Anda di halaman 1dari 53

LANDASAN TEORI

1. Definisi Hipertensi

Hipertensi dapat didefinisikan sebagai tekanan darah persisten

dengan tekanan sistolik di atas 140 mmHg dan tekanan darah diastolik di

atas 90 mmHg. Populasi manula, hipertensi didefinisikan sebagai tekanan

sistolik ≥ 160 mmHg dan tekanan diastolik ≥ 90 mmHg (Aspiani, 2016 :

211). Sedangkan menurut Kushariyadi (2008) menyatakan bahwa

hipertensi adalah suatu keadaan ketika seseorang mengalami peningkatan

tekanan darah di atas normal yang mengakibatkan peningkatan angka

kesakitan (morbiditas) dan angka kematian (mortalitas). Menurut WHO,

batasan tekanan darah yang masih dianggap normal adalah 140/90

mmHg, sedangkan tekanan darah ≥ 160/95 mmHg dinyatakan sebagai

hipertensi. Batasan WHO tersebut tidak membedakan usia dan jenis

kelamin (Udjianti, 2010 : 101). Kaplan memberikan batasan hipertensi

dengan memperhatikan usia dan jenis kelamin (Udjianti, 2010 : 101-

102).

a. Pria berusia < 45 tahun, dikatakan hipertensi bila tekanan darah pada

waktu berbaring ≥ 130/90 mmHg.

b. Pria berusia > 45 tahun, dikatakan hipertensi bila tekanan darahnya >

145/95 mmHg.

c. Wanita, hipertensi bila tekanan darah ≥ 160/95 mmHg.


Perjalanan penyakit hipertensi sangat perlahan dan mungkin klien

tidak menunjukkan gejala selama bertahun-tahun sampai terjadi

kerusakan organ yang bermakna (silent killer). Hipertensi merupakan

penyakit akibat gangguan sirkulasi darah yang masih menjadi masalah

dalam kesehatan di masyarakat. Semakin tinggi tekanan darah semakin

besar resikonya (Price & Wilson, 2006). Bila klien kurang atau bahkan

belum mendapatkan penatalaksanaan yang tepat dalam mengontrol

tekanan darah, maka angka mordibitas dan mortalitas akan semakin

meningkat dan masalah kesehatan dalam masyarakat semakin sulit untuk

diperbaiki (Suwardianto, 2011).

2. Klasifikasi Hipertensi

Klasifikasi hipertensi pada klien berusia ≥ 18 tahun oleh The Joint

National Committee VII (JNC VII) on Prevention, Detection, Evaluation

and Treatment of High Blood Pressure adalah sebagai berikut

(Puspitorini, 2009 : 9).

Tabel 2.1

Klasifikasi Tekanan Darah Menurut JNC VII

KATEGORI SISTOLIK (mmHg) DIASTOLIK (mmHg)


Normal <120 <80
Prahipertensi 120 – 139 80 – 89
Hipertensi ≥140 ≥90
Stadium 1 140 - 159 90 - 99
Stadium 2 160 - ≥180 100 - ≥110
Menurut Aspiani (2016 : 211) Joint Nation Comitten on Detection

Evolution and Treatment of High Blood Presure, badan penelitian

hipertensi di Amerika Serikat, menentukan batasan tekanan darah yang

berbeda. Tahun 1993 dikenal dengan sebutan JPC-V, tekanan darah pada

orang dewasa berusia 18 tahun diklasifikasikan sebagai berikut.

Tabel 2.2

Kriteria Hipertensi Menurut JPC-V AS

No. Kriteria Tekanan darah


Sistolik Diastolik
1. Normal <130 <85
2. Perbatasan (high normal) 130 – 139 85 – 89
3. Hipertensi
Derajat 1 : ringan 140 – 159 90 – 99
Derajat 2 : sedang 160 – 179 100 – 109
Derajat 3 : berat 180 – 209 110 – 119
Derajat 4 : sangat berat ≥210 ≥120

3. Etiologi Hipertensi

Hipertensi berdasarkan penyebabnya dapat dibedakan menjadi 2

golongan besar, yaitu :

a. Hipertensi Essensial atau Hipertensi Primer

Menurut Ardiansyah (2012) hipertensi primer yaitu hipertensi

yang tidak diketahui penyebabnya. Hipertensi primer terdapat pada

lebih dari 90% klien dengan hipertensi. Meskipun hipertensi primer

belum diketahui dengan pasti penyebabnya, data-data penelitian

telah menemukan beberapa faktor yang sering menyebabkan

terjadinya hipertensi, antara lain :


1) Faktor keturunan atau genetik; individu yang mempunyai

riwayat keluarga dengan hipertensi, beresiko lebih tinggi untuk

mendapatkan penyakit ini ketimbang mereka yang tidak.

2) Jenis kelamin dan usia; laki-laki berusia 35-50 tahun dan wanita

pasca menopause beresiko tinggi untuk mengalami hipertensi.

3) Diet; konsumsi diet tinggi garam atau kandungan lemak, secara

langsung berkaitan dengan berkembangnya penyakit hipertensi.

4) Berat badan atau obesitas (>25% di atas BB ideal) juga sering

dikaitkan dengan berkembangnya hipertensi.

5) Gaya hidup merokok dan konsumsi alkohol dapat meningkatkan

tekanan darah (bila gaya hidup yang tidak sehat tersebut tetap

diterapkan).

b. Hipertensi Sekunder

Hipertensi sekunder yaitu hipertensi yang disebabkan oleh

penyakit lain. Sekitar 5-10% dari klien yang mengalami hipertensi

sekunder. Beberapa gejala atau penyakit yang menyebabkan

hipertensi jenis ini antara lain :

1) Coarctation aorta, yaitu penyempitan aorta congenital yang

(mungkin) terjadi pada beberapa tingkat aorta torasik atau aorta

abdominal. Penyempitan ini menghambat aliran darah melalui

lengkung aorta dan mengakibatkan peningkatan tekanan darah

di atas area konstriksi.


2) Penyakit parenkim dan vascular ginjal.

Penyakit ini merupakan penyebab utama hipertensi

sekunder. Hipertensi renovaskular berhubungan dengan

penyempitan satu atau lebih arteri besar, yang secara langsung

membawa darah ke ginjal. Sekitar 90% lesi arteri renal pada

klien dengan hipertensi disebabkan oleh arterosklerosis atau

fibrous dysplasia (pertumbuhan abnormal jaringan fibrous).

Penyakit parenkim ginjal terkait dengan infeksi, inflamasi, serta

perubahan struktur serta fungsi ginjal.

3) Penggunaan kontrasepsi hormonal (estrogen).

Oral kontrasepsi yang berisi estrogen dapat menyebabkan

hipertensi melalui mekanisme rennin-aldosteron-mediate

volume expansion. Dengan penghentian oral kontrasepsi,

tekanan darah kembali normal setelah beberapa bulan (Udjianti,

2010 : 107).

4) Gangguan endokrin.

Disfungsi medulla adrenal atau korteks adrenal dapat

menyebabkan hipertensi sekunder. Adrenal-mediate

hypertension disebabkan kelebihan primer aldosteron, kortisol,

dan katekolamin. Kelebihan aldosteron pada aldosteron primer

menyebabkan hipertensi dan hipokalemia. Aldosteonisme

primer biasanya timbul dari adenoma korteks adrenal yang

benign (jinak). Pheochromocytomas pada medulla adrenal yang


paling umum dan meningkatkan sekresi katekolamin yang

berlebihan (Ardiansyah, 2012 : 61).

5) Kegemukan (obesitas) dan gaya hidup yang tidak aktif (malas

berolahraga).

6) Stress yang cenderung menyebabkan kenaikan tekanan darah

untuk sementara waktu. Jika stress telah berlalu, maka tekanan

darah biasanya akan kembali normal.

7) Kehamilan

Hipertensi akibat kehamilan atau hipertensi gestasional adalah

peningkatan tekanan darah (≥ 140 mmHg pada sistolik; > 90

mmHg pada diastolik) terjadi setelah usia kehamilan 20 minggu

pada wanita non-hipertensi dan membaik dalam 12 minggu

pascapartum (Aspiani, 2016 : 213).

8) Peningkatan volume intravascular

9) Merokok.

Nikotin dalam rokok dapat merangsang pelepasan

katekolamin. Peningkatan katekolamin ini mengakibatkan

iritabilitas miokardial, peningkatan denyut jantung, serta

menyebabkan vasokonstriksi yang kemudian meningkatkan

tekanan darah (Ardiansyah, 2012 : 61-62).


4. Gambaran Klinis Hipertensi

Menurut Puspitorini (2009 : 20-21) gejala hipertensi yang dapat

timbul antara lain : sakit kepala; kelelahan; mual / muntah; sesak napas,

napas pendek (terengah-engah); gelisah; pandangan menjadi kabur, mata

berkunang-kunang; mudah marah; telinga berdengung; sulit tidur; rasa

berat di tengkuk, nyeri di daerah kepala bagian belakang; nyeri di dada;

otot lemah; pembengkakan pada kaki, dan pergelangan kaki; keringat

berlebihan; kulit tampak pucat atau kemerahan; denyut jantung yang

kuat, cepat, atau tidak teratur; impotensi; darah di urine; dan mimisan

(jarang dilaporkan).

Ardiansyah (2012 : 66-67) menyebutkan bahwa sebagian

manifestasi klinis timbul setelah klien mengalami hipertensi selama

bertahun-tahun. Gejalanya berupa :

a. Nyeri kepala saat terjaga, terkadang disertai mual dan muntah akibat

peningkatan tekanan darah intrakranium;

b. Penglihatan kabur karena terjadi kerusakan pada retina sebagai

dampak dari hipertensi;

c. Ayunan langkah yang tidak mantap karena terjadi kerusakan susunan

saraf pusat;

d. Nokturia (sering berkemih di malam hari) karena adanya

peningkatan aliran darah ginjal dan filtrasi glomerulus; dan

e. Edema dependen dan pembengkakan akibat peningkatan tekanan

kapiler.
Gejala yang dialami klien dengan kasus hipertensi berat antara lain

sakit kepala (rasa berat di tengkuk), palpitasi, kelelahan, nausea, muntah-

muntah, kegugupan, keringat berlebihan, tremor otot, pandangan kabur

atau ganda, tinnitus (telinga mendenging), serta kesulitan tidur.

Sementara menurut Kurniadi & Nurrahmani (2014) banyak klien

dengan hipertensi tidak mempunyai tanda-tanda yang menunjukkan

tekanan darah meninggi dan hanya akan terdeteksi pada saat pemeriksaan

fisik. Sakit kepala di tengkuk merupakan ciri yang sering terjadi pada

hipertensi berat. Gejala lainnya adalah pusing, palpitasi (berdebar-debar),

dan mudah lelah. Namun, gejala-gejala tersebut kadang tidak muncul

pada beberapa klien, bahkan pada beberapa kasus klien dengan tekanan

darah tinggi biasanya tidak merasakan apa-apa. Peninggian tekanan darah

kadang-kadang merupakan satu-satunya gejala. Bila demikian, gejala

baru akan muncul setelah terjadi komplikasi pada ginjal, mata, otak, atau

jantung.

5. Pemeriksaan Penunjang

Menurut Aspiani (2016 : 217-218) pemeriksaan penunjang pada

klien hipertensi antara lain :

a. Laboratorium

1) Albuminuria pada hipertensi karena kelainan parenkim ginjal

2) Kreatinin serum dan BUN (Blood Urea Nitrogen) meningkat

pada hipertensi karena parenkim ginjal dengan gagal ginjal akut


3) Darah perifer lengkap

4) Kimia darah (kalium, natrium, kreatinin, gula darah puasa)

b. EKG

1) Hipertrofi ventrikel kiri

2) Iskemia atau infark miokard

3) Peninggian gelombang P

4) Gangguan konduksi

c. Foto Rontgen

1) Bentuk dan besar jantung

2) Pembendungan, lebarnya paru

3) Hipertrofi parenkim ginjal

4) Hipertrofi vascular ginjal

Sedangkan menurut Udjianti (2010 : 109-110), studi diagnostik

yang dilakukan kepada klien dengan hipertensi adalah sebagai berikut :

a. Hitung darah lengkap (Complete Blood cells Count) meliputi

pemeriksaan hemoglobin, hematokrit untuk menilai viskositas dan

indicator faktor risiko seperti hiperkoagulabilitas, anemia.

b. Kimia darah

1) BUN (Blood Urea Nitrogen), kreatinin : peningkatan kadar

menandakan penurunan perfusi atau faal renal.

2) Serum glukosa : hiperglisemia (diabetes melitus adalah

presipitator hipertensi) akibat dari peningkatan kadar

katekolamin.
3) Kadar kolesterol atau trigliserida : peningkatan kadar

mengindikasikan predisposisi pembentukan plaque atheromatus.

4) Kadar serum aldosteron : menilai adanya aldosteronisme primer.

5) Studi tiroid (T3 dan T4) : menilai adanya hipertiroidisme yang

berkontribusi terhadap vasokonstriksi dan hipertensi.

6) Asam urat : hiperuricemia merupakan implikasi faktor risiko

hipertensi.

c. Elektrolit

1) Serum potassium atau kalium (hipokalemia mengindikasikan

adanya aldosteronisme atau efek samping terapi diuretik).

2) Serum kalsium bila meningkat berkontribusi terhadap hipertensi.

d. Urine

1) Analisis urine adanya darah, protein, glukosa dalam urine

mengindikasikan disfungsi renal atau diabetes.

2) Urine VMA (Vanillylmandelic acid) : peningkatan kadar

mengindikasikan adanya pheochromacytoma.

3) Steroid urine : peningkatan kadar mengindikasikan

hiperadrenalisme, pheochromacytoma, atau disfungsi pituitary,

Sindrom Cushing’s; kadar rennin juga meningkat.

e. Radiologi

1) Intra Venous Pyelografi (IVP) : mengidentifikasi penyebab

hipertensi seperti renal pharenchymal disease, urolithiasis,

Benign Prostate Hyperplasia (BPH).


2) Rontgen toraks : menilai adanya klasifikasi obstruktif katup

jantung, deposit kalsium pada aorta, dan pembesaran jantung.

f. EKG (Elektrokardiogram) : menilai adanya hipertrofi miokard, pola

strain, gangguan konduksi atau disritmia.

6. Penatalaksanaan Hipertensi

Menurut Padila (2013 : 363), tujuan pengobatan hipertensi tidak

hanya menurunkan tekanan darah saja tetapi juga mengurangi dan

mencegah komplikasi akibat hipertensi agar klien bertambah kuat.

Pengobatan hipertensi umumnya perlu dilakukan seumur hidup klien.

Pengobatan standar yang dianjurkan oleh Komite Dokter Ahli Hipertensi

(Joint National Committee on Detection, Evaluation and Treatment of

High Blood Pressure, USA, 1988) menyimpulkan bahwa obat diuretika,

penyekat beta, antagonis kalsium, atau penghambat ACE dapat

digunakan sebagai obat tunggal pertama dengan memperhatikan keadaan

klien dan penyakit lain yang ada pada klien.

Menurut Ardiansyah (2012 : 68-69), langkah awal secara

nonfarmakologis biasanya adalah dengan mengubah pola hidup klien,

yakni dengan cara :

a. Menurunkan berat badan sampai batas ideal,

b. Mengubah pola makan pada klien dengan diabetes, kegemukan, atau

kadar kolesterol darah tinggi,


c. Mengurangi pemakaian garam sampai kurang dari 2,3 gram natrium

atau 6 gram natrium klorida setiap harinya (disertai dengan asupan

kalsium, magnesium, dan kalium yang cukup),

d. Mengurangi konsumsi alkohol,

e. Berhenti merokok, dan

f. Olahraga aerobik yang tidak terlalu berat (klien dengan hipertensi

essensial tidak perlu membatasi aktivitasnya selama tekanan

darahnya terkendali).

Pengaturan menu bagi klien dengan hipertensi selama ini dilakukan

dengan empat cara, yakni diet rendah garam, diet rendah kolesterol dan

lemak terbatas, diet tinggi serat, dan diet rendah energi (bagi yang

kegemukan). Kini, bertambah satu cara diet pada klien hipertensi yang

disebut dengan DASH (Dietary Approach to Stop Hypertension). Prinsip

utama dari diet DASH adalah menyajikan menu makanan dengan gizi

seimbang yang terdiri atas buah-buahan, sayuran, produk-produk susu

tanpa atau sedikit lemak, ikan, daging unggas, biji-bijian, dan kacang-

kacangan (Puspitorini, 2009 : 55).

7. Komplikasi Hipertensi

Hipertensi dapat berpotensi menjadi komplikasi berbagai penyakit.

Menurut buku Penyakit Kardiovaskular karya Edward K. Chung,

komplikasi hipertensi di antaranya adalah stroke hemorragik, penyakit


jantung hipertensi, penyakit arteri koronaria, aneurisma, gagal ginjal, dan

ensefalopati hipertensi (Shanty, 2011).

Hampir 70% kasus stroke hemorragik terjadi pada klien hipertensi.

Hal ini dikarenakan hipertensi dapat menyebabkan tekanan yang lebih

besar pada dinding pembuluh darah sehingga dinding pembuluh darah

menjadi lemah dan pembuluh darah akan mudah pecah. Pecahnya

pembuluh darah di otak dapat menyebabkan sel-sel otak yang seharusnya

mendapatkan asupan oksigen dan nutrisi yang dibawa melalui pembuluh

darah tersebut kekurangan nutrisi dan akhirnya mati. Darah yang keluar

dari pembuluh darah yang pecah juga dapat merusak sel-sel otak yang

berada di sekitarnya (Shanty, 2011).

Penyakit jantung koroner sering dialami klien hipertensi sebagai

akibat terjadinya pengapuran pada dinding pembuluh darah jantung.

Penyempitan lubang pembuluh darah jantung menyebabkan

berkurangnya aliran darah pada beberapa bagian otot jantung. Hal ini

menyebabkan rasa nyeri di dada dan dapat berakibat gangguan pada otot

jantung. Bahkan, dapat menyebabkan timbulnya serangan jantung

(Samtosa, 2014). Dapat juga terjadi infark miokardium apabila arteri

koroner yang mengalami aterosklerotik tidak dapat menyuplai cukup

oksigen ke miokardium atau apabila terbentuk thrombus yang dapat

menghambat aliran darah melalui pembuluh tersebut. Karena terjadi

hipertensi kronik dan hipertrofi ventrikel, maka kebutuhan oksigen

miokardium tidak dapat dipenuhi dan dapat terjadi iskemia jantung yang
menyebabkan infark. Demikian juga, hipertrofi ventrikel dapat

menimbulkan perubahan-perubahan waktu hantaran listrik saat melintasi

ventrikel, sehingga terjadi disritmia, hipoksia jantung, dan peningkatan

risiko pembentukan bekuan darah (Ardiansyah, 2012 : 69-70).

Pembuluh darah terdiri dari beberapa lapisan, tetapi ada yang

terpisah sehingga ada ruangan yang memungkinkan darah masuk.

Pelebaran pembuluh darah bisa timbul karena dinding pembuluh darah

aorta terpisah atau disebut aorta disekans. Hal ini dapat menimbulkan

penyakit aneurisma. Gejalanya adalah sakit kepala yang hebat serta sakit

di perut sampai ke pinggang belakang dan di ginjal. Aneurisma pada

perut dan dada penyebab utamanya pengerasan dinding pembuluh darah

karena proses penuaan (aterosklerosis) dan tekanan darah tinggi memicu

timbulnya aneurisma (Shanty, 2011).

Hipertensi juga dapat menyebabkan gagal ginjal karena kerusakan

progresif akibat tekanan tinggi pada kapiler-kapiler glomerulus.

Rusaknya glomerulus mengakibatkan darah akan mengalir ke unit-unit

fungsional ginjal, neuron akan terganggu, dan dapat berlanjut menjadi

hipoksik dan kematian. Rusaknya membran glomerulus mengakibatkan

protein keluar melalui urine, sehingga tekanan osmotic koloid plasma

berkurang. Hal ini menyebabkan edema yang sering dijumpai pada

hipertensi kronik (Ardiansyah, 2012 : 70-71).

Ensefalopati (kerusakan otak) dapat terjadi terutama pada hipertensi

maligna (hipertensi yang meningkat cepat). Tekanan yang sangat tinggi


akibat kelainan ini menyebabkan peningkatan tekanan kapiler dan

mendorong cairan ke dalam ruang intertisium di seluruh susunan saraf

pusat. Akibatnya, neuron-neuron di sekitarnya menjadi kolaps dan terjadi

koma serta kematian (Ardiansyah, 2012 : 71).

Kejang dapat terjadi pada wanita preeklampsia. Bayi yang lahir

mungkin memiliki berat lahir kecil akibat perfusi plasenta yang tidak

adekuat, kemudian dapat mengalami hipoksia dan asidosis jika ibu

mengalami kejang selama atau sebelum proses persalinan (Aspiani, 2016

: 220).

B. Konsep Nyeri pada Hipertensi

1. Definisi Nyeri

Nyeri adalah pengalaman sensori dan emosional yang tidak

menyenangkan akibat dari kerusakan jaringan yang aktual atau potensial.

Definisi keperawatan tentang nyeri adalah apapun yang menyakitkan

tubuh yang dikatakan klien yang mengalaminya, yang ada kapanpun

klien mengatakannya (Smeltzer, 2013 : 212). McCaffery mendefinisikan

nyeri sebagai segala hal yang dikatakan oleh orang yang mengalami

nyeri dan terjadi kapan saja orang tersebut mengatakan bahwa ia

merasakan nyeri (Berman, Snyder, Kozier, Erb, 2009 : 414).

Nyeri kepala adalah perasaan sakit atau nyeri, termasuk rasa tidak

nyaman yang menyerang bagian tengkorak (kepala) mulai dari kening ke

arah atas dan belakang kepala dan bagian wajah (Wiyoto, 2011).
2. Klasifikasi Nyeri

Klasifikasi nyeri adalah sebagai berikut :

a. Nyeri berdasarkan durasi

1) Nyeri akut

Nyeri akut adalah nyeri yang terjadi setelah cidera akut,

penyakit, atau intervensi bedah yang memiliki awitan yang

cepat, dengan intensitas yang bervariasi (ringan sampai berat)

dan berlangsung untuk waktu singkat. Nyeri akut dapat

dijelaskan sebagai nyeri yang berlangsung dari beberapa detik

hingga 6 bulan (Smeltzer, 2013 : 213).

2) Nyeri kronik

Nyeri kronik adalah nyeri konstan atau intermiten yang menetap

sepanjang suatu periode tertentu. Nyeri ini berlangsung di luar

waktu penyembuhan yang diperkirakan dan sering tidak dapat

dikaitkan dengan penyebab atau cedera spesifik (Smeltzer, 2013

: 213).

b. Nyeri berdasarkan asal

1) Nyeri Kutaneus

Nyeri kutaneus berasal dari kulit atau jaringan subkutan.

2) Nyeri Somatik Dalam

Nyeri somatik dalam berasal dari ligamen, tendon, tulang,

pembuluh darah, dan saraf. Nyeri tersebut menyebar dan

cenderung berlangsung lebih lama dibandingkan nyeri kutaneus.


3) Nyeri Viseral

Nyeri viseral dihasilkan dari stimulasi reseptor nyeri di rongga

abdomen, kranial, dan toraks. Nyeri viseral cenderung menyebar

dan kadang terasa seperti nyeri somatik dalam yaitu terasa

terbakar, gatal, atau terasa seperti ada tekanan. Nyeri viseral

seringkali disebabkan oleh meregangnya jaringan, iskemia, atau

spasme otot (Berman, Snyder, Kozier, Erb, 2009 : 414-415).

c. Nyeri berdasarkan lokasi atau tempat

1) Nyeri Radiasi

Nyeri radiasi (nyeri yang menyebar) dirasakan pada tempat

sumber nyeri dan menyebar ke jaringan sekitarnya.

2) Nyeri Alih

Nyeri alih adalah nyeri yang dirasakan pada bagian tubuh yang

jauh dari jaringan yang menyebabkan nyeri.

3) Nyeri yang Tidak Dapat Dilacak (Intractable pain)

Nyeri yang tidak dapat dilacak adalah nyeri yang sangat sulit

diatasi.

4) Nyeri Neuropatik

Nyeri neuropatik disebabkan oleh kerusakan sistem saraf pusat

atau tepi yang terjadi saat ini atau masa lalu dan mungkin tidak

memiliki stimulus nyeri, seperti pada kerusakan jaringan atau

saraf. Nyeri neuropatik berlangsung lama, tidak menyenangkan,


dan dapat digambarkan sebagai rasa terbakar, tumpul, dan gatal;

nyeri tajam, seperti ditembak dapat juga dirasakan.

5) Nyeri Phantom

Nyeri phantom adalah sensasi sangat menyakitkan yang dirasa

pada bagian tubuh yang hilang atau yang mengalami paralisis

karena cedera medulla spinalis, juga merupakan contoh nyeri

neuropatik. Nyeri neuropatik dapat dibedakan dari sensasi

phantom, yaitu perasaan bahwa bagian tubuh yang hilang masih

tetap ada (Berman, Snyder, Kozier, Erb, 2009 : 415).

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Respon Nyeri

a. Etnis dan Nilai Budaya

Latar belakang etnis dan warisan budaya telah lama diketahui

sebagai faktor yang mempengaruhi reaksi dan ekspresi seseorang

terhadap nyeri. Perilaku yang berhubungan dengan nyeri adalah

bagian dari proses sosialisasi.

b. Tahap Perkembangan

Usia dan tahap perkembangan klien adalah variabel penting yang

akan mempengaruhi reaksi maupun ekspresi klien terhadap rasa

nyeri.

c. Lingkungan dan Individu Pendukung

Lingkungan yang asing seperti rumah sakit, dengan kebisingan,

cahaya, dan aktivitasnya, dapat menambah nyeri. Selain itu, orang


kesepian yang tidak mempunyai individu pendukung dapat

merasakan nyeri hebat, sebaliknya orang yang memiliki individu

pendukung di sekitarnya merasakan sedikit nyeri. Beberapa orang

lebih suka menarik diri ketika merasa nyeri, sebaliknya yang lain

lebih menyukai distraksi dari orang lain dan aktivitas di sekitarnya.

Keluarga yang menjadi pemberi asuhan dapat menjadi pendukung

yang penting untuk orang yang sedang merasakan nyeri.

d. Pengalaman Nyeri Sebelumnya

Pengalaman nyeri sebelumnya mengubah sensitivitas klien

terhadap nyeri. Orang yang sudah pernah mengalami nyeri atau telah

terpajan klienan orang dekatnya yang mengalami nyeri sering kali

merasa lebih terancam terhadap nyeri yang diantisipasi dibandingkan

orang yang tidak memiliki pengalaman nyeri.

e. Makna Nyeri

Beberapa klien mungkin lebih siap menerima nyeri dibandingkan

dengan klien lain, hal ini bergantung pada kondisi dan interpretasi

klien terhadap makna nyeri tersebut. Seorang klien yang

menghubungkan nyeri dengan hasil akhir positif dapat menahan

nyeri dengan sangat mengagumkan. Sebaliknya, klien dengan nyeri

kronis yang menetap mungkin teramat sangat menderita. Mereka

mungkin akan berespons putus asa, cemas, dan depresi sebab mereka

tidak dapat mengambil makna atau tujuan yang positif dari nyerinya.
f. Kecemasan dan Stress

Kecemasan sering disertai nyeri. Ancaman karena ketidaktahuan

dan ketidakmampuan mengontrol nyeri atau kejadian di sekitarnya

sering menambah persepsi nyeri. Keletihan juga mengurangi

kemampuan seseorang untuk mengatasi nyeri, sehingga

meningkatkan persepsi nyeri (Berman, Snyder, Kozier, Erb, 2009 :

416-418).

4. Penilaian Respon Intensitas Nyeri

a. Skala Intensitas Nyeri Deskriptif Sederhana

Skala intensitas nyeri deskriptif sederhana merupakan skala di

mana sepanjang garis terdapat derajat nyeri dimulai dengan ujung

kiri yaitu “tidak ada nyeri”, “nyeri ringan”, “nyeri sedang”, “nyeri

hebat”, “nyeri sangat hebat”, dan ujung kanan “nyeri paling hebat”.

Klien tinggal memilih mana yang sesuai dengan nyeri yang ia

rasakan.
b. Skala Intensitas Nyeri Numerik

Sebagian besar skala menggunakan rentang 0-5 atau 0-10

dengan 0 mengindikasikan “tidak nyeri” dan nomor yang tertinggi

mengindikasikan “kemungkinan nyeri terhebat” bagi individu

tersebut (Berman, Snyder, Kozier, Erb, 2009 : 420)

5. Patofisiologi

Mekanisme yang mengontrol konstriksi dan relaksasi pembuluh

darah terletak di pusat vasomotor pada medulla di otak. Bermula jaras

saraf simpatis dari pusat vasomotor ini, yang berlanjut ke bawah ke korda

spinalis dan ke luar dari kolumna medulla spinalis ke ganglia simpatis di

toraks dan abdomen. Rangsangan pusat vasomotor dihantarkan dalam

bentuk impuls yang bergerak ke bawah melalui system saraf simpatis ke

ganglia simpatis. Titik ini neuron pre-ganglion melepaskan asetilkolin,

yang akan merangsang serabut saraf pasca ganglion ke pembuluh darah,


di mana dengan dilepaskannya norepinefrin mengakibatkan konstriksi

pembuluh darah. Berbagai faktor seperti kecemasan dan ketakutan dapat

mempengaruhi respons pembuluh darah terhadap rangsang

vasokonstriktor. Klien dengan hipertensi sangat sensitif terhadap

norepinefrin, meskipun tidak diketahui dengan jelas mengapa hal

tersebut dapat terjadi (Aspiani, 2016 : 214).

Saat bersamaan di mana sistem saraf simpatis merangsang pembuluh

darah sebagai respons rangsang emosi, kelenjar adrenal juga terangsang,

mengakibatkan tambahan aktivitas vasokonstriksi. Medulla adrenal

mensekresi epinefrin, yang menyebabkan vasokonstriksi. Korteks adrenal

mensekresi kortisol dan steroid lainnya, yang dapat memperkuat respons

vasokonstriktor pembuluh darah. Vasokonstriksi yang mengakibatkan

penurunan aliran ke ginjal, menyebabkan pelepasan rennin. Rennin

merangsang pembentukan angiotensin I yang kemudian diubah menjadi

angiotensin II, suatu vasokonstriktor kuat, yang pada gilirannya

merangsang sekresi aldosteron oleh korteks adrenal. Hormone ini

menyebabkan retensi natrium dan air oleh tubulus ginjal, menyebabkan

peningkatan volume intravaskuler. Semua faktor ini cenderung

mencetuskan keadaan hipertensi (Brunner & Suddarth dalam Padila,

2013).

Menurut Price & Wilson dalam Setyawan (2014) nyeri kepala pada

klien hipertensi disebabkan karena kerusakan vaskuler akibat dari

hipertensi pada seluruh pembuluh perifer. Perubahan struktur dalam


arteri-arteri kecil dan arteriola menyebabkan penyumbatan pembuluh

darah. Bila pembuluh darah menyempit maka aliran arteri akan

terganggu. Jaringan yang terganggu akan terjadi penurunan O2 (oksigen)

dan peningkatan CO2 (karbondioksida) kemudian terjadi metabolisme

anaerob dalam tubuh yang meningkatkan asam laktat dan menstimulasi

peka nyeri kapiler pada otak.

Menurut Kowalak, Welsh, dan Mayer (2012 : 180) tekanan darah

arteri merupakan produk total atau hasil dari resistensi perifer dan curah

jantung. Curah jantung meningkat karena keadaan yang meningkatkan

frekuensi jantung, volume sekuncup atau keduanya. Resistensi perifer

meningkat karena faktor-faktor yang meningkatkan viskositas darah atau

yang menurunkan ukuran lumen pembuluh darah, khususnya pembuluh

arteriol yang mengakibatkan restriksi aliran darah ke organ organ penting

dan dapat terjadi kerusakan. Hal tersebut mengakibatkan spasme pada

pembuluh darah (arteri) dan penurunan O2 (oksigen) yang akan berujung

pada nyeri kepala atau distensi dari struktur di kepala atau leher.

Nyeri kepala pada hipertensi berhubungan dengan peningkatan

volume darah serebral yang terjadi karena adanya peningkatan daya kerja

jantung dalam memompa darah ke seluruh tubuh sehingga terjadi

peningkatan tekanan pada pembuluh darah di otak yang menekan serabut

saraf di otak sehingga menyebabkan nyeri kepala. Autoregulasi vaskular

adalah suatu proses yang mempertahankan perfusi jaringan dalam tubuh

relatif konstan. Jika aliran berubah, proses autoregulasi akan menurunkan


tahanan vaskuler dengan mengakibatkan pengurangan aliran, sebaliknya

akan meningkatkan tahanan vaskuler sebagai akibat dari peningkatan

aliran (Price & Wilson, 2006).

Menurut Guyton (1994) bila tekanan darah menjadi terlalu tinggi,

reseptor khusus yang disebut baroreseptor akan ditingkatkan. Reseptor

tersebut terletak di dinding aorta dan arteri karotis interna. Baroreseptor

kemudian mengirimkan sinyal ke medulla oblongata di batang otak.

Media dikirimkan sinyal melalui susunan saraf otonom yang

menyebabkan (a) perlambatan jantung, (b) pengurangan kekuatan

kontraksi jantung, (c) dilatasi arteriol, dan (d) dilatasi vena besar.

Kesemuanya bekerja sama untuk menurunkan tekanan arteri ke arah

normal.
6. Pathway Hipertensi

Faktor predisposisi
(umur, jenis kelamin,gaya hidup, obesitas)

Merangsang pusat vasomotor

Merangsang neuron pre ganglion untuk melepaskan asetilkolin

Merangsang serabut pasca-ganglion ke pembuluh darah untuk melepaskan norepinefrin

Kortisol dan steroid lainnya disekresi Kelenjar medulla adrenal juga


oleh kelenjar korteks adrenal terangsang untuk menyekresi epinefrin

Vasokonstriksi pembuluh darah

Penurunan aliran darah ke ginjal

Pelepasan renin

Merangsang pembentukan angiotensin I menjadi angiotensin II

Merangsang sekresi aldosteron

Retensi natrium dan air di tubulus

Peningkatan volume intravaskular

HIPERTENSI

Perubahan status kesehatan Peningkatan resistensi terhadap pemompaan darah ventrikel

Kurang Peningkatan beban kerja jantung


terpapar informasi kesehatan
DEFISIENSI Hipertrofi ventrikel kiri
PENGETAHUAN
Kerusakan vaskular
Sistemik Koroner

Kerusakan vaskuler di Ginjal Penurunan suplai O2


seluruh pembuluh perifer ke koroner
Disfungsi ginjal
Perubahan struktur dalam Iskemik miokard
arteri-arteri kecil & arteriola
Gagal ginjal
Nyeri dada
Penyumbatan pembuluh darah

Peningkatan volume O2 ↓ , CO2 ↑ NYERI INTOLERANSI


darah serebral
AKUT AKTIVITAS
Vasokonstriksi
Metabolisme anaerob
Tekanan vaskuler ↑
Asam Laktat ↑ Peningkatan afterload
Peningkatan tekanan
vaskuler serebral Stimulus peka nyeri kapiler

Otak

Serat aferen primer


menginervasi Obstruksi/ rupture PENURUNAN
meningeal pembuluh darah otak CURAH JANTUNG

Menekan Stroke hemoragik


serabut Keluhan nyeri
saraf otak muskuloskeletal
Energi panas melalui konduksi
Kompres Hangat
Nyeri kepala
Meningkatkan
relaksasi otot
NYERI AKUT

Meningkatkan sirkulasi &


Baroreseptor pada dinding
Relaksasi Napas aorta
Dalam& Dilatasi arteriol menambah pemasukan O2
arteri karotis interna ditingkatkan Dilatasi vena besar & nutrisi ke jaringan
Perlambatan jantung
Medula oblongata di batang otak

Menurunkan
Pengurangan kekuatan tekanan arteri ke
Susunan saraf otonom kontraksi jantung arah normal

Gambar 2.5. Pathway Hipertensi (Aspiani, 2016), (Price & Wilson, 1995), (Guyton, 1994),
(Potter & Perry, 2010), dan (Muttaqin, 2009).
34
C. Pengelolaan Nyeri Akut pada Hipertensi

1. Kompres Hangat

Kompres hangat merupakan salah satu penatalaksanaan nyeri

dengan memberikan energi panas melalui konduksi, di mana panas

tersebut dapat menyebabkan vasodilatasi (pelebaran pembuluh darah),

meningkatkan relaksasi otot sehingga meningkatkan sirkulasi dan

menambah pemasukan, oksigen, serta nutrisi ke jaringan (Potter & Perry,

2010 : 632). Kompres hangat dilakukan untuk merelaksasikan otot pada

pembuluh darah dan melebarkan pembuluh darah sehingga hal tersebut

dapat meningkatkan pemasukan oksigen dan nutrisi ke jaringan otak.

Terdapat arteri dan arteriol pada leher yang memperdarahi kepala

dan otak. Arteriol merupakan pembuluh resistensi utama pada pohon

vaskuler. Dinding arteriol hanya sedikit mengandung jaringan ikat

elastik, namun pembuluh ini mempunyai lapisan otot polos yang tebal

dan dipersarafi oleh serat saraf simpatis. Otot polosnya juga peka

terhadap perubahan kimiawi lokal dan terhadap beberapa hormon dalam

sirkulasi. Lapisan otot polos berjalan sirkurel mengelilingi arteriol,

sehingga apabila berkontraksi, lingkaran pembuluh akan mengecil.

Demikian resistensi meningkat dan aliran melalui pembuluh berkurang

(Sherwood, 2001 : 306). Vasodilatasi yang terjadi akibat kompres hangat

dapat melebarkan pembuluh darah arteriol, sehingga mengakibatkan

penurunan resistensi, peningkatan pemasukan O2 (oksigen), dan

menurunkan kontraksi otot polos pada pembuluh darah (Setyawan,


2014). Kompres hangat dilakukan di daerah leher dengan diikuti latihan

pergerakan atau pemijatan dengan lama kompres sekitar 15-20 menit

(Kusyati, 2006).

Jurnal yang berjudul “Pengaruh Pemberian Kompres Hangat pada

Leher terhadap Penurunan Intensitas Nyeri Kepala pada Klien Hipertensi

di RSUD Tugurejo Semarang”, berdasarkan hasil penelitiannya

Setyawan menyimpulkan kelompok yang diberikan kompres hangat lebih

efektif menurunkan nyeri kepala daripada kelompok yang tidak diberikan

kompres hangat di RSUD Tugurejo Semarang (Setyawan, 2014).

Kemudian diperkuat dengan pendapat Rohimah (2015) dalam jurnal yang

berjudul “Pengaruh Kompres Hangat pada Pasien Hipertensi Esensial di

Wilayah Kerja Puskesmas Kahuripan Kota Tasikmalaya” menyatakan

bahwa skala nyeri leher sebelum dilakukan kompres hangat pada

kelompok intervensi mayoritas mengalami nyeri sedang dan setelah

dilakukan intervensi mayoritas mengalami nyeri skala ringan, sehingga

ada pengaruh signifikan pemberian kompres hangat terhadap skala nyeri

leher pada penderita hipertensi esensial di wilayah kerja puskesmas

Kahuripan Tasikmalaya.

2. Relaksasi Napas Dalam

Relaksasi napas dalam adalah pernafasan pada abdomen dengan

frekuensi lambat serta perlahan, berirama, dan nyaman dengan cara

memejamkan mata saat menarik napas. Efek dari terapi ini ialah distraksi
atau pengalihan perhatian (Setyoadi dkk 2011 : 127). Kerja dari terapi ini

dapat memberikan peregangan kardiopulmonari (Izzo 2008 : 138).

Stimulasi peregangan di arkus aorta dan sinus karotis diterima dan

diteruskan oleh saraf vagus ke medula oblongata (pusat regulasi

kardiovaskuler), dan selanjutnya terjadinya peningkatan refleks

baroreseptor. Impuls aferen dari baroreseptor mencapai pusat jantung

yang akan merangsang saraf parasimpatis dan menghambat pusat

simpatis, sehingga menjadi vasodilatasi sistemik, penurunan denyut dan

kontraksi jantung. Perangsangan saraf parasimpatis ke bagian – bagian

miokardium lainnya mengakibatkan penurunan kontraktilitas, volume

sekuncup menghasilkan suatu efek inotropik negatif. Keadaan tersebut

mengakibatkan penurunan volume sekuncup dan curah jantung.

Beberapa serabut vasomotor pada otot rangka mengeluarkan asetilkolin

yang menyebabkan dilatasi pembuluh darah dan akibatnya membuat

tekanan darah menurun (Muttaqin, 2009 : 18-22).

Jurnal yang berjudul “Terapi Relaksasi Napas Dalam Menurunkan

Tekanan Darah Klien Hipertensi” berdasarkan hasil penelitiannya Rita

Dwi Hartanti menyimpulkan tekanan darah responden dengan hipertensi

mengalami penurunan baik pada tekanan darah sistolik maupun tekanan

darah diastolik setelah dilakukan terapi relaksasi napas dalam di Desa

Kesesi Kecamatan Kesesi Kabupaten Pekalongan (Hartanti, 2016).


3. Distraksi

Distraksi, yang mencakup memfokuskan perhatian klien pada

sesuatu selain nyeri, dapat menjadi strategi yang sangat berhasil dan

mungkin merupakan mekanisme yang bertanggung jawab terhadap

teknik kognitif efektif lainnya. Seseorang yang kurang menyadari adanya

nyeri atau memberikan sedikit perhatian pada nyeri, akan sedikit

terganggu oleh nyeri dan lebih toleransi terhadap nyeri. Distraksi diduga

dapat menurunkan persepsi nyeri dengan menstimulasi sistem kontrol

desenden, yang mengakibatkan lebih sedikit stimuli nyeri yang

ditransmisikan ke otak. Keefektifan distraksi tergantung pada

kemampuan klien untuk menerima dan membangkitkan input sensori

selain nyeri (Smeltzer, 2013 : 233).

Terdapat beberapa macam jenis distraksi di antaranya distraksi

penglihatan, distraksi pendengaran, distraksi sentuhan, distraksi

pernafasan, distraksi imajinasi terbimbing dan distraksi intelektual

(Tamsuri, 2007).

Salah satu jenis distraksi yaitu distraksi audiovisual yang

merupakan kombinasi antara distraksi pendengaran (audio) dan distraksi

visual. Bentuk distraksi ini dengan cara menampilkan tayangan favorit

berupa gamba-gambar bergerak dan bersuara ataupun animasi dengan

harapan klien asik terhadap tontonannya sehingga mengabaikan rasa

tidak nyaman dan menunjukkan respons penerimaan yang baik (Rusman,

2012).
Distraksi imajinasi terbimbing adalah menggunakan imajinasi

seseorang dalam suatu cara yang dirancang secara khusus untuk

mencapai efek positif tertentu (Smeltzer, 2013 : 234).

4. Hipnosis

Hipnosis efektif dalam meredakan nyeri atau menurunkan jumlah

analgesik yang dibutuhkan pada nyeri akut dan kronis. Teknik ini

mungkin membantu dalam memberikan peredaan nyeri terutama dalam

situasi sulit. Keefektifan hipnosis tergantung pada kemudahan hipnotik

klien. Beberapa kasus hipnosis dapat efektif pada pengobatan pertama;

keefektifannya meningkat dengan tambahan sesi hipnotik berikutnya

(Smeltzer, 2013 : 234). Kebanyakan situasi hipnosis harus dicetuskan

oleh orang yang terlatih secara khusus (seringkali seorang psikolog atau

perawat dengan pelatihan yang dikhususkan untuk hipnosis) dan dapat

efektif selain penggunaan analgesik standar (Smeltzer, 2013 : 234).

D. Asuhan Keperawatan pada Hipertensi

1. Pengkajian

Proses kesehatan fungsional menurut Gordon dalam Aspiani (2016)

yaitu:

a. Aktivitas/istirahat

Gejala : kelemahan, letih, napas pendek, gaya hidup monoton.


Tanda : frekuensi jantung meningkat, perubahan irama jantung,

takipnea.

b. Sirkulas

i Gejala

1) Riwayat hipertensi, aterosklerosis, penyakit jantung

koroner/katup, dan penyakit serebrovaskuler.

2) Episode

palpitasi Tanda :

1) Peningkatan tekanan darah

2) Nadi denyutan jelas dari karotis, jugularis, radialis, takikardia

3) Murmur stenosis valvular

4) Distensi vena jugularis

5) Kulit pucat, sianosis, suhu dingin (vasokonstriksi perifer)

6) Pengisian kapiler mungkin lambat/tertunda

c. Integritas Ego

Gejala : riwayat perubahan kepribadian, ansietas, faktor stress

multiple (hubungan keuangan, yang berkaitan dengan pekerjaan).

Tanda : letupan suasana hati, gelisah, penyempitan perhatian,

tangisan meledak, otot muka tegang, menghela napas, peningkatan

pola bicara.

d. Eliminasi

Gejala : gangguan ginjal saat ini (seperti obstruksi) atau riwayat

penyakit ginjal pada masa lalu.


e. Makanan/

cairan Gejala :

1) Makanan yang disukai yang mencakup makanan tinggi garam,

lemak, serta kolesterol

2) Mual, muntah dan perubahan berat badan saat ini

(meningkat/turun)

3) Riwayat penggunaan

diuretik Tanda :

1) Berat badan normal atau obesitas

2) Adanya edema

3) Glikosuria

f. Neurosensori

Gejala :

1) Keluhan pusing/pening, berdenyut, sakit kepala, suboksipital

(terjadi saat bangun dan menghilang secara spontan setelah

beberapa jam)

2) Gangguan penglihatan (diplopia, penglihatan kabur,

epistaksis) Tanda :

1) Status mental, perubahan keterjagaan, orientasi, pola/isi bicara,

efek, proses pikir

2) Penurunan kekuatan genggaman tangan

g. Nyeri/ketidaknyamanan
Gejala : angina (penyakit arteri koroner/keterlibatan jantung), sakit

kepala

Deskripsi verbal tentang nyeri

Klien merupakan penilai terbaik dari nyeri yang dialaminya dan

karenanya harus diminta untuk menggambarkan dan membuat

tingkatnya. Informasi yang diperlukan harus menggambarkan nyeri

klien dalam beberapa cara yang berikut :

1) Intensitas nyeri. Klien dapat diminta untuk membuat tingkatan

nyeri pada skala verbal (misal : tidak nyeri, sedikit nyeri, nyeri

hebat, atau sangat hebat; atau 0 sampai 10 dimana 0 = tidak ada

nyeri, 10 = nyeri sangat hebat).

2) Karakteristik nyeri. Termasuk letak (untuk area di mana nyeri

pada berbagai organ mungkin merupakan alih), durasi (menit,

jam, hari, bulan, dsb), irama (terus-menerus, hilang timbul,

periode bertambah dan berkurangnya intensitas atau keberadaan

dari nyeri) dan kualitas (nyeri seperti ditusuk-tusuk, seperti

terbakar, sakit, nyeri seperti digencet).

3) Faktor-faktor yang meredakan nyeri. (misal gerakan, kurang

bergerak, pengerahan tenaga, istirahat, obat-obat bebas, dsb),

dan apa yang dipercaya klien dapat membantu mengatasi

nyerinya. Banyak orang yang mempunyai ide-ide tertentu

tentang apa yang akan menghilangkan nyerinya. Perilaku ini

sering didasarkan pada pengalaman atau trial and error.


4) Efek nyeri terhadap aktivitas kehidupan sehari-hari (misal tidur,

nafsu makan, konsentrasi, interaksi dengan orang lain, gerakan

fisik, bekerja, dan aktivitas-aktivitas santai). Nyeri akut sering

berkaitan dengan ansietas dan nyeri kronis dengan depresi.

5) Kekhawatiran klien tentang nyeri. Dapat meliputi berbagai

masalah yang luas, seperti beban ekonomi, prognosis, pengaruh

terhadap peran dan perubahan citra diri (Smeltzer, 2013 : 217).

h. Pernapasan

Gejala :

1) Dispnea yang berkaitan dengan aktivitas/kerja, takipnea,

ortopnea, dispnea

2) Batuk dengan atau tanpa sputum

3) Riwayat merokok

Tanda :

1) Distress respirasi/penggunaan otot aksesoris pernapasan

2) Bunyi napas tambahan (crackles/mengi)

3) Sianosis

i. Keamanan

Gejala : gangguan koordinasi, cara jalan, hipotensi postural

j. Pembelajaran/penyuluhan

Gejala :

1) Faktor risiko keluarga; hipertensi, aterosklerosis, penyakit

jantung, diabetes melitus, penyakit ginjal


2) Faktor lain; risiko etnik, penggunaan pil KB atau hormone,

penggunaan alkohol atau obat

k. Rencana pemulangan

Bantuan dengan pemantau dan tekanan darah/perubahan dalam

terapi obat.

2. Diagnosis Keperawatan

Berdasarkan pengkajian di atas, berikut akan dijelaskan masalah

keperawatan, batasan karakteristik dan faktor yang berhubungan pada

klien dengan hipertensi (Herdman & Kamitsuru, 2015).

a. Sakit kepala, nyeri (akut) berhubungan dengan peningkatan tekanan

vaskuler serebral.

Definisi : nyeri akut adalah pengalaman sensori dan emosional tidak

menyenangkan yang muncul akibat kerusakan jaringan aktual atau

potensial atau yang digambarkan sebagai kerusakan (International

Association for the Study of Pain); awitan yang tiba-tiba atau lambat

dari intensitas ringan hingga berat dengan akhir yang dapat

diantisipasi atau diprediksi.

Batasan Karakteristik :

1) Bukti nyeri dengan menggunakan standar daftar periksa nyeri

untuk klien yang tidak dapat mengungkapkannya.

2) Diaphoresis
3) Ekspresi wajah nyeri (misal mata kurang bercahaya, tampak

kacau; gerakan mata berpencar atau tetap pada satu fokus,

meringis).

4) Fokus menyempit (misal persepsi waktu, proses berpikir,

interaksi dengan orang dan lingkungan)

5) Fokus pada diri sendiri

6) Keluhan tentang intensitas menggunakan standar skala nyeri

(misal skala Wong-Baker Faces, skala analog visual, skala

penilaian numerik)

7) Keluhan tentang karakteristik nyeri dengan menggunakan

standar instrument nyeri

8) Laporan tentang perilaku nyeri/perubahan aktivitas

9) Mengekspresikan perilaku (misal gelisah, merengek, menangis,

waspada)

10) Perilaku distraksi

11) Perubahan pada parameter fisiologis (misal tekanan darah,

frekuensi jantung, frekuensi pernapasan, saturasi oksigen, dan

endtidal karbon dioksida [CO2]).

12) Perubahan selera makan

13) Putus asa

Faktor yang Berhubungan :

1) Agens cidera biologis (misal infeksi, iskemia, neoplasma)


2) Agens cidera fisik (misal abses, amputasi, luka bakar, terpotong,

mengangkat berat, prosedur bedah, trauma, olahraga berlebihan)

3) Agens cidera kimiawi (misal luka bakar, kapsaisin, metilen

klorida, agens mustard)

b. Penurunan curah jantung berhubungan dengan peningkatan beban

kerja jantung (after load), vasokonstriksi, iskemia miokardia, dan

hipertrofi/rigiditas (kekakuan ventrikuler).

Definisi : ketidakadekuatan darah yang dipompa oleh jantung untuk

memenuhi kebutuhan metabolik tubuh.

Batasan Karakteristik :

Perubahan Frekuensi/Irama Jantung

1) Bradikardia

2) Palpitasi jantung

3) Perubahan elektrokardiogram (EKG)

4) Takikardia

Perubahan Preload

1) Distensi vena jugular

2) Edema

3) Keletihan

4) Murmur jantung

5) Peningkatan berat badan

6) Peningkatan tekanan vena sentral / CVP (Central Venous

Pressure)
7) Peningkatan PAWP (Pulmonary Artery Wedge Pressure)

8) Penurunan PAWP

9) Penurunan tekanan vena sentral (CVP)

Perubahan Afterload

1) Dispnea

Kulit lembab

Oliguria

Pengisian kapiler memanjang


(Pulmonary
Peningkatanresistansivascularparu/PVR
Vascular Resistance)
6) Peningkatan resistansi vascular sistemik / SVR (Systemic

Vascular Resistance)

7) Penurunan nadi perifer

8) Penurunan resistansi vascular paru (PVR)

9) Penurunan resistansi vascular sistemik (SVR)

10) Perubahan tekanan


11) Perubahan warna kulit
darah

Perubahan Kontraktilitas

1) Batuk

2) Bunyi napas tambahan

3) Bunyi S3

4) Bunyi S4
5) Dispnea paroksimal nocturnal

6) Ortopnea

7) Penurunan fraksi ejeksi

8) Penurunan indeks jantung

9) Penurunan left ventricular stroke work index (LVSWI)

10) Penurunan stroke volume index (SVI)

Perilaku/Emosi

1) Ansietas

2) Gelisah

Faktor yang Berhubungan :

1) Perubahan afterload

2) Perubahan frekuensi jantung

3) Perubahan irama jantung

4) Perubahan kontraktilitas

5) Perubahan preload

6) Perubahan volume sekuncup

c. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan umum, seperti

ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen.

Definisi : intoleransi aktivitas adalah ketidakcukupan energi

psikologis atau fisiologis untuk mempertahankan atau

menyelesaikan aktivitas kehidupan sehari-hari yang harus atau yang

ingin dilakukan.

Batasan Karakteristik :
1) Dispnea setelah beraktivitas

2) Keletihan

3) Ketidaknyamanan setelah beraktivitas

4) Perubahan elektrokardiogram (EKG) (misal aritmia,

abnormalitas konduksi, iskemia)

5) Respons frekuensi jantung abnormal terhadap aktivitas

6) Respons tekanan darah abnormal terhadap

aktivitas Faktor yang Berhubungan :

1) Gaya hidup kurang gerak

2) Imobilitas

3) Ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen

4) Tirah baring

d. Defisiensi pengetahuan berhubungan dengan pengelolaan penyakit

hipertensi.

Definisi : Defisiensi pengetahuan adalah ketiadaan atau defisiensi

informasi kognitif yang berkaitan dengan topik tertentu.

Batasan Karakteristik :

1) Ketidakadekuratan melakukan tes

2) Ketidakakuratan mengikuti perintah

3) Kurang pengetahuan

4) Perilaku tidak tepat (misal hysteria, bermusuhan, agitasi,

apatis) Faktor yang Berhubungan :

1) Gangguan fungsi kognitif


2) Gangguan memori

3) Kurang informasi

4) Kurang minat untuk belajar

5) Kurang sumber pengetahuan

6) Salah pengertian terhadap orang lain

3. Intervensi Keperawatan

Berdasarkan diagnosis keperawatan di atas, intervensi yang dilakukan

sesuai diagnosis keperawatan menurut Bulechek, Butcher, Dochterman,

dan Wagner (2016).

a. Sakit kepala, nyeri (akut) berhubungan dengan peningkatan tekanan

vaskuler serebral.

NOC :

1) Kontrol nyeri

Tindakan pribadi untuk mengontrol nyeri dapat diketahui

dengan skala (1 : tidak pernah menunjukkan, 2 : jarang

menunjukkan, 3 : kadang-kadang menunjukkan, 4 : sering

menunjukkan, 5 : secara konsisten menunjukkan)

a) Mengenali kapan nyeri terjadi

b) Menggambarkan faktor penyebab

c) Menggunakan tindakan pencegahan

d) Menggunakan tindakan pengurangan (nyeri) tanpa

analgesik
e) Menggunakan analgesik yang direkomendasikan

f) Melaporkan perubahan terhadap gejala nyeri pada

profesional kesehatan

g) Melaporkan gejala yang tidak terkontrol pada profesional

kesehatan

2) Tingkat nyeri

Keparahan dari nyeri yang diamati atau dilaporkan dapat

diketahui dengan skala (1 : berat, 2 : cukup berat, 3 : sedang, 4 :

ringan, 5 : tidak ada)

a) Nyeri yang dilaporkan

b) Panjangnya episode nyeri

c) Ekspresi nyeri wajah

d) Tidak bisa beristirahat

e) Berkeringat

f) Perubahan respirasi, denyut nadi, tekanan

darah NIC :

1) Lakukan pengkajian nyeri komprehensif yang meliputi lokasi,

karakteristik, onset/durasi, frekuensi, kualitas,

intensitas/beratnya nyeri, dan faktor pencetus.

2) Gunakan strategi komunikasi terapeutik untuk mengetahui

pengalaman nyeri dan sampaikan penerimaan klien terhadap

nyeri.

3) Gali pengetahuan dan kepercayaan klien mengenai nyeri


4) Tentukan akibat dari pengalaman nyeri terhadap kualitas hidup

klien (misalnya., tidur, nafsu makan, pengertian, perasaan,

hubungan, performa kerja dan tanggung jawab peran).

5) Gali bersama klien faktor-faktor yang dapat menurunkan atau

memperberat nyeri.

6) Evaluasi bersama klien dan tim kesehatan lainnya, mengenai

efektivitas tindakan pengontrolan nyeri yang pernah digunakan

sebelumnya.

7) Kurangi atau eliminasi faktor-faktor yang dapat mencetuskan

atau meningkatkan nyeri (misalnya., ketakutan, kelelahan,

keadaan monoton dan kurang pengetahuan).

8) Dorong klien untuk memonitor nyeri dan menangani nyerinya

dengan tepat.

9) Ajarkan penggunaan teknik non farmakologis (seperti., hipnosis,

relaksasi, terapi musik, terapi bermain, terapi aktivitas, aplikasi

kompres hangat).

10) Gali penggunaan metode farmakologi yang dipakai klien saat ini

untuk menurunkan nyeri.

11) Dukung istirahat/tidur yang adekuat untuk membantu penurunan

nyeri.

12) Berikan klien penurun nyeri yang optimal dengan peresepan

analgesik

13) Monitor tanda vital sebelum dan setelah memberikan analgesik.


b. Penurunan curah jantung berhubungan dengan peningkatan beban

kerja jantung (after load), vasokonstriksi, iskemia miokardia, dan

hipertrofi/rigiditas (kekakuan ventrikuler).

NOC :

Keefektifan pompa jantung

Kecukupan volume darah yang dipompakan dari ventrikel kiri untuk

mendukung tekanan perfusi sistemik dapat diketahui dengan skala (1

: deviasi berat dari kisaran normal, 2 : deviasi yang cukup besar dari

kisaran normal, 3 : deviasi sedang dari kisaran normal, 4 : deviasi

ringan dari kisaran normal, 5 : tidak ada deviasi dari kisaran normal)

1) Tekanan darah sistol

2) Tekanan darah diastole

3) Denyut nadi perifer

4) Urin output

5) Disritmia

6) Suara jantung abnormal

7) Diaphoresis

8) Mual

9) Kelelahan

10) Dyspnea saat istirahat/dengan aktivitas ringan

11) Peningkatan berat badan

12) Intoleransi aktivitas

13) Pucat
NIC :

1) Monitor tanda-tanda vital secara rutin

2) Monitor disritmia jantung, termasuk gangguan ritme dan

konduksi jantung

3) Catat tanda dan gejala penurunan curah jantung

4) Batasi merokok

5) Lakukan terapi relaksasi, sebagaimana mestinya

6) Monitor adanya tanda dan gejala masalah pada status perfusi

7) Lakukan auskultasi pada paru untuk mencari tahu apa ada bunyi

tambahan lainnya

8) Lakukan auskultasi pada jantung

9) Monitor dan catat tekanan darah, denyut jantung, irama, dan

denyut nadi

10) Jaga keseimbangan cairan dengan pemberian cairan IV atau

diuretik

11) Monitor asupan dan pengeluaran, output urine, dan berat badan

klien

12) Berkolaborasi dengan dokter, sesuai indikasi

c. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan umum, seperti

ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen.

NOC :

1) Toleransi terhadap aktivitas


Respon fisiologis terhadap pergerakan yang memerlukan energi

dalam aktivitas sehari-hari dapat diketahui dengan skala (1 :

sangat terganggu, 2 : banyak terganggu, 3 : cukup terganggu, 4 :

sedikit terganggu, 5 : tidak terganggu)

a) Frekuensi nadi saat beraktivitas

b) Frekuensi pernapasan ketika beraktivitas

c) Tekanan darah sistolik ketika beraktivitas

d) Tekanan darah diastolic ketika beraktivitas

e) Temuan/hasil EKG (Elektrokardiogram)

2) Daya tahan

Kemampuan untuk mempertahankan aktivitas dapat diketahui

dengan skala (1 : sangat terganggu, 2 : banyak terganggu, 3 :

cukup terganggu, 4 : sedikit terganggu, 5 : tidak terganggu)

a) Melakukan aktivitas rutin

b) Aktivitas fisik

c) Konsentrasi

NIC :

1) Kaji toleransi klien terhadap aktivitas dengan menggunakan

parameter : frekuensi nadi, catat peningkatan TD, dispnea, nyeri

dada, kelelahan berat dan kelemahan, berkeringat, pusing, atau

pingsan.

2) Kaji kesiapan untuk meningkatkan aktivitas

3) Dorong memajukan aktivitas/toleransi perawatan diri


4) Berikan bantuan sesuai kebutuhan dan anjurkan penggunaan

kursi mandi, menyikat gigi dengan duduk, dan lain sebagainya.

5) Dorong klien untuk partisipasi dalam memilih periode aktivitas.

d. Defisiensi pengetahuan berhubungan dengan pengelolaan penyakit

hipertensi.

NOC :

Manajemen diri : hipertensi

Tindakan seseorang untuk mengelola hipertensi, pengobatan,

pencegahan, perkembangan penyakit dan komplikasinya dapat

diketahui dengan skala (1 : tidak pernah menunjukkan, 2 : jarang

menunjukkan, 3 : kadang-kadang menunjukkan, 4 : sering

menunjukkan, 5 : secara konsisten menunjukkan).

1) Memantau tekanan darah

2) Melakukan prosedur yang tepat untuk mengukur tekanan darah

3) Mempertahankan target tekanan darah

4) Menggunakan obat-obatan sesuai resep

5) Memantau efek terapi obat-obatan

6) Memantau efek yang tidak diharapkan dari obat-obatan

7) Memantau efek samping obat

8) Mempertahankan berat badan yang optimal

9) Mengikuti diit yang direkomendasikan

10) Membatasi asupan garam

11) Membatasi minuman berkalori tinggi


12) Membatasi kudapan berkalori tinggi

13) Mengurangi porsi makanan

14) Membatasi konsumsi kafein

15) Menggunakan strategi manajemen stress

16) Menggunakan teknik relaksasi

17) Berpartisipasi dalam aturan menghentikan rokok

18) Menggunakan strategi untuk mempertahankan tidur yang

adekuat

19) Menggunakan buku harian untuk memantau tekanan darah dari

waktu ke waktu

20) Memantau komplikasi

hipertensi NIC :

1) Kaji tingkat pengetahuan klien terkait dengan proses penyakit

yang spesifik

2) Jelaskan patofisiologi penyakit dan bagaimana hubungannya

dengan anatomi dan fisiologi, sesuai kebutuhan.

3) Review pengetahuan klien mengenai kondisinya

4) Kenali pengetahuan klien mengenai kondisinya

5) Jelaskan tanda dan gejala yang umum dari penyakit, sesuai

kebutuhan

6) Eksplorasi bersama klien apakah dia telah melakukan

manajemen gejala

7) Jelaskan mengenai proses penyakit, sesuai kebutuhan


8) Identifikasi kemungkinan penyebab, sesuai kebutuhan

9) Berikan informasi pada klien mengenai kondisinya, sesuai

kebutuhan

10) Identifikasi perubahan kondisi fisik klien

11) Beri informasi kepada keluarga/orang yang penting bagi klien

mengenai perkembangan klien, sesuai kebutuhan

12) Berikan informasi mengenai pemeriksaan diagnostik yang

tersedia, sesuai kebutuhan

13) Diskusikan perubahan gaya hidup yang mungkin diperlukan

untuk mencegah komplikasi di masa yang akan datang dan/atau

mengontrol proses penyakit

14) Diskusikan pilihan terapi/penanganan

15) Jelaskan alasan dibalik manajemen/terapi/penanganan yang

direkomendasikan

16) Jelaskan komplikasi kronik yang mungkin ada, sesuai kebutuhan

17) Instruksikan klien mengenai tindakan untuk

mencegah/meminimalkan efek samping penanganan dari

penyakit, sesuai kebutuhan

18) Edukasi klien mengenai tindakan untuk mengontrol/

meminimalkan gejala, sesuai kebutuhan

19) Edukasi klien mengenai tanda dan gejala yang harus dilaporkan

kepada petugas kesehatan, sesuai kebutuhan

20) Kaji tingkat pengetahuan klien mengenai diit yang disarankan


21) Kaji pola makan klien saat ini dan sebelumnya, termasuk

makanan yang disukai dan pola makan saat ini

22) Ajarkan klien nama-nama makanan yang sesuai dengan diit

yang disarankan

23) Jelaskan pada klien mengenai tujuan kepatuhan terhadap diit

yang disarankan terkait dengan kesehatan secara umum

24) Instruksikan klien untuk menghindari makanan yang dipantang

dan mengkonsumsi makanan yang diperbolehkan

25) Instruksikan klien untuk mengenali karakteristik khusus dari

obat-obatan, sesuai kebutuhan

26) Instruksikan klien mengenai tujuan dan kerja setiap obat

27) Instruksikan klien mengenai dosis, rute dan dosis setiap obat

28) Instruksikan klien mengenai cara pemberian/aplikasi yang

sesuai dari setiap obat

29) Kenali pengetahuan klien mengenai obat-obatan

30) Informasikan klien konsekuensi tidak memakai obat atau

menghentikan pemakaian obat secara tiba-tiba

31) Instruksikan klien mengenai kemungkinan efek samping setiap

obat

4. Implementasi Keperawatan

Implementasi adalah pelaksanaan rencana keperawatan oleh perawat

dan klien. Perawat bertanggung jawab terhadap asuhan keperawatan

yang
berfokus pada klien dan berorientasi pada hasil, sebagaimana

digambarkan dalam rencana. Fokus utama dari komponen implementasi

adalah pemberian asuhan keperawatan yang aman dan individual dengan

pendekatan multifokal. Implementasi perencanaan berupa penyelesaian

tindakan yang diperlukan untuk memenuhi kriteria hasil (Christensen &

Kenney, 2009).

5. Evaluasi Keperawatan

Evaluasi keperawatan pada klien dengan hipertensi menurut Aspiani

(2016 : 229) adalah sebagai berikut :

a. Diagnosis keperawatan : Nyeri akut

1) Klien mengidentifikasi metode penghilangan nyeri

2) Klien melaporkan nyeri hilang atau terkontrol

3) Klien mendemostrasikan keterampilan teknik relaksasi dan

distraksi

b. Diagnosis keperawatan : Penurunan curah jantung

1) Klien melaporkan atau menunjukkan tidak ada tanda dispnea,

angina dan disritmia.

c. Diagnosis keperawatan : Intoleransi aktivitas

1) Klien dapat menunjukkan peningkatan toleransi terhadap

aktivitas

2) Klien mendemonstrasikan penurunan tanda fisiologis intoleransi

aktivitas
d. Diagnosis keperawatan : Defisiensi pengetahuan

1) Klien mampu untuk mengelola hipertensi,

memahami tentang pengobatan, pencegahan,

perkembangan penyakit dan komplikasinya.

Anda mungkin juga menyukai