Anda di halaman 1dari 25

A.

PENDAHULUAN
Menurut perhimpunan dokter spesialis kedokteran indonesia (2015),
hipertensi merupakan salah satu penyebab utama mortalitas dan morbiditas di
Indonesia, sehingga tatalaksana penyakit ini merupakan intervensi yang sangat
umum dilakukan diberbagai tingkat fasilitas kesehatan. Penyakit hipertensi ini juga
mempengaruhi sekitar 50 juta orang di Amerika Sertikat dan merupakan faktor
risiko utama yang dapat dikontrol untuk perkembangan penyakit
kardiovaskular(Morton, 2005). Menurut American Heart Association (AHA),
penduduk Amerika yang berusia diatas 20 tahun menderita hipertensi telah
mencapai angka hingga 74,5 juta jiwa, namun hampir sekitar 90-95% kasus tidak
diketahui penyebabnya (Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI,
2014).
Berdasarkan hasil pengukuran tekanan darah, prevalensi hipertensi pada
penduduk umur 18 tahun ke atas tahun 2007 di Indonesia adalah sebesar 31,7%.
Menurut provinsi, prevalensi hipertensi tertinggi di Kalimantan Selatan (39,6%) dan
terendah di Papua Barat (20,1%). Sedangkan jika dibandingkan dengan tahun 2013
terjadi penurunan sebesar 5,9% (dari 31,7% menjadi 25,8%). Penurunan ini bisa
terjadi berbagai macam faktor, seperti alatpengukur tensi yang berbeda,
masyarakat yang sudah mulai sadar akan bahaya penyakit hipertensi. Prevalensi
tertinggi di Provinsi Bangka Belitung (30,9%), dan Papua yang terendah (16,8)%).
Prevalensi hipertensi di Indonesia yang didapat melalui kuesioner terdiagnosis
tenaga kesehatan sebesar 9,4 persen, yang didiagnosis tenaga kesehatan atau
sedang minum obat sebesar 9,5 persen. Jadi, ada 0,1 persen yang minum
obatsendiri. Selanjutnya gambaran di tahun 2013, dengan menggunakan unit
analisis individumenunjukkan bahwa secara nasional 25,8% penduduk Indonesia
menderita penyakithipertensi. Jika saat ini penduduk Indonesia sebesar
252.124.458 jiwa maka terdapat65.048.110 jiwa yang menderita hipertensi. Suatu
kondisi yang cukup mengejutkan. Terdapat 13 provinsi yang persentasenya
melebihi angka nasional, dengan tertinggi diProvinsi Bangka Belitung (30,9%) atau
secara absolut sebanyak 30,9% x 1.380.762 jiwa =426.655 jiwa (Pusat Data dan
Informasi Kementrian Kesehatan RI, 2014).
Hipertensi merupakan silent killer dimana gejala dapat bervariasi pada
masing-masing individu dan hampir sama dengan gejala penyakit lainnya. Gejala-
gejalanya itu adalah sakit kepala/rasa berat di tengkuk, mumet (vertigo), jantung
berdebar-debar, mudah Ielah, penglihatan kabur, telinga berdenging (tinnitus), dan
mimisan.Banyak pasien hipertensi dengan tekanan darah tidak terkontrol dan
jumlahnya terus meningkat. Oleh karena itu, partisipasi semua pihak, baik dokter

1
dari berbagai bidang peminatan hipertensi, pemerintah, swasta maupun
masyarakat diperlukan agar hipertensi dapat dikendalikan (Pusat Data dan
Informasi Kementrian Kesehatan RI, 2014).

B. PENGERTIAN
Tekanan arteri sistemik pada orang dewasa merupakan sebuah kontinum.
Meskipun tidak ada garis pemisah yang tajam antara tekanan darah tinggi dan
normal, umumnya telah disepakati bahwa jika tekanan arteri 140/90 mmgHg pada
tiga kali pemeriksaan berturut-turut maka pasien didiagnosa menderita Hipertensi.
Penentuan diagnosa hipertensi sangatlah rumit, dimana fakta bahwa tekanan darah
pasien mungkin bervariasi pada setiap pemeriksaan dan adanya stress yang
dialami pasien akibat pemeriksaan ke dokter yang mempengaruhi hasil. Tekanan
darah ideal adalah yang paling mendekati 120/80 mmHg bukan 140/90 mmHg
(Alpert, 2002).
Menurut Alspach (2006), krisis hipertensi merupakan penurunan
kehidupanakibat ancaman tekanan darah yang memerlukan perawatan darurat
(dalam waktu 1 jam) untuk mencegah terjadinya kerusakan organ yang parah dan
kematian. Morton (2005), mendefenisikan kriris hipertensi sebagai peningkatan
tekanan darah akut (tekanan sistolik biasanya lebih dari 240 mmHg, tekanan
diastolik biasanya lebih dari 140 mmHg) yang berkaitan dengan kerusakan organ
target yang akan terjadi atau akut. Kondisi ini ditandai dengan peningkatan cepat
secara nyata pada tekanan darah yang pada awalnya menimbulkan vasokontriksi
kuat karena tubuh berupaya melindungi dirinya sendiri dari peningkatan tekanan.
Krisis hipertensi akut juga biasa didefenisikan sebagai hipertensi arteri akut yang
berat tanpa adanya kerusakan organ yang jelas.
Hipertensi krisis merupakan salah satu kegawatan dibidang neurovaskular
yang sering dijumpai di instalasi gawat darurat. Hipertensi krisis ditandai dengan
peningkatan tekanan darah akut dan sering berhubungan dengan gejala sistemik
yang merupakan konsekuensi dari peningkatan darah tersebut (Devicaesaria,
2014).

C. ETIOLOGI
Penyebab terjadinya krisis hipertensi adalah sebagai berikut (Alspach, 2006):
1. Hipertensi yang terkontrol dan tidak terkontrol
2. Ketidakpatuhan manajemen obat antihipertensi
3. Disfungsi ginjal (glomerulonefritis akut, gagal ginjal kronik/akut, tumor ginjal,
hipertensi renovaskular yang disebabkan oleh oklusi arteri ginjal akut).

2
4. Preeklampsi kehamilan.
5. Krisis adrenergik: terlihat pada peningkatan level katekolamine yang tajam
yang disebabkan oleh reaksi terhadap penggunaan obat: interaksi monoamine
oxidase [mao] inhibitor, proses menelan agonis -adrenergik, pemberhentian
tiba-tiba terapi antihipertensi).
6. Komplikasi post pembedahan: pembedahan CABG, transplantasi ginjal,
pembedahan vaskular perifer.
7. Tumor pituitari
8. Hiperfungsi Adrenokortikal
9. Luka bakar parah
10. Faktor risiko: Diabetes Mellitus, obesitas, merokok, hiperlipidemia, penggunaan
kontrasepsi oral, mempunyai riwayat hipertensi pada kehamilan, penggunaan
alkohol.

D. KLASIFIKASI
Hampir semua consensus/ pedoman utama baik dari dalam walaupun luar
negeri, menyatakan bahwa seseorang akan dikatakan hipertensi bila memiliki
tekanan darah sistolik 140 mmHg dan atau tekanan darah diastolik 90 mmHg,
pada pemeriksaan yang berulang. Tekanan darah sistolik merupakan pengukuran
utama yang menjadi dasar penentuan diagnosis hipertensi (HIPERKI, 2015).
Berdasarkan Seventh Report of The Joint National Comitte on Prevention,
Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure (2007), klasifikasi
tekanan darah pada orang dewasa di kategorikan sebagai berikut (Morton, 2005):

KLASIFIKASI TEKANAN DARAH UNTUK DEWASA


Klasifikasi Tekanan
Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg)
Darah
Normal < 120 dan <80
Prahipertensi 120-139 atau 80-89
Hipertensi Tahap 1 140-159 atau 90-99
Hipertensi Tahap 2 160 atau 100

Sedangkan, pembagian derajat keparahan hipertensi menurut the American


Society ofHypertension and the International Society of Hypertension (2013)
diklasifikasikan sebagai berikut:

3
KLASIFIKASI SISTOLIK DIASTOLIK
Optimal < 120 dan < 80
Normal 120-129 dan/atau 80-84
Normal tinggi 130-139 dan/atau 84-89
Hipertensi derajat 1 140-159 dan/atau 90-99
Hipertensi derajat 2 160-179 dan/atau 100-109
Hipertensi derajat 3 180 dan/atau 110
Hipertensi sistolik
140 dan < 90
terisolasi

Krisis hipertensi sendiri dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu hipertensi
urgensi dan hpertensi emergensi:
1. Hipertensi urgensi (Hypertensive Urgencies), peningkatan tekanan darah
(biasanya sistolik >180 mmHg dan diastolik >110 mmHg) yang tidak mengancam
kehidupan segera/tanpa adanya disfungsi akut organ. Dianjurkan pasien segera
mendapat pengobatan dengan obat oral dan tindak lanjut dalam waktu 24-72 jam
(Anderson, 2016), misalnya hipertensi yang berhubungan dengan penyakit arteri
koroner, accelerated and malignant hypertension, hipertensi berat pada pasien
transplantasi ginjal, hipertensi post pembedahan, hipertensi yang tidak terkontrol
pada pasien yang membutuhkan operasi darurat, hipertensi komplikasi
perdarahan otak, hipertensi yang terkait dengan perdarahan post pembedahan
(Alpert, 2002).
2. Hipertensi emergensi (Hypertensive Emergencies), peningkatan elevasi tekanan
darah (sistolik >220 mmHg dan diastolik >140 mmHg) yang berhubungan dengan
adanya kerusakan atau disfungsi akut dari satu atau lebih organ (otak, jantung
atau ginjal) (Anderson, 2016): perubahan neurologis yang progresif, hipertensi
ensefalopati, infark serebral, perdarahan intrakranial, gagal jantung kiri akut,
edema pulmonal akut, diseksi aorta, gagal ginjal atau eklampsi. Tetapi, mungkin
terdapat gejala tekanan darah rendah pada pasien yang sebelumnya tidak
memiliki riwayat tekanan darah tinggi (David, 2016).

Dikenal beberapa istilah yang berkaitan dengan hipertensi krisis antara lain
(Devicaesaria, 2014):
a. Hipertensi refrakter

4
Respon pengobatan yang tidak memuaskan dan tekanan darah >200/110
mmHg, walaupun telah diberikan pengobatan yang efektif (tripledrug) pada
penderita dan kepatuhan pasien.
b. Hipertensi akselerasi
Peningkatan tekanan darah diastolik > 120 mmHg disertai dengan kelainan
funduskopi. Bila tidak diobati dapat berlanjut ke fase maligna.
c. Hipertensi maligna
Penderita hipertensi akselerasi dengan tekanan darah diastolik > 120-130
mmHg dan kelainan funduskopi disertai papil edema, peninggian tekanan
intrakranial, kerusakan yang cepat dari vaskular, gagal ginjal akut, ataupun
kematian bila penderitatidak mendapatkan pengobatan. Hipertensimaligna
biasanya pada penderitadengan riwayat hipertensi esensialataupun sekunder
dan jarangpada penderita yang sebelumnyamempunyai tekanan darah
normal.
d. Hipertensi ensefalopati
Kenaikan tekanan darah dengan tiba-tibadisertai dengan keluhan sakitkepala
yang hebat, penurunan kesadarandan keadaan ini dapat menjadireversibel
bila tekanan darah tersebutditurunkan.

E. TANDA DAN GEJALA


Pada krisis hipertensi pasien mungkin tidak mampu berespon terhadap
pertanyaan, hal lain yang signifikan yang perlu dijawab oleh pasien meliputi adanya
riwayat hipertensi kronik, adanya keluarga pasien yang memiliki riwayat hipertensi,
riwayat penggunaan obat (misalnya MAO inhibitors, kontrasepsi oral, obat penekan
napsu makan, memiliki riwayat penyakit yang merupakan etiologi terjadinya krisis
hipertensi, adanya riwayat CAD, disfungsi renal (Alspach, 2006).
Tanda dan gejala yang sering dikeluhkan oleh pasien dengan krisis hipertensi
adalah pusing, kepala berat, nyeri dada, cepat lelah, berdebar-debar, sesak nafas,
kadang tanpa keluhan, adanya kelemahan atau kelumpuhan sebagian atauseluruh
anggota tubuh (HIPERKI, 2016). Gejala lain yang sering terjadi pada pasien krisis
hipertensi adalah mual, muntah, dan pingsan (Pregler, 2002).
Gambaran klinis yang sering terjadi pada pasien ensefalopati hipertensi
meliputi: tekanan darah melebihi 250/150 mmHg, retinopati, papilledema of the
optic disc, sakit kepala berat, muntah, perubahan tingkat kesadaran (obtunded,
koma), adanya tanda-tanda focal neurologic (nistagmus), kejang, tanda dan gejala
gagal jantung, peningkatan nilai MAP (Alspach, 2006). Hipertensi urgensi biasanya

5
ditandai dengan asimtomatik dan hipertensi berat (sistolik >180 mmHg atau
diastolik >125mmHg) (Kahan, 2009).
Pasien dengan hipertensi emergensi perlu ditanyakan tentang adanya gejala-
gejala khusus yang dirasakan, seperti: nyeri dada (ACS, diseksi aorta), nyeri
interskapula (diseksi aorta), sesak napas (acute pulmonary oedema, acute
coronary syndrome), perubahan status mental: bingung, obtundation/penurunan
tingkat kesadaran, dan koma (hipertensi ensefalopati), sakit kepala (hipertensi
ensefalopati, stroke), kelemahan berbicara dan berbicara slurring / bicara tidak jelas
(stroke), kejang (hipertensi ensefalopati, eklampsi), mual dan muntah (stroke,
hipertensi ensefalopati, gagal ginjal), berkeringat banyak dan palpitasi
(pheochromocytoma, acute coronary syndrome), penglihatan kabur (papilloedema),
kebutaan kortikal transient (David, 2016).
Saat dilakukan pemeriksaan fisik pada pasien hipertensi emergensi akan
ditemukan adanya peningkatan tekanan darah, distensi vena jugularis (edema
pulmonal), adanya perbedaan antara nadi dan tekanan darah pada kedua lengan
(diseksi aorta), adanya perbedaan yang siknifikan pada tekanan darah saat berdiri
dan berbaring (ACS, diseksi aorta), adanya bunyi krekels pada paru basilar dan
bunyi jantung ketiga (edema pulmonal), adanya suara mur-mur (ACS, diseksi
aorta), perubahan sensori (stroke, ensefalopati), defisit fokal neurologi (stroke),
teraba adanya massa di abdomen dan bruit: siatolik dan diastolik (renovascular
disease), pada pemeriksaan funduskopi ditemukan adanya perdarahan retina,
cotton wool spots, eksudat, papilloedema dengan penglihatan kabur (retinopati)
(David, 2016).

6
Gambar: Tanda dan gejala terkait dengan kerusakan organ pada krisis hipertensi
(From Antman EM, editor: Cardiovascyular therapheutics: a companion to
Braunwalds heart disease, Philadelphia, 2002, Saunders)

F. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Pemeriksaan diagnostik pada pasien dengan krisis hipertensi adalah sebagai
berikut (Alspach, 2006):
1. Pemeriksaan Laboratorium:
a. BUN dan kreatinin, nilainya mungkin meningkat pada pasien dengan
gangguan ginjal.
b. Elektrolit, mungkin terjadi hipokalsemia, hiponatremia, hipokalemia.
c. Pemeriksaan level enzim: terdapat peningkatan CKMB troponin pada pasien
dengan infark miokard.
d. Anemia hemolitik mikroangiopati dengan fragmentasi sel darah merah dan
koagulasi intravaskular sering ditemukan pada pasien dengan hipertensi
accelerated-malignant, kemungkinan berasal dari lesi arteri nekrotik fibrinoid
(Kaplan, 2006).
e. Pada pemeriksaan urin, terkandung protein dan sel darah merah. Pada
beberapa pasien dengan gagal ginjal mungkin terjadi oliguri akut (Kaplan,
2006).
2. Radiologi, radiorafi dada mungkin menunjukkan adanya pembesaran ventrikel
kiri (kardiomegali), pada kasus disfungsi ventrikel kiri dan edema pulmonal

7
menunjukkan adanya kekeruhan difus, pelebaran mediastinum terlihat pada
kasus diseksi aorta.
3. ECG, hipertrofi LV dapat dilihat, perubahan segmen ST.
4. Echocardiogram, penurunan fungsi diastolik, hipertrofi LV, adanya kelainan
gerakan dinding.
5. MRI or CT Scan, untuk menentukan adanya stroke atau perdarahan saat gejala
neurologis muncul. Menunjukkan adanya edema pada otak dengan krisis
hipertensi.
6. Renal Ultrasonography, untuk mengidentifikasi adanya stenosis arteri ginjal.

G. PATOFISIOLOGI
Krisis hipertensi merupakan peningkatan tekanan darah arteri yang berat,
disebabkan oleh adanya gangguan pada satu atau lebih mekanisme regulasi
(Kluwer, 2013). Krisis hipertensi ditandai dengan peningkatan pesat tekanan darah
yang awalnya mengarah ke vasokonstriksi yang intens oleh karena tubuh berusaha
untuk melindungi diri dari tekanan tinggi. Apabila tekanan darah tetap tinggi,
kompensasi tubuh terhadap vasokonstriksi gagal, mengakibatkan peningkatan
tekanan aliran darah ke seluruh sistem vaskular (Morton, 2013). Jika tidak ditangani
segera, krisis hipertensi dapat mengakibatkan komplikasi pada ginjal, jantung atau
otak dan mungkin dapat menyebabkan kematian (Kluwer, 2013).
Dengan adanya perubahan pada tekanan darah, dilatasi atau konstriksi
pembuluh darah serebral dapat mempertahankan aliran darah ke otak tetap
konstan melalui proses autoregulasi yang diregulasi oleh aktivitas saraf simpatik.
Ketika nilai MAP mencapai level kritis, pembuluh darah yang mengalami kontriksi
sebelumnya tidak mampu menahan tingginya tekanan darah sehingga meregang
dan melebar. Mulanya pada otot yang lemah, pola tidak teratur, dan kemudian
seluruh pembuluh darah menjadi melebar. Pelebaran pembuluh darah ini
memungkinkan adanya cairan darah di otak, dimana terjadinya hiperperfusi di otak
akibat tekanan yang tinggi, dengan kebocoran cairan ke jaringan perivaskular,
sehinga menyebabkan terjadinya edema pada serebral, yang ditandai dengan
adanya sindrom klinis pada hipertensi ensefalopati (Kaplan, 2006).

8
Gambar: Patofisiologi krisis hipertensi

Ada 2 teori yang dianggap dapat menerangkan timbulnya hipertensi


ensefalopati yaitu (Majid, 2004):
1. Teori Over Autoregulation, dengan kenaikan TD menyebabkan spasme yang
berat pada arteriole mengurangi aliran darah ke otak (CDF) dan iskemi.
Meningginya permeabilitas kapiler akan menyebabkan pecahnya dinding
kapiler, udema di otak, petekhie, pendarahan dan mikro infark (Majid, 2004).
2. Teori Breakthrough of Cerebral Autoregulation bila TD mencapai threshold
tertentu dapat mengakibtakan transudasi, mikoinfark dan oedema otak,
petekhie, perdarahan, fibrinoid dari arteriole (Majid, 2004).

9
Aliran darah ke otak pada penderita hipertensi kronis tidak mengalami
perubahan bila Mean Arterial Pressure (MAP) 120 mmHg 160 mmHg, sedangkan
pada penderita hipertensi baru dengan MAP diantara 60 120 mmHg. Pada
keadaan hiperkapnia, autoregulasi menjadi lebih sempit dengan batas tertinggi 125
mmHg, sehingga perubahan yang sedikit saja dari TD menyebabkan asidosis otak
akan mempercepat timbulnya oedema otak (Majid, 2004).

H. PENATALAKSANAAN
1. Medikasi
a. Hipertensi Urgensi
Manajenem penurunan tekanan darah pada pasien dengan hipertensi
urgensi tidak membutuhkan obat-obatan parenteral. Pemberian obat-obatan
oral aksi cepat akan memberi manfaat untuk menurunkan tekanan darah
dalam 24 jam awal Mean Arterial Pressure (MAP) dapat diturunkan tidak
lebih dari 25%. Pada fase awal standard goal penurunan tekanan darah
dapat diturunkan sampai 160/110 mmHg (HIPERKI, 2016).
Penggunaan obat-obatan anti-hipertensi parenteral maupun oral
bukan tanpa risiko dalam menurunkan tekanan darah. Pemberian
loadingdose obat oral anti-hipertensi dapat menimbulkan efek akumulasi
dan pasien akan mengalami hipotensi saat pulang ke rumah. Optimalisasi
penggunaan kombinasi obat oral merupakan pilihan terapi untuk pasien
dengan hipertensi urgensi (HIPERKI, 2016). Adapun obat-obatan untuk
pasien dengan hipertensi urgensi adalah sebagai berikut:
1) Captopril adalah golongan angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitor
dengan onset mulai15-30 menit. Captopril dapat diberikan 25 mgsebagai
dosis awal kemudian tingkatkan dosisnya50-100 mg setelah 90-120
menit kemudian.Efek yang sering terjadi yaitu batuk,

10
hipotensi,hiperkalemia, angioedema, dan gagal ginjal(khusus pada
pasien dengan stenosis pada arterirenal bilateral) (HIPERKI, 2016).
2) Nicardipine adalah golongan calcium channelblocker yang sering
digunakan pada pasien denganhipertensi urgensi. Pada penelitian
yangdilakukan pada 53 pasien dengan hipertensiurgensi secara random
terhadap penggunaannicardipine atau placebo. Nicardipine
memilikiefektifitas yang mencapai 65% dibandingkanplacebo yang
mencapai 22% (p=0,002). Penggunaandosis oral biasanya 30 mg dan
dapat diulangsetiap 8 jam hingga tercapai tekanan darahyang diinginkan.
Efek samping yang sering terjadiseperti palpitasi, berkeringat dan sakit
kepala (HIPERKI, 2016).
3) Labetalol adalah gabungan antara 1 dan-adrenergic blocking dan
memiliki waktu kerjamulai antara 1-2 jam. Dalam penelitian
labetalolmemiliki dose range yang sangat lebar sehinggamenyulitkan
dalam penentuan dosis. Penelitiansecara random pada 36 pasien, setiap
grupdibagi menjadi 3 kelompok; diberikan dosis 100mg, 200 mg dan 300
mg secara oral dan menghasilkanpenurunan tekanan darah sistolik
dandiastolik secara signifikan. Secara umum labetaloldapat diberikan
mulai dari dosis 200 mgsecara oral dan dapat diulangi setiap 3-4 jam
kemudian.Efek samping yang sering muncul adalahmual dan sakit kepala
(HIPERKI, 2016).
4) Clonidine adalah obat-obatan golongan simpatolitiksentral (2-
adrenergicreceptor agonist)yang memiliki mula kerja antara 15-30
menitdan puncaknya antara 2-4 jam. Dosis awal bisadiberikan 0,1-0,2 mg
kemudian berikan 0,05-0,1mg setiap jam sampai tercapainya tekanan
darahyang diinginkan, dosis maksimal adalah 0,7mg. Efek samping yang
sering terjadi adalah sedasi,mulut kering dan hipotensi ortostatik
(HIPERKI, 2016).
5) Nifedipine adalah golongan calcium channelblocker yang memiliki pucak
kerja antara 10-20menit. Nifedipine kerja cepat tidak dianjurkanoleh FDA
untuk terapi hipertensi urgensi karenadapat menurunkan tekanan darah
yang mendadakdan tidak dapat diprediksikan sehinggaberhubungan
dengan kejadian stroke (HIPERKI, 2016).

b. Hipertensi Emergensi
1) Deteksi dini pada pasien hipertensi emergensi dilakukan di ruang unit
gawat darurat agar pasien segera dirawat di ruang ICU. Hal ini dilakukan

11
agar monitoring tekanan darah secara kontinu dan pemantauan yang
tepat dapat dilakukan. Hal-hal yang perlu diperhatikan adalah (Urden,
2010):
Warning signs of a heart attack or myocardial infarction
Warning signs of a brain attack or stroke
Warning signs of intermittent claudication or PAD (peripheral arteri
disease)
2) Terapi hipertensi emergensi harus disesuaikan setiap individu tergantung
pada kerusakan organ target. Manajemen tekanan darah dilakukan
dengan obat-obatan parenteral secara tepat dan cepat (Urden, 2010).
3) Tingkat ideal penurunan tekanan darah tidak boleh lebih dari 25%dalam
kurun waktu 2-6 jam setelah masuk ke icu (Urden, 2010).
PenurunanMean Arterial Pressure (MAP) 10% selama 1 jam awal dan
15% pada 2-3 jam berikutnya (Urden, 2010).
4) Penurunan tekanan darah secara bertahap perlu dilakukan untuk
mecegah terjadinya iskemik arteri cerebral, koroner dan ginjal.
Penurunan tekanan darah secara cepat dan berlebihan akan
mengakibatkan jantung dan pembuluh darah orak mengalami hipoperfusi
(Urden, 2010).
5) Obat-obatan yang dapat menurunkan tekanan darah secara cepat sangat
tidak direkomendasikan dalam manajemen hipertensi emergensi akut.
6) Pengurangan tekanan darah bertahap lebih lanjut dapat dicapai dalam
24-48 jam (Urden, 2010).
7) Mengatur posisi tidur pasien dengan elevasi kepala 15-30 derajat, untuk
meningkatkan perfusi jaringan serebral dari kepala, menurunkan tekanan
darah sistemik yang mungkin dapat di kompromi oleh tekanan perfusi
serebral (Sunardi, 2008). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh
Huda tahun 2013 tentang effektiveness of head up 300 to improve
cerebral perfusion in patient post op trepanation didapatkan hasil bahwa
terdapat efektifitas pemberian posisi head up300 terhadap peningkatan
perfusi serebral, penurunan tekanan darah dan adanya peningkatan
kesadaran pasien (Huda, 2013).
8) Pada pasien hipertensi dan stroke iskemik akut:
Pada pasien yang masuk rumah sakit dengan stroke iskemik,
tidak ada bukti klinis yang mendukung penurunan tekanan darah
dengan cepat.

12
Untuk pasien yang tekanan sistoliknya >220mmHg dan
diastoliknya antara 120mmHg dan 140mmHg, tekanan darah
harus diturunkan secara perlahan dan hati-hati hanya 10%-15%.
Jika tekanan diastolik > 140 mmHg, maka direkomendasikan
Sodium Nitroprusside untuk menurunkan tekanan sistolik secara
perlahan dan hati-hati hanya 10%.
Jika tekanan sistolik > 185 mmHg atau tekanan diastolik > 110
mmHg, penggunaan terapi trombolitik merupakan kontraindikasi
dalam 3 jam pertama setelah terjadinya stroke iskemik akut.
Tekanan darah harus berkurang, sebelum diberikan terapi
trombolitik.
Perlu adanya pemantauan hati-hati pada pasien terkait tanda-
tanda kerusakan neurologis yang berhubungan dengan tekanan
darah yang rendah dalam segala situasi(Urden, 2010).
9) Pada pasien hipertensi dan diseksi aorta: pasien dengan diseksi aorta
harus memiliki tekanan sistolik < 100 mmHg, jika bisa ditoleran (Urden,
2010).
10) Target tujuan penurunan tekanan darah:
Tujuan dari pemberian terapi untuk semua pasien adalah
menurunkan tekanan darah (sistolik/diastolik) hingga 140/90
mmHg atau lebih rendah sebelum pulang dari rumah sakit.
Beberapa pasien akan diberikan obat oral untuk mencapai target
ini.
Untuk pasien dengan hipertensi yang diketahui, gagal ginjal,
diabetes, atau penyakit kardiovaskular ditargetkan tekanan darah
berkurang hingga 130/80 mmHg atau lebih rendah. Hampir
semua pasien dengan kondisi ini akan memerlukan obat oral
untuk mencapai target penurunan tekanan darah. Banyak pasien
memerlukan dua atau lebih obat oral(Urden, 2010).

11) Obat-obatan hipertensi Emergensi (Kaplan, 2006):


Jenis obat Dosis Onset Durasi Efek samping Indikasi
kerja kerja yang buruk khusus
obat obat
Diuretics: 20-40 mg dalam 5-15 2-3 jam Kekurangan cairan, biasanya
Furosemide 1-2 menit, menit hipokalemi diperlukan untuk
diulang dan dosis menjaga
yang lebih tinggi keefektifan kerja
pada pasien obat lainnya
dengan

13
insufisiensi ginjal.
Vasodilators :

Nitroprusside 0,25- Segera 1-2 Mual, muntah, Banyak


(Nipride, 10,00g/kg/me menit otot berkedut, penyakit
Nitropress) nit melalui berkeringat, hipertensi
infus IV. intoksikasi emergensi
sianida. yang
disebabkan
oleh tekanan
intrakranial
atau
azotemia.
Nitrogliserin 5-100g per 2-5 5-10 Nyeri kepala,
(Nitro-bid IV) menit melalui menit menit muntah, Iskemik
infus IV. metemoglobinem koroner
ia, toleransi
dengan
penggunaan
jangka panjang.

Fenoldopam 0,1-0,6 g/kg 4-5 10-15 Takikardi, Insufisien


(Corlopam) per menit menit menit peningkatan ginjal setelah
melalui infus tekanan pembedahan.
IV. intaokular, nyeri
kepala.

Nicardipine 5-15 mg per 5-10 1-4 Nyeri kepala, Kebanyakan


(Cardene IV) jam melaui IV menit jam mual, bingung, hipertensi
takikardi, plebitis emergensi,
lokal. hati-hati
dengan gagal
jantung akut.

Hydralazine 5-20 mg 10-20 1-4 Takikardi, Eklampsi, hati-


(Apresoline) melalui IV menit jam bingung, nyeri hati dengan
dan 10-40 mg 20-30 4-6 kepala, muntah, peningkatan
IM menit jam angina. tekanan
intrakranial.

Enalaprilat 1,25 -5 mg 15 6 jam Menyebabkan Gagal


(Vasotec IV) setiap 6 jam menit penurunan ventrikel kiri
tekanan darah akut
pada kadar renin
yang tinggi.
Adrenergic
Inhibitors:
Phentolamine 5-15 mg 1-2 3-10 Takikardi, Kelebihan
melalui IV menit menit bingung, nyeri katekolamin
kepala.
Esmolol 200-500 /kg 1-2 10-20 Hipotensi, mual. Diseksi aorta,
(Brevibloc) per menit menit menit setelah
selama empat pembedahan.
menit,
kemudian 50-
300 /kg per
menit melalui
IV.

14
Labetalol 20-80 mg 5-10 3-6 jam Muntah, kulit Kebenyakan
(Normodyne, melalui bolus menit kepala pada
Trandate) IV setiap 10 kesemutan, hipertensi
menit, atau 2 tenggorokan emergensi
mg menit terasa terbakar, kecuali pada
melalui infus pusing, mual, gagal jantung
IV. blok jantung, akut.
hipotensi
ortostatik.

Hipertensi berat
BP > 180/120

Hipertensi ensefalopati

Berlanjut pada kerusakan organ

Ya Tidak
(HT Emergensi)

Masuk ke ICU berdasarkan hasil


permiksaan Laboratorium Onset baru Pengalaman yang sama
(HT urgensi) sebelumnya
(hipertensi yang tidak
Terapi parenteral terkontrol)
Berdasarkan hasil
pemeriksaan
Laboratorium Terapi oral
dimulai lagi
Pemeriksaan untuk
mengidentifikasi penyebab: HT Terapi oral
Renovaskular Ikuti terapi
secara teratur

Gambar: Pathway manajemen terapi untuk pasien dengan Hipertensi Berat,


didefenisikan tekanan darah yang meningkat (180/120 mmHg)

2. Mengantisipasi keadaan pasien yang lebih buruk: penurunan tekanan darah


sesegera mungkin adalah hal yang penting untuk mencegah atau meminimalisir
terjadinya kerusakan organ (Alspach, 2006).
3. Nutrisi (Alspach, 2006):
a. Mengukur masukan dan haluaran secara akurat, timbang berat badan
pasien setiap hari.
b. Mulanya diberikan makanan per oral, dilanjutkan dengan diet pembatasan
natrium.
c. Berkonsultasi tentang diet: memberikan informasi perlunya kontrol berat
badan dan pembatasan sodium.
4. Discharge planning, memberikan pendidikan mengenai: pentingnya kontrol
tekanan darah (risiko tinggi pada ginjal, otak, dan masalah pada koroner yang

15
diakibatkan karena tekanan darah yang tidak terkontrol) dan kepatuhan minum
obat, perlunya kontrol lanjutan untuk menilai efektifitas obat dan adanya efek
samping dari terapi, perlunya modifikasi gaya hidup: membatasi konsumsi
sodium (garam), berhenti merokok dan penggunaan alkohol, kontrol berat
badan (capai dan pertahankan berat badan yang ideal) dan biasakan jalan
sehat (Alspach, 2006) atau aktivitas fisik, kurangi konsumsi lemak kurang dari
30% dari total kalori, diusahakan nilai kolesterol kurang dari 200 mg/dL, kontrol
diabetes (jika pasien memiliki riwayat diabetes) (Urden, 2010).

I. PROGNOSIS
Jika tidak diobati, sebagian besar pasien dengan hipertensi accelerated-
malignant akan mati dalam waktu 6 bulan. Tingkat kelangsungan hidup selama 1
tahun hanya 10% sampai 20% tanpa terapi. Jika pasien menjalani terapi, maka
tingkat kelangsungan hidup menjadi lebih besar yaitu dari 70% kurang lebih selama
5 tahun. Hal ii jelas menunjukkan bahwa penggunaan terapi antihipertensi dapat
menjadi perlindungan utama yang ada (Kaplan, 2006).
Terapi yang digunakan oleh pasien selama 50 tahun terakhir dapat
mengurangi tingkat kematian segera oleh karena gagal ginjal akut, stroke
hemoragik dan gagal jantung kongestif. Dengan proses kelangsungan hidup
tersebut, pasien mungkin akan mengalamikematian akibat infark miokard akut
dibandingkan kematian akibat gagal ginjal (Kaplan, 2006).

16
Pengendapan kolesterol Penyempitan & kekakuan Penurunan jumlah ion Na
Peningkatan tekanan pembuluh darah dan Cl melalui tubulus
dan trigliserida pembuluh arteri darah
distal
Adanya rangsangan di
Penyempitan pada pembuluh darah ginjal Aliran darah ke ginjal menurun dalam saraf simpatis oleh
katekolamin
Stress Sel juxtaglomerular

Angiotensinogen di hati
Aktivasi saraf simpatis
Sekresi Renin
Melepaskan Melepaskan hormon
hormon epinefrin (adrenalin) norepinefrin (noradrenalin)
Merangsang angiotensin I
Angitensin Converting Enzyme di paru
Kelainan ginjal Agen vasokontriktor Reseptor 1
Angiotensin II
Kerusakan kapiler
Peningkatan aktivitas simpatis Sekresi aldosteron
glomerulus
Sekresi ADH oleh hipotalamus oleh korteks adrenal
Vasokonstriksi (kelenjar pituitari)
GFR Vasokonstriksi kapiler Obat-obatan
perifer dan tubulus ginjal
Retensi Na dan air Penggunaan
Interaksi monoamine kontrasepsi
Tekanan osmotik oxidase inhibitor hormonal
kapiler Peningkatan volume plasma
Peningkatan
Ketidakpatuhan manajemen
level
obat antihipertensi Esterogen &
katekolamine
Hiperosmolaritas Peningkatan tekanan darah progesteron
plasma
Kondisi semakin
Pre-eklamsi Krisis buruk Hipertropi
Hipertensi adrenergik
Peningkatan kadar arteriole &
Post pembedahan lipid dan insulin vasokonstriksi

Hemodelusi dan Hipertensi semakin


Tumor ptuitari
peningkatan vasopresin berat
Kelenjar adrenal
Perubahan patologis kelebihan kortisol
pada arteri kecil ginjal Sistem autoregulatori Melepaskan Produksi ACTH
ginjal terganggu katekolamin Curah jantung berlebih
Hipovolemia
turun
Disfungsi endotel dan
Critical level atau kenaikan Edema Luka bakar berat
vasodilatasi terganggu
Kerusakan endotel dan peningkatan resistensi
vascular secara cepat
Air, Cl, dan protein Peningkatan permeabilitas
keluar dari dalam sel pembuluh darah
Deposit platelet &
fibrin
Permeabilitas endotel Peningkatan
Peningkatan
kekakuan arteri Menurunkan tekanan
tekanan darah sistolik, dan
perfusi koroner
tekanan nadi melebar
Fibrinoid necrosis and Tekanan darah yang
Hiperperfusi
Intimal proliferation naik dengan cepat
Meningkatkan konsumsi
oksigen miokard
Tekanan intrakranial
CES Vol. intestisial Meningkatkan CBF Edema serebral
meningkat
Hipertrofi ventrikel
Defisit kiri
Kelebihan volume Ketidakefektifan perfusi Hipertensi ensefalopati
Edema perawatan
cairan Jaringan Serebal
diri Ventrikel kiri tidak
Pemikiran berubah, dan mampu mengkompensasi
papil edema kenaikan tahanan
Resiko Perubahan tingkat kesadaran vaskuler akut sistemik
cedera (obtunded, koma)
Ansietas
Iskemia miokard Gagal ventrikel kiri
Pusing, kepala berat, nyeri
Cemas dengan kondisi Kebutuhan oksigen
dada, cepat lelah, berdebar-
yang dialami tidak adekuat Penurunan Cardiac Edema paru
debar, sesak nafas
Output Jantung
Intoleransi
Kurang pajanan Perubahan status aktivitas
informasi kesehatan

Defisit
pengetahuan

17
J. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Ketidakefektifan Perfusi Jaringan Otak
2. Penurunan Curah Jantung (00029)
3. Kelebihan Voleme Cairan
4. Intoleran Aktivitas (00092
5. Ansietas (00146)
6. Hambatan Mobilitas Fisik (00085)
7. Defisit Perawatan Diri (mandi: 00108, berpakaian: 00109, makan: 000102,
eleminasi: 000110)
8. Risiko Cedera (00035)
9. Defisiensi Pengetahuan(00126)

K. INTERVENSI KEPERAWATAN
1. Ketidakefektifan Perfusi Jaringan Otak
NOC : (Status sirkulasi)
NIC :
a. Manajemen edema serebral (2540)
Monitor adanya kebingungan, perubahan pikiran, keluhan pusing,
pingsan.
Monitor status neurologi dengan ketat dan bandingkan dengan nilai
normal.
Monitor tanda-tanda vital.
Monitor karakteristik cairan serebrospinal: warna, kejernihan,
konsistensi.
Monitor CVP, PAWP, dan PAP sesuai kebutuhan.
Monitor TIK dan CPP.
Analisa pola TIK
Monitor status pernapasan: frekuensi, irama, kedalaman
pernapasan, PaO2, PCO2, pH, bikarbonat.
Monitor TIK pasien dan respon neurologi terhadap aktivitas
perawatan.
Kurangi stimulus dalam lingkungan pasien.
Rencanakan asuhan keperawatan untuk memberikan periode
istirahat.
Catat perubahan pasien dalam berespon terhadap stimulus.

18
Hindari fleksi leher, atau fleksi ekstrem pada lutut/panggul.
Hindari falsava manuver.
Kolaborasi: berikan pelunak feses.
Posisikan tinggi kepala tempat tidur 30 derajat.
Dorong keluarga atau orang yang penting untuk bicara pada pasien.
Batasi cairan.
Sesuaikan pengaturan ventilator untuk menjaga PaCO2 pada level
yang diresepkan.
Batasi suksion kurang dari 15 detik.
Monitor nilai laboratorium: osmolalitas serum dan urin, natrium,
kalium.
Lakukan latihan ROM pasif.
Monitor intake dan output.
Pertahankan suhu normal.
Kolaborasi: berikan diuretik osmotik atau active loop.
Lakukan tindakan pencegahan terjadinya kejang.
Buat sarana komunikasi: pertanyaan tertutup ya atau tidak,
sediakan papan tulis, kertas dan pensil, papan gambar.
b. Monitor tekanan intra kranial (2590)
Berikan informasi kepada pasien dan keluarga/orang penting
lainnya.
Atur alarm pemantau.
Rekam pembacaan TIK.
Monitor kualitas dan karakteristik gelombang TIK.
Monitor tekanan aliran darah otak.
Monitor status neurologis.
Monitor pasien TIK dan reaksi perawatan neurologis serta rangsang
lingkungan.
Monitor jumlah, nilai, dan karakteristik pengeluaran cairan
serebrospinal (CSF).
Pertahankan sterilitas sistem pemantauan.
Monitor tekanan selang untuk gelembung udara, atau adanya
bekuan darah.
Monitor suhu dan jumlah WBC.
Periksa pasien terkait ada tidaknya gejala kaku kuduk.
Kolaborasi: berikan antibiotik.

19
Sesuaikan kepala tempat tidur untuk mengoptimalkan perfusi
serebral.
Monitor efek rangsang lingkungan pada TIK.
Monitor tingkat CO2 dan pertahankan dalam parameter yang
ditentukan.
Jaga tekanan arteri sistemik dalam jangkauan tertentu.
Kolaborasi: berikan agen farmakologis untuk mempertahankan TIK
dalam jangkauan tertentu.
Beritahu dokter untuk peningkatan TIK yang tidak bereaksi sesuai
peraturan perawatan.

2. Penurunan Curah Jantung (00029)


NOC : (Keefektivan pompa jantung, status sirkulasi).
NIC :
a. Manajemen Asam Basa (1910)
Pertahankan kepatenan jalan napas.
Pertahankan kepatenan akses selang IV.
Monitor kecenderungan pH arteri, PaCO2, dan HCO3 untuk
mempertimbangkan jenis ketidakseimbangan yang terjadi.
Pertahankan pemeriksaan berkala, terhadap PH arteri dan plasma
elektrolit untuk membuat perencanaan perawatan yang akurat.
Monitor AGD, level serum, serta urin elektrolit (jika diperlukan).
Monitor komplikasi dan koreksi yang dilakukan terhadap
ketidakseimbangan asam basa.
Monitor adanya gejala gagal napas (rendahya PaO2, meningkatnya
level PaCO2, dan kelelahan otot pernapasan).
Monitor konsumsi oksigen (SvO2 dan avdO2).
Monitor status hemodinamik.
Sediakan dukungan ventilator mekanik (jika dibutuhkan).
Atasi demam dengan tepat.
Kolaborasi: berikan terapi oksigen sesuai kebutuhan.
b. Perawatan Jantung (4040)
Secara rutin mengecek pasien baik secara fisik dan psikologis
sesuai dengan kebijakan tiap agen/penyedia layanan.
Pastikan tingkat aktivitas pasien yang tidak membahayakan curah
jantungatau memprovokasi terjadinya serangan jantung.

20
Dorong adanya peningkatan aktivitas bertahap ketika kondisi pasien
seudah distabilkan.
Instruksikan pasien tentang pentingnya untuk segera melaporkan
bila merasakan nyeri dada.
Monitor EKG
Lakukan penilaian komprehensif pada sirkulasi perifer.
Monitor tanda-tanda vital secara rutin.
Monitor disritmia jantung, termasuk gangguan ritme dan konduksi
jantung.
Dokumentasikan disritmia jantung.
Monitor abdomen jika terdapat indikasi penurunan perfusi.
Monitor keseimbangan cairan, nilai laboratorium, fungsi pacemaker.
Evaluasi adanya perubahan tekanan darah.
Kolaborasi: pemberian obat antiaritmia.
Monitor respon pasien terhadap obat antiaritmia.
Instruksikan pasien dan keluarga mengenai terapi modalitas,
batasan aktivitas dan kemajuan.
Susun waktu latihan dan istirahat untuk mecegah kelelahan.
Monitor toleransi aktivitas pasien.
Monitor sesak napas, kelelahan, takipnea, dan ortopnea.
Identifikasi metode pasien dalam menangani stress dan berikan
dukungan teknik yang elektif dalam menangani stress.
Lakukan terapi relaksasi sebagaimana mestinya.
Rujuk ke program gagal jantung untuk dapat mengikuti program
edukasi pada rehabilitasi jantung, evaluasi dan dukungan yang
sesuai panduan untuk meningkatkan aktivitas dan membangun
hidup kembali.
Tawarkan dukungan spiritual kepada pasien dan keluarga.
c. Monitor Hemodinamik Invasif (4210)
Monitor tekanan darah (sistolik, diastolik dan rata-rata), tekanan
vena sentra/atrium kanan, tekanan arteri pulmonal, pulmonary
capillary/arteri wedge pressure.
Monitor gelombang hemodinamik untuk perubahan fungsi
kardiovaskular.
Bandingkan parameter hemodinamik dengan tanda dan gejala klinik
lain.

21
Monitor untuk dyspnea, kelelahan, takipnea dan ortopnea.
Jaga sterilisasi area.
Ganti cairan IV dan selang setiap 24-72 jam, sesuai protokol.

3. Kekurangan Volume Cairan


NOC :
NIC :
Auskultasi bunyi paru dan catat adanya ronkhi
Monitor tanda-tanda vital pasien
Observasi drajat edema pasien
Pantau intake dan output pasien
Lakukan perawatan mulut dan ajarkan manajemen rasa haus
Batasi cairan sesuai indikasi (intake= output urine + IWL)
Kolaborasi pemberian diuretik furosemid (ekstra)
Kolaborasi pemeriksaan laboratorium ureeum, kreatinin, natrium
serum, kalium, clorida, bicarbonate.
Kolaborasi pemeriksaan foto thoraks

4. Ansietas (00146)
NOC : (Status Kenyamanan)
NIC :
a. Pengurangan kecemasan
Gunakan pendekatan yang tenang dan meyakinkan.
Jelaskan semua prosedur termasuk sensasi yang akan dirasakan
yang mungkin akan dialami pasien selama prosedur dilakukan.
Berikan informasi faktual terkait diagnosis, perawatan dan
prognosis.
Berada di sisi pasien untuk meningkatkan rasa aman dan
mengurangi ketakutan.
Dorong keluarga untuk mendampingi pasien dengan cara yang
tepat.
Lakukan usapan pada punggung atau leher dengan cara yang
tepat.
Dengarkan klien.
Identifikasi pada saat terjadi perubahan tingkat kecemasan.
Kontrol stimulus untuk kebutuhan klien secara tepat.

22
Dukung penggunaan mekanisme koping yang sesuai.
Instruksikan klien untuk menggunakan teknik relaksasi.
Kolaborasi: penggunaan obat-batan untuk mengurangi kecemasan
secara tepat.
Kaji untuk tanda verbal dan non-verbal terhadap kecemasan.

5. Intoleran Aktivitas (00092)


NOC :
NIC :
a. Manajemen energi (0180)
Pilih intervensi untuk mengurangi kelelahan baik secara
farmakologis maupun non-famakologis dengan tepat.
Monitor intake/asupan nutrisi untuk mengetahui sumber energi yang
adekuat.
Kolaborasi: perbaiki status fisiologis sebagai prioritas utama.
Monitor sistem kardiorespirasi pasien selama perawatan.
Monitor/catat lama waktu istrahat pasien.
Bantu pasien memprioritaskan kegiatan untuk mengakomodasi
energi yang diperlukan.
Buat batasan aktivitas pasien.
Batasi stimulasi lingkungan.
Batasi jumlah gangguan dan pengunjung, dengan tepat.
Lakukan ROM aktif/pasif untuk menghilangkan ketegangan otot.
Tawarkan bantuan untuk meningkatkan tidur (misalnya: musik atau
obat).
Hindari kegiatan perawatan selama jam istrahat pasien.
Instruksikan pasien untuk menghubungi tenaga kesehatan jika
tanda dan gejala kelelahan tidak berkurang.

23
DAFTAR PUSTAKA

Alpert, Joseph S. 2002. Manual of cardiovascular dianosis and therapy 5th Ed. USA:
Lippincott Williams & Wilkins Inc.

Alspach, Joann Grif. 2006. Core curriculum for critical care nursing. Missouri: Elsevier Inc.
dan clinical pathway (cp) penyakit jantung dan pembuluh darah.

Anderson, Craig. 2016. The guideline for the diognosis and management of hypertension in
adult. Melbourne: National Heart Foundation of Australia

David, Suresh S. 2016. Clinical pathway in emergency medicine. India: Springer Nature

Devicaesaria, Asnelia. Hipertensi Krisis. Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran


Universitas Indonesia, 27 (3), 10.

Huda, Nuh. 2013. Effektiveness of head up 300 to improve cerebral perfusion in patient post
op trepanation.

Kahan, Scott. 2009. In a page sign and symptoms. USA: Lippincott Williams & Wilkins Inc.

Kaplan, Norman M. 2006. Kaplans clinical hypertension 9th Ed. USA: Lippincott Williams &
Wilkins Inc.

Kluwer, Wolters. 2013. Professional guide to disease 10th Ed. China: Lippincott Williams &
Wilkins Inc.

Majid, Abdul. 2004. Krisis hipertensi: aspek klinis dan pengobatan.

Morton, Patricia Gonce, et al. 2005. Critical nursing: a holistic approach, 8th Ed. USA:
Lippincott Williams & Wilkins Inc.

Morton, Patrisia Gonce, et al. 2013. Critical nursing: a holistic approach, 10th Ed. USA:
Lippincott Williams & Wilkins Inc.

Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. 2015. Pedoman tatalaksana


hipertensi pada penyakit kardiovaskular dari
http://www.inaheart.org/upload/file/Pedoman_TataLaksna_hipertensi_pada_penyaki
t_Kardiovaskular_2015.pdf

Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. 2016. Panduan praktik klinis dan
clinical pathway penyakit jantung dan pembuluh darah.

Pregler, Janet P. 2002. Womens health: principles and clinical practice. Canada: BC Decker
inc.

Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI. 2014. Hipertensi dari
www.depkes.go.id/download.php?file=download/pusdatin/infodatin/

Sunardi. 2008. Manajemen peningkatan tekanan intrakranial, valsava maneuver, dan


pengikatan dari www.cja.csa.org/cgi/content/full/47/5/415

24
Urden, Linda D., et al. 2010. Critical care nursing: diagnosis and management. Missouri:
Elsevier Inc.

25

Anda mungkin juga menyukai