Anda di halaman 1dari 15

TUGAS MATRIKULASI

KEPERAWATAN KRITIS DAN KGD

DOSEN PENGAMPU: Ns. Ismail Fahmi, S.Kep,M.Kep, Sp.Kep.MB

Disusun Oleh:
MAI IDRIS
NIM: PO 71202210105

PROGRAM STUDI PROFESI NERS JURUSAN KEPERAWATAN


POLTEKKES KEMENKES JAMBI
TAHUN 2021/2022
1. Konsep Dasar Penyakit ARDS

a. Defenisi
Sindrom distress pernapasan dewasa (Acute respiratory distress syndrome,
ARDS) adalah suatu penyakit yang ditandai oleh kerusakan luas alveolus dan atau
membran kapiler paru. ARDS selalu terjadi setelah suatu gangguan besar pada sistem
paru, kardiovaskuler, atau tubuh secara luas. (Elizabeth J. Corwin, 2009, hal. 552).
ARDS adalah sindrom klinis yang ditandai dengan penurunan progresif
kandungan oksigen arteri yang terjadi setelah penyakit atau cedera serius. (Brunner &
Suddarth, 2001, hal : 615).
ARDS adalah bentuk khusus gagal napas yang ditandai dengan hipoksemia yang
jelas dan tidak dapat diatasi dengan penanganan konvensional. (Sylvia A. price. 2005.
Hal: 835).
Sehingga dapat disimpulkan bahwa ARDS adalah sindrom gagal nafas akut yang
ditandai dengan kerusakan luas alveolus atau membrane kapiler paru sehingga
menyebabkan penurunan progresif kandungan oksigen arteri.
b. Etiologi
ARDS dapat terjadi akibat cedera langsung kapiler paru atau alveolus. Namun,
karena kapiler dan alveolus berhubungan sangat erat, maka destruksi yang luas pada
salah satunya biasanya menyebabkan estraksi yang lain. Hal ini terjadi akibat
pengeluaran enzim-enzim litik oleh sel-sel yang mati, serta reaksi peradangan yang
terjadi setelah cedera dan kematian sel. Contohcontoh kondisi yang mempengaruhi
kapiler dan alveolus disajikan di bawah ini.
Destruksi kapiler, apabila kerusakan berawal di membran kapiler, maka akan
terjadi pergerakan plasma dan sel darah merah ke ruang interstisium. Hal ini
meningkatkan jarak yang harus ditempuh oleh oksigen dan karbon dioksida untuk
berdifusi, sehingga kecepatan pertukaran gas menurun. Cairan yang menumpuk di
ruang interstisium bergerak ke dalam alveolus, mengencerkan surfaktan dan
meningkatkan tegangan permukaan. Gaya yang diperlukan untuk mengembangkan
alveolus menjadi sangat meningkat. Peningkatan tegangan permukaan ditambah oleh
edema dan pembengkakan ruang interstisium dapat menyebabkan atelektasis kompresi
yang luas.
Destruksi Alveolus apabila alveolus adalah tempat awal terjadinya kerusakan,
maka luas permukaan yang tersedia untuk pertukaran gas berkurang sehingga
kecepatan pertukaran gas juga menurun. Penyebab kerusakan alveolus antara lain
adalah pneumonia, aspirasi, dan inhalasi asap. Toksisitas oksigen, yang timbul setelah
24-36 jam terapi oksigen tinggi, juga dapat menjadi penyebab kerusakan membran
alveolus melalui pembentukan radikal-radikal bebas oksigen. Tanpa oksigen, jaringan
vaskular dan paru mengalami hipoksia sehingga semakin menyebabkan cedera dan
kematian sel. Apabila alveolus dan kapiler telah rusak, maka reaksi peradangan akan
terpacu yang menyebabkan terjadinya edema dan pembengkakan ruang interstitium
serta kerusakan kapiler dan alveolus di sekitarnya. Dalam 24 jam setelah awitan
ARDS, terbentuk membran hialin di dalam alveolus. Membran ini adalah
pengendapan fibrin putih yang bertambah secara progesif dan semakin mengurangi
pertukaran gas. Akhirnya terjadi fibrosis menyebabkan alveolus lenyap. Ventilasi,
respirasi dan perfusi semuanya terganggu. Angka kematian akibat ARDS adalah
sekitar 50%. (Elisabeth J. Cowin, 2001, hal. 420-421)
c. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi adalah infeksi nosokomial yang terjadi pada hampir
setengah pasien, miopati yang berkaitan dengan blokade neuromuskular jangka
panjang, tromboemboli vena, perdarahan traktus GI, serta nutrisi inadekuat.
d. Pemeriksaan Penunjang
1) Foto rontgen dada (Chest X-Ray) : tidak terlihat jelas pada stadium awal atau
dapat juga terlihat adanya bayangan infiltrate yang terletak di tengah region
perihilar paru. Pada stadium lanjut terlihat penyebaran di interstitisial secara
bilateral dan infiltrate alveolar, menjadi rata dan dapat mencakup keseluruh
lobus paru. Tidak terjadi pembesaran pada jantung.
2) ABGs : hipoksemia (penurunan PaO2), hipokapnea (penurunan nilai CO2
dapat terjadi terutama pada fase awal sebagai kompensasi terhadap
hiperventilasi), hiperkapnea (PaCO2 > 50) menunjukkan terjadi gangguan
pernapasan. Alkalosis respiratori (Ph > 7,45) dapat timbul pada stadium awal,
tetapi asidosis dapat juga timbul pada stadium lanjut yang berhubungan
dengan peningkatan dead space dan penurunan ventilasi alveolar. Asidosis
metabolic dapat timbul pada stadium lanjut yang berhubungan dengan
peningkatan nilai laktat darah, akibat metabolisme anaerob.
Pada kasus didapatkan hasil AGD :
pH : 7,2 menandakan kondisi asidosis
PaO2: 50 menandakan hipoksia berat
PaCO2 hiperkapnia, menadakan kondisi pasien Asidosis Respiratorik
HCO3 : 24 (normal), menunjukan asidosis respiratorik tidak terkompensasi

3) Tes Fungsi Paru (Pulmonary Function Test) : Compliance paru dan volume
paru menurun, terutama FRC, peningkatan dead space dihasilkan oleh pada
area terjadinya vasokonstriksi dan mirkroemboli timbul.

2. Patofisiologi Penyakit
Mula – mula terjadi kerusakan pada membrane kapiler alveoli menyebabkan
terjadi peningkatan permeabilitas endotel kapiler paru dan epitel alveoli
mengakibatkan terjadi edema alveoli dan interstitial. Cairan yang berkumpul di
interstitium sehingga alveoli mulai terisi cairan menyebabkan atelektasis kongesti
yang luas. Terjadi pengurangan volume paru. Paru – paru menjadi kaku dan
keluwesan paru (compliance) menurun, fungsional residual capacity juga menurun.
Hipoksemia yang berat merupakan gejala penting ARDS, penyebabnya adalah
ketidakseimbangan ventilasi – perfusi, hubungan arterio – venous (aliran darah
mengalir kealveoli yang kolaps) dan kelainan difusi alveoli – kapiler sebab penebalan
dinding alveoli - kapiler.
Kerusakan pada epitel alveolar dan endotel mikrovaskular mengaktifkan kaskade
inflamasi, yang dibagi dalam 3 fase yang dapat dijumpai secara tumpang tindih :
insiasi, amplifikasi, dan injury.
Pada fase insiasi, kondisi yang menjadi factor resiko akan menyebabkan sel-sel
imun dan non imun melepaskan mediator-mediator dan modulator-medulator
inflamasi di dalam paru dan ke sistemik. Pada fase amplifikasi, sel efektor seperti
netrofil teraktivasi, tertarik ke dan tertahan di dalam paru. Di dalam rongga target
tersebut mereka melepaskan mediator inflamasi, termasuk oksidan dan protease, yang
secara langsung merusak paru dan mendorong proses inflamasi selanjutnya. Fase ini
disebut fase injury.
Kerusakan pada membrane alveolar- kapiler menyebabkan peningkatan
permeabilitas membrane, dan aliran cairan yang kaya protein masuk ke ruang alveolar.
Cairan dan protein tersebut merusak integritas surfaktan di alveolus, dan terjadi
kerusakan lebih jauh. Terdapat 3 fase kerusakan alveolus :
a. Fase eksudatif : ditandai edema interstisial dan alveolar, nekrosis sel pneumosit
tipe I dan denudasi/terlepasnya membrane basalis, pembengkakan sel endotel
dengan pelebaran intercellular junction, terbentuknya membrane hialin pada
duktus alveolar dan ruang udara, dan inflamasi neutrofil. Juga ditemukan
hipertensi pulmoner dan berkurangnya compliance paru.
b. Fase poliferatif paling cepat timbul setelah 3 hari sejak onset, ditandai poliferasi
sel epitel pneumosit tipe II.
c. Fase fibrosis : kolagen meningkat dan paru menjadi padat karena fibrosis.
WOC

Trauma injury
paru

Pelepasan substansi vasoaktif

Peningkatan permeabilitas
membrane alveolar -
kapiler

Kerusakan endotel pembuluh darah / epitel


alveolar

Kerusakan sel-sel alveolar tipe II

Kekakuan permukaan alveoli / kolaps

Penurunan complaint paru

Oedema paru

, Penumpukan cairan alveoli

Cairan survaktan menurun

Atelektasis, kolaps alveoli

Suplai O2 ke otak Ketidakseimbangan ventilasi


menurun dan perfusi

Gangguan Pola Gangguan


3. Nafas
EBN Pertukaran Gas
3. EBN
Ventilasi Mekanik
Ventilasi mekanik merupakan terapi standar untuk ARDS dan bertujuan untuk
lifesaving. Tatalaksana ventilator untuk ARDS mengalami banyak perubahan sejak 20
tahun terakhir, karena bertambahnya penggunaan computed tomography untuk paru
dan pemahaman lebih lanjut terhadap VILI.
ARDS ditandai dengan hipoksemia yang berat, penurunan komplians paru, dan
awalnya diperkirakan mengenai paru secara difus dan homogen sesuai dengan
gambaran pada foto polos. Hal ini menjadi prinsip terapi oksigen pada ARDS,
sehingga tampaknya hanya dengan volume tidal yang besar pasien dapat mendapatkan
ventilasi dan oksigenasi yang cukup. Namun dengan meningkatnya penggunaan
computed tomography, maka diketahui bahwa kelainan pada ARDS sebenarnya
heterogen, menunjukkan opasitas berbercak-bercak di antara jaringan paru yang
tampak normal. Distribusi heterogen jejas ini menyiratkan bahwa volume tidal yang
diberikan pada pasien akan mengembangkan daerah yang normal (komplians lebih
baik) pada paru, sehingga daerah ini akan lebih rentan mengalami overdistensi dan
VILI karena terpajan volume tidal yang ditujukan untuk paru secara keseluruhan.
Ventilasi mekanik dengan dengan tidal volume yang berlebihan dapat menyebabkan
edema paru yang disebabkan oleh peningkatan permeabilitas alveolar-kapiler yang
secara histologis mirip dengan gambaran ARDS. Kesimpulan dari sebuah meta
analisis oleh Neto dkk adalah tidal volume yang kecil juga memberikan efek yang
positif pada pasien yang tidak mengalami ARDS. Pada pasien dengan risiko ARDS,
ventilasi mekanik dengan volume tidal besar secara independen dihubungkan dengan
timbulnya ARDS, sedangkan volume tidal kecil dapat mengurangi angka kejadian dan
kematian akibat ARDS.
Selain itu, ventilasi mekanik pada pasien ARDS sering disertai dengan dissinkroni
antara pasien ventilator yang dapat memperburuk oksigenasi dan ventilasi. Untuk
mengatasi hal ini umum diberikan sedasi dan bahkan agen pelumpuh otot
(neuromuscular blocking agents). Sebuah studi yang membandingkan pemberian
cisatracurium dibandingkan dengan plasebo pada pasien ARDS berat dengan lung-
protective ventilation berdasarkan studi ARDSNet menyebutkan bahwa terdapat
penurunan signifikan angka kematian 90 hari pertama, angka kejadian barotrauma,
dan gagal organ. Mekanisme efek positif dari pemberian agen pelumpuh otot tidak
diketahui, namun diperkirakan karena kejadian VILI yang lebih jarang.
Dari segi teori, pemberian tekanan positif pada akhir ekspirasi atau yang sering
disebut PEEP dapat menguntungkan, karena dapat menghindari pembukaanpenutupan
siklik dari unit paru yang dapat menyebabkan atelektrauma dan mengurangi volume
tidal sehingga mengurangi volutrauma. Pemberian PEEP dengan cara memperbaiki
oksigenasi dapat mengurangi FiO2, sehingga menurunkan risiko toksisitas oksigen. Di
sisi lain, PEEP yang terlalu tinggi pun dapat menyebabkan volume akhir inspirasi
yang berlebihan dan volutrauma. Klinisi juga familiar dengan efek PEEP yang dapat
menurunkan cardiac output dan tekanan darah. Data eksperimental menyebutkan
bahwa level PEEP yang melewati nilai tradisional 5-12 cm H2O dapat meminimalkan
kolaps alveolar siklik dari paru. Level optimal PEEP yang seharusnya diberikan untuk
pasien ARDS masih menjadi kontroversi. Sebuah penelitian menyebutkan bahwa level
PEEP yang lebih tinggi dapat mengurangi angka kematian sebanyak 10%, namun
pasien ALI tanpa ARDS tidak mengalami efek yang baik, malah merugikan bila diberi
level PEEP yang lebih tinggi.
Pada saat yang sama, volume tidal yang kecil dan tekanan yang diberikan pada
lung-protective ventilation dapat mengarah pada de-recruitment paru yang progresif
dan memperberat hipoksemia dan atelektrauma. Untuk melawan terjadinya hal ini
disebut dengan manuver recruitment. Manuver ini melibatkan peningkatan tekanan
aliran udara selama beberapa saat, contohnya pemberian CPAP (continous positive
airway pressure) 40 cm H2O selama 40 detik. Serupa dengan problem yang dijumpai
dalam pemberian PEEP, sulit menentukan pasien mana yang mendapatkan keuntungan
dari manuver recruitment dan mana yang akan mengalami overdistensi. Jaringan paru
dengan perfusi yang baik yang mengalami overdistensi dapat berakibat perpindahan
darah ke alveoli yang tidak mengalami perfusi, sehingga terjadi perburukan right to
left shunting dan hipoksemia.
Memposisikan pasien ARDS dengan posisi telungkup (prone position) telah
disebutkan dapat memperbaiki oksigenasi. Mekanismenya bermacammacam, namun
faktor yang paling penting mungkin adalah efek posisi telungkup terhadap dinding
dada dan komplians paru. Pada posisi tengadah (supine position) bagian paling
posterior dan inferior paru adalah bagian yang paling berat sakitnya pada kasus
ARDS. Selain karena gravitasi, hal ini juga disebabkan oleh berat dari jantung dan
organ abdomen. Saat pasien diposisikan telungkup, maka dinding toraks anterior akan
terfiksasi dan berkurang kompliansnya, sehingga meningkatkan proporsi ventilasi
pada bagian posterior paru. Hasilnya adalah ventilasi lebih homogen dan memperbaiki
ketidakseimbangan ventilasi-perfusi. Prone-Supine II Study, sebuah randomized
controlled trial yang dilakukan di Spanyol dan Italia, menyebutkan bahwa posisi
telungkup tidak memberikan cukup keuntungan untuk pasien ARDS atau subgrup
pasien dengan hipoksemia sedang-berat.

4. Asuhan Keperawatan
a. PENGKAJIAN
1) IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. X
Usia : 35 tahun
Jenis kelamin : laki-laki
Diagnosa Medis : ARDS + Asidosis Respiratorik tidak terkompensasi
Tanggal Masuk : 18 agustus 2021
2) RIWAYAT PENYAKIT
Pasien diketahui perokok aktif, menghabiskan rokok 3 bungkus sehari. Pasien
merokok sejak 15 tahun yang lalu. Pasien bekerja di pabrik farmasi. Pasien
tidak ada riwayat penyakit asma dan TB.
3) RIWAYAT PENYAKIT SAAT INI
Pasien masuk ICU tanggal 18 agustus 2021 dengan terpasang ETT pro
ventilator. Penafasan cepat dan dangkal. Saat ini kesadaran : DPO dengan GCS
E4 M3 Vett, Keadaan umum : lemah, terpasang Endotrakeal tube dengan pola
ventilator PC 12 PEEP +8 RR 12 FiO2 70%. Vital sign tidak stabil dengan
terpasang Norephineprin 0,2mcg/kgBB/menit. Sedasi midazolame 3mg/jam,
analgetik morphin.
4) PEMERIKSAAN FISIK
a) Airway
Terpasang ETT no 7,5 dengan kedalaman 20cm di bibir
Suara nafas vesikuler,
b) Breathing
Terpasang mode ventilator pressure control dengan PC 12, PEEP +8, RR
12, FiO2 70% Tidal Volume 381cc RR 35 x/m
c) Circulation
TD 108/58 mmHg, CVP +11 cmH2O, HR 108x/m 4
d) Disability
Amikacin 1x1gr (E3), Fluconazole 1x400mg(E5), Cefepime3x2gr(E5)stop,
Paracetamol 4x1gr, Omeprazole 2x40mg, Vitamin C 2x200mg, Neurobion
2x1amp, Meropenem 3x2gr, Midazolame 2mg/jam, Morphin 1mg/jam,
Norephineprine 0,2mcg/jam Insulin 1,5 unit/jam
e) Exposure
Produksi urine 670cc/12 jam, Balance cairan +920,6 cc/12 jam.
5) Pemeriksaan Penunjang
a) Rontgen Thorax
Hasil: Diffuse infiltrate bilateral dengan ARDS
b) Hasil AGD
pH: 7,2 ( 7,35 – 7,45)
PaO2: 50 ( 80-100)
PaCO2: 55 ( 35-45 )
HCO3: 24 ( 22-26)

b. Diagnosis Keperawatan
1) Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan alveolar hipoventilasi,
penumpukan cairan di permukaan alveoli ditandai dengan RR 30x/m
Terpasang ETT dan ventilator, Retraksi dada meningkat, Keringat dingin Agd
pH: 7,2 ( 7,35 – 7,45), PaO2: 50 ( 80-100), PaCO2: 55 ( 35-45 ), HCO3: 24
( 22-26), BE 4,5 SO2 95,7%
2) Pola napas tidak efektif berhubungan dengan pertukaran gas tidak adekuat
ditandai dengan RR 30x/m, Terpasang ETT dan ventilator, pernafasan cepat
dan dangkal.
c. Intervensi Keperawatan

Diagnosis Keperawatan Kriteria Hasil Intervensi

Gangguan pertukaran gas Tujuan : 1. Cek analisa gas darah bila dilakukan perubahan
Gangguan pertukaran gas dapat
berhubungan dengan setting ventilator.
alveolar hipoventilasi, teratasi
2. Kaji status pernapasan,catat peningkatan respirasi
penumpukan cairan di atau perubahan pola napas
KE :
permukaan alveoli,. Setelah dilakukan intervensi dalam 1 3. Pertahankan jalan napas bebas dari sekresi
Data : minggu, klien dapat : 4. Monitor tanda & gejala hipoksia
 AGD
 Keluhan sesak (–) 5. Berikan istirahat yang cukup.
 RR 
 AGD dalam rentang normal :
 Sianosis (+) 6. Berikan obat-obatan sesuai program medis
- pH 7.35 – 7.45
- PaCO2 35 – 45

- HCO3 22 – 26
- PaO2 80 – 100
- BE + 2.5
 RR stabil
 Sianosis -
Pola napas tidak efektif Tujuan : 1. Kaji frekuensi, kedalaman dan kualitas pernapasan
Pola nafas menjadi efektif
berhubungan dengan serta pola pernapasan.
pertukaran gas tidak KE :
Setelah dilakukan intervensi dalam 1 2. Kaji tanda vital dan tingkat kesadaran setiap jam.
adekuat 3. Pantau dan catat gas-gas darah sesuai indikasi : kaji
minggu, klien dapat :
 AGD dalambatas normal : kecenderungan kenaikan PaCO2 atau kecendurungan
Data :
 Dyspnea, takipnea - pH 7.35 – 7.45 penurunan PaO2
 Penggunaan otot - PaCO2 35 – 45 4. Auskultasi dada untuk mendengarkan bunyi nafas
pernafasan - HCO3 22 – 26
- PaO2 80 – 100 setiap 1 jam. Catat ada tidaknya suara nafas dan
 Pengembangan - BE + 2.5 adanya bunyi nafas tambahan seperti ronchi, dan
dada tidak simetris  Pengembangan dada simetris
wheezing.
 Sianosis +  Sianosis –
5. Pertahankan tirah baring dengan kepala tempat tidur
 AGD
ditinggikan 30 sampai 45 derajat untuk
mengoptimalkan pernapasan
6. Berikan dorongan untuk batuk dan napas dalam,
bantu pasien untuk mebebat dada
selama batuk
d. Implementasi Keperawatan

Tanggal Jam Implementasi


19-8-21 14.30  Mengobservasi vital sign
 TD : 128/60mmHg
 HR : 108x/m
Sampai  RR : 28x/m
 Suhu : 368oc
 Norephineprine 0,2mcg/jam
 Melakukan pemeriksaan fisik paru
20.00  Terdengar suara ronchi di kedua paru
 Perkembangan dada simetris
 Penggunaan otot bantu pernafasan
 Terpasang mode ventilator pressure control
dengan PC 12, PEEP +8, RR 12, FiO2 70%
 Mengukur CVP +12cmH2O
 Melakukan suction dari ETT dan oral
 Sputum putih kental banyak
 Hipersaliva
 Melakukan oral hygiene dan ganti fiksasi ETT
 Kalium 2,81 koreksi KCL 50 mEq dalam 6 jam
 Melakukan mobilisasi mika miki
 Score decubitus 0
 Menghitung balance cairan
 Input : 1590,6 cc
 Output : 670 cc
 Balance : + 920,6 cc
 Memberikan therapy inhalasi
 Bisolvon : Ventolin : NaCl
 Memberikan makan cair 100 cc/jam
 Memberikan therapy sesuai advice dokter
20-8-21  Mengobservasi vital sign
 TD : 130/64mmHg
 HR : 89x/m
 RR : 22x/m
 Suhu : 382oc
 Norephineprine 0,125mcg/jam
 Melakukan pemeriksaan fisik paru
 Terdengar suara ronchi di kedua paru
 Perkembangan dada simetris
 Penggunaan otot bantu pernafasan
 Terpasang mode ventilator pressure
control dengan PC 12, PEEP +8, RR 16,
FiO2 75%
 Mengukur CVP +10cmH2O
 Melakukan suction dari ETT dan oral
 Sputum kotor kental banyak
 Hipersaliva
e. Evaluasi

Tanggal Diagnosis Keperawatan Evaluasi

20-8-21 Gangguan pertukaran gas berhubungan S:


O : klien masih terlihat sesak nafas, nafas
dengan alveolar hipoventilasi,
cepat dan dangkal,ronchi +/+, RR 22x/m,
penumpukan cairan di permukaan
penggunaan otot pernafasan,
alveoli,
pengembangan dada simetris, hasil AGD
 pH 7,325 7,280
 PCO2 53,1 57,8
 PO2 119,5 56,7
 HCO3 27,9 27,4
 BE 1,7 0,5
 SO2 94,1% 83,0%
Hasil foto rontgen thorax perburukan
dibandingkan ro thorax sebelumnya,
konsolidasi inhimogen di kedua paru,
A : Masalah gangguan pertukaran gas
P : Lanjutkan intervensi keperawatan
no 1-6

20-8-21 Pola napas tidak efektif berhubungan S:


O : klien masih terlihat sesak nafas,
dengan pertukaran gas tidak adekuat,
RR22x/m, penggunaan otot pernafasan,
pengembangan dada tidak simetris, Mode
ventilator PC 12 PEEP +8 RR 16 FiO2
60%, hasil fotorongten masih terlihat
infiltrat di kedua paru.:
A : masalah tidak efektif pola nafas
teratasi sebagian
P : lanjutkan intervensi keperawatan no 1-
6

Anda mungkin juga menyukai