Anda di halaman 1dari 52

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Hipertensi

2.1.1 Definisi Hipertensi

Hipertensi adalah tekana darah arterial yang tetap tinggi,

dapat tidak memiliki sebab yang diketahui (hipertensi esensial)

atau berkaitan dengan penyakit lain (hipertensi sekunder)

(Dorland,2011). Menurut Sevent Report of the Joint National

Committe on Prevetion,Detection,Evalution, and Treatment of

High Blood Pressure (JNC 7) yang termasuk dalam kriteria

hipertensi adalah seorang tekanan adarah sistolik ≥140mmHg

atau tekanan diastolik ≥90mmHg (Chobanian et al ,2003).

Dapat dikatakan hipertensi pada lanjut usia adalah pada

tekanan sistolik sama atau lebih besar dari 140mmHg dan/atau

tekanan diastolik sama atau lebih besar dari 90mmHg

(Darmajo, 2006). Pada tahap awal, gangguan pada dinding

pembuluh darah yang menyebabkan elastisitasnya berkurang

akan memacu jantung bekerja lebih keras, karena terjadi

hipertensi. Selanjutnya, bila terjadi sumbatan maka jaringan

akan dialiri zat asam oleh pembuluh darah ini akan rusak dan

mati, hal inilah yang disebut infark. Bila terjadi di jantung,


dapat saja menyebabkan infark jantung, atau infrak miokard,

atau bila masih ringan dapat terjadi angina pictoris dan

gangguan koroner lainnya. Pada lanjut usia, tekanan darah

akan naik secara bertahap. Elastisitas jantaung pada orang

berusia 70 tahun menurun sekitar 50% di banding orang

berusia 20 tahun, maka dari itu tekanan darah wanita dan pria

tua itu relative tinggi. (Stanley 2006).

2.1.2 Klasifikasi Hipertensi

Tambayong (2005), hipertensi terbagi atas:

a) Hipertensi esensial atau hipertensi primer

Yaitu hipertensi yang tidak diketahui penyebabnya

(Gunawan, 2001). Sebanyak (90-95%) kasus hipertensi

yang terjadi tidak diketahui dengan pasti apa peyebabnya,

para pakar menunjuk stress sebagai tuduhan utama, setelah

itu banyak faktor lain yang mempengaruhi, dan para pakar

juga menemukan hubungan antara riwayat keluarga

penderita hipertensi ( genetik) dengan resiko untuk juga

menderita penyakit ini. Faktor-faktor lain yang dapat

dimasukkan dalam daftar penyebab hipertensi jenis ini

adalah lingkungan, dan faktor yang meningkat resikonya

seperti obesitas, komsumsi alkohol,dan merokok, kurang

olahraga, stress, diet tinggi garam dan kurang berolahraga.


b) Hipertensi sekunder yang berhubungan dengan penyakit

lain sebagai penyerta, seperti :

1. Renovaskuler yang disebabkan oleh penyakit parenkim,

misalnya glumerulonefritis akut dan menahun

penyempitan (stenosis) arteri renalis, akibat

arterosklerosis atau fibroplasias bawaan.

2. Penyakit atau sindrom chusing dapat disebabkan

peningkatan sekresi glukokortikoid akibat penyakit

arenal atau disfungsi hipiofisis.

3. Aldosteronisme primer yang disebabkan oleh

peningkatan sekresi aldosteron, akibat tumor adrenal.

4. Feokromositoma yang disebabkan oleh tumor medula

adrenal yang berakibat peningkatan sekresi

katekolamin adrenal.

5. Koarktasio aorta yang disebabkan oleh konstriksi aorta

bawaan pada tingkat duktus arteriosus, dengan

peningkatan tekana darah diatas konstriksi dan

penurunan tekanan di bawah konstriksi.

Berdasarakan Konsensus Perhimpunan Hipertensi

Indonesia tahun 2007 klasifikasi hipertensi untuk orang

Indonesia belum dapat ditentukan . Hal ini karena data


penelitian hipertensi di Indonesia berskala nasional sangat

jarang. Karena itu para pakar hipertensi di Indonesia sepakat

untuk menggunakan klasifikasi WHO dan JNC 7 sebagai

klasifikasi yang digunakan di Indonesia (Nanang, 2015).

Tabel 2.1

Klasifikasi hipertensi menurut WHO

Katagori Tekanan sistolik Tekanan

(mmHg) diastolic(mmHg)
Tensi normal tinggi 130-139 80-90

Tingkat 1: Hipertensi 140-159 90-99

ringan 140-149 90-94

Subgroup: Batas 160-179 100-109

Tingkat 2: 180-209 110-119

Hipertensi sedang >_140 <90

Tingkat 3: 140-149 <90

Hipertensi berat >_210 >_120

Hipertensi sistolik

isolasi

Subgroup: Batas

Tingkat 4:

Hipertensi maligna
Sumber : WHO dalam Nanang (2015)

Tabel 2.2
Kalsifikasi Hipertensi menurut The Joint National Commttee 7

Kategori Tekanan Dan /Atau Tekanan

sistolik (mmhg) diastolic (mmHg)


<120 Dan <80

120-139 Atau 80-89

140-159 Atau 90-99

160-179 Atau 100-109

180-209 Atau 110-119

>210 Atau >120

Sumber : JNC 7 dalam Nanang, 2015

Berdasarkan penyebabnya maka hipertensi dapat digolongkan

menjadi hipertensi primer atau hipertensi esensial yang penyebabnya

tidak diketahui secara pasti. Terdapat suatu peningkatan persisten

tekanan arteri akibat tidak seimbangnya system homeostatis.

Sebagaian besar kasus hipertensi merupakan hipertensi esensial.

Sedangkan hipertensi skunder adalah dikarenakan adanya gangguan

pada organ missal pada ginjal, jantung, tumor, dan sebagainya (susalit,

Kajopos & Lubis, 2011).

Berdasarkan bentuknya dapat dibagi menjadi hipertensi

sistolik, yaitu peninggian tekanan sistolik tanpa disertai peningkatan

tekamam sistolik yang banyak tanpa disertai peningkatan tekanan

diastolic yaitu peninggian tekanan diastole tanpa disertai peningkatan

tekanan sistolik yang banyak ditemukan pada anak-anak dan dewasa


muda, dan hipertensi campuran yaitu terjadi kenaikan pada tekanan

sistolik maupun diastolic (Susalit, Kajopos & Lubis, 2011).

2.1.3 Patofisiologi Hipertensi

Patogenesis dari hipertensi esensial merupakan suatu proses

yang kompleks dan multifaktorial, banyak yang memodulasi tekanan

darah agar dapat memenuhi kebutuhan jaringan seperti, mediato

humoral, reaktifitas vaskuler, viskositas darah, cardiac output

elastisitas pembuluh darah, dan stimulasi neural (Gandhi et al, 2011).

Selain itu factor yang dapat mempengaruhi

terjadinyahipertensi esensial adalah predisposisi genitik, konsumsi

garam yang berlebihan dan tonus adrenergic. Factor-faktor tersebut

dapat menimbukan tekanan darah. Meskipun mekanisme pastinya

belum diketahui secara pasti (Gandhi et al, 2011).

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, muncul beberapa

bukti yang menunjukkan bahwa hipertensi dicetuskan oleh proses

imunologis. Studi menunjukkan adanya kaitan antara sel imun yang

menginfiltrasi ginjal, yang dibuktikan dengan pemberian obat

imunosupresan, atau pada penderita imunodifisiensi terdapat

penurunan tekanan darah pada hewan coba maupun pada manusia.

Limfosit T dan stikin turunan dari 12 sel T (seperti IL-17, TNF- a)

memegang peranan penting pada proses terjadinya hipertensi

(Harrison et al, 2011).


Salah satu hipotesis tentang prehipertensi yaitu hasil dari

oksidasi dan terganggunya kekuatan mekanik yang memicu

terbentuknya neoantigen yang kemudian mempresentasikan dan

mengaktifitasi sel T yang mengfiltrasi organ ginjal dan pembuluh

darah. Hal tersebut menyebabkan hipertensi yang berat dan persisten,

selain itu itu mengativasin limfosit T juga akibat dari persarafan

simpatis dan noradrenergic (Harrison et al, 2011).

Perjalanan terjadinya hipertensi esensial merupakan perubahan

dari hipertensi yang okasional menjadi hipertensi yang menetap.

Setelah melalui periode asimptomatik, hipertensi persisten, hingga

timbulnya komplikasi, dan proses akhir berupa kerusakan organ

seperti aorta, arteriol, jantung, ginjal, retina, system saraf pusat

(Hamer & Staptoe, 2012).

Progrestifitas dari hipertensi esensial adalah sebagai berikut:

1. Prehypertension usia 10-30 tahun (peningkatan Cardiac Output)

2. Ealy hypertension usia 20-40 tahun (peningkatan tahanan

perifer)

3. Established hypertension usia 30-50 tahun

4. Complicated hypertension usia 40-60 tahun (Hamer & Staptoe,

2012).

Salah satu mekanisme hipertensi dideskripsikan sebagai

high output hypertension yang merupakan akibat menurunnya


tahanan perifer dan stimulasi kardiak concomitant oleh hiperaktivitas

adrenergic dan terganggunya homeostatis kalsium. Mekanisme

kedua bermanisfestasi daro cardiac output yang normal atau

menurun dengan peningkatan resestesi vaskuler. Mekanisme ketiga

adalah suatu mekanisme yang overlapping yaitu meningkatnya

reabsorbsi garam dan air oleh ginjal, yang mengkatkan volume darah

yang bersikulasi dalam tubuh (Hamer & Staptoe, 2012).

Reaktivitas kortisol adalah suatu indeks dari fungsi

hypothalamic pituitary-adrenal yang merupakan mekanisme lainnya

yang menjelaskan tenteng peningkatan tekana darah akibat daristres

psikososial. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Whitehall,

dilaporkan 15,9% pasien mengalami hipertensi sebagai akibat dari

stressor mental yang diindikasi oleh peneliti yang kemudian

ditemukan hubungan antara kadar kortisol terhadap hipertensi

(Hamer & Staptoe, 2012). Tekanan darah merupakan hasil dari

cardiac output dikalikan dengan tahanan perifer dan cardiac output

sendiri merupakan hasil stroke volume dikalikan dengan heart rate.

Stroke volume dipengaruhi oleh kontraktilitas dari jantung dan

fungsi persarafan otonom simpatis. Adanya peningkatan pada salah

satu variable di atas tentunya akan dapat meningkat tekanan darah

(Coztanzo,2012).

Peningkatan pada stroke volume juga dipengaruhi oleh

sistem hormon renin-angiotensin-aldosteron yang memicu restensi


Na. penurunan aliran darah ke ginjal juga dapat menjadi penyebab

meningkatnya beban kerja jantung untuk memompa darah.

Peningkatan volume plasma akan meningkatkan volume diastolik

sehingga mempengaruhi penambahan preload sehingga tekanan

darah naik (Coztanzo, 2012).

Tahana perifer yang meningkatkan dapat dipengaruhi oleh

persyarafan simpatis yang merangsang pembuluh darah untuk terjadi

vasokonstriksi, sehingga dihasilkan tekanan yang semakin besar.

Dikarena fungsi jantung yang harus mendorong darah lebih kuat

untuk dapat melalui arteriol yang menyempit, yang pada akhirnya

akan mempengaruhi afterload. Apabila keadaan tersebut terjadi

dalam jangka waktu lama.kronis akan terjadi yang dikenal sebagai

hipertrofi vertrikel kiri. Selanjutnya hipertrofi ventrikel kiri akan

mempengaruhi kebutuhan nutrisi yang meningkat dan sebagai

akibatnya ventrikel harus memompa lebih keras lagi yang tentunya

akan semakin memperparah hipertensi. Pada jangka lama akan

terjadi penurunan kontraktilitas jantung yang dapat berkomplikasi

pada kejadian gagal jantung (Coztanzo, 2012).

a) Obat Antihipertensi

Tiga pendekatan utama dalam terapi hipertensi adalah dengan

• Menurunkan curah jantung

• Menurunkan volume darah


• Menurunkan resitensi perifer

Obat yang dapat menurunkan curah jantung contohnya beta

blocker, dan penghabat saraf adrenergik. Obat yang menurunkan

volume darah adalah diuretik. Serta obata yang menurunkan

resistensi perifer adalah ACEi, vasodilator, penghabat reseptor alfa-

adrenergik, antagonis kalsium, ARB, dan lain-lain.

Penelitian sebelumnya menunjukkan pengaruh antara obat

antihipertensi, ACEi, ARB, dan statin dengan pencegahan

kardiovaskular neurodegenerative. Obat anti hipertensi ACEi

berkerja dengan menurunkan Antiotensin II, sehingga efek

Antiotensin II pada AT-1 dan AT-2 akan sama-sama menurun. AT-1

adalah reseptor yang distimulasi oleh Antiotensin II yang

menimbulkan vasokonstriksi, proliferasi selular, dan inflamasi.

Sedangkan reseptor AT-2 yang juga distimulasi oleh Antiotensin II

memiliki efek yang berlawanan, atau justru berkerja sebagai

neuroperotektor. Efek obat antihipertensi ACEi dianggap ambigu

karena ACEi meningkatkan penumpukan beta amyloyid. Obat

antihipertensi ARB berkerja dengan cara memblok reseptor AT-1

dan meningkatkan kemampuan AT-2. Selain itu obat anti hipertensi

ARB juga berkaitan dengan degradasi metabolism amyloid sehingga

berpotensi menjadi factor protektif pada fungsi kognitif.

b) Patologi Otak Akibat Kelainan Vaskular


Dampak hipertensi pada otal sering kali sulit dibedakan

dengan dampak penyakit serebrovaskular lainnya pada otak.

Hipertensi adalah penyakit yang dapat mengubah struktur

pembuluh dara ( vascular remodeling) sistemik, termasuk juga

pembuluh darah otak (cerebrovascular changes). (Gandhi et al,

2011).

Hipertensi yang berlangsung kronnik akan menyebabkan

perubahan pembuluh dara yang bersifat adiptif-degeneratif pada

pembuluh darah otak. Seperti atherosclerosis, arteriosclerosis ,

penebalan tunika intima dan tunika media, penyempitan

pembuluh darah, hipertrofi otot halus, lypohyalinosis. Perubahan

mikrofaskular ini dapat dideteksi secara non invasive melalui

pembuluh darah rentina mata. Dimana pada penelitian

sebelumnya menunjukan semakin parah kerusakan pembuluh

darah mata makan semakin parah pula kerusakan blood-brain

barrier (BBB). Dan semakin parah kerusakan BBB menunjukan

cognitive impraiment yang semakin parah juga. Hal ini

menunjukkan BBB berperan penting dalam kejadian cognitive

imraiment. (hummer & staptoe, 2012).

Semakin parah kerusakan BBB menunjukkan cognitive

impairment yang semakin parah juga. Hal ini menunjukkan

bahwa BBB berperan penting dalam kejadian cognitive

impairment. (hummer & staptoe, 2012)


2.1.4 Tanda Gejala Hipertensi

Pada pemeriksaan fisik pasien hipertensi akan ditemukan

tekanan darah yang meninggi, dapat ditemukan perubahan pada retina

pada pemeriksaan funduskopi. Keluhan dapat bersifat asimptomatik

maupun simptomatik seperti pusing, muka merah, sering mimisan dan

rasa kaku pada tengkuk (Dugdale, 2012).

Efek hipertensi akan muncul bila ditemukannya efek vaskuler

sesuai dengan lokasi organ yang divaskularisasi misalnya pada ginjal

maka timbul keluhan seperti nokturi, peningkatan kreatinin dan

uareum, pada otak dapat menimbulkan gejala stroke, pada mata dapat

menimbulkan edema papil, mual muntah keluhan semacam ini

biasanya ditemukan pada penderita dengan hipertensi selama

bertahun-tahun (Dugdale, 2012)

2.1.5 Faktor ResikoYang Mempengaruhi Hipertensi

Menurut Elsanti ( 2009), factor resiko yang mempengaruhi hipertensi

yang dapat atau tidak dapat dikontrol, antara lain:

1) Faktor resiko yang tidak dapat dikontrol:

- Jenis kelamin

Prevalensi terjadinya hipertensi pada pria sama dengan

wanita. Namun wanita terlindung dari penyakit kardiovaskuler

sebelum menopause. Wanita yang belum mengalami menopause

dilindungi oleh hormon estrogen yang berperan dalam


meningkatkan kadar Hihg Density Lipoprotein (HDL). Kadar

kolesterol HDL yang tinggi merupakan factor pelindung dalam

mencegah terjadinya proses aterosklerosis. Efek perlidungan

estrogen dianggap penjelasan adanya imunitas wanita pada usia

premenopause.

Pada premenopause wanita mulai kehilangan sedikit demi

sedikit hormone estrogen yang selama ini melindungi pembuluh

darah dari kerusakan. Proses ini berlanjut dimana hormone

estrogen berubah kuantitasnya sesuai dengan umur wanita

secara alami, yang umumnya mulai terjadi pada wanita umur

44-45 tahun. (Elsanti, 2009)

- Umur

Hanns Petter (2009) mengemukakan bahwa kondisi yang

berkaitan dengan usia ini adalah produk samping dari

keausanarteriosklerosis dari arter-arteri utama, teruma aorta, dan

akibat dari berkurangnya kelenturan. Dengan mengerasnya arteri

dan menjadi semakin kaku, arteri dan aorta itu kehilangan daya

penyesuaian diri. Semakin tinggi umur seseorang semakin tinggi

tekanan darahnya, jadi orang yang lebih tua cenderung

mempunyai tekanan darah yang tinggi dari orang yang berusia

lebih muda. Hipertensi pada usia lanjut harus ditangani secara


khusus. Hal ini disebabkan pada usia tersebut ginjal dan hati

mulai menurun, karena itu dosis obat yang diberikan harus

benar-benar tepat. Tetapi pada kebanyakan kasus, hipertensi

banyak terjadi pada usia lanjut.

- Keturunan ( Genetik)

Adanya faktor genetik pada keluarga tertentu akan

meyebabkan keluarga itu mempunyai risiko menderita

hipertensi selain itu didapatkan 70-80% kasus hipertensi

esensial dengan riwayat hipertensi dalam keluarga. Hipertensi

juga banyak ditemukan pada penderita kembar monozigot (satu

telur), apabila salah satunya menderita hipertensi. Dugaan ini

menyokong bahwa faktor genetik mempunyai peran di dalam

terjadinya hipertensi. (Angraini ddk, 2009).

2) Faktor resiko yang dapat dikontrol

- Obesitas

Pada usia lebih dari 50 tahun dan dewasa lanjut asupan

kalori mengimbangi penurunan kebutuhan energy karena

kurangnya aktivitas. Itu sebabnya berat badan meningkat.

Obesitas dapat memperburuk kondisi lansia. Kelompok lansia

dapat memicu timbulnya berbagai penyakit seperti artritis,

jantung dan pembuluh darah, hipertensi (Rohendi, 2008).


- Kurang olahraga

Olahraga banyak dihubungkan dengan pengelolaan

penyakit tidak menular, karena olahraga isotonik dan teratur

dapat menurunkan tahanan perifer yang akan menurunkan

tekanan darah (untuk hipertensi) dan melatih otot jantung

sehingga menjadi terbiasa apabila jantung harus melakukan

pekerjaan yang lebih berat karena adanya kondisi tertentu.

Kurangnya aktivitas fisik menaikan risiko tekanan darah

tinggi karena bertambahnya risiko untuk menjadi gemuk.

Orang-orang yang tidak aktif cenderung mempunyai detak

jantung lebih cepat dan oto jantung mereka harus bekerja lebih

keras pada setiap kontraksi, semakin keras dan semakin

jantung harus memompa semakin besar pula kekuatan yang

mendesak arteri (Rohendi, 2008).

- Kebiassan Merokok

Merokok menyebabkan peninggian tekana darah.

Perokok berat dapat dihubungkan dengan peningkatan insiden

hipertensi maglina dan risiko terjadinya stenosis arteri renal

yang mengalami arteriosklerosis.

- Mengkomsumsi garam berlebih

Badan kesehatan dunia yaitu World Health Organization

(WHO) merekomendasikan pola konsumsi garam yang dapat


mengurangi risiko terjadinya hipertensi. Kadar sodium yang

direkomendasikan adalah tidak lebih dari 100 mmol (sekitar

2,4 gram sodium atau 6 gram garam) perhari.

Konsumsi natrium yang berlebih menyebabkan

konsentrasi natrium di dalam cairan ekstraseluler meningkat.

Untuk menormalkannya cairan intraseluler ditarik ke luar,

sehingga volume cairan ekstraseluler meningkat.

Meningkatnya volume cairan ekstra seluler tersebut

menyebabkan meningkatnya volume darah, sehingga

berdampak kepada timbulnya hipertensi. (Hans petter, 2008).

- Minum alkohol

Banyak penelitian membuktikan bahwa alkoho; dapat

merusak jantung dan organ-organ lain, termasuk pembuluh

darah. Kebiasaan minum alkohol berlebihan termasuk salah

satu faktor resiko hipertensi (Marliani, 2007).

- Minum kopi

Faktor kebiasaan minum kopi didapatkan dari satu

cangkir kopi mengandung 75-200 mg kafein, di mana dalam

satu cangkir tersebut berpotensi meningkat tekana darah 5-10

mmhg.

- Stress
Hubungan antara stres dengan hipertensi diduga melalui

aktivitas saraf simpatis peningkatan saraf dapat menaikkan

tekana darah secara intermiten (tidak manentu).

Stress yang berkepanjangan dapat mengakibatkan

tekanan darah menetap tinggi. Walaupun hal ini belum terbukti

akan tetapi angka kejadian di masyarakat perkotaan lebih

tinggi dibandingkan dengan di pedesaan. Hal ini dapat

dihubungkan dengan pengarus stres yang dialami kelompok

masyarakat yang tinggal di kota (Rohendi, 2003).

Menurut Anggraini (2009) mengatakan stres akan

meningkatkan resistensi pembuluh darah perifer dan curah

jantung sehingga akan menstimulasi aktivitas saraf simpatis.

Adapun stres ini dapat berhubungan dengan pekerjaan, dan

lain-lain.

2.1.6 Komplikasi Hipertensi

Pada hipertensi pembuluh darah mengalami penyempitan,

sehingga aliran darah yang masuk melalui pembuluh darah tersebut

akan semakin sedikit, bila penyempitan terjadi semakin meningkat

dapat terjadi sumbatan sehingga aliran darah yang menuju otak akan

terganggu. Otak mendapatkan sekitar seperempat dari aliran darah

tubuh total tiap menitnya, sehingga bila ada pengurangan aliran yang

menuju ke otak maka akan kinerja dari otak akan ternganggu.


Gangguan fungsi otak akan bermanifestasi berupa penurunan fungsi

kognitif (Waldstein et al, 2011).

2.1.7 Upaya pengendalian hipertensi

Muhammadun (2010) , beberapa hala yang perlun diperhatikan

dalam upaya pengendalian hipertensi :

1. Pengendalian hipertensi dengan olahraga teratur

2. Pengendalian hipertensi dengan istirahat yang cukup

3. Pengendalian hipertensi dengan cara medis

4. Pengendalian hipertensi dengan cara tradional

5. Pengendalian hipetrensi dengan cara mengatur pola makan

6. Pengendalian hipertensi dengan cara mengurangi konsumsi garam

satu sendok perhari

Menurut Gunawan (2001), untuk menghindari terjadinya

komplikasi hipertensi yang fatal, maka penderita perlu mengambil

tindakan pencegahan yang baik (stop high blood pressure) sebagai

berikut:

1. Mengurangi konsumsi garam

2. Menghindari kegemukan (obesitas)

3. Membatasi konsumsi lemak

4. Olahraga teratur

5. Makan banyak buah dan sayuran segar


6. Tidak merokok dan tidak mengkonsumsi munuman berakohol

7. Melakukan relaksasi atau meditasi

8. Berusaha membina hidup yang positif

2.2 Konsep Lanjut Usia

2.2.1 Definisi Lanjut Usia

Penduduk di atas usia 15 tahun dan dibawah 65 tahun makin

membengkak karena pertumbuhan penduduk anak-anak peninggalan

masa lalu. Begitu juga penduduk diatas usia 60 tahun, atau diatas usia

65 tahu. Penduduk usia ini dikenal sebagai penduduk lanjut usia yang

tumbuh dengan kecepatan paling tinggi (Suyono, 2007).

2.2.2 Batasan lansia

Lansia adalah seseorang yang tlah mencapai usia 60 (enam puluh)

tahun keatas, menurut UU RI No.13 Tahun 1998 Bab 1 pasal 1.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menggolongkan lansia menjadi 4

yaitu: usia pertengahan (middle age) adalah 45-49 tahun, lanjut usia

(elderly) adalah 60-74 tahun, lanjut usia tua (old) adalah 75-90 tahun

dan usia sangat tua (very old) diatas 90 tahun (Nugroho, 2008). Lansia

merupakan seseorang yang berusia 60 tahun ke atas baik pria maupun

wanita, yang masih aktif beraktivitas dan bekerja ataupun mereka yang

tidak berdaya untuk mencari nafkah sendiri sehingga bergantung

kepada orang lain untuk menghidupi dirinya (Tamber, 2009).


2.2.3 Tipe lansia

Tipe yang ada pada lansia tergantung oleh karakter, pengalaman

hidup, lingkungan, kondisi fisik, mental, sosial, dan ekonominya

(Nugroho, 2000 dalam Siti Maryan 2009):

1) Tipe arif bijaksana

Kaya dengan hikmah, pengalaman, menyesuaikan diri dengan

perubahan zaman, mempunyai kesibukan, bersikap ramah, rendah

hati, sederhana, dermawan, memenuhi undangan, dan menjadi

panutan.

2) Tipe mandiri

Mengganti kegiatan yang hilang dengan kegiatan yang baru,

selektif dalam mencari pekerjaan, bergaul dengan teman, dan

memenuhi undangan.

3) Tipe tidak puas

Konflik lahir batin menentang proses penuaan sehingga menjadi

pemarah, tidak sabar, mudah tersinggung, sulit dilayani, pengkritik,

dan banyak menuntut.

4) Tipe pasrah

Menerima dan menunggu nasib baik, mengikuti kegiatan agama,

dan melakukan pekerjaan apa saja.


5) Tipe bingung

Kaget, kehilangan kepribadian, mengasingkan diri, minder ,

menyesal, pasif, dan acuh tak acuh.

2.2.4 Tugas perkembangan lansia

Menurut Siti Maryan (2009), tugas perkembangan pada lansia yaitu:

a) Mempersiapkan diri untuk kondisi yang menurun

b) Mempersiapakan diri untuk pension

c) Membentuk hubungan yang baik dengan orang seusianya

d) Mempersiapkan kehidupan baru

e) Melakukan penyusuaian terhadap kehidupan sosial/masyarakat

secara santai

f) Mempersiapakan diri untuk kematiannya dan kematian pasangan

tugas perkembangan pada usia lanjut menurut Tamber (2009) yaitu:

g) Penyesuaian terhadap penurunan kekuatan dan penurunan fisik

h) Penyusaian terhadap pensiun dan penuruan penghasilan

i) Penyusuaian terhadap kematian pasangan atau orang yang terdekat,

membangun suatu perkumpulan dengan sekelompok seusia,

mengambil prakarsa dan beradatasi terhadap peran social dengan

cara yang fleksibel, serta membuat pengaturan hidup atau kegiatan

fisik yang menyenangkan.

1. Teori Biologi

Teori biologi tentang proses penuaan terdiri dari :


- Teori Radikal Bebas

Teori ini diperkenalkan pertama kali oleh Dr.

Gerschman tahun 1954, kemudian dikembangkan oleh Dr.

Denham Harman yang mengatakan bahwa superoksida

dan radikal bebas lain menyebabkan kerusakan komponen

makromolekul sel dan organ. Radikal bebas adalah suatu

molekul yang mempunyai satu atau lebih elektron yang

tidak berpasangan. Makromolekul seperti asam nukleat,

lipid, gula, dan protein mudah diserang oleh radikal bebas.

Ikatan single- dan double- asam nukleat dapat rusak dan

berikatan dengan molekul lain, serta dapat berikatan

dengan basa atau kelompok gula lain (Pangkahila, 2007).

- Teori Autonnium

Teori Autoimun Pada teori ini, penuaan dianggap

disebabkan oleh adanya penurunan fungsi sistem imun.

Perubahan akan lebih tampak secara nyata pada limposit –

T, disamping perubahan juga terjadi pada limposit –B.

Perubahan yang terjadi meliputi penurunan sistem imun

humoral yang dapat menjadi faktor predisposisi pada orang

tua untuk menurunkan resistensi untuk melawan

pertumbuhan tumor dan perkembangan kanker,

menurunkan kemampuan untuk mengadakan inisiasi proses

dan secara agresif memobilisasi pertahanan tubuh terhadap


patogen, meningkatkan produksi auto antigen yang

berdampak pada semakin meningkatnya resiko terjadinya

penyakit yang berhubungan dengan autoimun.

- Teori Telometer

Teori telomere merupakan perkembangan dari teori

genetic clock, menjelaskan bahwa setiap mitosis sel bagian

telomere DNA akan memendek, dengan semakin

pendeknya telomere ini maka kemampuan sel untuk

membelah menjadi terbatas dan pada akhirnya berhenti

(Darmojo, 2015). Namun sebenarnya, peran pengendalian

genetik terhadap usia hidup hanya memberi kontribusi

sedikit, sekitar 15-35%. Pengaruh terbesar pada kekuatan

hidup adalah berasal dari lingkungan yang nyaman dan

kebiaaan hidup yang menyenangkan.

- Teori Hormonal

Pusat terjadinya proses penuaan terletak pada otak.

Hal ini didsarkan pada studi tentang hipotiroidme yang

dapat menjadu fatal apabila tidak dapat diobai tengan

trioksin. Manifestasi dari penuaan akan tampak jika

penyakit tersebut tidak segera ditangani seperti system

kekebalan, kulit yang melalui keriput, munculnya ubann,

dan penurunan proses metabolism secara perlahan.


- Mutasi somatik (Error Catastrophe)

Mutasi somatik (teori Error Catastrophe) Hal

penting lainnya yang perlu diperhatikan dalam menganalisis

faktor-faktor penyebab terjadinya proses menua adalah

faktor lingkungan yang dapat menyebabkan terjadinya

mutasi somatik. Menurut teori ini terjadinya mutasi yang

progresif pada DNA sel somatik, akan menyebabkan

terjadinya penurunan kemampuan fungsional sel tersebut.

Adanya mutasi somatik yang beruntun secara berantai

hingga pada suatu waktu kesalahan-kesalahan yang terjadi

dapat meledak sebagai katastrop. Disini tersangkut

kesalahan pada proses transkripsi dan translasi

(pembentukan RNA dan protein).

- Teori stres

Teori didasarkan pada fakta bahwa menua menjadi

sebagai akibat dari hilangnya sel-sel yang biasa digunakan

tubuh. Regenerasi jaringan tidak dapat mempertahankan

kestabilan lingkungan internal, kelebihan usaha dan stress

yang menyebabkan sel-sel tubuh telah terpakai kembali.

2. Teori Sosiopsikologis

- Teori ktivitas ata kegiatan


Teori ini menyatakan bahwa lansia harus tetap aktif

mengikuti kegiatan di masyarakat untuk mencapai

kesejahteraan pada usianya. Aktivitas social dilakukan oleh

lansia untuk mempertahankan kepuasan hidup dan konsep

diri yang positif. Lansia yang masih aktif diharapkan tetap

bersemangat dan tidak merasa terasingkan oleh masyarakat

oleh karena faktor usia. Teori ini di didasarkan pada tiga

asumsi bahwa baik aktif dari pada pasif, lebih baik bahagia

dari pada murung, dan lansia yang sejahtera adalah lansia yag

bisa selalu aktif dan bahagia ( Havighurst, 1972 dalam

Leukenotte, 2000).

- Teori pembebasan

Teori ini dijelaskan bahwa bertambahnya usaia,

seseorang perlahan-lahan mulai melepaskan diri dari

kehidupan sosialnya atau menarik diri dari pergaulan

sekitarnya. Keadaan ini menyebabkan interaksi social pada

lansia menurun, baik secara kualitas maupun kuantitas

sehingga sering terjadi kehilangan ganda, yaitu kehilangan

peran atau kontak social, dan berkurangnya komitmen.

- Teori kpribadian lanjut

Teori kepribadian lanjut menyangkal teori aktivitas dari

teori pembebasan. Perubahan yang terjadi pada seseorang


yang usianya telah lanjut sangat dipengaruhi oleh tipe

personality yang dimilikinya (Havighurst, 1972 dalam

Leukenotte, 2000).

3. Teori lingkungan

- Exposure Theory

Teori ini menyatakan bahwa paparan sinar matahari

dapat mengakibatkan percepatan proses penuaan.

- Radiaton Theori

Adanya paparan radiasai gamma, sinar-X dan

ultraviolet dari alat-alat medis memudahkan sel mengalami

denaturasi protein dan mutasi DNA.

- Polution Theory

Polusi udara, air, dan tanah mengandung substansi

kimia yang mempengaruhi kondisi epigenetic dan

menimbulkan penuaan dini.

•Strss Theory

Stress fisik maupun pisikis yang terjadi dapat

meningkatkan kadar kortisol dalam darah. Jika kondisi stress

berlangsung terus-menerus, maka proses penuaan akan

terjadi lebih cepat.

2.2.5 Perubahan yang Terjadi pada Lansia


perubahan-perubahan yang terjadi pada lansia menurut Nugroho (2002)

yaitu:

1) perubahan fisiologis

a. Sel : jumblah berkurang, ukuran membesar, cairan tubuh

menurun, dan ciran intra seluler menurun

b. Sistem persarafan : saraf panca indra mengecil, sehingga

fungsinya menurun serta lambat dalam merespons dan wakti

bereaksi kususnya yang berhubungan dengan stress.

c. Sistem pendengaran : gangguan pendengaran kerena

membrane timpani menjadi atrofi. Tulang-tulang pendengaran

mengalami kekakuan.

d. Sistem penglihatan respon terhadap sinar menurun, adaptasi

terhadap gelap menurun, akomodasi menurun dan katarak.

e. Sistem kardiovaskuler : katub jantung menebal kan kaku,

kemampuan memompa darah menurun, elastisitas pembuluh

adrah menurun serta meningkatnya resistensi pembuluh darah

perifer sehingga tekanan darah meningkat.

f. Sistem pengaturan suhu : hipotalamus dianggap sebagai suatu

thermostat yaitu menetapkan suhu tertentu, kemunduran terjadi

berbagai faktor yang sering ditemui antara lain temperature

tubuh menurun secara fisiologik akibat metabolism menurun,

keterbatasan reflex menggigil dan tidak dapat memproduksi

panas.
g. Sistem respirasi : otot otot pernafasan kehilangan kekuatan dan

menjadi kaku, menurunnyaaktivitas dari sila, paru-paru

kehilangan elastisitas

h. Sistem gastrointestinal : esofagus melebar, asam lambung

menurun, lapar menurun dam peristaltic menurun. Ukuran

lambung mengecil serta fungsi organ aksesori menurun,

sehingga menyebabkan berkurangnya produksi hormone dan

enzim pencernaan.

i. Sistem genitourinaria : ginjal mengecil aliran darah ke ginjal

menurun, penyaringan diglomerulus menurun, dan fungsi

tubulus menurun.

j. Sistem kulit : keriput serta kulit kepada dan rambut menipis.

Rambut dalam hidung dan telinga menebal. Elastisitas

menurun, vaskularisasi menurun, rambut memutih, kelenjar

keringat menurun.

k. Sistem muskulo skeletal : Cairan tulang menurun sehingga

mudah rapuh, bungkuk, persendian membesar, dan menjadi

kaku, tremor.

l. Perubahan mental:Di dalam perubahan mental pada usia lanjut,

perubahan dapat berupa sikap yang semakin egosentris, mudah

curiga, bertambah pelit atau tamak akan sesuatu. Faktor yang

mempengaruhi perubahan mental antara lain perubahan fisik,


kesehatan umum, tingkat pendidikan, keturunan, dan

lingkungan (Nugroho, 2009).

m. Perubahan psikososial

Perubahan psikososial meliputi pensiun yang

merupakan produktivitas dan identitas yang dikaitkan dengan

peranan dalam pekerjaan, merasakan atau sadar akan kematian

perubahan dalam cara hidup, ekonomi akibat dari

pemberhentian dari jabatan, dan penyakit kronis.

2.3 Konsep Fungsi Kognitif

2.3.1 Defenisi Fungsi Kognitif

Fungsi kognitif dapat didefinisikan sebagai suatu proses dimana

semua masukan sensoris (taktil, visual dan auditorik) akan diubah,

diolah, disimpan dan selanjutnya digunakan utntuk hubungan

interneuron secara sempurna sehingga individu mampumelakukan

penalaran terhadap masukan sensoris tersebut. Fungsi kognitif

menyangkut kualitas pengetahuan yang dimiliki seseorang. Menurut

Hecker (1998) madalitas dari kognitif terdiri dari sembilan modalitas

yaitu: memori, bahasa, praksis, visuospasial, atensi serta konsentrasi,

kalkulasi, mengambil keputusan (eksekusi), reasoning dan berpikir

abstrak (Wiyoto, 2012).

1) Memori
Memori dapat didefinisikan sebagai kemampuan dalam

menyimpan dan mengulang kembali informasi yang diperoleh yang

terdiri dari 3 tahap. Tahap pertama yaitu encoding yang merupakan

fungsi menerima , proses, dan penggabungan informasi. Tahap kedua

yaitu storage merupakan pembentukan suatu catatan permanen dari

informasi yang telah dilakukan encoding. Tahap yang ketiga yaitu

retrieval merupakan suatu fungsi memanggil kemnali informasi yang

telah disimpan untuk interpretasi dari suatu aktivitas ( Satyanegara et

al, 2010).

Memori merupakan suatu proses biologis yang melibatkan

jutaan sel neuron yang membentuk sinaps yang kemudian

mentramisikan impulsnya melalui suatu neurotransmioter asetilkolin,

sehingga funsi memori dapat disalurkan. Apabila terjadi peningkatan

pemakaian fungsi memori maka sinaps antar neuron yang terbentuk

akan semakin bertambahyang mengakibatkan semakin meningkatnya

kapasitas dari memori (Guyton & Hall, 2008).

Hipokampus merupakan suatu bagian otak yang terletak medial

dari girus temporal yang berperan penting dalam fungsi memori, yaitu

memproses informasi yang masuk melakukan konsilidasi dari memori

jangka pendek, serta memilih informasi yang penting untuk dijadikan

memori jangka panjang. Hipokampus juga berfungsi sebagai memori

spasial yaitu memori mengenai navigasi lokasi. Berbagai penelitian

telah dilakukan dan ditemukan bahwa penderita alzheimer terjadi


kerusakan pada hipokampus yang berefek pada penurunan fungsi

memori. Penelitian lain juga dilakukan pada tikus yang diambil lobus

temporalnya mengalami kesulitan dalam menentukan lokasi. Fungsi

hipokampus dapat ternganggu, misal pada kejadian hipoksia,

ensepaalitis, epilepsy lobus temporal yang berakibat pada terjadinya

amnesia (Guyton & Hall, 2008).

Pembagian klasifikasi memori sangat beragam ada beberapa

pendapat ahli yang membagi memori secara berbeda-beda. Menurut

American Academy of Neurology fungsi memori secara garis besar

dibagi menjadi 3 kategori yaitu, short term memory yang merupakan

kemampuan seseorang dalam mengingat informasi baru misalnya pada

saat kita mengingat nomor telepon baru. Kategori kedua adalah long

term memory adalah kemampuan seseorang dalam mengingat perihal

yang pernah kita pelajai atau dapat pada masa lampau, misalnya

kemampuan mengingat nama teman masa kecil. Kategori ketiga adalah

working memory yaitu fungsi pengerjaan dua ativitas secara sekaligus

misalnya saat kita melakukan penghitungan terhadap pembagian

angka, kita harus menyimpan satu angka hasil dan pada waktu yang

bersamaan kita melakukan penghitungan terhadap angka yang lain.

Ketiga fungsi memori tersebut akan terpengaruhi fungsinya pada

proses penuaan (Lumbantobing, 2007).


Berdasarkan neurologis klinis, fungsi memori dibagi dalam tiga

tingkatan bergantung lamanya rentang waktu antara stimulus dan

recall, yaitu:

- Memori segera (immediate memory), rentang waktu antara

stimulus dan recall hanya beberapa detik. Disini hanya

dibutuhkan pemusatan perhatian untuk mengingat (attention).

- Memori baru (recent memory), rentang waktunya lebih lama yaitu

beberapa menit, jam, hari.\

- Memori lama ( remote memory), rentang waktunya bertahuntahun

bahakan seumur hidup (Satyanegara et al, 2010).

2) Bahasa

Berbahasa merupakan suatu instrument dasar bagi manusia

untuk berkomunikasi antara satu orang dengan yang lainnya. Bila

terdapat gangguan dala hal ini, akan mengakibatkan hambatan yang

cukup besar bagi penderita. Kemampuan berbahasa seseorang

mencakup kemampuan untuk berbicara spontan, pemahaman,

pengulangan, membaca, dan menulis (Satyanegara et al, 2010).

Beberapa kelainan dalam berbahasa antara lain disartria (pelo),

disfonia (serak), disprosodi (gangguan irama berbicara), apraksia oral,

afasia, aleksia atau agrafia (Satyanegara et al, 2010).

- Praksis
Praksis merupakan integrasi motorik untuk melakukan

gerakan kompleks yang bertujuan, sebagai contoh seseorang

dapat menggambar segilima, membuat gambar secara spontan,

membuat rekonstruksi balok tiga dimensi (Satyanegara et al,

2010) .

- Visuospasial

Visuospasial merupakan kemampuan untuk mengaitkan

keadaan sekitar dengan pengalaman lampau, sebagai contoh

orientasi seseorang terhadap orang lain, waktu, dan tempat

(Satyanegara et al, 2010).

- Atensi

Atensi merupakan kemampuan untuk memusatkan

perhatian pada sesuatu yang dihadapi, dapat diperiksa dengan

mengulangi 7 angka yang kita pilih secara acak untuk diucapkan

kembali atau mengetukkan jari diatas meja sesuai angka yang kita

sebutkan (Satyanegara et al, 2010).

- Kalkulasi

Kemampuan berhitung sebenarnya lebih dipengaruhi oleh

pendidikan dan pekerjaan seseorang, kemampuan berhitung

misalnya menghitung 100 dikurangi 7 dan setrusnya (Satyanegara

et al, 2010).

- Eksekusi
Pengambilan keputusan merupakan salah satu fungsi

kognitif yang penting, dimana seseorang memiliki kemampuan

untuk mengambil keputusan, misalnya untuk menetukan tindakan

apa yang perlu dilakukan untuk menegrjakan suatu tugas

(Satyannegara et al, 2010).

- Reasoning

Reasoning merupakan kemampuan seseorang secara sadar

mengaplikasikan logika terhadap sesuatu, sebagai contoh

kpercayaan seseorang setelah adanya fakta yang mendukung

suatu pemikiran. Reasoning merupakan kebalikan dari pemikiran

secara intuisi, karena fungsi reasoning disadari oleh pengetahuan

dan itenlegensi (Satyanegara et al, 2010).

- Abstraksi

Berpikir abtrak diperlukan untuk menginterpretasi suatu

pepatah atau kiasan, misalnya seseorang mampu menginterpretasi

pepatah ada gula ada semut, atau kemampuan seseorang untuk

mendeskripsikan perbedaan antara kucing dengan anjing

(Satyanegara et al, 2010).

2.3.2 Gangguan Fungsi Kongnitif

Penurunan fungsi kofnitif memiliki tiga tingkatan dari yang

paling ringan hingga yang paling berat yaitu: Mudah lupa


(forgerfulness), Mild Congnitive Impairment (MCI) dan demensia

(Lumbantobing, 2007).

1) Mudah lupa (Forgetfulness)

Mudah lupa merupakan tahap yang paling ringan dan sering

dialami pada orang usia lanjut. Berdasarkan data statistic 39%

orang pada usia 50-60 tahun mengalami mudah lupa dan angka

ini menjadi 85% pada usia di atas 80 tahun. Mudah lupa sering

diistilahkan Benign Senescent Forgetfulness (BSF) atau Age

Associated Memory Impairment (AAMI). Ciri-ciri kognitifnya

adalah proses berfikir melambat, kurang menggunakan strategi

memori yang tepat, kesulitan memusatkan perhatian, mudah

beralih pada hal yang kurang perlu, memerlukan waktu yang

lebih lama untuk belajar sesuatu yang baru dan memerlukan

lebih banyak pentunjuk/isyarat (cue) untuk mengingat kembali

(Hartono, 2006). Adapun criteria diagnosis mudah lupa berupa:

2) Mudah lupa nama benda, nama orang

3) Memanggil kembali memori (recall) ternganggu

4) Mengingat kembali memori (retrieval) ternganggu bila diberi

pentunjuk (cue) bisa mengenal kembali

5) Lebih sering menjabarkan fungsi atau bentuk dari pada

menyebutkan namanya (Hrtono, 2006).

6) Mild Cognitive Impairment (MCI)


Mild Cognitive Impairmentmerupakan gejala yang lebih

berat dibandingkan mudah lupa. Pada mild cognitive impairment

sudah mulai muncul gejala gangguan fungsi memori yang

menggangu dan dirasakan oleh penderita. Mild cognitive

impairment merupakan perantara antara gangguan memori atau

kognitif terkait usia (Age Associated Memory

Impairment/AAMI) dan demensia. Sebagian besar pasien

dengan MCI menyadari akan adanya deficit memori.

Kesuluruhan pada umumnya berupa frustasi, lambat dalam

menemukan benda atau mengingat nama orang, dan kurang

mampu melakukan aktivitas sehari-hari yang kompleks. Gejala

MCI yang dirasakan oleh penderita tentunya mempengaruhi

kualitas hidupnya. Penelitian menunjukkan bahwa lebih dari

separu (50-80%) orang yang mengalami MCI akan menderita

demensia dalam waktu 5-7 tahun mendatang. Oleh sebab itu,

diperlukan penanganan dini untuk mencegah menurunya fungsi

kognitif (Lumbantobing, 2007).

Berdasarkan rangkuman berbagai hasil penelitian di

berbagai negara prevalensi MCI berkisar antara 6,5-30% pada

golongan usia di atas 60 tahun. Kriteria diagnostik MCIadalah

adanya gangguan daya ingat (memori) yang tidak sesuai dengan

usianya namun belum demensia. Fungsi kognitif secara umum

relatif normal, demikian juga aktivitas hidup sehari-hari. Bila


dibandingkan dengan orang-orang yang usianya sebaya serta

orang-orang dengan pendidikan yang setara, maka terdapat

gangguan yang jelas pada proses belajar (learning) dan delayed

recall. Bila diukur dengan Clinical Dementia Rating (CDR),

diperoleh hasil 0,5 (Lumbantobing, 2007).

Kriteria yang lebih jelas bagi MCI adalah:

- Gangguan memori yang dikeluhkan oleh pasiennya sendiri,

keluarganya maupun dokter yang memeriksa.

- Aktivitas sehari-hari masih normal.

- Fungsi kognitif secara keseluruhan (global) normal.

- Gangguan memori obyektif, atau gangguan pada salah satu

wilayah kognitif, yang dibuktikan dengan skor yang jatuh di

bawah 1,5-2,0 SD dari rata-rata kelompok umur yang sesuai

dengan pasien.

- Nilai CDR 0,5

- Tidak ada tanda dimensia bilamana pada praktek ditemukan

seorang pasien yang mengalami gangguan memori berupa

gangguan memori tunda (delayed recall) atau mengalami

kesulitan mengingat kembali sebuah informasi walaupun

telah diberikan bantuan isyrat 9cue) padahal fungsi kognitif

secara umum msih normal, maka perlu dipikirkan diagnosis

MCI. Pada umumnya pasien MCI mengalami kemunduran

dalam memori baru. Namun diagnosis MCI tidak boleh


diterapkan dalam individu-individu yang mempunya

gangguan psikiatrik, kesadaran yang berkabut atau minum

obat-obatan yang mempengaruhi sistem saraf pusat

(Hartono,2006).

2) Demensia

Menurut IDC-10, DSM IV, NINCDS-ARDA, demensia

adalah suatu sindroma penurunan kemampuan intelektual

progresif yang menyebabkan deteriorasi kognitif dan fungsional,

sehingga mengakibatkan gangguan fungsi sosial, pekerjaan dan

aktivitas seharihari (Mardjono & Sidharta, 2008).

Demensia memiliki gejala klinis berupa kemunduran

dalam hal pemahaman seperti hilangnya kemampuan untuk

memahami pembicaraan yang tepat, percakapan yang kompleks

atau abstrak, humor yang sarkatis atau sindiran. Dalam

kemampuan bahasa dan bicara menjadi kemunduran pula yaitu

kehilangan idea pa yang sedang dibicarakan, kehilangan

kemampuan pemrosesan bahasa secara cepat, kehilangan

kemampuan penamaan (naming) dengan cepat. Dalam bidang

komunikasi dan sosial akan terjadi kehilangan kemampuan

untuk tetap berbicara dalam topik, mudah tersinggung, marah,

pembicaraan bisa menjadi kasar dan terkesan tidak sopan.

Namun tidak disertai gangguan derajat kesadaran (Mardjono &

Sidharta, 2008).
Demensia vaskuler adalah demensiayang disebabkan

oleh infark pada pembuluh darah kecil dan besar, misalnya

multiinfarct dementia. Konsep terbaru menyatakan bahwa

demensia vaskuler juga sangat erat berhubungan dengan

berbagai makanisme vaskuler dan perubahan-perubahan dalam

otak, berbagai faktor dalam individu dalam menifestasi klinis

(Mardjono & Sidharta , 2008).

Berlainan dengan demensia alzheimer, dimana setelah

terdiagnosa penyakit akan berjalan terus secara progresif

sehingga dalam beberapa tahun (7-10 tahun) pasien biasanya

sudah mencapai taraf terminal dan meninggal. Demensia

vaskuler mempunyai perjalanan yang fluktuatif, pasien bisa

mengalami dimana masa gejala relatif stabil, sampai terkena

serangan perburukan vaskuler yang berikut. Karena itu pada

demensia vaskuler relative masih ada kesempatan untuk

mengadakan intervensi yang bermakna, misalnya mengobati

faktor risiko (Lumbantobing, 2007).

Adapun kriteria diagnosis untuk demensia adalah:

a. Kemunduran memori dengan ciri:

b. Kehilangan orientasi waktu

c. Sekedar kehilangan memori jangka panjang dan pendek

d. Kehilangan informasi yang diperoleh

e. Tidak dapat mengingat daftar lima item atau nomor telepon


f. Kemunduran pemahaman

g. Kemunduran kemampuan bicara dan bahasa

h. Kemunduran komunikasi sosial (Lumbantobing, 2007).

2.3.3 Definisi kognitif

Defisit kognitif dapat bermanifestasi pada gangguan bahasa,

gangguan memori, gangguan emosi, gangguan visuospasial, dan

gangguan kognisi. (Wiyoto, 2012). Gangguan bahasa yang dapat

terjadi, terutama pada penderita demensia, dapat dilihat dari diksi

yang miskin. Pasien tidak dapat menyebut nama benda atau gambar

yang ditunjukkan padanya (confrontation naming), tetapi lebih sulit

lagi untuk menyebutkan nam benda dalam satu kategori (categorical

naming). satyanegara et al, 2010) gangguan memori sering

merupakan gejala pertama yang timbul pada demensia dini. Pada

ilmu neurologi dikenal 3 tingkatam fungsi memori yang bergantung

dari lamanya stimulus dan recall, yaitu:

1) Memori segera (immediate memory), rentang waktu antara

stimulus dan recall hanya beberapa detik. Disini hanya

dibutuhkan pemutusan perhatian untuk mengingat (attention).

2) Memori baru (recent memory), rentang waktunya lebih lama

yaitu beberapa menit, jam , bulan, bahkan tahun.

3) Memori lama (remote memory), rentang waktunya bertahun tahun

bahkan seumur hidup.


Pada tahap awal yang terganggua adalah memori kerja,

yakni cepat lupa dengan apa saja yang baru dikerjakan. Namun

lambat laun, memori jangka panjang juga dapat terganggu.

(Satyanegara et al, 2010). Gangguan emosi sekitar 15% pasien

mengalami kesulitan melakukan kontrol terhadap emosi. Gejala

yang timbul seperti menangis dengan tiba-tiba atau tidak dapat

mengendalikan tawa. Efek langsung yang paling umum dari

penyakit pada otak terhadap kepribadian adalah emosi yang

tumpul, kecemasan yang berkurang atau euphoria ringan, dan

menurunnya sentifitas sosial. Dapat juga terjadi kecemasan yang

berlebihan, depresi, dan hipersensitif. (Satyanegara et al, 2010).

Gangguan visouspasial sering timbul dini pada penderita

demensia. Pasien banyak lupa waktu, tidak tahu kapan siang dan

malam, lupa wajah teman dan sering tidak tahu tempat sehingga

sering tersesat atau disoerientasi. Secara objektif gangguan

visuospasial dapat ditentukan dengan meminta pasien mengopi

gambar atau menyusun balok-balok sesuai bentuk tertentu

(Satyanegara et al, 2010).

2.3.4 Faktor yang berpengaruh pada fungsi kognitif

Ada beberapa faktor penting yang memiliki efek penting

terhadap fungsi kognitif seperti usia, stres, ansietas, latihan memori,


genetik, hormonal, lingkungan, penyakit sistemik, infeksi,

intoksikasi obat dan diet.

a) Usia

Semakin tua usia seseorang maka secara almiah akan

terjadi apoptosis pada sel neuron yang berakibat terjadinya

atropi pada otak yang dimulai dari atropi korteks, atropi sentral,

hiperintensitas substantia alba dan paraventrikuler. Yang

mengakibatkan penurunan fungsi kognitif pada seseorang,

kerusakan sel neuron ini diakibatkan oleh radikal bebas,

penurunan distribusi energy dan nutrisi otak (Carayannis, 2001).

b) Stres, Depresi, Ansietas

Depresi, stres, dan ansietas akan menyebabkan penurunan

kecepatan aliran darah dan stres memicu pelepasan hormon

glukokortikoid yang dapatmenurunkan fungsi kognitif (Parkin,

2009).

c) Latihan memori

Semakin sering seseorang menggunakan atau melatih

memorinya, maka sinaps antar neuron akan semakin banyak

terbentuk sehingga kapasitas seseorang akan bertambah.

Berdasar penelitian Vasconcellos pada tikus yang diberi latihan

berenan selama 1 jam perhari 9 minggu terbukti memiliki fungsi


memori jangka pendek dan jangka panjang yang lebih baik dari

pada kelompok control (Vasconcellos et al, 2003).

d) Genetik

Terdapat beberapa unsure genetic yang berperan pada

fungsi genetik seperti gen amyloid beta merupakan prekursor

protein pada kromosom 21, gen Apilipopritein E alel delta 4

pada kromosom 19, gen butyrylcholnesterae K variant menjadi

faktor risiko alzheimer, gen prenisilin 1 pada kromosom 14 dan

prenisilin 2 kromosom 1 (Li, Sung & Wu , 2002).

e) Hormon

Pengaruh hormon terutama yang mengatur deposit jaringan

lipid seperti testosteron akan menyebabkan angkakenaikkan

kada kolesterol darah yang berakibat pada fungsi kognitif, dan

sebaliknya estrogen terbukti menurunkan faktor resiko

alzheimer pada wanita post menopause, karena estrogen

memiliki reseptor di otak yang berhubungan dengan fungsi

kognitif dan juga meningkatkan plastisitas sinap (Desa &

Grossberg, 2003).

f) Lingkungan
Pada orang yang tinggal di daerah maju dengan sistem

pendidikan yang cukup maka akan memliki fungsi kognitif yang

lebih baik dibandingkan pada orang dengan fasilitas pendidikan

yang minimal, semakin kompleks stimulus yang didapat maka

akan semakin berkembang pula kemampuan otak seseorang

ditunjukkan pada penelitian pada tikus yang berada pada

lingkungan sering diberikan rangsang memiliki kadar asetikolin

lebih tinggi dari kelompok kontrol (Wood et al, 2000).

g) Infeksi dan penyakit sistemik

Hipertensi akan menghambat aliran darah otak sehingga

terjadi gangguan suplai nutrisi bagi otak yang berakibat pada

penurunan fungsi kognitif. Selain itu infeksi akan merusak sel

neuron yang menyebabkan kematian sel otak (Stinga et al,

2000).

h) Intoksikasi obat

Beberapa zat seperti toluene, alkohol, bersifat toksik bagi

sel neuron, selain itu defisiensi vitamin B kompleks terbukti

menyebabkan penurunan fungsi kognitif seseorang, obat

golongan benzodiazepin, statin juga memiliki efek terhadap

memori ( Faust, 2008).

i) Diet
Komsumsi makanan yang tinggi kolesterol akan

menyebabkan akumulasi protein amiloid beta pada percobaan

dengan menggunakan tikus wistar yang memicu terjadinya

demensia (Kaudinov & Kaudinova, 2011).

2.4 Pengukuran fungsi kognitif

Pengukuran fungsi kognitif dapat menggunakan beberapa metode,

seperti Mini Mental State Examinition (MMSE) dan Montreal Cognitive

Assesment (MoCA). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Tasha

didapatkan hasil bahwa sensitifitas MoCA (sensitivitas 90-96% dan

spesifitas 87-95%) lebih tinggi dibandingkan dengan metode pengukuran

MMSE ( sensitivitas 83% dan spesifitas 70%) untuk mendeteksi pasien

dengan gangguan fungsi kognitif (Tasha et al, 2007).

The Montreal Cognitive Assesment pertama kali dikembangkan di

Montreal Canada oleh Dr.Ziad Nasreddine sejak tahun 1996. Di Indonesia

dimodifikasi oleh Nadia Husein, dkk tahun 2009. MoCA-InA secara

kesuluruhan terdiri dari 13 poin tes yang mencakup 8 domain yaitu

visuospasial/executive terdiri 3 poin, penamaan terdiri dari 1 poin, memori

terdiri 1 poin, perhatian terdiri dari 3 poin, bahasa 2 poin, abstrak 1 poin,

pengulangan kembali 1 poin, dan orientasi terdiri dari 1 poin. Skor tertinggi

yaitu 30 poin. Interpretasinya skor 26-30 disebut normal dan < 26 disebut

tidak normal (Doerflinger,2012).


Selain validitas dan reabilitas MoCA untuk mendeteksi gangguan

kognitif merupakan yang paling itnggi yang ada saat ini yaitu 90-96%

sensitifitas dan 87-95% spesifik, keunggualan lain alat ini dibandingkan alat

lain adalah efisiensi waktu. Alat ini dapat dipergunakan dalam waktu +_ 10

menit. Instruksi manual dan skoring tersedia dalam 36 bahasa. MoCA dalam

versi Indonesia (MoCA-Ina) telah diuji oleh Husein-dkk (2009). Instrumen

MoCA sudah dibakukan sebagai instrumen umum sejak tahu 1996 dan

sudah diuji validitas dan reabilitasnya (Doerflinger, 2012).

2.5 Patofisiologi Penurunan Fungsi Kognitif karena Hipertensi pada

Lansia

Hipertensi memberikan efek terhadap otak melalui banyak mekanisme

yang pada akhirnya memberikan efek terhadap penurunan fungsi kognitif

(Waldstein et al, 2001). Beberapa studi telah dilakukan dan didapatkan hasil

bahwa hipertensi menyebabkan penurunan cerebral blood flow (CBF)

sehingga metabolisme otak (penggunaan glukosa untuk menghasilkan

energi) pada regio otak tertentu, seperti pada lobus frontal, temporal, dan

area subkortikal terganggu. Penurunan CBF ini ditemukan lebih besar efek

yang ditimbulkan pada pasien hipertensi tanpa terapi medikasi dibandingkan

dengan pasien yang mendapatkan terapi medikasi. Beberapa penelitian juga

menunjukkan bahwa pada subjek penderita hipertensi memiliki respon yang

lebih buruk pada fungsi memorinya dibandingkan dengan yang memiliki

tekana darah normal (Jennings et al, 2008).


Penemuan ini menunjukkan bahwa CBF memiliki peranan pada fungsi

memori dan juga pada fungsi kognitif yang lain. Transmisi neurokimiawi

pada otak dan pada fungsi basal sel juga terkena efek akibat dari hipertensi,

selain itu berbagai macam karakteristik neurofisiologis hipertensi juda dapat

memberikan andil terhadap gangguan fungsi kognitif. Beberapa

karakteristik ini juga dapat menyebabkan perubahan patologis pada anatomi

otak setelah melalui beberapa tahun (Schimdt et al, 2003).

Pembuluh darah besar yang memberikan suplainya ke otak (arteri

karotis) serta pembuluh darah besar dan pembuluh darah kecil yang berada

lam otak juga mendapat imbas hipertensi yang terjadi dalam terbentuk

kerusakan pembuluh darah yang menyebabkan penurunan sampai ke otak,

seperti atherosclerosis pada arteri besar dan blockade pada arteriol. Pada

akhirnya proses ini menyebabkan kerusakan pada substansia alba yang

berperan dalam transmisi pesan dari satu region otak atau menuju yang

lainnya, selain itu juga menyebabkan mini stroke atau sering disebut silent

infraction karena simpton yang muncul tidak terlihat dengan jelas.

Hipertensi juga menyebabkan kerusakan pada endotel dari arteri

serebral. Kerusakan ini dapat mennimbulkan gangguan pada blood brain

barrier, sehingga substansitoksik dapat dengan mudah masuk menuju ke

otak. Pada penderita hipertensi yang mengomsumsi obat ditemukan

kerusakan minimal substansia alba dibandingkan dengan penderita yang

tidak mengonsumsi obat anti hipertensi. Kerusakan ekstensif juga

ditemukan pada penderita yang tekanan darahnya tidak terkontrol. Pada


tahap akhir pendeeita hipertensi ditemukan bahwa terjadi atrofi atau

penyusutan pada massa otaknya. Berbagai gangguan inilah yang secara

bertahap menimbulkan vascular disease pada otak pada tahap akhir

menimbulkan stroke ataupun demensia vaskuler (Schimdt et al, 2003).

Hipertensi mengakibatkan kerusakan pembuluh darah yang terlihat jelas

diseluruh pembuluh darah perifer. Penyumbatan pembuluh darah karena

kerusakan yang terjadi dapat mengakibatkan aterosklerosis pada pembuluh

darah besar yang menyebabkan penyumbatan sehingga terjadi kematian

jaringan otak. Selain itu, terjadi peningkatan permeabilitas pembuluh darah

sehingga terjadi ekstavasasiprotein amiloid yang beragregasi membentuk

plak. Plak ini mengakibatkan kematian neuron kolinergik yang

menghasilkan asetikolin. Defisit neurotransmitter asetikkolin menybabkan

terganggunya mekanisme fungsi kognitif pada jaringan otak (Price, 2012).

Meskipun berbagai perubahan di otak seperti yang telah dijelaskan

diatas dapat menjelaskan mengapa hipertensi dapat menurunkan fungsi

kognitif, bebrapa studi telah memeriksa mekanisme hubungan ini dengan

performa kognitif. Pada salah satu studi menunjukkan bahwa penderita

hipertensi yang mengalami kerusakan substansia alba menunjukkan hasil

kognitif yang lebih buruk dibandingkan dengan subjek yang memiliki

tekanan darah normal dan kerusakan substansia alba yang minimal (Schimdt

et al, 2003).
2.6 Kerangka Konseptual

Kerangka konsep dalam penelitian ini di modifikasi oleh teori

Chobainan et al, (2003) teori hipertensi, elisanti, (2009) faktor yang

mempengaruhi hipertensi, gendi et al, (20110 patologi otak akibat kelainan

vaskuler, caryannis, (2001), parkin, (2009), vasconcellos et al, (2003), li, sung

& wu, (2002), desa & grossberg, (2003), wood et al, (2000).stinga et al,

(2000), faust, (2008), kaudinov 7 kaudinnova, 2011), teori tentang faktor

Hipertensi terkontrol

Hipertensi tidak terkontrol

Hipertensi
Gangguan Abstraksi

Gangguan Bahasa

Gangguan Memori

Gangguan Atensi

Gangguan visuopasial

Faktor yang mempengaruhi fungsi kognitif:

• Usia

• Stress

• Ansietas

• Latihan memori

• Genetik

• Hormonal

• Lingkungan

• Penyakit sistemik

• Infeksi

• In

• Obat

• diet
Penurunan Fungsi Kognitif

Kerusakan Blood

Brain Barrier

Athero sklerosis

Lipohyatin

Hipertrofi otot halus

Penyempitan lumen pembuluh darah

Penebalan tunika intima dan tunika media

Athero skleros

Perubahan microvascular
Skema 2.1

Kerangka konseptual

Anda mungkin juga menyukai