OLEH :
MENGETAHUI
a. Jenis Hipertensi
Menurut Lemone (2016) mengemukakan berbagai jenis hipertensi
antara lain :
1) Hipertensi Primer
Hipertensi Primer, juga disebut sebagai hipertensi ensensial,
adalah tekanan darah sistemik yang naik secara persisten. Hipertensi
yang terjadi tanpa adanya kondisi atau penyakit penyebab disebut
sebagai hipertensi primer. Berdasarkan penelitian, sebagian besar
masyarakat mengidap hipertensi jenis ini meski tidak disebabkan
adanya kondisi atau penyakit, tetapi ada beberapa faktor risiko
penyebab gangguan kemampuan tubuh untuk mengatur tekanan darah.
2) Hipertensi Sekunder
Hipertensi Sekunder adalah kenaikan tekanan darah yang terjadi
akibat proses dasar yang dapat diidentifikasi. Hanya sedikit kasus
hipertensi yang terdeteksi akibat penyakit atau kondisi tertentu,
misalnya hipertensi yang terjadi karena adanya penyakit ginjal,
kelainan hormon (penyakit endokrin), penyakit jantung, dan penyakit
pembuluh darah. Penanganan pada pengidap hipertensi sekunder tidak
hanya menurunkan tekanan darah, tetapi harus disertai dengan terapi
kondisi atau terapi penyakit penyebab.
5. Patofisiologi
Patofisiologi hpertensi masih dipenuhi ketidakpastian sejumlah kecil
pasien (antara 2% dan 5%) memiliki penyakit dasar ginjal atau adrenal
yang menyebabkan peningkatan tekanan darah. Namun, belum ada
penyebab tunggal yang dapat diidentifikasi dan kondisi inilah yang disebut
sebagai “hipertensi esensial”. Sejumlah mekanisme fisiologis terlibat
dalam pengaturan tekanan darah normal, kemudian dapat turut berperan
dalam terjadi hipertensi esensial.
Beberapa faktor yang saling berhubungan turut serta menyebabkan
peningkatan tekanan darah pada pasien hipertensi dan peran mereka
berbeda pada setiap individu. Di mana faktor-faktor yang telah dipelajari
secara intensif adalah asupan garam, obesitas, dan resistensi insulin, sistem
renin-angiotensin, dan sistem saraf simpatis. Pada beberapa tahun ke
belakang faktor lainnya yang telah dievaluasi termasuk genetik, disfungsi
endotel (yang tampak pada perubahan endotellin dan nitrat oksida).
Mekanisme yang mengontrol kontraksi dan relaksasi pembuluh darah
terletak dipusat vasomotor, pada medulla otak. Dari pusat vasomotor ini
bermula saraf simpatis, yang berlanjur ke bawah ke korda spinalis dan
keluar dari kolumna medulla spinalis ke ganglia simpatis di toraks dan
abdomen. Rangsangan pusat vasomotor dihantarkan dalam bentuk implus
yang bergerak melalui saraf simpatis ke ganglia simpatis. Pada titik ini
neuron preganglion melepaskan asetilkolin yang merangsang serabut saraf
paska ganglion ke pembuluh darah, dimana dengan dilepaskannya
neurofinefrin mengakibatkan kontraksi pembuluh darah. Berbagai faktor
seperti kecemasan, dan ketakutan dapat mempengaruhi respon pembuluh
darah terhadap rangsangan vasokontriktor. Individu dengan hipertensi
sangat sensitif terhadap norepinefrin, meskipun tidak diketahui dengan
jelas mengapa hal itu terjadi.
Pada saat bersamaan di mana saraf simpatis merangsang pembuluh darah
sebagai respon rangsangan emosi, kelenjar adrenal juga terangsang yang
mengakibatkan tambahan aktivitas vasokontriksi. Medulla adrenal
mengsekresi epinefren yang menyebabkan vasokontriksi. Korteks adrenal
mengsekresikan kortisol dan steroid lainnya yang dapat memperkuat
respon vasokontriktor pembuluh darah. Vasokontriksi yang
mengakibatkan aliran darah ke ginjal menyebabkan pelepasan renin. Renin
merangsang pembentukan angiotensin I yang kemudian diubah menjadi
angiotensin II, satu vasokontriktol kuat yang pada gilirannya merangsang
sekresi aldosteron oleh korteks adrenal. Hormon ini menyebabkan retensi
natrium dan air oleh tubulus ginjal, menyebabkan peningkatan volume
intravaskuler.
Perubahan struktrul dan fungsional pada pembuluh darah perifer
bertanggung jawab pada perubahan tekanan darah yang terjadi pada lanjut
usia. Perubahan tersebut meliputi aterosklerosis, hilangnya elastisitas
elastisitas jaringan ikat, dan penurunan dalam relaksasi otot polos
pembuluh darah yang pada gilirannya menurunkan kemampuan distensi
dan daya regang pembuluh darah yang dipompa oleh jantung (volume
sekuncup), mengakibatkan penurunan curah jantung dan peningkatan
tahanan perifer (Brunner & Suddart, 2015)
6. Pathway
Usia Stres Faktor genetik Stenosis arteri renal
arteriosklerosis Peningkatan
Autoregulasi
pengaktifan
Peningkatan baroreseptor ginjal
aktivitas
Hilangnya Vasokontriksi Pelepasan renin
vasokontriksi
elastisitas jaringan
ikat
Adrenal melepas Peningkatan Pembentukan
hormon epinefrin resistensi angiotensin
Penurunan
relaksasi otot perifer total
pembuluh darah (TPR) Peningkatan TPR
Penurunan aliran
darah ke ginjal
Penurunan Peningkatan sintesis
kemampuan aldosteron dn
distensi daya reabsorbsi natrium
Pelepasan renin
regang pembuluh
darah
HIPERTENSI
Angiotensin I
Penurunan
kemampuan aorta
dan arteri besar Angiotensin II
dalam
mengakomodasi
volume darah yang Merangsang
Volume
Intravaskuler
Sumber : Modifikasi Brunner & Suddart (2015)
7. Komplikasi
1. Stroke
Stroke dapat terjadi akibat hemoragi akibat tekanan darah
tinggi di otak, atau akibat embolus yang terlepas dari pembuluh selain
otak yang terpajan tekanan tinggi. Stroke dapat terjadi pada hipertensi
kronis apabila arteri yang memperdarahi otak mengalami hipertrofi
dan penebalan, sehingga aliran darah ke otak yang diperdarahi
berkurang. Arteri otak yang mengalami arterosklerosis dapat melemah
sehingga meningkatkan kemungkinan terbentuknya aneurisma.
2. Infark Miokard
Infark Miokard dapat terjadi apabila arteri koroner yang
aterosklerotik tidak dapat menyuplai cukup oksigen ke miokardium
atau apabila terbentuk trombus yang menghambat aliran darah
melewati pembuluh darah. Pada hipertensi kronis dan hipertrofi
ventrikel, kebutuhan oksigen miokardium mungkin tidak dapat
dipenuhi dan dapat terjadi iskemia jantung yang menyebabkan infark.
Demikian juga, hipertrofi ventrikel dapat menyebabkan perubahan
waktu hantaran listrik melintasi ventrikel sehingga terjadi distrimia,
hipoksia jantung, dan peningkatan risiko pembentukan bekuan
3. Gagal ginjal
Gagal ginjal dapat terjadi karena kerusakan progresif akibat
tekanan tinggi pada kapiler glomerulus ginjal. Dengan rusaknya
glomerulus, aliran darah ke nefron akan terganggu dan dapat berlanjut
menjadi hipoksia dan kematian. Dengan rusaknya membran
glomerulus, protein akan keluar melalui urine sehingga tekanan
osmotik koloid plasma akan berkurang dan menyebabkan edema,
yang sering dijumpai pada hipertensi kronis.
4. Ensefalopati (kerusakan otak)
Ensefalopati (kerusakan otak) dapat terjadi, terutama pada
hipertensi maligna (hipertensi yang meningkat cepat dan berbahaya).
Tekanan yang sangat tinggi pada kelainan ini menyebabkan
peningkatan tekanan kapiler dan mendorong cairan ke ruang
interstisial di seluruh susunan saraf pusat. Neuron di sekitarnya kolaps
dan terjadi koma serta kematian
5. Gagal Jantung
Gagal Jantung, menyebabkan cairan darah tidak dapat
bersirkulasi dengan baik dan menyebabkan gejala penumpukan cairan
berupa pembengkakan jantung dan sesak. Cairan di dalam tubuh akan
menumpuk dan tidak dapat bersirkulasi dengan baik. Cairan yang
menumpuk di tubuh dapat turun ke kaki saat berdiri dan menimbulkan
gejala bengkak pada kaki. Apabila tidur menyebabkan cairan
menumpuk ke rongga paru dan menimbulkan gejala sesak atau
menyebabkan kelopak mata tampak sembab saat bangun tidur
(Ardiansyah, 2012) .
8. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan secara menyeluruh dibutuhkan untuk menegakkan
diagnosis hipertensi dan menentukan derajat keparahannya. Pengukuran
tekanan darah dapat dilakukan sebagai pemeriksaan penunjang untuk
mengetahui tekanan darah. Selain pemeriksaan tekanan darah,
pemeriksaaan laboratorium dapat dilakukan untuk mencari faktor risiko
dan penyebab hipertensi, serta mengetahui kerusakan organ, misalnya
ginjal dan jantung (Asikin, 2016)
Menurut Aspiani (2016) berbagai pemeriksaan penunjang untuk
menegakkan diagnosa hipertensi antara lain :
a. Laboratorium
1) Albuminuria pada hipertensi karena kelainan parenkim ginjal
2) Kreatinin serum dan BUN meningkat pada hipertensi karena
parenkim ginjal dengan gagal ginjal akut
3) Darah perifer lengkap
4) Kimia darah (kalium, natrium, kreatinin, gula darah puasa)
b. EKG
1) Hipertrofi ventrikel kiri
2) Iskemia dan infark miokard
3) Peninggian gelombang P
4) Gangguan konduksi
c. Foto Rontgen
a) Bentuk dan besar jantung
b) Pembendungan, lebarnya paru
c) Hipertrofi Parenkim ginjal
d) Hipertrofi vaskular ginjal
9. Penatalaksaan Medis
Menurut Triyanto (2014) penatalaksanaan hipertensi yaitu dengan
terapi farmakologi dan non farmakologi sebagai berikut:
a. Farmakologi
1) Golongan diuretik
Diuretik thiazide biasanya merupakan obat pertama yang
diberikan untuk mengobati hipertensi. Diuretik membantu ginjal
membuang garam dan air, yang akan mengurangi volume cairan
di seluruh tubuh sehingga menurunkan tekanan darah. Diuretik
juga menyebabkan pelebaran pembuluh darah. Diuretik
menyebabkan hilangnya kalium melalui air kemih, sehingga
kadang diberikan tambahan kalium atau obat penahan kalium.
Diuretik sangat efektif pada orang kulit hitam, lanjut usia,
kegemukan, penderita gagal ginjal atau penyakit ginjal
menahun.
2) Penghambat adrenergik
Penghambat adrenergik merupakan sekelompok obat yang
terdiri dari alfa-blocker, beta-blocker dan alfa-beta-blocker
labetalol, yang menghambat efek sistem saraf simpatis. Sistem
saraf simpatis adalah sistem saraf yang dengan segera akan
memberikan respon terhadap stres, dengan cara meningkatkan
tekanan darah. Yang paling sering digunakan adalah beta-
blocker, yang efektif diberikan kepada penderita usia muda,
penderita yang pernah mengalami serangan jantung, penderita
dengan denyut jantung yang cepat, angina pektoris (nyeri dada),
sakit kepala migren.
3) ACE-inhibitor
Angiotensin convertin enzyme inhibitor (ACE-inhibitor)
menyebabkan penurunan tekanan darah dengan cara melebarkan
arteri. Obat ini efektif diberikan kepada orang kulit putih, usia
muda, penderita gagal jantung, penderita dengan protein dalam
air kemihnya yang disebabkan oleh penyakit ginjal menahun
atau penyakit ginjal diabetik, pria yang menderita impotensi
sebagai efek samping dari obat yang lain.
4) Angiotensin-II-Bloker
Angiotensin-II-bloker menyebabkan penurunan tekanan
darah dengan suatu mekanisme yang mirip dengan ACE-
inhibitor.
5) Antagonis kalsium
Antagonis kalsium menyebabkan melebarnya pembuluh
darah dengan mekanisme yang benar-benar berbeda. Sangat
efektif diberikan kepada orang kulit hitam, lanjut usia, penderita
angina pektoris (nyeri dada), denyut jantung yang cepat, sakit
kepala migren.
6) Vasodilator langsung
Vasodilatasi langsung menyebabkan melebarnya pembuluh
darah. Obat dari golongan ini hampir selalu digunakan sebagai
tambahan terhadap obat anti-hipertensi lainnya.
g. Nyeri/ ketidaknyamanan
Gejala: 1) Angina (penyakit arteri koroner/keterlibatan jantung)
2) Nyeri hilang timbul pada tungkai/klaudikasi (indikasi
arteriosklerosis pada arteri ekstremitas bawah)
3) Sakit kepala oksipital berat seperti yang pernah terjadi
sebelumnya
4) Nyeri abdomen atau massa (feokromositoma)
h. Pernafasan
Gejala: 1) dispneu yang berkaitan dengan aktifitas/ kerja
2) takipnea, ortopnea, dispnea nocturnal paroksismal
3) batuk dengan atau tanpa sputum
4) riwayat merokok
Tanda: 1) distress respirasi/penggunaan obat aksesori pernafasan
2) bunyi nafas tambahan (krekles/mengi)
3) Sianosis
i. Keamanan
Gejala: 1) gangguan koordinasi atau cara berjalan
2) episode parestesia unilateral transion
3) hipotensi postural
j. Pembelajaran/penyuluhan
Gejala: 1) faktor-faktor risiko keluarga: hipertensi, aterosklerosis,
penyakit jantung, diabetes mellitus, penyakit
serebrovaskuler/ginjal.
2) Pengguaan pil KB atau hormone lain; penggunaan obat
atau alkohol
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa keperawatan hipertensi yang muncul adalah sebagai berikut:
D. Implementasi Keperawatan
Implementasi merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh
perawat untuk membantu klien dari masalah status kesehatan yang dihadapi
kestatus kesehatan yang baik yang menggambarkan kriteria hasil yang
diharapkan. Tujuan dari pelaksanaan adalah membantu klien dalam
mencapai tujuan yang mencakup peningkatan kesehatan yang mencakup
peningkatan kesehatan, pencegahan, penyakit, pemulihan kesehatan dan
memfasilitasi koping. (Ika dan Saryono, 2010).
E. Evaluasi
Evaluasi merupakan tahap terakhir dari proses keperawatan yang
digunakan sebagai alat untuk menilai keberhasilan dari asuhan keperawatan
dan proses ini berlangsung terus menerus yang diarahkan pada pencapaian
tujuan yang diinginkan (Ika dan Saryono, 2010). Ada tiga yang dapat
terjadi pada tahap evaluasi, yaitu :
1. Masalah teratasi seluruhnya.
2. Masalah tidak teratasi.
DAFTAR PUSTAKA