Anda di halaman 1dari 31

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sebagian besar kasus hipertensi tidak memiliki penyebab yang dikenali
(hiprtensi esensial). Hipertensi sekunder dapat disebabkan oleh setiap proses
yang meningkat kan resistensi arterial, volume pasien dan/atau curah jantung.
Jadi potensialnya meliputi ginjal, perubahan hormonal, perubahan dalam
pembuluh darah sendiri atau pemakaian obat-obat.
(Irmawati, H & Adrinus K, 2013)
Hipertensi merupakan penyakit yang berhubungan dengan tekanan darah
manusia. Gejala dari hipertensi adalah peningkatan tekanan darah sistolik
≥120 mmHg dan tekanan darah diastolik ≥80 mmHg. Diagnosis dari
hipertensi dapat di tegakkan jika rata-rata hasil pemeriksaan darah pada
diastolik ≥ 90mmHg dan sistolik ≥ 120mmHg Secara alami tekanan darah
pada orang dewasa akan mengalami peningkatan sesuai dengan bertambahnya
usia. Lansia biasanya mengalami peningkatan tekanan darah sistolik
berhubungan dengan elastisitas pembuluh darah yang menurun.(Potter
&Perry, 2010). Pada klien hipertensi terjadi penurunan elastisitas jaringan
ikat, aterosklorosis, penurunan kemampuan relaksasi otot polos sehingga
terjadi nya peningkatan resistensi pembuluh darah perifer sistemik
menyebabkan terjadi penurunan curah jantung lalu terjadi penurunan suplai
darah (O2 dan nutrisi) yang menyebabkan Intoleransi aktivitas. Intoleransi
aktivitas adalah keidakcukupan energi untuk melakukan aktivitas sehari-hari.
(SDKI, 2016).
Hasil penelitian WHO menunjukkan hampir setengah dari kasus serangan
jantung oleh tekanan darah tinggi. Dua pertiga penderita hipertensi hidup di
negara miskin dan berkembang, berdasarkan data WHO dari 50% penderita

Poltekkes Kemenkes Palembang


2

hipertensi yang diketahui hanya 25% yang mendapat pengobatan, dan hanya
12,5% yang diobati dengan baik.
Prevalensi Hipertensi nasional berdasarkan Riskesdas 2013 sebesar 25,8%,
tertinggi di Kepulauan Bangka Belitung (30,9%), sedangkan terendah di
Papua sebesar (16,8%). Berdasarkan data tersebut dari 25,8% orang yang
mengalami hipertensi hanya 1/3 yang terdiagnosis, sisanya 2/3 tidak
terdiagnosis. Data menunjukkan bahwa sebagian besar penderita hipertensi
tidak menyadari menderita Hipertensi ataupun mendapatkan pengobatan
(Kemenkes RI 2017)
Di Provinsi Sumatera Selatan penderita Hipertensi pada bulan Januari-
April 2013 diketahui bahwa penyakit Hipertensi adalah urutan ke enam dari
sepuluh penyakit terbesar dengan prevalensi sebanyak 30,1% (Dinkes
Palembang, 2013)
Berdasarkan latar belakang diatas maka penulis tertarik untuk melakukan
“Penerapan Edukasi Latihan Fisik pada Klien Hipertensi yang Mengalami
Intoleransi Aktivitas di Wilayah Kerja UPTD Puskesmas Tanjung Agung ” .

1.2 Rumusan Masalah


Bagaimanakah gambaran Penerapan Edukasi Latihan Fisik Pada Klien
Hipertensi yang Mengalami Intoleransi Aktivitas di Wilayah Kerja UPTD
Puskesmas Tanjung Agung?

1.3 Tujuan Studi Kasus


Menggambarkan Penerapan Edukasi Latihan Fisik pada klien
Hipertensi yang Mengalami Intoleransi Aktivitas.

Poltekkes Kemenkes Palembang


3

1.4 Manfaat studi kasus


(1) Bagi Program Studi Keperawatan Baturaja
Penulisan ini diharapkan dapat menjadi data awal pendahuluan untuk
penulis selanjutnya yang sejenis atau terkait dan sebagai bahan rujukan untuk
kelengkapan perpustakaan.

(2) Bagi Tenaga Kerja Kesehatan di UPTD Puskesmas Tanjung Agung


Sebagai informasi dalam implementasi penyakit hipertensi. Penulis juga
mengharapkan data dari penulis ini dapat menjadi bahan pertimbangan bagi
tenaga kerja kesehatan agar bisa mengambil tindakan dalam rangka
meningkatkan kesehatan penduduk.

(3) Bagi Klien dan Keluarga


Sebagai pengetahuan keluarga tentang penyakit hipertensi. Klien
penderita hipertensi bisa menerima perawatan yang maksimal dari petugas
kesehatan. Sehingga keluarga bisa menjaga anggota keluarga yang lain
supaya terhindar dari penyakit Hipertensi.

(4) Bagi Penulis


Hasil penulisan ini diharapkan dapat menambah wawasan, pengetahuan
dan pengalaman penulis terhadap penyakit hipertensi

Poltekkes Kemenkes Palembang


4

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep penyakit Hipertensi


2.1.1 Pengertian
Hipertensi di definisikan sebagai tekanan darah sistoliknya sama
dengan atau lebih dari 140 mmHg atau tekanan darah diastoliknya sama
dengan atau lebih 90 mmHg (WHO, 2014)
Hipertensi dapat di definisikan sebagai tekanan darah tinggi
persisten dimana tekanan sistoliknya diatas 140 mmHg dan tekanan
diastolik diatas 90 mmHg. Pada populasi manula, hipertensi
didefinisikan sebagai tekanan sistolik 160 mmHg dan tekanan diastolik
90 mmHg (Smeltzer, 2005)
Hipertensi didefinisikan sebagai peningkatan tekanan darah sistolik
sedikitnya 140 mmHg atau tekanan diastolic sedikitnya 90 mmHg.
istilah tradisional tentang hipertensi “ringan” dan “sedang” gagal
menjelaskan pengaruh utama tekanan darah tinggi pada penyakit
kardiovaskular. (price,Sylvia Anderson, 2005)

2.1.2 Klasifikasi
2.1.2.1 Klasifikasi Berdasarkan Etiologi
a. Hipertensi Esensial (Primer)
Merupakan 90 % dari kasus penderita Hipertensi. Dimana sampai
saat ini belum diketahui penyebabnya secara pasti. Beberapa faktor
yang berpengaruh dalam terjadinya hipertensi esensial, seperti :
faktor genetik, stress dan psikologis, serta faktor lingkungan dan
diet (peningkatan penggunaan garam dan berkurangnya asupan
kalium atau kalsium).

Poltekkes Kemenkes Palembang


5

Peningkatan tekanan darah tidak jarang merupakan satu-satunya


tanda hipertensi primer. Umumnya gejala baru terlihat setelah
terjadi komplikasi pada organ target seperti ginjal, mata, otak dan
jantung. (Andra, Yessie. 2017)

b. Hipertensi Sekunder
Pada Hipertensi sekunder, penyebab dan patofisiologi dapat
diketahui dengan jelas sehingga lebih mudah untuk dikendalikan
dengan obat-obatan. Penyebab hipertensi sekunder diantaranya
berupa kelainan ginjal seperti tumor, diabetes, kelainan adrenal,
kelainan aorta, kelainan endokrin lainnya seperti obesitas,
resistensi insulin, hipertiroidisme, dan pemakaian obat-obatan
seperti kontrasepsi oral dan kortikosteroid. (Andra, Yessie. 2017)

2.1.2.2 Klasifikasi Berdasarkan Derajat Hipertensi


(Tabel 2.1) Klasifikasi Hipertensi (sumber: ESH/ESC 2013)
Katergori Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg)
Optimal <120 Dan < 80
Normal 120-129 Atau 80-84
Prehipertensi 130-139 Atau 85-89
Hipertensi tahap I 140-159 Atau 90-99
Hipertensi tahap II 160-179 Atau 100-109
Hipertensi tahap III ≥180 Dan ≥110

Poltekkes Kemenkes Palembang


6

(Tabel 2.2) Klasifikasi Hipertensi (Menurut European Society Of


Cardiology) (sumber: ESC, 2007).
Kategori Tekanan Sistolik Tekanan Diastolik
(mmHg) (mmHg)
Optimal <120 Dan <80
Normal 120-129 dan/atau 80-84
Normal Tinggi 130-139 dan/atau 85-89
Hipertensi derajat I 140-159 dan/atau 90-99
Hipertensi derajat II 160-179 dan/atau 100-109
Hipertensi derajat III ≥180 dan/atau ≥110
Hipertensi Sistolik ≥190 Dan ≥90
terisolasi

(Tabel 2.3) Klasifikasi Hipertensi (Menurut Amercan Heart Association )


Kategori Tekanan Sistolik mmHg Diastolic mmHg
Darah
Normal Less than 120 Dan Less than 80
Elevated 120-129 Dan Less than 80
High blood presseure 130-139 Atau 80-89
(hypertension) stage1
140 or higher Atau 90 or higher
High blood pressure
(hypertension) stage2
Hypertensive crisis Higher than 180 And/or Higher than 120

2.1.3 Etiologi
Korwin (2000) menjelaskan bahwa Hipertensi tergantung pada
kecepatan denyut jantung, volume sekuncup dan total Periveral
Resistance (TPR). Peningkatan kecepatan denyut jantung dapat terjadi
akibat ransangan abnormal saraf atau hormon pada nodus SA.
Peningkatan kecepatan denyut jantung yang berlangsung kronik sering

Poltekkes Kemenkes Palembang


7

menyertai keadaan hipertyroidisme. Namun, peningkatan kecepatan


denyut jantung biasanya dikompensasi oleh penurunan volume
sekuncup sehingga tidak menimbulkan Hipertensi.
Peningkatan volume sekuncup yang berlangsung lama dapat terjadi
apabila terdapat peningkatan volume plasma yang berkepanjangan,
akibat gangguan penanganan garam dan air oleh ginjal atau konsumsi
garam yang berlebihan. Peningkatan pelepasan rennin atau aldosteron
maupun penurunan aliran darah ke ginjal dapat mengubah penanganan
air dan garam oleh ginjal. Peningkatan volume plasama akan
menyebabkan peningkatan volume diastolik akhir sehingga terjadi
peningkatan volume sekuncup dan tekanan darah. Peningkatan preload
biasanya berkaitan dengan peningkatan tekanan sistolik.
Peningkatan TPR yang berlangsung lama dapat terjadi pada
peningkatan rangsangan saraf atau hormon pada arteriol, atau
responsivitas yang berlebihan dari arteriol terdapat rangsangan normal.
Kedua hal tersebut akan menyebabkan penyempitan pembuluh darah
pada peningkatan TPR, jantung harus memompa secara lebih kuat dan
dengan demikian menghasilkan tekanan yang lebih besar, untuk
mendorong darah melintasi pembuluh darah yang menyempit. Hal ini
disebabkan peningkatan dalam afterload jantung dan biasanya berkaitan
dengan peningkatan tekanan diastolik. Apabila peningkatan afterload
berlangsung lama, maka ventrikel kiri mungkin mulai mengalami hiper
trovi (Membesar). Dengan hipertrovi, kebutuhan ventrikel akan oksigen
semakin menungkat sehingga ventrikel harus mampu memompa darah
secara lebih keras lagi untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Pada
hipertrovi, syarat syarat otot jantung juga mulai tegang melebihi
panjang normalnya yang pada akhirnya menyebabkan penurunan
kontroktilitas dan volume secukupnya. (Andra, Yessie. 2017)

Poltekkes Kemenkes Palembang


8

2.1.4 Patofisiologi
Mekanisme yang mengontrol kontriksi dan relaksasi pembuluh
darah terletak pada pusat vasomotor pada medula di otak . dari
vasomotor tersebut bermula jaras saraf simpatis yang berlanjut kebawah
kordaspinalis dan keluar dari kolumna medula spinalis ke ganglia
simpatis di thorak dan abdomen. Rangsangan pusat vasomotor
dihantarkan dalam bentuk impuls yang bergerak kebawah melalui sistem
syaraf simpatis ke ganglia simpatis. Pada titik ini, neurun preganglion
melepaskan asetikolin yang akan merangsang serabut saraf pasca
ganglion ke pembuluh darah. Dengan dilepaskan nya norepineprin akan
mengakibatkan konstriksi pembuluh darah. Berbagai faktor seperti
kecemasan dan ketakutan dapat mempengaruhi respon pembuluh darah
terhadap rangsang vasokonstriktor. Individu dengan hipertensi sangat
sensitif terhadap norepinefrin, meskipun tidak diketahui dengan jelas
mengapa hal tersebut bisa terjadi
Pada saat bersamaan dimana sistem saraf simpatis merangsang
pembuluh darah sebagai respon rangsang emosi, kelenjar adrenal juga
terangsang mengakibatkan tambahan aktivitas vasokontriksi. Medula
adrenal menskresi epinefrin yang menyebabkan vasokontriksi. Korteks
adrenal mensekresi kortisol dan steroid linnya, yang dapat memperkuat
respon vasokontriktor pembuluh darah. Vasokontriksi yang
mengakibatkan penurunan aliran darah ke ginjal menyebabkan pelepasan
renin. Renin merangsang pembentukan angiotensin I yang kemudian
diubah menjadi angioestin II yang menyebabkan adanya suatu
vasokonstriktor yang kuat. Hal ini merangsang sekresi aldosteron oleh
korteks adrenal. Hormon ini menyebabkan retensi natrium dan air oleh
tubulus ginjal yang mengakibatkan volume intravaskular. Semua faktor
tersebut cenderung mencetuskan keadaan hipertensi.
Untuk pertimbangan gerontologi, perubahan struktur dan fungsi
pada sistem pembuluh perifer bertanggung jawab pada perubahan
tekanan darah yang terjadi. Perubahan tersebut meliputi aterosklerosis,

Poltekkes Kemenkes Palembang


9

hilangnya elastisitas jaringan ikat dan penurunan dalam relaksasi otot


polos pembuluh darah yang akan menurunkan kemampuan distensi daya
regang pembuluh darah, hal tersebut menyebabkan aorta dan arteri besar
berkurang kemampuannya dalam mengakomodasi volume darah yang
dipompa oleh jantung (volume sekuncup) sehingga terjadi penurunan
curah jantung dan peningkatan tahanan perifer.(Smeltzer, 2002)

Poltekkes Kemenkes Palembang


10

2.1.5 Pathway
(Sumber : Rencana Asuhan
Faktor risiko / Etiologi Keperawatan Medikal-Bedah,
Diagnosis Nanda-I, Intervensi NIC,
Hasil NOC)

Penurunan
Elastisitas jaringan kemampuan
Aterosklerosis
ikat menurun relaksasi otot polos

Peningkatan resistensi pembuluh darah


perifer sistemik

Penurunan curah jantung

Penurunan suplai darah Intoleransi


Iskemik ginjal
(O₂& nutrisi) aktivitas

RENIN

Angiostensin
ogen Angiostensinoge
nI

ACE

Angiostensinogen II Penigkatan Hipertrofi


beban jantung jantung

Aldosteron
Peningkatan
Vasokonstri Peningkatan
tekanan
k-tor kuat tekanan
INTRA-
Retensi Na & air itravaskular
OKULAR

Peninkatan volume darah Peningkatan tekanan Gangguan


intrakranial penglihatan

Peningkatan tekanan
darah NYERI KEPALA

Poltekkes Kemenkes Palembang


11

2.1.6 Manifestasi klinis


Pada pemeriksaan fisik, mungkin tidak dijumpai kelianan apapun
selain tekanan darah yang tinggi, tetapi dapat pula ditemukan perubahan
pada retina, seperti pendarahan,eksudat (kumpulan cairan), penyempitan
pembuluh darah, dan pada kasus berat, edema pupil (edema pada diskus
optikus).
Individu yang menderita hipertensi kadang tidak menampakan
gejala sampai bertahun-tahun.Gejala, bila ada, biasanya menunjukan
adanya kerusakan vaskuler, dengan manifestasi yang khas sesuai sistem
organ yang divaskularisasi oleh pembuluh darah bersangkutan. (Brunner
& Suddarth, 2005)
Crowin (2000) menyebutkan bahwa sebagian besar gejala klinis
timbul :
1. Nyeri kepala saat terjaga, kadang-kadang disertai mual dan
muntah, akibat peningkatan tekanan darah intracranial.
2. Penglihatan kabur akiat kerusakan retina akibat hipertensi.
3. Ayunan langkah yang tidak mantap karena kerusakan susunan
saraf pusat.
4. Nokturia karena peningkatan aliran darah ginjal dan filtrasi
glmelorus
5. Edema dependen dan pembengkakan akibat pnngkatan tekanan
kapiler.

2.1.7 Pemeriksaan Penunjang


1. Pemeriksaan laboratorium
a. Hb/Ht : untuk mengkaji hubungan dari sel-sel terhadap volume
cairan (viskositas) dan dapat mengindikasikan factor resiko seperti
hipokoagulabilitas , anemia.
b. BUN / kreatinin : memberikan informasi tentang perfusi / fungsi
ginjal.

Poltekkes Kemenkes Palembang


12

c. Glucosa : hiperglikemi (DM adalah pencetus hipertensi) dapat di


akibatkan oleh pengeluaran kadar ketokolamin
d. Urinalisa : darah , protein , glukosa , mengisaratkan disfungsi
ginjal dan ada DM .
2. CT Scan : mengkaji adanya tumor cerebral , encelopati
3. EKG : dapat menunjukkan pola regangan dimana luas , peninggian
gelombang P adalah salah satu tanda dini penyakit jantung hipertensi
4. IUP : mengidentifikasikan penyebab hipertensi seperti : Batu ginjal ,
perbaikan ginjal
5. Photo dada : menunjukkan destruksi klasifikasi pada area katup,
pembesaran jantung .

2.1.8 Penatalaksanaan

Pengelolaan hipertensi bertujuan untuk mencegah morbiditas dan


mortalitas akibat komplikasi kardiovaskuler yang berhubungan dengan
pencapaian dan pemeliharaan tekanan darah dibawah 140/90 mmHg.
Prinsip pengelolaan penyakit hipertensi meliputi :
a. Penatalaksanaan dengan non-farmakologis
Terapi tanpa obat digunakan sebagai tindakan untuk hipertensi
ringan dan sebagai tindakan suportif pada hipertensi sedang dan
berat. Terapi tanpa obat ini meliputi :
1. Diet
Diet yang dianjurkan untuk penderita hipertensi adalah :
a) Retriksi garam secara moderat dari 10 gr/hr menjadi 5 gr/hr.
b) Diet rendah kolesterol dan rendah asam lemak jenuh.
c) Penurunan berat badan.
d) Penurunan asupan etanol.
e) Menghentikan rokok
f) Diet kaya buah dan dayur.

Poltekkes Kemenkes Palembang


13

2. Latihan fisik
Latihan fisik atau olahraga yang teratur dan terarah yang
dianjurkan untuk penderita adalah olahraga yang mempunyai
empat prinsip yaitu:
a) Macam olahraga yaitu isotonis dan dinamis seperti lari,
jogging, bersepeda, berenang dan lain-lain.
b) Intensitas olahraga yang baik antara 60-80% dari kapasitas
aerobik atau 72-87% dari denyut nadi maksimal yang disebut
zona latihan.
c) Lamanya latihan berkisar antara 20-15 menit berada dalam
zona latihan.
d) Frekuensi latihan sebanyak 3 x perminggu dan paling baik 5
x perminggu.
3. Edukasi Psikologis
Pemberian edukasi psikologis penderita hipertensi meliputi :
a) Tehnik Biofeedback
Biofeedback adalah suatu tekhnik ynag dipakai untuk
menunjukkan pada subyek tanda-tanda mengenai keadaan
tubuh yang secara sadar oleh subyek dianggap tidak normal.
b) Tehnik Reklasasi
Relaksasi adalah suatu prosedur prosedur atau tekhnik yang
bertujuan untuk mengurangi ketegangan atau kecemasan,
dengan cara melatih penderita untuk dapat belajar membuat
otot-otot dalam tubuh menjadi rileks .
c) Pendidikan Kesehatan (Penyuluhan)
Tujuan Pen-Kes yaitu untuk meningkatkan pengetahuan
pasien tentang penyakit hipertensi dan pengelolaan nya
sehingga pasien dapat mempertahankan hidupnya dan
mencegah komplikasi lebih lanjut.
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam interaksi pasien
dengan petugas kesehatan adalah sebagai berikut :

Poltekkes Kemenkes Palembang


14

a. Setiap kali penderita memeriksa, penderita diberi tau hasil


pengukuran tekanan darah nya
b. bicarakan dengan pederita, tujuan yang hendak dicapai
mengenai tekanan darah nya
c. diskusikan dengan penderita bahwa hipertensi tidak dapat
sembuh, namun bisa dikendalikan untuk dapat
menurunkan morbiditas dan mortilitas
d. yakinkan penderita bahwa, penderita tidak dapat
mengatakan tinggginya tekanan darah atas dasar apa yang
dirasakan nya, tekanan darah hanya dapat diketahui
dengan mengukur memakai alat tensi meter
e. penderita tidak boleh menghentikan obat tanpa di
diskusikan terlebih dahulu

b. Penatalaksanaan Farmakologis
Tujuan pengobatan hipertensi tidak hanya menurunkan
tekanan darah saja tetapi juga mengurangi dan mencegah komplikasi
akibat hipertensi agar penderita dapat bertambah kuat. Pengobatan
hipertensi umumnya perlu dilakukan seumur hidup penderita.
Pengobatan standar yang dianjurkan oleh komite Dokter Ahli
Hipertensi (Joint National Committe on Detection, Evaluation and
Treatment of High Blood Pressure, USA 1988) menyimpulkan
bahwa obat diuretika, penyakit beta, antagonis kalsium, atau
penghambat ACE dapat digunakan sebagai obat tunggal pertama
dengan memperhatikan keadaan penderita dan penyakit lain yang
ada pada penderita.
Pengobatannya meliputi :
a. Step 1 : Obat pilihan pertama : diuretika, beta blocker, Ca
antagonis, ACE inhibitor
b. Step 2 : alternatif yang bisa diberikan
i. Dosis obat pertama dinaikkan

Poltekkes Kemenkes Palembang


15

ii. Diganti jenis lain dari obat pilihan pertama


iii. Ditambah obat ke-2 jenis lain, dapat berupa diuretika, beta
blocker, Ca antagonis, Alpa blocker, clonidin, reserphin,
vasolidator
c. Step 3 : alternatif yang bisa ditempuh
1) Obat ke-2 diganti
2) Ditambah obat ke-3 jenis lain
d. Step 4 : alternatif pemberian obatnya
1) Ditambah obat ke-3 dan ke-4
2) Re-evaluasi dan konsultasi

2.1.9 Pencegahan

Pencegahan paling awal adalah dengan menerapkan pola hidup


sehat. Pola hidup sehat bertujuan menghilangkan atau mengurangi faktor
resiko hipertensi meliputi :
1. Mengurangi asupan garam atau makanan yang asin
2. Menjaga berat badan tetap ideal atau tidak kegemukan
3. Senantiasa melakukan aktivitas fisik dan berolahraga secara teratur
4. Banyak mengkonsumsi buah dan sayur
5. Mengurangi makanan yang berlemak
6. Menghentikan kebiasaan merokok dan minuman beralkohol
7. Mengurangi menuman yang mengandung kafein
8. Mengkontrol kadar gula darah dan kolesterol
9. Mengelola stress

Poltekkes Kemenkes Palembang


16

2.1.10 Komplikasi
Tekanan darah tinggi apabila tidak di obati dan di tanggulangi,
maka dalam jangka panjang akan menyebabkan kerusakan arteri di
dalam tubuh sampai organ yang mendapat suplai darah dar arteri
tersebut. Komplikasi hipertensi dapat terjadi pada organ-organ sebagai
berikut :
1. Jantung
Tekanan darah tinggi dapat menyebabkan terjadinya gagal jantung
dan penyakit jantung koroner. Pada penderita hipertensi, beban
kerja jantung akan meningkat, otot jantung akan mengendor daan
berkurang elastisitasnya, yang disebut dekompensasi. Akibatnya,
jantung tidak mampu lagi memompa sehingga banyak cairan
tertahan diparu maupun jaringan tubuh lain yang dapat
menyebabkan sesak napas atau oedema. Kondisi ini disebut gagal
jantung.
2. Otak
Komplikasi hipertensi pada otak, menimbulkan resiko stroke,
apabila tidak diobati risiko terkena stroke 7 kali lebih besar.
3. Ginjal
Tekanan darah tinggi juga menyebabkan kerusakan ginjal, tekanan
darh tinggi dapat menyebabkan kerusakan sistem penyaringan
didalam ginjal akibatnya lambat laun ginjal tidak mampu
membuang zat-zat yang tidak dibutuhkan tubuh yang masuk
melalui aliran darah dan terjadi penumpukan didalam tubuh.
4. Mata
Pada mata hipertensi dapat mengakibatkan terjadinya retinopati
hupertensi dandapat menimbulkan kebutaan ( Yahya, 2005)

Poltekkes Kemenkes Palembang


17

2.2 Konsep Intoleransi Aktivitas


2.2.1 Pengertian
Intoleransi aktivitas adalah keidakcukupan energy untuk melakua
aktivitas sehari-hari. (PPNI, 2016). Intoleransi aktivitas merupakan
ketidakcukuan psikologis ataufisiologis untuk meempertahankan atau
menyeleaikan aktivitas kehidupan sehari-hari yang harus atau yang
ingin dilakukan. (Herdman & Kamitsuru, 2015)

2.2.2 Penyebab intoleransi aktivitas


1. Ketidakseeimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen
2. Tirah baring
3. Kelemahan
4. Imobilitas
5. Gaya hidup monoton

2.2.3 Gejala dan tanda Itoleransi aktivitas


1. Gejala dan tanda mayor
a. Subjektif : mengeluh lelah
b. Objektif : frekuensi jantung meningkat > 20% dari
kondisi istiahat
2. Gejala dan tanda minor
a. Subjektif : dispnea saat/setlah aktivitas, Merasa tidak
nyaman setelah beraktivitas, Merasa lelah
b. Objekif : tekanan darah beruba >20% Dari kondisi
istiahat, gambaran EKG menunjukan aritmia
saat/setelah aktivitas, Gambaran EKG menujukan
iskemia, Sianosis.

Poltekkes Kemenkes Palembang


18

2.2.4 Faktor yang Berhubungan


Factor yang berhubungan atau hal-hal yang dapat mengakibatkan
timbulnya masalahh intoleransi aktivitas antara lain gaya hidup kurang
gerak, imobilitas, ketidakseimbangan antara suplai dengan kebutuhan
oksigen, tirah baring. (Herdman &Kamitsuru, 2015)

2.3 Konsep Edukasi Latihan Fisik


2.3.1 Definisi
Hal yang harus diperhatikan dalam mendesain program latihan
fisik imtuk osteoartrids adalah memahami masalah fungsional yang
paling mengganggu pasien. Keterlibatan pasien dalam menentukan
program latihan fisik dapat menunjang keberhasilan terapi.
Pada tahap awal, program diarahkan pada latihan unmk mengatasi
keluhan yang menimbulkan masalah fungsional seperti nyeri,
keterbatasan ruang gerak sendi, atau kelemahan otot. Segera setelah
keluhan mulai membaik, program kebugaran unmk memperbaiki
kesehatan dan kapasitas fungsional dapat segera dimulai.
Latihan fisik disesuaikan dengan kondisi pasien. Apabila ada gejala-
gejala seperti nyeri sendi selama aktivitas, nyeri masih terasa 1-2 jam
sesudah latihan,bengkak dan rasa lelah yang berlebihan, program
latihan harus dievaluasi lagi.
Tujuan latihan fisik, yaim memperbaiki fungsi sendi, proteksi sendi dari
kerusakan dengan mengurangi stres pada sendi, meningkatkan kekuatan
sendi, mencegah disabilitas, dan meningkatkan kebugaran jasmani.

2.3.2 Jenis latihan fisik


Suatu systematic review terhadap program latihan memperlihatkan
pengurangan nyeri dan disabilitas derajat ringan sampai sedang,
tergantung dari jenis latihan.

Poltekkes Kemenkes Palembang


19

a) Terapi Manual
Terapi manual adalah gerakan pasif yang dilakukan oleh
fisioterapis
dengan tujuan meningkatkan gerakan sendi dan mengurangi
kekakuan sendi.
Teknik yang dipakai adalah melatih ROM secara pasif, melatih
jaringan-jaringan sekitar sendi secara pasif, meregangkan otot atau
mobilisasi jaringan lunak, dan massage .Suatu penelitian acak
terkontrol untuk mengevaluasi efektivitas terapi manual
menyimpulkan bahwa kombinasi fisioterapi manual dan latihan
fisik yang diawasi dapat efektif memperbaiki jarak berjalan dan
mengurangi nyeri dan disfiingsi.
b) Latihan Fleksibilitas (ROM)
Mobilitas sendi sangat penung untuk memaksimalkan ruang
gerak sendi, meningkatkan kinerja otot, mengurangi risiko cedera,
dan memperbaiki nutrisi karulago. Latihan fleksibilitas, yang
dilakukan pada latihan fisik tahap pertama, dapat meningkatkan
panjang dan elastisitas otot dan jaringan sekitar sendi. Untuk
pasien, latihan fleksibilitas ditujukan unmk mengurangi
kekakuan,meningkatkan mobilitas sendi, dan mencegah kontrakmr
jaringan lunak. Latihan fleksibilitas sering dilakukan selama
periode pcmanasan atau tergabung dalam latihan ketahanan atau
aktivitas aerobik. Teknik peregangan dilakukan untuk memperbaiki
ruang gerak sendi. Latihan peregangan ini dilakukan dengan
menggcrakkan otot-otot, sendi-sendi, dan jaringan sekitar sendi.
Semua gerakan sebaiknya menjangkau ruang gerak sendi yang
tidak menimbulkan rasa nyeri. Aplikasi terapi panas sebelum
peregangan dapat mengurangi rasa nyeri dan meningkatkan
gerakan. Latihan fleksibilitas dapat. dimulai dari latihan
peregangan tiap kelompok otot, setidaknya tiga kali scminggu.
Apabila sudah terbiasa, latihan ditingkatkan repetisinya per

Poltekkes Kemenkes Palembang


20

kelompok otot secara bertahap. Latihan harus melibatkan kelompok


otot dan tendon utama pada ekstremitas atas dan bawah
c) Latihan kekuatan
I.arihan kekuatan mempunyai efek yang sama dengan
latihan aerobic dalam memperbaiki disabilitas, nyeri, dan kinerja.
Latihan kekuatan ada 3 macam, yaitu: latihan isometrik, latihan
isotonik, dan isokinetik. Latihan kekuatan otot secara isometrik,
isotonik, maupun isokinetik dapat mengurangi nyeri dan disabiUtas
serta memperbaiki kecepatan berjalan pada pasien osteoartritis.
Latihan isotonik memberikan perbaikan lebih besar dalam
menghilangkan nyeri. Latihan ini dianjurkan untuk latihan
kekuatan awal pada pasien osteoartritis dengan nyeri lutut saat
latihan. Latihan isokinetik menghasilkan peningkatan kecepatan
berjalan paUng besar dan pengurangan disabilitas sesudah terapi
dan saat evaluasi, sehingga latihan ini disarankan unmk
memperbaiki stabiUtas sendi atau ketahanan berjalan (Lee dkk,
2005: 12). Latihan isometrik diindikasikan apabila sendi
mengalami peradangan akut atau sendi tidak stabil. Kontraksi
isometrik memberikan tekanan ringan pada sendi dan ditoleransi
baik oleh penderita osteoartritis dengan pembengkakan dan nyeri
sendi. Latihan ini dapat memperbaiki kekuatan otot dan ketahanan
statis {static endurance) dengan cara menyiapkan sendi unmk
gerakan yang lebih dinamis dan merupakan titik awal program
penguatan. Peningkatan kekuatan terjadi saat kontraksi isometrik
dikenakan pada otot saat panjang otot sama dengan kondisi
istirahat. Perbaikan kekuatan terutama pada sudut otot yang dilatih.
Apabila instabiUtas sendi dan nyeri berkurang, program latihan
secara bertahap diubah ke latihan yang dinamis (isotonik). Latihan
kekuatan isometrik harus memperharikan ripe latihan, intensitas,
volume, dan frekuensi. Latihan sebaiknya meUbatkan kelompok
otot utama. Kontraksi isometrik dimulai pada intensitas rendah.

Poltekkes Kemenkes Palembang


21

Unmk menetapkan intensitas lanhan, diberitahukan pada pasien


unmk memaksimalkan kontraksi otot yang menjadi target
penguatan. Intensitas ladhan dimulai sekitar 30 % usaha maksimal
{maximal effort). Jika bisa ditoleransi oleh pasien, intensitas
ditingkatkan secara bertahap sampai 75 % kontraksi maksimal.
Kontraksi dipertahankan tidak lebih dari enam detik. Pada awalnya
sam kontraksi unmk tiap kelompok otot, kemudian jumlah
pengulangan ditingkatkan menjadi 8-10, sesuai toleransi pasien.
Pasien diinstruksikan unmk bernafas selama masing-masing
kontraksi.
Jarak antar kontraksi dianjurkan 20 detik. Latihan
dilakukan dua kali sehari pada periode peradangan akut.
Selanjutnya jumlah latihan secara bertahap ditingkatkan menjadi 5-
10 kali per hari, disesuaikan dengan kondisi pasien. Hal yang harus
diperhatikan adalah adanya risiko peningkatan tekanan darah bila
kontraksi dilakukan lebih dari 10 detik. Kontraksi isotonik
digunakan unmk aktivitas sehari-hari. Latihan kekuatan isotonik
memperlihatkan efek positif pada metabolisme energi, kerja
insulin, kepadatan tulang, dan stams fungsional pada orang sehat.
Jika tidak terdapat peradangan akut maupun instabilitas sendi,
bentuk latihan ini ditoleransi baik.

2.3.3 Indikasi latihan fisik


a. Indikasi gerak aktif
1) Kondisi dimana klien dapat bergerak aktif
2) Ketika suatu bagian tubuh tidak bergerak (imobilsasi) dalam
jangka waktu yang lama, gerak aktif dilaukan pada region atas dan
bawah dari bagian tubuh tersebut untuk menjaga agar area tersebut
tetap dalam kondisi normal.
3) Gerak aktif juga digunakan dalam kondisi latihan aerobic.

Poltekkes Kemenkes Palembang


22

b. Indikasi gerka pasif


1) Pada area yang mengalami masalah karena cedera atau adanya
kondisi peradangan akut
2) Ketika klien berada dalam kondisi tidak mapu bergerak sama
sekali, dalam keadaan koma, paralisis.

2.4 Asuhan Keperawatan pada Klien Hipertensi


2.4.1 Pengkajian
1. Data biografi
a. Nama
b. Alamat
c. Umur
d. Diagnose medis
e. Penanggung jawab

2. Riwayat kesehatan
1. Keluhan utama : Biasanya pasien mengeluhkan kepala terasa
pusing dan bagian kuduk terasa berat , tidak bias tidur.
2. Riwayat kesehatan sekarang : Biasanya pada saat dilakukan
pengkajian pasien masih mengeluh nyeri kepala terasa sakit
dan berat, penglihatan berkunang-kunang, tidak bisa tidur.
3. Riwayat kesehatan dahulu : biasanya penyakit hipertensi ini
adalah penyakit yang sudah lama di alami oleh pasien, dan
biasanya pasien mengkonsumsi obat rutin seperti captopril.
4. Riwayat kesehatan keluarga : Biasanya penyakit hipertnsi ini
adalah penyakit keturunan

3. Data dasar pengkajian


a. Aktivitas / istirahat
Gejala : kelemahan, letih, napas pendek, gaya hidup monoton

Poltekkes Kemenkes Palembang


23

Tanda : frekuensi jantung meningkat, perubahan irama


jantung, takipnea.
b. Sirkulasi
Gejala : riwayat hiperensi, aterosklerosis, penyakit jantung
kkooner, penyakit serebrovaskuler
Tanda : kenaian TD, hipotensi postural, takhikardi, pperubahan
warna kulit,suhu dingin.
c. Itegritas ego
Gejala : riwayat perubahan kepribadian, ansietas,depresi,
euphoria, fakor stress multifel.
Tanda : letupan suasana hati, elisah, penyempitan continue
perhatian, tagisan yang meledak, otot muka tegang, pernapasan
menghela, peningktan pola bicara.
d. Eliminasi
Gejala : gangguan ginjal saat ini atau yang lalu
e. Makanan /cairan
Gejala : makanan yang disukai yang dapat mencakup makanan
tingggi garam, lemak dan kolesterol
Tanda : BB nmal atau obesitas, adanya edema
f. Neurosensori
Gejala : keluhan pusing /pening, sakit kepala, berdenyut sakit
kepala, berdenyut,ganguan penglihatan, episode epistaksis.
Tanda : perubahan orientasi, penurunan kekuatan genggaman,
perubahan retinal optic
g. Nyeri / ketidaknyamanan
Gejala : angina, nyeri hilang timbul pada tungkai, sakit kepala
oksipital berat,nyeri abdomen.
h. Pernapasan
Gejala : dispnea yang berkaitan dengan aktivitas, takipnea,
ortopnea, dispnea nocturnal proksimal, batuk denggan atau
tanpa sputum, riwayat merokok.

Poltekkes Kemenkes Palembang


24

Tanda : distress respirasi/ penggunaan otot aksesoris


pernapasan, bunyi napas tambahan, sianosis.
i. Keamanan
Gejala : gangguan koordinasi, cara jalan
Tanda : episode parestesiaunilateral transien, hipoteensi
postural

j. Pembelajaran / penyuluhan
Gejala : factor rsiko keluarga; hipertensi, aterosklerosis,
penyakit jantung, DM, penyait ginjal,factor risiko
etnik,penggunaan pil KB atau hormone.

2.4.2 Diagnosis keperawatan


Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan di tandai
dengan mengeluh lelah, frekuensi jantung meningkat >20% dari
kondisi istirahat (SDKI, 2017).

2.4.3 Intervensi keperawatan

Edukasi Latihan Fisik

2.4.4 Implementasi Keperawatan


a) Observasi :
- Indentifikasi kesiapan dan kemampuan menerima informasi

b) Terapeutik
- Sediakan materi dan media pendidikan kesehatan
- Jadwalkan pendidikan kesehatan sesuai kesepakatan

Poltekkes Kemenkes Palembang


25

- Berikan kesempatan untuk bertanya

c) Edukasi
- Jelaskan manfaat kesehatan dan efek fisilogis olahraga
- Jelaskan jenis latihan yang sesuai dengan kondisi kesehatan
- Jelaskan frekuensi, durasi, dan intensias program latihan
yang diinginkan
- Ajarkan latihan pemanasan dan pendinginan yang tepat
ajaran teknik menghindari cedera saat berolahraga
- Ajarkan teknik pernapasan yang tepat untuk
memaksimalkan penyerapan oksigen selama latihan fisik

2.4.5 Evaluasi

1 2 3 4 5
Menurun Cukup sedang Cukup meningkat
menurun meningkat
Frekuensi nadi

Saturasi
oksigen

Kemudahan
dalam
melakukan
aktivitas
sehari-hari
Kecepatan
berjalan

Jarak berjalan

Kekuatan
tubuh bagian
atas

Poltekkes Kemenkes Palembang


26

Kekuatan
tubuh bagian
bawah
Toleransi
dalam menaiki
tangga

Poltekkes Kemenkes Palembang


27

BAB III

METODE STUDI KASUS

3.1. Rancangan studi kasus


Desain yang dipilih untuk studi kasus yang akan dilaksanakan ini
adalah kasus deskriptif dengan pendekatan proses keperawatan. Metode
penelitian Desriptif adalah suatu metode penelitian yang dilakukan degan
tujuan utama untuk membuat gambaran atau deskripsi tentang suatu
keadaan secara objetif.

3.2. Kerangka Konsep

a) Observasi :
- Indentifikasi kesiapan dan kemampuan
menerima informasi

b) Terapeutik
- Sediakan materi dan media pendidikan
kesehatan
- Jadwalkan pendidikan kesehatan sesuai
kesepakatan
INTOLERANSI - Berikan kesempatan untuk bertanya
AKTIVITAS
c) Edukasi
- Jelaskan manfaat kesehatan dan efek
fisilogis olahraga
- Jelaskan jenis latihan yang sesuai dengan
kondisi kesehatan
- Jelaskan frekuensi, durasi, dan intensias
program latihan yang diinginkan
- Ajarkan latihan pemanasan dan
pendinginan yang tepat ajaran teknik
menghindari cedera saat berolahraga
- Ajarkan teknik pernapasan yang tepat
untuk memaksimalkan penyerapan oksigen
selama latihan fisik

Poltekkes Kemenkes Palembang


28

3.3. Definisi Istilah


Klien hipertensi adalah klien yang mengalami peningkatan tekanan
darah secara abnormal dengan tekanan sistolik lebih dari 140 mmHg
dan diastolik lebih dari 90 mmHg.
Edukasi Latihan Fisik adalah tindakan yang bertujuan
memperbaiki fungsi sendi, proteksi sendi dari kerusakan dengan
mengurangi stres pada sendi, meningkatkan kekuatan sendi, mencegah
disabilitas, dan meningkatkan kebugaran jasmani.

3.4. Subjek Studi Kasus

Subjek pada studi kasus yang akan dilaksanakan adalah 2 orang


klien yang menderita hipertensi dengan Penerapan Edukasi Latihan
Fisik pada klien Hipertensi yang Mengalami Intoleransi Aktivitas di
Wilayah Kerja UPTD Puskesmas Tanjung Agung Kecamatan Baturaja
Barat Tahun 2019. kriteria subjek studi yaitu klien dengan kriteria :
1. mengeluh lelah
2. dispnea saat/setelah aktivitas,merasa tidak nyaman setelah
aktivitas, merasa lelah.
3. frekuensi jantung meningkat >20% dari kondisi istirahat
4. sianosis.

3.5 Tempat & Waktu Studi Kasus


1. Tempat
Studi kasus ini dilaksanakan di UPTD Puskesmas Tanjung
Agung, Kecamatan Baturaja Barat, Kabupaten Ogan
Komering Ulu Tahun 2019.

Poltekkes Kemenkes Palembang


29

2. Waktu Studi Kasus


Lama waktu bisa menyesuaikan dengan target keberhasilan
dari tindakan

3.6 Instrumen dan Metode Pengumpulan Data


a) Wawancara / anamnese
Yaitu dengan melakukan tanya jawab secara langsung kepada
beberapa anggota keluarga untuk memperoleh data subyektif.
b) Observasi dan pengukuran
Yaitu dilakukan dengan penerapan edukasi latihan fisik dan
mengevaluasi toleransi aktivitas klien.
c) Studi Kepustakaan
Yaitu dengan cara pengumpulan data yang digunakan sebagai
konsep dasar dalam asuhan keperawatan dan menyelesaikan
masalah dalam pembahasan.
d) Studi kasus di keluarga
Yaitu pengumpulan data dengan cara melakukan pengkajian pada
keluarga, biasa dilakukan dengan observasi, pemeriksaan fisik
ataupun wawancara sesuai kasus yang ada di dalam keluarga.

3.7 Etika Studi Kasus


Etika penelitian adalah suatu pedoman etika yang berlaku untuk
setiap kegiatan penelitian yang melibatkan antara pihak peneliti, pihak
yang diteliti (subjek penelitian) dan masyarakat yang akan akan
memperoleh dampak hasil penelitian tersebut (Notoatmodjo, 2010:
202). Sebelum melakukan penelitian, peneliti terlebih dahulu mendapat
rekomendasi dari institusi untuk mengajukan permohon ijin kepada
institusi/lembaga tempat penelitian. (Hidayat, 2008), dalam

Poltekkes Kemenkes Palembang


30

melaksanakan penelitian ini penulis menekankan masalah etika yang


meliputi:
a) Lembar Persetujuan (informed consent)
Inforemed consent merupakan bentuk persetujuan antara
peneliti dan responden penelitian dengan memberikan lembar
persetujuan. Informed consent tersebutdiberikan sebelum penelitian
dilakukan dengan memberikan lembar persetujuan untuk menjadi
responden. Tujuan informed consent adalah agar subjek mengerti
maksud dan tujuan penelitian, mengetahui dampaknya. Jika subjek
bersedia, maka mereka harus menandatangani lembar persetujuan.Jika
responden tidak bersedia, maka peneliti harus menghormati hak
pasien. Beberapa informasi yang harus ada dalam informed consent
tersebut antara lain: partisipasi responden, tujuan dilakukannya
tindakan, jenis data yang dibutuhkan, komitmen, prosedur
pelaksanaan, potensial yang akan terjadi, manfaat, kerahasiaan,
informasi yang mudah dihubungi, dan lain-lain (Hidayat, 2008)

b) Tanpa Nama (Anonimity)


Masalah etika keperawatan merupakan masalah yang
memberikan jaminan dalam penggunaan subjek penelitian dengan
cara tidak memberikan atau mencantumkan nama responden pada
lembar alat ukur dan hanya menuliskan kode pada lembar
pengumpulan data atau hasil penelitian yang akan disajikan (Hidayat,
2008). Untuk menjaga kerahasiaan pada lembar yang telah diisi oleh
responden, penulis tidak mencantumkan nama secara lengkap,
responden cukup mencantumkan nama inisial saja.
c) Kerahasiaan (Confidentiality)
Merupakan masalah etika dengan memberikan jaminan
kerahasiaan hasil penelitian, baik informasi maupun masalah-masalah
lainnya. Semua informasi yang telah dikampulkan dijamin
kerahasiaannya oleh peneliti, hanya kelompok data tertentu yang akan

Poltekkes Kemenkes Palembang


31

dilaporkan pada hasil riset (Hidayat, 2008). Peneliti menjelaskan


bahwa data yang diperoleh dari responden akan dijaga kerahasiaanya
oleh peneliti.

3.8 Analisis Data dan Penyajian Data


3.9.1 Analisa data
Pada studi kasus, analisis data diolah menggunakan aturan-
aturan yang disesuaikan dengan pendekatan studi kasus asuhan
keperawatan. Dalam analis data, data yang dikumpulkan dikaitkan
dengan konsep, teori, prinsip yang relevan untuk membuat kesimpulan
dalam menentukan masalah keperawatan.
Cara analisis data:
1) Validasi data, teliti kembali data yang telah terkumpul.
2) Mengelompokan data berdasarkan kebutuhan bio-psiko-sosio-
spiritual
3) Membandingkan data-data hasil pengkajian, diagnosa, perencanaan,
implementasi dan evaluasi yang abnormal dengan konsep teori.
4) Membuat kesimpulan tentang kesenjangan (masalah keperawatan)
yang ditemukan.

3.9.2 Penyajian Data


Data disajikan secara tekstual/narasi dan dapat disertai dengan
cuplikan ungkapan verbal dari subyek penelitian yang merupakan data
pendukungnya.
Format untuk pengkajian, analisa data, diagnosa, perencanaan,
implementasi dan catatan perkembangan.

Poltekkes Kemenkes Palembang

Anda mungkin juga menyukai