Anda di halaman 1dari 24

ACUTE RESPIRATORY DISTRESS SYNDROME

(Naufal Hilmy Imran, Iriani Bahar)

A. PENDAHULUAN
Acute respiratory distress syndrome (ARDS) adalah salah satu penyakit paru
akut yang memerlukan perawatan di Intensive Care Unit (ICU) dan mempunyai angka
kematian yang tinggi yaitu mencapai 60%. Estimasi yang akurat tentang insidensi
ARDS sulit karena definisi yang tidak seragam serta heterogenitas penyebab dan
manifestasi klinis.1
Dahulu ARDS memiliki banyak nama lain seperti wet lung, shock lung, leakycapillary pulmonary edema danadult respiratory distress syndrome. Tidak ada
tindakan yang spesifik untuk mencegah kejadian ARDS meskipun faktor risiko sudah
diidentifikasi sebelumnya. Pendekatan dalam penggunaan model mekanis pada pasien
ARDS masih kontroversial. American European Concencus Conference Committee
(AECC) merekomendasikan pembatasan volume tidal, positive end expiratory
pressure(PEEP) dan hiperkapnea.1
ARDS adalah penyakit paru-paru yang disebabkan oleh masalah baik
langsung maupun tidak langsung. Hal ini ditandai adanya

peradangan

pada

parenkim paru yang menyebabkan gangguan pertukaran gas, keluarnya mediator


inflamasi, hipoksemia dan sering menyebabkan multiple organ failure. Dari hasil
konsensus para ahli, menetapkan ARDS terdiri dari tiga kategori berdasarkan derajat
hipoksemia. Kategori tersebut, ARDS ringan, sedang, berat berhubungan dengan
resiko kematian dan durasi ventilasi mekanis di orang yang selamat.2
ARDS diakui sebagai bentuk yang paling parah dari Acute Lung Injury (ALI),
bentuk cedera alveolar difus. AECC mendefinisikan ARDS sebagai kondisi akut yang
ditandai dengan infiltrat paru bilateral dan hipoksemia berat dengan tidak adanya
bukti edema paru kardiogenik. Beratnya hipoksemia yang diperlukan untuk membuat
diagnosis ARDS didefinisikan dari rasio tekanan parsial oksigen dalam darah arteri
pasien (PaO2) ke fraksi oksigen dalam udara inspirasi (FIO2). ARDS didefinisikan
oleh rasio PaO2 / FIO2 kurang dari 200, dan di ALI, kurang dari 300.3

Kelainan radiografi ARDS

mencerminkan

kebocoran

cairan

dengan

kandungan protein yang tinggi ke dalam ruang alveolar karena cedera epitel alveolar,
atau kerusakan alveolar difus. ARDS adalah sindrom yang didefinisikan oleh fitur
klinis. Kondisi ini mungkin akibat dari peristiwa intrathoracic atau extrathoracic
berbagai etiologi, seperti peradangan, infeksi, pembuluh darah, atau etiologi trauma.
Menentukan penyebab mungkin penting secara klinis untuk pengobatan yang tepat.3
B. ANATOMI
Paru (kanan dan kiri) terletak di samping kanan dan kiri mediastinum. Di
antaranya, di dalam mediastinum, terletak jantung dan pembuluh darah besar. Paru
berbentuk kerucut dan diliputi oleh pleura visceralis. Paru tergantung bebas dan
dilekatkan pada mediastinum oleh radiksnya. Masing-masing paru mempunyai apex
yang tumpul, yang menonjol ke atas ke dalam leher sekitar 2,5 cm di atas
clavicula; basis yang konkaf yang terletak di atas diaphragma; facies costalis
yang

konveks

yang

disebabkan

oleh dinding thorax

yang konkaf;

facies

mediastinalis yang konkaf yang merupakan cetakan pericardium dan alat-alat


mediastinum lainnya. Sekitar

pertengahan

facies mediastinalis

terdapat

hilus

pulmonis, yaitu suatu cekungan di mana bronchus, pembuluh darah, dan saraf
yang membentuk radix pulmonis masuk dan keluar dari paru. Pinggir anterior tipis
dan tumpang tindih dengan jantung ; pada pinggir anterior ini pada paru kiri
terdapat incisura cardiaca. Pinggir posterior tebal dan terletak di samping columna
vertebralis.4

Gambar 1: Cavum thorax dan isinya6


Segmenta bronchopulmonalia merupakan unit paru secara anatomi, fungsi,
dan pembedahan. Setiap bronchus lobaris (sekunder) yang berjalan ke lobus paru
mempercabangkan bronchus segmentalis (tersier).

Setiap bronchus segmentalis

kemudian masuk ke segmenta bronchopulmonalia. Setelah masuk segmenta


bronchopulmonalia, setiap bronchus segmentalis terbagi dua berulang-ulang.Pada
saat bronchus menjadi lebih kecil, cartilago yang berbentuk U yang ditemui
sejak dari trachea perlahan-lahan diganti dengan lempeng cartilago yang lebih
kecil dan lebih sedikit jumlahnya. Bronchus yang paling kecil membelah dua
menjadi bronchiolus, yang diameternya kurang dari 1 mm (1ihat Gambar 3-29).
Bronchiolus tidak mempunyai cartilago di dalam dindingnya dan dilapisi oleh epitel
silender bersilia. Lapisan submucosa mempunyai serabut otot polos melingkar yang
utuh.4
Bronchiolus kemudian membagi dua menjadi bronchiolus terminalis, yang
mempunyai kantong - kantong lembut pada dindingnya. Pertukaran gas yang terjadi
antara darah dan udara terjadl pada dinding kantong-kantong tersebut, karena itu
dinamakan bronchiolus respiratorius. Diameter bronchiolus respiratorius sekitar
0,5 mm. Bronchiolus respiratorius berakhir dengan bercabang menjadi ductus
alveolaris yang menuju ke arah saluran berbentuk kantong dengan dinding yang
tipis disebut saccus alveolaris. Saccus alveolaris terdiri dari beberapa alveoli yang
terbuka ke satu ruangan.

Masingmasing alveolus dikelilingi oleh jaringan yang

mengandung kapiler yang padat. Pertukaran gas terjadi antara udara yang terdapat
di dalam lumen a1veo1i, melalui dinding aiveoli ke dalam darah yang ada di
dalam kapiler di sekitarnya.4
Alveolus adaiah kelompok-kelompok
berdinding tipis

dan dapat

kantung

mirip anggur

mengembang di ujung cabang

yang

saluran napas

penghantar. Dinding alveolus terdiri dari satu lapisan sel alveolus tipe I yang
gepeng. Dinding anyaman padat kapiler paru yang mengelilingi setiap alveolus
juga memiliki ketebalan hanya satu sel. Ruang interstisium antara sebuah alveolus
dan anyaman kapiler di sekitarnya membentuk sawar yang sangat tipis, tipisnya
sawar ini mempermudah pertukaran gas. Selain itu, perremuan udara alveolus
dengan

darahmemiliki

luas

yang sangar

besar

bagi

pertukaran gas. Paru

mengandung sekitar 300 juta alveolus, masing-masing bergaris tengah 300 pm.
Sedemikian padatnya anyaman kapiler paru sehingga setiap alveolus dikelilingi
3

oleh lembaran darah yang hampir kontinyu. Karena itu luas permukaan total yang
terpajan antara udara alveolus dan darah kapiler paru adalah sekitar 75 m2
(seukuran lapangan tenis). Sebaliknya, jika paru terdiri dari hanya satu organ
berongga dengan dimensi yang sama dan tidak dibagi-bagi menjadi unit-unit
alveolus yang sangat banyak maka luas permukaan total hanya akan mencapai
0,01m2 .5

Gambar 2 : Skema Segmenta Bronkopulmonalia6


Selain

berisi sel

alveolus

tipe

yang tipis,

epitel

alveolus juga

mengandung sel alveolus tipe II (Gambar 13-4a). Sel - sel ini mengeluarkan
surfaktan paru, suatu kompleks fosfolipoprotein yang mempermudah ekspansi paru.
Selain itu, terdapat makrofag alveolus yang berjaga-jaga di dalam lumen kantung
udara ini.5
Di dinding anrara alveolus yang berdekatan terdapat pori Kohn yang
halus. Keberadaan pori ini memungkinkan aliran udara antara alveolus-alveolus
yang berdekatan, suatu proses yang dikenal sebagai ventilasi kolateral. Saluransaluran ini sangat penting agar udara segar dapat masuk ke aiveolus yang
saliuran penghantar terminalnya tersumbat akibat penyakit.5

Gambar 3 : Alveolus dan kapiler paru terkait5


C. DEFENISI
ARDS merupakan sindrom yang ditandai oleh peningkatan permeabilitas
membran alveolar kapiler terhadap air, larutan dan protein plasma, disertai
kerusakan alveolar difus, dan akumulasi cairan yang mengandung protei dalam
parenkim paru.7
Definisi ARDS pertama kali dikemukakan oleh Asbaugh dkk (1967) sebagai
hipoksemia berat yang onsetnya akut, infiltrat bilateral yang difus pada foto toraks
dan penurunan complianceatau daya regang paru.1
American European Concencus Conference Committee(AECC) pada tahun
1994 merekomendasikan definisi ARDS, yaitu sekumpulan gejala dan tanda yang
terdiri dari empat komponen di bawah ini (dapat dilihat pada tabel 1).1
Acute Lung Injury (ALI) dan ARDS didiagnosis ketika bermanifestasi sebagai
kegagalan pernapasan berbentuk hipoksemia akut bukan karena peningkatan tekanan
kapiler paru.7

Tabel 1 : Kriteria ALI dan ARDS1


D. EPIDEMIOLOGI
Acute lung injury (ALI)/ Acute respiratory disstres syndrome (ARDS)
merupakan penyakit yang mengancam jiwa pada pasien critical ill di ICU.
5

Kedua hal tersebut merupakan respon inflamasi akibat adanya kelainan baik
langsung atau tidak langsung pada paru. Menurut penelitian, angka kejadian acute
lung injury (ALI)/ acute respiratory disstress syndrome (ARDS) sekitar 32 - 34
kasus per 100.000 penduduk. Angka kematian pasien ARDS di ICU mencapai
34%, hanya 32% yang berhasil survive dan pulang ke rumah. Estimasi yang
akurat tentang insidensi ARDS sulit karena definisi yang tidak seragam serta
heterogenitas penyebab dan manifestasi klinis.1,8
E. ETIOLOGI
Meskipun banyak penyakit medis dan bedah telah dikaitkan dengan
berkembangnya ARDS, sebagian besar kasus (> 80%) disebabkan oleh relatif
segelintir gangguan klinis: severe sepsis syndorme dan / atau pneumonia bakteri (~
40-50%), trauma, beberapa transfusi, aspirasi isi lambung, dan overdosis obat. Di
antara pasien dengan trauma, yang yang paling sering dilaporkan dalam kondisi bedah
adalah kontosio paru, multiple fraktur, dan trauma dinding dada, sedangkan trauma
kepala, tenggelam, inhalasi beracun, dan luka bakar adalah penyebab yang langka.
Risiko terjadinya ARDS meningkat pada pasien dengan lebih dari satu predisposisi
kondisi medis atau bedah.2
Sebagian dari etiologi ARDS tidak diketahui dengan jelas . Walaupun saat ini
beberapa teori telah dikemukakan

oleh

para

ahli

tetapi

mekanisme

yang

sesungguhnya masih belum jelas. Secara umum ada 2 mekanisme yang mendasari
kejadian ARDS yaitu stimuli langsung seperti inhalasi zat beracun, aspirasi dari cairan
lambung, dan trauma toraks. tenggelam, dan infeksi paru difus seperti Pneumonitis
Carinii. Mekanisme yang kedua ini lebih sering dijumpai, tetapi meknismenya
justru lebih sedikit diketahui seperti pada adanya kerusakan yang sistemik seperti
pada sepsis, trauma, luka bakar, transfusi beragam, pemakaian cardiopulmonary
bypass yang berkepanjangan, pankreatitisdan peritonitis. Semua keadaan ini akan
menyebabkan pelepasan berbagai mediator seperti TNF, NO, dan PMNyang akan
merusak parenkim paru.Baru-baru ini suatu penelitian menggaris bawahi bahwa
penderita yang sering kontak dengan tembakau dan alcohol mendapat kemudahan
menderita ARDS. Penyakit dasar kelainan paru seperti emfisema, asma, bronchitis
kronis dapat bertingak baik sebagai penyebab maupun sebagai prediktor negatif
terhadap morbiditas dan mortalitas ARDS.9

Tabel 2 : Faktor risiko klinik ARDS10


F. PATOFISIOLOGI
Epitelium alveolar normal terdiri dari 2 tipe sel, yaitu sel pneumosit tipe I dan
sel pneumosit tipe II. Permukaan alveolar 90% terdiri dari sel pneumosit tipe I berupa
sel pipih yang mudah mengalami kerusakan. Fungsi utama sel pneumosit tipe I adalah
pertukaran gas yang berlangsung secara difusi pasif. Sel pneumosit tipe II meliputi
10% permukaan alveolar terdiri atas sel kuboid yang mempunyai aktivitas metabolik
intraselular, transport ion, memproduksi surfaktan dan lebih resisten terhadap
kerusakan.1
Patogenesis ALI/ARDS dimulai dengan kerusakan pada epitel alveolar dan
endotel mikrovaskular. Kerusakan awal dapat diakibatkan injury langsung atau tidak
langsung. Kedua hal tersebut mengaktifkan kaskade inflamasi yang dibagi dalam tiga
fase yang dapat dijumpai secara tumpang tindih : inisiasi, amplifikasi dan injury.7
Pada fase inisiasi, kondisi yang menjadi faktor resiko akan menyebabkan sel
sel imun dan non imun melepaskan mediator mediator dan modulator modulator
inflamasi didalam paru dan ke sistemik. Pada fase amplifikasi, sel efektor seperti
neutrofil teraktivasi, tertarik ke dan tertahan didalam paru. Di dalam organ target
tersebut mereka melepaskan mediator inflamasi, termasuk oksidan dan protease, yang
secara langsung merusak paru dan mendorong proses inflamasi selanjutnya. Fase ini
disebut fase injury.7
Kerusakan pada membran alveolar kapiler menyebabkan peningkatan
permeabilitas membran, dan aliran cairan yang kaya protein masuk ke ruang alveolar.
Cairan dan protein tersebut merusak integritas surfaktan di alveolus, dan terjadi
kerusakan lebih jauh.7

Gambar 4: Keadaan alveoli yang normal dan yang mengalami kerusakan2


Terdapat tiga fase kerusakan alveolus :7
Fase eksudatif : ditandai edema interstisial dan alveolar, nekrosis sel
pneumotosit tipe I dan denudasi/terlepasnya membran basalis,
pembengkakan sel endotel dengan pelebaran intercellular junction,
terbentuknya membran hialin pada duktus alveolar dan ruang udara,
dan inflamasi netrofil. Juga ditemukan hipertensi pulmoner dan

berkurangnya compliance paru.


Fase proliferatif : paling cepat timbul setelah 3 hari sejak onset,

ditandai proliferasi sel epitel pneumosit tipe II


Fase fibrosis : kolagen meningkat dan paru menjadi padat karena
fibrosis.

Perubahan patofisiologi yang terjadi pada ARDS adalah edema paru


interstistial dan penurunan kapasitas residu fungsional (KRF) karena atelektasis
kongestif difus. Keadaan normal, filtrasi cairan ditentukan oleh hukum Starling yang
menyatakan filtrasi melewati endotel dan ruang intertisial adalah selisih tekanan
osmotik protein dan hidrostatik.1
Perubahan tiap aspek dari hukum Starling akan menyebabkan terjadinya
edema paru. Tekanan hidrostatik kapiler (Pc) meningkat akibat kegagalan fungsi

ventrikel kiri akan menyebabkan peningkatan filtrasi cairan dari kapiler ke interstitial.
Cairan kapiler tersebut akan mengencerkan protein intertsitial sehingga tekanan
osmotik interstitial menurun dan mengurangi pengaliran cairan ke dalam vena.1
Kerusakan endotel kapiler atau epitel alveoli atau keduanya pada ARDS
menyebabkan peningkatan permeabilitas membran alveoli-kapiler (terutama sel
pneumosit tipe I) sehingga cairan kapiler merembes dan berkumpul didalam jaringan
interstitial, jika telah melebihi kapasitasnya akan masuk ke dalam rongga alveoli
(alveolar flooding) sehingga alveoli menjadi kolaps (mikroatelektasis) dan
complianceparu akan lebih menurun. Merembesnya cairan yang banyak mengandung
protein dan sel darah merah akan mengakibatkan perubahan tekanan osmotik.1
Cairan bercampur dengan cairan alveoli dan merusak surfaktan sehingga paru
menjadi kaku, keadaan ini akan memperberat atelektasis yang telah terjadi.
Mikroatelektasis akan menyebabkan shunting intrapulmoner, ketidakseimbangan
(mismatch) ventilasi-perfusi (VA/Q) dan menurunnya KRF, semua ini akan
menyebabkan terjadinya hipoksemia berat dan progresivitas yang ditandai dengan
pernapasan cepat dan dalam. Shunting intrapulmoner menyebabkan curah jantung
akan menurun 40%.1
Hipoksemia diikuti asidemia, mulanya karena pengumpulan asam laktat
selanjutnya merupakan pencerminan gabungan dari unsur metabolik maupun
respiratorik akibat gangguan pertukaran gas. Penderita yang sembuh dapat
menunjukan kelainan faal paru berupa penurunan volume paru, kecepatan aliran udara
dan khususnya menurunkan kapasitas difusi.1
G. DIAGNOSIS
1. Gambaran Klinis
Onset akut umumnya berlangsung 3 5 hari sejak adanya diagnosa kondisi
yang menjadi faktor resiko ARDS. Tanda pertama ialah takipnea, retraksi intercostal,
adanya ronkhi basah kasar yang jelas. Dapat ditemui hipotensi, febris. Pada auskultasi
ditemukan ronki basah kasar. Gambaran hipoksia/sianosis yang tak respon dengan
pemberian oksigen. Sebagian besar kasus disertai disfungsi/gagal organ ganda yang
umumnya juga mengenai ginjal, hati, saluran cerna, otak dan sistem kardiovaskular.7
Manifestasi klinis sindrom gagal nafas akut bervariasi tergantung dari
penyebab. Penyebab yang paling penting adalah sepsis oleh kuman gram negatif,
trauma berat, operasi besar, trauma kardiovaskuler, pneumonia karena virus influenza
dan kelebihan dosis narkotik. Yang khas adalah adanya masa laten antara timbulnya
faktor predisposisi dengan timbulnya gejala klinis sindrom gagal nafas selama sekitar
9

18-24 jam. Gejala klinis yang paling menonjol adalah sesak napas,11 Napas cepat,
batuk kering, ketidaknyamanan retrosternal dan gelisah. Pasien yang memiliki
keadaan yang lebih berat dari gagal nafas bisa terjadi sianosis.12
Pada saluran nafas orang dewasa didapatkan trias gejala yang penting yaitu
hipoksia, hipotensi dan hiperventilasi. Pada tahap berikutnya sesak nafas bertambah,
sianosis menjadi lebih berat dan mudah tersinggung.11
Menurut fakta sampai sekarang belum ada cara penilaian yang spesifik dan
sensitive

terhadap

kerusakan

endotel/epitel.

Meskipun

begitu,

pemeriksaan

laboratorium dan gambaran radiologi mungkin berguna.12


Pada tahap dini ARDS, pemeriksaan fisik mungkin tidak banyak ditemukan
kelainan, tetapi kemudian didapatkan adanya krepitasi yang meluas pada lapangan
paru dalam waktu yang singkat. Pemeriksaan laboratorium yang paling dini
menunjukkan kelainan dalam analisis gas darah berupa hipoksemia, kemudian
hiperkapnia dengan asidosis respiratorik pada tahap akhir.11
2. Pemeriksaan Radiologi
a. Pemeriksaan Foto Thorax
Kelainan radiografi ARDS

mencerminkan

kebocoran

cairan

dengan

kandungan protein yang tinggi ke dalam ruang alveolar karena cedera epitel alveolar,
atau kerusakan alveolar difus. ARDS adalah sindrom yang didefinisikan oleh fitur
klinis. Kondisi ini mungkin akibat dari peristiwa intrathoracic atau extrathoracic
berbagai etiologi, seperti peradangan, infeksi, pembuluh darah, atau etiologi trauma.
Menentukan penyebab mungkin penting secara klinis untuk pengobatan yang tepat.3
Radiografi dada sangat akurat dalam diagnosis ARDS, dengan akurasi setinggi 84%.14
Kelainan foto thorax biasanya berkembang setelah 12 24 jam setelah adanya
kelainan inisial, disebabkan oleh edema interstisial yang mengandung protein. Dalam
1 minggu edema paru alveolar terjadi akibat kerusakan sel pneumosit type 1.Berbeda
dengan edema paru yang memberikan respon terhadap diuretik. ARDS tetap persisten
selama beberapa hari sampai minggu.13
Pada foto thorax dapat ditemukan gambaran yang luas dan bervariasi
tergantung pada tahap penyakit. Temuan radiologi yang paling umum adalah
konsolidasi dada bilateral, terutama di perifier, agak asimetris disertai bronkogram
udara. Septal lines dan efusi pleura, jarang ditemukan.3
Pada proses awal, dapat ditemukan lapangan paru yang relatif jernih, serial
foto kemudian tampak bayangan radio opak difus atau patchy bilateral dan diikuti
pada foto serial berikutnya lagi gambaran confluent, tidak terpengaruh gravitasi, tanpa
gambaran kongesti atau pembesaran jantung.7
10

Temuan awal dari foto thorax termasuk gambaran normal atau difus opak
alveolar, yang sering bilateral dan mengaburkan gambaran vascular markings paru.
Kemudian gambaran opak tersebut berlanjut menjadi konsolidasi yang menyebar
lebih luas , dan sering tidak simetris. Sekali lagi, efusi dan septal lines biasanya tidak
terlihat pada foto thorax pasien yang terkena ARDS, meskipun temuan ini sering
terlihat pada pasien dengan gagal jantung kongestif (CHF). Temuan radiografi
cenderung stabil; jika gambaran radiografi memburuk setelah 5 7 hari, proses
penyakit lain harus dipertimbangkan.14
Pada awal fase eksudatif, temuan foto thorax secara umum menunjukkan
gambaran (1) whiteout appearance yang bilateral; (2) konsolidasi yang asimetris; dan
(3) gambaran bat wing appearance. 14
Pada fase fibrosis, foto thorax mungkin memilik gambaran interstisial, yang
belum tentu karena fibrosis, karena temuan ini mungkin dapat membaik pada pasien
yang bertahan hidup. Spesimen patologis yang telah dianalisi, dan temuan fibrosis
paru yang parah tidak berkolerasi dengan temuan radiografi dada tertentu, termasuk
pola reticular. CT Scan memberikan informasi yang lebih rinci dan lebih handal di
bidang konsolidasi dan fibrosis.14

Gambar 5 : Foto Thorax pasien ARDS, kondisi ini berkembang kurang dari 1
minggu14

11

Gambar 6 : Memperlihatkan gambaran bercak opak difuse bilateral, relatif


simetris, melibatkan kedua sentral dan perifer paru, air bronchogram15
Jika pasien bertahan, kelainan radiografi membaik setelah 10 14 hari.
Kecepatan dan tingkat perbaikan ini bervariasi. Faktor faktor yang mempengaruhi
kecepatan pemulihan tidak diketahui, tetapi mungkin berhubungan dengan faktor
medis lainnya yang mungkin telah menyebababkan timbulnya ARDS.14
Interpretasi foto thorax berorientasi pada definisi ALI dan ARDS, meskipun
demikan terdapat keberagaman yang sangat dipengaruhi oleh pengamat baik pada
interpretasi foto thorax dan penentuan infiltrat. Pada definis konferensi konsensus
Amerika Eropa, infiltrat harus bilateral dan konsisten dengan edema paru.7

12

Gambar 7 : Gambaran opak bilateral yang sugestif ARDS14

Gambar 8 : Fase fibrosis, gambaran fibrosis terutama dilobus atas paru (panah
hijau)15
b. Pemeriksaan CT Scan
Gambaran difus dan konsolidasi non spesifik pada foto thorax pasien ARDS
pada kenyataannya heterogen pada CT Scan. CT Scan juga memperlihatkan
konsolidasi parenkim di ARDS adalah di daerah yang bergantung gravitasi paru. 14
Sebuah kajian dari CT Scan dada di 74 pasien dengan ARDS
memperlihatkan temuan berikut : 14
Kelainan bilateral di hampir semua pasien, terutama tergantung dari

kelainan yang mendasari ( 86%)


Bercak bercak konsolidasi (42%)
Homogen (23%)
Atenuasi Ground glass (8%)
Mixed konsolidation / ground-glass appearance(27%)
Area konsolidasi yang disertai air bronchogram (89%)

Pada CT Scan ARDS yang disebabkan oleh penyakit paru cenderung


asimetris, dengan campuran konsolidasi dan opasitas ground glass. Dimana ARDS
yang disebabkan oleh penyakit extrapulmonal, opasitas ground glass nya cenderung
simetris. CT Scan ARDS disertai acute interstitial pneumonia (AIP), cenderung
memiliki konsolidasi yang lebih simetris, distribusi yang lebih basilar, dan lebih
menggambarkan gambaran honeycomb dibandingkan pasien tanpa AIP. Gambaran
efusi pleura dan air bronchogram umum ditemukan. Sedangkan gambaran kerley B
lines dan gambaran pneumotokel jarang ditemukan. 14
13

CT Scan dapat digunakan untuk mendeteksi fitur patologis dan komplikasi


dari ARDS yang sulit ditemukan pada gambaran foto rontgen thorax terutama karena
konsolidasi yang mengaburkan temuan lainnya, yang meliputi : adanya kelainan pleura
(pneumothorax), penyakit parenkim (nodul, fokal opasitas, empisema interstisial) dan
penyakit mediastena (pembesaran kelenjar getah bening). 14

Gambar 9 : memperlihatkan gambaran area konsolidasi yang tergantung


gravitasi, air bronchogram dan gambaran ground glass opafikasi15

14

Gambar 10 : memperlihatkan CT Scan dada setingkat jantung pasien dengan


suspek ARDS. Memperlihatkan efusi paru bilateral bukannya konsolidasi paru
bilateral difus. Selain itu tampak gambaran atelektasi type kompresi di lobus bawah
yang diamati14

Gambar 11 : CT Scan resolusi tinggi pada pasien ARDS. Gambar ini


menunjukkan efusi pleura minimal, konsolidasi dengan gambaran air bronchogram
dan beberapa gambaran opasitas ground glass. Temuan ini mengindikasikan gambaran
proses alveolar, di kasus ini, kerusakan alveolar.14
Ct thorax terbukti sangat membantu dalam penelitian patofisiologi ALI.
Bisa menggambarkan keberagaman inflasi paru, dan secara umu digunakan untuk
memandu tata laksana klinis. Otopsi dan foto thorax ALI menunjukkan proses yang
seragam yang melibatkan kedu paru, akan tetapi CT toraks pada awal perjalanan ALI
pada pasien dengan posisi terlentang menunjukkan terdapat peningkatan densitas paru
pada bagian dorsal, dan pada paru ventral relatif normal. Selain itu, CT sering kali
menunjukkan adanya pneumotoraks, pneumomediastinum dan efusi pleura yang tidak
terdiagnosis sebelumnya. Setelah dua minggu dengan ventilasi mekanik, CT scan
dapat menunjukkan arsitektur paru yang berubah dan kista emfisematosa dan
pneumatokel.7
c. Pemeriksaan USG
Leblanc et al menemukan bahwa tingkat kontosio dari paru paru pada
Lung ultrasound (LUS) berkolerasi baik dengan pengukuran CT scan. Sebuah LUS
dengan skor 6 dari 16 adalah ambang terbaik untuk memprediksi ARDS, dengan
sensitivitas 58% dan spesitivitas 96%.14
15

Alveolar Interstitial Syndrome ditemukan 100% pada pasien dengan


ALI/ARDS dan 100% pada pasien Acute Cardiogenic Pulmonary Edema (APE) (p =
ns), abnormalitas pleural line ditemukan 100% pada pasien ALI/ARDS dan 25% pada
pasien dengan APE (p < 0.0001). Tidak ada atau berkurangnya gliding sing diamati
pada 100% pasien dengan ARDS dan 0% pasien dengan APE. Spared Areas ditemukan
100% pada pasen dengan ALI/ARDS dan 0% pada pasien dengan APE (p < 0.0001).
Efusi pleura ditemukan 66,6% pada pasien dengan ALI/ARDS dan 95% pada pasien
dengan APE. Konsolidasi ditemukan 83,3% pada pasien ALI/ARDS dan 0% pada
pasien dengan APE (P<0,0001)16

Gambar 12 : LUS pada pasien ARDS tampak konsolidasi paru disertai air
bronchogram16
d. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
MRI adalah teknik fungsional yang memberikan kemungkinan untuk
menyelidiki patofisiologi penyakit paru. Meskipun MRI paru konvensional
memberikan intensitas sinyal yang buruk karena rendahnya kepadatan proton jaringan
paru. Hiperpolarisasi MRI dengan gas mulia dapat memberikan informasi tentang
heterogenitas ventilasi perfusi dan gambaran mikrostruktur paru resolusi tinggi.17
Gas mulia seperti Helium- 3 dan xenon 129 dapat bertindak sebagai agen
kontras, menyebar dengan cepat ke dalam rongga udara untuk memungkinkan
visualisasi dan kuantifikasi saluran napas dan ruang alveolar. Hiperpolarisasi xenon
129 mengikuti jaringan jalur yang sama seperti oksigen, menyebar dari ruang gas
alveolar ke jaringan dan darah, oleh karena itu memungkinkan perhitungan parameter
pertukaran gas, termasuk luas permukaan alveolus. Studi terbaru menunjukkan bahwa
MRI dapat memungkinkan perhitungan ukuran alveolar dimana dapat digunakan
untuk menilai dari atelektasis.17

e. Kedokteran Nuklir
16

Positron emission tomograph (PET) scan telah digunakan dalam studi densitas
ekstravaskular paru (EVD) dan permeabilitas pembuluh darah paru dengan tingat
escape transcapillary paru (PER). Dalam studi, pasien dengan ARDS memiliki
PITCHER dan EVD yang lebih tinggi dibandingkan subyek kontrol sehat, dan temuan
itu paling dramatis dalam fase awal ARRDS. PITCHER tetap meningkat pada pasien
dengan ARDS, bahkan setelah EVD telah kembali ke tingkat normal.3
PITCHER dapat digunakan untuk memperkirakan pemeabilitas kapiler dengan
memperhatikan akumulasi injeksi gallium 68 (68Ga) sitrat, yang melekat pada
transferin, di parenkim paru. ARDS adalah kondisi edema paru nonkardiogenik; Oleh
karena itu, cairan dan protein translokasi seluruh paru paru pembuluh dara
endotelium ke interstitium. Langkah langkah ini hanya digunakan dalam studi
eksperimental, tidak dalam situasi klinis rutin.3
3. Pemeriksaan Laboratorium
Pada pemeriksaan analisa gas darah didapatkan hipokesemia, hipokapnia
(sekunder karena hipoventilasi), hiperkapnia (pada emfisema atau keadaan lanjut).
Alkalosis respiratorik pada awal proses, akan berganti menjadi asidosis repiratorik.7
Terdapat leukositosis (pada sepsis), anemia, trombositopenia (refleksi
inflamasi sistemik dan kerusakan endotel), peningkatana kadar amilase (pada
pankreatiti) gangguan fungsi ginjal dan hati tanda koagulasi intravaskular diseminata
(sebagai bagian dari multiple organ disfunction syndrome (MODS).7
H. DIAGNOSIS BANDING

Gagal Jantung Kongestif


Adalah bentuk kegagalan jantung yang terutama dimanifestasikan oleh
ketidakmampuan

jantung

untuk

memompa

volume

darah.

Hal

ini

dapat

mempengaruhi ruang jantung kiri atau kanan atau keduanya.18

17

Gambar 13 : memperlihatkan perbedaan antara ARDS dan CHF15

Perdarahan Pulmonal
Perdarah pulmonal adalah isitilah luas yang diberikan untuk menggambarkan
segala bentuk perdarahan pada paru dan dapat ditimbulkan oleh segudang penyebab.
Perdarahan pulmonal dapat dibagi menjadi dua kelompok besar:19

Perdarahan Pulmonal Difus

Perdarahan Pulmonal terlokalisasi

Pada gambaran foto polos dada kadang menampilkan gambaran yang tidak
spesifik, dimana mungkin didapatkan konsolidasi bilateral air space.

18

Gambar 14 : memperlihatkan foto polos thorax pada pasien perdarahan pulmonal19


I. PENATALAKSANAAN
Empat prinsip dasar menjadi penanganan ARDS. Pertama : pemberian okigen,
PEEP dan ventilasi tekana positf, hampir semuanya menunjukkan keuntungan bagi
pasien ARDS dibalik itu dia juga memiliki potensi efek samping yang berat. Kedua,
walaupun ARDS seringkali dianggap kegagalan napas primer, kegagalan multiorgan
non paru dan ineksi adalah penyebab utama kematian. Ketiga, pengaturan ventilasi
mekanik yang hati hati terutama volume tidal terbukti berakibta komplikasi yang
lebih jarang dan merupakan satu satunya tatalaksana yang memperbaiki survival.
Terakhir, prognosisnya buruk apabila penyebab dasarnya tidak diatasi atau tidak
ditangani dengan baik.7
J. KAJIAN ISLAM
Saat Allah menakdirkan kita untuk sakit, pasti ada alasan tertentu yang
menjadi penyebab itu semua. Tidak mungkin Allah subhanahu wa taala melakukan
sesuatu tanpa sebab yang mendahuluinya atau tanpa hikmah di balik semua itu. Allah
pasti menyimpan hikmah di balik setiap sakit yang kita alami. Karenanya, tidak layak
bagi

kita

untuk

banyak

mengeluh,

menggerutu,

apalagi suudzhan kepada

Allah subhanahu wa taala. Lebih parah lagi, kita sampai mengutuk taqdir. Naudzu
billah
Sakit adalah Ujian

19

Allah subhanahu wa taala berfirman dalam al-Quran, Dan sungguh akan


Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan
harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang
yang sabar.

(yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka

mengucapkan: Inna lillaahi wa innaa ilaihi raajiuun. (QS. Al-Baqarah: 155156). Dalam ayat yang lain, Allah juga berfirman,
Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu
dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan
hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan. (QS. Al-Anbiyaa`: 35)

Setiap Penyakit Pasti Ada Obatnya


Hal lain yang seyogyanya diketahui oleh seorang muslim adalah tidaklah
Allah menciptakan suatu penyakit kecuali Dia juga menciptakan penawarnya. Hal ini
sebagaimana yang disabdakan Rasulullah :

Tidaklah Allah menurunkan penyakit kecuali Dia juga menurunkan


penawarnya. (HR Bukhari).
Imam Muslim merekam sebuah hadits dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu

anhu, dari Rasulullah , bahwasannya beliau bersabda,

Setiap penyakit ada obatnya. Apabila obat itu tepat untuk suatu penyakit,
penyakit itu akan sembuh dengan seizin Allah Azza wa Jalla.
Kesembuhan Itu Hanya Datang dari Allah
20

Allah berfirman menceritakan kekasih-Nya, Ibrahim alaihissalam,


Dan apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkanku. [QS Asy Syuara:
80]
Di surat Al Anam (ayat: 17), Dan jika Allah menimpakan sesuatu
kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang menghilangkannya melainkan Dia
sendiri. Dan jika Dia mendatangkan kebaikan kepadamu, maka Dia Maha Kuasa
atas tiap-tiap sesuatu.
Maka obat dan dokter hanyalah cara kesembuhan, sedangkan kesembuhan
hanya datang dari Allah. Karena Dia sendiri menyatakan demikian, Dialah yang
menciptakan segala sesuatu. Semujarab apapun obat dan sesepesialis dokter itu,
namun jika Allah tidak menghendaki kesembuhan, kesembuhan itu juga tidak akan
didapat. Bahkan jika meyakini bahwa kesembuhan itu datang dari selain-Nya, berarti
ia telah rela keluar dari agama dan neraka sebagai tempat tinggalnya kelak jika tidak
juga bertaubat. Dan fenomena ini kerap dijumpai di banyak kalangan, entah sadar atau
tidak. Seperti ucapan sebagian orang, Tolong sembuhkan saya, Dok . Meski kalimat
ini amat pendek, namun akibatnya sangat fatal, yaitu dapat mengeluarkan
pengucapnya dari Islam. Sepantasnya setiap muslim berhati-hati dalam setiap gerakgeriknya agar ia tidak menyesal kelak.

DAFTAR PUSTAKA
1. Susanto Yusup Subagio, Sari Fitrie Rahayu. Penggunaan Ventilasi Mekanis Invasif
Pada Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS). Universitas Sebelas Maret. 2012
2. Levy Bruce D, M Augustine, Choi K. Acute Respiratory Distress Syndrome.
Harrisons Principles Of Internal Medicine. Edisi 19. McGraw-Hill. 2015
3. Eloise
M
Harman.
Acute
Respiratory
Distress
Syndrome.
http://emedicine.medscape.com/article/165139-overview#showall
4. Snell Richard S. Anatomi Klinis Berdasarkan Sistem. EGC. 2011
21

5. Sherwood Lauralee. Fisiologi Manusia Dari Sel Ke Sistem. EGC. 2011


6. Netter HF. Atlas Of Human Anatomy. Ed 6. Elsevier
7. Sudoyo AW, Setiyohadi B dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Ed V Jilid II.
Internal Publishing: Jakarta 2009
8. Aditya Kisara, Harahap Muhammad Sofyan, Budiono Uripno. Heparin Intravena
Terhadap Rasio PF pada Pasien Acute Lung Injury (ALI) dan Acute Respiratory
Distress Syndrome (ARDS). Jurnal Anestesiologi Indonesia. 2012
9. Hermiyanti Pranggono Emmy. Basic And Advances In The Management Of Acute
Respiratory Distress Syndrome (ARDS). Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran
10. Parsons PE. Acute respiratory distress syndrome. In: Hanley ME, Welsh CH, eds.
Current diagnosis and treatment in pulmonary medicine. New York: Lange Medical
Books/McGraw-Hill; 2003.p.161-6.
11. Aryanto Suwondo, Ishak Yusuf, Cleopas Martin Lumende, 2001. Sindrome Gagal
Nafas Pada Orang Dewasa dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II, Edisi
Ketiga. Hal : 907-914
12. Josep Varon,MD, F.A.C.A, F.A.C.P, Oliver C Wenker,MD, D.E.A.A.1997, The Acute
Respiratory

Distress

Syndrome

Myths

and

controversy.

http://www.ispub.com
13. Weerakkody Yuranga, Amini Behrang dkk. Acute Respiratory Distress
Syndrome. http://radiopaedia.org/articles/acute-respiratory-distresssyndrome-1
14. Horlander Kennteth T. Imaging In Acute Respiratory distress syndrome.
http://emedicine.medscape.com/article/362571-overview#showall
15. Galanter Joshua, Liberman Gillian. Radiographic Manifestations of ARDS and its
Sequelae. eradiology.bidmc.harvard.edu/LearningLab/respiratory/Galanter.pdf

22

16. Chiumello Davide. Clinical review : Lung imaging in acute respiratory distress
syndrome patients - an update. http://www.ccforum.com/content/17/6/243

17. Copetti Roberto. Chest sonography: a useful tool to differentiate acute


cardiogenic pulmonary edema from acute respiratory distress syndrome.
http://cardiovascularultrasound.biomedcentral.com
18. Goel

Ayush,

Weerakkody

Yuranga.

Congestive

Cardiac

Failure.

http://radiopaedia.org/articles/congestive-cardiac-failure
19. Weerakkody

Yuranga.

Pulmonary

Haemorrhage.

http://radiopaedia.org/articles/pulmonary-haemorrhage

23

24

Anda mungkin juga menyukai