Anda di halaman 1dari 26

TUGAS KEPERAWATAN KRITIS

Dosen Pengampu :

Ns. Dally Rahman, M.Kep., Sp.Kep.M.B

Disusun Oleh :

Amelia Jamirus

1711311013

PROGRAM STUDI S1 ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS ANDALAS
ARDS

(Adult Respiratory Distress Syndrome )

1. Konsep Dasar Respiratory Distress

A. Pengertian

Adult Respiratory Distress Syndrome (ARDS) merupakan keadaan gagal

napas mendadak yang timbul pada klien dewasa tanpa kelainan paru yang mendasari

sebelumnya. Sulit untuk membuat definisi secara tepat, karena patogenesisnya belum

jelas dan terdapat banyak faktor predisposisi seperti syok karena perdarahan, sepsis,

rudapaksa/trauma pada paru atau bagian tubuh lainnya, pankreatitis akut, aspirasi

cairan lambung, intoksikasi heroin, atau metadon (Mutaqin Arif, 2008)

Adult Respiraotry Distress Syndrome (ARDS) merupakan suatu bentukan dari

gagal nafas akut yang ditandai dengan : hioksemia, penurunan fungsi paru-paru,

dispnea, edema paru-paru bilateral tanpa gagal jantung, dan infiltrate yang menyebar.

Selain itu ARDS juga dikenal dengan nama “noncardiogenic pulmonary edema atau

shock pulmonary” (Somantri, 2007).

Tabel 1. Definisi ARDS berdasarkan Kriteria Berlin, 2011

Acute Respiratory Distress Syndrome


Waktu Gejala respirasi yang baru dirasakan maupun yang memberat, terjadi dalam 1
minggu
Foto toraks Opasitas bilateral, bukan disebabkan oleh efusi, atelektasis maupun nodul paru
Sumber edema Disebabkan oleh kegagalan respirasi, bukan disebabkan karena gagal jantung
maupun kelebihan cairan
Derajat hipoksemia
Ringan 200 mmHg < PaO2/FIO2 ≤ 300 mmHg dengan PEEP atau CPAP ≥ 5 cmH2O
Sedang 100 mmHg < PaO2/FIO2 < 200 mmHg dengan PEEP > 5 cmH2O
Berat PaO2/FIO2 ≤ 100 mmHg dengan PEEP ≥ 5 cmH2O

B. Patologi

Secara makroskopis, paru tampak hitam kemerahan, beratnya bertambah,

tidak mengandung udara, dan hampir tidak mengembang. Potongan penampang paru

menunjukkan perdarahan kongesti, dan edema, menyerupai hati. Perubahan paling

awal dari segi histologis adalah mikro emboli trombosit fibrin yang biasa terlihat

dalam 6 jam pertama. Pada tahap berikutnya didapatkan kongesti kapiler, edema

interstitial, edemaintra-alveoli, perdarahan intra-alveoli, pembentukan membran

hialin, hipertrofi dan hiperplasia sel alveoli dan interstitial, proliferasi fibroblas

alveoli dan pada tahap akhir didapatkan pengendapan kolagen yang luas sehingga

akhirnya terjadi fibrosis (Yusuf, 1996).

C. Etiologi

Faktor-faktor etiologi yang berhubungan dengan ARDS menurut

Muttaqin,2013 :

Mekanisme Etiologi

Kerusakan paru akibat inhalasi Kelainan paru akibat kebakaran, inhalasi gas

(mekanisme tidak langsung) oksigen, aspirasi asam lambung, tenggelam,

sepsis, syok (apapun penyebabnya), koagulasi

intravaskular tersebar (disseminated

intravascular caagulation-DIC), dan pankreatitis


idiopatik,

Obat-obatan Heroin dan salisilat.

Infeksi Virus, bakteri, jamur, dan TB paru.

Sebab lain Emboli lemak, emboli cairan amnion, emboli

paru trombosis, rudapaksa (trauma) paru.

radiasi, keracunan oksigen, transfusi masif,

kelainan metabolik (uremia), bedah mayor.

Penyebab spesifik ARDS masih belum pasti, banyak faktor penyebab yang
dapat berperan pada gangguan ini menyebabkan ARDS tidak disebut sebagai
penyakit tetapi sebagai sindrom. Sepsis merupakan faktor risiko yang paling tinggi,
mikroorganisme dan produknya (terutama endotoksin) bersifat sangat toksik
terhadap parenkim paru dan merupakan faktor risiko terbesar kejadian ARDS,
insiden sepsis menyebabkan ARDS berkisar antara 30-50%.
Aspirasi cairan lambung menduduki tempat kedua sebagai faktor risiko
ARDS (30%). Aspirasi cairan lambung dengan pH<2,5 akan menyebabkan
penderita mengalami chemical burn pada parenkim paru dan menimbulkan
kerusakan berat pada epitel alveolar. Faktor risiko penyebab ARDS dapat dilihat
pada tabel.
Tabel 2. Kriteria ARDS dan ALI menurut American European Consensus
Conference Committee (AECC) pada tahun 1994 5

D. Patogenesis dan Patofisiologi

Gambar 2. Keadaan alveoli normal dan alveoli yang mengalami kerusakan saat fase

akut pada ALI dan ARDS.

Sindrom gagal napas pada klien dewasa (ARDS) selalu berhubungan dengan

penambahan cairan dalam paru. Sindrom ini merupakan suatu edema paru yang

berbeda dari edema paru karena kelainan jantung. Perbedaannya terletak pada tidak

adanya peningkatan tekanan hidrostatik kapiler paru. Dari segi histologis, mula-mula

terjadi kerusakan membran kapiler-alveoli, selanjutnya terjadi peningkatan


permeabilitas endotelium kapiler paru dan epitel alveoli yang mengakibatkan

terjadinya edema alveoli dan interstitial. Untuk mengetahui lebih banyak mengenai

edema paru pada ARDS, penting untuk mengetahui hubungan struktur dan fungsi

alveoli.

Membran alveoli terdiri atas dua tipe sel, yaitu sel Tipe I (Tipe A), sel

penyokong yang tidak mempunyai mikrovili dan amat tipis. Sel Tipe II (Tipe B)

berbentuk hampir seperti kubus dengan mikrovili dan merupakan sumber utama

surfaktan alveoli. Sekat pemisah udara dan pembuluh darah disusun dari sel Tipe I

atau Tipe II dengan membran basalendotelium dan selendotelium.

Bagian membran kapiler alveoli yang paling tipis mempunyai tebal 0,15 µm.

SelpneumositTipe I amat peka terhadap kerusakan yang ditimbulkan oleh berbagai

zat yang terinhalasi. Jika terjadi kerusakan sel-sel yang menyusun 95% dari

permukaan alveoli ini, akan amat menurunkan keutuhan sekat pemisah alveoli-kapiler.

Pada kerusakan mendadak paru, mula-mula terjadi peradangan interstisial, edema,

dan perdarahan yang disertai dengan proliferasi sel Tipe II yang rusak. Keadaan

peradangan ini dapat membaik secara lambat atau membentuk fibrosis paru yang luas.

Selendotel mempunyai celah yang dapat menjadi lebih besar daripada 60 A sehingga

terjadi perembesan cairan dan unsur-unsur lain darah ke dalam alveoli dan terjadi

edema paru. Mula-mula cairan berkumpul di interstisium dan jika kapasitas

interstisium terlampaui, alveoli mulai terisi menyebabkan atelektasiskongesti dan

terjadi hubungan intrapulmoner (shunt).

Mekanisme kerusakan endotel pada ARDS dimulai dengan aktivasi

komplemen sebagai akibat trauma, syok, dan lain-lain. Selanjutnya aktivasi


komplemen akan menghasilkan C5a yang menyebabkan granulosit teraktivasi dan

menempel serta merusak endoteliummikrovaskular paru, sehingga mengakibatkan

peningkatan permeabilitas kapiler paru. Agregasi granulosit neutrofil merusak

selendotelium dengan melepaskan protease yang menghancurkan struktur protein

seperti kolagen,elastin dan fibronektin, dan proteolisis protein plasma dalam sirkulasi

seperti faktor Hageman, fibrinogen, dan komplemen (Yusuf, 1996).

Beberapa hal yang menyokong peranan granulosit dalam proses timbulnya

ARDS adalah fakta adanya granulositopenia yang berat pada binatang percobaan

dengan ARDS karena terkumpulnya granulosit dalam paru.

Biopsi paru dari klien dengan ARDS menunjukkan juga adanya pengumpulan

granulosit yang tidak normal dalam parenkim paru. Granulosit yang teraktivasi

mampu melepaskan enzim proteolitik seperti elastase, kolagenase, dan oksigen

radikal yang dapat menghambat aktivitas antiprotease paru.

Endotoksin bakteri, aspirasi asam lambung, dan intoksikasi oksigen dapat

merusak sel endotelium arteri pulmonalis dan leukosit neutrofil yang teraktivasi akan

memperbesar kerusakan tersebut. Histamin, serotonin, atau bradikinin dapat

menyebabkan kontraksi sel endotelium dan mengakibatkan pelebaran

porusinterselular serta peningkatan permeabilitas kapiler.

Adanya hipotensi dan pankreatitis akut dapat menghambat produksi surfaktan

dan fosfolipase A. Selain itu, cairan edema terutama fibrinogen akan menghambat

produksi dan aktivitas surfaktan sehingga menyebabkan mikroatelektasis dan

sirkulasi venoarterial bertambah. Adanya perlambatan aliran kapiler sebab hipotensi,

hiperkoagulabilitas dan asidosis, hemolisis, toksin bakteri, dan lain-lain dapat


merangsang timbulnya koagulasiintravaskular tersebar

(disseminatedintravascularcoagulation-DIC).

Adanya peningkatan permeabilitas kapiler akan menyebabkan cairan

merembes ke jaringan interstitial dan alveoli, menyebabkan edema paru dan

atelektasiskongesti yang luas. Terjadi pengurangan volume paru, paru menjadi kaku

dan komplians (compliance) paru menurun. Kapasitas residufungsional

(functionalresidualcapacity-FRC) juga menurun. Hipoksemia berat merupakan gejala

pentingARDS dan penyebab hipoksemia adalah ketidakseimbangan ventilasi-perfusi

hubungan arterio-venous(aliran darah mengalir ke alveoliyang kolaps), dan kelainan

difusi alveoli-kapiler akibat penebalan dinding alveoli- kapiler.

Peningkatan permeabilitas membran alveoli-kapiler menimbulkan edema

interstitial dan alveolar serta atelektasis alveolar, sehingga jumlah udara sisa pada

paru di akhir ekspirasi normal dan kapasitas residu fungsional (FRC) menurun.
E. Tanda dan Gejala

Ciri khas ARDS adalah hipoksemia yang tidak dapat diatasi selama bernapas
spontan. Frekuensi pernapasan sering kali meningkat secara bermakna dengan
ventilasi menit tinggi. Sianosis dapat atau tidak terjadi. Hal ini harus diingat bahwa
sianosis adalah tanda dini dari hipoksemia.

Menurut Yasmin dan Cristantie, (2003) yaitu :

1. Distres pernafasan akut : takipnea, dispnea, pernafasan menggunakan otot


aksesori, sianosis sentral.

2. Batuk kering dan demam yang terjadi lebih dari beebrapa jam sampai seharian.

3. Krakles halus di seluruh bidah paru.

4. Perubahan sensorium yang berkisar dari kelam piker dan agitasi sampai koma.

Menurut Darmanto (2007) tanda gejala ARDS yaitu :

1. Gejala ARDS muncul 24-48 jam setelah penyakit berat atau trauma. Awalnya
terjadi sesak nafas, takipnea dan nafas pendek dan terlihat jelas penggunaan otot
pernafasan tambahan. Pada pemeriksaan fisik akan didapatkan ronkhi dan mengi.

2. Pada penderita yang tiba-tiba mengalami sesak nafas pada 24 jam setelah
sepsis atau trauma, kecurigaan harus ditujukan pada ARDS.

F. Komplikasi

Komplikasi yang mungkin timbul pada ARDS dan yang berkaitan dalam
tatalaksananya adalah :

1. Barotrauma akibat penggunaan PEEP atau CPAP yang tinggi


2. Komplikasi saluran napas atas akibat ventilasi mekanik jangka panjang
seperti edema laring dan stenosis subglotis
3. Risiko infesi nosokomial yang meningkat : VAP (Ventilator-Associated
Pneumonia), ISK, flebitis. Infeksi nosokomial tersebut terjadi pada 55% kasus
ARDS.
4. Gagal ginjal terutama pada konteks sepsis
5. Multisystem organ failure
6. Miopati yang berkaitan dengan blockade neuromuskular jangka panjang
7. Tromboemboli vena, perdarahan saluran cerna dan anemia.

F. Fase yang menggambarkan terjadinya ARDS

Berdasarkan karakteristik gambaran histopatologinya, ARDS dibagi menjadi 3 fase


seperti tampak pada gambar 1 yaitu:

1. Fase akut (hari 1-6) = tahap eksudatif


- Edema interstitial dan alveolar dengan akumulasi neutrofil, makrofag, dan sel
darah merah
- Kerusakan endotel dan epitel alveolus
- Membran hialin yang menebal di alveoli
2. Fase sub-akut (hari 7-14) = tahap fibroproliferatif
- Sebagian edema sudah direabsorpsi
- Proliferasi sel alveolus tipe II sebagai usaha untuk memperbaiki kerusakan
- Infiltrasi fibroblast dengan deposisi kolagen
3. Fase kronis (setelah hari ke-14) = tahap resolusi
- Sel mononuclear dan makrofag banyak ditemukan di alveoli
- Fibrosis dapat terjadi pada fase ini
Gambar 1. Fase ARDS

G. Pemeriksaan Diagnostik

Diagnostik ARDS dapat dibuat berdasarkan pada kriteria berikut :

1. Gagal napas akut.

2. Infiltratpulmoner “fluffy” bilateral pada gambaran Rontgen thoraks.

3. Hipoksemia (PaO2 di bawah 50-60 mmHg) meski FcO2 50-60% (fraksi

oksigen yang dihirup).

4. Chest X—ray: pada stadium awal tidak terlihat dengan jelas atau dapat juga

terlihat adanya bayangan infiltrat yang terletak di tengah region perihilar paru-paru.

Pada stadium lanjut, terlihat penyebaran di interstisial secara bilateral dan infiltrat

alveolar, menjadi rata dan dapat mencakup keseluruhan lobus paru-paru. Tidak terjadi

pembesaran pada jantung.

5. ABGs: hipoksemia (penurunan PaO2), hipokapnia (penurunan nilai CO2 dapat

terjadi terutama pada fase awal sebagai kompensasi terhadap hiperventilasi),

hiperkapnia (PaCO2 > 50) menunjukkan terjadi gangguan pernapasan.

Alkalosisrespiratori (pH> 7,45) dapat timbul pada stadium awal, tetapi asidosis dapat

juga timbul pada stadium lanjut yang berhubungan dengan peningkatan


anatomicaldeadspace dan penurunan ventilasi alveolar. Asidosis metabolisme dapat

timbul pada stadium lanjut yang berhubungan dengan peningkatan nilai laktat darah,

akibat metabolisme anaerob.

6. Pulmonary Function Test: kapasitas pengisian paru-paru dan volume paru-

paru menurun, terutama PRC, peningkatan anatomicaldeadspace dihasilkan oleh area

di mana timbul vasokonstriksi dan mikroemboli.

H. Penatalaksanaan Medis dan Keperawatan Pasien ARDS

A. Penatalaksanaan Medis
Secara garis besar penatalaksanaan pada pasien ARDS :
1.Ventilasi Mekanik
Aspek penting perawatan ARDS adalah ventilasi mekanis. Terapi modalitas
ini bertujuan untuk memberikan dukungan ventilasi sampai integritas membrane
alveolarkapiler kembali membaik . Dua tujuan tambahan yaitu :
a.Memelihara ventilasi adekuat dan oksigenasi selama periode kritis hipoksemia berat
b.Mengatasi faktor etiologi yang mngawali penyebab distress pernafasan.
2.Positif End Expiratory Breathing (PEEB)
Ventilasi dan oksigenasi adekuat diberikan melalui volume ventilator dengan
tekanan dan kemampuan aliran yang tinggi di mana PEEB dapat ditambahkan. PEEB
diberikan melalui siklus pernafasan untuk mencegah kolaps alveoli pada akhir
ekspirasi.
Komplikasi utama PEEB adalah penurunan curah jantung dan barotraumas.
Hal tersebut sering terjadi pada pasien diventilasi dengan tidal bolume di atas
15ml/kg atau PEEB tingkat tinggi. Peralatan selang torakostomi darurat harus siap
tersedia.
3.Pemantauan Oksigen Arteri adekuat
Sebagian besar volume oksigen ditranspor ke jaringan dalam bentuk
oksihemoglobin. Bila anemia terjadi, kandungan oksigen dalam darah menurun.
SEbagai akibat efek ventilasi mekanik PEEP pengukuran seri hemoglobin perlu
dilakukan untuk kalkulasi kandungan oksigen yang akan menentukan kebutuhan
untuk tranfusi sel darah merah.
4.Titrasi cairan
Efek patologis dari peningkatan permeabilitas alveolar kapiler adalah dapat
mengakibatkan edema interstitial dan edema alveolar. Pemberian cairan yang
berlebihan pada orang normal dapat menyebabkan edema paru-paru dan gagal
pernafasan. Tujuan utama terapi cairan adalah untuk mempertahankan parameter
fisiologik normal.
5.Penggunaan kortikosteroid untuk terapi masih kontroversi. Sebelumnya terapi
antibiotic diberikan untuk profilaksis, tetapi pengalaman menunjukkan bahwa hal ini
tidak dapat mencegah sepsis gram negative yang berbahaya. Akhirnya antibiotic
profilaksis rutin tidak lagi digunakan.
6.Pemeliharaan jalan nafas
Selang endotracheal atau selang trakeostomi disediakan tidak hanya sebagai
jalan nafas, tetapi juga berarti melindungi jalan nafas (dengan cuff utuh), memberikan
dukungan ventilasi kontinudan memberikan konsentrasi oksigen terus-menerus.
Pemeriharaan jalan nafas meliputi : mengetahui waktu penghisapan, teknik
penghisapan, tekanan cuff adekuat, pencegahan nekrosis tekanan nasal dan oral untuk
membuang secret, dan pemonitoran konstan terhadap jalan nafas bagian atas.
7.Mencegah infeksi
Perhatian penting terhadap sekresi pada saluran pernafasan bagian atas dan
bawah serta pencegahan infeksi melalui teknik penghisapan yang telah dilakukan.
8.Dukungan nutrisi
Malnutrisi relative merupakan masalah umum pada pasien dengan masalah
kritis. Nutrisi parental ttal (hipertensi intravena) atau pemebrian makan melalui
selang dapat memperbaiki malnutrisi dan memungkinkan pasien untuk menghindari
gagal nafas sehubungan dengan nutrisi buruk pada otot inspirasi.
(Somantri, 2007).
B. Penatalaksanaan Keperawatan
Menurut Yasmin dan Cristantie, (2003) :
1. Mempertahankan pertukaran gas yang adekuat melalui oksigen (pertahankan terapi
oksigen sesuai dengan pesanan dan pantau tanda-tanda hipoksemia). Dengan
dukungan ventilator, pertahankan patensi jalan udara, jika terpasang jalan udara
buatan ( missal, pipa endotracheal atau tracheostomi), laukan perawatan yang
diperukan. Amankan posisi pipa untuk menghindari pergerakan baik ke luar atau ke
dalam dari posisi yang sudah dietetapkan. Posisikan klien untuk mendapatkan
oksigenasi yang optial biasanya dengan bagian kepala tempat tidur dinaikkan 45
sampai 90 derajat. Auskultasi paru-paru setiap jam untuk mengkaji letak endotracheal.
Lakukan pengisapan pipa endotracheal sesuai dengan yang dierlukan dan periksa
setting ventilator secara teratur.
2. Mempertahankan perfusi jaringan. Pemeliharaan perfusi jaringan yan adekuat
adalah tangung jawab keperawatan.
a. Pantau tekanan pulmonary capillary wedge. Beritahukan dokter jika tekanan
berada di atas atau di bawah rentang yang ditetapkan. Jika tekanan lebih rendah dari
rentang yang ditetapkan , berikan plasma volume eskpander atau medikasi hipotensif
sesuai pesanan. Jika lebih tinggi berikan diuretic atau vasodilator sesuai yang
dipesankn.
b. Kaji halauran urine, tanda-tanda vital dan sktremitas setiap jam.
3. Menurunkan ansietas klien dan keluarganya.
a. Pastikan fungsi ventilator yang tepat untuk memberikan volume tidal dan
konsentrasi oksigen yang adekuat. Jika klien tampak dalam distress pernafasan meski
ventilator oksigen yang adekuat. Jika klien tampak dalam situasi distress pernafasan
meski ventilator berfungsi dengan tepat, kaji kadar gas AGD.
b. Identifikasi cara-cara agar klien dapat mengkomunikasikan kekhawatiran dan
mengekspresikan perasaannya (jika tidak mampu untuk mengungkapkan secara
verbal karena intubasi, coba alternative komunikasi .
c. Berikan penjelasan yang singkat dan dengan sederhana mengenai prosedur,
orientasikan klien terhadap lingkungan sekitar, dan ulang penejalsan secara teratur.
d. Berikan penejelasan tentang rutinitas perawatan dan lingkungan kepada keluarga
klien. Dorong keluarga klien untuk mendekati, berbicara dan menyentuh klien jika
mereka mengkenhendaki
4. Mempertahankan nutrisi yang adekuat.

I. Pencegahan

Pada klien dengan ARDS, posisi semifowler dilakukan untuk mengurangi

kemungkinan regurgitasi asam lambung. Pada klien dengan ARDS yang mendapat

makanan melalui pipa nasogastrik (NGT), penting untuk berpuasa 8 jam sebelum

operasi - yang akan mendapat anestesia umum - agar lambung kosong. Selain

berpuasa selama 8 jam, pemberian antasida dan simetidine sebelum operasi - pada

klien yang akan mendapat anestesia umum - dilakukan untuk menurunkan keasaman

lambung sehingga jika terjadi aspirasi, kerusakan paru akan lebih kecil. Setiap

keadaan syok, harus diatasi secepatnya dan harus selalu memakai filter untuk

transfusi darah, menanggulangi sepsis dengan antibiotik yang adekuat, dan jika perlu

hilangkan sumber infeksi dengan tindakan operasi. Pengawasan yang ketat harus

dilakukan pada klien dengan risiko ARDS selama masa laten, jika klien mengalami

sesak napas, segera lakukan pemeriksaan gas darah arteri (Astrup).


2. Asuhan Keperawatan ARDS

A. PENGKAJIAN

a. Identitas
Identitas pada klien diantaranya: nama, umur, agama, pendidikan, pekerjaan,
suku/bangsa, alamat, jenis kelamin, status perkawinan, dan penanggung biaya.
b. Keluhan utama
Keluhan menyebabkan klien dengan ARDS meminta pertolongan dari tim Kesehatan.
c. Riwayat Kesehatan
1) Riwayat penyakit saat ini
Pengkajian ringkas dengan PQRST dapat lebih memudahkan perawat dalam
melengkapi pengkajian.
- Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi faktor penyebab sesak
napas, apakah sesak napas berkurang apabila beristirahat?
- Quality of Pain: seperti apa rasa sesak napas yang dirasakan atau
digambarkan klien, apakah rasa sesaknya seperti tercekik atau susah dalam
melakukan inspirasi atau kesulitan dalam mencari posisi yang enak dalam melakukan
pernapasan?
- Region: di mana rasa berat dalam melakukan pernapasan?
- Severity of Pain: seberapa jauh rasa sesak yang dirasakan klien?
- Time: berapa lama rasa nyeri berlangsung, kapan, bertambah buruk pada
malam hari atau siang hari, apakah gejala timbul mendadak, perlahan-lahan atau
seketika itu juga, apakah timbul gejala secara terus-menerus atau hilang timbul
(intermitten), apa yang sedang dilakukan klien saat gejala timbul, lama timbulnya
(durasi), kapan gejala tersebut pertama kali timbul (onset).
2) Riwayat Penyakit Dahulu
Pengkajian yang mendukung adalah dengan mengkaji apakah sebelumnya
klien pernah menderita ARDS, Tanyakan mengenai obat-obat yang biasa diminum
oleh klien pada masa lalu. Catat adanya efek samping yang terjai di masa lalu. Kaji
lebih dalam tentang seberapa jauh penurunan berat badan (BB) dalam enam bulan
terakhir. Penurunan BB pada klien dengan ARDS berhubungan erat dengan proses
penyembuhan penyakit serta adanya anoreksia dan mual.
1) Riwayat Penyakit Keluarga
Secara patologi ARDS tidak diturunkan/tidak?
Pengkajian primer
1. Airway : Mengenali adanya sumbatan jalan napas
a. Peningkatan sekresi pernapasan
b. Bunyi nafas krekels, ronki dan mengi
c. Jalan napas adanya sputum, secret, lendir, darah, dan benda asing,
d. Jalan napas bersih atau tidak
2. Breathing
a. Distress pernapasan : pernapasan cuping hidung, takipneu/bradipneu, retraksi.
b. Frekuensi pernapasan : cepat
c. Sesak napas atau tidak
d. Kedalaman Pernapasan
e. Retraksi atau tarikan dinding dada atau tidak
f. Reflek batuk ada atau tidak
g. Penggunaan otot Bantu pernapasan
h. Penggunaan alat Bantu pernapasan ada atau tidak
i. Irama pernapasan : teratur atau tidak
j. Bunyi napas Normal atau tidak
3. Circulation
a. Penurunan curah jantung : gelisah, letargi, takikardia
b. Sakit kepala
c. Gangguan tingkat kesadaran : ansietas, gelisah, kacau mental, mengantuk
d. Papiledema
e. Penurunan haluaran urine
4. Disability
a. Keadaan umum : GCS, kesadaran, nyeri atau tidak
b. adanya trauma atau tidak pada thorax
c. Riwayat penyakit dahulu / sekarang
d. Riwayat pengobatan
e. Obat-obatan / Drugs

B. Pemeriksaan fisik
1. Mata
b. Konjungtiva pucat (karena anemia)
c. Konjungtiva sianosis (karena hipoksia)
d. Konjungtiva terdapat pethechia (karena emboli lemak atau endokarditis)

1. Kulit

a. Sianosis perifer (vasokontriksi dan menurunnya aliran darah perifer)


b. Sianosis secara umum (hipoksemia)
c. Penurunan turgor (dehidrasi)
d. Edema
e. Edema periorbital

2. Jari dan kuku

a. Sianosis
b. Clubbing finger

3. Mulut dan bibir

a. Membrane mukosa sianosis


b. Bernafas dengan mengerutkan mulut

4. Hidung

Pernapasan dengan cuping hidung

5. Vena leher : Adanya distensi/bendungan


6. Dada

a. Retraksi otot bantu pernafasan (karena peningkatan aktivitas pernafasan,


dispnea, atau obstruksi jalan pernafasan)
b. Pergerakan tidak simetris antara dada kiri dengan kanan
c. Tactil fremitus, thrill, (getaran pada dada karena udara/suara melewati saluran
/rongga pernafasan)
d. Suara nafas normal (vesikuler, bronchovesikuler, bronchial)
e. Suara nafas tidak normal (crekler/reles, ronchi, wheezing, friction rub,
/pleural friction)
f. Bunyi perkusi (resonan, hiperresonan, dullness)

7. Pola pernafasan

a. Pernafasan normal (eupnea)


b. Pernafasan cepat (tacypnea)
c. Pernafasan lambat (bradypnea)

C. DIAGNOSA KEPERAWATAN

1. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan hilangnya fungsi


jalan napas, peningkatan sekret pulmonal, peningkatan resistensi jalan napas.
2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan hipoventilasi alveoli,
penumpukan cairan di alveoli, hilangnya surfaktan pada permukaan alveoli
3. Ketidakefeektifan pola napas berhubungan dengan pertukaran gas tidak
adekuat, peningkatan secret, penurunan kemampuan untuk oksigenasi, kelelahan
4. Nyeri berhubungan dengan inflamasi paru, batuk menetap.
5. Hipertermi berhubungan dengan proses inflamasi aktif.
6. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
kelelahan, batuk yang sering, adanya produksi sputum, dispnea, anoreksia, penurunan
kemampuan finansial.
7. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai
dan kebutuhan oksigen.
INTERVENSI KEPERAWATAN
NO.
(NOC) (NIC)
DX
I Setelah diberikan tindakan 1. Monitor fungsi pernapasan, Frekuensi,
keperawatan kebersihan jalan napas irama, kedalaman, bunyi dan
efektif. Dengan kriteria hasil : penggunaan otot tambahan.
a. Mencari posisi yang nyaman 2. Berikan Posisi semi Fowler
yang memudahkan peningkatan 3. Berikan terapi O2
pertukaran udara. 4. Lakukan suction
b. Mendemontrasikan batuk efektif. 5. Berikan fisioterapi dada
c. Menyatakan strategi untuk
menurunkan kekentalan sekresi.

2 Meningkatkan pertukaran gas yang 1. Kaji status pernapasan , catat peningkatan


adekuat . respirasi dan perubahan pola napas .
2. Kaji adanya sianosis dan Observasi
kecenderungan hipoksia dan hiperkapnia
3. Berikan istirahat yang cukup dan nyaman
4. Berikan humidifier oksigen dengan masker
CPAP jika ada indikasi
5. Berikan obat-obat jika ada indikasi seperti
steroids, antibiotik, bronchodilator dan
ekspektorant
3 Kebutuhan cairan klien terpenuhi 1. monitor vital signs seperti tekanan
dan kekurangan cairan tidak terjadi darah, heart rate, denyut nadi (jumlah
dan volume).
2. Amati perubahan kesadaran, turgor
kulit, kelembaban membran mukosa
dan karakter sputum.
3. Hitung intake, output dan balance
cairan. Amati “insesible loss”
4. Timbang berat badan setiap hari
5. Berikan cairan IV dengan observasi
ketat
4 setelah diberikan tindakan 1. Observasi karakteristik nyeri. Misalnya:
keperawatan rasa nyeridapat tajam, konstan, ditusuk. Selidiki
berkurang atau terkontrol perubahan karakter /lokasi/intensitas nyeri
2. Pantau TTV.
Kriteria Hasil :
3. Berikan tindakan nyaman. Misalnya:
a. Menyatakan nyeri berkurang
pijatan punggung, perubahan posisi, musik
atau terkontrol.
tenang, relaksasi/latihan nafas.
b. Pasien tampak rileks
4. Tawarkan pembersihan mulut dengan
sering.
5. Anjurkan dan bantu pasien dalam teknik
menekan dada selama episode batukikasi
6. Kolaborasi dalam pemberian analgesik
sesuai indikasi
5 Setelah diberikan tindakan 1. Kaji suhu tubuh pasien.
keperawatan diharapkan suhu tubuh 2. Beri kompres air hangat.
kembali normal. 3. Berikan/anjurkan pasien untuk banyak
minum 1500-2000 cc/hari (sesuai
Kriteria Hasil :
toleransi).
4. Anjurkan pasien untuk menggunakan
Suhu tubuh 36°C-37°C
pakaian yang tipis dan mudah menyerap
keringat.
5. Observasi intake dan output, tanda vital
(suhu, nadi, tekanan darah) tiap 3 jam
sekali atau sesuai indikasi.
6. Kolaborasi : pemberian cairan intravena
dan pemberian obat sesuai program.
6 Setelah diberikan tindakan 1. Catat status nutrisi paasien: turgor kulit,
keperawatan diharapkan kebutuhan timbang berat badan, integritas mukosa
nutrisi adekuat. mulut, kemampuan menelan, adanya
bising usus, riwayat mual/rnuntah atau
Kriteria hasil :
diare.
a. Menunjukkan berat badan
2. Kaji ulang pola diet pasien yang
meningkat mencapai tujuan
disukai/tidak disukai.
dengan nilai laboratoriurn
3. Monitor intake dan output secara periodik.
normal dan bebas tanda
4. Catat adanya anoreksia, mual, muntah, dan
malnutrisi.
tetapkan jika ada hubungannya dengan
b. Melakukan perubahan pola
medikasi. Awasi frekuensi, volume,
hidup untuk meningkatkan dan
konsistensi Buang Air Besar (BAB).
mempertahankan berat badan
5. Anjurkan bedrest.
yang tepat.
6. Lakukan perawatan mulut sebelum dan
sesudah tindakan pernapasan.
7. Anjurkan makan sedikit dan sering dengan
makanan tinggi protein dan karbohidrat.

Kolaborasi:
8. Rujuk ke ahli gizi untuk menentukan
komposisi diet.
7 Setelah diberikan tindakan 1. Evaluasi respon pasien terhadap aktivitas.
keperawatan pasien diharapkan Catat laporan dispnea, peningkatan
mampu melakukan aktivitas dalam kelemahan atau kelelahan.
batas yang ditoleransi 2. Berikan lingkungan tenang dan batasi
pengunjung selama fase akut sesuai
Kriteria hasil :
indikasi.
3. Jelaskan pentingnya istirahat dalam
Melaporkan atau menunjukan
rencana pengobatandan perlunya
peningkatan toleransi terhadap
keseimbangan aktivitas dan istirahat
aktivitas yang dapat diukur dengan 4. Bantu pasien memilih posisi nyaman
adanya dispnea, kelemahan untuk istirahat.
berlebihan, dan tanda vital dalam 5. Bantu aktivitas perawatan diri yang
rentan normal. diperlukan. Berikan kemajuan peningkatan
aktivitas selama fase penyembuhan.
DAFTAR PUSTAKA

Muttaqin, Arif ( 2008). Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem.


Pernapasan. Jakarta: Salemba Medika.

Doengoes, M.E, (2000). Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman untuk


Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. EGC. Jakarta

Doenges M, Moorhouse M, Geissler A, (2000), Rencana Asuhan Keperawatan,

EGC: Jakarta

Hudak, Gall0. 1997. Keperawatan Kritis. Pendekatan Holistik.Ed.VI. Vol.I. EGC.


Jakarta.

McCloskey, Joanne.2008. Nursing interventions Classification (NIC) Fifth Edition St.


Louis Missouri: Westline Industrial Drive

Moorhead, Sue. 2008. Nursing Outcome Classification (NOC) Fifth Edition St. Louis
Missouri: Westline Industrial Drive

Omantri, Irman, 2007. Keperawatan Medikal Bedah, Salemba Medika : Jakarta.

Yasmin&Cristantie, 2002. Keperawatan Medikal Bedah. EGC: Jakarta.

Pratissa, A. Defrin,D. 2018. Jurnal kesehatan andalas. ARDS + TB Paru Kasus Baru
dalam Pengobatan OAT Kat 1 Fase Intensif pada G6P5AOH5 Gravid 27-28
Minggu. 7, 85-87.

Widyaningsih, P.D. Koesoemoprodjo,W. 2016. Jurnal respirasi. Seorang Perempuan


Terinfeksi Tubercolosis dengan Manifestasi Sindrom Distres Napas Akut
(ARDS). 2(1), 6-13.
Somantri, Irman. 2007. Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Gangguan Sistem
Pernapasan. Salemba. Jakarta.

Rab, Tabrani. 2000. Agenda Gawat Darurat (Critical Care) jilid 2. Bandung: PT.
Alumni.

Peter JV, John P, Graham PL, Moran JL, George IA, Bersten A. 2008. BMJ.
Corticosteroids in the prevention and treatment of acute respiratory
distress syndrome (ARDS) in adults: meta- analysis. 336(7651), 1006-
1009

Leaver SK, Evans TW. 2007. BMJ. Acute respiratory distress syndrome.
335(7616),389- 394.

Anda mungkin juga menyukai