Anda di halaman 1dari 26

LAPORAN PENDAHULUAN

HIPERTENSI

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Keperawatan Gerontik

Dosen Koordinator: Lina Safarina, S.Kp., M.Kep

Dosen Pembimbing: Kiki Gustriany, S.Kep., Ns., MN

Disusun Oleh :

Ardifa Hasna Laudza

2350321083

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

FAKULTAS ILMU DAN TEKNOLOGI KESEHATAN

UNIVERSITAS JENDERAL ACHMAD YANI CIMAHI

2024
A. Konsep Teori
1. Definisi
Hipertensi merupakan salah satu penyakit gangguan pada pembuluh darah yang
mengakibatkan suplai oksigen dan nutrisi yang dibawa oleh darah terlambat sampai
ke jaringan tubuh yang membutuhkannya. Menurut WHO, Hipertensi adalah suatu
kondisi dimana pembuluh darah memiliki tekanan darah tinggi (tekanan darah sistolik
≥140 mmHg atau tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg) (Sunarwinadi, 2017).
Hipertensi juga sering disebut sebagai pembunuh gelap (silen killer) dan mematikan.
Penyakit hipertensi tidak disertai dengan gejala-gejala pada penderitanya. Kalaupun
muncul gejala tersebut dianggap gangguan biasa sehingga penderita terlambat
menyadari adanya penyakit hipertensi (Andhini, 2017).
Hipertensi beresiko menimbulkan berbagai macam penyakit lainnya yaitu seperti
gagal jantung, jantung koroner, penyakit ginjal dan stroke, sehingga penanganannya
harus segera dilakukan sebelum komplikasi dan akibat buruk lainnya terjadi seperti
dapat menurunkan umur harapan hidup penderitanya (Sulastri, Elmatris, and
Ramadhani, 2012).
Menurut NOC, (2015) dalam Andhini, (2017) Hipertensi pada lansia dibedakan atas
hipertensi dimana tekanan sistolik sama atau lebih besar dari 140 mmHg dan atau
tekanan diastolik sama atau lebih besar dari 90 mmHg, serta hipertensi sistolik
terisolasi dimana tekanan sistolik lebih besar dari 160 mmHg dan tekanan diastolik
lebih rendah dari 90 mmHg.

2. Klasifikasi

Menurut WHO (Word Health Organization) dan ISH (International Socienty


of Hypertension),
Klasifikasi Tekanan Darah Tekanan Darah
Tekanan Sistolik (mmHg) Diastolik (mmhg)
Darah
Optimal <120 <80
Normal <130 <85
Normal- 130-139 85-89
tinggi
Grade 1 140-159 90-99
(Hipertensi
ringan)
Sub-Group: 160-179 90-94
Perbataan
Grade 2 160-179 100-109
(Hipertensi
sedang
Grade 3 >180 >110
(Hipertensi
berat)
Hipertensi ≥140 <90
sisitolik
terisolasi
Sub-Group 140-149 <90
perbatasan

3. Etiologi
Menurut Nurarif & Kusuma, (2020) faktor risiko hipertensi dibagi menjadi 2
kelompok, yaitu:
a. Faktor yang tidak dapat diubah
1) Riwayat Keluarga
Adanya faktor genetik pada keluarga tertentu akan menyebabkan keluarga
tersebut mempunyai risiko menderita hipertensi. Individu dengan orangtua
hipertensi mempunyai risiko dua kali lebih besar untuk menderita hipertensi
daripada individu yang tidak mempunyai keluarga dengan riwayat hipertensi.
Ada baiknya mulai sekarang kita memeriksa riwayat kesehatan keluarga
sehingga kita dapat melakukan antisipasi dan pencegahan. Ini tidak hanya
berlaku untuk penyakit hipertensi tetapi juga untuk penyakit-penyakit berat
lainnya. Bagaimanapun melakukan pencegahan dan antisipasi terhadap
penyakit jauh lebih baik daripada melakukan pengobatan (Susilo &
Wulandari, 2011). Berdasarkan penelitian (Sartik, Tjekyan and Zulkarnain,
2017) Hasil uji bivariat (p=0,000; OR=4,60 dan hasil analisis multivariat
(p=0,000; OR=4,339) menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna
antara riwayat hipertensi keluarga dengan kejadian hipertensi.
2) Usia
Kepekaan terhadap hipertensiakan meningkat seiring dengan bertambahnya
umur seseorang. Individu yang berumur diatas 60 tahun, 50-60% mempunyai
tekanan darah lebih besar atau sama dengan 140/90 mmHg. Hal itu
merupakan pengaruh degenerasi yang terjadi pada orang yang bertambah
usianya (Susilo & Wulandari, 2011).
3) Jenis Kelamin
Setiap jenis kelamin memiliki struktur organ dan hormon yang berbeda
demikian juga pada perempuan dan laki-laki. Berkaitan dengan hipertensi,
laki-laki mempunyai risiko lebih tinggi untuk menderita hipertensi lebih awal.
Laki-laki juga mempunyai risiko
b. Faktor yang Dapat Diubah
Kebiasaan gaya hidup tidak sehat dapat meningkatkan hipertensi antara lain yaitu:
1) Merokok
Merokok merupakan salah satu faktor penyebab hipertensi karena dalam
rokok terdapat kandungan nikotin. Nikotin terserap oleh pembuluh darah kecil
dalam paru-paru dan diedarkan ke otak. Di dalam otak, nikotin memberikan
sinyal pada kelenjar adrenal untuk melepas epinefrin atau adrenalin yang akan
menyemptkan pembuluh darah dan memaksa jantung bekerja lebih berat
karena tekanan darah yang lebih tinggi (Murni dalam Andrea, G.Y., 2013).
2) Kurang Aktifitas Fisik
Aktifitas fisik adalah setiap gerakan tubuh yang dihasilkan oleh otot rangka
yang memerlukan pengeluaran energi. Kurangnya aktifitas fisik merupakan
faktor risiko independen untuk penyakit kronis dan secara keseluruhan
diperkirakan dapat menyebabkan kematian secara global (Iswahyuni, S.,
2017).
3) Konsumsi Alkohol
Alkohol memiliki efek yang hampir sama dengan karbon monoksida, yaitu
dapat meningkatkan keasaman darah. Darah menjadi lebih kental dan jantung
dipaksa memompa darah lebih kuat lagi agar darah sampai ke jaringan
mencukupi (Komaling, J.K., Suba, B., Wongkar, D., 2013). Maka dapat
disimpulkan bahwa konsumsi alkohol dapat meningkatkan tekanan darah.
4) Kebiasaan Minum Kopi
Kopi seringkali dikaitkan dengan penyakit jantung koroner, termasuk
peningkatan tekanan darah dan kadar kolesterol darah karena kopi mempunyai
kandungan polifenol, kalium, dan kafein. Salah satu zat yang dikatakan
meningkatkan tekanan darah adalah kafein. Kafein didalam tubuh manusia
bekerja dengan cara memicu produksi hormon adrenalin yang berasal dari
reseptor adinosa didalam sel saraf yang mengakibatkan peningkatan tekanan
darah, pengaruh dari konsumsi kafein dapat dirasakan dalam 5-30 menit dan
bertahan hingga 12 jam (Indriyani dalam Bistara D.N., & Kartini Y., 2018).
Bagi penderita hipertensi atau penyakit darah tinggi, ada baiknya asupan
kafein dibatasi maksimal 200 miligram, atau setara dua cangkir kecil, atau 237
mililiter per hari. Bagi orang tanpa hipertensi atau darah tinggi, Anda boleh
minum kopi tapi sebaiknya tak lebih dari tiga cangkir atau 400 miligram
kafeinperhari. (Adi Wikanto,2015)
5) Kebiasaan Konsumsi Makanan Yang Mengandung Garam
Garam merupakan bumbu dapur yang biasa digunakan untuk memasak.
Konsumsi garam secara berlebih dapat meningkatkan tekanan darah. Menurut
Sarlina, Palimbong, S., Kurniasari, M.D., Kiha, R.R. (2018), natrium
merupakan kation utama dalam cairan ekstraseluler tubuh yang berfungsi
menjaga keseimbangan cairan. Natrium yang berlebih dapat mengganggu
keseimbangan cairan tubuh sehingga menyebabkan edema atau asites, dan
hipertensi. Takaran garam orang tanpa masalah kesehatan maksimal 2.300
miligram natrium, atau setara satu sendok teh garam per hari. Takaran garam
untuk pengidap hipertensi maksimal 1.500 miligram natrium, atau setara
antara 5/8 sendok teh garam per hari. Takaran garam untuk penderita
hipertensi dan mencegah penyakit jantung maksimal 1.000 miligram per hari,
atau hampir setengah sendok teh.
6) Kebiasaan Konsumsi Makanan Lemak
Menurut Jauhari (dalam Manawan A.A., Rattu A.J.M., Punuh M.I, 2016),
lemak didalam makanan atau hidangan memberikan kecenderungan
meningkatkan kholesterol darah, terutama lemak hewani yang mengandung
lemak jenuh. Kolesterol yang tinggi bertalian dengan peningkatan prevalensi
penyakit hipertensi.

4. Komplikasi
Berikut adalah beberpa komplikasi hipertensi: (Iceu Amira DA, 2018)
a. Gangguan Penglihatan
Tekanan darah yang meningkat secara terus menerus dapat mengakibatkan pada
kerusakan pembuluh darah pada retina. Semakin lama seseorang mengidap
hipertensi dimana tekanan darah yang terjadi meningkat maka kerusakan yang
terjadi pada retina juga semakin berat. Selain itu, gangguan yang bisa terjadi
akibat hipertensi ini juga dikenal dengan iskemik optic neuropati atau kerusakan
saraf mata. Kerusakan parah dapat terjadi pada penderita hipertensi maligna,
dimana tekanan darah meningkat secara tiba-tiba
b. Gagal Ginjal
Penyakit ginjal kronik dapat terjadi karena kerusakan progresif akibat tekanan
darah tinggi pada kapiler-kapiler ginjal dan glomerulus. Kerusakan glomerulus ini
berakibat pada darah yang mengalir ke unit fungsional ginjal terganggu.
Kerusakan pada membrane glomerulus juga berakibat pada keluarnya protein
secara menyeluruh melalui urine sehingga sering dijumpai edea sebagai akibat
dari tekanan osmotic koloid plasma yang berkurang. Gangguan pada ginjal
umumnya dijumpai pada penderita hipertensi kronik
c. Gangguan Jantung
Gangguan jantung atau yang dikenal dengan infark miokard terjadi ketika arteri
koroner mengalami arteriosklerosis. Akibat dari ini adalah suplay oksigen ke
jantung terhambat sehingga kebutuhan oksigen tidak terpenuhi dengan baik
sehingga menyebabkan terjadinya iskemia jantung
d. Stroke
Stroke terjadi ketika otak mengalami kerusakan yang ditimbulkan dari
perdarahan, tekanan intra karnial yang meninggi, atau akibat embolus yang
terlepas dari pembuluh darah non otak yang terpajan pada hipertensi kronik
apabila arteri-arteri yang mengalirkan suplai darah ke otak mengalami hipertropi
atau penebalan.
5. Tanda Gejala
Menurut Heckman et al., (2015)Hipertensi seringkali disebut sebagai silent killer
kerena termasuk penyakit yang mematikan tanpa disertai gejala-gejalanya lebih
dahulu sebagai peringatan bagi korbannya. Kalaupun muncul gejala tersebut
seringkali dianggap gangguan biasa sehingga korbannya terlambat menyadari akan
datangnya penyakit.
Gejala-gejala hipertensi bervariasi pada masing-masing individu dan hampir sama
dengan penyakit lainnya.
Gejala-gejala itu ialah :
a. Sakit kepala
b. Jantung berdebar-debar
c. Sulit bernafas setelah bekerja keras atau mengangkat beban berat;
d. Mudah lelah
e. Penglihatan kabur
f. Wajah memerah
g. Hidung berdarah
h. Sering buang air kecil, terutama dimalam hari
i. Telinga berdenging
j. Dunia terasa berputar (vertigo).
6. Pathway
Menurut (Ramadan, 2022)

7. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Nunung, (2020) pemeriksaan penunjang pada pasien dengan hipertensi
antara lain :
a. Laboratorium Pemeriksaan
laboratorium yang dapat dilakukan pada penderita hipertensi meliputi meliputi
pemeriksaan hemoglobin dan hematokrit untuk melihat vaskositas serta
indikator faktor risiko seperti hiperkoagulabilitas dan anemia.
b. Elektrokardiografi Pemeriksaan elektrokardiografi digunakan untuk
mengetahui dan mendeteksi risiko komplikasi kardiovaskuler pada penderita
hipertensi seperti infark miokard akut atau gagal jantung.
c. Rontgen thoraks Rontgen thoraks digunakan untuk menilai adanya kalsifikasi
obstruktif katup jantung, deposit kalsium pada aorta, dan pembesaran jantung.
d. USG ginjal USG ginjal digunakan untuk melihat adanya kelainan pada
ginjal, misalnya batu ginjal atau kista ginjal. USG ginjal juga digunakan untuk
mengetahui aliran darah ke ginjal melalui pembuluh darah dan arteri ginjal.
d. CT scan kepala
CT scan kepala dapat digunakan untuk mengetahui kondisi pembuluh darah
ke otak karena pada penderita hipertensi terdapat kemungkinan terjadi
penyumbatan pembuluh darah sehingga otak tidak bisa menerima pasokan
darah dan udara. Apabila pembuluh darah pecah atau tidak mampu
memberikan suplai darah dan oksigen ke otak dapat terjadi stroke. Penyakit
stroke ini bisa menyebabkan kelumpuhan atau tidak berfungsinya anggota
tubuh dengan baik sehingga CT Scan perlu dilakukan pada penderita
hipertensi.
8. Penatalaksanaan Medis
Hipertensi dapat diatasi dengan berbagai macam cara. Adapun penatalaksanaan
yang dapat dilakukan pada penderita hipertensi adalah sebagai berikut.
a. Terapi farmakologi
Beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi tekanan darah tinggi
yaitu dengan terapi farmakologi yang biasanya diberikan dengan obat-obatan
antihipertensi (captopril, amlodipine, benazepril). Tujuan pemberian obat
antihipertensi yaitu untuk mencegah terjadinya morbiditas dan mortalitas
akibat tekanan darah tinggi seperti stroke, iskemia jantung, gagal jantung
kongestif, dan memberatnya hipertensi.
b. Terapi Non-Farmakologi
Terapi non farmakologi yang dapat diberikan pada penderita hipertensi yaitu
terapi herbal (mentimun, rebusan daun salam, melon), perubahan gaya hidup,
kepatuhan dalam pengobatan, mengurangi konsumsi makanan yang
mengandung garam, lemak dan kolesterol, pengendalian stres dan terapi
relaksasi (Ananto, 2017).
1) Pengaturan diet
Diet pada penderita hipertensi dapat dilakukan dengan mengkonsumsi
makanan rendah garam dan rendah lemak untuk dapat mengendalikan
tekanan darahn dan secara tidak langsung menurunkan resiko terjadinya
komplikasi hipertensi.
2) Manejemen stress
Stres atau ketegangan jiwa (rasa tertekan, rasamarah, murung, dendam,
rasa takut, rasa bersalah) merupakan faktor terjadinya komplikasi
hipertensi. Peran keluarga terhadap penderita hipertensi diharapkan
mampu mengendalikan stres, menyediakan waktu untuk relaksasi, dan
istrirahat
3) Kontrol kesehatan
Kontrol kesehatan penting bagi penderita hipertensi untuk selalu
memonitor tekanan darah. Kebanyakan penderita hipertensi tidak sadar
dan mereka barumenyadari saat pemeriksaan tekanan darah. Penderita
hipertensi dianjurkan untuk rutin memeriksakan diri sebelum timbul
komplikasi lebih lanjut.
4) Olahraga
Olahraga secara teratur dapat menyerap atau menghilangkan endapan
kolestrol pada pembuluh darah nadi. Olahraga yang dimaksut adalah
latihan menggerakan semua nadi dan otot tubuh seperti gerak jalan,
berenang, naik sepeda, aerobik. Oleh karena itu olahraga secara teratur
dapat menghindari terjadinya komplikasi hipertensi.
5) Terapi relaksasi
Terapi relaksasi diperlukan pada penderita hipertensi agar membuat
pembuluh darah menjadi relaks sehingga akan terjadi vasodilatasi yang
menyebabkan tekanan darah kembali turun dan normal. Untuk membuat
tubuh menjadi relaks dapat dilakukan dengan beberapa cara seperti terapi
musik klasik, yoga, teknik nafas dalam, dan terapi lainnya. Secara umum
jaringan tubuh yang banyak terpengaruh oleh masase adalah otot, jaringan
ikat, pembuluh darah, pembuluh limfe dan saraf (Ananto, 2017).
9. Penatalaksanaan Keperawatan
Intervensi keperawatan menurut (PPNI, 2018)

No Diagnosa Tujuan Intervensi


Keperawatan

Nyeri akut Setelah dilakukan 1) Identifikasi lokasi,


berhubungan tindakan karakteristik, durasi,
dengan agen keperawatan selama frekuensi, kualitas, dan
pencedera 3x24 jam diharapkan intensitas nyeri
fisiologis (SDKI tingkat nyeri 2) Identifikasi skala nyeri
D.0077). menurun. 3) Identifikasi pengaruh
nyeri pada kualitas hidup
Kriteria Hasil:
4) Berikan teknik
1) Keluhan nyeri nonfarmakologis untuk
menurun mengurangi rassa nyeri

2) Meringis menurun 5) Fasilitasi istirahat dan


3) Gelisah menurun tidur
6) Jelaskan penyebab,
periode, dan pemicu nyeri
7) Ajarkan teknik
nonfarmakologis untuk
mengurangi rassa nyeri

Penurunan curah Tujuan: Setelah 1) Identifikasi tanda/gejala


jantung dilakukan tindakan primer penurunan curah
berhubungan keperawatan selama jantung
dengan perubahan 3x24 jam diharapkan 2) Monitor tekanan darah
afterload (SDKI ketidakadekuatan 3) Berkan diet jantung yang
D.0008). jantung memompa sesuai
darah meningkat. 4) Posisikan pasien fowler
Kriteria hasil: atau semi fowler dengan
1) Tekanan darah kaki ke bawah atau posisi
menurun yang nyaman
2) Palpitasi menurun 5) Anjurkan beraktivitass
3) Lelah menurun fisik sesuai toleransi
6) Anjurkan beraktivitas
fisik secara bertahap

Hipervolemia Setelah dilakukan 1) Periksa tanda dan gejala


berhubungan tindakan hypervolemia
dengan kelebihan keperawatan selama 2) Identifikasi penyebab
asupan 3x24 jam diharapkan hypervolemia
natrium(SDKI keseimbangan cairan 3) Batasi asupan cairan dan
D.0022) meningkat. garam
Kriteria hasil: 4) Ajarkan cara membatasi
1) Edema menurun cairan
2) Asites 5) Kolaborasi pemberian
deuretik

Resiko cedera Setelah dilakukan 1) Identifikasi kebutuhan


(SDKI D.0136) tindakan
keperawatan selama keselamatan
3x24 jam diharapkan 2) Hilangkan bahaya
tingkat resiko cedera 3) Modifikassi lingkungan
dilaporkan menurun. untuk meminimalkan resiko
Kriteria hasil : 4) Gunakan perangkat
1) Kejadian cedera pelindung
menurun 5) Sediakan alat bantu
2)Luka/lecet keamanan lingkungan
menurun
3) Perdarahan
menurun

Intoleransi aktivitas Setelah dilakukan 1) Kaji respon pasien


berhubungan tindakan terhadap aktivitas. 2)
dengan kelemahan keperawatan selama Instruksikan klien tentang
fisik (SDKI 3x24 jam diharapkan teknik penghematan
D.0056). toleransi ktivitas energi.. 3) Berikan
meningkat Kriteria dorongan untuk melakukan
hasil: 1) Kemudahan aktivitas/perawatan diri
dalam melakukan bertahap jika dapat
aktivitass sehari-hari ditoleransi. 4) Berikan
meningkat 2) bantuan sesuai kebutuhan.
Keluhan lelah 5) Awasi Tekanan darah,
menurun 3) Kekutan Nadi dan pernapasan
tubuh bagian atas selama dan sesudah
dan bawh meningkat aktivitas

Defisit Setelah dilakukan 1) Kaji kesiapan dan


pengetahuan tindakan hambatan dalam belajar.
berhubungan keperawatan selama
2) Jelaskan tentang
dengan kurang 3x24 jam diharapkan
hipertensi dan efeknya pada
terpapar sumber tingkat pengetahuan
jantung, pembuluh darah,
informasi (SDKI membaik Kriteria ginjal dan otak.
D.0111) hasil:
3) Bantu pasien dalam
1) Perilsku sesuai
mengidentifikasi faktor -
anjuran meningkat
faktor resiko kardiovaskuler
2) Kemampuan
yang dapat diubah,
menjelaskan suatu
misalnya obesitas, minum
topik meningkat
alkohol

4) Bantu pasien untuk


mengembangkan jadwal
yang sederhana,
memudahkan untuk minum
obat.

5) Evaluasi kembali
penjelasan yang
disampaikan.

B. Konsep Lansia
1. Proses Penuaan
Proses penuaan (aging process) merupakan suatu proses yang alami ditandai
dengan adanya penurunan atau perubahan kondisi fisik, psikologis maupun sosial
dalam berinteraksi dengan orang lain sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi
dan memperbaiki kerusakan yang diderita (Dewi, 2022).
2. Klasifikasi Lansia
a. Menurut WHO, Lanjut usia meliputi:
1) Usia pertengahan (middle age), ialah kelompok usia 45 sampai 59 tahun
2) Lanjut usia (elderly) = antara 60 dan 74 tahun
3) Lanjut usia tua (old) = antara 75 dan 90 tahun
4) Usia sangat tua (very old) = diatas 90 tahun
b. Menurut Departemen Kesehatan dijelaskan:
1) Kelompok menjelang usia lanjut/pralansia (45-54 tahun)
2) Masa Presenium (55-64 tahun)
3) Masa Senium (≥ 65 tahun)
c. Menurut UU Kesejahteraan, lansia yaitu orang dengan usia > 60 tahun
3. Adaptasi Perubahan dalam Penuaan
Ada beberapa perubahan yang akan terjadi pada lansia diantaranya: (Putri, 2019)
a. Perubahan fisik (semua system tubuh. Dalam hal ini terjadi perubahan system
kardiovaskular. Katup jantung pada lansia menebal dan menjadi kaku,
berkurangnya elastisitas dinding aorta sehingga menyebabkan hipertensi).
b. Perubahan kecerdasan (kesulitan mengingat dan membayangkan)
c. Perubahan spiritual (lebih giat beribadah)
4. Masalah pada Lansia
Menurut Mustika, (2019) masalah pada lansia dalam beberapa sistem yaitu:
a. Sistem Pernapasan
1) Menurunnya kapasitas vital paru, recoil paru, kekuatan otot dinding dada
2) Akibatnya: frekuensi nafas meningkat
b. Sistem Kardiovaskular
1) Kekakuan pembuluh darah
2) Plak sepanjang pembuluh darah
3) Otot dan katup jantung kaku, cardiac output menurun
4) Akibatnya beresiko peningkatan tekanan darah, dan gagal jantung (HT dan
CHF)
c. Sistem Saraf dan Perilaku
1) Degenerasi sel syaraf (25 – 40%)
2) Otak atropi
3) Neurotransmitter menurun
4) Akibatnya penghantaran impulse terganggu, peurunan kemampuan mengingat
dan belajar, respon melambat
5) Masalah yang sering: dimensia, storoke, depresi
d. Sistem Perkemihan
1) Penurunan kapasitas kandung kemih
2) Mukosa uretra menipis
3) Nocturia, peningkatan urgensi dan frekuensi berkemih
4) Bph
5) Inkontinensia
a) Stress: ketika ada tekanan seperti bersin dan batuk
b) Urgency: tidak dapat menunda BAK
c) Overflow: mengompol secara tiba-tiba, karena kandung kemih masih ada
sisa urin
d) Total: sama sekali tidak bisa menahan urine
e. Sistem Pencernaan
1) Penurunan sensori pengecapan
2) Penurunan motilitas esophagus (disfagia, heartburn, muntah, nutrisi kurang
dicerna, dehidrasi)
3) Penurunan sekresi asam lambung, enzim dan motilitas, atropi usus halus,
penipisan villi
4) Penurunan kemampuan spincter, penurunan impuls syaraf sehingga terjadi
penuruan rangsang defeksi dan konstipasi
5) Kasus yg sering terjadi : malnutrisi, konstipasi
f. Sistem Penginderaan
1) Penglihatan: akomodasi menurun, produksi air mata menurun, mata kering,
retina menurun (kemampuen membedakan warnan dan adaptasi terhadap
cahaya menurun), perubahan lensa mata yang bekibat pada katarak
2) Pendengaran: peneblan membran tympan, serumen menumpuk shg lansia
mengalami ketulian
g. Sistem Muskuloskeletal
1) Kepadatan tulang menurun terutama pada tulang belakang sehingga lansia
mengalami penurunan tinggi badan.
2) Atropi otot
3) Penurunan sinovial: nyeri
4) Arthritis (arthritis karena asam urat/metabolic arthritis, osteoarthritis)
5) Masalah yang sering: osteoporosis
h. Sistem Integumen
1) Berkurang serat kolagen, elastisitas menurun dan mudah robek
2) Bagian epidermis atropi sehingga aliran darah menurun, resiko hypotermi
3) Penurunan lemak subcutan resiko hypotermi
4) Perubahan aliran darah ke kulit menjadikan pelambatan penyembuhan lukadi
kulit, rentan decubitus
5) Kelenjar minyak di kulit atropi, beresiko kekeringan yang berdampak pada
gatal
i. Istirahat Tidur
Insomnia ( sulit jatuh tidur, tidak bs membpertahankan tidur nyenak, sering
terbangun)

C. Penelitian Terkait Intervensi kasus


1. Definisi Relaksasi Otot Progresif
Relaksasi progresif adalah memusatkan suatu perhatian pada suatu aktivitas otot
dengan mengidentifikasi otot yang tegang kemudian menurunkan ketegangan dengan
melakukan teknik relaksai, untuk mendapat perasaan relaksasi (Townsend, 2010).
Relaksasi progresif merupakan kombinasi latihan pernafasan yang terkontrol dengan
rangkaian kontraksi serta relaksasi otot (P. A. Potter & Perry, 2005). Relaksasi progresif
adalah teknik relaksasi otot dalam yang memerlukan imajinasi dan sugesti Rahayu. et al,
(2020).
2. Alasan Ilmiah dilakukan Tindakan
Menurut Karang, M. T. A. J. (2018) Terapi relaksasi otot progresif bermanfaat untuk
menurnkan resistensi perifer dan menaikan elastisitas pembuluh darah. Otot-otot dan
peredaran darah akan lebih sempurna dalam mengabil dan mengedarkan oksigen serta
relaksasi otot progresif dapat bersifat vasodilator yang efeknya memperlebar pembuluh
darah dan dapat menurunkan tekanan darah secara langsung. Relaksasi otot progresif ini
menjadi metode relaksasi yang tidak memerlukan imajinasi, tidak ada efek samping,
mudah dilakukan, membuat tubuh dan pikiran terasa tenang dan rileks. Latihan ini dapat
membantu mengurangi ketegangan otot, stress, menurunkan tekanan darah,
meningkatkan toleransi terhadap aktivitas sehari-hari, meningkatkan imunitas, sehingga
status fungsional, dan kualitas hidup meningkat.
3. Indikasi Relaksasi Otot Progresif
Menurut Kadri, H., & Fitrianti, S. (2019) mengatakan indikasi dari terapi relaksasi
otot progresif yaitu:
a. Klien yang mengalami gangguan tidur (insomnia)
b. Klien sering stres
c. Klien yang mengalami kecemasan
d. Klien yang mengalami depresi
4. Kontraindikasi Relaksasi Otot Progresif
Menurut Kadri, H., & Fitrianti, S. (2019), mengatakan indikasi dari terapi relaksasi
otot progresif yaitu:
a. Lansia yang mengalami keterbatasan gerak
b. Lansia yang menjalani perawatan tirah baring (bed rest).
5. Waktu/ Frekuensi & Durasi Tindakan
Menurut Karang, M. T. A. J. (2018) waktu yang diperlukan untuk melakukan relaksasi
otot progresif sehingga dapat menimbulkan efek yang maksimal adalah selama satu
sampai dua minggu dan dilaksanakan selama satu sampai dua kali 15 menit per hari
6. SOP Relaksasi Otot Progresif
Menurut Kadri, H., & Fitrianti, S. (2019) prosedur pemberian terapi relaksasi otot
progresif sebagai berikut:
a. Bina hubungan saling percaya, jelaskan prosedur, tujuan terapi pada pasien.
b. Persiapan alat dan lingkungan: kursi, bantal, serta lingkungan yang tenang dan
sunyi.
c. Posisikan pasien berbaring atau duduk di kursi dengan kepala ditopang.
d. Persiapan klien :
1) Jelaskan tujuan, manfaat, prosedur dan pengisian lembaran persetujuan terapi
kepada klien.
2) Posisikan tubuh klien secara nyaman yaitu berbaring dengan mata tertutup
menggunakan bantal dibawah kepala dan lutut atau duduk di kursi dengan
kepala ditopang,
3) Lepaskan aksesoris digunakan seperti kacamata, jam dan sepatu.
4) Longgarkan ikatan dasi, ikat pinggang atau hal lain yang sifatnya mengikat
ketat.
e. Prosedur Pelaksanaan
1) Pastikan pasien rileks dan mintalah pasien untuk memposisikan dan fokus
pada tangan, lengan bawah, dan otot bisep, kepala, muka, tenggorokan, dan
bahu termasuk pemusatan pada dahi, pipi, hidung, mata, rahang, bibir, lidah,
dan leher. Sedapat mungkin perhatian diarahkan pada kepala karena secara
emosional, otot yang paling penting ada di sekitar area ini.
2) Anjurkan klien untuk mencari posisi yang nyaman dan ciptakan lingkungan
yang nyaman.
3) Bimbingan klien untuk melakukan teknik relaksasi (prosedur di ulang paling
tidak satu kali). Jika area tetap, dapat diulang lima kali dengan melihat respon
klien
4) Anjurkan pasien untuk posisi berbaring atau duduk bersandar. (sandaran pada
kaki dan bahu).
5) Bimbing pasien untuk melakukan latihan nafas dalam dan menarik nafas
melalui hidung dan menghembuska dari mulut seperti bersiul.
6) Gerakan 1: ditujukkan untuk melatih otot tangan
a) Genggam tangan kiri sambil membuat suatu kepalan
b) Buat kepalan semakin kuat sambil merasakan sensasi ketegangan yang
terjadi
c) Pada saat kepalan dilepaskan, klien dipandu untuk merasakan relaks
selama 10 detik
d) Gerakan pada tangan ini dilakukan di kedua tangan klien sehingga klien
dapat membedakan perbedaan antara ketegangan otot dan keadaan relaks
yang dialami.
e) Prosedur serupa juga dilatihkan pada tangan kiri.
7) Gerakan 2: ditunjukkan untuk melatih otot tangan bagian belakang.
a) Tekuk kedua lengan kebelakang pada pergelangan tangan sehingga otot
ditangan dibagian belakang dan lengan bawah menegang, jari-jari
menghadap ke langit-langit.

Gambar 1 Gerakan Melatih Otot Tangan


8) Gerakan 3: ditunjukkan untuk melatih otot biseps (otot besar pada bagian atas
pangkal lengan)
a) Genggam kedua tangan sehingga menjadi kepalan.
b) Kemudian membuka kedua kepalan kepundak sehingga otot biseps akan
menjadi tegang.

Gambar 2 Melatih Otot Biceps


9) Gerakan 4: ditunjukkan untuk melatih otot bahu supaya mengendur.
a) Angkat kedua bahu setinggi-tingginya seakan-akan hingga menyentuh
kedua telinga
b) Fokuskan perhatian gerakan pada kontras ketegangan yang terjadi dibahu,
punggung atas, dan leher.
Gambar 3 Melatih Otot Bahu
10) Gerakan 5: ditujukan untuk melatih otot-otot wajah agar mengendur
a) Gerakan dahi dengan mengerutkan dahi dan alis sampai otot terasa dan
kulitnya keriput, lakukan selama 5 detik
b) Selepas dahi, Tutup keras-keras mata sehingga dapat dirasakan
ketegangan disekitar mata dan otot-otot yang mengendalikan gerakan mata
c) Gerakan bibir seperti bentuk mulut ikan dan lakukan selama 5-10 detik

Gambar 4 Mengendurkan Otot Wajah


11) Gerakan 6: ditunjukkan untuk mengendurkan ketegangan yang di alami oleh
otot rahang. Katupkan rahang, diikuti dengan menggigit gigi sehingga terjadi
ketegangan di sekitar otot rahang.
12) Gerakan 7: ditunjukkan untuk mengendurkan otot-otot sekitar mulut. Bibir
dimoncongkan sekuat-kuatnya sehingga akan dirasakan ketegangan disekitar
mulut.
13) Gerakan 8: ditunjukkan untuk merilekskan otot leher bagian depan maupun
belakang.
a) Gerakan diawali dengan otot leher bagian belakang kemudian otot leher
bagian depan
b) Letakkan kepala sehingga dapat beristirahat
c) Tekan kepala pada permukaan bantalan kursi sedemikian rupa sehingga
dapat merasakan ketegangan dibagian belakang leher dan punggung atas.
14) Gerakkan 9: ditunjukkan untuk melatih otot leher bagain depan
a) Gerakan membawa kepala ke muka
b) Benamkan dagu ke dada, sehingga dapat merasakan ketegangan di daerah
leher bagian muka.
15) Gerakan 10: ditunjukkan untuk melatih otot punggung
a) Angkat tubuh dari sandaran kursi.
b) Punggung dilengkungkan
c) Busungkan dada, tahan kondisi tegang selama 10 detik, kemudian relaks
d) Saat relaks, letakkan tubuh kembali ke kursi sambil membiarkan otot
menjadi lemas.

Gambar 5 Melatih Otot Punggung dan Leher


16) Gerakan 11: ditunjukkan untuk melemaskan otot dada
a) Tarik napas panjang untuk mengisi paru-paru dengan udara sebanyak
banyaknya.
b) Ditahan selama beberapa saat, sambil merasakan ketegangan dibagian
dada sampai turun ke perut, kemudian di lepas.
c) Saat ketegangan dilepas, lakukan napas normal dengan lega.
d) Ulangi sekali lagi sehingga dapat dirasakan perbedaan antara kondisi
tegang dan relaks.
17) Gerakan 12: ditunjukkan untuk melatih otot perut
a) Tarik dengan kuat perut ke dalam.
b) Tahan sampai menjadi kencang dan keras selama 10 detik, lalu dilepaskan
bebas.
c) Ulangi kembali seperti gerakan awal untuk perut ini.
18) . Gerakan 13-14: ditunjukkan untuk melatih otot-otot kaki (seperti paha dan
betis)
a) Luruskan kedua telapak kaki sehingga otot paha terasa tegang
b) Lanjutkan dengan mengunci lutut sedemikian rupa sehingga ketegangan
pindah ke otot betis
c) Tahan posisi tegang selama 10 detik, lalu di lepas
d) Ulangi setiap gerakan masing-masing dua kali

Gambar 6 Melatih Otot Kaki


Jurnal :
Kadri, H., & Fitrianti, S. (2019). Penatalaksanaan Hipertensi Dengan Relaksasi Otot Progresif
Pada Lansia Di Panti Sosial Tresna Werdha Budi Luhur Kota Jambi. Jurnal Abdimas
Kesehatan (JAK), 1(2), 138. https://doi.org/10.36565/jak.v1i2.40
Karang, M. T. A. J. (2018). Efektifitas Terapi Relaksasi Otot Progresif Terhadap Penurunan
Tekanan Darah Pada Lansia Dengan Hipertensi. Jurnal Ilmiah Ilmu Keperawatan
Indonesia, 7(04), 339–345. https://doi.org/10.33221/jiiki.v7i04.71
Rahayu, S. M., Hayati, N. I., & Asih, S. L. (2020). Pengaruh Teknik Relaksasi Otot Progresif
terhadap Tekanan Darah Lansia dengan Hipertensi. Media Karya Kesehatan, 3(1), 91–98.
https://doi.org/10.24198/mkk.v3i1.26205
Daftar Pustaka

Alfika Safitri, Mardiana pratiwi, Veronnicka Shintya Dewi, Nurul Fadhilah, Astuti Astuti, Devi
Sri Rahayu, Siti Sopiah, Dede Nurjanah, Febiola Dwi Puspitasari, Sulyanti Suhartini,
Lutfiah Galuh Ayu, Hilda Nuramaliyah, & Luxiana Rahayu. (2023). Pendidikan Kesehatan
Senam Hipertensi Untuk Menurunkan Tekanan Darah Pada Warga Bina Sosial Di Panti
Sosial Tresna Werdha Budi Mulia 2 Jakarta Barat 2023. Jurnal Rumpun Ilmu Kesehatan,
3(2), 189–193. https://doi.org/10.55606/jrik.v3i2.1959

Andhini, N. F. (2017). Hubungan asupan natrium dan lemak pada kejadian hipertensi. Journal of
Chemical Information and Modeling, 53(9), 1689–1699.

Dewi, P. (2022). Konsep Dasar Lansia. Jurnal Media Kesehatan, 8–19.

Heckman, J. J., Pinto, R., & Savelyev, P. A. (2015). Penyakit Hipertensi Dan Faktor Resiko
Hipertensi. Angewandte Chemie International Edition, 6(11), 951–952., 7–27.

Mustika, I. W. (2019). Buku Pedoman Model Bec (1). In Buku Pedoman Model Asuhan
Keperawatan Lansia Bali Elderly Care (BEC).
http://repository.poltekkes-denpasar.ac.id/id/eprint/7089

Nunung, A. (2020). STUDI LITERATUR : ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN


HIPERTENSI DENGAN MASALAH KEPERAWATAN GANGGUAN POLA TIDUR.
Doctoral Dissertation, 53(9), 1689–1699.
http://publications.lib.chalmers.se/records/fulltext/245180/245180.pdf%0Ahttps://
hdl.handle.net/20.500.12380/245180%0Ahttp://dx.doi.org/10.1016/
j.jsames.2011.03.003%0Ahttps://doi.org/10.1016/j.gr.2017.08.001%0Ahttp://dx.doi.org/
10.1016/j.precamres.2014.12

Nurarif, & Kusuma. (2020). Pengaruh Hipertensi terhadap perilaku hidup pada lansia. Jurnal
Ilmiah Ilmu Keperawatan, 1(2011), 8–25.

Oktaviani, G. A., Purwono, J., & Ludiana. (2022). Penerapan Senam Hipertensi Terhadap
Tekanan Darah. Jurnal Cendikia Muda, 2, 186–194.

PPNI, T. P. D. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia.


Putri, D. A. (2019). Konsep Lansia. Pruritus: Second Edition, 53(9), 1689–1699.

Ramadan, P. (2022). ASUHAN KEPERAWATAN GERONTIK PADA TN. S DENGAN


DIAGNOSIS MEDIS HIPERTENSI DI UPTD GRIYA WREDHA SURABAYA. 8.5.2017,
2003–2005. www.aging-us.com

Sumartini, N. P., Zulkifli, Z., & Adhitya, M. A. P. (2019). Pengaruh Senam Hipertensi Lansia
Terhadap Tekanan Darah Lansia Dengan Hipertensi Di Wilayah Kerja Puskesmas
Cakranegara Kelurahan Turida Tahun 2019. Jurnal Keperawatan Terpadu (Integrated
Nursing Journal), 1(2), 47. https://doi.org/10.32807/jkt.v1i2.37

Tina, Y., Handayani, S., & Monika, R. (2021). Pengaruh Senam Hipertensi Terhadap Tekanan
Darah Pada Lansia the Effect of Exercise for Hypertension on Blood Pressure in Elderly.
Gastronomía Ecuatoriana y Turismo Local., 1(69), 5–24.

Anda mungkin juga menyukai