Anda di halaman 1dari 18

ACUTE RESPIRATORY DISTRESS SYNDROME

(ARDS)

Andi Asadul Islam


Sub Bagian Bedah Saraf FK-UNHAS
Makassar

PENDAHULUAN
Adult Respiratory Distress Syndrome (ARDS) merupakan kegagalan pernafasan
yang dapat terjadi dihubungkan dengan beberapa keadaan seperti trauma, aspirasi, syok,
infeksi, baik yang terjadi pada paru maupun diluar paru (1,2)
yang ditandai oleh adanya
edema paru nonkardiogenik, kegagalan pernafasan dan hipoksemia(3,4,5).
ARDS adalah sindroma klinik akibat kerusakan paru akut, luas dan berat.
Sindroma ARDS mencakup gambaran klinik, gambaran radiologi dan gangguan fifiologi
yang berhubungan satu sama lain. North America Europa Concensus Committee
(NAECC) memberikan kriteria dalam mendiagnosa ARDS yaitu :
- Hipoksemia refrakter PaO2/FiO2 < 200 mmHg
- Infiltrat difus pada kedua paru (kurang dari 7 hari)
- Tidak ada penyakit jantung
Batas Pa < 18 mmHg atau tidak ada gangguan fungsi ventrikel kiri
Istilah Adult Respiratory Distress Syndrome pertama kali diperkenalkan oleh
Ashbaugh pada tahun 1967 setelah melakukan penelitian pada pasien dan menemukan
adanya gangguan pernafasan akut, sianosis yang refrakter pada terapi O2, penurunan
tahanan paru dan adanya infiltrat yang difus pada pemeriksaan rontgen paru . Saat ini
(5,6)

Adult Respiratory Distress Syndrome lebih dikenal sebagai Acute Respiratory Distress
Syndrome sejak ditemukan keadaan yang sama pada anak yaitu penyakit membrana
hyaline atau Neonatal Respiratory Distress Syndrome (5,6).
ARDS yang terjadi pada anak-anak hampir sama pada orang dewasa dimana
kerusakan paru terjadi kurang dari 24 – 48 jam pertama meliputi paru yang luas
(ekstensif, progresif dan bilateral)(7). Di Amerika Serikat ditemukan 150.000 – 200.000
kasus pertahun dimana sebagian besar terjadi di rumah sakit(3).

ANATOMI DAN FISIOLOGI


Untuk memahami ARDS akan sangat menolong jika kita mengerti bagaimana
anatomi dan proses fisiologi pada pernafasan.
Saluran penghantar udara hingga mencapai paru-paru adalah hidung, faring,
laring, trakhea, bronkus dan bronkiolus yang dilapisi oleh membran mukosa bersilia.
Setelah bronkiolus terminalis terdapat alveolus yang merupakan unit fungsional paru
yaitu tempat pertukaran paru.
Traktus respiratorius dibagi dalam dua bagian oleh kartilago krikoid menjadi
saluran nafas atas dan saluran nafas bawah. Bagian saluran nafas atas tidak hanya
berfungsi menyalurkan udara tetapi juga berperan dalam menghangatkan dan
melembabkan udara, penciuman dan berbicara. Partikel yang dihisap bersama udara
akan difiltrasi oleh hidung dan nasopharynx. Saluran nafas bawah meliputi trakhea,
bronkus dan percabangannya menyalurkan udara ke dan dari alveoli untuk dipertukarkan.
Menurut fungsinya, traktus respiratorius dibagi menjadi bagian konduksi yang berfungsi
menyalurkan udara dari hidung sampai bronkiolus terminalis dan bagian respiratorius
yang berfungsi untuk pertukaran udara, mulai dari bronkiolus respiratorius sampai saccus
alveolus.
Jalan nafas dilapisi oleh epitel bersilia yang mensekresi mukus. Epitel pada
trakhea dan bronkus adalah epitel pseudostratified bersilia. Ketinggian epitel berkurang
sejalan dengan semakin mengecilnya saluran nafas hingga bronkiolus terminalis hanya
dilapisi oleh selapis sel kuboid. Pada bronkiolus respiratorius, epitel bersilia menjadi
lebih tipis dan berlanjut hingga ke duktus alveolar dan alveolus(6).
Sel bersilia menutupi seluruh permukaan saluran nafas. Silia ini terus menerus
bergerak dengan kecepatan 10 – 20 kali per menit dan arah kekuatan bergeraknya selalu
mengarah ke faring. Dengan demikian silia dalam paru menyapu ke arah atas, sedangkan
dalam hidung menyapu kearah bawah. Gerakan menyapu yang terus menerus
menyebabkan muskus mengalir dengan lambat pada kecepatan kira-kira 1 cm per menit
ke arah faring. Kamudian mukus dan partikel-partikel yang dijeratnya tertelan atau
dibatukkan keluar.
Alveolus pada hakekatnya merupakan suatu gelembung gas yang dikelilingi oleh
jalinan kapiler, maka batas antara cairan dan gas membentuk suatu tegangan permukaan
yang cenderung mencegah pengembangan pada waktu inspirasi dan cenderung kolaps
pada waktu ekspirasi. Alveolus dilapisi oleh surfaktan yang dapat mengurangi tegangan
permukaan dan mencegah kolaps pada waktu ekspirasi. Defisiensi surfaktan dianggap
sebagai faktor penting dalam patogenesis penyakit paru(9).
Proses fisiologi pernafasan terjadi ketika oksigen dipindahkan dari udara kedalam
jaringan dan karbondioksida dikeluarkan keudara ekspirasi. Dalam proses ini terdapat
tiga tahap yaitu(9) :
1. Ventilasi, yaitu masuknya campuran gas-gas kedalam dan keluar paru-paru.
2. Transportasi, terdiri dari beberapa aspek :
a. Difusi gas-gasa antara alveolus dan kapiler paru-paru (respirasi eksterna)
dan antara darah sistemik dan sel-sel jaringan
b. Distribusi darah dalam sirkulasi pulmoner dan penyesuaiannya dengan
distribusi udara dalam alveolus-alveolus dan
c. Reaksi kimia dan fisika dari oksigen dan karbondioksida dengan darah.
3. Respirasi sel atau respirasi interna yaitu saat dimana metabolit dioksidasi untuk
mendapatkan energi dan karbondioksida terbentuk sebagai sampah metabolisme
sel dan dikeluarkan oleh paru-paru.

Berkaitan dengan penyelidikan fisiologi pernafasan dikenal uji fungsi paru dalam
dua kategori yaitu yang berhubungan dengan ventilasi paru dan dinding dada dan uji
yang berhubungan dengan pertukaran gas. Uji fungsi ventilasi paru mengukur volume
dan tekanan paru dalam keadaan statis dan dinamis(9).
PATOFISIOLOGI
Mekanisme terjadinya ARDS masih belum jelas sebab bermacam-macam gejala
dapat berkembang menjadi sindrom klinis dan patofisiologis yang sama dan ARDS di
lain pihak menjadi bagian dari Multiple Organ Dysfunction Syndrome (MODS)(3,8).
Dalam keadaan normal terdapat mediator kimiawi yang dapat berasal dari plasma
maupun dari sel sendiri yang tersimpan dalam granula interseluler dimana untuk
melaksanakan aktifitas biologiknya mediator ini harus berikatan dengan reseptor spesifik
pada sel target demikian pula pada saluran pernafasan. Adanya inflamasi menyebabkan
makrofag alveolar mensekresi sitokin, interleukin 1, 6, 8 dan 10 (IL-1,6,8 dan 10) dan
Tumor Nekrosis Factor  (TNF ) yang bertindak menstimulasi kemotaksis dan aktivasi
netrofil. Makrofag juga mengekskresi sitokin yang lain termasuk IL-1, 6 dan 10. IL-1
juga dapat menstimulasi produksi matriks ekstraseluler pada fibrobitas.
Netrofil yang teraktivasi akan beragregasi dan melekat pada sel endotel dan
membebaskan oksidasi, protease, leukotriene dan molekul pro inflamasi yang lain seperti
Platelet Activating Factor (PAF) yang menyebabkan gangguan koagulasi. Toksin-toksin
ini menyebabkan kerusakan akut dari sel pneumosit I sehingga membrana alveolar kapler
kehilangan sifat permeabilitasnya terhadap protein plasma. Sementara kerusakan sel
pnemosit II menyebabkan alveolar kehilangan kemampuan untuk membentuk
surfaktan(6,7).
Kerusakan endotel berakibat pada peningkatan permeabilitas kapiler alveolar
sehingga tidak terdapat keseimbangan antara tekanan onkotik (osmotic) dan hidrostatik
antara kapiler paru dan alveoli dimana cairan yang kaya protein keluar dari pembuluh
darah ke interstitial sehingga tekanan onkotik intravaskular menurun dan tekanan onkotik
ekstravaskular meningkat disertai peningkatan tekanan hidrostatik intravaskular akibat
vasodilatasi yang menyebabkan peningkatan kandungan cairan di jaringan interstitial
antara kapiler dan alveoli. Keadaan ini dapat berlanjut menjadi resolusi lengkap,
penyembuhan dengan jaringan ikat dan inflamasi kronis.
Proses terjadinya kerusakan difus pada alveoli dapat dibagi dalam 4 fase sebagai
berikut :
a. Fase laten
Fase ini berlangsung beberapa jam sampai beberapa hari dengan tidak terdapatnya
kaluhan klinis, pada fase ini terdapat pengaliran cairan limfe.
b. Fase edema interstitial
Ditandai dengan kerusakan kapiler dan terdapatnya porus sehingga membrana
basalis alveolar lebih permeable untuk protein akibatnya protein masuk dalam
lapisan interstitial. Terjadilah edema koloid terutama intraseptal yang ditandai
dengan terdapatnya garis Kerley.
c. Fase edema intra-alveolar
Dalam fase ini sakus alveolares penuh dengan protein. Hal ini disebabkan oleh
karena kerusakan pneumosit tipe I yang menyebabkan meningginya permeabilitas
kapiler terhadap protein. Sedangkan rusaknya pneumosit II menyebabkan
berkurangnya surfaktan sehingga terjadi atelektasis paru.
d. Fase subakut atau kronik
Bila terjadi penyembuhan maka protein plasma, debris sel, fibrin merangsang
invasi sel-sel fibroblas dan terbentuklah membrana hialin.
Dalam masa penyembuhan epitel alveolus mengalami repopulasi melalui
proliferasi dan diferensiasi alveolar tipe II seperti ditunjukkan pada gambar diatas dimana
terjadi resorpsi cairan pada alveolar yang edema ditujukan pada bagian dasar alveolus
dengan sodium dan klorida yang telah ditransport sepanjang aspeks membran sel tipe II.
Protein soluble mungkin dibersihkan secara primer oleh difusi paraseluler dan sekunder
oleh endositosis sel epitel alveolar. Makrofag mengembalikan protein insoluble dan
netrofil apoptosis dengan fagositosis. Pada sisi kanan menunjukkan remodeling dan
resolusi jaringan granulasi intraalveolar dan jaringan ikat interstitial.
Patogenesis terjadinya ARDS dapat kita gambarkan sebagai berikut :

Inflamasi, Jejas langsung pada endotel, jejas lainnya

Faktor kemotaksis

Aktivasi dari leukosit polimorfonuklear

Radikal O2 toksik Enzim degradatif Metabolik Gannguan koagulasi


Asam arakidonat

Peningkatan permeabilitas kapiler

Destruksi jaringan

Edema paru

Resolusi lengkap Penyembuhan dengan fibrosis Inflamasi Kronis


FAKTOR PREDISPOSISI
Beberapa faktor diyakini sangat erat hubungannya dengan proses terjadinya
ARDS. Adapun faktor predisposisi terjadinya ARDS adalah (1,2,4,8) :
Infeksi
Sepsis
Pneumonia (apapun penyebabnya)
Trauma
Emboli
Contusio paru
Trauma lain selain trauma dada (termasuk trauma pada kepala)
Aspirasi
Aspirasi isi lambung
Aspirasi air pada kasus tenggelam
Aspirasi hidrokarbon
Overdosis obat
Heroin dan golongan opium
Salisilat
Propoxyphene
Barbiturat
Inhalasi toxin
O2 (konsentrasi tinggi)
Asap rokok
Bahan kimia korosif
Kelainan darah
Koagulasi intravaskular
Transfusi darah yang massif
Kelainan metabolik
Pankreatitis
Uremia
Penyebab lain
Peningkatan tekanan intrakranial
Ekslampsia
Penyakit jantung

Dari beberapa faktor predisposisi diatas sepsis, trauma, aspirasi isi lambung pneumonia
dan transfusi darah yang massif merupakan penyebab tersering terjadinya kasus ARDS.
1. Sepsis
Sepsis paling sering ditemukan bersamaan dengan ARDS pada pasien di rumah
sakit, pada pasien trauma sepsis sering berkembang bersama dengan ARDS
setelah 48 jam atau lebih. Sepsis mendapat perhatian khusus sebab melibatkan
mediator-mediator sirkulasi meliputi interleukin dan respon-respon lain dari
infeksi yang berperan serta dalam terjadinya ARDS(1).
2. Aspirasi isi lambung
Aspirasi isi lambung dapat terjadi pada saat muntah atau pada saat pemasangan
intubasi dimana mekanisme perlindungan jalan nafas terganggu. Meskipun
diduga bahwa asam lambung merupakan penyebab primer jejas paru penelitian
lain menyatakan bahwa bakteri, partikel bahan makanan dan enzim-enzim
lambung juga turut berperan. Netralisasi asam lambung tidak mencegah atau
menghambat proses kerusakan pada paru(1).
3. Trauma
Trauma adalah faktor predisposisi yang sering pada ARDS meskipun mekanisme
pasti belum jelas. Trauma langsung pada dinding dada menyebabkan kontusio
paru dan perdarahan paru yang menyebabkan pertukaran gas terganggu,
atelektasis dan selanjutnya terjadi kerusakan paru(1).
4. Transfusi
Transfusi berulang merupakan salah satu faktor resiko penting pada ARDS (5).
Walaupun transfusi darah berhubungan dengan ARDS, kebutuhan untuk transfusi
bergantung pada beratnya trauma. Pasien dengan kebutuhan transfusi besar tanpa
trauma mempunyai resiko tinggi untuk mengalami ARDS (1,5).
5. Faktor Resiko
Merokok sigaret dapat meningkatkan resiko edema paru, peningkatan
permeabilitas dan perdarahan alveolar. Demikian pula dengan pemakai alkohol
dan overdosis penggunaan narkotika (1,5).

GAMBARAN KLINIK
Gambaran klinis dini seringkali ditemukan takipnea dan hipoksemia yang
progresif pada pasien dengan predisposisi ARDS. Meskipun demikian hal ini tidak
spesifik untuk ARDS dan dapat ditemukan pada edema paru dengan berbagai
penyebab (4). Dalam pemeriksaan maka akan ditemukan pasien dengan (3) :
- Takipnea hampir ditemukan pada semua pasien
- Sianosis
- Takhikardi
- Hiperventilasi
- Peningkatan kerja otot pernafasan
- Agitasi

DIAGNOSIS
Diagnosis dini sukar untuk ditegakkan baik dari pemeriksaan faal paru maupun
dari pemeriksaan radiologik. Tiap pasien dengan predileksi terdapatnya ARDS harus
dicurigai ARDS bila pada pemeriksaan radiologi infiltrat yang luas dimana tidak terdapat
pneumonia (7).
Penekanan diagnosis berdasarkan :
1. Anamnesis
Riwayat penyakit, dapat dibagi atas dua, yaitu :
o Pasien dengan paru yang normal, terdapat kecurigaan apabila terdapat
faktor predisposisi yang telah diterangkan diatas
o Pada paru yang tidak normal baik bagian yang dead space maupun bagian
fungsional. Kecurigaan ditegakkan atas dasar :
a. Perubahan klinik yang tiba-tiba
b. Perburukan keadaan setelah pemberian O2 dengan dosis tinggi
c. Perburukan keadaan setelah keadaan antara lain setelah memakan obat
tidur, setelah trauma toraks.
2. Pemeriksaan Fisik
a. Perubahan pada sistem respirasi
Ditandai dengan memburuknya jalan nafas yang disebabkan oleh berbagai
faktor, gangguan sirkulasi pada unit paru yang turut memperburuk
kelainan perfusi
b. Perubahan pada sistem kardiovaskuler
Kegagalan pernafasan dapat menyebabkan terjadinya aritmia
c. Perubahan pada susunan saraf pusat
Terdapatnya vasodilatasi dan bertambahnya pengaliran darah serebral
merupakan kompensasi. Akan tetapi pada fase selanjutnya terjadi
penurunan aliran darah serebral dengan gejala sakit kepala, kelainan
mental, flapping tremor, konvulsi dan koma.
d. Pengaruh pada faal ginjal
3. Pemeriksaan penunjang
o Pemeriksaan Laboratorium
 Pemeriksaan rutin : darah rutin, urine rutin, pemeriksaan fungsi
hati dan ginjal diperlukan untuk penegakan diagnosis (1,3).
 Analisa gas darah adalah pemeriksaan laboratorium terpenting
untuk mengetahui adanya hipoksemia. PO2 seringkali menurun
ketika pasien mendapat suplai O2 dan meskipun diberikan O2 100%
tetapi tidak meningkatkan PaO2 60 – 100 mmHg. pH arteri
mungkin tinggi, normal atau rendah tergantung pada keberhasilan
pasien mempertahankan PaCO2 pada pasien dengan penyakit paru
berat dan adanya hipotensi serta asidosis metabolik (1).
 Pemeriksaan elektrolit
Konsekuensi dari ARDS dengan disfungsi sistem organ yang
multiple adalah sering terlihat pada hasil laboratorium yang
memperlihatkan gangguan fungsi ginjal dan gangguan
keseimbangan elektrolit.
o Pemeriksaan Radiologis
 Pemeriksaan x-ray toraks, beberapa jam setelah presipital
foto dada mungkin masih normal tetapi dalam 4 – 24 jam
kemudian ditemukan adanya infiltrat yang difus bilateral
menunjukkan adanya edema paru(3,6).
 CT scan dada dapat menolong tetapi tidak terlalu penting
dalam penegakan diagnosis(3). Derajat kerusakan yang
terlihat pada CT scan dihubungkan dengan pertukaran gas
dan tahanan paru. CT dapat menunjukkan adanya
barotrauma dan melokalisir infeksi(1).
 Echocardiography dapat menolong untuk menentukan
etiologi edema paru
 Bronchoscopi dapat menolong untuk mengidentifikasikan
kelainan paru
 Angiografi pulmoner membantu dalam menentukan
etiologi edema paru

DIAGNOSIS BANDING
Edema cardio-pulmoner sering sulit dibedakan dengan ARDS. Hal ini sulit ketika
ARDS terlihat bersamaan dengan terjadinya overload cairan atau payah jantung
kongestif. Syok septic ada karena penekanan aktivitas miokard oleh endotoksin sirkulasi
atau sitokin(1). Adapun perbedaan antara edema paru cardiogenik dan nonkardiogenik
adalah sebagai berikut :
Cardiogenik Nonkardiogenik
- Riwayat penyakit jantung - tidak ada
- ada bunyi jantung tiga - tidak ada
- cardiomegali - normal
- distribusi infiltrat sentral - distribusi infiltrat perifer
- pelebaran pedikel pembuluh darah - normal
- tekanan arteri pulmoner meningkat - normal atau rendah
- balans cairan positif - negatif

TERAPI
Terapi ARDS bertujuan untuk mengobati penyakit penyebab, meninggikan
permeabilitas membrana alveolar kapiler dan mengurangi kelainan patologis paru.
A. Non Farmakologi
 Oksigen
Penanganan hipoksemia dimulai dengan pemberian O2 100% dan konsentrasi O2
dikurangi dengan tujuan mempertahankan PaO2 > 60 mmHg (saturasi O2 sekitar
90%)(1). Dalam keadaan emergensi pemberian O2 tanpa mengkhawatirkan
konsentrasi yang digunakan, setelah kondisi pasien stabil konsentrasi diturunkan
sampai batas terendah yang dapat mengatasi hipoksia. Ada beberapa metode yang
dapat digunakan dalam pemberian O2 pada pasien hal ini tergantung pada
penyebab dan kenyamanan pasien.
o Kanula nasal
o Masker
o Endotrakeal atau trakeostomi tube(8).
 Positif End-Ekspiratory Pressure (PEEP)
Ketika PEEP diaplikasikan, katup udara dan katup yang lain ditutup saat tekanan
dalam sistem turun kebawah yang diettapkan oleh klinisi. PEEP digunakan untuk
meningkatkan volume paru dan menjaga alveoli tetap terbuka(12). Meskipun
demikian terdapat efek yang merugikan dari penggunaan PEEP yaitu
berkurangnya cardiac output. Adapun mekanisme berkurangnya cardiac output
akibat PEEP adalah sebagai berikut :
1. Aliran vena berkurang
2. Gerakan ventrikel terhambat
3. Resistensi pembuluh darah paru meningkat
4. Komplians ventrikel kiri berkurang
Tujuan PEEP adalah memfasilitasi transfer O 2 melintasi paru tanpa kelainan
sistemik dalam hantaran O2. Saturasi O2 yang adekuat sering dicapai dengan
penggunaan PEEP yang terndah dan kontinyu(1).
 Ventilasi mekanik
Strategi perlindungan paru merupakan dasar dari sebagian besar ventilasi mekanik.
 Strategi volume tidal rendah
Mengurangi volume tidal menyebabkan sedikit atau bahkan tidak ada
perubahan dalam rasio dead space/tidal volume dan mungkin
menghasilkan peningkatan hantaran O2. Karena kerusakan paru yang
dihubungkan dengan volume inspirasi paru, PEEP yang tinggi dapat
menolong jika volume tidal dibatasi(1).
 Ventilasi volume-preset
Umumnya pasien diberikan ventilasi dengan ventilator biasa yaitu
volume preset-positif ventilator. Volume tidal pada awalnya diset
pada 6 ml/kgBB ideal dan kecepatan aliran inspirasi umumnya 1 – 1,2
L/s karena membutuhkan aliran udara yang tinggi(1).
 Pressure-Control Ventilation (PCV)
PCV mungkin merupakan suatu pilihan yang menarik pada ARDS
dalam penanganan ARDS sebagian besar karena batas maksimum
tekanan udara positif tidak boleh dilewati. Keadaan ini tidak secara
otomatis memberikan keuntungan seperti pada strategi volume tidal
rendah, kecuali juka tekanan maksimum diatur dan volume tidal
dikurangi. Di lain pihak, PCV secara teori mempunyai potensi untuk
membengkitkan aliran udara inspirasi maksimum pada awal
inspirasi(1).
 Inversi Ratio Ventilasi (IRV)
Pada pasien ARDS dengan hipoksemia refrakter, IRV dapat
digunakan. Waktu inspirasi dibuat memanjang dari waktu ekspirasi
dengan menurunkan aliran udara inspirasi, inspirasi dipertahankan
untuk waktu yang ditetapkan sebelum ekspirasi berlangsung atau jika
memakai ventilator time-cycled waktu inspirasi langsung
ditingkatkan(1).
 Inhalasi Nitric Oksida
Inhalasi Nitric Oksida dapat berperan sebagai vasodilator paru yang selektif ketika
diberikan pada konsentrasi 5 – 80 ppm(12). Laju nitrit oksida mengikat hemoglobin
yang dengan afinitas tinggi mengatasi vasodilatasi sistemik. Penelitian Rossaint
mencatat pemberian nitrit oksida pada konsentrasi 18 ppm pada beberapa pasien
ARDS secara signifikan mereduksi tekanan arteri pulmoner dan shunting
intrapulmonary ketika rasio PaO2 ke FiO2 meningkat dan tekanan rata-rata arteri
dan cardiac output tidak berubah. Meskipun demikian masih diperlukan penelitian
yang lebih lanjut sebelum merekomendasikan pemberian inhalasi nitrit oksida
secara rutin sebagai terapi dalam ARDS(12,13).

B. Terapi Farmakologi
Tidak ada terapi farmakologi yang baku untuk ARDS tetapi pemberian obat untuk
mengintervensi stadium dini dari kerusakan paru akut melalui penghambat jalur
cytokin, menghambat kerja endotoksin, mengurangi inflamasi yang tidak spesifik dan
mencegah kerusakan oleh oksidan. Beberapa golongan yang diberikan pada ARDS
adalah :
a. Surfaktan eksogen
Pada pasien dengan neonatal respiratory distress syndrome, dapat
memiliki surfaktan yang normal tetapi seringkali mengalami disfungsi.
Telah disimpulkan bahwa suraktan eksogen dapat meningkatkan stabilitas
ruang udara pada pasien dengan ARDS dan juga dapat sebagai anti
bakterial dan berperan serta dalam pembentukan imunitas(12,15).
b. Kortikosteroid
Pemberian kortikosteroid pada pasien dengan sepsis dan ARDS
memberikan beberapa hasil yang menguntungkan. Pada awal penyakit
pemberian kortikosteroid dosis tinggi tidak memberikan keuntungan dan
lebih bermanfaat pada fase fibroproliferatif(12).
c. Anti oksidan
Asetil sistein bertindak sebagai penghambat radikal bebas oksigen dan
sebagai prekursor glutathione. Meskipun demikian penelitian belum
merekomendasikan pemberian asetil sistein sebagai terapi dalam
menangani ARDS(12).
d. Ketokonazole
Ketokonazole adalah inhibitor poten dari sintesis tromboksan dan
menginhibisi biosintesis leukotriene. Dua penelitian menunjukkan bahwa
ketokonazole dapat mencegah ARDS pada pasien berisiko (sepsis atau
multiple trauma) tetapi masih dibutuhkan penelitian lebih lanjut sebelum
menetapkan penggunaan ketokonazole sebagai terapi profilaksis untuk
ARDS(12).
e. Antibiotik
Meskipun belum pernah dilakukan penelitian secara khusus pada ARDS
telah direkomendasikan pemberian antibiotik pada fase akut penyakit jika
penyebabnya diduga sepsis. Pada fase lanjut pemberian antibiotik sesuai
dengan hasil kultur kuman(12).
PROGNOSIS
Pada kasus ARDS angka kematian rata-rata 60%, kematian biasanya disebabkan
oleh sepsis atau kegagalan organ yang multiple. Pasien yang dapat bertahan biasanya
memiliki paru-paru yang mengalami fibrosis dan penyakit paru yang restriktif. Ada
beberapa faktor yang menentukan buruknya prognosis pada ARDS yaitu(7) :
1. Faktor kausal
2. Faktor penyakit primer
3. Berapa lama proses ini terjadi
Makin lama proses meningkatnya CO2 dan menurunnya O2 makin buruk
pengaruhnya terhadap tubuh. Makin cepat suatu proses maka makin buruk
pengaruhnya terhadap tubuh karena tubuh tidak dapat mengatasi keadaan
sekalipun tekanan belum mencapai 50 mmHg.
4. Faktor fasilitas
5. Faktor komplikasi
DAFTAR PUSTAKA

1. Sue YD., Lewis DA. Respiratory Failure. In : Bongard FS, Sue YD (eds). Current
Critical Care Diagnosis & Treatment. Lange Medical Books/ Mc Graw Hill :
2002. p : 321-37
2. ----, Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS). Available from The Doe
Report Medical Reference Library. Http.//Acute Respiratory Distress Syndrome
(ARDS).htm Accessed on 20 June 2004. p : 1-7
3. Conrad, Steven MD. Respiratory Distress Syndrome, Adult. Available from :
http://www.emedicine.com Accessed on June 20, 2004. p : 1-8
4. -----, ARDS (adult respiratory distress syndrome) Available from :
http://healthcenter-generalencyclopedia-ARDS.htm Accessed on June 20, 2004.
p : 1-4
5. -----, ARDS (adult respiratory distress syndrome) Available from :
http://THEmerckmanual.Sec6,Ch67.AdultRespiratoryDistressSyndrome.htm
Accessed on June 20, 2004. p : 1-6
6. Rothenhaus, Todd MD. Acute Respiratory Distress Syndrome. Available from :
http://www.emedicine.com Accessed on June 20, 2004. p : 1-7
7. Ware LB., MD. Matthay MA., MD. The Acute Respiratory Distress Syndrome
Available from : http://TheNewEnglandMedicalJournal ---- The Acute
Respiratory Distress Syndrome.htm.Accessed on June 20, 2004. p : 1-17
8. Rab, T. Pengatasan Kritis pada Kegawatan Respirasi dalam Agenda Gawat
darurat. Bandung : Penerbit Alumni ; 1998 : hal 529-73
9. Murray, JF. Respiratory Failure in Cecil Textbook of Medicine Volume I.
California : WB Saunders Company; 1989. page 453-9
10. Wilson, LM. Kegagalan Pernafasan dalam Patofisiologi Pernafasan. Jakarta :
EGC; 1992 : hal 739-40
11. Schwartz, SI (ed) Principles of Surgery. Fifth edition. Mc Graw Hill : 1989. p :
151-9
12. ------, Adult Respiratory Distress Syndrome (ARDS0 Available from : Amersham
Health Adult Respiratory Distress Syndrome (ARDS).htm. Accessed June 20,
2004. p : 1-3
13. Kollef MH. Schuester DP. The Acute Respiratory Distress Syndrome. Available
from : http://TheNewEnglandMedicalJournal – The Acute Respiratory Distress
Syndrome.htm.Accessed on June 20, 2004. p : 1-4
14. Rossaint R and co. Inhaled Nitric Oxide for the Acute Respiratory Distress
Syndrome. Available from : http://TheNewEnglandMedicalJournal – Inhaled
Nitric Oxide for the Acute Respiratory Distress Syndrome.htm. Accessed on June
20, 2004. p : 1-10
15. Amin Z. Dan Ryanita R. Penatalaksanaan Terkini ARDS. Available from :
http://www.interna.or.id/interna/artikel/darurat2002/dar2_01.htm. Accessed on
July 2004. p : 1-7
16. Udobi KF. Touijer K. Acute Respiratory Distress Syndrome. Available from :
http://www.aafp.org/afp/20030115/315.htm. Accessed on July 8, 2004. p ; 1-8

Anda mungkin juga menyukai