MuSK perlu dipertimbangkan untuk dilakukan
pemeriksaan. Pada pasien MG, 85-90% antibodi AchR meningkat dan
antibodi MuSK meningkat sedikit.
5. Tes lain
CT SCAN dapat digunakan untuk mengeklusi timoma. CT Scan dada
lebih spesifik dibandingkan pemeriksaan foto radiologi atau MRI. Perlu
juga dilakukan tes antobodi antiTRH untuk mengeksklusi penyakit tiroid.

c. MANAJEMEN AKUT KRISIS MYASTENIK8,9


Berdasarkan guideline European Federation of Neurological Society,
tatalaksana pasien dengan krisis myastenik ialah sebagai berikut.

28
G
Gambar 2. Algoritma manajemen krisis myastenik

d. KOMPLIKASI KRISIS MYASTENIK8,9


Pasien MG dengan krisis myastenik membutuhkan perawatan intensif
dengan monitoring terus- menerus, biasanya pasien akan membutuhkan
ruangan ICU untuk kebutuhan ventilator serta monitoring tanda vital. Pada
keadaan tersebut seringkali memberiakan komplikasi, dimana demam
merupakan komplikasi tersering. Demam disini disebabkan oleh karena
adanya infeksi yang bersumber dari pneumonia, bronkhitis, infeksi saluran
kemih, kolitis, bakteremia hingga sepsis. Dapat pula bukan selain infeksi
seperti DVT, komplikasi kardiak misal CHF, IMA arritmia kordis dan henti
jantung.

2.4. Intubasi Endotrakea


2.4.1. Definisi
Intubasi endotrakea adalah memasukkan pipa endotrakea (endotrcheal
tube/ ET) ke dalam trakea melalui hidung atau mulut. ET dapat digunakan
sebagai penghantar gas anestesi ke dalam trakea dan memudahkan kontrol
ventilasi dan oksigenasi. Endotracheal tube sesuai dengan namanya adalah
pipa kecil yang dimasukkan ke dalam trakea, tindakannya disebut Intubasi
Endotrakea.10

29
Ventilasi melalui pipa endotrakea merupakan cara yang sangat efektif.
Jalan napas yang terjaga menyebabkan pemberian ventilasi dan oksigen lebih
terjmin. Kemungkinan aspirsi cairan lambung lebih kecil. Tekanan udara
pernapasan juga menjadi mudah dikendalikan dan penggunan Positive End
Expiratory Pressure (PEEP) dapat dilakukan dengan mengatur katup
ekspirasi. 10
2.4.2. Indikasi dan Kontraindikasi
Ada beberapa indikasi khusus intubasi endotrakea pada pasien,
diantaranya:
1. Untuk patensi jalan napas. Intubasi endotrakea diindikasikan untuk
menjamin ventilasi, oksigenasi yang adekuat dan menjamin keutuhan
jalan napas.
2. Perlindungan terhadap paru dengan penutupan cuff dari ET harus
dilaksanakan pada pasien-pasien yang baru saja makan atau pasien
dengan obstruksi usus.
3. Operasi yang membutuhkan ventilasi tekanan positif paru, misalnya
torakotomi, penggunaan pelumpuh otot, atau ventilasi kontrol yang lama.
4. Operasi yang membutuhkan posisi selain terlentang. Pemeliharaan
potensi jalan napas atau penyampaian ventilasi tekanan positif pada paru
tidak dapat diandalkan.
5. Operasi daerah kepala, leher atau jalan napas atas.
6. Diperlukan untuk kontrol dan pengeluaran sekret pulmo
(bronchiopulmonar toilet).
7. Diperlukan proteksi jalan napas pada pasien yang tidak sadar atau dengan
depresi reflek muntah (misal selama anestesi umum).
8. Adanya penyakit atau kelainan jalan napas atas. Misalnya paralisis pita
susara, tumor supraglotis dan subglotis.
9. Aplikasi pada ventilasi tekanan positif.
Di bawah ini hanya kontraindikasi relatif pada intubasi trakea:

30
1. Trauma jalan napas berat atau obstruksi yang tidak memberikan
pemasangan ET yang aman. Cricothyeotomi diindikasikan pada beberapa
kasus.
2. Trauma servikal, di mana diperlukan immobilisasi komplit.

2.4.3 Alat dan Bahan


a. Laryngoscope lengkap dengan handle dan blade-nya
b. Pipa endotrakea ( orotracheal ) dengan ukuran : perempuan no. 7; 7,5 ; 8 .
Laki-laki : 8 ; 8,5. Keadaan emergency : 7,5
c. Forceps (cunam) magill ( untuk mengambil benda asing di mulut)
d. Benzokain atau tetrakain anestesi lokal semprot
e. Spuit 10 cc atau 20 cc
f. Stetoskop, ambubag, dan masker oksigen
g. Alat penghisap lender
h. Plester, gunting, jelly
i. Stilet
Laringoskop
Terdapat 2 jenis laringoskop yang umum dipakai pada anak, yaitu
laringoskop berdaun lurus (Miller) dan lengkung (MacIntosh).21

Gambar 3. Laringoskop berdaun lurus dan lengkung

Alat ini dirancang untuk menyingkirkan lidah, kemudian membuka dan


melihat daerah laring. Sesuai dengan rancang bangunnya, laringoskop lurus
digunakan dengan meletakkan ujung pada epiglottis, kemudian mengangkat
seluruh daun laringoskop tegak lurus dengan tuasnya. Laringoskop

31
lengkung digunakan dengan meletakkan ujung daun pada vallecula
kemudian mengungkitnya dengan menggerkkan tuas ke belakang.
Laringoskop daun lurus juga dapat diletakkan di vallecula. Keuntungan bila
diletakkan di epiglottis adalah seringkali dapat melihat pita suara dengan
lebih jelas. Keuntungan bila diletakkan di vallecula adalah mengurangi
rangsang epiglotis yang dapat berakibat spasme laring. Karena bentuk
anatomis jalan nafas neonatus, laringoskop berdaun lurus lebih banyak
digunakan pada neonatus. Sangat penting diingat bahwa dalam persiapan
selalu disediakan lampu dan batu batere cadangan. Sebelum digunakan,
laringoskop dirakit dahulu, disesuaikan dengan daun yang akan dipilih. 10

Pipa Endotrakea/ Endotracheal Tube (ET)


ET untuk orang dewasa memiliki sistem inflasi cuff yang terdiri dari:
- Katup, berfungsi untuk mencegah hilangnya udara setelah cuff di inflasi
- Balon pilot, sebagai indikator inflasi cuff
- Inflating tube, menghubungkan katup dengan cuff dan dibuat menempel
pada dinding ET
- Cuff/balon dekat ujung distal ET, dibuat menjadi 1 dengan ET,
berfungsi memberikan tekanan positif, mengurangi risiko aspirasi dan
mencegah kebocoran udara napas saat dilakukan tekanan positif, hal ini
terjadi setelah cuff dikembangkan samapai tidak terdengar lagi suara
napas.
- Tube non cuff digunakan pada anak-anak untuk mengurangi risiko
trauma tekanan dan batuk setelah intubasi. ET non-cuff digunakan
untuk anak kurang dari 8 tahun, karena bentuk anatomi subglotis yang
sempit.

32
Gambar 4. Pipa Endotrakea22

Ukuran ET dinyatakan dalam mm berdasarkan diameter internal yang


tertera dan ada pula yang dinyatakan dalam French Unit. ET juga
mempunyai ukuran panjang dalam cm. Ukuran rata-rata untuk wanita ialah
7,0-7,5 mm. Sedangkan untuk pria 7,5-8,0 mm. 10

2.4.4 Teknik Pemasangan ET pada Dewasa10


Teknik pemasangan ET pada orang dewasa:
a. Beritahukan pada penderita atau keluarga mengenai prosedur tindakan
yang akan dilakukan, indikasi dan komplikasinya, dan mintalah
persetujuan dari penderita atau keluarga ( informed consent)
b. Cek alat yang diperlukan, pastikan semua berfungsi dengan baik dan
pilih pipa endotrakea ( ET) yang sesuai ukuran. Masukkan stilet ke
dalam pipa ET. Jangan sampai ada penonjolan keluar pada ujung
balon, buat lengkungan pada pipa dan stilet dan cek fungsi balon
dengan mengembangkan dengan udara 10 ml. Jika fungsi baik,
kempeskan balon. Beri pelumas pada ujung pipa ET sampai daerah
cuff.
c. Letakkan bantal kecil atau penyangga handuk setinggi 10 cm di
oksiput dan pertahankan kepala sedikit ekstensi. (jika resiko fraktur
cervical dapat disingkirkan).

33
d. Bila perlu lakukan penghisapan lendir pada mulut dan faring dan
berikan semprotan bensokain atau tetrakain jika pasien sadar atau
tidak dalam keadaan anestesi dalam.
e. Lakukan hiperventilasi minimal 30 detik melalui bag masker dengan
Fi O2 100 %.
f. Buka mulut dengan cara cross finger dan tangan kiri memegang
laringoskop.
g. Masukkan bilah laringoskop dengan lembut menelusuri mulut sebelah
kanan, sisihkan lidah ke kiri. Masukkan bilah sedikit demi sedikit
sampai ujung laringoskop mencapai dasar lidah, perhatikan agar lidah
atau bibir tidak terjepit di antara bilah dan gigi pasien.
h. Angkat laringoskop ke atasdan ke depan dengan kemiringan 30
samapi 40 sejajar aksis pengangan. Jangan sampai menggunakan gigi
sebagai titik tumpu.
i. Bila pita suara sudah terlihat (gambar 5.f), tahan tarikan / posisi
laringoskop dengan menggunakan kekuatan siku dan pergelangan
tangan. Masukkan pipa ET dari sebelah kanan mulut ke faring sampai
bagian proksimal dari cuff ET melewati pita suara 1 2 cm atau
pada orang dewasa atau kedalaman pipa ET 19 -23 cm
j. Angkat laringoskop dan stilet pipa ET dan isi balon dengan udara 5
10 ml. Waktu intubasi tidak boleh lebih dari 30 detik.
k. Hubungan pipa ET dengan ambubag dan lakukan ventilasi sambil
melakukan auskultasi ( asisten), pertama pada lambung, kemudaian
pada paru kanan dan kiri sambil memperhatikan pengembangan
dada.Bila terdengar gurgling pada lambung dan dada tidak
mengembang, berarti pipa ET masuk ke esofagus dan pemasangan
pipa harus diulangi setelah melakukan hiperventilasi ulang selama 30
detik. Berkurangnya bunyi nafas di atas dada kiri biasanya
mengindikasikan pergeseran pipa ke dalam bronkus utama kanan dan
memerlukan tarikan beberapa cm dari pipa ET.

34
l. Setelah bunyi nafas optimal dicapai, kembangkan balon cuff dengan
menggunakan spuit 10 cc.
m. Lakukan fiksasi pipa dengan plester agar tak terdorong atau tercabut.
n. Pasang orofaring untuk mencegah pasien menggigit pipa ET jika
mulai sadar.
o. Lakukan ventilasi terus dengan oksigen 100 % ( aliran 10 sampai 12
liter per menit).

35
BAB III
LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PENDERITA
Nama : Ny. S
Umur : 39 tahun
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Alamat : Kuwasen, RT/RW: 01/03, Kel. Pongangan Kec.
Gunungpati Kab Semarang, Jawa Tengah
Tgl masuk : 2 Mei 2017
Ruang : IGD RSUP Dokter Kariadi
No. CM : C419867

B. ANAMNESIS
Alloanamnesis dengan keluarga pasien pada tanggal 2 Mei 2017 di IGD
RSUP Kariadi.
1. Keluhan utama:
Sesak napas
2. Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien merupakan rujukan dari IGD Rumah Sakit William Booth. Pasien
masuk IGD Rumah Sakit William Booth dengan keluhan sesak napas.
Pasien kemudian dirawat di RS William Booth. Satu hari dirawat pasien
mengalami gagal napas dan penurunan kesadaran lalu dipindah ke ruang
ICU. Selama 5 hari pasien di ICU, tidak ada perubahan kemudian pasien
dirujuk ke IGD Rumah Sakit Dokter Kariadi (RSDK). Di label merah,
pasien datang dengan gagal napas dan penurunan kesadaran. Di label
merah dilakukan pertolongan kegawatan daruratan untuk membebaskan
jalan napas dengan pemasangan ET, bantuan ventilasi dan terapi oksigen
serta resusitasi cairan. Diagnosis pasien adalah Miastenia Gravis dd
Myasthenic crisis, penurunan kesadaran ( encefalopati hipoksia) dan

36
bronkopneumonia. Di label merah sudah diberikan O2 3 lpm nasal kanul
dan infus RL 20 tpm. Sehari di label merah pasien mengalami perbaikan
kesadaran dan masih dilanjutkan terapi oksigen dengan bagging 16x/menit
serta rawat bersama dengan bagian saraf.
3. Riwayat Dahulu:
Riwayat menderita miastenia gravis 3 tahun
Riwayat sakit bronkopneumonia
Riwayat tekanan darah tinggi disangkal
Riwayat asma disangkal
Riwayat penyakit jantung disangkal
Riwayat penyakit kencing manis disangkal
Riwayat trauma sebelumnya disangkal
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat tekanan darah tinggi disangkal
Riwayat asma disangkal
Riwayat penyakit jantung disangkal
Riwayat penyakit kencing manis disangkal
5. Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien merupakan seorang ibu rumah tangga. Biaya pengobatan : JKN
PBI.
Kesan : sosial ekonomi kurang.

C. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan dilakukan di IGD Label Merah
1. Keadaan Umum : Lemah, tampak sakit berat, sesak napas, terpasang
masker non rebreathing, terpasang infus.
2. Survey primer
Airway : Paten (terpasang ET dan masker)
Breathing : Dispneu
Circulation : Akral dingin
3. Kesadaran : GCS : E4M6Vett

37
4. Tanda Vital
Tekanan darah : 148/99 mmHg
Nadi : 140 x/menit
RR : 23 x/menit
SpO2 : 100 %
5. Pengkajian berkaitan dengan kegawatan
Jalan napas : non paten
Pernapasan : dispneu
Sirkulasi : akral dingin
Nyeri :-
Kondisi mental :-

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan laboratorium tanggal 2 Mei 2017
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan
Hematologi
Hemogoblin 13,6 g/dL 12 - 15
Leukosit 22,2 103/ul 3,6 11
Hematokrit 41,8 % 35 47
Eritrosit 5,27 106/dL 4,4 5,9
Trombosit 397 103/ul 150 400
MCV 89,1 fL 76 96
MCH 29,0 pg 27 32
MCHC 32,5 g/dL 29 36
Kimia Klinik
Gula Darah Sewaktu 202 mg/dL 80 160
Albumin 3,1 mg/dL 3,4 5,0
Natrium 132 mmol/L 136 145
Kalium 2,9 mmol/L 3,5 5,1
Clorida 93 mmol/L 98 107

38
BGA Kimia
Temperatur 36,0 C
FiO2 44,0 %
pH 7,169 mmHg 7,37 7,45
pCO2 77,7 mmHg 35-45
pO2 99,1 83,0 108,0
HCO3- 28,5 mmol/L 22 26
TCO2 30,9 mmol/L
Beecf -0,2 mmol/L
BE (B) -0,9 mmol/L -2 3
SO2c 94,4 % 95 - 100
A-aDO2 134,0 mmHg
RI 1,4

E. DIAGNOSIS
- Miastenia gravis dd/ Myasthenic crisis
- Penurunan kesadaran perbaikan (ensefalopati hipoksia)
- Bronkopneumonia

F. TINDAKAN LIFE SAVING


- Nama Tindakan : Intubasi endotrakhea
- Diagnosis Banding : Krisis miastenia
- Dasar Diagnosis : Anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
penunjang
- Indikasi Tindakan : Gagal napas
- Tata Cara : Memasukkan selang bantu napas
- Tujuan : Patensi jalan napas
- Risiko : Gigi patah, gusi berdarah, vagal reflex
- Komplikasi : Cardiac arrest
- Prognosis : Dubia
- Alternatif & Risiko : Tidak ada

39
- Lain-lain : Tidak ada
Catatan Kemajuan Tindakan
2 Mei 2017 (Jam 15.15) P : Konsul label merah
S : Sesak Napas
O : kondisi umum lemah, dispneu, tampak
sakit berat
TD: 140/91 mmHg
Nadi: 109 x/menit
RR: 21 x/menit
SpO2: 100%
GCS : E1M1Vett
A: gagal napas, penurunan kesadaran
2 Mei 2017 (Jam 15.45 WIB) P: Pasang ET di sudut kanan bibir
S : Sesak napas dengan kedalaman 20 cm
O : kondisi umum lemah, dispneu, sakit berat Loading cairan 1000cc 20 tpm
TD: 95/48 mmHg Injeksi metyl prednisolon 125
Nadi: 79 x/menit mg/12 jam i.v
RR: 16 x/menit Injeksi omeprazole 40 mg/12jam
SpO2: 98% i.v
GCS : E1M1Vett Injeksi ceftriaxon 1g/12jam iv
A: gagal napas, penurunan kesadaran Raber neurologi

2 Mei 2017 (Jam 17.15 WIB) P:


S : Sesak napas berat Balance cairan
O : lemah, dispneu, tampak sakit berat Infus RL 20 tpm
TD: 85/65 mmHg Bagging 16x/menit
HR: 100 x/menit Injeksi metyl prednisolon 125
RR: 43 x/menit mg/12 jam i.v
SpO2: 97% Injeksi omeprazole 40 mg/12jam
GCS : E1M1Vett i.v

40
A: krisis miastenik, penurunan kesadaran Injeksi ceftriaxon 1g/12jam iv
Vascon 0,01mg/kgBB/menit sp
Bagging O2

3 Mei 2017 (Jam 06.15 WIB) P:


S : compos mentis Balance cairan
O : lemah, dispneu, tampak sakit berat Infus RL 20 tpm
TD: 120/80 mmHg Bagging 16x/menit
HR: 84 x/menit Injeksi metyl prednisolon 125
RR: 16 x/menit mg/12 jam i.v
SpO2:100% Injeksi omeprazole 40 mg/12jam
GCS : E4M6Vett i.v
A: krisis miastenik Injeksi ceftriaxon 1g/12jam iv
penurunan kesadaran perbaikan Mestinon 60mg/8jam

3 Mei 2017 (Jam 07.45 WIB) P:


S : compos mentis, kontak (+), nafas spontan Balance cairan
(-) Infus RL 20 tpm
O : lemah, dispneu, tampak sakit berat Bagging 16x/menit
TD: 147/90 mmHg Injeksi metyl prednisolon 125
HR: 123 x/menit mg/12 jam i.v
RR: 18 x/menit Injeksi omeprazole 40 mg/12jam
SpO2:100% i.v
T : 36C Injeksi ceftriaxon 1g/12jam iv
GCS : E4M6Vett Mestinon 60mg/8jam
A: krisis miastenik Pro ICU + ventilator
penurunan kesadaran perbaikan

41
BAB IV
PEMBAHASAN
Seorang pasien wanita usia 39 tahun datang ke label merah dengan rujukan
karena penurunan kesadaran dan gagal napas. Hasil anamnesis, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang yang ada diketahui pasien menderita Miastenia
Gravis sejak tahun 2013 lalu. Saat dibawa ke label merah, pasien sudah di beri
bantuan napas berupa pemasangan endotracheal tube, terapi cairan serta oksigen.
Dari hasil pemeriksaan fisik di IGD didapatkan keadaan umum pasien
tampak sakit berat, lemas, tampak sesak dengan terpasang pipa ET pada mulut.
Survey primer didapatkan, airway paten, breathing dispneu dan akral dingin.
Pemeriksaan kesadaran didapatkan GCS E4M6Vett. Pemeriksaan tanda vital
didapatan tekanan darah 148/99mmHg, nadi 140x/menit, RR 23x/menit dan SpO2
100%.
Hasil pemeriksaan penunjang laboratorium darah didapatkan leukositosis
22,000 103/ul, hiponatremia (132), hipokalemian (2,9), dan hipokloremia (93).
Sedangkan BGA (Blood Gas Analysis) didapatkan pH darah 7,169; pCO2 77,7;
HCO3- 28,5 dan A-aDO2 134,0.
Dari hasil tersebut diketahui secara klinis pasien mengalami krisis
myastenik karena terjadi kegagalan pernapasan. Gagal napas pada pasien ini dapat
dilihat dari klinis pasien seperti dispneu, takikardi, takipneu serta hasil
pemeriksaan darah dimana pH darah asam, hiperkapnea/ hiperkarbia dan terjadi
distress napas sedang.
Pada keadaan impending gagal napas, tubuh akan melakukan kompensasi
awal berupa menaikkan laju napas dan laju jantung dengan tujuan delivery
oksigen ke jaringan tetap adekuat. Pada pasien ini telah terjadi kompensasi berupa
laju jantung dan laju napas meningkat, namun pasien ini sudah diberikan bantuan
terapi oksigen sehingga laju napas tidak terlalu meningkat dan oksigenasi tetap
baik.
Penurunan kesadaran pada pasien ini dapat disebabkan banyak hal.
Kemungkinan salah satunya ialah karena proses hipoksia pada parenkim otak.
Adanya proses hipoksia pada parenkim otak menimbulkan gangguan kesadaran.

42
Hipoksemia jaringan menunjukkan adanya gangguan difusi oksigen ke sel atau
jaringan. Gangguan difusi ini dapat dinilai selain dengan paO2, ialah dengan nilai
A-aDO2. A-aDO2 merupakan perbedaan gradient kosnetrasi oksigen di alveolar
dan arterial. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat penghalang atau dinding kapiler
alveoli dengan pembuluh arteri, sehingga difusi oksigen dari alveoli ke pembuluh
arteri terganggu. Semakin tinggi nilainya, maka kemungkinan hambatan difusi
makin besar dan semakin hipoksia jaringan. Pada pasien ini, selain karen agagal
napas kemungkinan penyebab lain ialah karena bronkopneumoni yang pasien
derita. Adanya infiltrat di parenkim paru menyebabkan difusi ke alveoli berkurang
dan dengan keadaan gagal napas, maka resiko hipoksemi jaringan parenkim oatk
makin besar. Terjadilah keadaan penurunan kesadaran12,13
Pada psien ini tipe gagal napas yang dialami pasien ialah gagal napas tipe
II. Dimana konsentrasi CO2 tinggi dalam darah. Tingginya CO2 dalam darah bisa
diakibatkan kegagalan sistem napas untuk melakukan ekspirasi untuk
mengeluarkan CO2. Gagal napas tipe II paling sering diakibatkan karena ventilasi
yang buruk (hipoventilasi). Salah satu faktornya ialah gangguan neuromuskular.
Pada pasien ini nilai pCO2 sebesar 77,0 mmHg. Pasien dengan miastenia gravis,
terjadi kelemahan otot-otot skeletal khususnya didaaerah bulbar, leher,baru dan
otot pernapasan. Hipoventilasi pada pasien ini diakibatkan otot napas dinding
dada serta diafrgama mengalami kelumpuhan karena adanya defek di
neuromuscular junction pada otot-otot pernapasan. Karena tingginya nilai CO2
dalam darah inilah maka pH darah cenderung lebih asam. pH darah yang asam
dapat menyebabkan banyak gangguan pada tubuh, seperti penurunan afinitas
oksigen terhadap Hb, penurunan kontraktilitas otot, peningkatan komponen
radikal bebas serta fungsi sistem imunitas yang menurun. Oleh sebab itu, pasien
mudah terjadi komplikasi, berupa infeksi khusus saluran napas, cardiac arrest
karena penurunan kontraktilitas jantung dan hipoksia miokard. Pada pasien ini
selain MG dengan penurunan kesadaran, pasien juga mempunyai
bronkopneumonia. Keadaan tersebut bisa karena clearence saluran napas yang
abnormal, aspirasi atau rendahnya imunitas. 12,13

43
Pasien ini telah diberikan tatalaksana berupa oksigenasi 10L/menit, cairan
RL 20 tpm, injeksi methylprednisolon 125mg.12jam, injeksi ceftriaxon 1g/12jam,
injeksi omeprazole 40mg/12jam dan mestinon 60mg/12jam. Pada pasien ini
pemberian steroid digunakan sebagai agen imunosupresor. Diketahui bahwa
penyebab dari Miastenia Gravis ialah adanya autoantibody yang menyerang
reseptor asetilkolin di celah sinap. Dengan pemberian steroid, diharapkan sistem
imun mengurangi jumlah produksi antibodi. Pemberian omeprazol ditujukan
untuk mencegah aspirasi cairan lambung dengan cara menekan atau mengurangi
produksi cairan lambung agar menghindari aspirasi ke paru yang dapat
memperburuk keadaan paru pasien. Injeksi ceftriaxon digunakan sebagai terapi
empirik untuk kasus bronkopneumonia supaya tidak terjadi perburukan keadaan,
seperti sepsis. 12,13
Terapi utama untuk pasien MG pada kasus ini ialah pemberian mestinon.
Mestinon merupakan nama dagang dari obat piridostigmin bromida. Merupakan
golongan obat antikolinesterase inhibitor yang berkerja menghambat
penghancuran asetilkolin oleh kolinesterase di celah sinap, sehinga konsentrasi
asetilkolin tetap tinggi. Terapi intensif pada unit pelayanan intensif dianjurkan
bagi pasien ini karena kebutuhan monitoring tanda vital dan juga pengobatan yang
berkelanjutan. Penelitian menunjukkan bahwa dengan modern pelayanan intensif,
tingkat kematian dari kasus krisis myastenik dapat berkurang hingga 5%.12,13

44
BAB V
KESIMPULAN

Gagal napas merupakan kegagalan sistem respirasi dalam pertukaran gas


O2 dan CO2 serta masih menjadi masalah dalam penatalaksanaan medis. Secara
praktis, gagal napas didefinisikan sebagai PaO2 <60 mmHg atau PaCO2 >50
mmHg. Gagal napas masih merupakan penyebab angka kesakitan dan kematian
yang tinggi di instalasi perawatan intensif walaupun kemajuan teknik diagnosis
dan terapi intervensi telah berkembang pesat.
Impending gagal napas atau ancaman gagal napas merupakan
kecenderungan seseorang untuk mengalami gagal napas. Impending gagal napas
ditandai dengan dispneu, pemakaian otot pernapasan tambahan berlebihan dan
retraksi epigastrik, interkosta, serta supraklavikula, perubahan mood, disorientasi,
pucat, atau kelelahan. Hiperkapneu akut, flushing, agitasi, sakit kepala, dan
takikardi dapat terjadi. Penurunan SaO2 (saturasi oksigen) mengindikasikan
impending gagal napas.
Penyebab terjadiya gagal napas sering ditemukan di pelayanan kesehatan
medis. Gagal napas sering ditemukan pada pasien dengan penyakit yang bersifat
kronis maupun akut on kronik, salah satunya penyakit Myastenia Gravis.
Myastenia gravis khususnya dalam keadaan krisis myastenik dapat menyebab
kegagalan sistem pernapasan. Penelitian di Spanyol menunjukkan bahwa 15-30%
penderita Myastenia Gravis dapat berkembang menjadi Myasthenic crisis berupa
kelemahan otot-otot pernapasan atau otot bulbar.
Prinsip tatalaksana darurat gagal napas adalah mempertahankan jalan
napas tetap terbuka. Pada kasus ini, tindakan live-saving yang dilakukan adalah
intubasi endotrakea. Intubasi endotrakea merupakan standar baku emas untuk
patensi jalan napas, terutama pada pasien dengan tanda dan ancaman gagal napas
untuk menjamin ventilasi, oksigenasi yang adekuat serta menjamin keutuhan jalan
napas. Ventilasi melalui pipa endotrakea merupakan cara yang sangat efektif.

45
Jalan napas yang terjaga menyebabkan pemberian ventilasi dan oksigen lebih
terjamin serta kemungkinan aspirsi cairan lambung lebih kecil.

46
DAFTAR PUSTAKA

1. Rusmiati A. Gagal napas. In: Kosasih A, Susanto AD, Pakki TR, Martini T,
editor. Diagnosis dan tatalaksana kegawatdaruratan paru dalam praktek sehari-
hari. Banten: Sagung Seto,2008:29-35
2. Lewandowski K. Contributions to the epidemiology of acute respiratory
failure. Critical care 2003;7:288-90
3. Deliana A, Wijayanto A, Prasenohadi, Rasmin M. Indikasi Perawatan Pasien
dengan Masalah Respirasi di Instalasi Perawatan Intensif. J Respir Indo. 2013;
33:264-70
4. Nitu ME, Elger H. Respiratory failure. Ped Rev 2009;30:470-4
5. Sherwood L. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem, 6 ed. Jakarta: EGC, 2011:
499-500
6. Soenarjo, Jatmiko HD, editor. Anestesiologi. Semarang: Bagian Anestesiologi
dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran UNDIP/RSUP Dr.Kariadi, 2013:209-
11
7. Achmad, Ibrahim. Laporan Kasus Myasthenia Gravis. Fakultas Kedokteran
Universitas Trisakti : Jakarta. 2013. [Skripsi]
8. Godoy DA, Mello LJVD, Masotti Lucas, Napoli MD. The myasthenic patient
in crisis : an update of the management in Neurointensive Care Unit.
Argentina.2013;71:62-639 [Article review]
9. Hasan H.K, Uca A.U, teke Turgut, Altas Mustafa, Karatas Emine. Myasthenia
gravis with acute respiratory faiure in the emergency department. Neurology
departmen. 2016;80-82.
10. W Catharina. Pemasangan Endotracheal Tube. Modul Skill Lab B-Jilid 2.
Purwokerto: PPD-UNSOED, 2012
11. Haas CF, Eakin RM, Konkle MA, Blank Ross. Endotracheal Tubes: Old and
New. Resp Care 2014;59(6):933-5

47
12. Emergency management of myasthenis gravis (medical personal and
physician guide). Myasthenis Gravis Foundation of America. Diakses:
1/05/2017
13. International consensus of guidance for management of myathenis gravis.
American Academy of Neurology.2016;87:1-7

48

Anda mungkin juga menyukai