Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN PENDAHULUAN

ACUTE RESPIRATORY DISTRESS SYNDROME (ARDS)

Oleh :

Nama : Amelia Monika


Nim : 21118056

INSTITUT ILMU KESEHATAN DAN TEKNOLOGI


MUHAMMADIYAH PALEMBANG
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
2021
1. Definisi Penyakit
Acute Respiraotry Distress Syndrome (ARDS) adalah suatu sindrom kegagalan
pernafasan akut yang ditandai dengan edema paru akibat peningkatan permeabilitas.
Keadaan ini diperagakan dengan adanya infiltrasi luas pada radiografi dada, gangguan
oksigenisasi, dan fungsi jantung normal (Samik, 1996). Acute Respiraotry Distress
Syndrome (ARDS) merupakan keadaan gagal nafas yang timbul pada klien dewasa tanpa
kelainan paru yang mendasari sebelumnya (Mutaqqin, 2013).
Acute Respiraotry Distress Syndrome (ARDS) merupakan suatu bentukan dari
gagal nafas akut yang ditandai dengan : hipoksemia, penurunan fungsi paru-paru, dispnea,
edema paru-paru bilateral tanpa gagal jantung, dan infiltrate yang menyebar. Yang
kemudian dengan cepat berubah menjadi gagal nafas. Selain itu ARDS juga dikenal dengan
nama “noncardiogenic pulmonary edema atau shock pulmonary”(Sumantri,2007). Dengan
gambaran morfologi berupa kerusakan alveoli inflamatorik yang difus. ARDS yang
disebabkan oleh pneumonia COVID-19 biasa disebut sebagai CARS. Salah satu
keterbatasan kriteria berlin untuk ARDS adalah ketergantungan terhadap pemeriksaan
analisa gas darah untuk menghitung rasio Pa02/FiO2.
Awalnya klinisi menentukan diagnosis ARDS dengan cara : (1) menentukan
kelainan yang dialami pasien akut atau kronis, (2) menentukan adanya faktor resiko atau
kondisi medis lain (3) menjumlahkan poin berdasarkan beratnya disfungsi paru
berdasarkan derajat hipoksemia, level PEEP (positive end expiratory presure) yang
dibutuhkan, komplikasi sistem paru, dan derajat abnormalitas radiologis (lung injury
prediction score). ARDS terdiagnosis bila didapatkan poin lebih dari 2,5 kasus ini
mengandung perhatian serta penelitian lebih lanjut terhadap ARDS, namun tidak adanya
kriteria diagnostik yang spesifik dan kurangnya pemahaman terhadap patogenesis ARDS
menimbulkan kesulitan untuk meneruskan dan membandingkan antar penelitian. Pada
tahun 1994, peneliti di Amerika dan Eropa pada American-European Consesus Conference
(AECC) mengeluarkan sebuah kriteria diagnostik yang diterima dengan luas untuk
mengdiagnosis untuk ARDS. Onset akut, perbandingan tekanan parsial oksigen dibanding
fraksi oksigen kurang dari sama dengan 200 dan tidak tergantung dengan tekanan positif
akhir ekspirasi/PEEP.

2. Etiologi

Penyebab spesifik ARDS masih belum pasti, banyak faktor penyebab yang dapat berperan
pada gangguan ini menyebabkan ARDS tidak disebut sebagai penyakit tetapi sebagai
sindrom. Sepsis merupakan faktor risiko yang paling tinggi, mikroorganisme dan
produknya (terutama endotoksin) bersifat sangat toksik terhadap parenkim paru dan
merupakan faktor risiko terbesar kejadian ARDS, insiden sepsis menyebabkan ARDS
berkisar antara 30-50%.
Aspirasi cairan lambung menduduki tempat kedua sebagai faktor risiko ARDS (30%).
Aspirasi cairan lambung dengan pH<2,5 akan menyebabkan penderita mengalami
chemical burn pada parenkim paru dan menimbulkan kerusakan berat pada epitel alveolar.
Faktor risiko penyebab ARDS dapat dilihat pada tabel.

No Mekanisme Etiologi
Kerusakan paru akibat inhalasi Kelainan paru akibat kebakaran, inhalasi gas
(mekanisme tidak langsung) oksigen, aspirasi asam lambung, sepsis, syok
1. (apapun penyebabnya), koagulasi intravaskuler
tersebut (disseminated intravaskuler coagulaton)
dan pancreatitis idiopatik.
2. Obat-obatan Heroin dan salisilat.
3. Infeksi Virus, bakteri, jamur, dan tb paru.
Sebab lain Emboli lemak, emboli cairanamnion, emboli paru
thrombosis, trauma paru, radiasi, keracunan
4.
oksigen, transfusi massif, kelainan metabolic
(uremia) bedah mayor.
Sumber : mutaqqin, 2013.

a. Depresi Sistem Saraf Pusat


Mengakibatkan gagal nafas karena ventilasi tidak adekuat. Pusat pernapasan yang
mengendalikan pernapasan, terletak dibawah batang otak (pons dan medulla) sehingga
pernafasan lambat dan dangkal

b. Kelainan primer neurologis


Akan memperngaruhi fungsi pernapasan. Impuls yang timbul dalam pusat
pernapasan menjalar melalui saraf yang membentang dari batang otak terus ke saraf spinal
ke reseptor pada otot-otot pernafasan. Penyakit pada saraf seperti gangguan medulla
spinalis, otot-otot pernapasan atau pertemuan neuromuslular yang terjadi pada pernapasan
akan sangat mempengaruhi ventilasi.

c. Efusi pleura, hemotoraks dan pneumothoraks


Merupakan kondisi yang mengganggu ventilasi melalui penghambatan ekspansi
paru. Kondisi ini biasanya diakibatkan penyakti paru yang mendasari, penyakit pleura atau
trauma dan cedera dan dapat menyebabkan gagal nafas.

d. Trauma
Disebabkan oleh kendaraan bermotor dapat menjadi penyebab gagal nafas.
Kecelakaan yang mengakibatkan cidera kepala, ketidaksadaran dan perdarahan dari hidung
dan mulut dapat mengarah pada obstruksi jalan nafas atas dan depresi pernapasan.
Hemothoraks, pnemothoraks dan fraktur tulang iga dapat terjadi dan mungkin meyebabkan
gagal nafas. Flail chest dapat terjadi dan dapat mengarah pada gagal nafas. Pengobatannya
adalah untuk memperbaiki patologi yang mendasar.

e. Penyakit akut paru


Pnemonia disebabkan oleh bakteri dan virus. Pnemonia kimiawi atau pnemonia
diakibatkan oleh mengaspirasi uap yang mengritasi dan materi lambung yang bersifat
asam. Asma bronkial, atelektasis, embolisme paru dan edema paru adalah beberapa kondisi
lain yang menyababkan gagal nafas.

3. Patogenesis

Epitelium alveolar dan endotelium mikrovaskular mengalami kerusakan pada


ARDS. Kerusakan ini menyebabkan peningkatan permeabilitas barier alveolar dan kapiler
sehingga cairan masuk ke dalam ruang alveolar. Derajat kerusakan epithelium alveolar ini
menentukan prognosis.
Epitelium alveolar normal terdiri dari 2 tipe sel, yaitu sel pneumosit tipe I dan sel
pneumosit tipe II. Permukaan alveolar 90% terdiri dari sel pneumosit tipe I berupa sel pipih
yang mudah mengalami kerusakan. Fungsi utama sel pneumosit tipe I adalah pertukaran
gas yang berlangsung secara difusi pasif. Sel pneumosit tipe II meliputi 10% permukaan
alveolar terdiri atas sel kuboid yang mempunyai aktivitas metabolik intraselular, transport
ion, memproduksi surfaktan dan lebih resisten terhadap kerusakan.

Kerusakan epitelium alveolar yang berat menyebabkan kesulitan dalam


mekanisme perbaikan paru dan menyebabkan fibrosis.Kerusakan pada fase aku terjadi
pengelupasan sel epitel bronkial dan alveolar, diikuti dengan pembentukan membran hialin
yang kaya protein pada membran basal epitel yang gundul .Neutrofil memasuki endotel
kapiler yang rusak dan jaringan interstitial dipenuhi cairan yang kaya akan protein
Keberadaan mediator anti inflamasi, interleukin- 1-receptor antagonists, soluble tumor
necrosis factor receptor, auto antibodi yang melawan Interleukin/IL-8 dan IL-10 menjaga
keseimbangan alveolar Perubahan patofisiologi yang terjadi pada ARDS adalah edema
paru interstistial dan penurunan kapasitas residu fungsional (KRF) karena atelektasis
kongestif difus.
Kerusakan endotel kapiler atau epitel alveoli atau keduanya pada ARDS
menyebabkan peningkatan permeabilitas membran alveoli-kapiler (terutama sel
pneumosit tipe I) sehingga cairan kapiler merembes dan berkumpul didalam jaringan
interstitial, jika telah melebihi kapasitasnya akan masuk ke dalam rongga alveoli
(alveolar flooding) sehingga alveoli menjadi kolaps (mikroatelektasis) dan compliance
paru akan lebih menurun. Merembesnya cairan yang banyak mengandung protein dan
sel darah merah akan mengakibatkan perubahan tekanan osmotik.
Cairan bercampur dengan cairan alveoli dan merusak surfaktan sehingga paru
menjadi kaku, keadaan ini akan memperberat atelektasis yang telah terjadi.
Mikroatelektasis akan menyebabkan shunting intrapulmoner, ketidakseimbangan
(mismatch) ventilasi-perfusi (VA/Q) dan menurunnya KRF, semua ini akan
menyebabkan terjadinya hipoksemia berat dan progresivitas yang ditandai dengan
pernapasan cepat dan dalam. Shunting intrapulmoner menyebabkan curah jantung
akan menurun 40%.
Hipoksemia diikuti asidemia, mulanya karena pengumpulan asam laktat
selanjutnya merupakan pencerminan gabungan dari unsur metabolik maupun
respiratorik akibat gangguan pertukaran gas. Penderita yang sembuh dapat
menunjukan kelainan faal paru berupa penurunan volume paru, kecepatan aliran udara
dan khususnya menurunkan kapasitas difusi.
Secara ringkas, terdapat 3 fase kerusakan alveolus pada ARDS yaitu

1. Fase eksudatif : fase permulaan, dengan cedera pada endothelium dan epitelium,
inflamasi, dan eksudasi cairan. Terjadi 2-4 hari sejak serangan akut.
2. Fase proliferatif : terjadi setelah fase eksudatif, ditandai dengan influks dan
proliferasi fibroblast, sel tipe II, dan miofibroblast, menyebabkan penebalan
dinding alveolus dan perubahan eksudat perdarahan menjadi jaringan granulasi
seluler/ membran hialin. Merupakan fase menentukan : cedera bisa mulai sembuh
atau menjadi menetap, ada resiko terjadi lung rupture (pneumothorax)
3. Fase fibrotik/recovery : Jika pasien bertahan sampai 3 minggu, paru akan
mengalami remodeling dan fibrosis. Fungsi paru berangsur- angsur membaik dalam
waktu 6 – 12 bulan, dan sangat bervariasi antar individu, tergantung keparahan
cederanya.

4. Anatomi dan fisiologi


a. Anatomi dan fisiologi paru
Paru-paru merupakan organ yang elastik berbentuk kerucut yang terletak dalam
rongga thoraks dan merupakan organ tubuh yang sering mengalami kelainan patologi.
Paru terbagi menjadi 2 yaitu paru kanan yang berukuran lebih besat dan paru kiri. Paru-
paru kanan dibagi menjadi 3 lobus oleh fissura interlobaris dan paru-paru kiri menjadi
dua lobus. Setiap paru-paru terbagi juga menjadi beberapa sub bagian yaitu menjadi
sepuluh unit terkecil yang disebut brochopupmonary segments. Paru kiri dan paru
kanan dipisahkan oleh ruang yang disebut mediastinum.
Paru-paru dibungkus oleh membran serosa yairu pleura. Pleura yang melapisi i
rongga dada disebut pleura perietalis, sedangkan pleura yang menyelubungui paru
disebut pleura viceralis. Diantara pleura parietalis dan pleura veciralis terdapat celah
ruangan yang disebut dengan vacum pleura. Ruangan ini normalnya berisi sedikit
cairan serous untuk melumasi dinding dalam pleura. Vacum pleura memiliki tekanan
negatif yang saling tarik menarik, dimana ketika diafragma dan dinding dada
mengembang maka paru akan ikut tertarik mengembang begitu juga sebaliknya.
Fungsi utama paru-paru yaitu sebagai alat respirasi untuk pertukaran gas oksigen
dan karbon dioksida. Pertukaran gas ini terjadi pada alveolus-alveolus di paru melalui
sistem kapiler. Pertukaran gas tersebut untuk menyediakan kebutuhan oksigen bagi
jaringan. Kebutuhan oksigen dan karbon dioksida akan berubah sesuai dengan tingkat
aktivitas dan metabolisme seseorang.
Untuk melaksanakan fungsi tersebut, pernafasan dapat dibagi menjadi empat
mekanisme dasar, yaitu :
1. Ventilasi paru
Ventilasi adalah sirkulasi keluar masukny udara atmosfer dan alveoli. Proses
berlangsung disistem pernafasan.
2. Difusi
Difusi adalah pertukaran dari oksigen dan karbon dioksida antara alveoli dan darah.
Proses ini terjadi di sistem pernafasan.
3. Transpor gas
Transpor gas adalah pengangkutan oksigen dan karbon dioksida dalam darah dan
cairan tubuh ke dan dari sel. Proses ini terjadi di sistem sirkulasi.

4. Pengaturan ventilasi
Volume paru dan kapasitas fungsi paru merupakan gambaran fungsi ventilasi sistem
pernapasan. Dengan mengetahui besarnya volume dan kapasitas fungsi paru dapat
diketahui besarnya kapasitas ventilasi maupun ada atau tidaknya kelainan fungsi
paru.

b. Histologi paru
Alveolus paru merupakan unit mikrokopik utama dari organ paru yang berbentuk
kantung terbuka pada salah satu isinya. Alveolus merupakan suatu invaginasi kecil
seperti kantung pada bronkiolus repiratorius, duktus alveolaris, sakus alveolaris.
Struktur seperti kantung ini penting untuk pertukaran oksigen dan CO2 antara udara
dan darah. Struktur dinding alveoli dikhususkan untuk difusi antara lingkungan
eksterna dan interna. Setiap dinding dari dua alveolus yang berdekatan menjadi satu
dinamakan septum atau dinding interalveolaris. Septum alveolaris terdiri atas dua
lapisan epitel gepeng tipis diantaranya terdapat kapiler dan jaringan ikat. Struktur ini
menyebabkan septum interalveolaris sangat fleksibel, tidak kaku sehingga
pengembangan tidak sempurna dan tidak terlalu lunak sehingga pembuluh darah tidak
pecah.
Jumlah alveolus mencapai 300 juta buah. Dengan adanya alveolus, luas permukaan
seluruh alveolus diperkirakan mencapai 100 kaki lebih luas daripada permukaan tubuh.
Dinding alveolus mengandung kapiler darah yang memungkinkan terjadinya difusi gas.
Alveolus dilapisi sel alveolar tipe 1 (sel alveolar gepeng) yang berfungsi mengadakan
sawar dengan ketebalan minimal yang dengan dapat mudah dilalui gas. Sel tipe II (sel
alveolar besar) ditemukan diantara sel alveolar tipe 1. Sel-sel ini mengandung badan
berlamer yang menghasilkan materi yang menyebar diatas permukaan alveolus,
memberi lapisan alveolar ekstraseluler yang berfungsi menurunkan ketegangan
fulmumer yaitu surfktan pulmuner. Sel alveolar tipe 1 merupakan lapisan tipis yang
menyebar menutupi lebih dari 90 persen daerah dipermukaan paru.

Gambar 1. Dinding alveolus : septa interalveolar. Pulasan hematoksilin eosin.


Pembesaran 40x.

c. Patologi paru
Patologi pada saluran napas yang terjadi terutama pada paru dapat disebabkan oleh
iritan, inhalasi alergen dan toksik obat-obatan. Bahan-bahan kimiawi dan toksik
seringkali menyebabkan iritasi membran mukosa di saluran napas. Pada gambaran
mikroskopis tampak inflamasi akut pada mukosa dengan gambaran infiltrasi sel radang,
edema paru dan destruksi dinding alveoli.
Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) merupakan suatu kontinum gagal
napas progresif yang didefinisikan adanya tanda dispneu akut, penurunan tekanan
oksigen arteri, hipoksemia, timbulnya infiltrat paru bilateral pada radiografi dan tidak
adanya tanda klinis gagal jantung kiri pimer. ARDS biasanya diawali dengan Acute
Lung Injury (ALI) dengan kelainan ringan pada fungsi respirasi yang berkembang
menjadi ARDS yang secara klinis lebih parah. The American-European Consensus on
ARDS menemukan insidensi Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) antara 12,6-
28,0 kasus / 100.000 penduduk / tahun serta kematian akibat gagal napas dilaporkan
sekitar 40%.

ARDS integritas sawar ini terganggu karena adanya cedera endotel atau epitel yang
mengalami kerusakan. Konsekuensi akut kerusakan pada membran kapiler alveolus
adalah permeabilitas vaskuler meningkat dan banyaknya alveolus, hilangnya kapasitas
difusi dan kelainan permukaan surfaktan akibat kerusakan pada pneumosit tipe II.
Kerusakan epitelium alveolar yang berat menyebabkan kesulitan dalam mekanisme
perbaikan paru dan menyebabkan fibrosis. Kerusakan pada fase aku terjadi
pengelupasan sel epitel bronkial dan alveolar, diikuti dengan pembentukan membran
hialin yang kaya protein pada membran basal epitel yang menipis. Cedera paru ini
disebabkan pula oleh ketidakseimbangan sitokin proinflamasi dan antiinflamasi.
Pengeluaran sitokin IL-8, IL-1 dan TNF menyebabkan sekuestrasi dan pengaktifan
neutrophil. Netrofil memasuki endotel kapiler yang rusak dan jaringan interstitial
dipenuhi cairan yang kaya akan protein. Netrofil ini yang diperkirakan berperan dalam
patogenesis ARDS.
Pada pemeriksaan makroskopis paru terlihat paru tampak warna merah tua, padat,
tidak mengandung udara dan berat. Secara mikroskopis pada fase eksudatif atau akut
hingga hari ke 7 ditandai dengan kongesti kapiler, nekrosis sel epitel alveolus, edema
dan perdarahan interstisium dan intra alveolus serta penumpukan neutrofil di kapiler.
Duktus alveolaris melebar dan alveolus cenderung kolaps karena gangguan sekunder
pada sintesis surfaktan. Trombus fibrin juga terbentuk di kapiler dan pembuluh darah
besar, namun temuan khas adalah membran hialin yang terutama melapisi duktus
alveolaris yang melebar.
Pada fase proliferasi pada minggu ke 1 hingga minggu ke 3 ditandai dengan
proliferasi pneumosit tipe II dan oleh fagositosis membran hialin sisa dari makrofag
paru. Hiperplasi pneumosit tipe II akibat dari suatu fenomena reparatif yaitu sel tersebut
menggantikan pneumosit tipe I yang terlepas dan kemudian berdiferensiasi menjadi sel
tipe I. Ekspansi septum alveolus oleh proliferasi fibroblast dan jaringan ikat interstisium
juga terjadi. Pada pasien yang sembuh dari fase akut akan mengalami sedikit sekuele
histologik atau terjadi fibrosis progresif yang mengenai interstisium dan ruang alveolus.
Hasil akhir ini menyebabkan distorsi hebat parenkim paru biasanya menimbulkan
fibrosis interstisium difus yang dikelilingi oleh rongga udara yang melebar dan
terdistorsi dengan gambaran khas yaitu honey comb lung.
Gambar 2. A. Alveolus normal B. Fase awal cedera akut dan sindrom gawat
napas akut

5. Patofisiologi
Perubahan patofisiologi yang terjadi pada ARDS adalah edema paru interstistial dan
penurunan kapasitas residu fungsional (KRF) karena atelektasis kongestif difus. Keadaan
normal, filtrasi cairan ditentukan oleh hukum Starling yang menyatakan filtrasi melewati
endotel dan ruang intertisial adalah selisih tekanan osmotik protein dan hidrostatik.

Q = K (Pc-Pt) – D (c-t)

Q : kecepatan filtrasi melewati membran kapiler Pt : tekanan hidrostatik


interstitial K : koefisien filtrasi
c : tekanan onkotik kapiler D : koefisien refleksi
t : tekanan onkotik interstitial Pc : tekanan hidrostatik kapiler

Perubahan tiap aspek dari hukum Starling akan menyebabkan terjadinya edema
paru. Tekanan hidrostatik kapiler (Pc) meningkat akibat kegagalan fungsi ventrikel kiri
akan menyebabkan peningkatan filtrasi cairan dari kapiler ke interstitial. Cairan kapiler
tersebut akan mengencerkan protein intertsitial sehingga tekanan osmotik interstitial
menurun dan mengurangi pengaliran cairan ke dalam vena.
Kerusakan endotel kapiler atau epitel alveoli atau keduanya pada ARDS
menyebabkan peningkatan permeabilitas membran alveoli-kapiler (terutama sel pneumosit
tipe I) sehingga cairan kapiler merembes dan berkumpul didalam jaringan interstitial, jika
telah melebihi kapasitasnya akan masuk ke dalam rongga alveoli (alveolar flooding)
sehingga alveoli menjadi kolaps (mikroatelektasis) dan compliance paru akan lebih
menurun. Merembesnya cairan yang banyak mengandung protein dan sel darah merah
akan mengakibatkan perubahan tekanan osmotik.
Cairan bercampur dengan cairan alveoli dan merusak surfaktan sehingga paru
menjadi kaku, keadaan ini akan memperberat atelektasis yang telah terjadi.
Mikroatelektasis akan menyebabkan shunting intrapulmoner, ketidakseimbangan
(mismatch) ventilasi- perfusi (VA/Q) dan menurunnya KRF, semua ini akan menyebabkan
terjadinya hipoksemia berat dan progresivitas yang ditandai dengan pernapasan cepat dan
dalam. Shunting intrapulmoner menyebabkan curah jantung akan menurun 40%.
Hipoksemia diikuti asidemia, mulanya karena pengumpulan asam laktat selanjutnya
merupakan pencerminan gabungan dari unsur metabolik maupun respiratorik akibat
gangguan pertukaran gas. Penderita yang sembuh dapat menunjukan kelainan faal paru
berupa penurunan volume paru, kecepatan aliran udara dan khususnya menurunkan kapasitas

difusi.
Gambar 2. Gerakan diafragma saat inspirasi dan ekspirasi

6. Patoflow
7. Manifestasi Klinis
Gejala klinis utama pada kasus ARDS adalah:
a. Penurunan kesadaran mental
b. Dispnea serta takipnea yang berat akibat hipoksemia
c. Terdapat retraksi interoksa
d. Sianosis
e. Hipoksemia
f. Auskultasi paru: ronkhi basah,krekels, wheezing
g. Hipotensi

8. Komplikasi
a. Infeksi paru
b. Abnormalitas obstruktif (keterbatasan aliran udara )
c. Defek difusi sedang
d. Hipoksemia
e. Toksisitas oksigen

9. Pemeriksaan penunjang

a. Laboratorium:

 AGDA: hipoksemia, hipokapnia (sekunder karena hiperventilasi), hiperkapnia


(pada emfisema atau keadaan lanjut), bisa terjadi alkalosis respiratorik pada proses
awal dan kemudian berkembang menjadi asidosis respiratorik.
 Pada darah perifer bisa dijumpai gambaran leukositosis (pada sepsis), anemia,
trombositopenia (refleksi inflamasi sistemik dan kerusakan endotel, peningkatan
kadar amylase (pada kasus pancreatitis sebagai penyebab ARDSnya)
 Gangguan fungsi ginjal dan hati, gambaran koagulasi intravascular disseminata
yang merupakan bagian dari MODS.
b. Radiologi:
Pada awal proses, dari foto thoraks bisa ditemukan lapangan paru yang relatif
jernih, namun pada foto serial berikutnya tampak bayangan radio-opak yang difus
atau patchy bilateral dan diikuti pada foto serial berikutnya tampak gambaran
confluent tanpa gambaran kongesti atau pembesaran jantung. Dari CT scan tampak
pola heterogen, predominan limfosit pada area dorsal paru (foto supine).

10. Penatalaksanaan Medis Dan Keperawatan


a. Terapi Non Farmakologis
1. Penggunaan Ventilasi Mekanis Invasif Pada ARDS

Kegagalan ventilasi biasanya disertai penurunan Kapasitas residual


fungsional (KRF) yaitu adalah volume udara yang tetap berada di dalam paru
pada akhir ekspirasi tidal normal karena tidak ada otot pernapasan yang
berkontraksi pada saat ekspirasi. Kapasitas residu fungsional berisi 1/3
cadangan total O2 (1-2,3 liter) dan merupakan penyangga ventilasi alveolar
dalam pertukaran gas sehingga memperkecil fluktuasi komposisi gas alveolar
yang terjadi selama pernapasan Prinsip pengaturan ventilator pasien ARDS
meliputi volume tidal rendah (4 -6 mL/kgBB) dan PEEP yang adekuat, kedua
pengaturan ini dimaksudkan untuk memberikan oksigenasi adekuat (PaO2 > 60
mmHg) dengan tingkat FiO2 aman, menghindari barotrauma (tekanan saluran
napas <35cmH2O atau di bawah titik refleksi dari kurva pressure-volume) dan
menyesuaikan (I:E) rasio inspirasi: ekspirasi (lebih tinggi atau kebalikan rasio
waktu inspirasi terhadap ekspirasi dan hiperkapnea yang diperbolehkan).
Selain pengaturan ventilasi dengan cara diatas, masih ada lagi teknik
pengaturan ventilasi untuk ARDS (strategi ventilasi terkini) meliputi high
frequency ventilation (HVF), inverse ratio ventilation (IRV), airway pressure
release ventilation (APRV), prone position, pemberian surfaktan eksogen,
ventilasi mekanik cair dan extracorporeal membrane oxygenation (ECMO)
serta extracorporeal carbon dioxide removal (ECCO2R).
Metode HFV dapat mempertahankan ventilasi yang adekuat serta
mencegah kolaps alveoli melalui frekuensi tinggi (300 x/menit) dan volume
tidal rendah (3 -5 ml/kg). Teknik ini berhasil diaplikasikan pada neonatus
dengan penyakit membran hialin, tetapi manfaat HFV pada ARDS dewasa
masih belum dipastikan.
Metode IRV didesain untuk memperpanjang fase siklus ventilasi inspirasi,
yang mengakibatkan peningkatan tekanan saluran pernapasan, sehingga
memperbaiki oksigenasi. Rasio I:E normal adalah 1:2 dan IRV dapat
memperpanjang fase inspirasi menjadi rasio I:E melebihi 1:1. Manfaat IRV
pada ARDS masih kontroversial dan ketidaknyamanan yang berkaitan dengan
cara ini sering kali memerlukan sedasi dan paralisis otot yang kuat bagi pasien.
Metode APRV didesain untuk menghantarkan volume tidal saat terjadi
penurunan sementara tekanan intratoraks dan mempertahankan tekanan
inspriasi yang konstan dengan peningkatan PEEP sehingga memperbaiki
oksigenasi pasien ARDS. Metode APRV menggunakan tekanan tinggi secara
kontinyu untuk mendorong recruitment alveolar dan mempertahankan volume
paru yang adekuat. Saat fase pelepasan tekanan akan menurun dalam ventilasi
semenit secara spontan sehingga memungkinkan terjadinya pernapasan spontan
tanpa restriksi selama siklus ventilator sehingga membuat ventilasi yang lebih
baik pada daerah paru dependent, mengurangi atelektasis dan memperbaiki
volume paru akhir ekspirasi pada cedera paru. Hal tersebut dapat
mengakibatkan perbaikan ventilasi-perfusi serta oksigenasi yang lebih baik..
2. Pengaruh Intermittent Positive Pressure Ventilation (IPPV) terhadap
hemodinamik
Pemberian IPPV saat inspirasi timbul tekanan positif pada jalan napas
sedangkan pada pernapasan spontan terjadi tekanan negatif di ruang pleura
maka tekanan intratorakal pada IPPV akan lebih besar dibandingkan pernapasan
spontan. Penderita dengan paru normal, peninggian tekanan intratorakal akan
menimbulkan penurunan pengisian curah jantung kiri dan kanan, tergantung
pada volume darah dan venous return. Jantung kiri terjadi perbedaan tekanan
aorta intratorakal dan ekstratorakal menyebabkan penurunan afterload sehingga
pada keadaan hiperdinamik bila terdapat gagal jantung pemberian IPPV sangat
bermanfaat

3. Pengaruh Intermittent Positive Pressure Ventilation (IPPV) terhadap


hubungan ventilasi- perfusi (V/Q) dan pertukaran gas
Pertukaran gas yang normal tergantung pada hubungan antara udara
(ventilasi- alveolar/VA) dan aliran darah (perfusi/Q). Rasio ventilasi perfusi
yang ideal (V/ Q) adalah 1:1, keadaan normal, tekanan arteri pulmonalis akan
menjadi rendah akibat pengaruh gravitasi sehingga menyebabkan aliran darah
paru bagian atas sedikit (V/Q tinggi), sedangkan aliran darah paru bagian basal
lebih banyak (V/Q rendah). Metode IPPV pada pasien posisi terlentang,
distribusi udara inspirasi lebih merata dibandingkan dengan pernapasan
spontan. 6,8,9
Metode ventilasi mekanis untuk ARDS sudah menjadi perdebatan sejak awal
sindrom ini ditemukan. Metode ventilasi mekanis yang lama pada pasien
ARDS direkomendasikan menggunakan peningkatan volume tidal menjadi 10-
15 ml/kgBB. Pemakaian volume tidal yang tinggi dapat menyebabkan
kerusakan paru yang makin luas karena peningkatan tekanan jalan napas
menyebabkan distensi yang berlebihan pada alveoli, peningkatan permeabilitas
vaskular paru, inflamasi akut, perdarahan alveolar dan shunt intrapulmoner
sehingga untuk keberhasilan pengunaan ventilasi mekanis invasif pada ARDS
maka AECC merekomendasikan pembatasan volume tidal, PEEP dan
hiperkapnea.

4. Ventilasi Volume Tidal Rendah


Volume tidal merupakan volume udara yang dihantarkan oleh ventilasi
mekanis setiap sekali bernapas. Umumnya diatur antara 5-15 ml/kgBB,
tergantung compliance, resistensi dan jenis kelainan paru. Pemakaian volume
tidal rendah pada pasien ARDS mentoleransi terjadinya hiperkapnea dengan
membiarkan PaCO2 tinggi > 45 mmHg, tetapi PaO2 normal dengan cara
menurunkan volume tidal yaitu 4-6 mL/kgBB yang ini bertujuan menghindari
terjadinya barotrauma.6
Penelitian prospektif secara random yang membandingkan antara pasien
ARDS yang mendapat volume tidal tinggi dan mendapat volume tidal rendah
terdapat penurunan mortalitas dari 40% menjadi 31%. Pemakaian volume tidal
rendah saat ini dipertimbangkan sebagai terapi penunjang pasien ARDS karena
dapat menurunkan angka mortalitas dan mengurangi waktu penggunaan
ventilator.7,8
Pengaturan ventilasi volume tidal rendah, PEEP tinggi, manuver
pengisian alveolar dan memposisikan pasien telentang akan berguna pada
pasien hipoksemia berat tetapi metode ventilasi tersebut tidak meningkatkan
angka keberhasilan penanganan ARDS. Ketertarikan awal dalam ventilasi
volume tidal rendah didorong oleh penelitian pada binatang yang menunjukkan
bahwa ventilasi dengan volume tidal besar dan tekanan inspirasi tinggi
mengakibatkan timbulnya ALI yang ditandai oleh membran hialin dan infiltrat
inflamasi. Dahulu volume tidal tinggi sebesar 10-15 mL/kgBB telah digunakan
pada pasien gagal napas tetapi pada pertengahan tahun 1980-an pada
penatalaksanaan ARDS mengakibatkan jumlah jaringan paru yang normal
menjadi overdistensi alveolar, yang dikenal dengan istilah “baby lung”.
Secara spesifik, direkomendasikan penggunaan protokol ventilasi yang
digariskan oleh peneliti ARDS Network dalam suatu publikasi Respiratory
Management in ALI/ARDS (ARMA) tahun 2000. Protokol ini menyebutkan
lebih banyak mengenai penggunaan volume tidal rendah, sebagai berikut:8
1. Volume tidal secara sistematik disesuaikan (4-6 mL/kgBB) untuk
mempertahankan tekanan plateau 30 cmH2O.
2. Respiratory rate harus dititrasi sesuai kebutuhan (6-35 kali/menit) untuk
mempertahankan pH sebesar 7,3 hingga 7,45.
3. Kombinasi tepat dari fraction of inspired oxygen (FIO2) dan positive end-
expiratory pressure (PEEP) untuk mencapai oksigenasi yang adekuat (PaO2
55 -80 mmHg atau saturasi pulsasi oksimetri ± 88%-95%).

Pemakaian ventilasi volume tidal rendah disertai dengan hiperkapnea akan


menyebabkan pasien tidak nyaman, demikian juga peningkatan PaCO 2 yang
akut dapat mengakibatkan abnormalitas fisiologis seperti vasodilatasi,
takikardi, dan hipotensi. Tahun 2000, ARMA merekomendasikan penggunaan
sedasi dengan tujuan untuk kenyamanan pasien. Timbulnya hiperkapnea yang
ringan dapat diterima dan ditoleransi oleh sebagian besar pasien ARDS, bila
pasien disertai asidosis metabolik harus secepatnya dikoreksi dan ARMA
merekomendasikan dengan meningkatkan respiratory rate (hingga 35
kali/menit) dan infus bikarbonat pada kondisi demikian.

5. Positive End Expiratory Pressure (PEEP) tinggi


Asbaugh dkk (1967) memperkenalkan penggunaan Positive end
expiratory pressure (PEEP) sebagai model ventilasi mekanis untuk mengatasi
hipoksemia refrakter pada pasien ARDS dan mencegah kerusakan paru akibat
pembukaan dan penutupan bronkiolus dan alveolus yang berulang sehingga
mencegah kolaps paru saat akhir ekspirasi. Positive end expiratory pressure
(PEEP) merupakan komponen penting ventilasi mekanis pada ARDS yang di
setting pada 5-12 cm H2O.

b. Terapi farmakologis

Pilihan terapi farmakologis pada manajemen ARDS masih sangat


terbatas. Penggunaan surfaktan dalam manajemen ARDS pada anak-anak
memang bermanfaat, namun penggunaanya pada orang dewasa masih
kontroversi. Studi review yang dilakukan Cochrane dkk tidak menemukan
manfaat penggunaan surfaktan pada ARDS dewasa.
Penggunaan kortikosteroid juga masih kontroversi. Beberapa
randomized controlled study dan studi kohort mendukung penggunaan
kortikosteroid sedini mungkin dalam penatalaksanaan ARDS berat.
Kortikosteroid seperti methiprednisolon diberikan dengan dosis 1mg/kg.bb/hari
selama 14 hari lalu ditapering off. Penggunaan kortikosteroid dapat
menurunkan kebutuhan penggunaan ventilator dalam hitungan hari, walaupun
penggunaan kortikosteroid tidak terbukti menurunkan angka mortalitas.15,16
Pemberian nitrit okside inhalasi (iNO) dan prostasiklin (PGI2) mungkin dapat
menurunkan shunt pulmoner dan afterload ventrikel kanan dengan menurunkan
impedansi arteri pulmoner. 40-70% ARDS mengalami perbaikan oksigenasi
dengan iNO. Penambahan almitrin intravena mempunyai dampak aditif pada
perbaikan oksigenasi. Sementara pemberian PGI2 dengan dosis sampai 50
ng/kg.bb/menit ternyata memperbaiki oksigenasi sama efektifnya dengan iNO
pada pasien ARDS.

11. Asuhan keperawatan


a. Pengkajian primer
1) Airway
a) Peningkatan sekresi pernapasan
b) Bunyi nafas krekels, ronki dan mengi
c) Jalan napas adanya sputum, secret, lendir, darah, dan benda asing,
d) Jalan napas bersih atau tidak

2) Breathing
a) Distress pernapasan : pernapasan cuping hidung, takipneu/bradipneu, retraksi.
b) Peningkatan frekuensi nafas.
c) Nafas dangkal dan cepat
d) Kelemahan otot pernapasan
e) Reflek batuk ada atau tidak
f) Penggunaan otot Bantu pernapasan
g) Penggunaan alat Bantu pernapasan ada atau tidak
h) Irama pernapasan : teratur atau tidak
i) Bunyi napas Normal atau tidak

3) Circulation
a) Penurunan curah jantung : gelisah, letargi, takikardia
b) Sakit kepala
c) Gangguan tingkat kesadaran

4) Disability
a) Keadaan umum : GCS, tingkat kesadaran, nyeri atau tidak
b) Adanya trauma atau tidak pada thoraks

5) Exposure
a) Enviromental control
b) Buka baju penderita tetapi cegah terjadinya hipotermia
b. Pengkajian Sekunder
1) Identitas Pasien
Nama, Umur, Pendidikan, Pekerjaan, Suku, Agama, Alamat, Tanggal Pengkajian.

2) Riwayat Penyakit Sekarang


Kaji apakah klien sebelum masuk rumah sakit memiliki riwayat penyait yang sama
ketika klien mauk rumah sakit.

3) Riwayat Penyakit Dahulu


Kaji apakah klien pernah menderita riwayat penyakit yang sama sebelumnya.

4) Pemeriksaan Fisik
a) B1 (Breath)
Sesak nafas, nafas cepat dan dangkal, apakah terdapat suara tambahan seperti
krekel, ronchi, wheezing.
b) B2 (Blood)
Takikardi, tekanan darah bisa normal atau meningkat (terjadinya hipoksemia).
c) B3 (Brain)
Tingkat kesadaran menurun (seperti bingung atau agitasi), pingsan, nyeri kepala
(penyebabnya karena adanya trauma), mata berkunang-kunang, berkeringat
banyak.
d) B4 (Bowel)
Adakah penurunan prouksi urine (berkurangnya produksi urine menunjukkan
adanya gangguan perfusi ginjal).

e) B5 (Bladder)
Status cairan dan nutrisi penting dikaji karena bila ada gangguan status nutrisi dan
cairan akan memperberat keadaan seperti cairan yang berlebihan dan albumin
yang rendah akan memperberat edema paru.
f) B6 (Bone)
Kelemahan otot, mudah lelah

b. Diagnosa Keperawatan
1. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan sindrom hipoventilasi
2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidakseimbangan perkusi
3. Gangguan pola tidur berhubungan dengan kurang kontrol tidur
c. Intervensi keperawatan
N Diagnosa keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi

1 Ketidakefektifan pola Tujuan : Manajemen Jalan Nafas


nafas berhubungan Setelah dilakukan tindakan asuhan keperawatan 1. Monitor status pernafasan dan oksigenasi
dengan sindrom selama 1 x 24 jam, masalah ketidakefektifan sebagaimana mestinya.
hipoventilasi pola nafas teratasi. 2. Posisikan pasien untukmemaksimalkan ventilasi.
3. Instruksikan bagaimana agar bisa melakukan batuk
Kriteria Hasil : efektif.
Status Pernapasan ( 0415 ) 4. Lakukan fisioterapi dada sebagaimana mestinya.
Indikator SA ST 5. Buang secret dengan memotivasi pasien
Frekuensi 2 5 untukmelakukan batuk atau menyedot lender.
pernapasan 6. Auskultasi suara nafas, catat area yang ventilasinya
Irama pernapasan 2 5 menurun atau tidak ada dan adanya suara tambahan.
7. Kolaborasi dengan tim medis untuk melakukan
Suara auskultasi 3 5
nebulizer.
nafas
Sianosis 2 5
Dyspnue dengan 2 5
aktivitas ringan
Gangguan 3 5
kesadaran
Akumulasi sputum 2 5
Suara nafas 2 5
tambahan
Batuk 3 5

Keterangan :
1 : Deviasi Berat dari Kisaran Normal
2 : Deviasi yang Cukup Berat dari Kisaran
Normal 3 : Deviasi Sedang dari Kisaran Normal
4 : Deviasi Ringan dari Kisaran Normal
5 : Tidak Ada Deviasi dari Kisaran Normal
2 pertukaran gas Setelah dilakukan tindakan asuhan keperawatan Pemantauan respirasi:
berhubungan dengan selama 2 x 24 jam, maka pertukaran gas meningkat Observasi :
ketidakseimbangan 1. monitor frekuensi,irama,kedalaman, dan upaya
perkusi (00030) Kriteria hasil: napas
Pertukaran gas 2. monitor pola nafas
INDIKATOR SA ST teraupetik :
dispnea 2 4 1. atur interval pemantauan respirasi sesuai
Bunyi nafas 1 5 kondisi pasien
tambahan 2. dokumentasikan hasil pemantauan
Pusing 2 4 edukasi :
Gelisah 3 5 1. jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
2. informasikan hasil pemantauan, bila perlu
Ket :
1. Menurun
2. Cukup menurun
3. Sedang
4. Cukup menurun
5. menurun
3 Gangguan pola tidur Tujuan : Dukungan tidur
berhubungan dengan Setelah dilakukan tindakan asuhan keperawatan Observasi :
kurang kontrol tidur selama 2 x 24 menit pasien dapat keadekuatan 1. identifikasi pola aktivitas dan tidur
kualitas dan kuantitas pola tidur. 2. identifikasi fakor pengganggu
Kriteria hasil : tidur teraupetik :
INDIKATOR SA ST 1. modifikasi lingkungan
Keluhan sulit tidur 5 1 2. batasi waktu tidur siang
Keluhan sering terjaga 5 2 edukasi:
Keluhan tidak puas tidur 4 1 1. jelaskan pentingnya tidur cukup selama sakit
Keluhan pola tidur berubah 5 1 2. anjurkan menempati kebiasaan waktu tidur
Keluhan istirahat tidak cukup 5 1

Ket :
1. menurun
2. cukup menurun
3. sedang
4. cukup meningkat
5. meningkat
DAFTAR PUSTAKA

Krisanty , paula. (2009). Asuhan Keperawatan Gawat Darurat. Jakarta.

Prof. Dr. Bakta, Made. I, SpSD(KHOM). (1999). Gawat Darurat di bidang Penyakit Dalam.

Penerbit buku kedokteran. EGC. Jakarta .

Carpenito,Lynda Juall. (2001). Buku Saku Diagnosa Keperawatan.EGC. Jakarta.

Hudak, Gall0. (1997). Keperawatan Kritis. Pendekatan Holistik.Ed.VI. Vol.I. EGC.

Jakarta. http/: www. Google. Com. Asuhan keperawatan gawat darurat pada

pasien dengan ARDS.

Darmanto, 2007. Respirologi, EGC: Jakarta.

McCloskey, Joanne.2008. Nursing interventions Classification (NIC) Fifth Edition St. Louis
Missouri: Westline Industrial Drive

Moorhead, Sue. 2008. Nursing Outcome Classification (NOC) Fifth Edition St. Louis Missouri:
Westline Industrial Drive

Mutaqqin, Arif, 2013. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Pernafasan, Salemba
Medika: Jakarta.

Nanda, Internasional.2012. Diagnosis Keperawatan Defenisi dan Klasifikasi 2012-2014.Jakarta :


EGC

Omantri, Irman, 2007. Keperawatan Medikal Bedah, Salemba Medika : Jakarta.

Wahab, Samik, 1996. Ilmu Kesehatan Anak Nelson, EGC: Jakarta.

Yasmin&Cristantie, 2002. Keperawatan Medikal Bedah. EGC: Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai