Anda di halaman 1dari 29

LAPORAN PENDAHULUAN

RESPIATORY DISTRES SYNDROME (RDS) DI RUANG


PERINATALOGI

Di Buat Oleh :

Ali Ababil (PO71202220006)

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

POLTEKKES KEMENKES JAMBI JURUSAN KEPERAWATAN

TAHUN AJARAN 2022/2023

1
PEMBAHASAN
1. Definisi
Sindroma gagal nafas (respiratory distress sindrom, RDS) adalah istilah
yang digunakan untuk disfungsi pernafasan pada neonatus. Gangguan ini
merupakan penyakit yang berhubungan dengan keterlambatan perkembangan
maturitas paru atau tidak adekuatnya jumlah surfaktan dalam paru. (Marmi &
Rahardjo,2012).
Syndrome distress pernapasan adalah perkembangan yang imatur pada
sistem pernapasan atau tidak adekuatnya jumlah surfaktan dalam paru. RDS
dikatakan sebagai hyaline membrane disease (HMD) (Suriadierita Yulianni,2006).
Sindrom gawat napas RDS (Respiratory Distress Syndrom) adalah istilah
yang digunakan untuk disfungsi pernapasan pada neonatus. Gangguan ini
merupakan penyakit yang berhubungan dengan keterlambatan perkembangan
maturitas paru. (Surasmi, dkk, 2013).
Jadi dapat disimpulkan bahwa Respiratory Distress Syndrom atau sindrom
gawat nafas adalah gangguan pada sistem pernafasan yang disebabkan
keterlambatan perkembangan maturitas paru atau tidak adekuatnya jumlah
surfaktan dalam paru.

(Gambar 2, respiratory distress sindrom, RDS)


2. Anatomi Fisiologi Pernafasan

Sistem pernapasan termasuk hidung , rongga hidung dan sinus , faring ,


laring (kotak suara),trakea (tenggorokan ) , dan saluran-saluran yang lebih kecil
yang mengarah ke pertukaran gas di permukaan paru-paru . Saluran pernapasan
terdiri dari saluran udara yang membawa udara dari dan ke permukaan tersebut .

2
Saluran pernapasan dapat dibagi menjadi bagian konduksi dan bagian
pernapasan . Bagian konduksi terdapat dari jalan masuk udara dihidung ke rongga
hidung ke bronkiolus terkecil dari paru-paru . Bagian pernapasan termasuk
saluran bronkiolus pernapasan dan kantung udara halus , atau alveoli ( al - VE ) ,
di mana terjadi pertukaran gas . Sistem pernapasan termasuk saluran pernapasan
dan jaringan terkait , organ , dan struktur pendukung . Saluran-saluran kecil ini
menyesuaikan kondisi udara dengan menyaring , pemanasan , dan melembabkan
itu , sehingga melindungi bagian konduksi yang peka dan melindungi pertukaran
sistem pernapasan bawah dari partikel-partikel , patogen , dan lingkungan ekstrem
.( Martini et al 2012)

(Gambar 2, Anatomi pernafasan)


Saluran pernafasan dari atas kebawah dapat dirinci sebagai berikut, rongga
hidung, faring, laring, trakea, percabangan bronkus, paru- paru
(bronkiolus,alveolus). Rongga hidung dilapisi selaput lender yang sangat kaya
akan pembuluh darah, dan bersambung dengan lapisan faring dan selaput lender.
Faring adalah pipa berotot yang berjalan dari dasar tengkorak sampai
persambungannya dengan oesofagus pada ketinggian tulang rawan krikoid. Faring
terbagi menjadi 3 bagian yaitu nasofaring, orofaring dan laringofaring kemudian
Laring, laring berperan untuk pembentukan suara dan untuk melindungi jalan
nafas terhadap masuknya makanan dan cairan. Trakea, merupakan lanjutan dari
laring yang dibentuk oleh 16 sampai 20 cincin kartilago yang terdiri dari
tulangtulang rawan yang terbentuk seperti C. Bronkus merupakan percabangan

3
trachea. Setiap bronkus primer bercabang 9 sampai 12 kali untuk membentuk
bronki sekunder dan tersier dengan diameter yang semakin kecil. Struktur
mendasar dari paru-paru adalah percabangan bronchial yang selanjutnya secara
berurutan adalah bronki,bronkiolus,bronkiolus terminalis, bronkiolus respiratorik,
duktus alveolar, Nose Nasal Cavity Oral Cavity Larynx Trakhea Pharynx Right
Primary Bronchus Lungs 8 dan alveoli. Dibagian bronkus masih disebut
pernafasan extrapulmonar dan sampai memasuki paru-paru disebut
intrapulmonary. Terakhir adalah Paru-paru yang berada dalam rongga torak,yang
terkandung dalam susunan tulang-tulang iga dan letaknya disisi kiri dan kanan
mediastinum yaitu struktur blok padat yang berada dibelakang tulang dada. Paru-
paru berbentuk seperti spins dan berisi udara dengan pembagian udara Antara
Paru kanan, yang memiliki tiga lobus Dan paru kiri dua lobus (Setiadi, 2007).
3. Etiologi
Menurut (Marmi & Rahardjo, 2012) penyebab RDS (Respiratory Distress
Syndrome) pada neonatus yaitu terdiri dari:
a. Faktor ibu
Faktor ibu meliputi hipoksia pada ibu, usia ibu kurang dari 20 tahun atau
lebih dari 35 tahun, gravida empat atau lebih, sosial ekonomi rendah,
maupun penyakit pembuluh darah ibu yang mengganggu pertukaran gas
janin seperti hipertensi, penyakit jantung, diabetes melitus, dan lain-lain.
b. Faktor plasenta
Faktor plasenta meliputi solusio plasenta, perdarahan plasenta, plasenta
kecil, plasenta tipis, plasenta tidak menempel pada tempatnya.
c. Faktor janin
Faktor janin atau neonatus meliputi tali pusat menumbung, tali pusat
melilit leher, kompresi tali pusat antara janin dan jalan lahir,gemeli,
prematur, kelainan kongenital pada neonatus dan lain-lain.
d. Faktor persalinan
Faktor persalinan meliputi partus lama, partus dengan tindakan dan lain-
lain.
Sindroma gagal nafas adalah perkembangan imatur pada sistem pernafasan
atau tidak adekuatnya jumlah surfaktan pada paru-paru-paru. Sementara afiksia

4
neonatorum merupakan gangguan pernafasan akibat ketidak mampuan bayi
beradaptasi terhadap asfiksia. Biasanya masalah ini disebabkan karena adanya
masalah-masalah kehamilan dan pada saat persalinan.
Menurut Suriadidan Yulianni(2010)etiologi dari RDS yaitu:
a) Ketidakmampuan paru untuk mengembang dan alveoli terbuka.
Alveoli masih kecil sehingga mengalami kesulitan berkembang dan
pengembangan kurang sempurna.Fungsi surfaktan untuk menjaga agar
kantong alveoli tetap berkembang dan berisi udara,sehingga pada bayi
premature dimana surfaktan masih belum berkembang menyebabkan daya
berkembang paru kurang dan bayi akan mengalami sesak nafas.
b) Membran hialin berisi debris dari sel yang nekrosis yang tertangkap dalam
proteinaceous filtrate serum (saringan serum protein),difagosit oleh
makrofag.
c) Berat badan bayi lahir kurang dari 2500 gram.
d) Adanya kelainan di dalam dan diluar paru.Kelainan dalam paru yang
menunjukan sindrom ini adalah pneumothoraks/ pneumomediastinum
,penyakit membran hialin (PMH).
e) Bayi premature atau kurang bulan.
Diakibatkan oleh kurangnya produksi surfaktan.Produksi surfaktan ini
dimulai sejak kehamilan minggu ke-22,semakin muda usia
kehamilan,maka semakin besar pula kemungkinan terjadi RDS.
4. Klasifikasi 
Dibagi menjadi dua stadium, yaitu :
a. Eksudatif
Ditandai dengan adanya perdarahan pada permukaan parenkim paru,
edema interstisial atau elveolar, penekanan pada bronkiolus terminalis, dan
kerusakan pada sel alveolar tipe I (Somantri, 2009).
b. Fibroproliferatif
Ditandai dengan adanya kerusakan pada sel alveolar tipe II, peningkatan
tekanan puncak inspirasi, penurunan compliance paru, hipoksemia, penurunan
fungsi kapasitas residual, fibrolisis interstisial, dan peningkatan ruang rugi
ventilasi(Somantri, 2009).

5
Pada foto thorak menurut kriteria Bomsel ada 4 stadium RDS yaitu :
1)  Stadium 1
Terdapat sedikit bercak retikulogranular dan sedikit bronchogram udara
2) Stadium 2
Bercak retikulogranular homogen pada kedua lapangan paru dan gambaran
air broncogram udara terlihat lebih jelas dan meluas sampai ke perifer menutupi
bayangan jantung dengan penurunan aerasi paru.
3) Stadium 3
Kumpulan alveoli yang kolaps bergabung sehingga kedua lapangan paru
terlihat lebih opaque (white lung) dan bayangan jantung hampir tidak terlihat,
bronchogram udara lebih luas.
4)  Stadium 4
Seluruh thorak sangat opaque (white lung) sehingga jnatung tidak dapat terlihat.
(Warman, Waskito, & Romadhon, 2012).
5. Patofisiologi
RDS terjadi atelektasis yang sangat progresif, yang disebabkan kurangnya
zat yang disebut surfaktan. Surfaktan adalah zat aktif yang diproduksi sel epitel
saluran nafas disebut sel pnemosit tipe II. Zat ini mulai dibentuk pada kehamilan
22-24 minggu dan mencapai max pada minggu ke 35. Zat ini terdiri dari fosfolipid
(75%) dan protein (10%). Peranan surfaktan ialah merendahkan tegangan
permukaan alveolus sehingga tidak terjadi kolaps dan mampu menahan sisa udara
fungsional pada sisa akhir expirasi. Kolaps paru ini akan menyebabkan
terganggunya ventilasi sehingga terjadi hipoksia, retensi CO2 dan asidosis.
Hipoksia akan menyebabkan terjadinya :
1. Oksigenasi jaringan menurun>metabolisme anerobik dengan penimbunan
asam laktat asam organic>asidosis metabolic.
2. Kerusakan endotel kapiler dan epitel duktus alveolaris>transudasi kedalam
alveoli>terbentuk fibrin>fibrin dan jaringan epitel yang nekrotik>lapisan
membrane hialin.
Asidosis dan atelektasis akan menyebabkan terganggunya jantun, penurunan
aliran darah keparum, dan mengakibatkan hambatan pembentukan surfaktan, yang
menyebabkan terjadinya atelektasis.
Sel tipe II ini sangat sensitive dan berkurang pada bayi dengan asfiksia pada

6
periode perinatal, dan kematangannya dipacu dengan adanya stress intrauterine
seperti hipertensi, IUGR dan kehamilan kembar.Vulnus punctum terjadi akibat
penusukan benda tajam,sehingga menyebabkan contuiniutas jaringan
terputus.Pada umumya respon tubuh terhadap trauma akan terjadi proses
peradangan atau inflamasi.Dalam hal ini adapeluang besar terjadinya infeksi
hebat.

7
WOC Respiratory Distress Syndrom
(RDS)
Kelahiran prematur

Peninggian tegangan di
MK: Ansietas Anatomi fisiologi belum Paru-paru belum permukaan alveolar
sempurna menghasilkan surfaktan
dalam jumlah cukup
Kolaps dan tidak
Keluarga merasa cemas, mampu menahan sisa
keluarga merasa bersalah, Respiratory Distress Syndrom (RDS) udara fungsional pada
keluarga merasa takut akhir espirasi

B1 (Breath) B2 (Blood) B3 (Brain) B4 (Bledder) B5 (Bowel) B6 (Bonel)

Produksi surfaktan
menurun Produksi surfaktan Sirkulasi pernafasan ↓ Perfusi ke organ Penurunan aliran Lemak
Ventilasi paru-
menurun menjadi terganggu vital paru-paru subkutan tipis
darah par terganggu
menyebabkan Defisiensi
Atelectasis paru menurunanya pertahanan diri
Atelectasis paru Kurangnya Suhu tubuh dan
otak menurun volume vaskuler Penggunaan energi lemah
oksigen ke udara berbeda
yang maksimal untuk
Kolaps dan tisdak jaringan bernafas
mampu menahan sisa kolabs Inskemia Pelepasan Kulit teraba Resiko infeksi
udara fungsiomal pada dingin
akhir espirasi vasopressin dan Refleks
hipoxia MK: gangguan reabsorbsi air dari
Ggn fungsi serebral menghisap lemah
perfusi jaringan duktus kolektivus
Difusi terganggu perifer
MK ; gangguan MK: Hiportermi
Penurunan kesadaran, Intake nutrisi tidak
pertukaran gas oliguria
kelemahan otot, adekuat
Ventilasi paru-paru
dilatasi pupil, kejang,
terganggu letargi
MK: Resiko MK: Defisit
Nafas periodik Ketidakseimbangan nutrisi
MK: Resiko
cairan
Cedera
MK ; pola nafas
tidak efektif 9
6. Manifestasi Klinis
Berat atau ringannya gejala klinis pada penyakit RDS ini sangat dipengaruhi
oleh tingkat maturitas paru. Semakin rendah berat badan dan usia kehamilan,
semakin berat gejala klinis yang ditunjukan. Gejala dapat tampak beberapa jam
setelah kelahiran. Kasus RDS kemungkinan besar terjadi pada bayi yang lahir
prematur.
Menurut (Surasmi, dkk 2013) Gejala utama Gawat napas / distress respirasi
pada neonatus yaitu :
1) Takipnea : laju napas > 60 kali per menit (normal laju napas 40 kali per
menit)
2) Sianosis sentral pada suhu kamaryang menetap atau memburuk pada 48-96
jam kehidupan dengan x-ray thorak yang spesifik
3) Retraksi : cekungan pada sternum dan kosta pada saat inspirasi
4) Grunting : suara merintih saat ekspirasi
5) Pernapasan cuping hidung
Tabel 1. Evaluasi Gawat Napas dengan skor Downes
Skor
Pemeriksaan
0 1 2
Frekuensi napas < 60 /menit 60-80 /menit > 80/menit
Retraksi Tidak ada retraksi Retraksi ringan Retraksi berat
Sianosis Tidak ada sianosis Sianosis hilangSianosis menetap
dengan 02 walaupun diberi
O2
Air entry Udara masuk Penurunan ringan Tidak ada udara
udara masuk masuk
Merintih Tidak merintih Dapat didengar Dapat didengar
dengan stetoskop tanpa alat bantu
Evaluasi: < 3 = gawat napas ringan
4-5 = gawat napas sedang
> 6 = gawat napas berat

Menurut (Manuaba, 2012) tanda-tanda yang mungkin ditunjukkan oleh bayi


yang mengalami RDS di antaranya:
1) Napas cepat
2) Lubang hidung melebar ketika bernapas

12
3) Retraksi (Ketika bayi bernapas dengan cepat, kulit tertarik di antara tulang
rusuk atau di bawah tulang rusuk).
4) Bising saat bernapas atau mendengkur.
5) Bibir, bantalan kuku, dan kulit berwarna kebiruan karena kekurangan
oksigen, yang disebut dengan  sianosis
Biasanya gejala RDS akan memburuk pada hari ketiga. Saat bayi membaik,
ia memerlukan lebih sedikit oksigen dan bantuan mekanis untuk bernapas. Gejala
RDS mungkin tampak seperti kondisi kesehatan lainnya.
7. Komplikasi

Komplikasi jangka pendek ( akut ) dapat terjadi :


1. Ruptur alveoli : Bila dicurigai terjadi kebocoran udara
( pneumothorak, pneumomediastinum, pneumopericardium, emfisema
intersisiel ), pada bayi dengan RDS yang tiba-tiba memburuk dengan
gejala klinis hipotensi, apnea, atau bradikardi atau adanya asidosis yang
menetap.
2. Dapat timbul infeksi yang terjadi karena keadaan penderita yang
memburuk dan adanya perubahan jumlah leukosit dan thrombositopeni.
Infeksi dapat timbul karena tindakan invasiv seperti pemasangan jarum
vena, kateter, dan alat-alat respirasi.
3. Perdarahan intrakranial dan leukomalacia periventrikular :
perdarahan intraventrikuler terjadi pada 20-40% bayi prematur dengan
frekuensi terbanyak pada bayi RDS dengan ventilasi mekanik.
4. PDA dengan peningkatan shunting dari kiri ke kanan merupakan
komplikasi bayi dengan RDS terutama pada bayi yang dihentikan terapi
surfaktannya.
Komplikasi jangka panjang dapat disebabkan oleh toksisitas
oksigen, tekanan yang tinggi dalam paru, memberatnya penyakit dan
kurangnya oksigen yang menuju ke otak dan organ lain.
Komplikasi jangka panjang yang sering terjadi :
1. Bronchopulmonary Dysplasia (BPD): merupakan penyakit paru
kronik yang disebabkan pemakaian oksigen pada bayi dengan masa

13
gestasi 36 minggu. BPD berhubungan dengan tingginya volume dan
tekanan yang digunakan pada waktu menggunakan ventilasi mekanik,
adanya infeksi, inflamasi, dan defisiensi vitamin A. Insiden BPD
meningkat dengan menurunnya masa gestasi.
2. Retinopathy prematur
Kegagalan fungsi neurologi, terjadi sekitar 10-70% bayi yang
berhubungan dengan masa gestasi, adanya hipoxia, komplikasi
intrakranial, dan adanya infeksi.
8. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang pada respiratory distress syndrome menurut
Warman(2012), antara lain:
1) Tes Kematangan Paru
a) Tes Biokimia
Paru janin berhubungan dengan cairan amnion,maka jumlah fosfolipid
dalam cairan amnion dapat untuk menilai produksi surfaktan,sebagai
tolak ukur kematangan paru.
b) Test Biofisika
Tes biokimia dilakukan dengan shake test dengan cara mengocok cairan
amnion yang dicampur ethanol akan terjadi hambatan pembentukan
gelembung oleh unsure yang lain dari cairan amnion seperti
protein,garam empedu dan asam lemak bebas.Bila didapatkan ring yang
utuh dengan pengenceran lebih dari 2 kali (cairan
amnion:ethanol)merupakan indikasi maturitas paru janin.Pada
kehamilan normal,mempunyai nilai prediksi positip yang tepat dengan
resiko yang kecil untuk terjadinya neonatal RDS.
2) Analisis Gas Darah
Gas darah menunjukkan asidosis metabolic dan respiratorik bersamaan
dengan hipoksia.Asidosis muncul karena atelectasis alveolus atau over
distensi jalan napas terminal.
3) Darah rutin dan hitung jenis
Leukositosis menunjukkan adanya infeksi. Neutropenia menunjukkan
infeksi bakteri. Trombositopenia menunjukkan adanya sepsis

14
4) Glukosa Darah
Menilai keadaan hipoglikemia, karena hipoglikemia dapat menyebabkan
atau memperberat takipnea.
5) Pulse Oximetry
Menilai hipoksia dan kebutuhan tambahan oksigen
6) Radiografi Thoraks
Pada bayi dengan RDS menunjukkan reticular granular atau gambaran
ground-glass bilateral,difus,air bronchograms,dan ekspansi paru yang
jelek.Gambaran air bronchograms yang mencolok menunjukkan bronkiolus
yang terisi udara didepan alveoli yang kolap.Bayangan jantung bias normal
atau membesar.Kardiomegali mungkin dihasilkan oleh asfiksi
prenatal,diabetes maternal,paten tductus arteriosus(PDA),kemungkinan
kelainan jantung bawaan.Temuan ini mungkin berubah dengan terapi
surfaktan dini dan ventilasi mekanik yang adekuat.
9. Penatalaksanaan Medis

Menurut Sudarti & Fauziah. (2013)tindakan untuk mengatasi masalah


kegawatan pernafasan meliputi :
a. Mempertahankan ventilasi dan oksigenasi adekuat.
b. Mempertahankan keseimbangan asam basa.
c. Mempertahankan suhu lingkungan netral.
d. Mempertahankan perfusi jaringan adekuat.
e. Mencegah hipotermia.
f. Mempertahankan cairan dan elektrolit adekuat.
Penatalaksanaan secara umum perawatan
a. Pasang jalur infus intravena, sesuai dengan kondisi bayi, yang paling sering
dan bila bayi tidak dalam keadaan dehidrasi berikan infus dektrosa 5 %
 Pantau selalu tanda vital
 Jaga patensi jalan nafas
 Berikan Oksigen (2-3 liter/menit dengan kateter nasal)
b. Jika bayi mengalami apneu
 Lakukan tindakan resusitasi sesuai tahap yang diperlukan
 Lakukan penilaian lanjut

15
c. Bila terjadi kejang potong kejang segera periksa kadar gula darah
d. Pemberian nutrisi adekuat
Setelah menajemen umum, segera dilakukan menajemen lanjut sesuai
dengan kemungkinan penyebab dan jenis atau derajat gangguan nafas.
Menajemen spesifik atau menajemen lanjut:
a. Gangguan nafas ringan
Beberapa bayi cukup bulan yang mengalami gangguan napas ringan pada
waktu lahir tanpa gejala-gejala lain disebut “Transient Tacypnea of the
Newborn” (TTN). Terutama terjadi setelah bedah sesar. Biasanya kondisi
tersebut akan membaik dan sembuh sendiri tanpa pengobatan. Meskipun
demikian, pada beberapa kasus. Gangguan napas ringan merupakan tanda
awal dari infeksi sistemik.
b. Gangguan nafas sedang
 Lakukan pemberian O2 2-3 liter/ menit dengan kateter nasal, bila masih
sesak dapat diberikan o2 4-5 liter/menit dengan sungkup
 Bayi jangan diberi minum
 Jika ada tanda berikut, berikan antibiotika (ampisilin dan gentamisin)
untuk terapi kemungkinan besar sepsis.
- Suhu aksiler <> 39˚C
- Air ketuban bercampur mekonium
- Riwayat infeksi intrauterin, demam curiga infeksi berat atau
ketuban pecah dini (> 18 jam)
 Bila suhu aksiler 34- 36,5 ˚C atau 37,5-39˚C tangani untuk masalah
suhu abnormal dan nilai ulang setelah 2 jam:
- Bila suhu masih belum stabil atau gangguan nafas belum ada
perbaikan, berikan antibiotika untuk terapi kemungkinan besar
seposis
- Jika suhu normal, teruskan amati bayi. Apabila suhu kembali
abnormal ulangi tahapan tersebut diatas.
 Bila tidak ada tanda-tanda kearah sepsis, nilai kembali bayi setelah 2
jam

16
 Apabila bayi tidak menunjukan perbaikan atau tanda-tanda perburukan
setelah 2 jam, terapi untuk kemungkinan besar sepsis.
 Bila bayi mulai menunjukan tanda-tanda perbaikan kurangai terapi
o2secara bertahap . Pasang pipa lambung, berikan ASI peras setiap 2
jam. Jika tidak dapat menyusu, berikan ASI peras dengan memakai
salah satu cara pemberian minum.
 Amati bayi selama 24 jam setelah pemberian antibiotik dihentikan. Bila
bayi kembali tampak kemerahan tanpa pemberian O2 selama 3 hari,
minumbaik dan tak ada alasan bayi tatap tinggal di Rumah Sakit bayi
dapat dipulangkan.
c. Gangguan nafas berat
 Amati pernafasan bayi setiap 2 jam selama 6 jam berikutnya.
 Bila dalam pengamatan ganguan nafas memburuk atau timbul gejala
sepsis lainnya. Terapi untuk kemungkinan besar sepsis dan tangani
gangguan nafas sedang dan dan segera dirujuk di rumah sakit rujukan.
 Berikan ASI bila bayi mampu mengisap. Bila tidak berikan ASI peras
dengan menggunakan salah satu cara alternatif pemberian minuman.
 Kurangi pemberian O2 secara bertahap bila ada perbaikan gangguan
napas. Hentikan pemberian O2 jika frekuensi napas antara 30-60
kali/menit.
Penatalaksanaan secara Medis
1) Perbaiki oksigenasi dan pertahankan volume paru optimal
a. Penggantian surfaktan melalui selang endotrakeal
b. Tekanan jalan napas positif secara kontinu melalui kanul nasal untuk
mencegah kehilangan volume selama ekspirasi
c. Pemantauan transkutan dan oksimetri nadi
d. Fisioterapi dadaTindakan kardiorespirasi tambahan
2) Pertahankan kestabilan suhu
3) Berikan asupan cairan, elektrolit, dan nutrisi yang tepat
4) Pantau nilai gas darah arteri, Hb dan Ht serta bilirubin
5) Lakukankan transfusi darah seperlunya
6) Hematokrit guna mengoptimalkan oksigenasi

17
7) Pertahankan jalur arteri untuk memantau PaO₂ dan pengambilan sampel
darah
8) Berikan obat yang diperlukan
Pengobatan yang biasa diberikan selama fase akut penyakit RDS adalah:
 Antibiotika untuk mencegah infeksi sekunder
 Furosemid untuk memfasilitasi reduksi cairan ginjal dan menurunkan
caiaran paru
 Fenobarbital
 Vitamin E menurunkan produksi radikalbebas oksigen
 Metilksantin (teofilin dan kafein ) untuk mengobati apnea dan untuk
pemberhentian dari pemakaian ventilasi mekanik.
 Terapi surfaktan: surfaktan sintetik diberikan melalui sisi pada tube
endotracheal dalam 2x suntikan bolus, contoh: Exosurf, Infasurf,
Alveofact
 Nitric Oxide inhalasi
 Narkotik/benzodiazepin untuk mengurangi nyeri dan ketidaknyamanan
pada bayi, contoh: Lorazepam dan Fentanyl
 Sodium bicarbonat untuk metabolic acidosis
 Diuretik untuk mengurangi odema, perlu pertimbangkan risk : benefit.
Salah satu pengobatan terbaru dan telah diterima penggunaan dalam
pengobatan RDS adalah pemberian surfaktan eksogen (derifat dari sumber alami
misalnya manusia, didapat dari cairan amnion atau paru sapi, tetapi bisa juga
berbentuk surfaktan buatan).
2.2 Manajemen Asuhan Keperawatan
Pengkajian
Anamnesis/pengkajian
Pengkajian klien menurut Padila (2012,h.197)
a. Identitas
b. Pengkajian terhadap factorresiko
1) Maternal : Usia, riwayat kesehatan yang lalu, perkembangan social dan
riwayat pekerjaan.
2) Obsetrik : Parity, periode, kondisi kehamilan terakhir

18
3) Perinatal : Antenatal, informasi prenatal maternal health (DM,jantung)
4) Intra Partumevent :
a) Usia gestasi : Lebih dari 34 minggu sampai dengan 42 minggu.
b) Lama dan karakteristik persalinan : Persalinan lama pada kala I dan II KPD
24 jam.
c) Kondisi ibu : Hipo/Hiper tensi progsif perdarahan, infeksi.
d) Keadaan yang mengidentifikasi fetaldisstres HR lebih dari 120 x sampai
dengan 140 x / menit.
e) Penggunaan analgesic
f) Metode meahirkan : Sectio Caesaria, Forsep, Vakum
c. Pengkajian Fisik
1) Eksternal : Perhatikan warna, bercak warna , kuku, lipatan pada telapak
kaki, periksa potensi hidung dengan menutup sebelah lubang hidung sambil
mengobservasi pernafasan dan perubahan kulit.
2) Dada
Palpasi untuk mencari detak jantung yang terkencang, auskultasi untuk
menghitung denyut jantung, perhatikan bunyi nafas pada setiap dada.
a) Abdomen : Verifikasi adanya abdomen yang berbentuk seperti kubam atau
tidak ada anomaly, perhatikan jumlah pembuluh darah pada tali pusat.
b) Neurologis : Periksa tonus otot dan reaksi reflex.
d. Pemeriksaan Penunjang
e. Nilai APGAR
Skor APGAR, Skor optimal harus antara 7 sampai 10.Pernafasan pada bayi
baru lahir normal biasanya 30 sampai 60 x/menit.Pola periodic dapat
terlihat.Bunyi napas bilateral, kadang-kadang krekels umum pada awalnya.
Silindrik torak: kartilago xifoid menonjol, umum terjadi.
APGAR SCORE 0 1 2
Skor
Appearance Pucat Bedan merah, Seluruh tubuh
ekstermitas biru kemerahan
Pulse Tidak ada <100x/menit >100x/menit
Grimace Tidak ada Sedikit gerakan Menangis,
mimic batuk/bersin
Activity Lumpuh Beberapa fleksi Pergerakan aktif
ekstensi

19
Respiration Tidak ada Lemah tidak Menangis kuat
teratur
f. Pengkajian
1) Aktivitas/Istirahat
Status sadar mungkin 2-3 jam beberapa hari pertama, bayi tampak semi koma
saat tidur ; meringis atau tersenyum adalah bukti tidur dengan gerakan mata
cepat, tidur sehari rata-rata 20 jam.
2) Pernapasan dan Peredaran Darah
Bayi normal mulai bernapas 30 detik sesudah lahir, untuk menilai status
kesehatan bayi dalam kaitannya dengan pernapasan dan peredaran darah
dapat digunakan metode APGAR Score. Namun secara praktis dapat dilihat
dari frekuensi denyut jantung dan pernapasan serta wajah, ekstremitas dan
seluruh tubuh, frekwensi denyut jantung bayi normal berkisar antara 120-140
kali/menit (12 jam pertama setelah kelahiran), dapat berfluktuasi dari 70-100
kali/menit (tidur) sampai 180 kali/menit (menangis). Pernapasan bayi normal
berkisar antara 30-60 kali/menit warna ekstremitas, wajah dan seluruh tubuh
bayi adalah kemerahan.Tekanan darah sistolik bayi baru lahir 78 dan tekanan
diastolik rata-rata 42, tekanan darah berbeda dari hari ke hari selama bulan
pertama kelahiran. Tekanan darah sistolik bayi sering menurun (sekitar 15
mmHg) selama satu jam pertama setelah lahir. Menangis dan bergerak
biasanya menyebabkan peningkatan tekanan darah sistolik.
3) Suhu Tubuh
Suhu inti tubuh bayi biasanya berkisar antara 36,50C-370C.Pengukuran suhu
tubuh dapat dilakukan pada aksila atau pada rektal.
4) Kulit
Kulit neonatus yang cukup bulan biasanya halus, lembut dan padat dengan
sedikit pengelupasan, terutama pada telapak tangan, kaki dan
selangkangan.Kulit biasanya dilapisi dengan zat lemak berwarna putih
kekuningan terutama di daerah lipatan dan bahu yang disebut vernikskaseosa.
5) Keadaan dan Kelengkapan Ekstremitas
Dilihat apakah ada cacat bawaan berupa kelainan bentuk, kelainan jumlah
atau tidak sama sekali pada semua anggota tubuh dari ujung rambut sampai
ujung kaki juga lubang anus (rektal) dan jenis kelamin.

20
6) Tali Pusat
Pada tali pusat terdapat dua arteri dan satu vena umbilikalis.Keadaan tali
pusat harus kering, tidak ada perdarahan, tidak ada kemerahan di sekitarnya.
7) Refleks
Beberapa refleks yang terdapat pada bayi :
a) Refleks moro (refleks terkejut). Bila diberi rangsangan yang mengagetkan
akan terjadi refleks lengan dan tangan terbuka.
b) Refleks menggenggam (palmergraps). Bila telapak tangan dirangsang akan
memberi reaksi seperti menggenggam. Plantargraps, bila telapak kaki
dirangsang akan memberi reaksi.
c) Refleks berjalan (stepping). Bila kakinya ditekankan pada bidang datang atau
diangkat akan bergerak seperti berjalan.
d) Refleks mencari (rooting). Bila pipi bayi disentuh akan menoleh kepalanya ke
sisi yang disentuh itu mencari puting susu.
e) Refleks menghisap (sucking). Bila memasukan sesuatu ke dalam mulut bayi
akan membuat gerakan menghisap.
8) Berat Badan
Pada hari kedua dan ketiga bayi mengalami berat badan fisiologis.Namun
harus waspada jangan sampai melampaui 10% dari berat badan lahir.Berat
badan lahir normal adalah 2500 sampai 4000 gram.
9) Mekonium
Mekonium adalah feces bayi yang berupa pasta kental berwarna gelap hitam
kehijauan dan lengket. Mekonium akan mulai keluar dalam 24 jam pertama.
10) Antropometri
Dilakukan pengukuran lingkar kepala, lingkar dada, lingkar lengan atas dan
panjang badan dengan menggunakan pita pengukur. Lingkar kepala fronto-
occipitalis 34cm, suboksipito-bregmantika 32cm, mentooccipitalis 35cm.
Lingkar dada normal 32-34 cm. Lingkar lengan atas normal 10-11 cm.
Panjang badan normal 48-50 cm.
11) Seksualitas
Genetalia wanita ; Labia vagina agak kemerahan atau edema, tanda
vagina/himen dapat terlihat, rabas mukosa putih (smegma) atau rabas

21
berdarah sedikit mungkin ada. Genetalia pria ; Testis turun, skrotum tertutup
dengan rugae, fimosis biasa terjadi.
Diagnosa Keperawatan
1) Pola nafas tidak efektif b.d penurunaan energi/ kelelahan, keterbatasan
pengembangan otot (D.0005 hal. 26)
2) Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membran
alveolar-kapiler (D.0003 ha.22)
3) Gangguan perfusi jaringan perifer b.d penurunan aliran keateri/vema
(D.009 hal.37)
4) Hiportermi b.d belum terbentuknya lapisan lemak pada kulit
(D.0140 hal 302)
5) Defisit nutrisi b.d Ketidakmampuan mneghisap dan penurunan mobilitas
usus (D. 0019 hal. 56)
6) Resiko Cedera berhubungan dengan hipoksia jaringan (D.0136 hal.294)
7) Resiko ketidakseimbangan cairan b.d imanuritas (D.0040hal.294)
8) Resiko Infeksi b.d defisiensi pertahanan tubuh (D.0142hal.304)

22
Intervensi Keperawatan
Diagnosa Keperawatan Tujuan (Kriteria hasil) Intervensi
1. Pola nafas tidak efektif b.d Pola Napas SLKI (L.01004 hal. 95) Manajemen jalan napas SIKI (I.01011 hal. 186)
Setelah dilakukan tindakan Observasi
penurunaan energi/ kelelahan,
keperawatan selama 1x7 jam 1. Monitor pola napas (frekuensi, kedalaman, usaha
keterbatasan pengembangan diharapkan pola napas efektif napas)
dengan kriteria hasil: 2. Monitor bunyi napas tambahan (mis. gurgling, mengi,
otot (D.0005 hal. 26)
1. Dyspnea menurun skor 5 wheezing, ronkhi kering)
2. Penggunaan otot bantu napas 3. Monitor sputum (jumlah, warna, aroma)
menurun skor 5 Terapeutik
3. Ortopnea menurun skor 5 1. Pertahankan kepatenan jalan napas dengan head-tilt
4. Pernapasan pursed-lip menurun (jaw-thrust jika curiga trauma servikal)
skor 5 2. Posisikan semi-Fowler atau Fowler
5. Pernapasan cuping hidung 3. Berikan minum hangat
menurun skor 5 4. Lakukan fisioterapi dada, jika perlu
6. Frekuensi napas membaik skor 5 5. Lakukan penghisapan lendir kurang dari 15 detik
Kedalaman napas membaik skor 5 6. Lakukan hiperoksigenasi sebelum penghisapan
endotrakeal
7. Keluarkan sumbatan benda padat dengan forsep
McGill
8. Berikan oksigen, jika perlu
Edukasi
1. Anjurkan asupan cairan 2000 ml/hari, jika tidak
kontraindikasi
2. Ajarkan teknik batuk efektif
Kolaborasi
Kolaborasi pemberian bronkodilator, ekspektoran,

23
mukolitik, jika perlu.
2. Gangguan pertukaran gas Pola Napas SLKI (L.01004 hal. 95) Pemantauan Respirasi SIKI (I.010114 hal.247)
Setelah dilakukan tindakan Observasi
berhubungan dengan
keperawatan selama 1x7 jam 1. Monitor frekuensi, irama, kedalaman dan upaya nafas
perubahan membran alveolar- diharapkan oksigenasi atau elimasi 2. Monitor pola nafas (seperti bradipnea, takipnea,
karbodioksida pada membran hiperventilasi, kussmaul, cheyne-stokes
kapiler (D.0003 ha.22)
eveolus kafiler dalam batas normal 3. Moniitor kemampuan batuk efektif
dengan kriteria hasil: 4. Monitor adanya sputum
1. Dyspnea menurun skor 5 5. Monitor adanya sumbatan jalan nafas
2. Penggunaan otot bantu napas 6. Palpasi kesimestrisan paru
menurun skor 5 7. Akultasi bunyi nafas
3. Pernapasan cuping hidung 8. Monitor saturasi oksigen
menurun skor 5 9. Monitor nilai AGD
4. Bunyi nafas tambahan menuurn 10. Monitor hasil x-ray toraks
5 Terapeutik
5. Pengliatan kabur menurun 1 1. Atur interval pemantauan respirasi sesuai kondisi
pasien
2. Dokumentasi hasil pemantauan
Edukasi
1. Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
Informasikan hasil pemantauan
3. Gangguan perfusi jaringan Perfusi Perifer SLKI (L.02011 hal. Perawatan sirkulasi SIKI (I.02079 hal. 345)
84) Observasi
perifer b.d penurunan aliran
Setelah dilakukan tindakan 1. Periksa sirkulasi perifer (mis. nadi perifer, edema,
keateri/vema (D.009 hal.37) keperawatan selama 1x7 jam pengisian kapiler, warna, suhu, ankle-bracial index)
diharapkan perfeusi perifer efektif 2. Identifikasi faktor risiko gangguan sirkulasi (mis.
dengan kriteria hasil: diabetes, perokok, orang tua, hipertensi, dan kadar

24
4. Resiko Cedera berhubungan 1. Denyut nadi perifer meningkat kolesterol tinggi)
skor 5 3. Monitor panas, kemerahan, nyeri, atau bengkak pada
dengan Hipoksia jaringan
2. Penyembuhan luka meningkat ekstermitas
(D.0136 hal.294) skor 5 Terapeutik
3. Warna kulit pucat menurun skor 3. Hindari pemasangan infus atau pengambilan darah di
5 area keterbatasan perfusi
4. Pengisian kapiler membaik skor 4. Hindari pengkuran tekanan darah pada ektremitas
5 dengan keterbatasan perfusi
5. Akral membaik skor 5 5. Hindari penekanan dan pemasangan tourniquet pada
Turgor kulit membaik skor 5 area yang cedera
6. Lakukan pencegahan infeksi
7. Lakukan perawatan kaki dan kuku
8. Lakukan hidrasi
Edukasi
1. Anjurkan berhenti merokok
2. Anjurkan berolahraga rutin
3. Anjurkan mngecek air mandi untuk menghindari kulit
terbakar
4. Anjurkan menggunakan obat penurun tekanan darah,
abtikoagulan, dan penurun kolesterol, Jika perlu
5. Anjurkan minum obat pengontrol tekanan darah
secara teratur
6. Anjurkan menghindari penggunaan obat penyekat beta
7. Anjurkan melakukan perawatan kulit yang tepat (mis.
rendah lemak jenuh, minyak ikan omega 3)

5. Hiportermi b.d belum Termoregulasi SLKI (L.14134) Manajemen nutrisi SIKI (I.14507 hal. 183)
Hal.129 Setelah di lakukan Observasi

25
terbentuknya lapisan lemak perawatan selama 1x7 jam 1. Monitor suhu tubuh
diharapkan masalah hipotermi klien 2. Indetifikasi penyebab hiportermia (mis, terpapar suhu
pada kulit (D.0140 hal 302)
teratasi, dengan kriteria: lingkungan rendah, pakaian tipis, kerusakan
1. Akral dingin , menurun(1) hipotalamus, penurunan laju metabolisme, kekurangan
2. Kebiruan, menurun (1) lemak subkutan)
3. Energik, meningkat(5) 3. Monitor tanda dan gejala akibat hiportermia
Suhu tubuh meningkat (5) (Hiportermia ringan : takipnea, disatria, mengigil,
hipertensi, diuresis, hiportemia sedang : aritma,
hipoteensi, apatis, koagulopati, refleks menurun,
hiportemia berat : oliguria, refleks menghilang, edema
paru, asam basa abnormal )
Terapeutik
1. Sediakan lingkungan yang hangat (mis atur suhu
rungan, inkubator)
2. Ganti pakaian atau linen klien yang basah
3. Lakukan penghatan pasif (mis selimut, menutup
kepala, pakaian tebal)
4. Lakukan penghatan aktif eksternl (mis kompres air
hangat, botol hangat, selimut hangat, perawatan
metode kanguru)
5. Lakukan penghatan akif internal (mis infus cairan
hangat, oksigen nasi hangat, lavase peritonetal
dengan cairan hangat)
6. Edukasi
1. Anjurkan makan dan minum hangat

6. Hiportermi b.d belum Eliminasi urine SLKI (L.04034 hal. Manajemen eliminasi urine SIKI (I.04152 hal. 175)
24) Observasi

26
terbentuknya lapisan lemak Setelah dilakukan tindakan 1. Identifikasi tanda dan gejala retensi urin atau
keperawatan selama 1x7 jam inkontenensia urin
pada kulit (D.0140 hal 302)
diharapkan eliminasi urin tidak 2. Identifikasi faktor yang menyebabkan retensi atau
terganggu, dengan kriteria hasil: inkontenensia urin
1. Sensasi berkemih meningkat 3. Monitor eliminasi urine (mis. frekuensi, konsistensi,
skor 5 aroma, volume, dan warna)
2. Distensi kandung kemih Terapeutik
menurun skor 5 1. Catat waktu-waktu dan haluaran berkemih
3. Berkemih tidak tuntas menurun 2. Batasi asupan cairan, jika perlu
skor 5 3. Ambil sampel urine tengah (midstream) atau kultur
Frekuensi BAK membaik skor 5 Edukasi
1. Ajarkan tanda dan gejala infeksi saluran kemih
2. Ajarkan mengukur asupan cairan dan haluaran urin
3. Ajarkan mengambil specimen urin midstream
4. Ajarkan mengenali tanda berkemih dan waktu tepat
untuk berkemih
5. Ajarkan terapi modalitas penguatan otot-otot
panggul/berkemihan
6. Anjurkan minum yang cukup, jika tidak ada
kontraindikasi
7. Anjurkan mengurangi minum menjelang tidur
Kolaborasi
7. Defisit nutrisi b.d Setelah diberikan asuhan Observasi :
keperawatan selama 3x7 jam 1. Identifikasi status nutrisi
Ketidakmampuan menghisap
diharapkan status menyusui 2. Identifikasi kebutuhan kalori dan jenis nutrient
dan penurunan mobilitas usus membaik 3. Identifikasi perlunya penggunaan selang nasogastric
Kriteria hasil : SLKI (L.03029 Hal. 4. Monitor berat badan
(D. 0019 hal. 56).
119) 5. Monitor hasil pemeriksaan laboratorium

27
1. Perlekatan bayi pada payudara 6. Identifikasi keadaan emosional ibu saat akan
ibu meningkat (5) dilakukan konseling menyusui
2. Tetesan/pancaran asi meningkat 7. Identifikasi permasalahan yang ibu alami selama
(5) proses menyusui
3. Suplai ASI adekuat meningkat Terapeutik
(5) 1. Timbang berat badan
4. Puting tidak lecet setelah 2 2. Ukur antropometrik komposisi tubuj (mis. Indeks
minggu melahirkan meningkat massa tubuh, pengukuran pinggang dan ukuran
(5) lipatan kulit)
5. Kepercayaan diri ibu meningkat 3. Gunakan teknik mendengarkan aktif
(5) 4. Berikan pujian terhadap perilaku ibu yang benar
5. Dukung Ibu meningkatkan kepercayaan diri dalam
Tambah yg lain ttg nutrisinya menyusui
6. Libatkan sistem pendukung: suami, keluarga, tenaga
kesehatan dan masyarakat.
Edukasi
1. Ajarkan teknik menyusui yang tepat sesuai kebutuhan
ibu
2. Jelaskan manfaat menyusui bagi ibu dan bayi
3. Ajarkan 4 (empat) posisi menyusui dan perlekatan
(latch on) dengan benar
4. Ajarkan perawatan payudara antepartum dengan
mengkompres dengan kapas yang telah diberikan
minyak kelapa

8. Resiko Infeksi berhubungan Tingkat Infeksi SLKI (L.14137, Observasi


hal:139) - Monitor tanda-tanda dan gejala infeksi lokal dan
dengan defisiensi pertahanan
Setelah dilakukan tindakan sistemik

28
SDKI (D. 0142 hal. 304) keperawatan selama 1x7 jam Terapeutik
diharapkan derajat infeksi menurun -Batasi jumlah pengunjung
1. Demam menurn (5) -Berikan perawatan kulit pada daerah edema
2. Sianosis menurun (5) -Pertahankan teknik aseptik pada pasien berisiko tinggi
3. Kadar sel darah putih membaik Edukasi
(5) -Jelaskan tanda dan gejala infeksi
4. Periode malaise menurun (5) -Ajarkan cara memeriksa luka
Periode menggigil menurun (5) -Anjurkan meningkatkan asupan cairan
Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian imunisasi, jika perlu

29
Implementasi Keperawatan
Pada langkah ini, perawat memberikan asuhan keperawatan yang
pelaksanaannya berdasarkan rencana keperawatan yang telah disesuaikan pada
langkah sebelumnya (intervensi).
Evaluasi Keperawatan
Evaluasi dimaksudkan yaitu untuk pencapaian tujuan dalam asuhan
keperawatan yang telah dilakukan pasien. Evaluasi merupakan langkah terakhir
dari proses keperawatan dan berasal dari hasil yang ditetapkan dalam rencana
keperawatan.

30
DAFTAR PUSTAKA

Dinas Kesehatan Provinsi Kalteng. 2016. Angka Kejadian BBLR Dari Tahun
2010-2015 Di Kalteng. Palangka Raya: Dinas Kesehatan Provinsi Kalteng.
Hartiningrum & Fitriyah, 2018. Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) Di Provinsi
Jawab Timur Tahun 2012-2016. Surabaya: Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Airlangga.
Kementerian Kesehatan RI. 2020. Sekretariat Jenderal Profil Kesehatan
Indonesia Tahun 2019. Jakarta : Kementerian Kesehatan RI.
Kurniawan & Wiwin. 2020. Hubungan antara Diabetes Melitus Gestasional dan
Berat Badan Lahir dengan Kejadian Respiratory Distress Syndrome (RDS)
pada Neonatus di RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda. Samarinda:
Universitas Muhammadiyah Kalimantan Timur.
Nugraha, Satya Adi. 2014. Low Birth Weight Infant With Respiratory Distress
Syndrome (Jurnal). Lampung: Faculty Of Medicine Universitas Lampung.
Manuaba, C. 2012.Gawat-Darurat Obstetri-Ginekologi dan Obstetri Ginekologi
Sosial Untuk Profesi Bidan. Jakarta: EGC.
Marmi, & Rahardjo. 2012. Asuhan Neonatus, Bayi, dan Balita dan Anak
Prasekolah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Maryanti. 2015. Asuhan Neonatus & bayi. EGC, Jakarta
Pantiawati dkk.2012 .Asuhan Kebidanan 1.Jakarta:Nuha Medika.
PPNI. 2016. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia: Definisi dan Indikator
Diagnostik, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.
PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Definisi dan Tindakan
Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.
PPNI. 2018. Standar Luaran Keperawatan Indonesia: Definisi dan Kriteria Hasil
Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.
Rajashree, K. 2015. Study on the Factors Associated with Low Birth Weight
among Newborns Delivered in a Tertiary-Care Hospital, Shimoga,
Karnataka. International Journal of Medical Science and Public Health, [e-
journal] 4 (9): pp. 1287–1290.

31
Saifuddin.2015. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan
Neonatal. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka.
Sudarti & Fauziah. 2013. Asuhan Neonatus Resiko Tinggi dan Kegawatan.
Cetakan I. Yogyakarta: Nuha medika.
Suminto, Silvia. 2017. Peranan Surfaktan Eksogen pada Tatalaksana Respiratory
Distress Syndrome Bayi Prematur (Jurnal). Jakarta: Fakultas Kedokteran
UNIKA Atma Jaya.
Surasmi,Asrining.2013.Perawatan Bayi Resiko Tinggi.Jakarta: EGC.
Supiati., 2016. Karakteristik Ibu kaitanyya dengan Kejadian Bayi Berat Lahir
Rendah. Jurnal Kebidanan dan Kesehatan Tradisional, 1(1): 1-99.
Wijaya, R.S. 2013. Hubungan Anemia pada Ibu Hamil dengan Kejadian Bayi
Berat Lahir Rendah di Rumah Sakit Umum Daerah Raden Mattaher Jambi
Periode 19 April-31 Mei 2013. Artikel Ilmiah. Universitas Jambi.
World Health Organization (WHO). 2018. Low Bitrh Weight. [online]
http://www.worldlifeexpentancy.com/cause-of-death/low-birth-weight/by-
country/

32

Anda mungkin juga menyukai