Anda di halaman 1dari 42

BAB I

Pendahuluan

Triger 1
Hipertensi
Perempuan 40 th datang kepuskesmas dengan keluhan nyeri kepala dan tengkuk. Nyeri timbul
terutama ketika pasien kecapean dan kurang tidur. Pemeriksaan antropometri ditemukan BB 80
kg, TB 150 cm. pemeriksaan tanda vital diperoleh: TD 170/90 mmHg, nadi, respirasi dan
temperatur dalam batas normal. Sebelum memberi obat dokter menanyakan tentang adakah
riwayat asam urat tinggi dan asma. Dokte rmemberikan 2 macam obat penurun tensi. Dokter
mengatakan jika setelah minum obat pasien menjadi batuk-batuk hentikan obat dan kembali
kepuskesmas. Dokter berpesan harus rutin minum obat dan kontrol tiap bulan. Jika tidak
meminum obat rutin tekanan darah bisa menjadi tinggi sekali dan berbahaya bagi pasien.

1.1 STEP 1
Terminology
1. hipertensi : Peningkatan tekanan darah sistolik >140 mmHg dan diastolik > 90 mmHg

keywords
1. Perempuan 40 th
2. Nyeri kepala dan tengkuk
3. Timbul ketika kecapean dan kurang tidur
4. TB 180 cm dan BB 80 kg
5. TD : 170/90 mmHg
6. Riwayat asam urat tinggi dan asma
7. Dokter memberikan 2 macamobat penurun tensi
8. Saran : rutin minum obat dan kontrol tiap bulan
1.2 STEP 2
Identify problems
1. Mengapa pada pasien terjadi nyeri kepala dan tengkuk?
2. Mengapa nyeri timbul ketika kecapean dan kurang tidur?
3. Apakah ada hubungan jenis kelamin dan usia pada kasus?
4. Apakah ada hubungan obesitas dengan kasus?
5. Apakah ada hubungan riwayat asam urat dan asma pada kasus?
6. Apa sajaobat yang digunakan?
7. Apakah dengan rutin minum obat , pasien dapat sembuh?
8. Mengapa bila tidak rutin minum obat TD dapat semakin tinggi dan berbahaya?
9. Mengapa pemberian obat dihentikan bila timbul gejala batuk?
10. Apakah faktor resiko lain pada kasus?
11. Apa saja klasifikasi pada kasus?
12. Apa saja tanda dan gejala lain pada kasus?
13. Apakah TD 170/90 mmHg normal? Bila tidak, berapa dikatakan normal?
14. Mengapa dokter memberikan 2 obat penurun tensi?

1.3 STEP 3
Brainstorming
1.4 STEP 4
Spiderweb

FISIOLOGI RAAS

DEFINISI
PROGNOSIS

HIPERTENSI KLASIFIKASI
KOMPLIKASI
FAKTOR RESIKO
TATALAKSANA

KRISIS ETIOPATOGENESIS
HIPERTENSI
PENEGAKAN
DIAGNOSIS
PATOFISIOLOGI &
MANIFESTASI KLINIS
1.5 STEP 5
Learning objective

1. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan dari :


 Fisiologi RAAS
 Definisi hipertensi
 Klasifikasi hipertensi
 Faktor resiko hipertensi
 Etiopatogenesis hipertensi
 Patofisiologi dan manifestasi klinis hipertensi
 Krisis hipertensi
 Penegakan diagnosis hipertensi
 Tatalaksana hipertensi
 Komplikasi hipertensi
 Prognosis hipertensi

BAB II
Pembahasan
2.1 Fisiologi RAAS

Figure 1 fisiologi RAAS

Sistem hormon terpenting dan paling terkenal yang terlibat dalam regulasi Na + adalah
sistem renin-angiotensinaldosteron (SRAA).
Mekanisme SRAA yang pada akhirnya menyebabkan peningkatan reabsorpsi Na+.Sel
granular aparatus jukstaglomerulus mengeluarkan suatu hormon enzimatik, renin, ke dalam
darah sebagai respons terhadap penurunan NaCl, volume CES, dan tekanan darah arteri.Setelah
disekresikan ke dalam darah, renin bekerja sebagai enzim untuk mengaktifkan angiotensinogen
menjadi angiotensin I. Angiotensinogen adalah suatu protein plasma yang disintesis oleh hati dan
selalu terdapat di plasma dalam konsentrasi tinggi. Ketika melewati paru melalui sirkulasi paru,
angiotensin I diubah menjadi angiotensin II oleh angiotensin-converting enzyme (ACE) yang
banyak terdapat di kapiler paru. ACE terletak di sumur kecil di permukaan luminal sel endotel
kapiler paru. Angiotensin II adalah perangsang utama sekresi hormon aldosteron dari korteks
adrenal.
Dua jenis sel tubular yang berbeda berlokasi di bagian tubulus distal dan koligentes: sel
prinsipal dan sel interkalasi. Semakin banyak sel prinsipal merupakan tempat kerja aldosteron
dan vasopresin dan karenanya terlibat dalam reabsorpsi Na+ dan sekresi K+ (keduanya diatur oleh
aldosteron) serta dalam reabsorpsi H2O (diatur oleh vasopresin).Sebaliknya, sel interkalasi
berkaitan dengan keseimbangan asam basa. Di antara berbagai efeknya, aldosteron
meningkatkan reabsorpsi Na+ oleh tubulus distal dan koligentes. Hormon ini melakukannya
dengan mendorong penyisipan kanal bocor Na+ tambahan ke dalam membran luminal dan
penambahan pompa Na+-K+ ke dalam membran basolateral sel-sel ini. Hasil akhirnya adalah
peningkatan perpindahan pasif Na+ masuk ke dalam sel tubulus dan koligentes dari lumen dan
peningkatan pemompaan aktif Na+ keluar sel ke dalam plasma yaitu, peningkatan reabsorpsi Na +,
disertai CI- mengikuti secara pasif Karena itu, SRAA mendorong retensi garam yang
menyebabkan retensi H2O dan peningkatan tekanan darah arteri. Melalui mekanisme umpan-
balik negative sistem ini menghilangkan faktor-faktor yang memicu pelepasan awal renin yaitu,
deplesi garam, penurunan volume plasma, dan penurunan tekanan darah arteri.
Selain merangsang sekresi aldosteron, angiotensin II adalah konstriktor poten arteriol
sistemik, yang secara langsung meningkatkan tekanan darah dengan meningkatkan resistensi
perifer total.Selain itu, angiotensin II merangsang rasa haus (meningkatkan asupan cairan) dan
merangsang vasopresin (suatu hormon yang meningkatkan retensi H2O oleh ginjal), keduanya
ikut berperan dalam menambah volume plasma dan meningkatkan tekanan arteri. (Seperti yang
akan Anda pelajari, mekanisme lain yang berkaitan dengan regulasi jangka-panjang tekanan
darah dan osmolaritas CES juga penting dalam mengontrol rasa haus dan sekresi vasopresin.4

2.2 Definisi hipertensi


Hipertensi merupakan manifetsasi gangguan keseimbangan hemodinamik sistem
kadiovaskular, yang mana patofisiologinya adalah multi faktor, sehingga tidak bisa di
diterangkan dengan dengan hanya satu mekanisme tunggal. Seseorang dikatakan hipertensi bila
memiiki tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan atau tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg, pada
pemeriksaan berulang.1,5

2.3 Klasifikasi hipertensi

Hipertensi dapat diklasifikasikan berdasarkan:1

a. Klasifikasi berdasarkan derajat Menurut JNC 7 dan JNC 8 (Joint National Committee)
Tekanan darah TD Sistolik (mmHg) TD Diastolik (mmHg)

Normal < 120 < 80


prehipertensi 120-13 80-89
Hipertensi derajat 1 140-159 90- 99
Hipertensi derajat 2 ≥160 ≥100
Table 1 klasifikasi Hipertensi menurut JNC 7

Tekanan darah TD sistolik (mmHg) TD diastolik (mmHg)

Usia ≥60 tahun <150 <90


Usia <60 tahun <140 <90
Diabetes tanpa CKD <140 <90
CKD tanpa/dengan <140 <90
Diabetes
Table 2 klasifikasi berdasarkan JNC 8

Menurut AHA/ACC (American Heart Association/American college of Cardiology)


Tekanan darah Sistolik Diastolik

normal < 120 <80


prehipertensi 120-129 <80
Hipertensiderajat 1 130-139 80-89
Hipertensiderajat 2 ≥140 ≥90
Hipertensiurgensi >180 >120
Hipertensiemergensi >180 + kerusakan target >120+ kerusakan target organ
organ
Table 3 klasifikasi hipertensi mnurut AHA

Menurut WHO
Tekanandarah Tingkat 1 Kelas 2 Kelas 3
sistolik 140-159 160-179 ≥180
DiastoliK 90-99 100-109 ≥110
Table 4 klasifikasi hipertensi menurut WHO

b. Klasifikasi berdasarkan etiologi

 Hipertensi primer (hipertensi esensial) yaitu hipertensi yang penyebabnya tidak di


ketahui (90%). Berbagai kemungkinan penyebab potensial bagi hipertensi primer yang
saat ini sedang diteliti:
 Gangguan penanganan garam oleh ginjal. Banyak variasi gen yang teridentifikasi
berhubungan dengan hipertensi terkait pada jalur hormonal renin-angiotensin-
aldosteron peningkat tekanan darah.
 Asupan garam berlebih. Karena garam secara osmotik menahan air, dan
karenanya meningkatkan volume darah dan berperan dalam kontrol jangka
panjang tekanan darah, asupan berlebihan garam dapat menyebabkan hipertensi,
khususnya pada individu yang sensitif terhadap garam.
 Diet yang kurang mengandung buah, sayuran dan produk susu (yaitu rendah K +
dan Ca2+). Studi DASH (Dietary Approaches to Stop Hypertension)menemukan
bahwa diet rendah lemak dan kaya buah, sayur dan produk susu dapat
menurunkan tekanan darah pada orang dengan hipertensi ringan sama seperti
pemberian terapi dengan satu jenis obat.
 Kelainan membran plasma misalnya gangguan pompa Na+-K+. kelainan semacam
ini, dengan mengubah gradien elektrokimia menembus membran plasma, dapat
mengubah kepekaan dan kontraktilitas jantung dan otot polos di dinding
pembuluh darah sedemikian rupa sehingga terjadi peningkatan tekanan darah.
Selain itu, pompa Na+-K+ sangat pentin dalam penanganan garam oleh ginjal.
 Kelainan NO, endotelin dan bahan kimia vasoaktif yang bekerja lokal lainnya.
Sebagai contoh, kekurangan NO dapat ditemukan pada dinding pembuluh darah
sebagian pasien hipertensi yang menyebabkan gangguan kemampuan vasodilatasi
untuk menurunkan tekanan darah.
 Kelebihan vasopressin. Vasopressin adalah vasokonstriktor kuat dan juga
mendorong retensi air.4
 Hipertensi sekunder yaitu yang penyebabnya di ketahui (10%). Penyebabnya antara lain:
 Penyakit: penyakit ginjal kronik, sindroma cushing, feokromositoma, penyakit
renovaskular, penyakit tiroid, penyakit paratiroid.

 Obat-obatan: prednisone, fludrokortison, triamsinolon


- Amfetamin/anorektik : phendimetrazine
- Antivascular endothelin growth factor agents
- Estrogen
- Dekongestan: phenylpropanolamine
- COX-2 inhibitors, venlafaxine, bupropion
 Makanan: sodium, etanol, licorice.1

c. Klasifikasi berdasarkan bentuknya


 ISH ( Isolated Systolic Hypertension) yaitu peningkatan sistolik tanpa peningkatan
diastolik.
 IDH ( Isolated Diastolic Hypertension) yaitu peningkatan diastolik tanpa peningkatan
sistolik.
 Hipertensi campuran yaitu peningkatan sistolik dan diastolik.1

d. Klasifikasi berdasarkan tempat pemeriksaanya


 White coat hypertension yaitu tekanan darah yang meningkat waktu di periksa di tempat
praktek sedangkan tekanan yang di ukur sendiri( home blood pressure measurement /
HBPM) ternyata selalu terukur normal.
 Sustained hypertension (hipertensi persisten) yaitu tekanan darah yang meningkat baik di
klinik maupun luar klinik, termasuk di rumah maupun melakukan aktivitas harian yang
biasa di lakukan.1

2.4 Faktor resiko hipertensi


Faktor resiko hipertensi dapat dibagi 2 menjadi :

Faktor yang dapat diubah Faktor yang tidak dapat diubah


Overweight/ obesitas Usia
Sedentary life style Ras
Penggunaan tembakau Riwayat keluarga
Makanan tidak sehat
minum alkohol
Stress
Sleep apnea
Diabetes
Table 5 Faktor resiko hipertensi

Hipertensi ditemukan pada semua populasi dengan angka kejadian yang berbeda-
beda, sebab ada faktor- faktor genetik, ras, regional, sosial budaya yang juga menyangkut
gaya hidup yang juga berbeda. Hipertensi akan makin meningkat seiring bertambahnya
usia. Dengan bertambahnya usia, angaka kejadian hipertensi juga meningkat, sehingga di
atas umur 60 tahun prevalensinya mencapai 65,4%. Obesitas, sindrom metabolik,
kenaikan berat badan adalah faktor risiko independen untuk kejadian hipertensi.Faktor
asupan NaCL pada diet juga sangat erat hubungannya dengan kejadian hipertesi.
Mengkonsumsi alkohol, rokok, stress, aktivitas sehari-hari, kurang olah raga juga
berkontribusi dalam kejadian hipertensi.6

2.5 Etiopatogenesis hipertensi

Penyebab-penyebab hipertensi ternyata sangat banyak. Tidak bisa diterangkan hanya


dengan satu faktor penyebab. Memang benar pada akhirnya kesemuanya itu akan menyangkut
kendali natrium (Na) di ginjal sehingga tekanan darah meningkat.
Ada empat faktor yang mendominasi terjadinya hipertensi :
1. Peran volume intravaskular
2. Peran kendali saraf autonom
3. Peran renin angiotensin aldosteron (RAA)
4. Peran dinding vaskular pembuluh darah.1

1. Peran Volume Intravaskular


Menurut Kaplan tekanan darah tinggi adalah hasil interaksi antara cardiac output (CO)
atau curah jantung (CJ) dan TPR (total peripheral resistance, tahanan total perifer) yang
masing-masing dipengaruhi oleh beberapa faktor (Gambar 1 dan 2).

Volume intravascular merupakan determinan utama untuk kestabilan tekanan darah dari
waktu ke waktu.Tergantung keadaan TPR apakah dalam posisi vasodilatasi atau vasokontriksi.
Bila asupan NaCI meningkat, maka ginjal akan merespons agar ekskresi garam keluar bersama
urine ini juga akan meningkat. Tetapi bila upaya mengeksresi NaCI ini melebihi ambang
kemampuan ginjal, maka ginjal akan meretensi H2O sehingga volume intravascular meningkat.
Pada gilirannya CO atau CJ juga akan meningkat. Akibatnya terjadi ekspansi volume
intravaskular, sehingga tekanan darah akan meningkat. Seiring dengan perjalanan waktu TPR
juga akan meningkat, lalu secara berangsur CO atau CJ akan turun menjadi normal lagi akibat
autoregulasi. Bila TPR vasodilatasi tekanan darah akan menurun, sebaliknya bila TPR
vasokonstriksi tekanan darah akan meningkat.1

2. Peran Kendali Saraf Autonom


Persarafan autonom ada dua macam, yang pertama ialah sistem saraf simpatis, yang mana
saraf ini yang akan menstimulasi saraf viseral (termasuk ginjal) melalui neurotransmiter:
katekolamin, epinefrin, maupun Dopamine.
Sedangkan saraf parasimpatis adalah yang menghambat stimulasi saraf simpatis. Regulasi
simpatis dan parasimpatis berlangsung independen tidak dipengaruhi oleh kesadaran otak, akan
tetapi terjadi secara automatis mengikuti siklus sirkardian.
Ada beberapa reseptor adrenergik yang berada di jantung, ginjal, otak, serta dinding
vaskular pembuluh darah ialah reseptor αl, α2, β1 dan β2. Belakangan ditemukan reseptor β3 di
aorta yang ternyata kalau dihambat dengan beta bloker β1 selektif yang baru (nebivolol) maka
akan memicu terjadinya vasodilatasi melalui peningkatan nitrit oksida (NO).1
Karena pengaruh-pengaruh lingkungan misalnya genetik, stress kejiwaan, rokok, dan
sebagainyaakan terjadi aktivasi system saraf simpatis berupa kenaikan katekolamin, norepinefrin
(NE) dan sebagainya.
Selanjutnya neurotransmitter ini akan meningkatkan denyut jantung (Heart Rate) lalu
diikuti kenaikan CO atau CJ, sehingga tekanan darah akan meningkat dan akhirnya akan
mengalami agregrasi platelet. Peningkatan nerotransmiter NE ini mempunyai efek negative
terhadap jantung, sebab di jantung ada reseptor αl , β1, β2, yang akan memicu terjadinya
kerusakan miokard, hipertrofi dan aritmia dengan akibat progresivitas dari hipertensi
aterosklerosis.
Karena pada dinding pembuluh darah juga ada reseptor αl ,maka bila NE meningkat hal
tersebut akan memicu vasokonstriksi (melalui reseptor αl ) sehingga hipertensi aterosklerosis
juga makin progresif.
Pada ginjal NE juga berefek negatif, sebab di ginjal ada reseptor β1 dan αl yang akan
memicu terjadinya retensi natrium, mengaktivasi sistem RAA, memicu vasokonstriksi pembuluh
darah dengan akibat hipertensi aterosklerosis juga makin progresif.
Gambar 3 dan 4 dapat dipakai untuk mendalami pemahaman peran aktivitas NE saraf
simpatis lebih lanjut. Selanjutnya apabila NE kadarnya tidak pernah normal maka sindroma
hipertensi aterosklerosis juga akan berlanjut makin progresif menuju kerusakan organ target/
target organ damage (TOD).1

3. Peran Sistem Renin Angiotensin Aldosteron (RAA)


Bila tekanan darah menurun maka haliniakan memicu reflex baroreseptor. Berikutnya
secara fisiologis system RAA akandi picu mengikuti kaskade seperti yang tampak pada gambar
di bawah ini, yang mana pada akhirnya renin akan disekresi, lalu angiotensin I(A I), angiotensin
II (AII), dan seterusnya sampai tekanan darah meningkat kembali. Begitulah secara fisiologis
autoregulasi tekanan darah terjadi melalui aktifasidarisistem RAA (Gambar 5).1

Adapun proses pembentukan renin dimulai dari pembentukan angiotensinogen yang


dibuat di hati. Selanjutnya angiotensinogen akan dirubah menjadi angiotensin I oleh renin yang
dihasilkan oleh macula densa apparatjuxta glomerulus ginjal. Lalu angiotensin I akan dirubah
menjadi angiotensin II olehenzim ACE (angiotensin converting enzyme). Akhirnya angiotensin
II ini akan bekerja pada reseptor-reseptor yang terkait dengan tugas proses fisiologinya iaIah di
reseptor ATI, AT2, AT3, AT4.Gambar 6 dan 7 berikut akan lebih memperjelas keterangan ini.

Faktor risiko yang tidak dikelola akan memicu sistem RAA. Tekanan darah makin
meningkat, hipertensi aterosklerosis makin progresif. Ternyata yang berperan utama untuk
memicu progresifitas ialah angiotensin II, bukti uji klinis nya sangat kuat. Setiap intervensi
klinik pada tahap-tahap aterosklerosis kardiovaskular kontinum ini terbukti selalu bisa
menghambat progresifitas dan menurunkan risiko kejadian kardiovaskular.
Dengan memahami kaskade sistem RAA ini maka titik tangkap berbagai obat anti
hipertensi bisa dengan mudah dipahami (gambar 9 ).1

4. Peran DindingVaskularPembuluh Darah


Hipertensi adalah the disease cardiovascular continuum, penyakit yang berlanjut terus
menerus sepanjang umur.Paradigma yang baru tentang hipertensi dimulai dengan disfungsi
endotel, lalu berlanjut menjadi disfungsi vaskular, vaskular biologi berubah, lalu berakhir dengan
TOD.
Mungkin hipertensi ini lebih cocok menjadi bagian dari salah satu gejala sebuah
sindroma penyakit yang akan kita sebut sebagai "the atherosclerotic syndrome" atau "the
hypertension syndrome", sebab pada hipertensi sering disertai gejala-gejala lain berupa resistensi
insulin, obesitas, mikroalbuminuria, gangguan koagulasi, gangguan toleransi glukosa, kerusakan
membran transport, disfungsi endotel, dislipidemia, pembesaran ventrikel kiri, gangguan
simpatis parasimpatis. Aterosklerosis ini akan berjalan progresif dan berakhir dengan kejadian
kardiovaskular.
Bonetti et al berpendapat bahwa disfungsi endotel merupakan sindrom klinis yang bisa
langsung berhubungan dengan dan dapat memprediksi peningkatan risiko kejadian
kardiovaskular progresivitas sindrom aterosklerotik ini dimulai dengan faktor risiko yang tidak
dikelola, Akibatnya hemodinannika tekanan darah makin berubah, hipertensi makin meningkat
serta vaskular biologi berubah, dinding pembuluh darah makin menebal dan pasti berakhir
dengan kejadian kardiovaskular.
Dikenal ada faktor risiko tradisional dan non tradisional yang bila bergabung dengan
faktor-faktor lokal atau yang lain serta faktor genetic maka vaskular biologi akan berubah
menjadi makin tebal karena mengalami kerusakan berupa lesi vaskular dan remodeling, antara
lain akibat: inflamasi, vasokonstriksi, trombosis, rupture plak/erosi.
Dikenal pula faktor risiko baru selain angiotensin II, iaIah Ox-LDL, ROS (radical oxygen
species), homosistein, CRP serta masih ada lagi yang lain. Kesimpulannya faktor risiko yang
banyak ini harus dikelola agar aterosklerosis tidak progresif sehingga risiko kejadian
kardiovaskular bisa dicegah/diturunkan.Faktor risiko yang paling dominan memegangPeranan
untuk progresivitas ternyata tetap dipegang oleh angiotensin II.
WHO 2003 menetapkan bahwa faktor risiko yang paling banyak menyebabkan premature
death ialah hipertensi (7,1juta kematian). Hipertensi sudah diakui sebagai penyebab utama
aterosklerosis.Sedangkan aterosklerosis sendiri adalah penyebab tiga per empat semua kematian
penyakit kardiovaskular (PKV).
Secara skematis dapat dilihat pada gambar 10, yang mana disfungsi endotel adalah
merupakan risiko akibat adanya semua faktor risiko penanda adanya disfungsi endotel dapat
dilihat di retina mata dan dapat juga dilihat di ginjal (glomerulus), yaitu bila mana ditemukan
mikroalbuminuria pada pemeriksaan urin.1

Kesimpulannya hipertensi adalah hanya salah satu gejala dari sebuah sindroma yang akan
lebih sesuai bila disebut sebagai sindroma hipertensi aterosklerotik (bukan merupakan penyakit
tersendiri).kemudian akan memicu pengerasan pembuluh darah sampai terjadi kerusakan target
organ terkait. Awalnya memang hanya berupa faktor risiko. Tetapi bila faktor-faktor risiko ini
tidak diobati maka akan memicu gangguan hemodinamik dan gangguan vascular.1
Terjadi akibat ineraksi antara factor genetic dan lingkungan yang mempengaruhi curah
jantung, resistensi perifer atau keduanya.
Factor genetic jelas berperan dalam menentukan tingkat tekanan darah. Selain itu,
beberapa penyakit gen tunggal menyebabkan bentuk-bentuk hipertensi (dan hipotensi) yang
relative jarang dengan merubah reabsorpsi natrium netto di ginjal.
Penyakit gen tuggal menyebabkan bentu-bentuk hipertensi yang relative jarang dan berat
melalui beberapa mekanisme. Mekanisme tersebut antara lain sebagai berikut:
1. Defek Gen pada enzim yang berperan dalam metabolisme aldosterone (missal
aldosterone sintase, 11 β-hidroksilase, 17 α-hidroksilase) hal ini menyebabkan
peningkatan adiktif sekresi aldosterone, peningkatan penyerapan natrium dan air,
ekspansi volume plasma dan akirnya hipertensi.
2. Mutasi protein yang mempengaruhi reabsorpsi natrium. Contohnya, bentuk hipertensi
peka garam yang agak parah, di kenal sebagai sindrom lidle, disebabkan oleh mutasi
di protein ENaC yang menyebabkan peningkatan reabsorpsi natrium di tubulus distal
yang di induksi oleh aldosterin.

Penurunan eksresi natrium oleh ginjal pada tekanan arteri normal dapat merupakan
proses kunci awal dalam hipertensi esensial dan, juga merupakan suatu jalur akhir brsaa untuk
ptogenesis hipertensi. Penurunan eksresi natrium secara berurutan dapat menyebabkan
peningkatan volume cairan, peningkatan curah jantung, dan vasokontriksi perifer sehingga
tekanan darah meningkat. Pada tingkat tekanan darah yang lebih tinggi, ginjal dapat
megekresikan cukup natrium untuk menyeinbangi asupan sehingga retensi cairan lebih lanjut
dapat di cegah. Oleh karena itu, tinggat ekresi natrium yang berbeda, tetapi menetap (akan
tercapai, pengaturan ulang natriuresis akibat tekanan darah), tetapi dengan konsekuensi beruapa
peningkatan tekanan darah secara stabil.10
Factor lingkungan dapat memodifikasi ekspresi pengaru genetic dalam meningkatkan
tekanan darah. Stress, kegemukan, merokok, inaktivitas fisik, dan konsumsi garam dalam jumla
besar dilaporkan merupakan factor eksogen hipertensi. Selain itu, pda hipertensi esensial dan
sekunder, asupan natrium dalam jumlah besar memperparah penyakit.
Secara singkat hipertensi esensial adalah suatu penyakit multifaktor kompleks. Meskipun
pada penyakit gen tunggal dapat menyebabkan hipertensi pada kasus-kasus yang tidak lazim,
kecil kemungkinannya bahwa mutasi disatu lokus gen menjadi penyebab utama hipertensi
esensial dalam populasi yang lebih besar. Besar kemungkinan bahwa hipertensi esensial terjadi
karena kombinasi efek mutasi atu polimorfisme di beberapa lokus gen yang mempengaruhi
tekanan darah yag berinteraksi dengan berbagai factor lingkungan.10

2.6 Patofisiologi dan manifestasi klinis hipertensi

Gejala "klasik" hipertensi yaitu nyeri kepala, epistaksis (hidung berdarah), dan
dizzines.Namun, gejala ini masih menjadi pertanyaan dan penelitian menunjukkan bahwa gejala
tersebut jarang di temukan pada pasien hipertensi. Gejala lain, sepertiflushing, berkeringat, dan
penglihatan kabur. Namun pada umumnya sebagian besar pasien tidak bergejala dan didiagnosis
dengan pengukuran tekanan darah selamapemeriksaan fisik rutin.2
Nyeri kepala umumnya di anggap sebagai gejala hipertensi meskipun ada pendapat
yang saling bertentangan. Sebagian penelitian telah menunjukkan bahwa hipertensi dan nyeri
kepala tidak berhubungan. Tetapi ada sedikit bukti tentang hal ini, yaitu “nyeri kepala dikaitkan
dengan gangguan homeostasis”Internal Classification of Headache Disorders edisi 2 yang
menganggap bahwa nyeri kepala di temukan pada hipertensi maligna, hipertensi preeklampsia
dan eklampsia dan respon akut terhadap agen eksogen.
Cooper et al., Dalam sampel 11.710 pasien hipertensi, melaporkan sakit kepala itu
adalah gejala umum yang berkaitan dengan tekanan darah tinggi.3

2.7 Krisis hipertensi

Krisis Hipertensi merupakan suatu keadaan klinis yang ditandai oleh tekanan darah yang
sangat tinggi dengan kemungkinan akan timbulnya atau telah terjadi kelainan organ target. Pada
umumnya krisis hipertensi terjadi pada pasien hipertensi yang tidak atau lalai memakan obat
antihipertensi.1

2.7.1 Hipertensi darurat (emergency hypertension)

Dimana selain tekanan darah yang sangat tinggi terdapat kelainan/ kerusakan target organ
yang bersifat progresif, sehingga tekanan darah harus diturunkan dengan segera (dalam menit
sampai jam) agar dapat mencegah/membatasi kerusakan target organ yang terjadi.1

2.7.2 Hipertensi mendesak (urgency hypertension)


Dimana terdapat tekanan darah yang sangat tinggi tetapi tidak disertai kelainan/kerusakan
organ target yang progresif, sehingga penurunan tekanan darah dapat dilaksanakan lebih lambat
(dalam hitungan jam sampai hari).1

 Hipertensi akselerasi : peningkatan tekanan darah signifikan baru-baru ini terhadap tekanan
darah awal yang terkait dengan kerusakan organ target. biasanya dilihat sebagai kerusakan
vascular pada funduskopi, seperti berbentuk flame atau eksudat lunak, tetapi tanpa papil edema.
 Hipertensi Maligna: Hipertensi emergensi dengan tidk adanya retinopaty, akan tetapi didasarkan
kriteria peningkatan tekanan darah akut disertai kerusakan minimal tiga organ target yang
berbeda, harus ada papil edema.
 Hipertensi Refrakter: sejumlah kondisi kelainan klinis dengan atau tanpa kelainan kardiovaskular
yang disebabkan oleh hipertensi arterial, walaupun sudah mendapatkan terapi tiga obat
antihipertensi.
 Hipertensi resisten: adalah sebagai kegagalan untuk mencapai target tekanan darah ketika pasien
mematuhi dosis optimal suatu rejimen yang tepat dari tiga obat antihipertensi, termasuk
diuretic.

2.7.3 Gejala Krisis Hipertensi

Hipertensi krisis umumnya adalah gejala organ target yang terganggu, di antaranya nyeri
dada dan sesak napas pada gangguan jantung dan diseksi aorta; mata kabur pada edema papilla
mata; sakit kepala hebat, gangguan kesadaran dan lateralisasi pada gangguan otak; gagal ginjal
akut pada gangguan ginjal; di samping sakit kepala dan nyeri tengkuk pada kenaikkan tekanan
darah pada umumnya. Diagnosis ditegakkan berdasarkan tingginya tekanan darah, gejala dan
tanda keterlibatan organ target.

Selain pemeriksaan fisik, data laboratorium ikut membantu diagnosis dan


perencanaan.Urin dapat menunjukkan proteinuria, hematuri dan silinder. Hal ini terjadi karena
tingginya tekanan darah juga menandakan keterlibatan ginjal apalagi bila ureum dan kreatinin
meningkat. Gangguan elektrolit bisa terjadi pada hipertensi sekunder dan berpotensi
menimbulkan aritmia.

Pemeriksaan penunjang seperti elektrokardiografi (EKG) untuk melihat adanya hipertrofi


ventrikel kiri atau pun gangguan koroner serta ultrasonografi (USG) untuk melihat struktur ginjal
dilaksanakan sesuai kondisi klinis pasien.

2.7.4 tatalaksana krisis hipertensi

bagan 1. algoritma diagnosis dan managemen krisis hipertensi

Table 6. pilihan terapi


untuk hipertensi darurat
Waktu Kerjaa Target Tekanan Darah

1 jam Turunkan MAP hingga 25% (sambil mempertahankan


pertama tujuan DBP≥100mmHg)

2-6 jam SBP 160mmHg dan/atau DBP 100-110mmHg.

6-24 jam Pertahankan tujuan untuk 2-6 selama 24 jam pertama.

24-48 jam Tujuan BP rawat jalan sesuai dengan Pedoman2017 untuk


Manajemen Tekanan Darah Tinggi pada Dewasa

Table 7. Tujuan pengobatan tekanan darah untuk Hipertensi Emergensi

2.8 Penegakan diagnosis hipertensi

A. Anamnesis
Pada umumnya penderita hipertensi tidak mempunyai keluhan. Hipertensi adalah
the silent killer. Penderita baru mempunyai keluhan setelah mengalami komplikasi di
TOD (target organ damage).
Anamnesis meliputi:
1. Lama menderita hipertensi dan derajat tekanan darah
2. Indikasi adanya hipertensi sekunder
a. Keluarga dengan riwayat penyakit ginjal (ginjal polikistik)
b. Adanya penyakit ginjal, infeksi saluran kemih, hematuri, pemakaian obat-obatan
algesik dan obat/bahan lain
c. Episode berkeringat, sakit kepala, kecemasan, palpitasi (feokromositoma) episode
lemah otot dan tetani (aldosteronisme).
3. Faktor-faktor risiko
a. Riwayat hipertensi atau kardiovaskular pada pasien atau keluarga pasien
b. Riwayat hyperlipidemia pada pasien atau keluarganya
c. Riwayat diabetes melitus pada pasien atau keluarganya
d. Kebiasaan merokok pola makan kegemukan, intensitas olah raga
e. kepribadian
4. Gejala kerusakan organ
a. otak dan mata : sakit kepala, vertigo, gangguan penglihatan, transient ischemic
attacks, deficit sensoris atau motoris.
b. jantung : palpitasi, nyeri dada, sesak, bengkak kaki, tidur dengan bantal tinggi
(lebih dari 2 bantal)
c. ginjal : haus, poliuria, nokturia, hematuri, hipertensi yang disertai kulit pucat
d. anemis arteri perifer : ekstremitas dingin, klaudikasio intermiten
5. Pengobatan anti hipertensi sebelumnya
6. Faktor-faktor pribadi, keluarga dan lingkungan.1

B. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang pasien hipertensi terdiri dari: tes darah rutin, glukosa
darah (sebaiknya puasa), kolesterol total serum, kolesterol LDL dan HDL serum,
trigliserida serum (puasa), asam urat serum, kreatinin serum, kalium serum, hemoglobin
dan hematokrit, urinalisis (uji carikcelup serta sedimen urin), elektrokardiogram.
Beberapa pedoman penanganan hipertensi menganjurkan tes lain seperti : ekokardiogram,
USG karotis (dan femoral), C-reactiveprotein, mikroalbuminuria atau perbandingan
albumin/kreatininurin, proteinuria kuantitatif (jika uji cari k positif), funduskopi (pada
hipertensi berat). Evaluasi pasien hipertensi juga diperlukan untuk menentukan adanya
penyakit penyerta sistemik, yaitu: aterosklerosis (melalui pemeriksaan profil lemak),
diabetes (terutama pemeriksaan gula darah), fungsi ginjal (dengan pemeriksaan
proteinuria, kreatinin serum, serta memperkirakan laju filtrasi glomerulus).1

C. Pemeriksaan kerusakan organ target


Pada pasien hipertensi, beberapa pemeriksaan untuk menentukan adanya
kerusakan organ target dapat dilakukan secara rutin, sedang pemeriksaan lainnya hanya
dilakukan bila ada kecurigaan yang didukung oleh keluhan dan gejala pasien.
Pemeriksaan untuk mengevaluasi adanya kerusakan organ target meliputi:
1. Jantung : pemeriksaan fisik, fotopolos dada (untuk melihat pembesaran jantung,
kondisi arteri intra toraks dan sirkulasi pulmoner), elektrokardiografi (untuk deteksi
iskemia, gangguan konduksi, aritmia, serta hipertrofi ventrikel kiri), ekokardiografi.
2. Pembuluh darah : pemeriksaan fisik termasuk perhitungan, tekanan nadi,
ultrasonografi (USG) karotis, fungsi endotel.
3. Otak : pemeriksaan neurologis, diagnosis stroke ditegakkan dengan menggunakan
cranial computed tomography (CT) scan atau magnetic resonance imaging (MRI)
(untuk pasien dengan keluhan gangguan neural, kehilangan memori atau gangguan
kognitif).
4. Mata : funduskopi retina
5. Fungsi ginjal: pemeriksaan fungsi ginjal dan penentuan adanya proteinuria/mikro-
makroalbuminuria serta rasio albumin kreatinin urin, perkiraan laju filtrasi
glomerulus, yang untuk pasien dalam kondisi stabil dapat diperkirakan dengan
menggunakan modifikasi rumus dari Cockroft-Gault sesuai dengan anjuran National
Kidney Foundation (NKF) yaitu : Klirens kreatinin* = (140 - umur) x berat badan x
(0,85 untuk perempuan) 72 X kreatinin serum (* glomerulus filtration rote/laju
filtrasi glomerulus (GFR) dalam ml/menit/1,73 m^).1

2.9 Tatalaksana hipertensi

2.9.1 Prinsip Tatalaksana Hipertensi

Guideline JNC 8 mencantumkan 9 rekomendasi penanganan hipertensi:


Rekomendasi 1
Pada populasi umum usia ≥ 60 tahun, terapi farmakologis untuk menurunkan tekanan
darah dimulai jika tekanan darah sistolik ≥150 mmHg atau tekanan darah diastolic ≥90
mmHg dengan target sistol <150 mmHg dan target diastolik <90 mmHg. (Strong
Recommendation- Grade A).
Pada populasi umum berusia ≥60 tahun, jika terapi farmako hipertensi menghasilkan
tekanan darah sistol lebih rendah (<140 mmHg) dan ditoleransi baik tanpa efek samping
kesehatan dan kualitas hidup, dosis tidak perlu disesuaikan.
(Expert Opinion-Grade E).
Rekomendasi 2
Pada populasi umum <60 tahun, terapi farmakologis untuk menurunkan tekanan darah
dimulai jika tekanan darah diastolik ≥90 mmHg dengan target tekanan darah diastolik
<90 mmHg (untuk usia 30-59 tahun Strong Recommendation-Grade; untuk usia 18-29
tahun Expert Opinion-Grade E).9

Rekomendasi 3
Pada populasi umum <60 tahun, terapi farmakologis untuk meurunkan tekanan darah
dimulai jika tekanan darah sistolik ≥140 mmHg dengan target tekanan darah sistolik
<140 mmHg (Expert Opinion-Grade E).

Rekomendasi 4
Pada populasi berusia ≥18 tahun dengan penyakit ginjal kronis, terapi farmakologis
untuk menurunkan tekanan darah dimulai jika tekanan darah sistolik ≥140mmHg atau
tekanan darah diastolik ≥90 mmHg dengan target tekanan darah sistolik <140 mmHg
dan target tekanan darah diastolik <90 mmHg (Expert Opinin-Grade E).

Rekomendasi 5
Pada populasi berusia ≥18 tahun dengan diabetes, terapi farmakologis untuk
menurunkan tekanan darah dimulai jika tekanan darah sistolik ≥140 mmHg atau tekanan
darah diastolik ≥90 mmHg dengan target tekanan darah sistolik <140mmHg dan target
tekanan darah diastolik <90 mmHg (Expert Opinion-Grade E).

Rekomendasi 6
Pada populasi non-kulit hitam umum, termasuk mereka dengan diabetes, terapi
antihipertensi awal sebaik mencakup diuretic tipe thiazide, calcium channel
blocker(CCB), Angiotensin-Concerting Enzyme Inhibitor (ACEI), atau Angiotensin
ReceptorBlocker (ARB). (Moderate recommendation-Grade B).
Rekomendasi 7
Pada populasi kulit hitam umum, termasuk mereka dengan diabetes, terapiantihipertensi
awal sebaiknya mencakup diuretic tipe thiazide atau CCB. (untuk populasi kulit hitam:
Moderate Recommendation-Grade B; untuk kulit hitam dengan diabetes: Weak
Recommendation-Grade C).9

Rekomendasi 8
Pada populasi berusia ≥18 tahun dengan penyakit ginjal kronis, terapi
antihipertensi awal (atau tambahan) sebaiknya mencakup ACEI atau ARB untuk
meningkatkan outcome ginjal. Hal ini berlaku untuk semua pasien penyakit ginjal
kronis dengan hipertensi terlepas dari ras atau status diabetes. (Moderate
Recommendation-Grade B).

Rekomendasi 9
Tujuan utama terapi hipertensi adalah mencapai dan mempertahankan target tekanan
darah. Jika target tekanan darah tidak tercapai dalam 1 bulan perawatan, tingkatkan
dosis obat awal atau tambahkan obat kedua dari salah satu kelas yang direkomendasikan
dalam rekomendasi 6 (Thiazide-type diuretic, CCB, ACEI, atauARB). Dokter harus
terus menilai tekanan darah dan menyesuaikan regimen perawatan sampai target
tekanan darah tercapai. Jika target tekanan darah tidak dapatdicapai dengan 2 obat,
tambahkan dan titrasi obat ketiga dari daftar yang tersedia. Jangan gunakan ACEI dan
ARB bersama-sama pada satu pasien. Jika target tekanan darah tidak dapat dicapai
menggunakan obat didalam rekomendasi 6 karena kontraindikasi atau perlu
menggunakan lebih dari 3 obat, obat antihipertensi kelas lain dapat digunakan. Rujukan
kespesialis hipertensi mungkin diindikasikan jika target tekanan darah tidak dapat
tercapai dengan strategi diatas atau untuk penanganan pasien komplikasi yang
membutuhkan konsultasi klinis tambahan.
(Expert Opinion-grade E).9
bagan2 Algoritma penatalaksanaan hipertensi menurut JNC 8

2.9.2 Tatalaksana Nonfarmakologi Hipertensi

Menjalani pola hidup sehat telah banyak terbukti dapat menurunkan tekanan darah, dan
secara umum sangat menguntungkan dalam menurunkan risiko permasalahan kardiovaskular.
Pada pasien yang menderita hipertensi derajat 1, tanpa faktor risiko kardiovaskular lain, maka
strategi pola hidup sehat merupakan tatalaksana tahap awal, yang harus dijalani setidaknya
selama 4 – 6 bulan. Bila setelah jangka waktu tersebut, tidak didapatkan penurunan tekanan
darah yang diharapkan atau didapatkan faktor risiko kardiovaskular yang lain, maka sangat
dianjurkan untuk memulai terapi farmakologi.
Dalam guideline JNC 8 modikasi gaya hidup tidak dibahas secara detail mungkin tetap
mengacu pada modikasi gaya hidup dalam JNC 7 dan beberapa panduan lain:
- Penurunan berat badan dapat menurunkam tekanan darah sistolik 5-20 mm/penurunan 10 kg.
Rekomendasi ukuran pinggang <94 cm untuk pria dan <80 cm untuk wanita, indeks massa
tubuh <25 kg/m2. Rekomendasi penurunan berat badan meliputi nasihat mengurangi asupan
kalori dan juga meningkatkan aktivitas fisik.
- Adopsi pola makan DASH (Dietary Approaches to Stop Hypertension) dapat menurunkan
tekanan darah sistolik 8-14 mmHg. Lebih banyak makan buah, sayur-sayuran, dan produk susu
rendah lemak dengan kandungan lemak jenuh dan total lebih sedikit, kaya potassium dan
calcium.
- Restriksi garam harian dapat menurunkan tekanan darah sistolik 2-8 mmHg. Konsumsi sodium
chloride ≤6 g/hari (100 mmol sodium/hari). Rekomendasikan makanan rendah garam sebagai
bagian pola makan sehat.
- Aktivitas fisik dapat menurunkan tekanan darah sistolik 4-9 mmHg. Lakukan aktivitas fisik
intensitas sedang pada kebanyakan, atau setiap hari pada 1 minggu (total harian dapat
diakumulasikan, misalnya 3 sesi @10 menit).
- Pembatasan konsumsi alkohol dapat menurunkan tekanan darah sistolik 2-4 mmHg. Maksimum
2 minuman standar/ hari: 1 oz atau 30 ml ethanol; misalnya bir 24 oz, wine 10 oz, atau 3 oz 80-
proof whiskey untuk pria dan 1 minuman standar/hari untuk wanita.
- Berhenti merokok untuk mengurangi risiko kardiovaskuler secara keseluruhan.5,9
2.9.3 Tatalaksana Farmakologi Hipertensi

Dikenal lima kelompok obat lini pertama normal (first line drugs ) yang lazim digunakan untuk
pengobatan awal hipertensi yaitu:
a) Diuretic,
b) Penghambat angiotensin-converting endzyme(ACE-inhibitor),
c) Penghambat reseptor angiotensin (angiotensin reseptorblocker,ARB),
d) antagonis kalsium.

Selain itu dikenal juga tiga kelompok obat yang dianggap lini kedua yaitu:
a) penghambat saraf adrenergic,
b) penyekat reseptor beta adrenergic (β-blocker),
c) Agonis α-2 sentral dan
d) Vasodilator.

A) Diuretik
 Mekanisme : menghambat transfer bersama (symport) Na-cl ditubulus distal ginjal,
sehingga ekskresi Na+ dan cl- meningkat. Sehingga meningkatkan ekskresi natrium, air
dan clorida sehingga menurunkan volum darah dan cairan ekstraseluler. Akibatnya terjadi
penurunan curah jantung dan tekanan darah. Selain mekanisme tersebut, beberapa
diuretic juga menurunkan resistensi perifer sehingga menambah efek hipotensinya.

Obat Dosis(mg) Pemberian Sediaan


a.diuretik tiazid
Hidrokorotiazid 12,5-25 1xsehari Tab 25 dan 50 mg
Klortalidon 12,5-25 Tab 50 mg
Indapamid 1,25-2.5 Tab 2,5 mg

b.diuretik kuat
furosemide 20-80 2-3 x sehari Tab 40 mg,amp 20 mg
Torsemid 2,5-10 1-2 x sehari Tab 5,10,20,100 mg ampul
Bumetanid 0,5-4 2-3 x sehari 10 mg/ml(2 dan 5 ml)
Tab 0,5;1 dan 2 mg
C.diuretik hemat
kalium
Amilorid 5-10 1-2 x sehari
Spironolakton 25-100 1 x sehari Tab 25 dan 100 mg
Triamteren 25-300 1 x sehari Tab 50 dan 100 mg

 Indikasi Diuretik

Sampai sekarang tiazid merupakan obat utama dalam terapi hipertensi. Berbagai penelitian
besar membuktikkan bahwa diuretik terbukti paling efektif dalam menurunkan resiko
kardiovaskular. Tiazid terutama efektif untuk pasien hipertensi dengan kadar renin yang rendah,
misalnya pada orang tua. Tiazid dapat digunakan sebagai obat tunggal pada hipertensi ringan
sampai sedang.

 Efek samping Diuretik

Tiazid dalam dosis tinggi dapat menyebabkan hypokalemia.Tiazid juga dapat


menyebabkan hiponatremia dan hipomagnesemia serta hiperkalsemia. Selain itu tiazid dapat
menghambat ekresi asam urat dari ginjal, dan pada pasien hiperurisemia dapat mencentuskan
serangan gout akut. Tiazid dapat meningkatkan kadar kolesterol LDL dan Trigliserida. Tetapi
kemaknaannya dalam peningkatan resiko penyakit jantung coroner belum jelas. Pada
penderita DM, tiazid dapat menyebabkan hiperglikemia karna mengurangi sekresi insulin.
Pada pasien pria, gangguan fungsi seksual merupakan efek samping tiazid yang kadang-
kadang mengganggu.

B) Penyekat Reseptor Beta Adrenergik (β-BLOCKER)


 Mekanisme menghambat reseptor β1, dapat dikaitkan dengan berbagai mekanisme
sebagai berikut :
 Penurunan frekuensi denyut jantung dan kontraktilitas miokard sehingga menurunkan
curah jantung
 Hambatan sekresi renin di sel-sel juxtaglomeruler ginjal dengan akibat penurunan
produksi angiotensin II
 Efek sentral yang mempengaruhi akfivitas saraf simpatis, perubahan pada sensitivitas
baroreseptor, perubahan aktivitas neuron adrenergic perifer dan peningkatkan biosintesis
prostasiklin.

 Indikasi β-blocker

β-blocker digunakan sebagai obat tahap pertama pada hipertensi ringan sampai sedang
terutama pada pasien dengan penyakit jantung coroner (khususnya sesudah infark miokard akut),
pasien dengan aritmia supraventrikel dan ventrikel tanpa kelainan konduksi, pada pasien muda
dengan sirkulasi hiperdinamik . β-blocker lebih efektif pada pasien usia muda dan kurang efektif
pada pasien usia lanjut. β-blocker merupakan obat yang baik untuk hipertensi dengan angina
stabil kronik.
 Kontraindikasi β-blocker

Pada pasien yang asma bronkial. Pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal kronik,
pemakaian β blocker dapat memperburuk fungsi ginjal karna penurunan aliran darah
ginjal. Obat golongan ini dikontraindikasikan pada keadaan bradikardi, blockade AV
derajat 2 dan 3 dan gagal jantung yang belum stabil.
 Efek samping β-blocker

β blocker dapat menyebabkan bradikardi, blockade AV, hambatan nodus SA dan


menurunkan kekuatan kontraksi miokard. Bronkospasme merupakan efek samping yang
penting pada pasien dengan riwayat asma bronchial atau PPOK. Efek sentral berupa
depresi, mimpi buruk, halusinasi oleh obat propranolol dan oksprenolol. Gangguan fungsi
seksual sering terjadi akibat pemakaian β blocker terutama yang tidak selektif.

C) ACE-inhibitor7
 Mekanisme ACE-inhibitor

ACE-inhibitor menghambat perubahan angiotensin I menjadi angiotensin II


sehingga terjadi vasodilatasi dan penurunan sekresi aldosteron. Selain itu, degradasi
bradikinin juga dihambat sehingga kadar bradikinin dalam darah meningkat dan berperan
dalam efek vasodilatasi ACE-inhibitor. Vasodilatasi secara langsung akan menurunkan
tekanan darah sedangkan berkurangnya aldosterone akan menyebabkan ekskresi air dan
natrium dan retensi kalium.
 Penggunaan ACE-inhibitor
ACE-inhibitor efektif untuk hipertensi ringan, sedang maupun berat. Bahkan
beberapa diantaranya dapat digunakan pada krisis hipertensi seperti kaptopril dan
enalaprilat. Kombinasi dengan diuretik memberikan efek sinergistik (sekitar 85% pasien
TD-nya terkendali dengan kombinasi ini), sedangkan efek hipokalemia diuretik dapat
dicegah. Kombinasi dengan beta-bloker memberikan efek aditif. Kombinassi dengan
vasodilator lain, termasuk prazosin dan antagonis kalsium, memberi efek yang baik.
Tetapi pemberian bersama penghambat adrenergik lain yang menghambat respon
adrenergik alfa dan beta (misalnya klonidin, metildopa, labetalol atau kombinasi alfa
dengan beta-bloker) sebaiknya dihindari karena dapat menimbulkan hipotensi berat dan
berkepanjangan.

 Efek samping ACE-inhibitor


Hipotensi Dapat terjadi pada awal pemberian ACE-Inhibitor, terutama pada hipertensi
dengan aktivitas renin yang tinggi. Pemberian harus berhati-hati pada pasien dengan
deplesi cairan dan natrium, gagal jantung atau yang mendapat kombinasi beberapa
antihipertensi.
Batuk Kering Merupakan efek samping yang paling sering terjadi dengan insidens 5-
20%. Dapat terjadi segera atau setelah beberapa lama pengobatan. Diduga ada kaitannya
dengan peningkatan kadar bradikinin dan substansi P, dan atau prostaglandin.
Hiperkalemia Dapat terjadi pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal atau pada pasien
yang juga mendapat diuretik hemat kalium, AINS, suplemen kalium atau beta-bloker.
Rash Dan gangguan pengecapan lebih sering terjadi dengan kaptropil, tapi juga dapat
terjadi dengan ACE-inhibitor lain. Diduga karena adanya gugus sulfhidril (SH) pada
kaptropiol yang tidak dimiliki oleh ACE-Inhibitor lain.
Edema angioneurotik Terjadi pada 0,1-0,2% pasien berupa pembengkakan dihidung,
bibir, tenggorokan, laring dan sumbatan jalan nafas yang bisa berakibat fatal.
Gagal ginjal akut Yang refersibel dapat terjadi pada pasien dengan stenosis arteri renalis
bilateral atau pada satu-satunya ginjal yang berfungsi.
Proteinuria (> 1 jam perhari) jarang-jarang bisa terjadi tapi hubungan kausalnya sulit
diterangkan.
Efek teratogenik terutama terjadi pada pemberian selama trimester 2 dan 3 kehamilan.
Dapat menimbulkan gagal ginjal fetus atau kematian fetus akibat berbagai kelainan
lainnya.

 Kontraindikasi ACE-inhibitor
- Wanita hamil, karena bersifat teratogenik
- Ibu menyusui, karena ACE-Inhibitor diekskresi melalui ASI dan berakibat buruk
pada fungsi ginjal bayi
- Hiperkalemia
- Pada stenosis arteri renalis bilateral atau unilateral pada keadaan ginjal tunggal
- Pemberian bersama diuretik hemat kalium dapat menimbulkan hiperkalemia
- Pemberian bersama antasida akan mengurangi absorpsi
- Pemberian bersama AINS akan mengurangi efek anti-hipertensinya dan menambah
risiko hiperkalemia.
-
D) Angiotensin Reseptor Blocker (ARB)7
 Mekanisme obat ARB
Reseptor angiotensin II terdiri dari dua kelompok yaitu reseptor AT 1 dan AT 2.
Reseptor AT 1 terdapat terutama di otot polos pembuluh darah dan otot jantung. Selain
itu terdapat juga di ginjal, otak dan kelenjar adrenal. Reseptor AT 1 memperantarai
semua efek fisiologis angiotensin II terutama yang berperan dalam homeostasis
kardiovaskular. Reseptor AT 2 terdapat di medula adrenal dan mungkin juga di SSP,
tertapi sampai sekarang fungsinya belum jelas.
Losartan merupakan prototipe obat golongan ARB yang bekerja selektif pada
reseptor AT 1. Pemberian obat ini akan menghambat semua efek Ang ll, seperti:
vasokonstriksi, sekresi aldosteron, rangsangan saraf simpatis, efek sentral Ang ll (sekresi
vasopresin, rangsangan haus), stimulasi jantung, efek renal serta efek jangka panjang
berupa hipertrofi otot polos pembuluh darah dan miokard. Dengan kata lain, ARB
menimbulkan efek yang mirip dengan pemberian ACE-inhibitor. Tapi karena tidak
mempengaruhi metabolisme bradkinin, maka obat ini dilaporkan tidak memiliki efek
samping batuk kering dan angioedema seperti yang sering terjadi dengan ACE-inhibitor.
ARB sangat efektif menurunkan tekanan darah pada pasien hipertensi dengan
kadar renin yang tinggi seperti hipertensi renovaskular dan hipertensi genetik, tapi kurang
efektif pada hiper tensi dengan aktivitas renin yang rendah.
Pemberian ARB menurunkan tekanan darah tanpa mempengaruhi frekuensi
denyut jantung. Pemberian jangka panjang tidak rnempengarhi lipid dan glukosa darah.
Losartan menunjukkan efek urikosurik yang cukup nyata, sedangkan valsartan tidak
mempengaruhi asam urat darah.

Obat Dosis (mg/hari) Frekuensi sediaan


pemberian
A. ACE-Inhibitor
Kaptropil 25-100 2-3x Tab 12,5 dan 25 mg
Benazepril 10-40 1-2x Tab 5 dan 10 mg
Enalapril 2,5-40 1-2x Tab 5 dan 10 mg
Fosinopril 10-40 1x Tab 10 mg
Lisinopril 10-40 1x Tab 5 dan 10 mg
B. ARB
Losartan 25-100 1-2x Tab 50 mg
Valsartan 80-320 1x Tab 40 dan 80 mg
Irbesartan 150-300 1x Tab 75 dan 150 mg
Telmisartan 20-80 1x Tab 20, 40 dan 80
Candesartan 8-32 1x mg
Tab 4, 8 dan 16 mg

 Efek samping ARB


Hipotensi dapat terjadi pada pasien dengan kadar renin tingg seperti hipovolemia,
gagal jantung, hipertensi renovaskular dan sirosis hepatis.
Hiperkalemia biasanya terjadi dalam keadaan tertentu seperti insufisiensi ginjal, atau
bila dikombinasi dengan obat-obat yang cendrung meretensi kalium seperti diuretik
hemat kalium dan AINS dan juga bila asupan kalium beriebihan.
 Kontraindikasi ARB
Seperti ACE-inhibitor, ARB dikontraindikasikan pada kehamilan trimester 2 dan
3, dan harus segera dihentikan bila pemakainya ternyata hamil. Obat ini tidak
dianjurkan untuk diberikan pada wanita menyusui, karena ekskresinya ke dalam air
susu ibu belum diketahui. Selain tu, juga dikontraindikasikan pada stenosis arteri
renalis bilateral atau stenosis pada satu-satunya ginjal yang masih berfungsi.

E) Antagonis kalsium
 Mekanisme kerja Antagonis kalsium

Antagonis kalsium menghambat influks kalsium pada sel otot polos pembuluh darah dan
miokard. Di pembuluh darah, antagonis kalsium terutama menimbulkan relaksasi
arteriol,sedangkan vena kurang dipengaruhi. Penurunan resistensi perifer ini sering diikuti oleh
reflek takikardi dan vasokonstriksi,terutama bisa digunakan dihidropiridin kerja pendek
(nifedipin). Sedangkan ditiazem dan verapamil tidak menimbulkan takikardia karna efek
kronotropik negatif langsung pada jantung. Bila refleks takikardi kurang baik, seperti pada orang
tua, maka pemberian antagonis kalsium dapat menimbulkan hipotensi yang berlebihan.
 Penggunaan Antagonis kalsium

Sejak JNC-IV (1988) dan WHO/ISH (1989),antagonis kalsium telah menjadi salah satu
golongan AH tahap pertama. Sebagai moniterapi antagonis kalsium memberikan efektivitas yang
sama dengan obat AH lain. Kombinasi dengan ACE-inhibitor, metildopa atau beta -bloker. Bila
dikombinasi dengan beta-bloker, digunakan antagonis yang bersifat vaskuloselektif
(dihidropiridin). Nifedipin oral sangat bermanfaat untuk mengatasi hipertensi darurat. Dosis awal
10 mg akan menurunkan tekanan darah dalam waktu 10 menit dan dengan efek maksimal setelah
30-40 menit. Untuk mempercepat absorpsi, obat sebaiknya dikunyah lalu ditelan. Pemberian
sublingual tidak mempercepat pencapaian efek maksimal.
Antagonis kalsium tidak mempunyai efek samping metabolik, baik terhadap lipid, gula darah
maupun asam urat.
 Kontraindikasi Antagonis kalsium

Pada pasien dengan penyakit jantung koroner, pemakaian nifedipin kerja singkat dapat
menyebabkan iskemia miokard atau stroke iskemik dan dalam jangka panjang terbukti
mempertinggi mortalitas. Oleh karena itu tidak dianjurkan untuk pasien penyakit jantung
koroner.
 Efek samping Antagonis kalsium

Nifedipin kerja singkat paling sering menyebabkan hipotensi dan dapat menyebabkan
iskemia miokard dan serebral. Refleks takikardia dan palpitasi mempermudah terjadinya
serangan angina pada pasien dengan PJK. Hipotensi sering terjadi pada pasien usia lanjut,
keadaan deplesi cairan dan yang mendapat antihipertensi lain. Amlodipin dan nifedipin lepas
lambat dengan mula kerja lambat menimbulkan efek samping yang lebih jarang. Sakit kepala,
muka merah terjadi karena vasodilatasi arteri meningeal dan didaerah muka. Dihidropidin dapat
menyebabkan edema perifer. Edema terjadi akibat dilatasi arteriol yang melebihi dilatasi vena,
sehingga membuat tekanan hidrostatik meningkat yang mendorong cairan ke luar ke ruang
interstisial tanpa adanya retensi cairan dan garam.
Verapamil menyebabkan bradiaritmia dan gangguan konduksi.oleh karena itu verapamil
dan diltiazem tidak boleh diberikan pada pasien dengan bradikardia,blok AV derajad 2 dan 3
sansick sinus syndrome. Efek inltropik negatif, terutama oleh verapami dan diltiazem, dan
minimal oleh dihidropiridin. dapat berbahaya bila diberikan pada pasien dengan gagal jantung.
Pada gagal jantung kongesti akut pemberian nifedipin masih dapat dibenarkan bila tidak tersedia
vasodilator yang lain,dan amlodipin dianggap aman. Konstipasi dan retensi urin akibat relaksasi
otot polos saluran cerna dan kandung kemih terutama terjadi dengan verapamil.kadangkadang
terjadi refluks esofagus. Hiperplasia gusi dapat terjadi dengan semua antagonis kalsium.

F). Penghambat adrenoresptor alfa (blocker)


Alfa bloker yang selektif hanya menghambat reseptor α-1 yang digunakan sebagai
antihipertensi. Alfa bloker non selektif kurang efektif sebagai antihipertensi karena hambatan
reseptor α-2 di ujung saraf adrenergik.
 Mekanisme antihipertensi.

Hambatan reseptor α1 menyebabkan vasodilatasi arteriol dan venula sehingga menurunkan


resistensi perifer. Juga venodilatasi ini dapat menyebabkan aliran balik vena berkurang yang
selanjutnya menurunkan curah jantung. Obat ini juga dapat menurunkan LDL dan trigliserida
dan meningkatkan HDL, mengurangi reistensi insulin, sehingga cocok untuk pasien hipertensi
dengan dislipidemia dan atau Diabetes Melitus. Selain itu obat ini juga dapat memperbaiki
insufisiensi vaskular perifer, tidak menggangggu fungsi jantung, tidak mengganggu aliran darah
ginjal dan berinteraksi dengan AINS.
 Efeksampingnya

Hipotensi orotostatik sering terjadi pada pemberian dosis awal atau pada peningkatan dosis
disebut juga fenomena dosis pertama, terutama dengan obat yang kerjanya singkat seperti
prazosin, pasien degan deplesi cairan atau dehidrasi, puasa dan usia lanjut lebih mudah
mengalami fenomena dosis pertama ini. Efek samping lainnya antara lain sakit kepala, edema
perifer, hidung tersumbat, mual, dll.

obat Dosisawal Dosis maksimal Frekuensi sediaan


Mg/hari Mg/hari pemberian
prazosin 0,5 4 1-2x Tab. 1&2 mg
terazosin 1-2 4 1x Tab 1&2 mg
bunazosin 1-5 3 3x Tab. 0,5 & 1mg
Doksazosin 1-2 4 1x Tab 1&2 mg
G). Vasodilator
1. Hidralazin

 Mekanisme kerja

Hidralazin berkerja langsung sebagai perelaksasi otot polos arteriol dengan mekaniseme
yang belum dapat dipastikan, sedangkan otot polos vena hampir tidak dipengaruhi. vasodilatasi
yang terjadi menimbulkan reflex kompensasi yang kuat berupa peningkatan kekuatan dan
frekuensi denyut jantung, peningkatan renin,dan norepinefrin plasma. Hidralazin menurunkan
tekanan darah berbaring dan berdiri. Karena lebih selektif bekerja pada arteriol maka hidralazin
jarang meimbulkan hipotensi ortostatik.
 Penggunaan

Hidralazin tidak digunakan sebagai obat tunggal karena takifilaksis akibat retensi cairan
dan reflex simpatis akan mengurangi efek anti hipertensinya. Obat ini biasanya digunakan
sebagai obat lini kedua atau ketiga setelah diuretic atau beta bloker. Retensi cairan dapat diatasi
oleh diuretic dan reflek takikardi akan dihambat oleh beta bloker.
Dosis pemberian oral 25-100 mg 2x sehari. Untuk hipertensi darurat seperti
glomerulonephritis akut dan eklampsia, dapat juga diberikan secara IV atau IM dengan dosis 20-
40 mg dosis maksimal 200 mg perhari.
 Efek samping
Hidralazin dapat menimbulkan sakit kepala, mual, flushing, hipotensi, takikardi,
palpitasi, angina pectoris. Iskemi miokard dapat terjadi pada pasien yang dapat dicegah dengan
pemberian bersama beta bloker.

2. Minoksidil

 Mekanisme kerja

Obat ini bekerja dengan membuka kanal kalium sensitive ATP dengan akibat terjadinya
efflux kalium dan hiperpolarisasi membran yang diikuti oleh relaksasi otot polos pembuluh darah
dan vasodilatasi. Obat ini menurunkan tekana sistol dan diastole yang sebanding dengan tekanan
darah awal. Minoksidil lebih kuat dan kerjanya lebih lama disbanding hidralazin.
 Penggunaan

Obat ini efektif pada hampir semua pasien dan berguna untuk terapi jangka panjang
hipertensi berat yang refrakter terhadap kombinasi tiga obat yang terdiri dari diuretic
penghambat adrenergic, vasodilator lain. Minoksidil harus diberikan bersama diuretic dan
penghambat adrenergic biasanya beta bloker untuk mencegah retensi cairan dan mengontrol
reflex simpatis. Sediaan minoksidil berbentuk kt=rim dengan dosis 1,25 mg satu atau dua
x/sehari dan dapat ditingkatkan sampai 4 mg perhari.
 Efek samping

3 efek samping minoksidil yaitu:


Retensi cairan dan garam, efek samping kardiovaskular karena reflex simpatis dan hipertrikosis.
Selain itu dapat terjadi gangguan toleransi glukosa dengan tendensi hiperglikemia, sakit kepala,
mual, erupsi obat, rasa lelah dan nyeri tekanan dada.

3. Diazoksid

Mekanisme kerjanya farmakodinamik dan efek samping diazoksid mirip dengan minoksidil.
 Penggunan

Walaupun diabsorpsi dengan baik melalui oral diazoksid hanya diberikan dengan cara
intravena untuk mengatasi hipertensi darurat, hipertensi maligna, hipertensi ensefalopati,
hipertensi berat pada gloemurulonefritis akut dan kronik. Obat ini juga digunakan untuk
mengndalikan hipertensi pada preklampsia yang refrakter terhadap hidralazin.
Pemberian bolus intravena akan menurunkan tekanan darah dalam waktu 3-5 menit dan
berlangsung 30 menit. Dosis dapat dimulai dengan 50-100 mg dengan interval 5-10 menit dapat
juga diberikan secara invusiv dengan dosis 15-30 mg/menit.

 Efek samping

Retensi cairan dan hiperglikemia merupakan efek samping yang paling sering terjadi pada
pemberian diazoksid. Hal ini terjadi karena hambatan sekresi insulin dari sel-sel beta pancreas
akibat stimulasi kanal kalium sensitive ATP. Diazoksid menyebabkan relaksasi uterus sehingga
dapat mengganggu proses kelahiran bila digunakan pada eklampsia. Pada penggunaan jangka
panjang dapat juga terjadi hipertrikosis.
 Kontraindikasi

Diazoksid tidak boleh diberikan pada pasien PJK karena dapat mencetuskan iskemi amiokard
dan serebral. Juga tidak boleh diberikan pada pasien pada edem paru. Obat ini juga
dikontraindikasikan untuk hipertensi dengan koarkatio aorta, shunt arteriovenosa, atau aneurisma
aorta disekan.

Kombinasi obat yang dapat diterapkan pada pasien dengan penyakit tertentu berdasarkan
JNC 8, antara lain:

Indikasi Pilihan pengobatan kombinasi

Gagal jantung ACEI/ARB + BB + diuretic +


spironolactone

Post infark miokard/gejala penyakit ACEI/ARB dan BB


koroner

Penyakit arteri koroner ACEI, BB, DIURETIC, CCB

Diabetes ACEI/ARB, CCB, diuretic

Penyakit ginjal kronis ACEI/ARB

Pencegahan stroke berulang ACEI, diuretic

Kehamilan Labetolol (lini pertama), nifedipinr,


methyldopa

2.10 Komplikasi hipertensi

 Jantung
 Hipertrofi ventrikel kiri dan disfungsi diastolik
Tekanan arteri yang tinggi menyebabkan peningkatan tegangan dinding ventrikel kiri
yang dikompensasi melalui hipertrofi.Hipertrofi konsentrik (tanpa dilatasi) adalah
kompensasi yang normal,ini menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan darah untuk
meningkatan volume sirkulasi yang menyebabkan hipertrofi eksentrik (dengan dilatasi)
pada ruang jantung.hipertrofi ventrikel menyebabkan peningkatan kekakuan ventrikel
kiri dan menyebabkan disfungsi diastol.

 Disfungsi sistolik
Hipertrofi ventrikel kiri awalnya berfungsi sebagai kompensasi normal,namun akan
menjadi hipertrofi sistemik. Peningkatan massa ventrikel kiri mungkin tidak cukup
efisien untuk menyeimbangi tingginya tegangan dinding yang disebabkan oleh
peningkatan tekanan.Kapasitas kontraktil ventrikel kiri dapat menyebabkan disfungsi
sistolik yang disertai dengan penirunan cardiac output dan kongesti pulmonal.Disfungsi
sistolik juga bisa dipicu oleh perkembangan penyakit arteri coroner yang dapat
menyebabkan iskemik miokard.

 Penyakit arteri coroner


Hipertrofi kronis dapat menyebabkan infark dan iskemik miokard.Komplikasi ini
merupakan kombinasi dari aterosklerosis pada coroner dan tingginya tekanan sistolik.
Hipertensi dapat menyebabkan meningkatnya insidensi komplikasi infark
postmiokardial seperti rupturnya dinding ventrikel,terbentuknya aneurisme ventrikel kiri
dan gagal jantung kongestif, bahkan 60% pasien meninggal karena infark miokard
dengan riwayat hipertensi.2

 Sistem serebrovaskular
Hipertensi adalah faktor resiko utama yang dapat diubah contohnya adalah stroke,stroke
merupakan penyakit serebrovaskular.stroke paling sering terjadi melalui mekanisme hemoragik
atau aterotrombotik yang disebabkan oleh hipertensi. Hemoragik pada sistem serrebrovaskular
dapat disebabkan oleh rupturnya mikroaneurisme karna hipertensi jangka
panjang.aterotrombotik akan meningkatkan plak aterosklerosis pada arteri carotis atau arteri
serebral atau membentuk trombus yang terbentuk dari plak dan embolus.karena rupturnya plak
aterosklerosis lokal dan trombosis maka pembuluh darah intraserebral akan mengalami oklusi.
 Aorta dan vaskularisasi perifer
Hipertensi kronis dapat menyebabkan aneurisma.Khususnya pada aorta
abdominal.Aneurisma aorta abdominal merupakan dilatasi pembuluh darah yang terletak
dibawah arteri renalis.Aneurisme terjadi karena tertekannya pada peningkatan tekanan pada
dinding arteri yang sudah mengalami kelemahan akibat kerusakan medial dan aterosklerosis.Jika
aneurisme yang berdiameter >6 cm dapat meningkatkan risiko ruptur dalam waktu 2 tahun jika
tidak dilakukan operasi.Konsekuensi vaskular lainnya yang mengancam jiwa adalah diseksi
aorta.Peningktan tekanan darah terutama pada rentan yang sangat tinggi,memicu perubahan
degenerative pada medial aorta. Pada saat dinding aorta yang lemah terpajan oleh tekanan yang
tinggi,tunika intima menjadi robek,yang memungkinkan darah untuk masuk ke tunika media
aorta dan menyebabkan obstruksi pembuluh darah besar.
 Ginjal
Penyakit ginjal yang diinduksi oleh hipertensi adalah penyebab utama gagal ginjal yang
disebabkan oleh kerusakan pada pembuluh organ.Secara histologis,dinding pembuluh darah
menjadi sempit dengan infiltrasi hialin (aterosklerosis hialin).Hipertrofi pada tingkat yang lebih
tinggi dapat menyebabkan hipertrofi otot polos bahkan nekrosis dinding vaskular yang disebut
dengan nekrosis fibrinoid. Perubahan ini akan menyebabkan menurunnya suplai vaskular dan
iskemik tubulus dan glomerulus. Hipertensi maligna dapat menyebabkan kerusakan permanen
yang akan memicu terjadinya penyakit gagal ginjal kronis. Penyakit gagal ginjal ini akan
menyebabkan peningkatan tekanan darah.
 Retina
Retinopati hipertensi dapat menginduksi terjadinya peninggian tekanan
darah.Hipertensi yang tidak terkontrol (hipertensi maligna) dapat menyebabkan pecahnya
pembuluh darah kecil retina yang menyebabkan perdarahan eksudasi lipid plasma dan infrak
lokal.Jika terjadi iskemik pada n.opticus,pasien mungkin dapat mengalami penglihatan yang
tidak jelas. Hemoragik menyebabkan iskemik retina yang akan memicu hilangnya penglihatan.2

2.11 Prognosis hipertensi


Kebanyakan orang yang didiagnosis dengan hipertensi akan mengalami peningkatan
tekanan darah (TD) seiring bertambahnya usia . Hipertensi yang tidak diobati terkenal karena
meningkatkan risiko kematian dan sering digambarkan sebagai pembunuh diam-diam. Hipertensi
ringan sampai sedang, jika tidak diobati, dapat dikaitkan dengan risiko penyakit aterosklerotik
pada 30% orang dan kerusakan organ pada 50% orang dalam 8-10 tahun setelah onset. Pasien
dengan hipertensi resisten juga berisiko lebih tinggi untuk hasil yang buruk, terutama mereka
dengan komorbiditas tertentu (misalnya, penyakit ginjal kronis, penyakit jantung
iskemik). Pasien dengan hipertensi resisten yang memiliki TD lebih rendah tampaknya memiliki
risiko yang berkurang untuk beberapa kejadian kardiovaskular (misalnya, insiden stroke,
penyakit jantung koroner, atau gagal jantung). 
Kematian akibat penyakit jantung iskemik atau stroke meningkat secara progresif dengan
meningkatnya TD. Untuk setiap kenaikan 20 mmHg sistolik atau 10 mmHgdiastolik di atas
115/75 mmHg, angka kematian untuk penyakit jantung iskemik dan stroke meningkat dua kali
lipat. 
Retinopatihipertensi dikaitkan dengan peningkatan risiko stroke jangka panjang, bahkan
pada pasien dengan TD yang terkontrol dengan baik, dalam laporan 2907 orang dewasa dengan
hipertensi yang berpartisipasi dalam studi AtherosclerosisRisk in Communities
(ARIC). Peningkatan keparahan retinopati hipertensi dikaitkan dengan peningkatan risiko
stroke; risiko stroke adalah 1,35 pada kelompok retinopati ringan dan 2,37 pada kelompok
sedang / berat.
Dalam metaanalisis data yang dikumpulkan dari 19 studi kohort prospektif yang
melibatkan 762.393 pasien, Huangetal melaporkan bahwa, setelah penyesuaian untuk beberapa
faktor risiko kardiovaskular, prehipertensi dikaitkan dengan 66% peningkatan risiko stroke,
dibandingkan dengan tekanan darah yang optimal ( <120/80 mmHg). Pasien dalam kisaran pre-
hipertensi yang tinggi (130-139 / 85-89 mmHg) memiliki 95% peningkatan risiko stroke,
dibandingkan dengan peningkatan risiko 44% pada mereka yang berada pada kisaran pre-
hipertensi yang rendah (120- 129 / 80-84 mmHg).
Morbiditas dan mortalitas emergensi hipertensi tergantung pada sejauh mana disfungsi
organ akhir pada presentasi dan sejauh mana TD dikontrol kemudian. Dengan kontrol TD dan
kepatuhan pengobatan, tingkat kelangsungan hidup 10 tahun pasien dengan krisis hipertensi
mendekati 70%. 8
BAB III
Penutup

3.1 Kesimpulan

Hipertensi adalah suatu keadaan dimana tekanan darah melampaui tekanan darah
normal. Seseorang dikatakan hipertensi bila memiiki tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan
atau tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg, pada pemeriksaan berulang.Hipertensi diklasifikasikan
berdasarkan JNC 7&8, AHHA/ACC, WHO, etiologinya, bentuknya dan tempat
pemeriksaannya.Hipertensi merupakan faktor resiko yang penting penyebab terjadinya penyakit
jantung dan pembuluh darah dan sering disebut sebagai “the silent killer”. Hipertensi timbul
karena berbagai faktor risiko seperti usia, riwayat keluarga, berat badan berlebih, kebiasaan
merokok, minum alcohol, kurang aktifitas fisik, asupan natrium berlebih, diabetes mellitus, dan
stress. Ada banyak penyebab hipertensi, pada akhirnya kesemuanya itu akan menyangkut kendali
natrium (Na) di ginjal sehingga tekanan darah meningkat. Ada empat faktor yang mendominasi
terjadinya hipertensi : 1. Peran volume intravascular, 2. Peran kendali saraf autonom, 3. Peran
renin angiotensin aldosteron (RAA) dan 4. Peran dinding vaskular pembuluh darah.Untuk
menegakkan diagnosis hipertensi berdasarkan anamnesis, Pengukurantekanandarah (TD)
dilakukanpadapenderita yang dalamkeadaannyamandanrelaks,
dandengantidaktertutup/tertekanpakaian dan berulang dan pemeriksaan penunjang jika
dibutuhkan.Dan untuk tatalaksana hipertensi berdasarkan JNC 8.
Daftar Pustaka

1. Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Simadibrata M, Setyohadi B, editors. Buku


ajar ilmu penyakit dalam Jilid II. Edisi ke 6. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
2. Lilly,S.leonard.2011.Pathophysiology of Heart Disease.Ed.5. Penerbit:
Lippincott Williams&Wilkins.
3. Cortelli, P, et al. 2004. Headache and Hypertension. Italy: Departement of
Neuroscience diaskes pada november 12, 2018.
https://www.researchgate.net/publication/8176826_Headache_and_hypertension.com
4. Sherwood, L. 2014. Fisiologi manusia: dari sel ke sistem. Edisi 8. Jakarta:
EGC.
5. PERKI, 2015. Pedoman Tatalaksana Hipertensi pada Penyakit
Kardiovaskular, edisi pertama. Perhimupunan Dokter Spesialis Kardiovaskular
Indonesia, Jakarta.
https://www.inaheart.org/upload/file/
Pedoman_TataLaksna_hipertensi_pada_penyakit_Kardiovaskular_2015.pdf.com
6. ACC/AHA Task Force on Clinical Practice Guideline. 2017. Guideline for the
Prevention, Detection, Evaluation and Management of High Blood Pressure in
Adults. American http://www.accp.com/docs/bookstore/ccsap/ccsap2018b1_sample . pdf
diakses
13 November 2018.
7. Gunawan, sulistia gan. 2016. Farmakologi dan terapi. Edisi 6. penerbit :
Departemen farmakologi dan terapeutik fakultas kedokteran,universitas
indonesia jakarta.
8. Alexander, R, Matthew. 2019. Hypertension. Medscape.
https://www.emedicine.medscape.com/article/241381-overview#a5.com
9. Muhadi. 2016. JNC 8: Evidence-based Guideline Penanganan Pasien
Hipertensi Dewasa. CDK-236/ vol. 43 no. 1.
https://www.file:///C:/Users/Asus/AppData/Local/Packages/
Microsoft.MicrosoftEdge_8wekyb3d8bbwe/TempState/Downloads/11-18-1-SM%20(1).pdf.com
10.Kumar,V.,Cotran, R.S., dan Robbins S.L. 2007. Buku Ajar Patologi. Edisi 7; ali bahasa,
Brahm U, Pendt ; editor Bahasa Indonesia, Huriawati Hartanto, Nurwany Darmaniah. Ed.7.
Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai