Anda di halaman 1dari 22

TUGAS KELOMPOK

MATAKULIAH KEPERAWATAN ANAK

ASUHAN KEPERAWATAN ANAK DENGAN RDS (RESPIRATORY

DISTRESS SIMDROME)

DOSEN :Ns.NENENG.F.N.S,Kep,M,Biomed

DISUSUN OLEH:

RENI INDAH OKTARI

WIDIA UTAMI

SASMI AMALIYAH

FIKRI RIJA AFRIANSYAH

PRODI DIII KEPERAWATAN

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS PAHLAWAN TUANKU TAMBUSAI

2021/2022

BAB I

PENDAHULUAN
A.  Latar belakang

Respiratory Distress Syndrom (RDS) atau Sindrom Distres Pernapasan merupakan sindrom

gawat napas yang disebabkan defisiensi surfaktan terutama pada bayi yang baru lahir dengan

masa gestasi kurang (Suriadi dan Yulianni, 2006). Secara klinis bayi dengan RDS menunjukkan

takipnea, pernapasan cuping hidung, retraksi interkosta dan subkosta, expiratory grunting

(merintih) dalam beberapa jam pertama kehidupan. Tanda-tanda klinis lain, seperti: hipoksemia

dan polisitema. Tanda-tanda lain RDS meliputi hipoksemia, hiperkabia, dan asidosis respiratory

atau asidosis campuran (Kompas, 2012).

Angka kejadian RDS di Eropa sebelum pemberian rutin antenatal steroid dan postnatal surfaktan

sebanyak 2-3 %, di USA 1,72% dari kelahiran bayi hidup periode 1998 - 1987. Secara tinjauan

kasus, di negara-negara Eropa sebelum pemberian rutin antenatal steroid dan postnatal surfaktan,

terdapat angka kejadian RDS 2-3%, di USA 1,72% dari kelahiran bayi hidup periode 1986-1987.

Sedangkan jaman moderen sekarang ini dari pelayanan NICU turun menjadi 1% di Asia

Tenggara. Di Asia Tenggara penyebab terbanyak dari angka kesakitan dan kematian pada bayi

prematur adalah RDS. Sekitar 5 -10% didapatkan pada bayi kurang bulan, 50% pada bayi dengan

berat 501-1500 gram. Angka kejadian berhubungan dengan umur gestasi dan berat badan dan

menurun sejak digunakan surfaktan eksogen. Saat ini RDS didapatkan kurang dari 6% dari

seluruh neonatus. Di negara berkembang termasuk Indonesia belum ada laporan tentang kejadian

RDS (WHO, 2012).


Dampak lanjut dari kekurangan surfaktan mengakibatkan kolaps pada alveolus sehingga paru-

paru menjadi kaku. Hal tersebut menyebabkan perubahan fisiologi paru sehingga daya

pengembangan paru (compliance) menurun 25% dari normal, pernafasan menjadi berat, shunting

intrapulmonal meningkat dan terjadi hipoksemia berat, hipoventilasi yang menyebabkan asidosis

respiratorik.

Masalah tersebut dapat diatasi dengan peran aktif petugas kesehatan baik berupa promotif,

preventiv, kuratif dan rehabilitatif. Hal ini dilakukan dengan pendidikan kesehatan, pencegahan,

pengobatan sesuai program dan memotivasi klien agar cepat pulih sehingga dapat meningkatkan

derajat kesehatan secara optimal. Oleh karena itu penulis tertarik mengangkat judul “Asuhan

Keperawatan pada Anak dengan RDS”.

B.  Tujuan Penulisan

1.      Tujuan Umum

Penulis membuat makalah yang berjudul “ Asuhan Keperawatan pada Anak dengan RDS ”

bertujuan sebagai bahan pembelajaran Keperawatan Anak, serta memenuhi syarat penyelesaian

tugas dari mata kuliah Keperawatan Anak.

2.      Tujuan khusus

Selesainya tugas makalah Asuhan Keperawatan Pada Anak dengan RDS, penulis di harapkan

mampu:

a.    Memahami isi materi mengenai Asuhan Keperawatan pada Anak dengan RDS.
b.    Dapat membagi ilmu kepada pembaca mengenai Asuhan Keperawatan pada Anak dengan RDS.

C.  Metode Penulisan

Metode penulisan yang digunakan oleh penyusun dalam penyusunan makalah ini adalah metode

deskripsi untuk mendapatkan gambaran mengenai asuhan keperawatan anak dengan RDS.

D.  Ruang Lingkup

Penulis hanya membahas asuhan keperawatan pada anak dengan RDS.

E.  Sistematika Penulisan

Penyusunan makalah Asuhan Keperawatan pada Anak dengan RDS terdari dari tiga Bab, pada

Bab I yaitu pendahuluan yang berisikan latar belakang, tujuan penulisan, metode penulisan,

ruang lingkup, dan sistematika penulisan. Bab II yaitu tinjauan pustaka mengenai pengertian,

etiologi, patofisiologi, penatalaksanaan medis dan asuhan keperawatan. Bab III penutup yang

berisikan kesimpulan dan saran.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A.  Pengertian

Respirasi Distress Syndrome (RDS) atau Sindrom Distres Pernapasan adalah sindrom gawat

napas yang disebabkan defisiensi surfaktan terutama pada bayi yang baru lahir dengan masa

gestasi kurang (Malloy, 2000).


Sindrom Distres Pernapasan adalah perkembangan yang imatur pada sistem pernapasan atau

tidak adekuatnya jumlah surfaktan dalam paru. RDS dikatakan sebagai hyalin membrane

diseaser (Suriadi dan Yulianni, 2006).

Sindrom Distres Pernapasan adalah sekumpulan temuan klinis, radiologis, dan histologis yang

terjadi terutama akibat ketidakmaturan paru dengan unit pernapasan yang kecil dan sulit

mengembang dan tidak menyisakan udara diantara usaha napas (Bobak, 2005).

Jadi berdasarkan dari beberapa sumber dapat disimpulkan bahwa RDS adalah penyakit yang

disebabkan oleh ketidakmaturan dan ketidakmampuan sel untuk menghasilkan surfaktan yang

memadai.

B.  Anatomi Fisiologi Paru

Paru-paru merupakan alat pernapasan utama. Paru-paru terletak sedemikian rupa sehingga setiap

paru-paru berada di samping mediastinum. Oleh karenanya, masing-masing paru-paru

dipisahkan satu sama lain oleh jantung dan pembuluh-pembuluh besar serta struktur-struktur lain

dalam mediastinum. Masing-masing paru-paru berbentuk konus dan diliputi oleh pleura viseralis.

Paru-paru terbenam bebas dalam rongga pleuranya sendiri, dan hanya dilekatkan ke mediastinum

oleh radiks pulmonalis. Masing-masing paru-paru mempunyai apeks yang tumpul, menjorok ke
atas dan masuk ke leher sekitar 2,5 cm di atas klavikula. Di pertengahan permukaan medial,

terdapat hilus pulmonalis, suatu lekukan tempat masuknya bronkus, pembuluh darah dan saraf ke

paru-paru untuk membentuk radiks pulmonalis. Paru-paru kanan sedikit lebih besar dari paru-

paru kiri dan dibagi oleh fisura oblikua dan fisura horisontalis menjadi 3 lobus, yaitu lobus

superior, medius dan inferior. Sedangkan paru-paru kiri dibagi oleh fisura oblikua menjadi 2

lobus, yaitu lobus superior dan inferior.

Paru –paru berasal dari titik tumbuh yang muncul dari pharynx, yang bercabang dan kemudian

bercabang kembali membentuk struktur percabangan bronkus. Proses ini terus berlanjut terus

berlanjut setelah kelahiran hingga sekitar usia 8 tahun sampai jumlah bronkiolus dan alveolus

akan sepenuhnya berkembang, walaupun janin memperlihatkan adanya bukti gerakan nafas

sepanjang trimester kedua dan ketiga. Ketidak matangan paru –paru akan mengurangi peluang

kelangsungan hidup bayi baru lahir sebelum usia24 minggu yang disebabkan oleh keterbatasan

permukaan alveolus, ketidakmatangan sistem kapiler paru –paru dan tidak mencukupinya jumlah

surfaktan. Upaya pernapasan pertama seorang bayi berfungsi untuk:

1.      Mengeluarkan cairan dalam paru.

2.      Mengembangkan jaringan alveolus paru –paru untuk pertama kali.

Agar alveolus daoat berfungsi, harus terdapat surfaktan yang cukup dan aliran darah ke paru-

paru. Produksi surfaktan dimulai pada 20 minggu kehamilan dan jumlahnya akan meningkat

sampai paru- paru matang sekitar 30 -34 minggu kehamilan. Surfaktan ini mengurangi tekanan

permukaan paru dan membantu untuk menstabilkan dinding alveolus sehingga tidak kolaps pada

akhir pernapasan. Tanpa surfaktan alveoli akan kolaps setiap saat setelah akhir setiap

pernapasan, yang menyebabkan sulit bernapas. Peningkatan kebutuhan energi ini memerlukan
penggunaan lebih banyak oksigen dan glukosa. Berbagai peningkatan ini menyebabkan steress

pada bayi yang sebelumnya sudah terganggu.

Pada bayi cukup bulan, mempunyai cairan di dalam paru –parunya. Pada saat bayi melalui jalan

lahir selama persalinan, sekitar sepertiga cairan ini diperas keluar dari paru –paru. Pada bayi

yang dilahirkan melalui seksio sesaria kehilangan keuntungan dari kompresi rongga dada dapat

menderita paru- paru basah dalam jangka waktu lebih lama. Dengan sisa cairan di dalam paru –

paru dikeluarkan dari paru dan diserap oleh pembulu limfe dan darah. Semua alveolus paru –

paru akan berkembang terisi udara sesuai dengan perjalanan waktu.

C.  Etiologi

Menurut Suriadi dan Yulianni (2006) etiologi dari RDS yaitu:

1.        Ketidakmampuan paru untuk mengembang dan alveoli terbuka.

2.        Alveoli masih kecil sehingga mengalami kesulitan berkembang dan pengembangan kurang

sempurna. Fungsi surfaktan untuk menjaga agar kantong alveoli tetap berkembang dan berisi

udara, sehingga pada bayi prematur dimana surfaktan masih belum berkembang menyebabkan

daya berkembang paru kurang dan bayi akan mengalami sesak nafas.

3.        Membran hialin berisi debris dari sel yang nekrosis yang tertangkap dalam proteinaceous filtrat

serum (saringan serum protein), di fagosit oleh makrofag.

4.        Berat badan bayi lahir kurang dari 2500 gram.

5.        Adanya kelainan di dalam dan di luar paru

Kelainan dalam paru yang menunjukan sindrom ini adalah pneumothoraks/pneumomediastinum,

penyakit membran hialin (PMH).

6.        Bayi prematur atau kurang bulan


Diakibatkan oleh kurangnya produksi surfaktan. Produksi surfaktan ini dimulai sejak kehamilan

minggu ke-22, semakin muda usia kehamilan, maka semakin besar pula kemungkinan terjadi

RDS.

D.  Patofisiologi

1.      Proses penyakit

Faktor-faktor yang memudahkan terjadinya RDS pada bayi prematur disebabkan oleh alveoli

masih kecil sehingga kesulitan berkembang, pengembangan kurang sempurna karena dinding

thorax masih lemah, produksi surfaktan kurang sempurna. Kekurangan surfaktan mengakibatkan

kolaps pada alveolus sehingga paru-paru menjadi kaku. Hal tersebut menyebabkan perubahan

fisiologi paru sehingga daya pengembangan paru (compliance) menurun 25% dari normal,

pernafasan menjadi berat, shunting intrapulmonal meningkat dan terjadi hipoksemia berat,

hipoventilasi yang menyebabkan asidosis respiratorik. Telah diketahui bahwa surfaktan

mengandung 90% fosfolipid dan 10% protein, lipoprotein ini berfungsi menurunkan tegangan

permukaan dan menjaga agar alveoli tetap mengembang. Secara makroskopik, paru-paru nampak

tidak berisi udara dan berwarna kemerahan seperti hati. Oleh sebab itu paru-paru memerlukan

tekanan pembukaan yang tinggi untuk mengembang. Secara histologi, adanya atelektasis yang

luas dari rongga udara bagian distal menyebabkan edema interstisial dan kongesti dinding alveoli

sehingga menyebabkan desquamasi dari epithel sel alveoli type II. Dilatasi duktus alveoli, tetapi

alveoli menjadi tertarik karena adanya defisiensi surfaktan ini. Dengan adanya atelektasis yang

progresif dengan barotrauma atau volutrauma dan keracunan oksigen, menyebabkan kerosakan

pada endothelial dan epithelial sel jalan pernafasan bagian distal sehingga menyebabkan

eksudasi matriks fibrin yang berasal dari darah. Membran hyaline yang meliputi alveoli dibentuk
dalam satu setengah jam setelah lahir. Epithelium mulai membaik dan surfaktan mulai dibentuk

pada 36- 72 jam setelah lahir. Proses penyembuhan ini adalah komplek; pada bayi yang immatur

dan mengalami sakit yang berat dan bayi yang dilahirkan dari ibu dengan chorioamnionitis

sering berlanjut menjadi Bronchopulmonal Displasia (BPD).

Menurut Suriadi dan Yuliani (2006), Patoflow dari RDS yaitu :

Surfaktan menurun

PO2 menurun

Atelektatis

Usaha nafas meningkat Metabolisme anaerob

Menurunya ventilasi

CO2 meningkat Asidosis

Tekanan darah arteri menurun Vasokonstriksi perifer dan pulmonal

Aliran darah paru menurun

Surfaktan menurun Tekanan arteri pulmonal meningkat

2.      Manifestasi klinis

Berat dan ringannya gejala klinis pada penyakit RDS ini sangat dipengaruhi oleh tingkat

maturitas paru. Semakin rendah berat badan dan usia kehamilan, semakin berat gejala klinis yang

ditujukan. Manifestasi dari RDS disebabkan adanya atelektasis alveoli, edema, dan kerosakan sel

dan selanjutnya menyebabkan kebocoran serum protein ke dalam alveoli sehingga menghambat

fungsi surfaktan. Gejala klinikal yang timbul yaitu : adanya sesak nafas pada bayi prematur

segera setelah lahir, yang ditandai dengan takipnea (> 60 x/minit), pernafasan cuping hidung,

grunting, retraksi dinding dada, dan sianosis, dan gejala menetap dalam 48-96 jam pertama

setelah lahir. Berdasarkan foto thorak, menurut kriteria Bomsel ada 4 stadium RDS yaitu:
a.    Terdapat sedikit bercak retikulogranular dan sedikit bronchogram udara.

b.    Bercak retikulogranular homogen pada kedua lapangan paru dan gambaran airbronchogram

udara terlihat lebih jelas dan meluas sampai ke perifer menutupi bayangan jantung dengan

penurunan aerasi paru.

c.    Alveoli yang kolaps bergabung sehingga kedua lapangan paru terlihat lebih opaque dan

bayangan jantung hampir tak terlihat, bronchogram udara lebih luas. keempat, seluruh thorax

sangat opaque (white lung) sehingga jantung tak dapat dilihat.

Tanda dan gejala yang muncul dari RDS adalah:

a.    Pernapasan cepat

b.    Pernapasan terlihat parodaks

c.    Cuping hidung

d.   Apnea

e.    Murmur

f.     Sianosis pusat

3.      Komplikasi

Menurut Suriadi dan Yulianni (2006) komplikasi yang kemungkinan terjadi pada RDS yaitu:

a.    Komplikasi jangka pendek

1)      Kebocoran alveoli 

Apabila dicurigai terjadi kebocoran udara (pneumothorak, pneumomediastinum,

pneumopericardium, emfisema interstitial), pada bayi dengan RDS yang tiba-tiba memburuk

dengan gejala klinikal hipotensi, apnea, atau bradikardi atau adanya asidosis yang menetap.
2)      Jangkitan penyakit karena keadaan penderita yang memburuk dan adanya perubahan jumlah

leukosit dan thrombositopeni. Infeksi dapat timbul kerana tindakan invasif seperti pemasangan

jarum vena, kateter, dan alat-alat respirasi.

3)      Perdarahan intrakranial dan leukomalacia periventrikular: perdarahan intraventrikuler terjadi

pada 20-40% bayi prematur dengan frekuensi terbanyak pada bayi RDS dengan ventilasi

mekanik.

b.    Komplikasi jangka panjang

Komplikasi jangka panjang dapat disebabkan oleh keracunan oksigen, tekanan yang tinggi dalam

paru, memberatkan penyakit dan kekurangan oksigen yang menuju ke otak dan organ lain.

Komplikasi jangka panjang yang sering terjadi yaitu:

1)      Bronchopulmonary Dysplasia (BPD)

Merupakan penyakit paru kronik yang disebabkan pemakaian oksigen pada bayi dengan masa

gestasi 36 minggu. BPD berhubungan dengan tingginya volume dan tekanan yang digunakan

pada waktu menggunakan ventilasi mekanik, adanya infeksi, inflamasi, dan defisiensi vitamin A.

Insiden BPD meningkat dengan menurunnya masa gestasi.

2)      Retinopathy prematur

Kegagalan fungsi neurologi, terjadi sekitar 10-70% bayi yang berhubungan dengan masa gestasi,

adanya hipoxia, komplikasi intrakranial, dan adanya infeksi.

4.      Penatalaksanaan Medis

Menurut Suriadi dan Yuliani (2001) tindakan untuk mengatasi masalah kegawatan pernafasan

meliputi:

a.       Mempertahankan ventilasi dan oksigenasi adekuat.


b.      Mempertahankan keseimbangan asam basa.

c.       Mempertahankan suhu lingkungan netral.

d.      Mempertahankan perfusi jaringan adekuat.

e.       Mencegah hipotermia.

f.       Mempertahankan cairan dan elektrolit adekuat.

Pengobatan yang biasa diberikan selama fase akut penyakit RDS adalah:

a.       Antibiotika untuk mencegah infeksi sekunder.

b.      Furosemid untuk memfasilitasi reduksi cairan ginjal dan menurunkan caiaran paru.

c.       Fenobarbital.

d.      Vitamin E menurunkan produksi radikal bebas oksigen.

g.      Metilksantin (teofilin dan kafein) untuk mengobati apnea dan untuk pemberhentian dari

pemakaian ventilasi mekanik.

h.      Salah satu pengobatan terbaru dan telah diterima penggunaan dalam pengobatan RDS adalah

pemberian surfaktan eksogen (derifat dari sumber alami misalnya manusia, didapat dari cairan

amnion atau paru sapi, tetapi bisa juga berbentuk surfaktan buatan ).

5.      Asuhan keperawatan

a.    Pengkajian

1)      Pemeriksaan fisik

Pada pemeriksaan fisik akan ditemukan takhipneu, pernafasan mendengkur, retraksi

subkostal/interkostal, pernafasan cuping hidung, sianosis dan pucat, hipotonus, apneu, gerakan

tubuh berirama, sulit bernafas dan sentakan dagu. Pada awalnya suara nafas mungkin normal
kemudian dengan menurunnya pertukaran udara, nafas menjadi parau dan pernapasan dalam.

Pengkajian fisik pada bayi dan anak dengan kegawatan pernafasan dapat dilihat dari penilaian

fungsi respirasi dan penilaian fungsi kardiovaskuler. Penilaian fungsi respirasi meliputi:

a)      Frekuensi nafas

Takhipneu adalah manifestasi awal distress pernafasan pada bayi. Takhipneu tanpa tanda lain

berupa distress pernafasan merupakan usaha kompensasi terhadap terjadinya asidosis metabolik

seperti pada syok, diare, dehidrasi, ketoasidosis, diabetikum, keracunan salisilat, dan insufisiensi

ginjal kronik. Frekuensi nafas yang sangat lambat dan ireguler sering terjadi pada hipotermi,

kelelahan dan depresi SSP yang merupakan tanda memburuknya keadaan klinik.

b)      Mekanika usaha pernafasan

Meningkatnya usaha nafas ditandai dengan respirasi cuping hidung, retraksi dinding dada, yang

sering dijumpai pada obtruksi jalan nafas dan penyakit alveolar. Anggukan kepala ke atas,

merintih, stridor dan ekspansi memanjang menandakan terjadi gangguan mekanik usaha

pernafasan.

c)      Warna kulit/ membran mukosa

Pada keadaan perfusi dan hipoksemia, warna kulit tubuh terlihat berbercak (mottled), tangan dan

kaki terlihat kelabu, pucat dan teraba dingin.

2)      Pemeriksaan penunjang

a)      Foto rontgen thorak

Untuk mengetahui kemungkinan adanya kardiomegali bila sistim lain bila terkena.

b)      Pemeriksaan hasil analisa gas darah

Untuk mengetahui adanya hipoksemia, hipokapnia, dan alkalosis respiratori ( pH >7,45) pada

tahap dini.
c)      Tes fungsi paru

Untuk mengetahui keadaan paru kanan dan paru kiri.

b.      Diagnosa keperawatan

Diagnosa keperawatan dari RDS yang muncul menurut Suriadi dan Yulianni (2006) yaitu:

1)   Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan imatur paru dan dinding dada atau kurangnya

jumlah cairan surfaktan.

2)   Tidak efektif bersihan jalan nafas berhubungan dengan obstruksi atau pemasangan intubasi

trakea yang kurang tepat dan adanya secret pada jalan napas.

3)   Tidak efektif pola napas berhubungan dengan ketidaksamaan nafas bayi dan ventilator, dan

posisi bantuan bentilator yang kurang tepat.

4)   Resiko kurangnya volume cairan berhubungan dengan hilangnya cairan yang tanpa disadari

(IWL).

5)   Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan ketidakmampuan menelan,

motilitas gastrik menurun, dan penyerapan.

c.       Perencanaan

1)      Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan imatur paru dan dinding dada atau kurangnya

jumlah cairan surfaktan.

Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan pola nafas efektif.

Kriteria hasil:

a)    Jalan nafas bersih

b)    Frekuensi jantung 100-140 x/menit

c)     Pernapasan 40-60 x/menit


d)    Takipneu atau apneu tidak ada

e)     Sianosis tidak

Intervensi:

a)    Posisikan untuk pertukaran udara yang optimal; tempatkan pada posisi telentang dengan leher

sedikit ekstensi dan hidung menghadap keatap dalam posisi ’mengendus’.

Rasional: untuk mencegah adanya penyempitan jalan nafas.

b)   Hindari hiperekstensi leher.

Rasional: karena akan mengurangi diameter trakea.

c)    Observasi adanya penyimpangan dari fungsi yang diinginkan, kenali tanda-tanda distres

misalnya: mengorok, pernafasan cuping hidung, apnea.

Rasional: memastikan posisi sesuai dengan yang diinginkan dan mencegah terjadinya distres

pernafasan.

d)   Lakukan penghisapan mukus.

Rasional: menghilangkan mukus yang terakumulasi dari nasofaring, trakea, dan selang

endotrakeal.

e)    Penghisapan selang endotrakeal sebelum pemberian surfaktan.

Rasional: memastikan bahwa jalan napas bersih.

f)    Hindari penghisapan sedikitnya 1 jam setelah pemberian surfaktan.

Rasional: meningkatkan absorpsi ke dalam alvelolar.

g)    Observasi peningkatan pengembangan dada setelah pemberian surfaktan.

Rasional: menilai fungsi pemberian surfaktan.

h)   Turunkan pengaturan, ventilator, khususnya tekanan inspirasi puncak dan oksigen.

Rasional: mencegah hipoksemia dan distensi paru yang berlebihan.


2)  Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan

hilangnya fungsi jalan nafas, peningkatan sekret pulmonal, peningkatan resistensi jalan nafas

ditandai dengan: dispneu, perubahan pola nafas, penggunaan otot pernafasan, batuk dengan atau

tanpa sputum, cyanosis.

Tujuan: Pasien dapat mempertahankan jalan nafas dengan bunyi nafas yang jernih dan ronchi

(-).

Kriteria hasil:

a)    Pasien bebas dari dispneu

b)   Mengeluarkan sekret tanpa kesulitan

c)    Memperlihatkan tingkah laku dan mempertahankan jalan nafas.

Intervensi:

a)      Catat perubahan dalam bernafas dan pola nafasnya.

Rasional: Penggunaan otot-otot interkostal/abdominal/leher dapat meningkatkan usaha dalam

bernafas.

b)      Observasi dari penurunan pengembangan dada dan peningkatan fremitu.

Rasional: Pengembangan dada dapat menjadi batas dari akumulasi cairan dan adanya cairan

dapat meningkatkan fremitus.

c)      Catat karakteristik dari suara nafas.

Rasional: Suara nafas terjadi karena adanya aliran udara melewati batang tracheo branchial dan

juga karena adanya cairan, mukus atau sumbatan lain dari saluran nafas.

d)     Catat karakteristik dari batuk

Rasional: Karakteristik batuk dapat merubah ketergantungan pada penyebab dan etiologi dari

jalan nafas. Adanya sputum dapat dalam jumlah yang banyak, tebal dan purulent.
e)      Pertahankan posisi tubuh/posisi kepala dan gunakan jalan nafas tambahan bila perlu.

Rasional: Pemeliharaan jalan nafas bagian nafas dengan paten.

f)       Kaji kemampuan batuk, latihan nafas dalam, perubahan posisi dan lakukan suction bila ada

indikasi.

Rasional: Penimbunan sekret mengganggu ventilasi dan predisposisi perkembangan atelektasis

dan infeksi paru.

g)      Peningkatan oral intake jika memungkinkan.

Rasional: Peningkatan cairan per oral dapat mengencerkan sputum Kolaboratif.

h)      Berikan oksigen, cairan IV; tempatkan di kamar humidifier sesuai indikasi.

Rasional: Mengeluarkan sekret dan meningkatkan transport oksigen.

i)        Berikan therapi aerosol, ultrasonik nabulasasi.

Rasional: Dapat berfungsi sebagai bronchodilatasi dan mengeluarkan sekret.

j)        Berikan fisiotherapi dada misalnya: postural drainase, perkusi dada/ vibrasi jika ada indikasi.

Rasional: Meningkatkan drainase sekret paru, peningkatan efisiensi penggunaan otot-otot

pernafasan.

k)      Berikan bronchodilator misalnya: aminofilin, albuteal dan mukolitik.

Rasional: Diberikan untuk mengurangi bronchospasme, menurunkan viskositas sekret dan

meningkatkan ventilasi.

3)      Tidak efektifnya pola nafas yang berhubungan dengan ketidaksamaan nafas bayi dan ventilator,

tidak berfungsinya ventilator dan posisi bantuan ventilator yang kurang tepat.

Tujuan: Pola nafas efektif

Kriteria Hasil: Mempertahankan pola pematasan efektif.

a)     Irama nafas, kedalaman nafas normal.


b)    Oksigenasi adekuat.

Intervensi:

a)      Analisa Monitor serial gas darah sesuai program.

Rasional: Mempertahankan gas darah optimal dan mengetahui perjalanan penyakit.

b)      Gunakan alat bantu nafas sesuai intruksi.

Rasional: Memudahkan memelihara jalan nafas atas.

c)      Pantau ventilator setiap jam

Rasional: Mencegah turunnya konsentrasi mekanik dan kemungkinan terjadinya komplikasi.

d)     Berikan lingkungan yang kondusif

Rasional: Supaya bayi dapat tidur dan memberikan rasa nyaman.

e)      Auskultasi irama jantung, suara nafas dan lapor adanya penyimpangan.

Rasional: Mendeteksi dan mencegah adanya komplikasi.

4)  Resiko kurangnya volume cairan berhubungan dengan hilangnya cairan yang tanpa disadari.

Tujuan: mempertahankan cairan dan elektrolit

Kriteria Hasil:

a)      Keseimbangan cairan dan elektrolit dapat dipertahankan

Intervensi:

a)      Pertahankan cairan infus 60- 10 ml /kg/hari atau sesuai protokol yang ada.

Rasional: Penggantian cairan secara adekuat untuk mencegah ketidakseimbangan.

b)      Tingkatkan cairan infus 10 ml/ kg, tergantung dari urin output, penggunaan pemanas dan jumlah

fendings.

Rasional: mempertahankan asupan cairan sesuai kebutuhan pasien, penggunaan pemanas tubuh

akan meningkatkan kebutuhan cairan.


5)  Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan ketidakmampuan menelan,

motilitas gerak menurun dan penyarapan.

Tujuan: Kebutuhan nutrisi adekuat.

Kriteria hasil:

a)        Mencapai status nutrisi normal dengan berat hadan yang sesuai.

b)        Mencapai kadar gula darah normal.

c)        Mencapai keseimbangan intake dan output.

d)       Bebas dari adanya komplikasi Gl.

e)        Lingkar perut stabil.

f)         Pola eliminasi nonnal

Intervensi:

a)      Timbang helat badan tiap hari.

Rasional: Mendeteksi adanya penurunan atau peningkatan berat  badan.

b)     Berikan glukosa 5-10% banyaknya sesuai umur dan berat badan.

Rasional: Diperlukan keseimbangan cairan dan kehutuhan kalori secara parsiasif.

c)      Monitor adanya hipoglikemi.

Rasional: Masukkan nutrisi inadekuat menyebabkan penurunan glukosa dalam darah.

d)     Monitor adanya komplikasi GI:

(1)   Disstres

(2)   Konstipasi / diare.

(3)   Frekwensi muntah

Rasional: Mempertahankan nutrisi cukup energi dan keseimbangan intake dan output.


BAB III

PENUTUP

A.   Kesimpulan

Sindrom distres pernafasan adalah perkembangan yang imatur pada sistem pernafasan atau tidak

adekuatnya jumlah surfaktan dalam paru.

B.     Saran

Semoga makalah ini dapat berguna bagi penyusun dan pembaca. Kritik dan saran sangat

diharapkan untuk pengerjaan berikutnya yang lebih baik.

DAFTAR PUSTAKA
Evan. 2011. Asuhan Keperawatan Pasien Respiratory Distress Syndrome (RDS), diakses

pada tanggal 10 September 2011 <http://www.ilmukeperawatanku.com/asuhan-

keperawatan-pasien-respiratory-distress-syndrome-rds.html>

Hermansen C, Lorah K. Respiratory distress in the newborn. Am Fam Physician. 2007;76:987-94.

Indrasanto, Eriyanti., dkk. 2008. Paket Pelatihan Pelayanan Obsetri Dan Neonatal Emergensi Komprehensif

(PONEK).

Kosim. M.S., 2010. Deteksi Dini Dan Manajemen Gangguan Napas Pada Neonatus Sebagai Aplikasi P O N E K

(Pelayanan Obstetri Neonatal Emergency Komprehensif). Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSUP Dr. Kariadi/

FK UNDIP Semarang

Markum, A.H, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak, Jilid I, Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI, Jakarta, 1991, hal. 303-

306.

Nur .A ., dkk. 2010. Pemberian Surfaktan Pada Bayi Prematur Dengan Respiratory Distress Syndrome. Lab/SMF

Ilmu Kesehatan Anak FK. Unair/RSUD Dr. Soetomo


Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI, Ilmu Kesehatan Anak, Jilid I, Editor : Rusepno Hassan & Husein Alatas,

Bagian IKA FKUI, Jakarta 1985, hal.

Surasmi,Asrining,dkk.2003.Perawatan Bayi Resiko Tinggi.Jakarta: EGC

Suriadi dan Yuliani, R. 2001. Asuhan Keperawatan Pada Anak, edisi 1 Jakarta : CV Sagung Seto

Winarno, dkk, Penatalaksanaan Kegawatan Neonatus, dalam Simposium Gawat Darurat Neonatus, Unit Kerja

Koordinasi Pediatri Darurat IDAI, Badan Penerbit UNDIP, Semarang, 1991, hal. 151-153.

Anda mungkin juga menyukai