TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Demam
Demam adalah peningkatan suhu tubuh melebihi suhu normal sehari-hari dan
terjadi bersamaan dengan peningkatan set point dari hipotalamus (misalnya
dari 37C to 39C).1
Patogenesis
23
interferon (INF), interleukin-6 (IL-6) dan interleukin-11 (IL-11). Sebagian
besar diantaranya dihasilkan oleh makrofag akibat respon terhadap pirogen
eksogen. Sitokin-sitokin ini kemudian akan merangsang hipotalamus untuk
meningkatkan sekresi prostaglandin sehingga terjadi peningkatan suhu
tubuh.2
Demam belum terdiagnosis
Demam yang belum terdiagnosis merupakan suatu keadaan dimana
seorang pasien mengalami demam secara terus menerus selama 3 minggu
dengan suhu badan diatas 38,3C dan tetap belum ditemukan penyebabnya
walaupun telah diteliti selama satu minggu secara intensif. Namun pengertian
ini telah mengalami perubahan seperti waktu yang diperpendek menjadi 2
minggu.3 Berikut merupakan penyebab terbanyak dari demam yang belum
terdiagnosis:
Tabel 1. Penyebab terbanyak demam yang belum terdiagnosis.4
Diagnosis
Luasnya kemungkinan penyebab penyakit membuat tenaga medis perlu
melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik mendalam untuk dapat
mengetahui kunci dari permasalahan. Berikut merupakan beberapa petunjuk
tentang penyebab demam yang belum terdiagnosis:
24
Tabel 2. Kemungkinan diagnosis pada pasien demam yang belum
terdiagnosis.3
Petunjuk Kemungkinan Diagnosis
Riwayat
Paparan
Paparan air Leptospirosis
Kondisi lingkungan (misal rumah Tuberkulosis
penampungan)
Paparan di tempat kerja (misal CMV, EBV, tuberkulosis
dengan orang sakit)
Binatang peliharaan, binatang liar
Riwayat berpergian ke wilayah Bruselosis
endemis
Tergantung penyakit yang banak
Riwayat keluarga
Kondisi herediter ditemukan di walayah tersebut
Riwayat kesehatan
Gangguan abdominal Familial mediterranean fever
Riwayat transfusi
Hepatitis alkoholis, sirosis, Chorn
Keganasan
Hepatitis B, C, HIV
Gangguan psikiatri Metastase
Riwayat perawatan Demam buatan
Perilaku yang berisiko Infeksi nosokomial
Penyalahgunaan obat-obatan IV
Paparan IMS Abses, endokarditis, osteomielitis
Riwayat Operatif HIV
Pemakaian prostesis
Osteomielitis
Pemeriksaan Fisik
Adanya ruam (erythema Adenovirus, herpes simpleks,HIV,
multiforme, petekie) meningococcemia,tick-borne illness
Konjungtivitis atau uveitis Leptospirosis, SLE
Hepato- splenomegali, massa Penyakit alkoholis hepar,
abdomen yang dapat terpalpasi karsinoma, CMV, EBV, leukemia,
limfoma
Bengkak pada persendian dan
nyeri saat beraktivitas IBS, lyme disease, SLE
Limfadenopati
25
Selain itu perlu dilakukan beberapa pemeriksaan untuk mengetahui
penyebab pasti dari demam yang sudah terangkum dalam alur diagnosis.
26
gejala, namun infeksi laten dapat bertahan dalam tubuh host selama
hidupnya.5,6
Faktor Risiko
Pada umumnya siapa saja bisa terinfeksi toksoplasma, namun terdapat
beberapa golongan yang berisiko mengalami permasalahan serius infeksi
toksoplasma, antara lain:
Etiologi
Toksoplasma gondii merupakan protozoa obligat intraseluler yang terdiri
dari tiga bentuk yaitu tropozoit proliferatif (takizoit), kista (berisi bradizoit),
dan ookista (sporozoit). Tropozoit nantinya akan dibedakan menjadi takizoit
dan bradizoit berdasarkan kecepatan berkembang biaknya.7
Tropozoit proliferatif (takizoit) berbentuk seperti bulan sabit dengan
ukutan 4-6 x 2-3 mikron, memiliki satu inti ditengah. Umumnya parasit
ditemukan intraseluler, terletak dalam vakuola dan sitoplasma dapat sendiri,
berpasangan maupun berkelompok. Dapat pula ditemukan ekstraseluler pada
27
kultur jaringan, cairan badan dan pulasan jaringan. Takizoit dapat ditemukan
pada infeksi akut.7,8
28
terutama ileum pada hospes definitif. Setelah pembuahan makrogametosit,
zigot akan dilingkupi dengan dinding ookista dan berada pada feses kucing
yang terinfeksi.6,7
Siklus hidup
29
Mengonsumsi daging yang dimasak kurang matang yang mengandung
kista jaringan .
Manifestasi Klinis
Untuk kemudahan penanganan klinis, toksoplasmosis dapat dibagi ke
dalam 4 kategori, yaitu:
1. Infeksi pada pasien imunokompeten
80-90% infeksi T.gondii tidak menunjukkan adanya gejala
(asimptomatis) apabila daya tahan tubuh orang tersebut baik. Gejala yang
paling sering muncul yakni limfadenopati bilateral, simetris, dan paling
sering terjadi di kelenjar leher. Kelenjar getah bening umumnya berukuran
lebih kecil dari 3 cm dan tidak fluktuatif.5,9
Gejala umum lainnya antara lain demam, menggigil, dan berkeringat
dapat muncul meskipun ringan. Sakit kepala, malaise, faringitis,
maculopapular rash, atau hepatosplenomegali juga dapat ditemukan.5
Pada kasus berat meskipun jarang terjadi, dapat ditemukan
pneumonitis, ensefalitis. Korioretinitis unilateral dapat terjadi pada infeksi
akut yang baru. Perjalanan penyakit pada pasien yang imunokompeten
bersifat self limitting. Gejala dapat menghilang dalam beberapa minggu
atau bulan (jarang diatas 12 bulan).9
2. Infeksi pada pasien imunokomprimais
Pada pasien HIV/AIDS dan kondisi imunokompromais lainnya, infeksi
T.gondii tereaktivasi mengakibatkan peningkatan morbiditas dan
mortalitas host. Pada pasien HIV dengan jumlah limfosit CD4 <100/ml,
manifestasi terbanyak adalah ensefalitis dengan gambaran leukosit
polimorfonuklear disamping adanya monosit, limfosit dan sel plasma.
30
Diantara pasien AIDS yang meninggal setelah infeksi T.gondii, 40-60%
diantaranya melibatkan paru dan jantung. Pneumonitis interstitial dapat
berkembang pada neonatus dan pasien imunokompromais5,10,11
Gejala lain yang dapat muncul adalah korioretinitis yang ditandai
dengan penurunan visus, rasa nyeri pada mata, melihat benda berterbangan
dan fotofobia. Selain itu meskipun terbilang jarang, dapat pula ditemukan
gangguan pada otot skelet, pankreas, ginjal, serta invasi sel-sel
inflamasi.5,10
Pada pasien dengan penggunaan ET dapat terjadi gangguan mental,
defisit neurologis, sakit kepala, demam, lemas, dan gangguan nervus
kranialis.5
3. Infeksi mata (okular)
Korioretinitis pada infeksi baru biasanya bersifat unilateral, sedangkan
pada korioretinitis kongenital bersifat bilateral dan tidak menunjukkan
gejala-gejala sampai usia lanjut. Gejala-gejala korioretinitis akut antara
lain penurunan tajam pengelihatan, skotoma, nyeri, fotofobia dan epifora.
Gangguan visus dapat membaik namun sering tidak sempurna.5,10
4. Infeksi kongenital
Transmisi T.gondii meningkat seiring dengan usia kehamilan, namun
derajat keparahan penyakit meningkat jika infeksi terjadi di awal
kehamilan. Persistensi T.gondii dapat menimbulkan reaktivasi dan
kerusakan lebih lanjut di masa mendatang. Infeksi pada masa awal gestasi
dapat menimbulkan infeksi berat yang luas pada janin dengan kalsifikasi
pada otak, abses otak, hidrosefalus, atau mikrosefalus dan menimbulkan
kematian in utero. Infeksi primer selama trimester ketiga sering kali tidak
tampak saat kelahiran.6,12
Manifestasi klinis toksoplasmosis kongenital termasuk strabismus,
korioretinitis, retardasi psikomotor, kejang, anemia, ikterus, hipotermia,
trombositopenia, diare, dan pneumonitis. Korioretinitis sebagai salah satu
konsekuensi terbanyak toksoplasmosis kongenital dapat terjadi dari lesi
31
baru atau reaktivasi lesi sebelumnya dan dapat muncul kapan saja selama
kanak-kanak maupun dewasa muda.5,12
Diagnosis
Melalui pemeriksaan darah rutin dapat ditemukan adanya limfositosis
ringan serta peningkatan transaminasi hepar. Namun hasil pemeriksaan ini
tidak spesifik.
Sabin-Feldman dye test. Pemeriksaan ini didasarkan oleh rupturnya
T.gondii yang hidup dengan antibodi spesifik dan komplemen di dalam
serum yang diperiksa. Hasilnya dapat menjadi positif dalam 2 minggu
setelah infeksi dan menurun setelah 1-2 tahun.
Enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA). Pemeriksaan untuk
menilai IgG dan IgM anti toxoplasma. IgM akan muncul terlebih dahulu
sebelum IgG, kemudian menurun cepat dan merupakan marker untuk
infeksi dini. IgG banyak digunakan untuk infeksi lama.
Indirect flourescent antibody (IFA) test. Prinsip IFA kurang lebih sama
dengan Sabin-Feldman dye test yakni mengukur antibodi IgG.
Immunosorbent agglutination assay (ISAGA). ISAGA mengukur
antibodi IgG dan IgM dengan menyebabkan aglutinasi aseton atau
formalin.
IgG avidity test.
Kultur. Pada pasien dengan infeksi akut dapat dilakukan isolasi parasit
melalui inokulasi pada mencit, namun hal ini memerlukan waktu lama.
CT scan. Pemeriksaan CT scan otak pada pasien dengan ensefalitis
toksoplasma menunjukkan gambaran menyerupai cincin multipel terutama
pada ganglia basal dan corticomedullary junction.
MRI. Merupakan prosedur diagnostik yang lebih baik dibandingkan CT
scan. Namun gambaran yang terdapat pada CT scan dan MRI tidak
patognomonik untuk ensefalitis toksoplasmosis.5,9
32
Tata Laksana
Penanganan toksoplasmosis dilaksanakan tergantung kategorinya, antara
lain:
1. Infeksi pada pasien imunokompeten
Pada umumnya pasien toksoplasmosis yang imunokompeten tidak
memerlukan pengobatan. Namun pengobatan tetap diberikan apabila
gejala yang ditimbulkan berat dan berlangsung lama. Pengobatan
dilaksanakan dalam 2-4 minggu.
Regimen lini pertama:
Pirimetamin (loading dose 100 mg peroral dilanjutkan dengan 25-50
mg setiap hari) dan sulfadiazin (2-4 gram/hari peroral dibagi dalam 4
dosis),atau
Pirimetamin (loading dose 100 mg peroral dilanjutkan dengan 25-50
mg setiap hari) dan klindamisin (300 mg peroral 4 kali setiap hari).
Diberikan tambahan asam folat 10-25 mg peroral setiap hari (diberikan
kepada semua pasien yang mengonsumsi pirimetamin).
Regimen alternatif:
Pirimetamin (loading dose 100 mg peroral dilanjutkan dengan 25-50
mg setiap hari) dan azitromisin (500 mg setiap hari),atau
Pirimetamin (loading dose 100 mg peroral dilanjutkan dengan 25-50
mg setiap hari) dan atovaquone (750 mg 2x/hari).5,9
2. Infeksi pada pasien imunokompromais
Regimen untuk pasien dengan ensefalitis toksoplasma adalah
pirimetamin (dosis awal 200 mg dilanjutkan 50-75 mg/hari) dan
sulfadiazin (4-6 g/hari dosis terbagi 4) selama 4-6 minggu. Leucovorin
(calcium folinate 10-15 mg/hari) tetap diberiksan untuk mencegah
toksisitas sumsum tulang akibat penggunaan pirimetamin.
Setelah 4-6 minggu, pengobatan dilanjutkan terapi supresif seumur
hidup karena pirimetamin dan sulfadiazin hanya aktif untuk takizoit.
Untuk itu diberikan pirimetamin (25-50 mg/hari) dan sulfadiazin (2-4
33
g/hari). Klindamisin 450 mg 3 kali per hari dapat diberikan untuk
menggantikan sulfadiazin apabila tidak dapat ditoleransi.5,11
3. Infeksi mata (ocular)
Infeksi okuler toksoplasma diobati dengan obat-obatan yang sama
untuk sistemik (contohnya pirimetamin, sulfadiazin dan asam folat) dan
dapat pula dikombinasikan dengan steroid. Pasien melaksanakan
pengobatan selama 4-6 minggu dan di evaluasi perbaikannya oleh
oftalmologis.
4. Infeksi kongenital
Terdapat 2 tujuan terapi infeksi toksoplasma dalam kehamilan
tergantung pada sudah atau belum terjadinya infeksi pada janin. Apabila
ibu sudah terinfeksi namun janin belum, spiramisin dapat digunakan
sebagai profilaksis (mencegah penyebaran organisme transplasenta).
Dosis yang diperlukan adalah 1 g setiap 8 jam peroral.
Apabila janin sudah terinfeksi (terkonfirmasi atau suspek) dapat
menggunakan pirimetamin dan sulfadiazin sebagai pengobatan. Namun
kedua obat ini tidak boleh digunakan selama trimester pertama karena
berpotensi teratogenik. Penggunaan pirimetamin perlu dikombinasi
dengan pemberian asam folat.13
Pencegahan
Infeksi toksoplasma pada manusia dapat dicegah dengan memutus rantai
penularan, antara lain:
Memasak daging hingga matang sebelum dikonsumsi. Kista jaringan
dalam daging tidak infektif lagi bila sudah dipanaskan mencapai 66C
atau diasap. Membekukan makanan dalam suhu 20C juga dapat
membunuh kista T.gondii.
Membersihkan peralatan memasak dengan air hangat dan sabun setelah
kontak dengan daging mentah.
34
Menggunakan sarung tangan atau mencuci tangan dengan sabun dan air
saat melakukan kontak dengan tanah atau pasir yang bisa jadi
terkontsaminasi dengan kotoran kucing.
Menutup makanan dengan rapat supaya tidak dijamah lalat atau lipas.
Mencuci sayuran mentah (lalapan) hingga bersih.
Apabila memelihara kucing sebaiknya diberikan makanan matang dan
dicegah berburu tikus dan burung.
Tidak mengonsumsi telur maupun susu yang belum matang.
Tidak mengonsumsi air minum yang berpotensial mengandung
ookista.5,9,13
2.3 Hepatocellular Injury
Definisi Hepatocellular Injury
Hepatocellular injury merupakan salah satu bentuk utama kerusakan pada
hepar selain autoimun, kolestasis, dan infiltratif. Gambaran kerusakan sel
hepar ditandai dengan peningkatan serum transaminase. Berikut merupakan
pola hasil pemeriksaan fungsi hepar pada pasien.14,15
Tabel 3. Hasil pemeriksaan fungsi hepar 15
Autoimun
Parameter Infiltrasi
Hepatocellular Kolestasis
Transaminase ++/+++ 0/+ 0/+
Alkalin fosfatase 0/+ ++/+++ ++/+++
Bilirubin 0/+++ 0/+++ 0/+
*Normal = 0, derajat abnormalitas = +/++/+++
Diagnosis
35
Untuk mendiagnosis penyebab kerusakan sel hepar diperlukan
pemeriksaan lebih lanjut. Berikut algorima diagnosis pada peningkatan
kadar transaminase:
Ya
Tidak
Terdapat keluhan
Peningkatan ALP/bilirubin Tidak
Peningkatan ALT >6 bulan
Periksa ulang 3-6
bulan
Mencari kemungkinan
Ya penyebab kerusakan sel Ya
USG Hepar
Pertimbangan biopsi
Hepatitis virus
Apabila dicurigai merupakan suatu infeksi virus hepatitis, diperlukan
pemeriksaan berupa IgG (infeksi kronik) dan IgM (infeksi akut) anti-
HAV untuk hepatitis A, HbsAg (karier hepatitis B akut maupun kronik)
36
dan IgG IgM anti-HBc untuk hepatitis B, anti-HCV untuk hepatitis C,
dan IgG dan IgM anti-HEV untuk hepatitis E.1719
37
2.4 Oral Thrush
Definisi
Oral thrush atau kandidiasis oral merupakan infeksi jamur mukokutaneus
yang paling sering terjadi pada kavitas oral akibat infeksi jamur dari genus
Candida (Candida spp.). Individu dalam kondisi imunokompeten seharusnya
resisten terhadap infeksi jamur, namun pada kondisi imunokompromais
seseorang menjadi sangat rentan.23,24
Etiologi
Genus Candida merupakan penyebab tersering dibandingkan beberapa
jenis jamur lain yang ditemukan di kavitas oral. Beberapa spesies Candida
38
spp. yang ditemukan pada kavitas oral antara lain C. albicans, C. tropicalis,
C. parapsilosis, C. kruseis, C. guillermondii, C. glabrata, dan C.
dubliniensis. Diantara semua spesies tersebut, Candida albicans merupakan
jenis yang paling sering ditemukan.23
Manifestasi Klinis
Pasien dengan kandidiasis oral dapat asimptomatis atau mengeluhkan
adanya rasa terbakar (stomatodinia). Meskipun demikian hal ini bukanlah
tanda khas pada kandidiasis oral sehingga perlu dipikirkan kemungkinan lain
seperti xerostomia. Beberapa juga mengeluhkan adanya rasa logam di lidah
(metallic taste). Gambaran klinis pada kandidiasis oral bervariasi dan
termasuk antara bentuk putih dan eritematosa. Bentuk putih termasuk
didalamnya pseudomembran dan kandidiasis hiperplastik (leukoplakia).
Bentuk eritematosa dari penyakit ini muncul lebih sering dibandingkan
pseudomembran dan subtipe hiperplastik.24,25
a. Kandidiasis pseudomembran
Merupakan bentuk yang paling banyak dikenal dari candidiasis. Wujudnya
plak berwarna putih kental, lengket dan mudah dihapus. Dapat muncul
dimana saja pada mukosa oral antara lain lidah, mukosa bukalis, dan
palatum durum. Apabila plak dihapus akan tampak mukosa dengan
tampilan eritematosa. Candidiasis pseudomembran dapat ditemukan pada
anak-anak dan pasien yang imunokompromais termasuk pasien dengan
HIV/AIDS maupun pasien transplantasi organ.25
b. Kandidiasis eritematosa
Merupakan bentuk yang paling banyak dari kandidiasis oral dan
dikategorikan kedalam beberapa kelompok berbeda tergantung penyebab
dan bagian yang terlibat. Penyebabnya antara lain penggunaan obat-
obatan, penggunaan alat prostetik jangka panjang, xerostomia. Candidiasis
eritematosa dikategorikan lagi ke dalam beberapa subtipe, yaitu acute
atrophic (berkaitan dengan pemakaian antibiotik broad spectrum), chronic
atrophic (penggunaan alat prostetik yang tidak tepat), angular cheillitis
39
(kombinasi infeksi jamur dan bakteri), median rhomboid glossitis (atrofi
papila sentralis), dan chronic multifocal (merupakan lesi multipel).25
c. Kandidiasis hiperplastik
Dikenal juga sebagai kandidiasis hiperplastik kronik, digambarkan sebagai
lesi putih yang tidak dapat dihapus dan sering terjadi di mukosa bukalis.
Secara klinis, kandidiasis hiperplastik tidak dapat dibedakan dari
leukoplakia. Perbedaannya dari keduanya adalah leukoplakia tidak
menunjukkan perbaikan pada pemberian terapi antifungal.25
Identifikasi spesies
Tata Laksana
Modalitas terapi pada oral kandidiasis adalah menggunakan agen antifungal.
Penting bagi tenaga medis untuk mengevaluasi perjalanan penyakit dan tingkat
keparahan infeksi mengacu pada pemeriksaan laboratorium dan studi serologis.
41
Pilihan terapi diutamakan menggunakan antifungal topikal (nistatin dan
amphotericin B), namun semakin lama dapat diberikan antifungal sistemik
(flukonazol, ketokonazol).24,25
Tabel 4. Antifungal topikal untuk kandidiasis oral25
Obat Sediaan Dosis Keterangan
Clotrimazole Lozenge 10 mg 5 kali/hari Mengubah membran sel dan
Troche selama 2 minggu aktivitas antistafilokokus
Miconazole Tablet 50 mg tiap pagi Digunakan untuk kandidiasis
bukal selama 2 minggu orofaringeal
Nistatin Oral Suspensi 400.000-600.000 Fungisidal
U 4-5 kali/hari
Nistatin Pastiles Pastilles 200.000-400.000 Mengubah permeabilitas
U 4-5 kali/hari membran sel jamur
Amphotericin B Suspensi 100-200 mg qid Fungistatis/fungisidal
Gentian violet Solution 2% solution bid
Ketokonazol Krim 2% krim bid Dapat menyebabkan mual,
muntah, ruam, dan pruritus
42
Dispepsia dapat menimbulkan gejala seperti nyeri atau rasa tidak nyaman
pada perut, rasa kembung, rasa tidak nyaman setelah makan, mual,
kehilangan napsu makan, rasa terbakar pada dada, regurgitasi (makanan dan
minuman yang ingin dicerna keluar lagi dari saluran cerna), serta bersendawa.
Dispepsia dapat terjadi karena dilatarbelakangi oleh banyak kemungkinan
seperti gastroesophageal reflux disease (GERD), hernia hiatus, irritable
bowel syndrome, ulkus peptikum atau ulkus duodenal, intoleransi laktosa,
kolik biliaris atau kolesistitits, kecemasan atau depresi, efek samping obat,
efek samping rokok, alkohol, kopi, dan lain sebagainya.26,27 Kriteria Roma III
merupakan kriteria diagnostik dispepsia fungsional yang termuat dalam
American Journal of Gastroenterology tahun 2010.
Tata laksana
Untuk mengatasi rasa tidak nyaman pada saluran cerna, perlu dilakukan
perubahan pola makan dan gaya hidup, seperti menurunkan porsi namun
meningkatkan frekuensi makan. Selain itu perlu menghindari makanan-
makanan yang dapat memperburuk kondisi sepertu makanan yang pedas dan
berlemak. Apabila sedang mengonsumsi obat yang memicu terjadinya
dispepsia, perlu penghentian sementara namun diperlukan konsultasi terlebih
dahulu. Jika rasa tidak nyaman terus berlanjut, perlu dipikirkan untuk
pemberian proton pump inhibitors (PPIs) seperti omeprazol, atau H2-receptor
antagonist seperti simetidin, ranitidin, nizatidin, dan famotidin.26,27
43
44