Anda di halaman 1dari 30

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN

PADA HIPERTENSI EMERGENCY

Laporan Asuhan Keperawatan Disusun Sebagai Salah Satu Syarat Kelulusan Mata
Kuliah Keperawatan Medikal Bedah

DISUSUN
OLEH:

ILHAM AMIN
19175029

KEPANITRAAN KLINIK KEPERAWATAN SENIOR (K3S)


UNIVERSITAS ABULYATAMA
FAKULTAS KEDOKTERAN
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
ACEH BESAR
2020
LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA
KASUS DENGAN HIPERTENSI EMERGENCY DI KELAS DARING
PROGRAM PROFESI NERS – FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ABULYATAMA TAHUN 2020

PEMBIMBING AKADEMIK
PEMBIMBING KLINIK (CI)

Ns. Riyan Mulfianda, M.Kep


Ns. Raisa Handayani, S.Kep NIDN. 1310109001

KOORDINATOR STASE

Ns. Riyan Mulfianda, M.Kep


NIDN. 1310109001

1
BAB I
PENDAHULUAN

A. Pengertian hipertensi emergensi


Hipertensi adalah kenaikan tekanan darah baik sitolik maupun diastolik yang terbagi
menjadi dua tipe yaitu hipertensi esensial yang paling sering terjadi dan hipertensi
sekunder yang disebabkan oleh penyakit renal atau penyebab lain, sedangkan hipertensi
malignan merupakan hipertensi yang berat, fulminan dan sering dijumpai pada dua tipe
hipertensi tersebut (Kowalak, Weish, & Mayer, 2011).
Hipertensi merupakan faktor resiko penyakit kardiovaskuler aterosklerosis, gagal
jantung, stroke dan gagal ginjal ditandai dengan tekanan darah sistolik lebih dari 140
mmHg dan tekanan darah diastolik lebih dari 90 mmHg, berdasarkan pada dua kali
pengukuran atau lebih (Smeltzer, Bare, Hinkle, & Cheever, 2012).
Hipertensi merupakan gangguan pada sistem peredaran darah yang sering terjadi pada
lansia, dengan kenaikan tekanan darah sistolik lebih dari 150 mmHg dan tekanan darah
diastolik lebih dari 90 mmHg, tekanan sistolik 150-155 mmHg dianggap masih normal
pada lansia (Sudarta, 2013).
Hipertensi emergensi adalah keadaan gawat medis ditandai dengan tekanan darah
sistolik > 180 mmHg dan atau diastolik > 120 mmHg, disertai kerusakan organ target
akut (Aronow, 2017).
Hipertensi emergensi juga didefinisikan sebagai peningkatan berat pada tekanan darah
(> 180/120 mmHg) yang terkait dengan bukti kerusakan organ target yang baru atau
memburuk (Whelton et al., 2017).
Hipertensi emergensi ditandai oleh peningkatan tekanan darah sistolik atau diastolik
atau keduanya, yang terkait dengan tanda atau gejala kerusakan organ akut (yaitu sistem
saraf, kardiovaskular, ginjal). Kondisi ini memerlukan pengurangan tekanan darah segera
(tidak harus normalisasi), untuk melindungi fungsi organ vital dengan pemberian obat
antihipertensi secara intravena (Cuspidi and Pessina, 2014).
Hipertensi emergensi adalah peningkatan tekanan darah utama dan sering mendadak,
terkait dengan disfungsi organ target progresif dan akut. Hal ini dapat terjadi sebagai
kejadian serebrovaskular akut atau fungsi serebral yang tidak teratur, sindrom koroner
akut dengan iskemia atau infark, edema paru akut, atau disfungsi ginjal akut. Tekanan
darah sangat tinggi pada pasien dengan kerusakan organ target akut yang sedang
berlangsung, dan merupakan keadaan gawat medis yang sebenarnya, yang memerlukan
2
penurunan tekanan darah segera (walaupun jarang ke kisaran normal) (Elliott et al.,
2013).
Hipertensi emergensi merupakan kenaikan tekanan darah mendadak yang disertai
kerusakan organ target akut yang progresif. Pada keadaan ini diperlukan tindakan
penurunan tekanan darah yang segera dalam kurun waktu menit-jam. (Turana et al.,
2017).

B. Jenis Hipertensi
Dikenal juga keadaan yang disebut krisis hipertensi. Keadaan ini terbagi 2 jenis :
1. Hipertensi emergensi, merupakan hipertensi gawat darurat, takanan darah melebihi
180/120 mmHg disertai salah satu ancaman gangguan fungsi organ, seperti otak,
jantung, paru, dan eklamsia atau lebih rendah dari 180/120mmHg, tetapi dengan salah
satu gejala gangguan organ atas yang sudah nyata timbul.
2. Hipertensi urgensi : tekanan darah sangat tinggi (> 180/120mmHg) tetapi belum ada
gejala seperti diatas. TD tidak harus diturunkan dalam hitungan menit, tetapi dalam
hitungan jam bahkan hitungan hari dengan obat oral.

Sementara itu, hipertensi dibagi menjadi 2 jenis berdasarkan penyebabnya :


1. Hipertensi Primer adalah hipertensi yang tidak diketahui penyebabnya (hipertensi
essensial). Hal ini ditandai dengan peningkatan kerja jantung akibat penyempitan
pembuluh darah tepi. Sebagian besar (90 – 95%) penderita termasuk hipertensi
primer. Hipertensi primer juga didapat terjadi karena adanya faktor keturunan, usia
dan jenis kelamin.
2. Hipertensi sekunder merupakan hipertensi yang disebabkan oleh penyakit sistemik
lainnya, misalnya seperti kelainan hormon, penyempitan pembuluh darah utama
ginjal, dan penyakit sistemik lainnya (Dewi dan Familia, 2010 : 22). Sekitar 5 – 10%
penderita hipertensi sekunder disebabkan oleh penyakit ginjal dan sekitar 1 – 2%
disebabkan oleh kelainan hormonal atau pemakaian obat tertentu misalnya pil KB
(Elsanti, 2009 : 114 )

Klasifikasi hipertensi berdasarkan tekanan darah sistolik dan tekanan darah diastolik
dibagi menjadi empat klasifikasi, klasifikasi tersebut dapat dilihat pada tabel (Smeltzer, et
al, 2012).
Kategori Tekanan Darah Tekanan Sistolik Tekanan Distolik

3
(mmHg) (mmHg)

Normal ≤120 ≤80

Prehipertensi 120-139 80-89

Hipertensi stadium 1 140-159 90-99

Hipertensi stadium 2 ≥160 ≥100

3. Hipertensi juga dapat diklasifikasikan berdasarkan tekanan darah pada orang dewasa
menurut Triyanto (2014), adapun klasifikasi tersebut dapat dilihat pada tabel
Sistolik Diastolik
Kategori
(mmHg) (mmHg)

Normal < 130 mmHg <85 mmHg

Normal tinggi 130-139 mmHg 85-89 mmHg

Stadium 1 (ringan) 140-159 mmHg 90-99 mmHg

Stadium 2 (sedang) 160-179 mmHg 100-109 mmHg

Stadium 3 (berat) ≥176-209 mmHg ≥110-119 mmHg

Stadium 4 (sangat berat) ≥210 mmHg ≥120 mmHg

C. Etiologi
Penyebab hipertensi emergensi
Berikut ini adalah penyebab hipertensi emergensi (Alwi et al., 2016):
1. Kondisi serebrovaskular: ensefalopati hipertensi, infark otak aterotrombotik dengan
hipertensi berat, pendarahan intraserebral, pendarahan subaranoid, dan trauma kepala.
2. Kondisi jantung: diseksi aorta akut, gagal jantung kiri akut infark miokard akut, pasca
operasi bypass koroner.
3. Kondisi ginjal: Glomerulonefritis akut, hipertensi renovaskular, krisis renal karena
penyakit kolagen-vaskular, hipertensi berat pasca transplantasi ginjal.
4. Akibat ketokolamin di sirkulasi: krisis feokromositoma, interaksi makanan atau obat
dengan MAO inhibitor, penggunaan obat simpatomimetik, mekanisme rebound akibat

4
penghentian mendadak obat antihipertensi, hiperrefleksi otomatis pasca cedera korda
spinalis.
5. Eklampsia
6. Kondisi bedah: hipertensi berat pada pasien yang memerlukan operasi segera,
hipertensi pasca operasi, pendarahan pasca operasi dari garis jahitan vaskular.
7. Luka bakar berat.
8. Epistaksis berat.
9. Thrombotic thrombocytopenic purpura.

Hipertensi emergensi bisa terjadi pada keadaan-keadaan sebagai berikut (Turana et al.,
2017):
1. Penderita hipertensi yang tidak meminum obat atau minum obat antihipertensi tidak
teratur.
2. Kehamilan.
3. Penggunaan NAPZA
4. Penderita dengan rangsangan simpatis yang tinggi seperti luka bakar berat,
phaeochromocytoma, penyakit kolagen, penyakit vaskular, trauma kepala.
5. Penderita hipertensi dengan penyakit parenkim ginjal.

D. Patofisiologi Hipertensi Emergensi


Patofisiologi yang tepat dari krisis hipertensi masih belum jelas (Singh, 2011;
Varounis et al., 2017). Kecepatan onset menunjukkan faktor pemicunya adalah hipertensi
yang sudah ada sebelumnya (Singh, 2011).
Dua mekanisme yang berbeda namun saling terkait mungkin memainkan peran sentral
dalam patofisiologi krisis hipertensi. Mekanisme pertama adalah gangguan mekanisme
autoregulasi di vascular bed (Varounis et al., 2017). Sistem autoregulasi merupakan
faktor kunci dalam patofisiologi hipertensi dan krisis hipertensi. Autoregulasi
didefinisikan sebagai kemampuan organ (otak, jantung, dan ginjal) untuk menjaga aliran
darah yang stabil terlepas dari perubahan tekanan perfusi (Taylor, 2015).
Jika tekanan perfusi turun, aliran darah yang sesuai akan menurun sementara, namun
kembali ke nilai normal setelah beberapa menit berikutnya. Gambar 2 menggambarkan
bahwa jika terjadi kerusakan fungsi autoregulasi, jika tekanan perfusi turun, hal ini
menyebabkan penurunan aliran darah dan peningkatan resistensi vaskular. Dalam krisis
hipertensi, ada kekurangan autoregulasi di vascular bed dan aliran darah sehingga tekanan

5
darah meningkat secara mendadak dan resistensi vaskular sistemik dapat terjadi, yang
sering menyebabkan stres mekanis dan cedera endotelial (Taylor, 2015; Varounis et al.,
2017).
Mekanisme kedua adalah aktivasi sistem renin-angiotensin, yang menyebabkan
vasokonstriksi lebih lanjut dan dengan demikian menghasilkan lingkaran setan dari
cedera terus-menerus dan kemudian iskemia (Varounis et al., 2017). Gambar 3
menggambarkan bahwa dalam keadaan normal, sistem renin-angiotensin aldosteron
berperan sentral dalam regulasi homeostasis tekanan darah. Overproduksi renin oleh
ginjal merangsang pembentukan angiotensin II, vasokonstriktor yang kuat. Akibatnya,
terjadi peningkatan resistansi pembuluh darah perifer dan tekanan darah. Krisis hipertensi
diprakarsai oleh peningkatan resistensi vaskular sistemik yang tiba-tiba yang mungkin
terkait dengan vasokonstriktor humoral. Dalam keadaan krisis hipertensi, penguatan
aktivitas sistem renin terjadi, menyebabkan cedera vaskular, iskemia jaringan, dan
overproduksi reninangiotensin lebih lanjut. Siklus berulang ini berkontribusi pada
patogenesis krisis hipertensi (Singh, 2011)
Patofisiologi krisis hipertensi akibat gangguan mekanisme autoregulasi

Gambar 2. Patofisiologi Krisis Hipertensi karena gangguan autoregulasi Sumber:


Singh, 2011

6
Patofisiologi krisis hipertensi karena sistem renin-angiotensin

Gambar. Patofisiologi krisis hipertensi


Sumber: Varounis et al., 2017

7
Pathway HT Emergency

Umur Jenis Kelamin Gaya Hidup Obesitas

Elastisitas , arterisklerosis

HT emergency

Kerusakan vaskuler pembulh darah

Perubahan struktur

Penyumbatan pembuluh darah

Vasokonstriksi

Gangguan sirkulasi

Otak Ginjal Pembuluh darah Retina

Vasokonstriksi Sistemik Spasme


arteriola
Resistensi Suplai O2 pembuluh darah
pembuluh otak ginjal Vasokonstriksi
Diplopia
darah otak menurun
Blood flow menurun Afterlod
Sinkop
TIK Respon RAA Penurunan
Perubahan curah jantung COP
Rangsang
perfusi
Nyeri aldosteron
jaringan Fatique
kepala serebral
Intoleransi
Retensi Na aktivitas
Edema

Gangguan
pola tidur

8
E. Manifestasi Klinis Hipertensi Emergensi
Dari beberapa definisi hipertensi emergensi di atas, bisa dimunculkan beberapa Ciri-ciri
dan Karakteristik hipertensi emergensi. Ciri-ciri hipertensi emergensi
1. Keadaan gawat medis
2. Tekanan darah sangat tinggi
3. Peningkatan tekanan darah yang berat
4. Peningkatan tekanan darah terjadi secara mendadak
5. Terjadi kerusakan organ target (baru, progresif, memburuk, akut)
6. Kejadian serebrovaskular akut, sindrom koroner akut, edema paru akut, disfungsi
ginjal akut, hipertensif ensefalopati, infark serebri, pendarahan intrakranial, iskemi
miokard atau infark, disfungsi ventrikel kiri akut, diseksi aorta, atau eklampsia
7. Memerlukan penurunan tekanan darah segera (dalam waktu menit / jam) Sumber:
Elliott et al., 2013; Ram, 2014; Turana et al., 2017; Aronow, 2017; Whelton 2017;
Vidt, 2004; Alwi et al., 2016

Tabel Karakteristik klinis hipertensi emergensi


1. Tekanan darah Biasanya > 220/140 mmHg
2. Temuan funduscopy Pendarahan, exudates, papiledema
3. Status neurologi Sakit kepala, bingung, mengantuk, pingsan,
penglihatan kabur, kejang, gangguan neurologi
fokal, koma
4. Temuan Jantung Pulsasi apex kordis prominent, kardiomegali, gagal
jantung kongestif
5. Gejala ginjal Azotemia, proteinuria, oliguria
6. Gejala saluran cerna Mual, muntah
Sumber: Vidt, 2004; Alwi et al., 2016

9
Ciri-ciri Hipertensi Emergensi
1. Keadaan gawat medis
Hipertensi emergensi merupakan keadaan gawat medis yang memerlukan
penangan secara serius dan segera. Penurunan tekanan darah perlu dilakukan segera
dalam hitungan menit atau jam dari onset, walaupun penurunan tekanan darah jarang
sampai keadaan normotensi (Elliott et al., 2013; Ram, 2014; Turana et al., 2017)
untuk mencegah atau membatasi kerusakan organ target lebih lanjut (Elliott et al.,
2013; Whelton et al., 2017).
Tingkat kematian yang berkaitan hipertensi emergensi dalam 1 tahun adalah >
79%, dan kelangsungan hidup rata-rata adalah 10,4 bulan jika tidak diobati (Whelton
et al., 2017). Tetapi apabila segera dilakukan perawatan di rumah sakit maka angka
kematian dapat diturunkan secara bermakna sebagaimana yang dilaporkan oleh Shah,
2017. Dilaporkan bahwa dari 129.914 pasien hipertensi emergensi yang diteliti di
Amerika selama 10 tahun (2002-2012) hanya 630 (0.48%) pasien yang meninggal
selama perawatan (Shah et al., 2017). Tingkat kelangsungan hidup 1 tahun (survival
rate) meningkat dari 20% tahun 1950 menjadi 90% dengan perawatan yang bagus
(Hopkins, 2018).
2. Tekanan darah sangat tinggi
Tekanan darah pada hipertensi emergensi sangat tinggi biasanya mencapai > 220/140
mmHg (Vidt, 2004; Alwi et al., 2016), ada pula yang menyebutkan > 180/120 mmHg
sudah termasuk hipertensi emergensi (Elliott et al., 2013; Aronow, 2017; Whelton
2017).
3. Peningkatan tekanan darah yang berat
Peningkatan tekanan darah yang terjadi secara signifikan dapat menyebabkan hipertensi
emergensi, tetapi pada pasien dengan hipertensi kronis sering dapat mentolerir tingkat
tekanan darah yang lebih tinggi daripada individu normotensi (Elliott et al., 2013;
Whelton et al., 2017).
4. Peningkatan tekanan darah terjadi secara mendadak
Peningkatan tekanan darah yang terjadi secara mendadak dapat menimbulkan
hipertensi emergensi (Elliott et al., 2013; Turana et al., 2017).
5. Terjadi kerusakan organ target
Contoh kerusakan organ target meliputi ensefalopati hipertensi, Intracrania

10
Hemorrhage (ICH), stroke iskemik akut, myocardial infarction akut, gagal ventrikel akut dengan
edema paru, angina pektoris tidak stabil, pembedahan aorta aneurisma, gagal ginjal akut, dan
eklampsia (Whelton et al., 2017).
Tabel 5. Organ target dan komplikasi pada hipertensi emergensi
Organ Target Komplikasi
Ensefalopati hipertensi
Infark serebral

Otak
Pendarahan intraserebral
Retinopati
Sindrom koroner akut

Jantung
Gagal jantung akut
Aorta Diseksi aorta
Ginjal Gagal ginjal akut
Plasenta Eklampsia
Sumber: Cuspidi and Pessina, 2014; Turana et al., 2017

6. Gambaran klinik: kejadian serebrovaskular akut, sindrom koroner akut, edema paru akut,
disfungsi ginjal akut, hipertensif ensefalopati, infark serebri, pendarahan intrakranial, iskemi
miokard atau infark, disfungsi ventrikel kiri akut, diseksi aorta, atau eklampsia

Tekanan darah tinggi pada pasien masih memerlukan pemeriksaan status klinik pasien agar
dapat disebut hipertensi emergensi. Misalnya seorang wanita hamil pada trimester ketiga memiliki
tekanan darah 145/95 mmHg disertai eklampsia merupakan hipertensi emergensi walaupun
tekanan darahnya belum mencapai > 180/120 mmHg (Elliott et al., 2013).
Hipetensi ensefalopati adalah komplikasi hipertensi berat yang jarang terjadi namun serius.
Hipertensi ensefalopati sering terjadi pada pasien dengan hipertensi kronis yang tidak terkontrol
atau ganas dan terjadi secara mendadak. Hipetensi ensefalopati harus didiagnosis dan diobati
dengan cepat, karena membawa prognosis buruk saat tidak diobati. Manifestasi klinis hipetensi
ensefalopati tidak hanya disebabkan oleh tingkat keparahan peningkatan tekanan darah, tetapi
juga pada onset hipertensi mendadak individu normotensif (relatif). Kondisi ini terjadi lebih
sering dengan latar belakang gangguan ginjal. Manifestasi klinis penuh dari hipetensi ensefalopati
memerlukan waktu 12-48 jam (Ram, 2014).
Edema paru akut, hipertensi berat dapt menyebabkan disfungsi ventrikel kiri akut, semakin
tinggi tekan darah maka kerja ventrikel kiri semakin berat. Pada edema paru akut, kebutuhan
oksigen miokard meningkat karena bertambahnya panjang serat diastolik dan dan volume akhir
diastolik meningkat. Perubahan fungsi jantung semacam itu sangat merugikan di hadapan

11
penyakit arteri koroner, yang memerlukan pengurangan tekanan darah segera dengan agen
vasodilatasi yang seimbang seperti nitroprusside. Sodium nitroprusside menurunkan tekanan
preload dan afterload, dengan restorasi fungsi miokard dan CO. Meskipun ACE inhibitor,
berdasarkan tindakan farmakologisnya, mungkin berguna dalam situasi ini, hanya ada sedikit
pengalaman klinis mengenai respons terapeutik akut terhadap ACE inhibitor pada pasien dengan
gangguan ventrikel kiri akut (Ram, 2014).
Diseksi aorta, rasa sakit terjadi secara tiba-tiba dan gejalanya parah. Jika terjadi diseksi aorta
disertai dengan hipertensi maka tekanan darah diturunkan hingga mendekati normotensi
menggunakan obat yang bekerja secara halus bukan yang mendadak / cepat (Ram, 2014).
Eklampsia adalah komplikasi kehamilan kardiovaskular yang berpotensi serius. Terapi pasti
adalah melahirkan bayi. Selain itu, tekanan darah harus dikurangi untuk mencegah kerusakan
neurologis, jantung, dan ginjal. Meskipun obat antihipertensi lain mungkin efektif dalam
mengurangi tekanan darah, agen pilihan untuk kontrol cepat hipertensi berat adalah hydralazine,
yang memiliki catatan keamanan yang panjang. Penelitian pada hewan menunjukkan bahwa
nitroprusside dapat menyebabkan komplikasi janin dan penggunaannya harus disediakan untuk
hipertensi refrakter terhadap hidralazine atau metildopa. Trimethaphan yang menghalangi
ganglion harus dihindari karena risiko ileus mekonium. Pada hipertensi yang diinduksi kehamilan,
deplesi volume mungkin ada dan diuretik harus dihindari. ACE inhibitor dan ARB harus dihindari
karena kemungkinan toksisitas janin / plasenta. Magnesium sulfate adalah terapi adjunctive yang
efektif untuk mengendalikan kejang (Ram, 2014).
7. Memerlukan penurunan tekanan darah segera (dalam waktu menit-jam) Penurunan tekanan darah
perlu dilakukan segera dalam hitungan menit atau jam dari onset, walaupun penurunan tekanan
darah jarang sampai keadaan normotensi (Elliott et al., 2013; Ram, 2014; Turana et al., 2017)
untuk mencegah atau membatasi kerusakan organ target lebih lanjut (Elliott et al., 2013; Whelton
et al., 2017)

12
F. Pemeriksaan Penunjang
1. Foto Rontgen dada 
Tes ini bertujuan untuk mengetahui adanya pembengkakan pada bilik kanan jantung atau
pembuluh darah paru-paru, yang merupakan tanda dari hipertensi pulmonal.
2. Elektrokardiogram (EKG)
Untuk mengetahui aktivitas listrik jantung dan mendeteksi gangguan irama jantung
3. Ekokardiografi
Ekokardiografi atau USG jantung dilakukan untuk menghasilkan citra jantung dan memperkirakan
besarnya tekanan pada arteri paru-paru serta kerja kedua bagian jantung untuk memompa darah.
4. Tes fungsi paru 
Tes fungsi paru dilakukan untuk mengetahui aliran udara yang masuk dan keluar dari paru-paru,
menggunakan sebuah alat yang bernama spirometer.
5. Kateterisasi jantung
Tindakan ini dilakukan setelah pasien menjalani pemeriksaan ekokardiografi untuk memastikan
diagnosis hipertensi pulmonal sekaligus mengetahui tingkat keparahan kondisi ini.
Dengan katerisasi jantung kanan, dokter dapat mengukur tekanan arteri pulmonal dan ventrikel
kanan jantung.
6. Pemindaian 
Pemindaian seperti CT scan atau MRI digunakan untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas
mengenai ukuran dan fungsi jantung, penggumpalan pada pembuluh darah, dan aliran darah pada
pembuluh darah paru-paru.
7. V/Q scan atau ventilation-perfusion scan
Pemindaian ini bertujuan mendeteksi adanya gumpalan darah yang menyebabkan hipertensi
pulmonal. Dalam pemindaian ini, zat radioaktif khusus akan disuntikkan pada pembuluh vena di
lengan guna memetakan aliran darah dan udara pada paru-paru.
8. Tes darah 
Untuk melihat keberadaan zat seperti metamfetamin, atau penyakit lain seperti penyakit hati yang
dapat memicu hipertensi pulmonal.
9. Polisomnografi
Digunakan untuk mengamati tekanan darah dan oksigen, denyut jantung, dan aktivitas otak selama
pasien tertidur. Alat ini juga digunakan untuk mengenali gangguan tidur, seperti sleep apnea.

13
10. Biopsi paru 
Dilakukan dengan cara mengambil sampel jaringan paru-paru untuk melihat kelainan di paru-paru
yang dapat menjadi penyebab hipertensi pulmonal.

G. Faktor Resiko
Faktor risiko krisis hipertensi menurut penelitian Saguner adalah jenis kelamin wanita, obesitas,
hipertensi, penyakit jantung koroner, gangguan somatoform, banyaknya obat antihipertensi, dan
ketidakpatuhan terhadap terapi pengobatan (Saguner et al., 2010).
Faktor risiko untuk hipertensi emergensi meliputi rendahnya status sosial ekonomi, lemahnya akses
terhadap perawatan kesehatan, ketidakpatuhan terhadap terapi obat antihipertensi yang diresepkan
(termasuk penarikan mendadak dari obat antihipertensi (misalnya clonidine), obat (terutama kokain)
dan penyalah gunaan alkohol, penggunaan kontrasepsi oral, dan merokok (Elliott et al., 2013).

H. Penatalaksanaan Hipertensi Emergensi


Pengobatan hipertensi emergensi tergantung pada jenis kerusakan organ. Pada stroke iskemik akut
tekanan darah diturunkan secara perlahan, namun pada kasus edema paru akut atau diseksi aorta dan
sindroma koroner akut maka penurunan tekanan darah dilakukan dengan agresif. Penurunan tekanan
darah bertujuan menurunkan hingga < 25% MAP pada jam pertama, dan menurun perlahan setelah itu.
Obat yang akan digunakan awalnya intravena dan selanjutnya secara oral, merupakan pengobatan yang
direkomendasikan (Turana et al., 2017). Secara umum, penggunaan terapi oral tidak disarankan untuk
hipertensi emergensi (Whelton et al., 2017), sebaiknya menggunakan parenteral (Whelton et al., 2017;
Elliott et al., 2013).
Pada orang dewasa dengan hipertensi emergensi, disarankan masuk ke unit perawatan intensif
(ICU), dilakukan pemantauan secara terus-menerus terhadap tekanan darah dan kerusakan organ target
dengan pemberian obat parenteral yang tepat. Tekanan darah sistolik harus dikurangi menjadi < 140
mmHg selama satu jam pertama dan < 120 mmHg pada diseksi aorta (Whelton et al., 2017).

Rekomendasi spesifik ACC/AHA 2017 (Whelton et al., 2017):


1. Tidak ada bukti secara RCT bahwa obat antihipertensi mengurangi morbiditas atau mortalitas pada
pasien dengan hipertensi emergensi. Namun, dari pengalaman klinik sangat mungkin terapi
antihipertensi bermanfaat untuk hipertensi emergensi. Juga tidak ada bukti secara RCT kualitas
tinggi untuk memberi tahu klinisi tentang golongan obat antihipertensi lini pertama mana yang
memberi manfaat lebih banyak daripada bahaya pada hipertensi emergensi. Namun, 2 percobaan

14
telah menunjukkan bahwa nicardipine mungkin lebih baik daripada labetalol dalam mencapai
target tekanan darah jangka pendek. Karena autoregulasi perfusi jaringan terganggu pada hipertensi
emergensi, continuous infusion of shortacting titratable antihypertensive agents seringkali lebih
baik untuk mencegah kerusakan organ target lebih lanjut.
2. Kondisi memaksa penurunan tekanan darah secara cepat hingga < 140 mmHg pada jam pertama
pengobatan meliputi diseksi aorta, preeklamsia berat atau eklampsia, dan pheochromocytoma
dengan krisis hipertensi.
3. Tidak ada bukti secara RCT yang membandingkan strategi yang berbeda untuk mengurangi
tekanan darah dan tidak ada bukti secara RCT yang menyarankan seberapa cepat atau berapa
banyak tekanan darah yang harus diturunkan pada hipertensi emergensi. Namun, pengalaman
klinik menunjukkan bahwa pengurangan tekanan darah berlebihan dapat menyebabkan atau
berkontribusi pada iskemia ginjal, serebral, atau koroner dan harus dihindari. Dengan demikian,
dosis komprehensif obat antihipertensi intravena atau bahkan oral untuk menurunkan tekanan
darah dengan cepat bukan tanpa risiko. Pembebanan dosis oral obat antihipertensi dapat
menimbulkan efek kumulatif yang menyebabkan hipotensi setelah dikeluarkan dari ruang
perawatan.

Manajemen untuk krisis hipertensi ACC/AHA 2017 (Whelton et al, 2017):


1. Apabila kita menghadapi pasien dengan tekanan darah yang sangat tinggi tekanan darah sistolik >
180 dan atau tekanan darah diastolik > 120 mmHg maka perhatikanlah apakah ada kerusakan
organ target yang baru / progresif / perburukan. Apabila iya, maka diagnosisnya adalah hipertensi
emergensi dan rawat di ICU. Apabila tidak, mungkin ada peningkatan tekanan darah saja dan
lakukan evaluasi / berikan obat antihipertensi oral dan follow up selanjutnya.
2. Pasien hipertensi emergensi yang dirawat di ICU, apakah terjadi diseksi aorta,
preeklampsia/eklampsia berat, krisis preokromositoma. Apabila iya, turunkan TDS < 140 mmHg
pada 1 jam pertama dan < 120 mmHg pada diseksi aorta. Apabila tidak, turunkan tekanan darah
maksimal 25% pada 1 jam pertama, selanjutnya turunkan sampai 160/110 mmHg pada jam kedua
sampai jam keenam, dan selanjutnya dapat diturunkan sampai tekanan darah normal pada 24-48
jam.

15
DAFTAR PUSTAKA

1. Kowalak JP, Welsh W, Mayer B. 2011. Buku Ajar Patofisiologi. Alih bahasa oleh Andry Hartono.
Jakarta: EGC.
2. Smeltzer, S. C., Bare, B. C., Hinkle, J., & Cheever, K. (2012). Brunner & Suddarth S Textbook Of
Medical-Surgical Nursing Twelfth Edition. Wolters Kluwer Health.
3. Sudarta, I. W. 2013. Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem Cardiovaskuler.
Yogyakarta: Gosyen Publishing.
4. Triyanto, E. 2014. Pelayanan Keperawatan Bagi Penderita Hipertensi Secara Terpadu. Yogyakarta:
Graha Ilmu.
5. Alwi, I., Salim, S., Hidayat, R., Kurniawan, J., et al., 2016. Krisis Hipertensi, dalam
Penatalaksanaan di bidang Ilmu Penyakit Dalam. Panduan praktis klinis cetakan ketiga.
InternaPublishing. Jakarta. Hal 426-432.
6. Elsanti, Salma (2009). Panduan Hidup Sehat : Bebas Kolesterol, Stroke, Hipertensi, & Serangan
Jantung. Araska, Yogyakarta
7. Aronow, W.S., 2017. Treatment of hypertensive emergencies. Annals of Translational Medicine.
Vol 5.
8. Cuspidi, C. and Pessina, A.C., 2014. Hypertensive Emergencies and Urgencies. In: Mancia, G.,
nd
Grassi, G., and Redon, J., Manual of Hypertension of the European Society of Hypertension 2
Edition Ch 38, Pp 367-72. CRC Press. London.
9. Elliott, W.J., Rehman, S.U., Vidt, D.G., et al., 2013. Hypertensive Emergencies and Urgencies. In:
nd
Black, H.R. and Elliott, W.J., Hypertension: A Companion to Braunwald’s Heart Disease 2
Edition Ch 46, Pp 390-6. Elsevier Saunders. Philadelphia
10. Ram, C.V.S., 2014. Hypertension: A Clinical Guide. CRC Press. New York.
11. Singh, M., 2011. Hypertensive crisis-pathophysiology, initial evaluation, and management. Journal
of Indian College of Cardiology. Vol 1 (1): 36-9.
12. Turana, Y., Widyantoro, B., and Juanda, G.N., 2017. Hipertensi krisis (emergensi dan urgensi). In:
Turana, Y., and Widyantoro, B., Buku Ajar Hipertensi. Perhimpunan Dokter Hipertensi Indonesia.
Jakarta.
13. Varounis, C., Katsi, V., Nihoyannopoulos, P., et al., 2017. Cardiovascular Hypertensive Crisis:
Recent Evidence and Review of the Literature. Frontiers in Cardiovascular Medicine. Vol 3 (51).

16
FORMAT RESUME KEPERAWATAN GAWAT DARURAT DI IGD

No. Rekam Medis: Diagnosa Medis :


IDENTITAS

Nama : Jenis Kelamin : L/P Umur


Agama : Status Perkawinan : Pendidikan :
Pekerjaan : Sumber informasi : Alamat :
Tanggal Masuk : Jam Datang ke IGD: Jam pengkajian

TRIAGE P1 P2 P3 P4
GENERAL IMPRESSION
Keluhan Utama :

Mekanisme Cedera :

Orientasi (Tempat, Waktu, dan Orang) :  Baik  Tidak Baik, ... ... ...
Diagnosa Keperawatan:
AIRWAY

Jalan Nafas :  Paten  Tidak Paten NOC :


Obstruksi :  Lidah  Darah  Benda Asing
 Spasme jalan nafas  Lendir/sputum warna........
NIC :
Suara Nafas : Snoring Gurgling Stridor
Keluhan Lain:
SURVEY
PRIMER

Diagnosa Keperawatan:
BREATHING

Gerakan dada:  Simetris  Asimetris NOC :


Irama Nafas :  Cepat  Dangkal  Normal
Sesak Nafas :  Ada ( I , II, III, IV )  Tidak ada
Pola Nafas :  Teratur
 Tidak Teratur
 Apneu  Dypsnea  Bradypnea  Tachipnea
NIC :
 Ortopnea  Kussmaul  Cheyne stokes
Retraksi otot dada :  Ada  tidak ada
Cuping hidung :  Ada  tidak ada
Suara Nafas :  Normal  Wheezing  Ronkhi
 Rales  Krekels
RR..........x/mnt
Keluhan Lain: … …

17
Diagnosa Keperawatan:
CIRCULATION

Nadi :  Teraba Kuat/lemah  Tidak teraba NOC :


Akral :  Hangat  Dingin
Sianosis :  Ya  Tidak
NIC :
CRT :  < 2 detik  > 2 detik
Perdarahan :  Ya , lokasi.......... Tidak ada
Pucat :  Ya  Tidak
Kehilangan cairan :  Diare  muntah  luka bakar %
Kelembapan cairan :  Lembab  Kering
Turgor :  normal  Kurang
Nyeri dada :  Ya  Tidak
TD : MAP :
Keluhan Lain:

DISABILITY Diagnosa Keperawatan:

Respon : Alert  Verbal  Pain  Unrespon NOC :


Kesadaran:  CM  Delirium  Somnolen  sopor
PRIMER SURVEY

 Koma
NIC :
GCS :  Eye ...  Verbal ...  Motorik ...
Pupil :  Isokor  Unisokor  Pinpoint  Medriasis
Refleks Cahaya:  Ada  Tidak Ada
Kelumpuhan :  Ada , Lokasi  Tidak Ada
Nyeri muskulpskeletal :  Ada  Tidak Ada
Keluhan Lain : … …

Diagnosa Keperawatan:
EXPOSURE

Deformitas :  Ya  NOC :
Tidak Contusio :  Ya 
Tidak Abrasi :  Ya 
Tidak Penetrasi : Ya 
Tidak Laserasi : Ya  NIC :
Tidak Edema : Ya 
Tidak Keluhan Lain:
……

18
Diagnosa Keperawatan:
ANAMNESA

Riwayat Penyakit Saat Ini /alasan MRS: NOC :

Alergi :  Obat  Makanan  Lainnya

Medikasi sebelum dibawa ke RS : NIC :

Riwayat Penyakit Sebelumnya:


 DM  HT  Jantung  Ashma  Paru  Lainnya
Tahun : Medikasi :

Makan Minum Terakhir:

Even/Peristiwa Penyebab:
SECONDARY SURVEYSECONDARY SURVEY

Tanda Vital :
BP : N: S: RR :

PEMERIKSAAN FISIK Diagnosa Keperawatan:

Kepala dan Leher:  ada keluhan  tidak ada keluhan NOC :


Inspeksi :
Palpasi :
Dada:  ada keluhan  tidak ada keluhan
Inspeksi : NIC :
Palpasi :
Perkusi :
Auskultasi :
Abdomen:  ada keluhan  tidak ada keluhan
Inspeksi :
Palpasi :
Perkusi :
Auskultasi :
Pelvis:  ada keluhan  tidak ada keluhan
Inspeksi :
Palpasi :
Ektremitas Atas/Bawah:  ada keluhan  tidak ada
Inspeksi :
Palpasi :
Neurologis :  ada keluhan  tidak ada

19
Diagnosa Keperawatan:
PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK

 RONTGEN  CT-SCAN  USG  EKG NOC :


 ENDOSKOPI  BGA  DL
Hasil :

NIC :

Tindakan/ pengobatan :
 Infus  Heacting  Tranfusi  Pembedahan
 Reposisi  Gips  Lainnya......
Pengobatan :

Tanggal Pengkajian : TANDA TANGAN PENGKAJI


(MAHASISWA):
Jam :
Keterangan :

NAMA TERANG :

20
FORMAT PENGKAJIAN RUANG ICU / ICCU

Penggunaan alat Kepatenan jalan


o ETT : Ukuran napas Sekret: Ada /
AIRWAY

o Trakeostomi : Ukuran Tidak Karakteristk


o OPA : Ukuran sekret : Jumlah:
o NPA : Ukuran Selang ETT
o Lainnya : Kebocoran : Ya / Tidak
Terlipat: Ya / Tidak
Ventilator: Ya / Tidak Terapi oksigen
Mode Ventilator o Nasal kanul liter/menit; FiO2 %
o Kontrol : Pressure control (Pc) mmHg o Face mask liter/menit; FiO2 %
Volume control cc o RM liter/menit; FiO2 %
RR x/menit o NRM liter/menit; FiO2 %
o SIMV : Pressure support (Ps) mmHg Sianosis Ya / Tidak
RR x/menit Perifer: Ekstremitas Telinga Hidung
Back-up apnea Sentral: Lidah Bibir
RR
x/menit;
o Lainnya: Kedalaman : Normal Dangkal Dalam
Suara napas: Ka Ki
PEEP/CPAP : Tidal Volume : Taktil fremitus: Ka Ki
BREATHI

cc FiO2: % I:E Ratio SaO2 Hasil rontgen thoraks :


NG

RR x/menit
Hasil Lab/Px Penunjang Lain Terkait Status
Oksigenasi:

AGD (Tgl ) Lainnya


(tuliskan)
pH
pCO2
pO2
HCO3
BE

21
Auskultasi Pulsasi Nadi
S1: Normal Tidak Ulnaris :
S2: Normal Tidak Tidak teraba Lemah Kuat
Gallop : Ada Tidak Dorsalis pedis :
Murmur : Ada Tidak Tidak teraba Lemah Kuat
Pengisian kapiler : < 2 detik > 2 detik
Tekanan darah : mmHg
MAP : mmHg Edema
Frekuensi jantung : x/menit Ekstremitas atas : Ka Ki
CIRCULATION

Ekstremitas bawah : Ka Ki
Distensi vena jugularis : Ya / Tidak Lainnya :
CVP : cmH2O
Hasil EKG:

Hasil Lab/Px Penunjang Lain Terkait Fungsi


Jantung:

Enzim Jantung (Tgl ) Lainnya


(tuliskan)
CK
CK-MB
Trop-T
Kesadaran Motorik/Sensorik
o Compos
Mentis Ka Ki
o
Mengantuk
o
Letargi o
Stupor o
Koma
GCS Eyes Motorik Verbal
Total GCS
Pengkajian nyeri Pengkajian Risiko Jatuh
o Verbal Skala : Morse Lainnya
P: Skor :
Q: Penjelasan kualitatif skor :
R:
S:
DISABILI

T:
TY

o Non-verbal: Critical care pain observation tool (CPOT) Pengkajian Risiko Dekubitus
Indikator Skor Deskripsi Ket Skala : Braden Lainnya
Ekspresi 0 Tidak ada tegang otot/rileks Skor :
wajah 1 Tegang, dahi berkerut Penjelasan kualitatif skor :
2 Menyeringai, mengigit ETT
Gerakan 0 Tidak ada gerakan/posisi normal
Skor
tubuh 1 Lokalisasi nyeri
pasien:
2 Gelisah, mencabut ETT
Terintubasi/ 0 Toleransi terhadap ventilator/
Ekstubasi Berbicara dengan nada normal
1 Batuk masih toleransi/
Menguap atau bergumam
2 Melawan ventilator/
Menangis
Otot 0 Rileks
1 Tegang, kaku, resisten ringan
terhadap tahanan pasif
2 Sangat tegang atau kaku, sangat
resisten terhadap tahanan pasif

22
Manajemen Sedasi Pasien ICU, Richmond Agitation Sedation Scale (RASS)
Skor -3 Ada gerakan (tidak ada kontak mata) terhadap suara Penggunaan sedasi:
Skor -2 Bangun singkat (<10 detik) dengan kontak mata terhadap rangsang Ya / Tidak
Skor -1 Pasien belum sadar penuh, tetapi masih dapat bangun (>10 detik),
dengan kontak mata/mata terbuka bila ada rangsang suara Target Skor RASS :
Skor 0 Tenang dan waspada (tidak agitasi) 0 sampai -3
Skor 1 Cemas atau kuatir tetapi gerakan tidak agresif
Skor 2 Pasien sering melakukan gerakan yang tidak terarah atau pasien Skor RASS pasien:
dan ventilator tidak sinkron
Skor 3 Pasien menarik selang endotrakeal atau mencoba mencabut kateter,
dan perilaku agresif terhadap perawat
URINE
Intake (sebelumnya) Output (sebelumnya) Kateter urin
Infus : cc Urine : cc Terpasang : Ya / Tidak
Oral/NGT : cc IWL : cc Jenis : Folley Kondom Suprapubic
Med. Drip : cc Drain : cc
Karakteristik urin
Balance cairan : cc Warna :

Kebutuhan cairan aktual:


Pola BAK (deskripsikan)

Hasil Lab/Px Penunjang Lain Terkait Fungsi


Ginjal:

Elektrolit Tgl ( ) Lainnya


(tuliskan)
Na+ Crea
K+ Ureum
Cl-
Ca2+
Fosfat
Mg2+
ELIMINATION

BOWEL
Karakteristik feses (warna, konsistensi): Nyeri tekan
abdomen/ Ka Ki
teraba
masa (+/-)
Pola BAB (deskipsikan):

Status Berat badan : Kg


Bising usus : x/menit Nutrisi Tinggi Badan : Kg
Asites : Ya / Tidak IMT:
Lingkar abdomen : cm Kg/m2
Hemoroid : Ya / Tidak Konjungtiva anemis : Ya / Tidak
Stoma : Ya / Tidak Tipe/Lokasi :
Kebutuhan nutrisi aktual:

Hasil Lab/Px Penunjang Lain Terkait Fungsi


Abdomen/Nutrisi:

Tgl ( ) Lainnya
(tuliskan)
Alb
PT
Hb
GDS

23
LEMBAR PEMANTAUAN

Jam (P 6/S 14/M 22) | | | | | | | | | 40


250
Temp
X
(Biru)
39
200
MAP

(Hijau)
38
150
BP
HEMODINAMIK

(Hitam)
37
100
HR

(Merah)
36
50

35
Kesadaran
Irama EKG
Skala Nyeri RASS
CVP
SaO2
Mode Ventilator
PERNA-

PEEP/CPAP
PASAN

RR
TV
FiO2
Waktu
pH
HASIL AGD

pCO2
pO2
HCO3-
SaO2
BE
Mata
Ukuran pupil
Reaksi
NEURO

Kaki
tangan
V
GCS
E M
Jalur 1 (nama)
(jumlah mcg/ml)

Jalur 2
CAIRAN MASUK

Jalur 3

Jalur 4

TPN (nama)
(jumlah ml)

Total

24
Makan/Snack Pagi Makan/Snack Siang Makan/Snack Malam
Enteral
(Semua/>1/2/<1/2)
NGT

Urine
KELUAR

BAB

Drain

Total

Perawatan umum rutin:


Cairan masuk ….………………cc
Personal hygiene/Mandi/Perawatan Mata/Mulut/Ganti posisi/Lain
Cairan keluar..................................cc

IWL..................................................cc

Balance/shift...................................cc
LAINNYA

25
PROGRAM PROFESI NERS PROGRAM
STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ABULYATAMA

ANALISIS DATA

Hari/
Tgl/ Jam DATA MASALAH

26
PROGRAM PROFESI NERS PROGRAM
STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ABULYATAMA

DAFTAR PRIORITAS DIAGNOSIS KEPERAWATAN

TANGGAL: .................................
1.

2.

3.

4.

5.

6.

27
RENCANA INTERVENSI

Hari/ Tgl/ Standar Luaran Keperawatan Standar Intervensi Keperawatan


No. DIAGNOSIS KEPERAWATAN
Jam Indonesia (Kriteria Hasil) Indonesia

Program Profesi PSIK – FK UNIVERSITAS ABULYATAMA


IMPLEMENTASI DAN EVALUASI KEPERAWATAN

Hari/ No.
Tgl/ Dx Jam Implementasi Paraf Jam Evaluasi (SOAP) Paraf
Shift

Program Profesi PSIK – FK UNIVERSITAS ABULYATAMA

Anda mungkin juga menyukai