PENDAHULUAN
1.3 Tujuan
a. Untuk mengetahui pengertian penyakit paru restriktif
b. Untuk mengetahui penyebab penyakit paru restriktif
c. Untuk mengetahui klasifikasi penyakit paru restriktif
d. Untuk mengetahui patogenesis penyakit paru restriktif berdasarkan klasifikasi
1
BAB II
ISI
Gambar 1
Gejala dan tanda penting pada penyakit paru interstisium dapat diperkirakan dari
perubahan morfologik. Cairan atau fibrosis interstisium menyebabkan "paru kaku"
(stiff lung), yang akhirnya menurunkan compliance paru sehingga upaya bernapas
2
perlu ditingkatkan (dispnea). Selain itu, kerusakan di epitel alveolus dan pembuluh
darah interstisium menimbulkan gangguan pada rasio ventilasi-perfusi sehingga
terjadi hipoksia. Sebagai contoh, kerusakan atau kurangnya ventilasi pada alveolus
(air unit) mungkin tetap mendapat perfusi dan sebaliknya, pada kerusakan kapiler
terjadi penurunan perfusi pada alveolus yang mendapat ventilasi. Seiring dengan
perkembangan penyakit, pasien mengalami hipoksia dan gagal napas, sering disertai
hipertensi pulmonal.
3
2.2.1.2 Patogenesis cedera paru akut dan sindrom gawat akut
Membran kapiler alveolus dibentuk oleh dua sawar berbeda endotel
mikrovaskular dan epitel alveolus. Pada ALI dan ARDS, integritas sawar ini
terganggu oleh cedera endotel atau epitel atau, yang lebih sering, keduanya.
Konsekuensi akut kerusakan pada membran kapiler alveolus adalah permeabilitas
vaskular meningkat dan dibanjirinya alveolus, hilangnya kapasitas difusi, dan
kelainan luas surfaktan akibat kerusakan pada pneumosit tipe II. Meskipun dasar
selular dan molekular dari ALI dan ARDS masih terus diteliti, penelitian terakhir
mengisyaratkan bahwa cedera paru disebabkan oleh ketidakseimbangan sitokin
proinflamasi dan antiinflamasi. Sinyal paling dekat yang menyebabkan pengaktifan
tak-terkendali respons peradangan akut masih belum diketahui. Namun, hanya 30
menit seteiah suatu gangguan akut (misal, aspirasi asam, trauma, atall terpajan ke
lipopolisakarida bakteri), sudah terjadi peningkatan sintesis Il--B,suatu zat penarik
dan pengaktif neutrofil yang poten, oleh makrofag paru. Pengeluaran sitokin ini
dan senyawa serupa, seperti interleukin-1 (IL-1) dan TNF, menyebabkan
sekuestrasi dan pengaktifan neutrofll. Neutrofil diperlcirnlcan berperan penting
dnlnm patogenesis ALI dan ARDS. Pemeriksaan histologik terhadap paru pada
awal proses penyakit memperlihatkan adanya peningka tan jumlah neutrofil di
dalam pembuluh darah, interstisium, dan alveolus. Neutrofil yang aktif
mengeluarkan beragam produk (misal, oksidan, protease,plntelet actionting factor,
dan leukotrien) yang menyebabkan kerusakan jaringan dan berlanjutnya jenjang
peradangan. Macrophnge inhibitory factor (factor penghambat makrofag), suatu
sitokin yang kadarnya meningkat di milieu cedera paru, mempertahankan
peradangan di rongga alveolus dengan meningkatkan pengeluaran mediator
peradangan, seperti IL-1 dan TNF. Selain perannya dalam fase akut, sitokin seperti
transforming growth factor a (TGF-a) dan platelet-derived growth factor (PDGF),
yang merekrut fibroblas dan merangsang pembentukan kolagen, ikut berperan
dalam proses perbaikan setelah cedera paru.
4
Gambar 2
5
surfaktan. Trombus fibrin mungkin terbentuk di kapiler dan pembuluh besar.
Namun, temuan paling khas adalah membran hialin, yang terutama melapisi duktus
alveolaris yang melebar. Membran ini terdiri atas cairan edema kaya protein
bercampur dengan sisa sel epitel nekrotik. Secara keseluruhan, gambaran sangat
mirip dengan yang ditemukan pada sindrom gawat napas neonatus. Oleh karena
itu, sindrom gawat napas akut dahulu disebut sebagai sindrom gawat napas dewasa.
Fase proliferatif (1 hingga 3 minggu) ditandai dengan proliferasi pneumosit tipe II
dan oleh fagositosis membran hialin sisa oleh makrofag paru. Hiperplasia
pneumosit tipe II diperkirakan merupakan suatu fenomena reparatif, yaitu sel ini
menggantikan pneumosit tipe I yang terkelupas dan kemudian berdiferensiasi
menjadi sel tipe I jika kerusakan telah selesai. Juga terjadi ekspansi septum
alveolus oleh proliferasi fibroblas dan jaringan ikat interstisium. Pada pasien yang
selamat dari serangan akut, cedera paru mungkin pulih dengan sedikit sekuele
histologik atau terjadi fibrosis progresif yang mengenai interstisium dan ruang
alveolus. Hasil akhir yang terakhir ini menyebabkan distorsi hebat parenkim paru,
biasanya menimbulkan fibrosis interstisium difus yang diselang-selingi oleh
rongga udara yang melebar dan terdistorsi (honeycomb lung, paru sarang-lebah).
Gambar 3
6
jantung, ginjal, atau hati). Kadar sitokin proinflamasi interleukin-1 dan peptida
prokolagen III (suatu penanda sintesis kolagen) yang tinggi dalam cairan lavase
bronkus dilaporkan berkaitan dengan peningkatan risiko kematian. Seandainya
pasien dapat bertahan hidup melewati stadium akut, dapat terjadi fibrosis
interstisium difus dan terus mengalami gangguan fungsi pernapasan. Namun, pada
sebagian besar pasien yang bertahan setelah stadium akut dan tidak mengalami
sekuele kronis, fungsi pernapasan kembali normal dalam 6 hingga 12 bulan.
7
2.2.2.2 Etiologi penyakit paru interstisium kronis
Tabel 2.
Pajanan Pekerjaan dan Lingkungan
Anorganik
Asbestosis
Silikosis
Pneumokoniosis buruh tambang batubara
Organik
Pneumonitis hipersensitivitas*
Terkait Obat atau Terapi
Zat kemoterapetik
Busulfan
Bleomisin
Metotreksat
Radiasi pengion
Oksigen
Penyakit Paru lmunologik
Sarkoidosis*
Grinulomatosis Wegenef .
Penyakit kolagen vascular
Lup'us eritematosus sistemik
Artritis rheumatoid
Skleioderma
Dermatomiositis-pol imiositis
Sindrom Goodpasture
Penolakan alograf
Lainlain
Pasca-sindrom gawat napas akut
Fibrosis Paru ldiopatik
8
2.2.2.3 Fibrosis paru idiopatik
2.2.2.3.1 Definisi fibrosis paru idiopatik
Fibrosis paru idiopatik (IPF) juga dikenal sebagai alveolitis fibrotikans
kriptogenik-adalah suatu penyakit paru yang etiologinya tidak diketahui dan
secara histologis, ditandai dengan fibrosis interstisium difus, yang pada kasus
lanjut menyebabkan hipoksemia berat dan sianosis. Laki-laki lebih sering
terkena daripada perempuan, dan sekitar dua pertiga pasien berusia lebih dari 60
tahun saat pertama kali datang. Perlu ditekankan bahwa temuan klinis dan
patologik serupa mungkin ditemukan pada entitas lain yang definisinya lebih
jelas, seperti asbestosis, penyakit jaringan ikat, dan sejumlah penyakit lain. Oleh
karena itu, penyebab tersebut harus disingkirkan terlebih dahulu sebelum kata
"idiopatik" digunakan.
Rangkaian kejadian dalam FPI diperkirakan berawal dari cedera dinding
alveolus, yang menyebabkan edema interstisium dan akumulasi sel radang
(alveolitis). Jika cedera tersebut ringan dan swasima, selanjutnya terjadi resolusi
dan pemulihan arsitektur normal. Namun, jika faktor penyebab tetap ada, terjadi
interaksi sel yang melibatkan limfosit, makrofag, neutrofil, dan sel epitel
alveolus yang menyebabkan proliferasi fibroblas dan fibrosis interstisium
progresif . Diperkirakan mekanisme imun memicu rangkaian kejadian ini. Pada
beberapa pasien, terdapat kompleks imun dalam darah yang berikatan dengan
reseptor Fc dalam makrofag alveolus dan merangsang sel tersebut. Pada kasus
yang lain, makrofag diaktifkan oleh sitokin yang berasal dari sel T yang
berespons terhadap suatu antigen. Tanpa memandang apakah diaktifkan oleh sel
T atau kompleks imun, makrofag mengeluarkan berbagai faktor (misal, IL-8 dan
leukotrien) yang merekrut dan mengaktifkan neutrofil. Mediator larut yang
dikeluarkan dari makrofag dan neutrofil tersebut mencederai sel epitel alveolus
dan merusak jaringan ikat. Makrofag alveolus dari pasien dengan FPI mei
ngeluarkan sejumlah faktor lain, termasuk faktor pertumbuhan fibroblas,
transforming growth factor β (TGF-β), dan PDGF, yang dapat menarik
fibroblas serta merangsang proliferasinya sehingga respons perbaikan dapat
dimulai. Sekarang dipercayai bahwa sel epitel alveolus bukan sekadar sasaran
pasif dalam proses ini. Kerusakan pneumosit tipe I sering disertai proliferasi
pneumosit tipe II. Sel tersebut mengeluarkan faktor kemotaktik (misal, protein
kemotaksis makrofag I) yang menarik makrofag dan sel T. Selain itu, sel
9
tersebut dapat berperan dalam fibrosis dengan mengeluarkan PDGF dan sitokin
fibrogenik lain, seperti TGF-β.
Gambar 4
10
yang disebut sebagai honeycomb change ini tidak spesifik untuk pneumonia
interstisium biasa; kelainan ini mencerminkan paru "stadium-akhir'' oleh
berbagai sebab yang menimbulkan cedera paru dan pembentukan jaringan parut.
Gambar 5
2.2.2.4 Sarkoidosis
2.2.2.4.1 Definisi sarkoidosis
Meskipun sarkoidosis di sini dianggap sebagai contoh penyakit paru restriktif,
perlu diingat bahwa sarkoidosis adalah suatu penyakit multisistem yang
etiologinya belum diketahui dan ditandai dengan granuloma nonpehijauan pada
banyak jaringan dan organ. Penyakit lain, termasuk infeksi mikobakterium atau
11
jamur dan beriliosis, kadang-kadang juga menimbulkan granuloma
nonpehijauan; oleh karena itu, diagnosis histologik sarkoidosis adalah diagnosis
eksklusi. Meskipun keterlibatan banyak organ pada sarkoidosis dapat
menimbulkan gambaran klinis yang beragam, limfadenopati hilus bilateral atau
keterlibatan paru (atau keduanya), yang tampak pada radiografi toraks,
merupakan gambaran awal pada sebagian besar kasus. Kelainan mata dan kulit
masing-masing terjadi pada sekitar 25% kasus dan kadang-kadang menjadi
gambaran awal penyakit ini.
12
Penumpukan sel T CD4+ dengan aktivitas penolong-penginduksi di
intraalveolus dan interstisium, sehingga rasio sel T CD4:CDS menjadi lebih
dari3,5
Ekspansi oligoklonal subset sel T berdasarkan analisis terhadap tata ulang
reseptor sel
Peningkatan kadar sitokin T,1 yang berasal dari sel T, seperti IL-2 dan
interferon-y (IFN-y), yang masing-masing menyebabkan ekspansi sel T dan
pengaktifan makrofag
Peningkatan kadar beberapa sitokin di lingkungan lokal (IL-8, TNF, protein
peradangan makrofag [MIP-1α]) yang mendorong rekrutmen sel T dan monosit
serta berperan dalam pembentukan granuloma.
2.2.2.4.7 Morfologi
Sine qua non histopatologik pada sarkoidosis adalah granuloma epitelioid
nonperkijuan, apa pun organ yang terkena. Granuloma ini adalah kumpulan
histiosit epitelioid-fagosit mononukleus yang berdiferensiasi baik yang padat
dan diskret dengan bagian luar dibatasi terutama oleh sel T penolong CD4+.
Histiosit epitelioid memiliki banyak sitoplasma eosinofilik dan nukleus
vesikular. Tidak jarang ditemukan sel raksasa berinti banyak yang terbentuk
dari fusi beberapa makrofag. Suatu lapisan tipis fibroblas terdapat di bagian
13
perifer granuloma; seiring dengan waktu, sel ini berproliferasi dan
mengeluarkan kolagen yang menggantikan seluruh granuloma dengan jaringan
parut hialin. Dua gambaran mikroskopik lain kadang-kadang ditemukan
di granuloma: badan Schaumann, struktur berlapis yang terdiri atas kalsium dan
protein; dan badan asteroid, badan inklusi stelata yang terdapat di dalam sel
raksasa. Keberadaan keduanya tidak diperlukan untuk diagnosis sarkoidosis;
keduanya juga dapat ditemukan pada granuloma oleh sebab lain. Walaupun
jarang, dapat terbentuk fokus nekrosis di granuloma sarkoid, yang
mengisyaratkan suatu proses infeksi. Nekrosis perkijuan khas tuberkulosis tidak
ditemukan. Kelenjar getah bening intratoraks paratrakea dan hilus membesar
pada 75% hingga 90% pasien, sedangkan sepertiganya memperlihatkan
limfadenopati perifer. Kelenjar biasanya tidak nyeri dan memiliki tekstur
padat seperti karet. Tidak seperti tuberkulosis, kelenjar getah bening pada
sarkoidosis tidak melekat dan tidak mengalami ulserasi. Paru terkena pada suatu
tahap perkembangan penyakit pada 90% pasien. Granuloma terutama terdapat
di interstisium dan bukan rongga udara, dengan kecenderungan berkumpul pada
jaringan ikat di sekitar bronkiolus dan venula paru serta di pleura (distribusi
"limfangitik"). Pada 5% hingga 15% pasien, granuloma akhirnya diganti oleh
fibrosis interstisium difus yang menyebabkan terbentuknya paru "sarang lebah",
disertai arteriopati hipertensif pulmonal dan kor pulmonale. Lesi kulit
ditemukan pada sekitar 25% pasien. Granuloma sarkoid jarang ditemukan di lesi
ini.
Gambar 6
14
2.2.2.4.8 Perjalanan penyakit
Pada banyak pasien, penyakit tidak menimbulkan gejala dan ditemukan secara
kebetulan saat foto toraks rutin sebagai adenopati hilus bilateral atau saat
autopsi. Pada yang lain, manifestasi awalnya adalah limfadenopati perifer, lesi
kulit kelainan mata, splenomegali, atau hepatomegali. Pada sekitar dua pertiga
kasus simtomatik, timbul gejala pernapasan secara bertahap (sesak napas, batuk
kering, atau rasa tidak nyaman di substernum yang tidak jelas) atau gejala dan
tanda konstitusi (demam, rasa lemah, penurunan berat, anoreksia, keringat
malam). Kadangkadang, penyakit bermanifestasi sebagai reaksi hipersensitivitas
sistemik dengan demam yang berkaitan dengan adenopati hilus bilateral
(sarkoidosis akut). Karena gambaran klinis bervariasi dan nondiagnostik,
diagnosis sering mengandalkan biopsi kelenjar getah bening atau paru. Adanya
granuloma nonperkijuan mengisyaratkan sarkoidosis, tetapi penyebab lain
peradangan granulomatosa juga harus disingkirkan.
Perjalanan penyakit sarkoidosis tidak dapat diduga dan ditandai dengan
kronisitas progresif atau periode aktivitas penyakit yang diselingi remisi
spontan. Remisi dapat spontan atau dipicu oleh terapi steroid dan sering
permanen. Secara keseluruhan, 65% hingga 70% pasien pulih tanpa atau dengan
sekuele minimal. Dua puluh persen mengalami disfungsi paru. Dari 10% hingga
15% sisanya, sebagian besar meninggal akibat fibrosis paru progresif dan kor
pulmonale.
15
beberapa persamaan temuan klinis dan patologik dan mungkin memiliki
kesamaan patofisiologi.
Pneumonitis hipersensitivitas dapat bermanifestasi sebagai reaksi aktif dengan
demam, batuk, sesak, dan keluhan konstitusional 4 hingga 8 jam setelah pajanan
atau sebagai penyakit kronis dengan batuk, sesak dan malaise. Beberapa bukti
mengisyaratkan bahwa pneumonitis hipersensitivitas adalah suatu penyakit yang
diperantarai secara imunologis:
Spesimen lavase bronkoalveolus yang diperoleh selama fase akut
memperlihatkan adanya peningkatan kadar kemokin proinflamasi, seperti MIp-
1α dan IL-8.
Spesimen lavase bronkoalveolus juga secara konsisten memperlihatkan
peningkatan jumlah limfosit T fenotipe CD4+ dan CDB+.
Sebagian besar pasien memiliki antibodi presipitasi spesifik di dalam serum
mereka, suatu gambaran yang menunjang adanya hipersensrtivitas tipe III
(kompleksimun).
Komplemen dan imunoglobulin dapat ditemukan di dinding pembuluh dengan
imunofluoresensi, yang juga mengisyaratkan hipersensitivitas tipe III.
Akhirnya, adanya granuloma nonperkijuan pada dua pertiga pasien
mengisyaratkan terbentuknya hipersensitivitas tipe IV terhadap suatu antigen.
Secara singkat, pneumonitis hipersensitivitas merupakan suatu respons yang
diperantarai oleh sistem imun terhadap suatu antigen ekstrinsik yang melibatkan
reaksi hipersensitivitas tipe III (kompleks imun) dan tipe IV (tipe lambat).
Diagnosis bentuk akut penyakit ini biasanya mudah karena hubungan temporal
gejala dengan pajanan ke antigen penyebab. Etiologi bentuk kronis penyakit ini
kurang jelas dan mungkin memerlukan pemeriksaan jaringan untuk menegakkan
diagnosis. Adanya antibodi pengendap spesifik di dalam serum atau uji kulit
yang positif mungkin membantu. Perjalanan penyakit bervariasi. Jika pajanan
ke antigen dihentikan setelah serangan akut penyakit, demam dan batuk
biasanya hanya berlangsung beberapa hari, dan keluhan konstitusional mereda
dalam beberapa minggu. Bentuk kronis penyakit mereda lebih lambat, dan
sebagian besar pasien terus mengalami gejala ringan sampai sedang. Pada
sejumlah kecil kasus (sekitar 5%), terjadi gagal napas dan kematian.
16
2.2.2.5.2 Etiologi pneumonitis hipersensitivitas
Tabel 3.
Sindrom Pajanan Antigen
Antigen Jamur dan
Bakteri
Farmer's Iung Jerami apak Micropolyspora faeni
17
pada lebih dari dua pertiga kasus, biasanya di lokasi peribronkiolus. Pada kasus
kronis tahap lanjut, terjadi fibrosis interstisium difus.
18
prognosis penyakit yang dahulu buruk ini. Pertukaran plasma menghilangkan
antibodi penyebab, dan obat imunosupresif menghambat pembentukan antibodi.
Pada penyakit ginjal yang parah, akhirnya akan diperlukan transplantasi ginjal.
Gambar 7
19
Histologi mirip dengan yang ditemukan pada peralanan penyakit IPF, dan berakhir
sebagai paru sarang lebah. Frekuensi manifestasi paru yang lain, yang mencakup
hipertensi pulmonal, vaskulitis pulmonalis dan perdarahan alveolus difus, serta
pleuritis, berbeda-beda bergantung pada entitas penyakit spesifik. Patologi sindrom
Caplan, suatu bentuk pneumokoniosis tipe cepat yang ditemukan pada pasien
dengan artritis reumatoid yang terpajan batu bara, silika, atau asbestos.
20
determinan paling penting dalam kesintasan jangka panjang tandur. Bentuk
penolakan kronis yang mengenai saluran napas dikenal sebagai bronkiolitis
obliterans dan, seperti yang diisyaratkan oleh namanya mencerminkan obliterasi
progresif lumen bronkiolus oleh proses peradangan fibrotikans. Rangkaian
kejadiannya diperkirakan dimulai dengan bronkiolitis limfositik yang
menyebabkan kerusakan dan pengelupasan epitel saluran napas, diikuti oleh
pertumbuhan ke dalam oleh fibroblas submukosa yang meletakkan kolagen di atas
mukosa yang mengalami ulserasi. "Penyembuhan oleh fibrosis" ini menyebabkan
pembentukan jaringan parut dan berkurangnya garis tengah lumen bronkiolus yang
seiring dengan waktu dapat menyempit menjadi sebuah celah atau tersumbat total.
Diagnosis penolakan akut harus dicurigai pada setiap penerima transplantasi
paru yang mengalami demam, leukositosis, dan infiltrat paru bilateral. Namun,
perlu diingat bahwa pasien transplantasi juga selalu mengalami imunosupresi
sehingga rentan terhadap berbagai infeksi oportunistik yang mungkin secara klinis
dan histologis mirip reaksi penolakan. Hal ini dapat menjadi masalah yang pelik
karena terapi penolakan akut memerlukan peningkatan dosis obat imunosupresif,
sementara proses infeksi mengharuskan penurunan imunosupresi. Pemeriksaan
mikrobiologi dan pewarnaan khusus untuk menyingkirkan organisme di bahan
biopsi sangat penting untuk memecahkan dilema ini. Penolakan kronis
menyebabkan penurunan progresif fungsi paru (bermanifestasi sebagai penurunan
FEVl), dengan sedikit atau tanpa perbaikan setelah pemberian imunosnpresi jangka
panjang dan akhirnya kegagalan tandu.
21
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Penyakit paru restriktif terdapat dua jenis yaitu penyakit paru restriktif akut dan
penyakit paru restriktif kronik. Dimana Akut, disertai oleh penurunan mendadak fungsi
respirasi dan edema paru, sering dengan peradangan, dan Kronis, disertai disfungsi paru
yang timbul perlahan. Penyakit paru interstisium kronis memperlihatkan peradangan kronis
dan fibrosis.
22
DAFTAR PUSTAKA
Kumar V, Cotran RS, Robbins SL, 2007. Buku Ajar Patologi edisi 7, vol 1. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC
23