Anda di halaman 1dari 23

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Penyakit paru restriktif ditandai dengan penurunan compliance yaitu diperlukan tekanan
yang lebih besar untuk mengembangkan paru karena paru menjadi kaku. Pembahasan ini
akan berfokus pada kausa di parenkim. Gejala dan tanda penting pada penyakit paru restriktif
dapat diperkirakan dari perubahan morfologik. Cairan atau fibrosis interstisium menyebabkan
“paru kaku” yang akhirnya menurunkan compliance paru sehingga upaya bernapas perlu
ditingkatkan(dispnea). Penyakit paru restriktif dapat bersifat (1) akut, disertai oleh penurunan
mendadak fungsi respirasi dan edema paru, sering dengan adanya peradangan. (2) kronis,
disertai disfungsi paru yang timbul perlahan. Penyakit paru restriktif kronis memperlihatkan
peradangan kronis dan fibrosis dengan jumlah yang bervariasi.

1.2 Rumusan masalah


Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka dapat ditentukan rumusan masalah dalam
makalah ini adalah:
a. Apakah yang dimaksud dengan penyakit paru restriktif ?
b. Apakah yang menyebabkan penyakit paru restriktif ?
c. Apa saja klasifikasi dari penyakit paru restriktif ?
d. Bagaimana patogenesis penyakit paru restriktif berdasarkan klasifikasi ?

1.3 Tujuan
a. Untuk mengetahui pengertian penyakit paru restriktif
b. Untuk mengetahui penyebab penyakit paru restriktif
c. Untuk mengetahui klasifikasi penyakit paru restriktif
d. Untuk mengetahui patogenesis penyakit paru restriktif berdasarkan klasifikasi

1
BAB II
ISI

2.1 Definisi penyakit paru interstisium


Penyakit paru interstisium ditandai dengan penurunan compliance (yaitu diperlukan
tekanan yang lebih besar untuk mengembangkan paru karena paru menjadi kaku.
Meskipun kelainan dinding dada, yang sebagian di antaranya sudah disinggung, juga
dapat menyebabkan penyakit interstisium, pembahasan ini akan berfokus pada kausa di
parenkim.
Ada dua gambaran umum pada penyakit paru interstisium, diawali dengan
pembahasan singkat tentang mikroanatomi dinding septum.
 Hanya terdapat sebuah membran basal tipis, sedikit jaringan interstisium perikapiler,
dan sitoplasma dua sel yang sangat gepeng, endotel dan epitel alveolus, di antara
udara dan darah. Cedera awal pada penyakit ini biasanya memengamhi salah satu dari
kedua jenis sel ini, meskipun jika beriangsung kronis, kelainan di interstisium
cenderung mendominasi gambaran mikroskopik. Karena menonjolnya perubahan
yang terjadi di interstisium, penyakit ini juga disebut penyakit paru interstisium.
Namun, karena hubungan erat berbagai elemen tersebut, perubahan di interstisium
dapat memengaruhi, baik alveolus maupun kapiler.

Gambar 1

 Gejala dan tanda penting pada penyakit paru interstisium dapat diperkirakan dari
perubahan morfologik. Cairan atau fibrosis interstisium menyebabkan "paru kaku"
(stiff lung), yang akhirnya menurunkan compliance paru sehingga upaya bernapas

2
perlu ditingkatkan (dispnea). Selain itu, kerusakan di epitel alveolus dan pembuluh
darah interstisium menimbulkan gangguan pada rasio ventilasi-perfusi sehingga
terjadi hipoksia. Sebagai contoh, kerusakan atau kurangnya ventilasi pada alveolus
(air unit) mungkin tetap mendapat perfusi dan sebaliknya, pada kerusakan kapiler
terjadi penurunan perfusi pada alveolus yang mendapat ventilasi. Seiring dengan
perkembangan penyakit, pasien mengalami hipoksia dan gagal napas, sering disertai
hipertensi pulmonal.

2.2 Klasifikasi penyakit paru interstisium berdasarkan sifat


Penyakit paru restriktif dapat bersifat :
 Akut, disertai oleh penurunan mendadak fungsi respirasi dan edema paru, sering
dengan peradangan, atau
 Kronis, disertai disfungsi paru yang timbul perlahan. Penyakit paru interstisium
kronis memperlihatkan peradangan kronis dan fibrosis dengan jumlah bervariasi;
selain itu, terdapat beberapa gambaran unik yang akan dijelaskan kemudian. Dalam
pembahasan berikut, kita mengulas sindrom gawat napas akut dan penyakit paru
interstisium akut terpenting, kemudian beberapa contoh penyakit interstisium kronis.

2.2.1 Penyakit paru interstisium akut


Cedera Paru Akut dan Sindrom Gawat Napas Akut
2.2.1.1 Definisi cedera paru akut dan sindrom napas akut
Cedera paru akut (ALI, acute lung injury) dan sindrom gawat napas akut
(ARDS,acute respiratory distress syndrome) merupakan suatu kontinum gagal
napas progresif yang didefinisikan oleh (1) dyspnea akut, (2) penurunan tekanan
oksigen arteri (hipoksemia), (3) timbulnya infiltrat paru bilateral pada radiografi,
dan (4) tidak adanya tanda klinis gagal jantung kiri primer. ALI dianggap sebagai
stadium awal ARDS, dengan kelainan ringan pada fungsi respirasi yang kemudian
dapat berkembang menjadi ARDS yang tipikal dan secara klinis lebih parah.
Karena infiltrate paru pada ALI dan ARDS disebabkan oleh kerusakan membran
kapiler alveolus, dan bukan karena gagal jantung kiri, keduanya adalah penyebab
tersering edema paru non cardiogenik. ALI dan ARDS dapat terjadi pada berbagai
situasi klinis dan berkaitan dengan (1) cedera langsung pada paru atau (2) cedera
tak-langsung pada suatu proses sistemik.

3
2.2.1.2 Patogenesis cedera paru akut dan sindrom gawat akut
Membran kapiler alveolus dibentuk oleh dua sawar berbeda endotel
mikrovaskular dan epitel alveolus. Pada ALI dan ARDS, integritas sawar ini
terganggu oleh cedera endotel atau epitel atau, yang lebih sering, keduanya.
Konsekuensi akut kerusakan pada membran kapiler alveolus adalah permeabilitas
vaskular meningkat dan dibanjirinya alveolus, hilangnya kapasitas difusi, dan
kelainan luas surfaktan akibat kerusakan pada pneumosit tipe II. Meskipun dasar
selular dan molekular dari ALI dan ARDS masih terus diteliti, penelitian terakhir
mengisyaratkan bahwa cedera paru disebabkan oleh ketidakseimbangan sitokin
proinflamasi dan antiinflamasi. Sinyal paling dekat yang menyebabkan pengaktifan
tak-terkendali respons peradangan akut masih belum diketahui. Namun, hanya 30
menit seteiah suatu gangguan akut (misal, aspirasi asam, trauma, atall terpajan ke
lipopolisakarida bakteri), sudah terjadi peningkatan sintesis Il--B,suatu zat penarik
dan pengaktif neutrofil yang poten, oleh makrofag paru. Pengeluaran sitokin ini
dan senyawa serupa, seperti interleukin-1 (IL-1) dan TNF, menyebabkan
sekuestrasi dan pengaktifan neutrofll. Neutrofil diperlcirnlcan berperan penting
dnlnm patogenesis ALI dan ARDS. Pemeriksaan histologik terhadap paru pada
awal proses penyakit memperlihatkan adanya peningka tan jumlah neutrofil di
dalam pembuluh darah, interstisium, dan alveolus. Neutrofil yang aktif
mengeluarkan beragam produk (misal, oksidan, protease,plntelet actionting factor,
dan leukotrien) yang menyebabkan kerusakan jaringan dan berlanjutnya jenjang
peradangan. Macrophnge inhibitory factor (factor penghambat makrofag), suatu
sitokin yang kadarnya meningkat di milieu cedera paru, mempertahankan
peradangan di rongga alveolus dengan meningkatkan pengeluaran mediator
peradangan, seperti IL-1 dan TNF. Selain perannya dalam fase akut, sitokin seperti
transforming growth factor a (TGF-a) dan platelet-derived growth factor (PDGF),
yang merekrut fibroblas dan merangsang pembentukan kolagen, ikut berperan
dalam proses perbaikan setelah cedera paru.

4
Gambar 2

2.2.1.3 Etiologi cedera paru akut dan sindrom gawat akut


Tabel 1.
Gedera Paru Langsung Cedera Paru Tak-langsung
Penyebab Umum Penyebab Umum
Pneumonia Sepsis
Aspirasi isi lambung Trauma berat dengan syok
Penyebab Jarang Penyebab Jarang
Kontusio paru Bedah pintas kardiopulmonal
Embolus lemak Transfusi produk darah
Cedera inhalasi Uremia

2.2.1.4 Morfologi cedera paru akut dan sindrom gawat akut


Kerusakan alveolus difus merupakan padanan morfologik pada ALI dan
ARDS. Perubahan anatomik pada kerusakan alveolus difus sangat konsisten, apa
pun keadaan pemicunya. Rangkaian kejadian pada kerusakan alveolus difus dapat
dibagi menjadi fase eksudatif, proliferatif, dan fibrotik. Pada pemeriksaan
makroskopik pada awal penyakit, paru mirip hati; paru tampak merah tua, padat,
tidak mengandung udara, dan berat. Secara mikroskopis, fase eksudatif (0 hingga 7
hari) ditandai dengan kongesti kapiler, nekrosis sel epitel alveolus, edema dan
perdarahan interstisium dan intraalveolus, serta (terutama pada sepsis)
penumpukan neutrofil di kapiler. Duktus alveolaris melebar, dan alveolus
cenderung kolaps, kemungkinan besar karena gangguan sekunder pada sintesis

5
surfaktan. Trombus fibrin mungkin terbentuk di kapiler dan pembuluh besar.
Namun, temuan paling khas adalah membran hialin, yang terutama melapisi duktus
alveolaris yang melebar. Membran ini terdiri atas cairan edema kaya protein
bercampur dengan sisa sel epitel nekrotik. Secara keseluruhan, gambaran sangat
mirip dengan yang ditemukan pada sindrom gawat napas neonatus. Oleh karena
itu, sindrom gawat napas akut dahulu disebut sebagai sindrom gawat napas dewasa.
Fase proliferatif (1 hingga 3 minggu) ditandai dengan proliferasi pneumosit tipe II
dan oleh fagositosis membran hialin sisa oleh makrofag paru. Hiperplasia
pneumosit tipe II diperkirakan merupakan suatu fenomena reparatif, yaitu sel ini
menggantikan pneumosit tipe I yang terkelupas dan kemudian berdiferensiasi
menjadi sel tipe I jika kerusakan telah selesai. Juga terjadi ekspansi septum
alveolus oleh proliferasi fibroblas dan jaringan ikat interstisium. Pada pasien yang
selamat dari serangan akut, cedera paru mungkin pulih dengan sedikit sekuele
histologik atau terjadi fibrosis progresif yang mengenai interstisium dan ruang
alveolus. Hasil akhir yang terakhir ini menyebabkan distorsi hebat parenkim paru,
biasanya menimbulkan fibrosis interstisium difus yang diselang-selingi oleh
rongga udara yang melebar dan terdistorsi (honeycomb lung, paru sarang-lebah).

Gambar 3

2.2.1.5 Perjalanan Penyakit


Sekitar 85% pasien memperlihatkan sindrom klinis ALI atau ARDS dalam 72 jan
setelah gangguan awal. Prognosis ALE dan ARDS buruk, dan dahuiu angka
kematiannya mendekati 100%. Dengan perbaikan dalam metode penanganannya,
angka kematian masih antara 30% dan 40%; kematian pada ALI/ARDS yang
disebabkan oleh infeksi secara bermakna lebih tinggi. Prediktor lain prognosis
yang buruk adalah usia lanjut dan timbulnya kegagalan multiorgan (terutama

6
jantung, ginjal, atau hati). Kadar sitokin proinflamasi interleukin-1 dan peptida
prokolagen III (suatu penanda sintesis kolagen) yang tinggi dalam cairan lavase
bronkus dilaporkan berkaitan dengan peningkatan risiko kematian. Seandainya
pasien dapat bertahan hidup melewati stadium akut, dapat terjadi fibrosis
interstisium difus dan terus mengalami gangguan fungsi pernapasan. Namun, pada
sebagian besar pasien yang bertahan setelah stadium akut dan tidak mengalami
sekuele kronis, fungsi pernapasan kembali normal dalam 6 hingga 12 bulan.

2.2.2 Penyakit paru interstisium kronis


2.2.2.1 Definisi penyakit paru interstisium kronis
Penyakit restriktif (interstisium) kronis pada parenkim paru adalah sekelompok
heterogen penyakit yang terminologi dan klasifikasinya berbeda-beda. Pada banyak
entitas, penyebab dan patogenesisnya tidak diketahui; sebagian memiliki
komponen intraalveolus serta komponen interstisium, dan sering terdapat tumpang
tindih dalam gambaran histologik antara satu penyakit dengan penyakit lainnya.
Bagaimanapun, adanya gejala dan tanda klinis, gambaran radiografik, dan
perubahan patofisiologik yang serupa dapat menjadi dasar untuk menggolongkan
penyakit tersebut dalam satu kelompok.
Penyakit paru restriktif kronis membentuk sekitar 15% dari penyakit noninfeksi
yang ditemukan oleh dokter paru. Meskipun stadium akhir sebagian besar penyakit
paru restriktif kronis, apa pun etiologinya, adalah fibrosis interstisium paru difus
dengan atau tanpa pembentukan "honeycomb", sering terdapat petunjuk dalam
bahan biopsi (misal, adanya granuloma atau benda asing) yang dapat
mempersempit, jika tidak dapat menunjukkan, diagnosis. Riwayat social dan
pekerjaan yang akurat sangat penting bagi ahli patologi yang memeriksa sediaan
histologik. Meskipun terdapat lebih dari 150 penyebab penyakit paru interstisium
kronis, etiopatogenesis dari subtipe terseringfibrosis paru idiopatik-umumnya tidak
diketahui.

7
2.2.2.2 Etiologi penyakit paru interstisium kronis
Tabel 2.
Pajanan Pekerjaan dan Lingkungan
Anorganik
Asbestosis
Silikosis
Pneumokoniosis buruh tambang batubara
Organik
Pneumonitis hipersensitivitas*
Terkait Obat atau Terapi
Zat kemoterapetik
Busulfan
Bleomisin
Metotreksat
Radiasi pengion
Oksigen
Penyakit Paru lmunologik
Sarkoidosis*
Grinulomatosis Wegenef .
Penyakit kolagen vascular
Lup'us eritematosus sistemik
Artritis rheumatoid
Skleioderma
Dermatomiositis-pol imiositis
Sindrom Goodpasture
Penolakan alograf
Lainlain
Pasca-sindrom gawat napas akut
Fibrosis Paru ldiopatik

8
2.2.2.3 Fibrosis paru idiopatik
2.2.2.3.1 Definisi fibrosis paru idiopatik
Fibrosis paru idiopatik (IPF) juga dikenal sebagai alveolitis fibrotikans
kriptogenik-adalah suatu penyakit paru yang etiologinya tidak diketahui dan
secara histologis, ditandai dengan fibrosis interstisium difus, yang pada kasus
lanjut menyebabkan hipoksemia berat dan sianosis. Laki-laki lebih sering
terkena daripada perempuan, dan sekitar dua pertiga pasien berusia lebih dari 60
tahun saat pertama kali datang. Perlu ditekankan bahwa temuan klinis dan
patologik serupa mungkin ditemukan pada entitas lain yang definisinya lebih
jelas, seperti asbestosis, penyakit jaringan ikat, dan sejumlah penyakit lain. Oleh
karena itu, penyebab tersebut harus disingkirkan terlebih dahulu sebelum kata
"idiopatik" digunakan.
Rangkaian kejadian dalam FPI diperkirakan berawal dari cedera dinding
alveolus, yang menyebabkan edema interstisium dan akumulasi sel radang
(alveolitis). Jika cedera tersebut ringan dan swasima, selanjutnya terjadi resolusi
dan pemulihan arsitektur normal. Namun, jika faktor penyebab tetap ada, terjadi
interaksi sel yang melibatkan limfosit, makrofag, neutrofil, dan sel epitel
alveolus yang menyebabkan proliferasi fibroblas dan fibrosis interstisium
progresif . Diperkirakan mekanisme imun memicu rangkaian kejadian ini. Pada
beberapa pasien, terdapat kompleks imun dalam darah yang berikatan dengan
reseptor Fc dalam makrofag alveolus dan merangsang sel tersebut. Pada kasus
yang lain, makrofag diaktifkan oleh sitokin yang berasal dari sel T yang
berespons terhadap suatu antigen. Tanpa memandang apakah diaktifkan oleh sel
T atau kompleks imun, makrofag mengeluarkan berbagai faktor (misal, IL-8 dan
leukotrien) yang merekrut dan mengaktifkan neutrofil. Mediator larut yang
dikeluarkan dari makrofag dan neutrofil tersebut mencederai sel epitel alveolus
dan merusak jaringan ikat. Makrofag alveolus dari pasien dengan FPI mei
ngeluarkan sejumlah faktor lain, termasuk faktor pertumbuhan fibroblas,
transforming growth factor β (TGF-β), dan PDGF, yang dapat menarik
fibroblas serta merangsang proliferasinya sehingga respons perbaikan dapat
dimulai. Sekarang dipercayai bahwa sel epitel alveolus bukan sekadar sasaran
pasif dalam proses ini. Kerusakan pneumosit tipe I sering disertai proliferasi
pneumosit tipe II. Sel tersebut mengeluarkan faktor kemotaktik (misal, protein
kemotaksis makrofag I) yang menarik makrofag dan sel T. Selain itu, sel

9
tersebut dapat berperan dalam fibrosis dengan mengeluarkan PDGF dan sitokin
fibrogenik lain, seperti TGF-β.

Gambar 4

2.2.2.3.2 Morfologi fibrosis paru idiopatik


Seperti telah dinyatakan dalam pembahasan sebelumnya, IPF dimulai oleh
suatu respons peradangan terhadap cedera yang kemudian sembuh oleh fibrosis.
Oleh karena itu, biasanya terdapat peradangan interstisium atau pneumonitis
pada biopsi spesimen dari pasien dengan lPF, terutama pada stadium awal.
Pneumonia interstisium ini dapat dibagi menjadi beberapa subtipe histologik
tersendiri, dan banyak kesimpangsiuran mengenai subtipe mana yang secara
spesifik menyertai lPF. Pembedaan ini penting karena setiap pneumonia
interstisium dapat menyebabkan fibrosis, tetapi diagnosis pneumonia
interstisium terkait IPF menandakan prognosis yang lebih buruk dan sifat
refrakter terhadap terapi dibandingkan dengan yang lain. Berdasarkan
konsensus terakhir, istilah "lPF" dicadangkan untuk sindrom klinis yang
berkaitan dengan subtipe histologik yang dikenal sebagai pneumonia
interstisium yang biasa. Tanda utama pneumonia interstisium adalah gambaran
heterogen pada pembesaran lemah, dengan daerah paru normal, peradangan
interstisium, dan fibrosis berselang-seling. Peradangan interstisium biasanya
bebercak dan terdiri atas sebukan limfosit dan sel plasma di septum alveolus,
disertai oleh hiperplasia pneumosit tipe II. Daerah fibrotik terutama terdiri atas
kolagen aselular padat. Pada stadium lanjut, paru memperlihatkan alveolus yang
dilapisi oleh pneumosit tipe II yang dipisahkan oleh jaringan fibrosa. Kelainan

10
yang disebut sebagai honeycomb change ini tidak spesifik untuk pneumonia
interstisium biasa; kelainan ini mencerminkan paru "stadium-akhir'' oleh
berbagai sebab yang menimbulkan cedera paru dan pembentukan jaringan parut.

Gambar 5

2.2.2.3.3 Perjalanan penyakit fibrosis paru idiopatik


IPF biasanya muncul secara perlahan, berupa batuk nonproduktif dan dyspnea
progresif. Pada pemeriksaan fisik, sebagian besar pasien memperlihatkan ronki
"kering" atau mirip "Velcro" khas saat inspirasi. Sianosis dan edema perifer
mungkin ditemukan pada stadium lanjut penyakit. Hampir semua pasien dengan
IPF memperlihatkan kelainan radiografi toraks saat datang berobat.
Ketersediaan computerized axial tomography beresolusi tinggi telah sangat
meningkatkan sensitivitas kita mendeteksi IPF pada tahap awalnya. Biopsi paru
secara bedah masih merupakan baku emas untuk mendiagnosis IPF dan
menyingkirkan penyebab lain fibrosis paru. Sampai saat ini, sebagian besar
strategi pengobatan difokuskan pada menghilangkan atau menekan komponen
peradangan, seperti dengan kortikosteroid. Sayangnya, perkembangan IpF terus
berlangsung walaupun pasien mendapat terapi, dan kesintasan rerata dalam
penelitian klinis terakhir berkisar dari 2 hingga 4 tahun.

2.2.2.4 Sarkoidosis
2.2.2.4.1 Definisi sarkoidosis
Meskipun sarkoidosis di sini dianggap sebagai contoh penyakit paru restriktif,
perlu diingat bahwa sarkoidosis adalah suatu penyakit multisistem yang
etiologinya belum diketahui dan ditandai dengan granuloma nonpehijauan pada
banyak jaringan dan organ. Penyakit lain, termasuk infeksi mikobakterium atau

11
jamur dan beriliosis, kadang-kadang juga menimbulkan granuloma
nonpehijauan; oleh karena itu, diagnosis histologik sarkoidosis adalah diagnosis
eksklusi. Meskipun keterlibatan banyak organ pada sarkoidosis dapat
menimbulkan gambaran klinis yang beragam, limfadenopati hilus bilateral atau
keterlibatan paru (atau keduanya), yang tampak pada radiografi toraks,
merupakan gambaran awal pada sebagian besar kasus. Kelainan mata dan kulit
masing-masing terjadi pada sekitar 25% kasus dan kadang-kadang menjadi
gambaran awal penyakit ini.

2.2.2.4.2 Epidemiologi sarkoidosis


Sarkoidosis terjadi di seluruh dunia, mengenai kedua jenis kelamin serta
semua ras dan usia. Namun, terdapat beberapa kecenderungan epidemiologik,
termasuk yang berikut:
 Terdapat predileksi konsisten untuk orang dewasa berusia kurang dari 40 tahun
 Insiden yang tinggi ditemukan pada penduduk Denmark dan Swedia dan di
antara orang berkulit hitam AS (yang frekuensi penyakitnya adalah 10 kali lipat
dibandingkan orang kulit putih)
 Sarkoidosis adalah salah satu dari sedikit penyakit paru yang prevalensinya
lebih tinggi pada bukan perokok.

2.2.2.4.3 Etiologi dan patogenesis sarkoidosis


Meskipun etiologi sarkoidosis masih belum diketahui, beberapa bukti
mengisyaratkan bahwa sarkoidosis adalah penyakit gangguan pengendalian
imun pada orang dengan predisposisi genetik yang terpajan agen lingkungan
tertentu. Peran ketiga faktor kontribusi diringkaskan berikut ini.

2.2.2.4.4 Faktor imunologik sarkoidosis


Terdapat beberapa kelainan imunologik di milieu lokal granuloma sarkoid
yang menunjukkan terjadinya respons selular terhadap suatu antigen yang
belum diketahui. Proses ini dijalankan oleh sel T CD4+ penolong/penginduksi.
Proses ini mencakup:

12
 Penumpukan sel T CD4+ dengan aktivitas penolong-penginduksi di
intraalveolus dan interstisium, sehingga rasio sel T CD4:CDS menjadi lebih
dari3,5
 Ekspansi oligoklonal subset sel T berdasarkan analisis terhadap tata ulang
reseptor sel
 Peningkatan kadar sitokin T,1 yang berasal dari sel T, seperti IL-2 dan
interferon-y (IFN-y), yang masing-masing menyebabkan ekspansi sel T dan
pengaktifan makrofag
 Peningkatan kadar beberapa sitokin di lingkungan lokal (IL-8, TNF, protein
peradangan makrofag [MIP-1α]) yang mendorong rekrutmen sel T dan monosit
serta berperan dalam pembentukan granuloma.

2.2.2.4.5 Faktor Genetik sarkoidosis.


Bukti mengenai keterlibatan genetik dapat dilihat dari:
 Mengelompoknya kasus dalam keluarga dan ras
 Keterkaitan dengan genotipe HLA tertentu (misal,HLA-A1 kelas I dan HLA-BB

2.2.2.4.6 Faktor lingkungan sarkoidosis.


Ini mungkin merupakan faktor yang paling lemah dalam patogenesis
sarkoidosis:
 Beberapa "antigen" diduga sebagai zat pemicu timbulnya sarkoidosis (misal,
virus, mikobakteri, Borrelia, serbuk sari)
 Sampai saat ini, belum ada bukti yang meyakinkan bahwa sarkoidosis
disebabkan oleh suatu agen infeksi

2.2.2.4.7 Morfologi
Sine qua non histopatologik pada sarkoidosis adalah granuloma epitelioid
nonperkijuan, apa pun organ yang terkena. Granuloma ini adalah kumpulan
histiosit epitelioid-fagosit mononukleus yang berdiferensiasi baik yang padat
dan diskret dengan bagian luar dibatasi terutama oleh sel T penolong CD4+.
Histiosit epitelioid memiliki banyak sitoplasma eosinofilik dan nukleus
vesikular. Tidak jarang ditemukan sel raksasa berinti banyak yang terbentuk
dari fusi beberapa makrofag. Suatu lapisan tipis fibroblas terdapat di bagian

13
perifer granuloma; seiring dengan waktu, sel ini berproliferasi dan
mengeluarkan kolagen yang menggantikan seluruh granuloma dengan jaringan
parut hialin. Dua gambaran mikroskopik lain kadang-kadang ditemukan
di granuloma: badan Schaumann, struktur berlapis yang terdiri atas kalsium dan
protein; dan badan asteroid, badan inklusi stelata yang terdapat di dalam sel
raksasa. Keberadaan keduanya tidak diperlukan untuk diagnosis sarkoidosis;
keduanya juga dapat ditemukan pada granuloma oleh sebab lain. Walaupun
jarang, dapat terbentuk fokus nekrosis di granuloma sarkoid, yang
mengisyaratkan suatu proses infeksi. Nekrosis perkijuan khas tuberkulosis tidak
ditemukan. Kelenjar getah bening intratoraks paratrakea dan hilus membesar
pada 75% hingga 90% pasien, sedangkan sepertiganya memperlihatkan
limfadenopati perifer. Kelenjar biasanya tidak nyeri dan memiliki tekstur
padat seperti karet. Tidak seperti tuberkulosis, kelenjar getah bening pada
sarkoidosis tidak melekat dan tidak mengalami ulserasi. Paru terkena pada suatu
tahap perkembangan penyakit pada 90% pasien. Granuloma terutama terdapat
di interstisium dan bukan rongga udara, dengan kecenderungan berkumpul pada
jaringan ikat di sekitar bronkiolus dan venula paru serta di pleura (distribusi
"limfangitik"). Pada 5% hingga 15% pasien, granuloma akhirnya diganti oleh
fibrosis interstisium difus yang menyebabkan terbentuknya paru "sarang lebah",
disertai arteriopati hipertensif pulmonal dan kor pulmonale. Lesi kulit
ditemukan pada sekitar 25% pasien. Granuloma sarkoid jarang ditemukan di lesi
ini.

Gambar 6

14
2.2.2.4.8 Perjalanan penyakit
Pada banyak pasien, penyakit tidak menimbulkan gejala dan ditemukan secara
kebetulan saat foto toraks rutin sebagai adenopati hilus bilateral atau saat
autopsi. Pada yang lain, manifestasi awalnya adalah limfadenopati perifer, lesi
kulit kelainan mata, splenomegali, atau hepatomegali. Pada sekitar dua pertiga
kasus simtomatik, timbul gejala pernapasan secara bertahap (sesak napas, batuk
kering, atau rasa tidak nyaman di substernum yang tidak jelas) atau gejala dan
tanda konstitusi (demam, rasa lemah, penurunan berat, anoreksia, keringat
malam). Kadangkadang, penyakit bermanifestasi sebagai reaksi hipersensitivitas
sistemik dengan demam yang berkaitan dengan adenopati hilus bilateral
(sarkoidosis akut). Karena gambaran klinis bervariasi dan nondiagnostik,
diagnosis sering mengandalkan biopsi kelenjar getah bening atau paru. Adanya
granuloma nonperkijuan mengisyaratkan sarkoidosis, tetapi penyebab lain
peradangan granulomatosa juga harus disingkirkan.
Perjalanan penyakit sarkoidosis tidak dapat diduga dan ditandai dengan
kronisitas progresif atau periode aktivitas penyakit yang diselingi remisi
spontan. Remisi dapat spontan atau dipicu oleh terapi steroid dan sering
permanen. Secara keseluruhan, 65% hingga 70% pasien pulih tanpa atau dengan
sekuele minimal. Dua puluh persen mengalami disfungsi paru. Dari 10% hingga
15% sisanya, sebagian besar meninggal akibat fibrosis paru progresif dan kor
pulmonale.

2.2.2.5 Pneumonitis hipersensitivitas


2.2.2.5.1 Definisi pneumonitis hipersensitivitas
Pneumonitis hipersensitivitas adalah suatu penyakit radang paru yang
diperantarai secara imunologis dan terutama mengenai alveolus sehingga sering
disebut alveolitis alergik. Penyakit ini umumnya berkaitan dengan pekerjaan
akibat peningkatan kepekaan terhadap antigen inhalan seperti jerami apak.
Tidak seperti asma bronkialis, yang bronkusnya adalah fokus cedera
imunologis, kerusakan pada pneumonitis hipersensitivitas terjadi di tingkat
alveolus. Oleh karena itu, penyakit ini bermanifestasi terutama sebagai penyakit
paru restriktif dengan penurunan kapasitas paru, compliance paru, dan volume
total paru. Pekerjaan yang terkait sangat beragam, tetapi sindrom ini memiliki

15
beberapa persamaan temuan klinis dan patologik dan mungkin memiliki
kesamaan patofisiologi.
Pneumonitis hipersensitivitas dapat bermanifestasi sebagai reaksi aktif dengan
demam, batuk, sesak, dan keluhan konstitusional 4 hingga 8 jam setelah pajanan
atau sebagai penyakit kronis dengan batuk, sesak dan malaise. Beberapa bukti
mengisyaratkan bahwa pneumonitis hipersensitivitas adalah suatu penyakit yang
diperantarai secara imunologis:
 Spesimen lavase bronkoalveolus yang diperoleh selama fase akut
memperlihatkan adanya peningkatan kadar kemokin proinflamasi, seperti MIp-
1α dan IL-8.
 Spesimen lavase bronkoalveolus juga secara konsisten memperlihatkan
peningkatan jumlah limfosit T fenotipe CD4+ dan CDB+.
 Sebagian besar pasien memiliki antibodi presipitasi spesifik di dalam serum
mereka, suatu gambaran yang menunjang adanya hipersensrtivitas tipe III
(kompleksimun).
 Komplemen dan imunoglobulin dapat ditemukan di dinding pembuluh dengan
imunofluoresensi, yang juga mengisyaratkan hipersensitivitas tipe III.
 Akhirnya, adanya granuloma nonperkijuan pada dua pertiga pasien
mengisyaratkan terbentuknya hipersensitivitas tipe IV terhadap suatu antigen.
Secara singkat, pneumonitis hipersensitivitas merupakan suatu respons yang
diperantarai oleh sistem imun terhadap suatu antigen ekstrinsik yang melibatkan
reaksi hipersensitivitas tipe III (kompleks imun) dan tipe IV (tipe lambat).
Diagnosis bentuk akut penyakit ini biasanya mudah karena hubungan temporal
gejala dengan pajanan ke antigen penyebab. Etiologi bentuk kronis penyakit ini
kurang jelas dan mungkin memerlukan pemeriksaan jaringan untuk menegakkan
diagnosis. Adanya antibodi pengendap spesifik di dalam serum atau uji kulit
yang positif mungkin membantu. Perjalanan penyakit bervariasi. Jika pajanan
ke antigen dihentikan setelah serangan akut penyakit, demam dan batuk
biasanya hanya berlangsung beberapa hari, dan keluhan konstitusional mereda
dalam beberapa minggu. Bentuk kronis penyakit mereda lebih lambat, dan
sebagian besar pasien terus mengalami gejala ringan sampai sedang. Pada
sejumlah kecil kasus (sekitar 5%), terjadi gagal napas dan kematian.

16
2.2.2.5.2 Etiologi pneumonitis hipersensitivitas
Tabel 3.
Sindrom Pajanan Antigen
Antigen Jamur dan
Bakteri
Farmer's Iung Jerami apak Micropolyspora faeni

Bagasosis Gula tebu berjamur (bagase) Aktinomisetes termofilik

Maple bark disease Kulit kayu maple yang Cryptostroma corticale

Humidifier Iung berjamur Aktinomisetes termofilik,


Pelembab udara Aureobasidium pullulans

Maltworker's lung Gandum barley yang Aspergillus clavatus


berjamur
Cheese washer's lung Keju apak Penicilliu.m casei
Produk Serangga
Miller's lung Padi-padian berdebu Sitophillus granarius
(kumbang pengerek
gandum)
Produk Hewan
Pigeon breeder's lung Burung dara Protein serum burung
(paru peternak'dara) dara ditinja
Zat Kimia
Chemical worker's Bahan kimia industri Anhidrida trimelitik,
Iung isosianat
(paru pekerja pabrik
kimia)

2.2.2.5.3 Morfologi pneumonitis hipersensitivitas


Histopatologi pada pneumonitis hipersensitivitas bentuk akut dan kronis
memperlihatkan infiltrat sel mononukleus bebercak di interstisium paru, dengan
aksentuasi khas di sekitar bronkiolus. Limfosit predominan, tetapi sel plasma dan
histiosit juga dapat ditemukan. Pada bentuk akut penyakit, juga dapat ditemukan
neutrofil dalam jumlah bervariasi. Granuloma nonperkijuan di interstisium terdapat

17
pada lebih dari dua pertiga kasus, biasanya di lokasi peribronkiolus. Pada kasus
kronis tahap lanjut, terjadi fibrosis interstisium difus.

2.2.2.6 Sindrom perdarahan alveolus difus


2.2.2.6.1 Definisi sindrom perdarahan alveolus difus
Walaupun mungkin terdapat beberapa penyebab "sekunder" perdarahan paru
(pneumonia bakterialis nekrotikans, kongesti vena pasif, diatesis perdarahan),
sindrom perdarahan alveolus difus merupakan suatu penyakit imunologik "primer"
yang bermanifestasi sebagai trias hemoptisis, anemia, dan infiltrat paru difus.
Sindrom Goodpasture, gangguan prototipe untuk kelompok ini, merupakan
suatu penyakit yang jarang namun menarik dan ditandai dengan glomerulonephritis
crescentic yang biasanya progresif cepat dan pneumonitis interstisium hemoragik.
Kelainan di ginjal dan paru disebabkan oleh antibodi terhadap antigen
yang terdapat di membran basal glomerulus dan paru (oleh karena itu, penyakit ini
merupakan contoh hipersensitivitas yang diperantarai antibodi sitotoksik tipeII).
Berbagai antibodi ini dapat dideteksi dalam serum lebih dari 90% pasien.
Imunopatogenesis sindrom Goodpasture dan perubahan di glomerulus. Di sini
cukup dikatakan bahwa pola Iinear khas pengendapan imunogiobulin (biasanya
IgG,kadang-kadang IgA atau lgM) pada sediaan biopsy ginjal yang merupakan sine
qua non untuk diagnosis juga ditemukan sepanjang septum alveolus.
Hemosiderosis paru idiopatik adalah suatu penyakit yang etiologinya tidak
pasti dan memperlihatkan gejala paru mirip dengan sindrom Goodpasture, tetapi
tidak ditemukan kelainan ginjal atau antibodi antimembran basal di dalam darah.
Secara klinis, perjalanan penyakit biasanya ringan sampai sedang, disertai periode
aktivitas diikuti oleh remisi berkepanjangan, dan remisi sering terjadi secara
spontan, Penyakit imunologik lain seperti granulomatosis Wegener dan penyakit
jaringan ikat juga dapat bermanifestasi sebagai perdarahan alveolus difus.

2.2.2.6.2 Morfologi sindrom perdarahan alveolus difus


Pemeriksaan mikroskopik paru memperlihatkan fokusfokus nekrosis di dinding
alveolus disertai perdarahan intra-alveolus, penebalan fibrosa septum, dan
hipertrofi sel-sel yang melapisi septum. Adanya hemosiderin, baik di dalam
makrofag atau ekstrasel, biasanya ditemukan selama beberapa hari setelah fase
akut. Plasmaferesis dan terapi imunosupresif secara nyata telah memperbaiki

18
prognosis penyakit yang dahulu buruk ini. Pertukaran plasma menghilangkan
antibodi penyebab, dan obat imunosupresif menghambat pembentukan antibodi.
Pada penyakit ginjal yang parah, akhirnya akan diperlukan transplantasi ginjal.

Gambar 7

2.2.2.7 Anglitis dan granulomatosis paru (Granulomatosis wegener)


Granulomatosis Wegener (WG, Wegener granulomatosis) adalah gangguan
prototipe pada kelompok vaskulitis yang dikenal sebagai angiitis dan
granulomatosis paru. Di bagian ini, kita akan berfokus pada manifestasi WG di
sistem pemapasan. Lebih dari 80% pasien dengan WG mengalami manifestasi
pernapasan atau paru pada suatu saat selama perjalanan penyakit mereka. Lesi paru
pada WG ditandai dengan kombinasi vaskulitis nekrotikans ("angiitis") dan
peradangan granulomatosa nekrotikans di parenkim. Pembuluh paru juga mungkin
memperlihatkan granuloma nekrotikans, meskipun yang biasanya ditemukan
adalah peradangan akut dan kronis yang bercampur dengan nekrosis fibrinoid.
Manifestasi WG dapat mencakup gejala saluran napas atas (sinusitis kronis,
epistaksis, perforasi hidung) dan gejala paru (batuk, hemoptisis, nyeri dada).
Secara radiologis, ditemukan densitas nodular yang mencerminkan konfluensi
granuloma nekrotikans dan sebagian di antaranya mengalami kavitasi. Meskipun
biasanya adalah penyakit multisistemik, WG mungkin terbatas di paru tanpa
keterlibatan saluran napas atas atau ginjal (WG "terbatas").

2.2.2.8 Paru pada gangguan vaskular kolagen


Beberapa gangguan vaskular kolagen (misal, artritis reumatoid) dapat
menyebabkan kelainan paru. Pneumonitis interstisium, disertai atau berakhir
menjadi fibrosis interstisium paru, merupaknn temuan patologik tersering di paru.

19
Histologi mirip dengan yang ditemukan pada peralanan penyakit IPF, dan berakhir
sebagai paru sarang lebah. Frekuensi manifestasi paru yang lain, yang mencakup
hipertensi pulmonal, vaskulitis pulmonalis dan perdarahan alveolus difus, serta
pleuritis, berbeda-beda bergantung pada entitas penyakit spesifik. Patologi sindrom
Caplan, suatu bentuk pneumokoniosis tipe cepat yang ditemukan pada pasien
dengan artritis reumatoid yang terpajan batu bara, silika, atau asbestos.

2.2.2.9 Patologi transplantasi


Dengan ditemukannya obat imunosupresif yang lebih baik, transplantasi jantung-
paru dan transplantasi paru tunggal atau sekuensial semakin sering menjadi terapi
pilihan bagi pasien dengan penyakit paru stadium-akhir yang disebabkan oleh
beragam hal (di antaranya adalah hipertensi pulmonalis ireversibel, emfisema
berat). Serupa dengan transplantasi jantung dan ginjal, alograf paru rentan terhadap
kerusakan akibat penolakan imunologik. Untuk menentukan derajat keparahan dan
terapinya, penolakan paru dibagi menjadi dua bentuk-akut dan kronis-dengan
subkategorisasi lebih lanjut pada masing-masing. Penentuan derajat penolakan oleh
ahli patologi memerlukan evaluasi terhadap saluran napas dan pembuluh darah.
Berdasarkan perjanjian, penolakan akut diklasifikasikan berdasarkan sifat dan luas
infiltrat perivaskular. Empat derajat penolakan akut, yang mencerminkan suatu
kontinum dengan keparahan meningkat, adalah sebagai berikut:
 Minimal-infiltrat perivaskular ringan berupa histiosit dan limfosit "aktif"
 Ringan-pembentukan infiltrat perivaskular oleh sel mononukleus yang semakin
jelas, dengan atau tanpa infiltrasi subendotel oleh limfosit (endotelialitis)
 Sedang-peradangan intensif mengelilingi pembuluh darah oleh sel mononukleus,
endotelialitis, dan pneumonitis interstisium limfositik
 Berat-kerusakan alveolus difus, disertai pembentukan membran hialin dan
nekrosis fibrinoid di dalam pembuluh
Meskipun tidak diperlukan untuk mendiagnosis atau menentukan derajat
penolakan akut, saluran napas perlu dievaluasi untuk mencari ada tidaknya
bronkitis atau bronkiolitis limfositik, karena hal ini mungkin menandakan
dimulainya penolakan kronis.
Penolakan kronis menyerang, baik saluran napas (penolakan saluran napas
kronis) maupun pembuluh darah (penolakan vaskular kronis) dan merupakan

20
determinan paling penting dalam kesintasan jangka panjang tandur. Bentuk
penolakan kronis yang mengenai saluran napas dikenal sebagai bronkiolitis
obliterans dan, seperti yang diisyaratkan oleh namanya mencerminkan obliterasi
progresif lumen bronkiolus oleh proses peradangan fibrotikans. Rangkaian
kejadiannya diperkirakan dimulai dengan bronkiolitis limfositik yang
menyebabkan kerusakan dan pengelupasan epitel saluran napas, diikuti oleh
pertumbuhan ke dalam oleh fibroblas submukosa yang meletakkan kolagen di atas
mukosa yang mengalami ulserasi. "Penyembuhan oleh fibrosis" ini menyebabkan
pembentukan jaringan parut dan berkurangnya garis tengah lumen bronkiolus yang
seiring dengan waktu dapat menyempit menjadi sebuah celah atau tersumbat total.
Diagnosis penolakan akut harus dicurigai pada setiap penerima transplantasi
paru yang mengalami demam, leukositosis, dan infiltrat paru bilateral. Namun,
perlu diingat bahwa pasien transplantasi juga selalu mengalami imunosupresi
sehingga rentan terhadap berbagai infeksi oportunistik yang mungkin secara klinis
dan histologis mirip reaksi penolakan. Hal ini dapat menjadi masalah yang pelik
karena terapi penolakan akut memerlukan peningkatan dosis obat imunosupresif,
sementara proses infeksi mengharuskan penurunan imunosupresi. Pemeriksaan
mikrobiologi dan pewarnaan khusus untuk menyingkirkan organisme di bahan
biopsi sangat penting untuk memecahkan dilema ini. Penolakan kronis
menyebabkan penurunan progresif fungsi paru (bermanifestasi sebagai penurunan
FEVl), dengan sedikit atau tanpa perbaikan setelah pemberian imunosnpresi jangka
panjang dan akhirnya kegagalan tandu.

21
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Penyakit paru restriktif terdapat dua jenis yaitu penyakit paru restriktif akut dan
penyakit paru restriktif kronik. Dimana Akut, disertai oleh penurunan mendadak fungsi
respirasi dan edema paru, sering dengan peradangan, dan Kronis, disertai disfungsi paru
yang timbul perlahan. Penyakit paru interstisium kronis memperlihatkan peradangan kronis
dan fibrosis.

22
DAFTAR PUSTAKA

Kumar V, Cotran RS, Robbins SL, 2007. Buku Ajar Patologi edisi 7, vol 1. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC

23

Anda mungkin juga menyukai