NIM : 20200940100137
Jl. Cempaka Putih Tengah I/1 Jakarta Pusat, Kode Pos 10510
Telp/Faks: 021-42802202
LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN
DENGAN GANGGUAN ARDS (ACUTE RESPIRATORY DISTRESS
SYNDROME)
A. DEFINISI
ARDS merupakan sindrom yang ditandai oleh peningkatan permeabilitas membrane
alveolar-kapiler terhadap air, larutan dan protein plasma, disertai kerusakan alveolar difus, dan
akumulasi cairan dalam parenkim paru yang mengandung protein.
Sindrom distress pernapasan dewasa (adult respiratory distress syndrome, ARDS)
adalah suatu penyakit yang ditandai oleh kerusakan luas alveolus dan atau membran kapiler
paru. ARDS selalu terjadi setelah suatu gangguan besar pada sistem paru, kardiovaskuler, atau
tubuh secara luas. (Elizabeth J. Corwin, 2009, hal. 552).
ARDS adalah sindrom klinis yang ditandai dengan penurunan progresif kandungan
oksigen arteri yang terjadi setelah penyakit atau cedera serius. (Brunner & Suddarth, 2001,
hal : 615).
ARDS adalah bentuk khusus gagal napas yang ditandai dengan hipoksemia yang
jelas dan tidak dapat diatasi dengan penanganan konvensional. (Sylvia A. price. 2005. Hal:
835).
Dasar definisi yang dipakai consensus Komite Konferensi ARDS Amerika-Eropa tahun
1994 terdiri dari :
1) Gagal napas (respiratory failure/distress) dengan onset akut.
2) Rasio tekanan oksigen pembuluh arteri berbanding fraksi oksigen yang diinspirasi
(PaO2 / FiO2 ) <200 mmHg-hipoksemia berat
3) Radiografi dada; infiltrate alveolar bilateral yang sesuai dengan edema paru.
4) Tekanan baji kapiler pulmoner (pulmonary capillary wedge pressure) < 18 mmHg,
tanpa tanda klinis (rontgen, dan lain-lain) adanya hipertensi atrial kiri/ (tanpa adanya
tanda gagal jantung kiri).
Bila PaO2 / FIO2 antara 200-300 mmHg, maka disebut Acute Lung Injury (ALI).
Konsensus juga mensyaratkan terdpatnya factor resiko terjadinya ALI dan tidak adanya
penyakit paru kronik yang bermakna.
B. ETIOLOGI
ARDS dapat terjadi akibat cedera langsung kapiler paru atau alveolus. Namun,
karena kapiler dan alveolus berhubungan sangat erat, maka destruksi yang luas pada salah
satunya biasanya menyebabkan estraksi yang lain. Hal ini terjadi akibat pengeluaran enzim-
enzim litik oleh sel-sel yang mati, serta reaksi peradangan yang terjadi setelah cedera dan
kematian sel. Contoh-contoh kondisi yang mempengaruhi kapiler dan alveolus disajikan di
bawah ini.
Destruksi kapiler, apabila kerusakan berawal di membran kapiler, maka akan terjadi
pergerakan plasma dan sel darah merah ke ruang interstisium. Hal ini meningkatkan jarak
yang harus ditempuh oleh oksigen dan karbon dioksida untuk berdifusi, sehingga kecepatan
pertukaran gas menurun. Cairan yang menumpuk di ruang interstisium bergerak ke dalam
alveolus, mengencerkan surfaktan dan meningkatkan tegangan permukaan. Gaya yang
diperlukan untuk mengembangkan alveolus menjadi sangat meningkat. Peningkatan
tegangan permukaan ditambah oleh edema dan pembengkakan ruang interstisium dapat
menyebabkan atelektasis kompresi yang luas.
Destruksi Alveolus apabila alveolus adalah tempat awal terjadinya kerusakan, maka
luas permukaan yang tersedia untuk pertukaran gas berkurang sehingga kecepatan pertukaran
gas juga menurun. Penyebab kerusakan alveolus antara lain adalah pneumonia, aspirasi, dan
inhalasi asap. Toksisitas oksigen, yang timbul setelah 24-36 jam terapi oksigen tinggi, juga
dapat menjadi penyebab kerusakan membran alveolus melalui pembentukan radikal-radikal
bebas oksigen.
Tanpa oksigen, jaringan vaskular dan paru mengalami hipoksia sehingga semakin
menyebabkan cedera dan kematian sel. Apabila alveolus dan kapiler telah rusak, maka reaksi
peradangan akan terpacu yang menyebabkan terjadinya edema dan pembengkakan ruang
interstitium serta kerusakan kapiler dan alveolus di sekitarnya. Dalam 24 jam setelah awitan
ARDS, terbentuk membran hialin di dalam alveolus. Membran ini adalah pengendapan fibrin
putih yang bertambah secara progesif dan semakin mengurangi pertukaran gas. Akhirnya
terjadi fibrosis menyebabkan alveolus lenyap. Ventilasi, respirasi dan perfusi semuanya
terganggu. Angka kematian akibat ARDS adalah sekitar 50%. (Elisabeth J. Cowin, 2001,
hal. 420-421)
Selain itu, adapun penyebab lain dari ARDS adalah :
1. Syok karena berbagai sebab ( terutama hemorragik,pancreatitis acut hemorragik, sepsis
gram negative ).
2. Sepsis tanpa syok, dengan atau tanpa koagulasi intravascular diseminata (DIC ).
3. Pneumonia virus yang berat.
4. Trauma yang berat ( cedera kepala, cedera dada langsung, trauma pada berbagai organ
dengan syok hemorragik, fraktur majemuk dimana emboli lemak terjadi berkaitan
dengan fraktur femur ).
5. Cedera aspirasi / inhalasi ( aspirasi isi lambung, hampir tenggelam, inhalasi asap,
inhalasi gas iritan ).
6. Toksik O2 overdosis narkotika.
7. Post perfusi pada pembedahan pintas kardiopulmonar.
C. EPIDEMIOLOGI
Diperkirakan ada 150.000 orang yang menderita ARDS tiap tahunnya dan tingkat
mortilitasnya 50 %.Sepsis sistemik merupakan penyebab ARDS terbesar sekitar 50%, trauma
15 %, cardiopulmonary baypass 15 %, viral pneumoni 10 % dan injeksi obat 5 %.
E. STADIUM
1. Eksudatif
Ditandai dengan adanya perdarahan pada permukaan parenkim paru, edema
interstitial atau alveolar, penekanan pada bronkiolus terminalis dan kerusakan pada sel
alveolar tipe 1.
2. Fibroproliferatif
Ditandai dengan adanya kerusakan pada sel alveolar tipe II, peningkatan
tekanan puncak inspirasi, penurunan compliance paru (static dan dinamik),
hipoksemia, penurunan fungsi kapasitas residual, fibrosis interstitisial, dan
peningkatan ruang rugi ventilasi.
1. Sepsis
2. Trauma nontoraks
3. Transfusi produk darah berlebihan
4. Pankreatitis
5. Pintas Kardiopulmoner
I. KOMPLIKASI
Kegagalan pernapasan dapat timbul seiring dengan perkembangan penyakit dan
individu harus bekerja lebih kerja untuk mengatasi penurunan compliance paru. Akhirnya
individu kelelahan dan ventilasi melambat. Hal ini menimbulkan asidosis respiratorik
karena terjadi penimbunan karbon dioksida di dalam darah. Melambatnya pernapasan dan
penurunan PH arteri adalah indikasi akan datangnya kegagalan pernapasan dan mungkin
kematian.
Pneumonia dapat timbul setelah ARDS, karena adanya penimbunan cairan di paru
dan kurangnya ekspansi paru. Akibat hipoksia dapat terjadi gagal ginjal dan tukak saluran
cerna karena stress (stress ulcers). Dapat timbul koaguiasi intravaskular diseminata akibat
banyaknya jaringan yang rusak pada ARDS. (Elizabeth J. Cowin, 2001, hal. 422)
J. PROGNOSIS
Mortalitas sekitar 40%. Prognosis dipengaruhi oleh :
1. PENGKAJIAN
a. Lakukan pengkajian fisik anak
1) Status penampilan kesehatan : lemah dan lesu
2) Tingkat kesadaran kesehatan : komposmentis atau apatis
3) Tanda-tanda vital :
a) Frekuensi nadi dan tekanan darah : takikardi, hipertensi.
b) Frekuensi pernapasan : takipnea ( di awal kemudian apnea), retraksi
substernal, krekels inspirasi, mengorok , pernapasan cuping hidung eksternal,
sianosi, pernapasan sulit.
c) Suhu Tubuh : Hipertermi akibat penyebaran toksik mikroorganisme yang
direspon oleh hipotalamus.
4) Berat badan dan tinggi badan : Kecenderungan berat badan anak mengalami
penurunan.
5) Integumen
a) Warna : Pucat sampai sianosis.
b) Suhu : Pada hipertermi kulit teraba panas setelah hipertermi teratasi kulit
anak akan teraba dingin.
c) Turgor : Menurun pada dehidrasi
6) Kepala dan Mata
a) Perhatikan bentuk dan kesimetrisan
b) Palpasi tengkorak akan adanya nodus atau pembengkakan yang nyata.
c) Periksa hygiene kulit kepala, ada tidaknya lesi, kehilangan rambut,
perubahan warna
7) Thorax dan Paru-paru
a) Inspeksi : frekuensi irama, kedalaman dan upaya bernafas antara lain:
takipnea, dispnea progresif, pernapasan dangkal, pektus ekskavatum (dada
corong), paktus karinatum (dada burung), barrel chest.
b) Palpasi : Adanya nyeri tekan, massa, peningkatan vocal fremitus pada
daerah yang terkena.
c) Perkusi : Pekak terjadi bila terisi cairan pada paru, normalnya timpani
(terisi udara) resonansi.
d) Auskultasi : Suara pernapasan yang meningkat intensitasnya :
Suara mengi (wheezing)
Suara pernapasan tambahan ronchi
b. Pemeriksaan Penunjang
1) Foto rontgen dada (Chest X-Ray) : tidak terlihat jelas pada stadium awal atau
dapat juga terlihat adanya bayangan infiltrate yang terletak di tengah region
perihilar paru. Pada stadium lanjut terlihat penyebaran di interstitisial secara
bilateral dan infiltrate alveolar, menjadi rata dan dapat mencakup keseluruh lobus
paru. Tidak terjadi pembesaran pada jantung.
2) ABGs : hipoksemia (penurunan PaO 2), hipokapnea (penurunan nilai CO2 dapat
terjadi terutama pada fase awal sebagai kompensasi terhadap hiperventilasi),
hiperkapnea (PaCO2 > 50) menunjukkan terjadi gangguan pernapasan. Alkalosis
respiratori (Ph > 7,45) dapat timbul pada stadium awal, tetapi asidosis dapat juga
timbul pada stadium lanjut yang berhubungan dengan peningkatan dead space dan
penurunan ventilasi alveolar. Asidosis metabolic dapat timbul pada stadium lanjut
yang berhubungan dengan peningkatan nilai laktat darah, akibat metabolisme
anaerob.
3) Tes Fungsi Paru (Pulmonary Function Test) : Compliance paru dan volume paru
menurun, terutama FRC, peningkatan dead space dihasilkan oleh pada area
terjadinya vasokonstriksi dan mirkroemboli timbul.
4) Asam laktat : didapatkan peningkatan pada kadar asam laktat.
2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Tidak efektifnya jalan nafas berhubungan dengan:
Menurunnya fungsi silia pada jalan napas (hipoperfusi)
Peningkatan jumlah/ kekentalan sekresi pulmonal
Peningkatan resistensi jalan udara (edema interstisial)
2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan :
Alveolar Hipoventilasi
Penumpukan cairan di permukaan alveoli
Hilangnya surfaktan pada permukaan alveoli
3. Risiko tinggi defisit volume cairan berhubungan dengan :
Penggunaan diuretic
Perubahan bagian cairan (kompartemental)
4. Ansietas/ ketakutan (spefisikkan), yang berhubungan dengan :
Krisis situasi
Pengobatan
Perubahan status kesehatan
Ketakutan akan mati
Faktor fisiologis (efek hipoksemia)
4. Timbang berat
4.Perubahan yang
badan setiap hari
drastis merupakan
tanda penurunan
total body water
E. EVALUASI
DX 1
Pasien dapat mempertahankan jalan nafas dengan bunyi nafas yang jernih dan ronchi (-)
Pasien bebas dari dispneu
Mengeluarkan sekret tanpa kesulitan
Memperlihatkan tingkah laku mempertahankan jalan nafas
DX 2
Pasien dapat memperlihatkan ventilasi dan oksigenasi yang adekuat
Bebas dari gejala distress pernafasan
DX 3
Pasien dapat menunjukkan keadaan volume cairan normal dengan tanda tekanan darah, berat
badan, urine output pada batas normal.
DX 4
Pasien dapat mengungkapkan perasaan cemasnya secara verbal
Mengakui dan mau mendiskusikan ketakutannya, rileks dan rasa cemasnya mulai berkurang
Mampu menanggulangi, mampu menggunakan sumber-sumber pendukung untuk memecahkan
masalah yang dialaminya
DAFTAR PUSTAKA
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. (2019). Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) Indonesia tahun 2018. In Riset Kesehatan Dasar 2018 (pp. 182–183).
https://www.litbang.kemkes.go.id/laporan-riset- kesehatan-dasar-riskesdas/
Lantu, M. G., Loho, E., & Ali, R. H. (2016). Gambaran Foto Toraks Pada Efusi Pleura Di
Bagian/Smf Radiologi Fk Unsrat Rsup Prof. Dr. R.D. Kandou Manado Periode November 2014
– Oktober 2015. E-CliniC, 4(1). https://doi.org/10.35790/ecl.4.1.2016.10966