GAGAL NAFAS
Disusun oleh :
Dharmini Thurairatnan C1144702
Beni Herlambang C11050124
Bertie Riyestavani C11050136
Preceptor :
Erwan Martanto, dr., Sp.PD-Sp.JP
1
Pendahuluan
Gagal nafas adalah gejala klinis yang terdiri dari dispnea yang akut, hipoksemia
dan infiltrasi pulmonal yang difus yang menyebabkan gagal nafas. Gagal nafas
disebabkan oleh kerusakan paru-paru difus yang disebabkan oleh penyakit-penyakit
lainnya dan kelainan yang ditimbulkan oleh tindakan operasi.
Epidemiologi
Gagal nafas sering ditemukan diantara pasien-pasien intensive care units (ICUs)
dan sering dihubungkan dengan prognosa yang buruk. Insidensi dari gagal nafas di
Amerika Serikat adalah 137 kasus per 100.000 populasi atau 360.000 kasus pertahunnya.
Dengan persentasi sebanyak 36% pasien gagal bertahan hidup selama dalam perawatan.
Baik insidensi maupun angka mortalitas dari gagal nafas meningkat secara eksponen
sesuai dengan umur dan keberadaan faktor-faktor lain.
Kemajuan terapi baik dalam ventilasi medikal dan manajemen saluran pernafasan
telah memperbaiki prognosis dari pasien gagal nafas dalam beberapa dekade ini. Bahkan
pasien dengan gagl nafas kronik yang irreversibel sekarang dapat dibantu dengan mesin
pendukung pernafasan (ventilator support system) yang dapat mempertahankan kualitas
hidup pasien dan dapat diberlakukan di tempat tinggal. Transplantasi paru-paru juga
merupakan suatu pilihan bagi pasien gagal nafas kronik, walaupun penggunaan
transplantasi yang luas dibatasi oleh baik keberadaan donor organ dan keberadaan pusat-
pusat donor organ.
Patofisiologi
Sindrom gagal nafas pada orang dewasa selalu berhubungan dengan penambahan
cairan dalam paru dan merupakan suatu edema paru akibat kelainan jantung oleh karena
tidak adanya peningkatan tekanan hidrostatik kapiler paru. Mula-mula terjadi kerusakan
2
membran kapiler alveoli, kemudian terjadi peningkatan permeabilitas endotel kapiler
paru dan epitel alveoli yang mengakibatkan edema alveoli dan interstisial.
Membran alveoli terdiri atas 2 tipe sel, yaitu sel tipe I (pneumosit tipe I/A) yang
merupakan sel penyokong yang tidak mempunyai mokrovili dan amat tipis dan sel epitel
tipe II (pneumosit tipe II/2) yang berbentuk kubus dengan mikrovili dan merupakan
sumber utama surfaktan alveoli. Sekat pemisah antara udara alveoli dan darah dibentuk
oleh sel epitel tipe I dan II dengan membran basal endotel. Bagian membran kapiler-
alveoli yang paling tipis mempunyai tebal 0,15 u. sel pneumosit tipe I amat peka terhadap
kerusakan yan gditimbulkan oleh berbagai zat yang terinhalasi. Kerusakan sel-sel ini,
yang menyusun 95% permukaan alveoli, amat menurunkjan keutuhan sekat pemisah
alveoli-kapiler. Pada kerusakan mendadak paru, mula-mula terjadi peradangan
interstisial, edema dan perdarahan, disertai dengan proliferasi sel epitel tipe II untuk
menggantikan sel-sel epitel tipe I yang rusak. Keadaan peradaan ini dapat menyembuh
secara lambat atau dapat membentuk fibrosis paru yang hebat.
Pada keadaan normal, membran kapiler-alveoli relatif tidak permeabel. Sel
endotel mempunyai celah yang dapat menjadi lebih besar dari 60 Angstrom sehingga
terjadi perembesan cairan dan unsur-unsur darah lainnya ke dalam alveoli dan akhirnya
terjadi edema paru.
Mula-mula cairan berkumpul di intersisial dan bila kapasitas intersisial terlampaui
maka alveoli akan terisi oleh cairan yang menyebabkan atelektasis kongesti atau pirau
interpulmonal. Secara skematis injuri paru pada sindroma gagal nafas pada orang dewasa
terjadi melalui dua tahap yaitu kerusakan endotel kapiler yang menyebabkan terjadinya
edema intersisial dan kerusakan epitel alveoli yang menyebabkan edema kapiler dan
kolapsnya alveoli/atelektasis masif.
Mekanisme yang pasti kerusakan endotel pada sindroma gagal nafas pada orang
dewasa belum diketahui pasti, walaupun telah dibuktikan adanya peranan beberapa
sitokin. Adanya faktor pencetus misalnya toksin kuman akan merangsang neutrofil dan
makrofag untuk memproduksi TNF dan IL-1. Sitokin ini selanjutnya akan menyebabkan
adhesi neutrofil dan merangsang makrofag untuk kembali memproduksi TNF dan IL-1
serta mediator toksik lainya seperti oksigen radikal bebas, protease, metabolit asam
arakidonat dan platelet activating factor. Adhesi granulosit selanjutnya akan merusak sel
3
endotel dengan cara melepaskan protease sehingga dapat menghancurkan struktur protein
seperti kolagen, elastin, fibronektin serta menyebabkan proteolisis protein plasma dalam
sirkulasi seperti faktor Hageman, fibrinogen dan komplemen.
Pada keadaan normal, paru mempunyai mekanisme proteksi untuk melindungi
sel-sel parenkim paru karena adanmya antiprotease dan antioksidan dalam bentuk
glutation. Pada sindrom gagal nafas ditemukan adanya defisiensi glutation serta
hambatan aktivitas antiprotease.
Sitokin dan oksigen radikal bebas yang terbentuk akan menyebabkan kerusakan
sel endotel dan sel epitel yang terdapat pada sawar membran. Kerusakan sel-sel endotel
dan sel-sel epitel tipe I menyebabkan peningkatan permeabilitas membran kapiler-alveoli
sedangkan kerusakan sel epitel tipe II menyebabkan disfungsi surfaktan sehingga terjadi
kolaps alveoli. Tumor necrosis factor yang merupakan sitokin utama yang berperan pada
sindrom ini dapat mengaktifkan sistem koaguilasi sehingga terbentuk mikrotrombi akibat
adanya koagulasi intravaskular diseminata serta mengaktifkan sistem komplemen.
Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis sindrom gagal nafas pada orang dewasa bervariasi tergantung
penyebab. Penyebab yang paling penting adalah sepsis oleh kuman Gram negative,
trauma berat, operasi besar, trauma kardiovaskular,pneumonia karena virus influenza,
dan kelebihan dosis narkotik. Yang khas adalah adanya masa laten antara timbulnya
faktor predisposisi dengan timbulnya gejala klinis sindrom gagal nafas selama sekitar 18
– 24 jam. Gejala klinis yang paling menonjol adalah sesak nafas. Pada saluran nafas
orang dewasa didapatkan adanya trias gejala yang penting yaitu hipoksia, hipotensi dan
hiperventilasi. Pada tahap dini, pada pemeriksaan fisik mungkin tidak banyak ditemukan
kelainan, tetapi kemudian didapatkan adanya krepitasi yang meluas pada kedua lapangan
paru dalam waktu yang singkat.
Pemeriksaan laboratorium yang paling dini menunjukan kelainan adalah analisis
gas darah berupa hipoksemia, kemudian hiperkapnia dengan asidosis respiratorik pada
tahap akhir. Pada permulaan, foto thoraks menunjuka kelainan minimal dan kadang –
kadang terdapat gambaran edema interstisial. Pemberian oksigen pada tahap permulaan
4
umumnya dapat menaikkan tekanan PO2 arteri ke tingkat yang masih dapat ditoleransi (>
50 torr). Pada tahap berikutnya sesak nafas bertambah, sianosis menjadi lebih berat,
gelisah dan mudah tersinggung, ronkhi mungkin terdengar di seluruh paru – paru. Pada
tahap ini foto thoraks menunjukan infiltrate alveolar bilateral yang tersebar luas. Hipoksia
pada tahap ini mungkin tidak dapat diperbaiki dengan pemberian oksigen biasa sehingga
memerlukan alat bantu nafas mekanis. Pada saat terminal sesak nafas menjadi lebih hebat
dan volume tidal sangat menurun, kenaikan pCO2 dan hipoksemia bertambah berat,
terdapat asidosis respiratorik dan tekanan darah sulit dipertahankan. Sering didapatkan
penyulit berupa renjatan, sepsis, gagal ginjal, gagal hati, dan asidosis metabolik.
Gambaran Radiologis
Mula – mula tidak ada kelainan jelas pada foto thoraks. Setelah 12 – 24 jam
tampak infiltrate tanpa batas – batas yang tegas pada hamper seluruh lapangan paru,
mirip dengan edema paru pada gagal jantung tetapi tanpa tanda – tanda pembesaran
jantung dan tanda – tanda bendungan lainnya. Infiltrate tersebut biasanya meluas dengan
cepat dan simetris dalam beberapa jam/hari sehinnga mengenai seluruh lapangan paru
tetapi kedua sinus kostofrenikus masih tetap normal. Infiltrate dapat juga bertambah
secara lebih lambat dan asimetris.
Biasanya perbaikan foto thorax pada sindrom gagal nafas pada oran dewasa
lambat, sedangkan pada edema paru oleh gagal jantung, infiltratnya cepat menghilang
dengan pemberian diuretik. Umumnya tidak ada efusi pleura dan kalau ada mungkin
disebabkan infeksi atau infark paru. Foto dada juga berguna untuk melihat komplikasi
pneumothorax, posisi CVP dan pipa endotrakeal. Kalau pasien bertahan hidup, walaupun
terdapat perbaikan fungsi yang jelas, gambaran radiologist tidak kembali seperti normal.
Laboratorium
Pemeriksaan analisis gas darah pada sindrom gagal nafas pada orang dwasa
memperlihatkan kelainan yang nyata. Mula – mula didapatkan adanya alkalosis
5
respiratorik dengan berbagai derajat hipoksemia yang relative resisten terhadap
pemberian oksigen. Hipoksemia refrakter merupakan tanda klasik sindrom gagal nafas
pada orang dewasa yang menunjukan adanya pirau intrapulmonal. Pada tahap selanjutnya
akan terjadi gangguan pertukaran karbondioksida sehingga menyebabkan terjadinya
asidosis respiratorik.
Sindrom gagal nafas pada orang dewasa dapat diketahui dengan menentukan
perbedaan tekanan oksigen antara alveoli dan arteri pulmonalis (A – a DO2).
Rumus kain yang dapat digunakan untuk mendiagnosis sindrom gagal nafas pada
orang dewasa yaitu dengan menggunakan hypoksemia score, yaitu perbandingan antara
tekanan 02 arteri pulmonal dengan konsentrasi 02 inspirasi :
6
Kelainan laboratorium lain bisa didapatkan pada sindrom gagal nafas pada orang
dewasa yang berkaitan dengan penyakit dasarnya. Kelainan fungsi hati dan ginjal bias
juga didapatkan akibat disfungsi organ multipel.
Batasan klinis sindrom gagal nafas pada orang dewasa menurut American-
European Consensus Conference (1994) :
1. Rasio PaO2/Fi02 < 200
2. Foto thorax menunjukan infiltrate bilateral sesuai dengan edema paru
3. Tidak didapatkan adanya gagal jantung kongestif (tekanan wedge arteri
pulmonalis < 18 mmHg)
Tahap 1:
- Perbaikan jalan nafas dan upaya bernafas dengan baik dan teratur.
- Bila pasien masih mampu, pasien dilatih bernafas secara lebih aktif dan
teratur; inspirasi yang dalam dan ekspirasi yang panjang hingga CO2 dapat
dikeluarkan secara alami.
- Nebulizer untuk pemberian bronkodilator dan humidifikasi dengan
menggunakan salbutamol 1,25-2,5mg dalam NaCl 0,9%/ aquagest total
(4ml) 2x berturut-turut berjarak 1 jam, diteruskan 3-4kali/hari.
7
- Pemberian O2 yang adekuat untuk mencapai saturasi >95% yaitu dengan
menggunakan nasal canule dengan kadar O2 2-5L/menit, atau bila perlu
masker oksigen nan rebreathing atau rebreathing dengan kadar O 2 sampai
7-8L/menit.
Tahap 2:
- Bronkodilator dengan pemberian salbutamol 0,5mgSC/IM tiap 6jam,
0,25mg IV perlahan-lahan, atau bila diperlukan dapat diberikan per Ivdrip
dengan dosis 3-20mg/menit.
Tahap 3:
- Dipasang intubasi dan diberikan O2 dengan kadar yang tinggi melalui
catether.
- Dapat diberikan mukolitik yang juga berfungsi sebagai antioksidan yaitu
N-asetyl cystein secara drip IV (6ml N-acetyl cystein dalam 100-200ml Cl
0,9%) bila terdapat mukus kental yang mengganggu jalan nafas. Namun
perlu diingat bahwa pada keadaan sakit berat upaya penyedotan sputum
ataupun kemampuan pasien mengeluarkan sputum secara aktif terbatas,
hingga diupayakan sputum jangan terlalu encer yang malah akan
menimbulkan kesulitan dalam pengeluarannya.
- Kortikosteroid methyl prednisolon 60-125mg IV tiap 8-12jam.
Tahap 4:
- Bila saturasi masih juga belum tercapai dipasang ventilator/ alat bantu
nafas. Penyetelan ventilasi mekanik dilakukan secara individual menurut
keadaan pasien, dengan atau tanpa trakheostomi.
8
danCO2 yang adekuat. Perlu dihindari terjadinya dampak negatif dari
pemberian O2 yang berlebihan dan penyetelan ventilator yang tidak tepat.
9
- gangguan hemodinamika darah menyebabkan aliran darah yang lambat/
tidak adekuat untuk membawa Hb ke jaringan hingga timbul hipoperfusi.
5. keadaan-keadaan lain
- infeksi : antibiotika yang semestinya bila terdapat pneumonia atau infeksi
paru lainnya misalnya tuberkulosis.
- Pada usia tua dan hipertensi perlu dipertahankan tekanan darah yang
adekuat
- Anemi dan pedarahan akan menyebabkan gangguan transportasi O2 ke
jaringan. Kadar Hb yang rendah menyebabkan jumlah O 2 yang dibawa
darah ke jaringan menurun, tercermin dengan kurva disosiasi yang terjal.
Penurunan pemberian O2 yang sedikit akan menimbulkan penurunan
saturasi yang besar. Juga pada PPOK yang cukup, bila perlu dilakukan
transfusi darah.
- Gangguan saluran nafas
- Asma, bronkitis kronik, obstruksi oleh benda asing, tumor, hemoptisis
- Pemberian nutrisi dengan proporsi karbohidrat yang rendah untuk
menurunkan pembentukan CO2 yang berlebihan untuk ukuran pasien.
- Mengatasi asidosis pernafasan, atau gangguan elektrolit
- Diabetes mellitus, obesitas
- Mangatasi gangguan difus paru misalnya adanya edem paru alveolar
dengan pemberian diuretika, kolaps paru
- Mengkoreksi kelemahan/ kelumpuhan saraf pernafasan/ neuromuskuler
pernafasan
- Gangguan torak dan otot pernafasan (misalnya miastenia gravis)
- Pneumothoraks, efusi pleura, empiema
- Pada usia tua dan hipertensi perlu dipertahankan tekanan darah yang
adekuat
10
- Mengatasi gangguan transportasi O2 ke jaringan yang dilaksanakan oleh
eritrosit (- pada anemi, perdarahan). Kadar Hb yng rendah menyebabkan
jumlah O2 yang dibawa darah ke jaringan menurun, tercermin dengan
kurve disosiasi terjal. Penurunan pemberian O2 yang sedikit akan
menimbulkan penurunan saturasi yang besar.Juga pada PPOK dan orang
tua diperlukan kadar Hb yang lebih tinggi. Upayakan kadar Hb yang
cukup, bila perlu dilakukan transfusi darah.
- Pemberian karbohidrat yang rendah untuk menurunkan pembentukan CO2
yang banyak.
11
- Bila tidak berhasil diberikan O2 jangka panjang (long term oxygen therapy
LTOT) dengan indikasi:
2. Pemberian O2
Diberikan dengan jangka waktu dan jumlah O2 yang telah ditentukan :
- saat latihan olahraga ringan : PO2 ≤ 55 mmHg atau saturasi ≤88mmHg
- saat tidur : PO2 ≤ 55 mmHg atau saturasi ≤88mmHg dengan disertai
komplikasi seperti hipertensi pulmonal, mengantuk pada siang hari atau
aritmia jantung.
3. Fisioterapi
- Latihan pernafasan aktif khususnya fish mauth breathing dengan ekspirasi
yang panjang yang bermanfaat untuk mengeluarkan CO2
12
- Postural drainage untuk mendapatkan posisi yang memudahkan
pengeluaran sputum.
- Latihan memperkuatkan otot-otot pernafasan.
Komplikasi
Infeksi paru dan abdomen merupakan komplikasi yang paling sering dijumpai.
Adanya edema paru, hipoksia alveoli, penurunan surfaktan akan menurunkan daya tahan
paru terhadap infeksi. Komplikasi PEEP yang sering adalah penurunan curah jantung,
emfisema subkutis, pneumothoraks, dan pneumomediastinum.
Prognosis
13
DAFTAR PUSTAKA
Aryanto S., Ishak Y., Cleopas M. R. Sindrom Gagal Napas pada Orang Dewasa. Ilmu
Penyakit Dalam. Universitas Indonesia. Hal 907-914. Jakarta 2004.
14