PEMBAHASAN
ANATOMI
Dinding cavum nasi dilapisi tunica mucosa dan menurut sifat tunica mucosanya,
cavum nasi dibagi dalam vestibulum nasi dan cavum nasi proprium.
Cavum nasi proprium berdasarkan fungsinya dibagi menjadi dua regio yaitu regio
respiratoria dan regio olfactoria.
Vestibulum nasi, yaitu bagian yang dindingnya terdiri atas tulang rawan, tunica mucosanya
merupakan lanjutan dari kulit dengan epithelium squamosum kompleks dilengkapi rambut
rambut yang disebut vibrassae (rambut hidung), glandula sebacea tanpa m. errector pili.
Lamina propria melekat pada perichondrium. Batas antara vestibulum nasi dan regio
respiratoria dibentuk oleh suatu crista rendah disebut limen nasi.
Conchae nasalis merupakan tonjolan tulang yang dilapisi oleh lamina mukosa dari dinding
lateral cavum nasi ke medial (ke arah septum nasi). Ada tiga conchae nasalis yaitu: conchae
nasalis superior, media, dan inferior. Conchae nasalis superior dan media rangkanya
dibentuk oleh os. Ethmoidale sedangkan conchae nasalis inferior rangkanya dibentuk oleh os
conchae nasalis inferior.
Oleh karena keberadaan conchae tersebut maka pada cavum nasi terbentuk saluran/celah
yang disebut meatus nasi. Ada empat saluran yang terbentuk yaitu:
1. Recessus spheno-ethmoidalis yaitu celah terdapat di antara concha superior dengan atap
cavum nasi. Pada ruangan ini terdapat muara dari sinus sphenoidalis.
1
2. Meatus nasi superior yaitu saluran sempit yang terdapat di antara concha superior dan
concha media. Pada celah ini bermuara sinus ethmoidalis posterior.
3. Meatus nasi medius yaitu saluran yang terdapat di antara conchae media dan conchae
inferior. Saluran ini lebih panjang dan lebih dalam dari meatus nasi superior. Pada
meatus nasi media terdapat tonjolan membulat yang disebut bulla ethmoidalis. Bulla ini
adalah tonjolan os ethmoidale, di dalamnya berisi selulla ethmoidalis yang membentuk
sinus ethmoidatis. Di infero-anterior bulla ini terdapat ceruk yang berbentuk bulan sabit
yang disebut hiatus semilunaris. Pada hiatus semilunaris terdapat muara ductus
frontonasalis. Pada bagian inferior dari hiatus semilunaris terdapat ostium maxillaris
(muara sinus maxillaris).
4. Meatus nasi inferior yaitu saluran mendatar yang terdapat di inferior conchae inferior.
Pada bagian anterior saluran ini terdapat muara ductus nasolacrimalis (saluran yang
menghubungakan mata dengan hidung).
Sinus Paranasales
Sinus paranasales adalah perluasan cavum nasi ke dalam tulang-tulang disekitarnya yaitu: os
frontale, os maxillae, os ethmoidale dan os sphenoidale. Di dalam tulang-tulang tersebut
terdapat ruangan (sinus) yang dindingnya ditapisi oleh tunica mucosa yang merupakan
lanjutan tunica mucosa regio respiratoria cavum nasi. Sinus paranasales masing-masing
sepasang, yaitu:
a. Sinus frontalis
Ruangan di dalam pars orbitalis os frontalis, di posterior arcus supercilliaris. Mukus dari
mukosa sinus ini dialirkan melalui ductus frontonasalis ke infundibulum ethmoidale (bagian
cranioanterior hiatus semilunaris pada meatus nasi media). inervasi mucosa oleh NCV1.
2
yaitu sekelompok ruang-ruang kecil (cellulae) yang terdapat di bagian lateral os ethmoidale
diantara cavum nasi dan orbita. Celulla ethmoidales dapat dibedakan cellulae anteriores,
celullae mediae dan celulla posteriores
• Cellulae mediae bermuara ke meatus nasi media pada dataran bulla ethmoidalis
• Cellulae posteriores bermuara ke meatus nasi superior. Cellulae posterior ini terdapat di
dalam bullae ethmoidale.
c. Sinus sphenoidale
Sinus ini terletak didalam corpus sphenoidale tepat di anteroinferior sella turcica.
Arteriae
Arterie yang masuk ke dalam cavum nasi ialah a. Sphenoplatina dan aa. Nasales anteriores.
Arteriae tersebut beranastomosis membentuk plexus kiesselbach
.
• Arteri sphenoplatina, dipercabangkan oleh a. Maxillaris interna di dalam fossa
pterygopalatina, melalui foramen sphenopalatinum bercabang menjadi a. nasalis posterior
lateralis, dan a. nasalis posterior septi masuk ke dalam cavum nasi. A. nasalis posterior
lateralis bercabang tiga dan pergi ke dinding lateral cavum nasi dan conchae. A.nasalis
posterior septi menuju septum nasi, berjalan frontal kaudal dan masuk dalam canalis
incisivus beranastomose dengan a. palatina major.
3
Plexus Kiesselbach adalah anastomosis arteri-arteri membentuk suatu anyaman yang terdapat
pada regio antero-inferior dari septum nasi. Regio ini disebut juga trigonum kiesselbach.
Arteri yang beranastomosis adalah: a. ethmoidalis anterior, a. sphenopalatina. a. palatina
mayor, ramus septalis a. labialis superior.
Venae
venae hidung mengikuti kembali arteria hidung. Vv.ethmoidales bermuara ke dalam
v.ophthalmica superior, selanjutnya bermuara ke dalam sinus cavernosus. V.sphenopalatina
bermuara ke dalam plexus pterygoideus dan plexus tersebut bermuara ke dalam v.facialis
anterior. Oleh karena tunica mucosa regio respiratoria mengandung banyak pembuluh-
pembuluh darah, mudah timbul pendarahan.
Nervi
fila olfactoria, ialah neurit-neurit sel olfactus yang terdapat di regio olfactoria. Neurit-neurit
ini meninggalkan cavum nasi melalui lubang-lubang di dalam lamina cribrosa.
Saraf yang masuk ke dalam cavum nasi ialah rr. Nasales posteriores superior, r. Nasalis
posterior inferior (lateralis), r. nasalis anterior dan fila olfactoria.
4
2.2 NASOPHARYNX(1)
Nasopharynx merupakan struktur penting karena merupakan muara dari dua struktur yaitu
cavum nasi dan cavum tympani. Batas-batas nasopharynx:
A. Pada bagian anterior nasopharynx terdapat sepasang lubang yang menghubungkan cavum
nasi dengan nasopharynx yang disebut choanae.
B.Bagian posterior dan superior merupakan bagian yang berkelanjutan yang dibentuk oleh
basis cranii (os.sphenoidale dan os.occipitale; bagian yang berseberangan dengan clivus)
yang dilapisi mukosa. Pada submucosa dinding pharynx superior dan posterior ini terdapat
suatu jaringan lymphoid yang disebut tonsila pharyngea (adenoid). Jaringan ini juga meluas
ke dinding lateral kiri dan kanan sampai ke muara tuba auditiva. Perluasan ke lateral ini
disebut tonsila tubaria.
C. Pada dinding lateral terdapat bangunan berupa muara dari tuba auditiva (tuba
pharyngotympanica). Tuba auditiva adalah saluran yang berasal dari cavum tympani (telinga
tengah). Ujung tuba ini ketika bermuara ke nasopharynx menonjol dan dilapisi mukosa
disebut torus tubarius. Dari sini terdapat lipatan mucosa ke inferior yang disebut plica
salpingopharyngea. Lipatan ini timbul karena mucosa melapisi m. salplngopharyngeus.
Daerah di posterior torus tubarius dan plica salpingopharyngea membentuk cekungan
disebut recessus pharyngeus (fossa Rosenmuller). Kepentingan klinis dari fossa ini adalah
bahwa sebagian besar keganasan nasopharynx (ca nasopharynx) berasal dari mucosa fossa
Rossenmuller.
5
Terdapat jaringan lymphoid di submucosa di dekat muara tuba auditiva yang disebut iuga
tonsila tubaria.
HISTOLOGI (2)
Rongga hidung kiri dan kanan terdiri atas dua struktur: vestibulum di luar dan rongga
hidung (atau fossa nasalis) di dalam. Vestibulum adalah bagian paling anterior dan paling
lebar di setiap rongga hidung. Kulit hidung memasuki nares (cuping hidung) yang berlanjut
ke dalam vestibulum dan memiliki kelenjar keringat, kelenjar sebasea, dan vibrassea (bulu
hidung) yang menyaring partikel-partikel besar dari udara inspirasi. Di dalam vestibulum,
epitelnya tidak berlapis tanduk lagi dan beralih menjadi epitel respiratorik sebelum
memasuki fossa nasalis.
Rongga hidung berada di dalam tengkorak berupa dua bilik kavernosa yang
dipisahkan oleh septum nasi serosa. Dari setiap dinding lateral, terdapat tiga tonjolan
bertulang mirip rak yang dikenal sebagai conchae. Concha media dan inferior dilapisi oleh
epitel respiratorik; concha superior ditutupi epitel penghidu khusus. Celah-celah sempit di
antara concha memudahkan pengondisian udara inspirasi dengan menambah luas area epitel
respiratorik yang hangat dan lembap dan dengan melambatkan serta menambah turbulensi
aliran udara. Hasilnya adalah bertambahnya kontak antara aliran udara dan lapisan mukosa.
Di dalam lamina propria concha terdapat pleksus vena besar yang dikenal sebagai badan
pengembang (swell bodies}. Setiap 20-30 menit, badan pengembang pada satu sisi akan
penuh terisi darah sehingga mukosa concha membengkak dan mengurangi aliran udara.
6
Selama masa tersebut, sebagian besar udara diarahkan melalui fossa nasalis lain sehingga
epitel respiratorik dapat pulih dari dehidrasi.
Selain badan-badan pengembang, mukosa rongga hidung memiliki sistem vaskular yang
rumit dan luas. Pembuluh pembuluh besar membentuk jalinan-jalinan rapat dekat periosteum
di bawahnya, dan dari tempat ini, cabang-cabang pembuluh meluas ke permukaan. Darah di
pembuluh tersebut mengalir dari belakang rongga hidung ke depan dalam arah yang
berlawanan dengan aliran udara inspirasi sehingga panas berpindah dan menghangatkan
udara tersebut secara cepat.
Menghidu (Olfaction)
• Sel-sel basal adalah sel kecil, sferis atau berbentuk kerucut dan membentuk suatu lapisan di
lamina basal. Sel-sel ini adalah sel punca untuk kedua tipe sel lainnya.
• Sel penyokong berbentuk kolumnar dengan apeks silindris dan dasar yang lebih sempit.
Pada permukaan bebasnya terdapat mikrovili, yang terendam dalam selapis cairan.
Kompleks tautan yang berkembang baik mengikat sel-sel penyokong pada sel-sel olfaktori di
sebelahnya. Peran suportif sel-sel ini tidak begitu dipahami, tetapi sel tersebut memiliki
banyak kanal ion dengan fungsi yang tampaknya diperlukan untuk memelihara lingkungan
mikro yang kondusif untuk fungsi penghidu dan ketahanan hidup.
7
Neuron olfaktorius adalah neuron bipolar yang berada di seluruh epitel ini. Neuron ini
dibedakan dari sel-sel penyokong oleh letak intinya, yang terletak di antara sel penyokong
dan sel basal. Ujung dendrit setiap neuron
bipolar merupakan ujung apikal (luminal) sel dan memiliki tonjolan dengan sekitar lusinan
badan basal. Dari badan basal tersebut, silia panjang nonmotil menonjol dengan aksonema
tetapi memiliki luas permukaan yang bermakna untuk kemoreseptor membran. Reseptor
tersebut berespon terhadap zat pembau dengan menimbulkan potensial aksi di sepanjang
akson (basal) neuron tersebut, yang meninggalkan epitel dan bersatu di lamina propria
sebagai saraf yang sangat kecil yang kemudian melalui foramina di lamina cribriformis ossis
ethmoidalis ke otak. Di tempat tersebut, saraf ini membentuk saraf cranial.
Sinus paranasalis adalah rongga bilateral di tulang frontal, maksila, ethmoid dan
sfenoid tengkorak . Sinus sinus ini dilapisi oleh epitel respiratorik yang lebih tipis dengan
sedikit sel goblet. Lamina proprianya mengandung sedikit kelenjar kecil dan menyatu dengan
periosteum di bawahnya. Sinus paranasalis berhubungan langsung dengan rongga hidung
melalui lubang-lubang kecil dan mukus yang dihasilkan dalam sinus ini terdorong ke dalam
hidung sebagai akibat dari aktivitas sel-sel epitel bersilia.
Di bagian posterior rongga hidung, nasofaring adalah bagian pertama faring, yang
berlanjut sebagai orofaring ke arah kaudal, yaitu bagian posterior rongga mulut . Nasofaring
dilapisi oleh epitel respiratorik dan memiliki tonsila pharyngealis di media dan muara
bilateral tuba auditorius untuk setiap telinga tengah.
8
9
EPISTAKSIS
Epistaksis adalah pendarahan dari saluran hidung. Perdarahan juga dapat berasal dari sinus
paranasal atau nasofaring, dan bisa karena pecahnya pembuluh darah di hidung.
Penyebab lokal
A. Trauma
Perdarahan dapat terjadi karena trauma ringan misalnya mengorek hidung, benturan ringan,
bersin atau mengeluarkan ingus terlalu keras, atau sebagai akibat trauma yang lebih hebat
seperti kena pukulan, jatuh atau kecelakaan lalu-lintas. Selain itu juga bisa terjadi akibat
adanya benda asing tajam atau trauma pembedahan.
Epistaksis juga sering terjadi karena adanya spina septum yang tajam. Perdarahan dapat
terjadi ditempat spina itu sendiri atau pada mukosa konka berhadapan bila konka itu sedang
mengalami pembengkakan.
B. Infeksi local
Epistaksis bisa terjadi pada infeksi hidung dan sinus paranasal seperti rhinitis atau sinusitis.
Bisa juga pada infeksi spesifik seperti rhinitis jamur, tuberculosis, lupus, sifilis atau lepra.
C. Tumor
Epistaksis dapat timbul pada hemangioma dan karsinoma. Yang lebih sering terjadi pada
angiofibroma, dapat menyebabkan epistaksis berat.
D. Perubahan Udara atau Tekanan Atmosfir
Epistaksis ringan sering terjadi bila seorang berada di tempat yang cuacanya sangat dingin
atau kering. Hal serupa juga bisa disebabkan adanya zat-zat kimia ditempat industri yang
menyebabkan keringnya mukosa hidung.
E. Deformitas anatomi
Deviasi pada septum hidung dapat menyebabkan gangguan aliran udara dapat menyebabkan
gangguan aliran udara sehingga mukosa hidung menjadi kering dan rentan berdarah.
10
F. Zat kimia
Semprotan hidung yang mengandung zat kimia dapat merusak mukosa pada dinding cavum
nasi dan menyebabkan epistaksis.
Penyebab sistemik
11
2.7 PATOFISIOLOGI(5)
EPISTAKSIS ANTERIOR
Terjadinya perdarahan aktif melalui bagian anterior kebanyakan berasal dari Pleksus
Kiesselbach, yaitu anastomosis arteri berupa anyaman pada regio anterior-inferior cavum
nasi. Lokasi dari Pleksus Kiesselbach yang superficialis, menjadikannya sebagai sumber
perdarahan. Perdarahan pada septum anterior biasanya menjadi lokasi perdarahan namun
bersifat ringan karena hanya dengan keadaan mukosa yang hiperemis atau kebiasaan
mengorek hidung dan kebanyakan terjadi pada anak, seringkali berulang dan dapat berhenti
sejenak. Gangguan struktur akibat cedera seperti deviasi atau defleksi septum nasi dapat juga
mengenai anastomosis arteri yang ada di cavum nasi. Adapun anastomosis arteri-arteri yang
menyebabkan epistaksis anterior, yaitu :
Arteri ethmoidalis anterior
Arteri sphenopalatina
Arteri palatine mayor
Arteri labialis superior
Ramus septalis
12
EPISTAKSIS POSTERIOR
Situasi epistaksis posterior sering terjadi pada usia lanjut yang mungkin mengalami
hipertensi, arteriosclerosis, atau pasien dengan penyakit vaskuler namun dapat juga pada
individu dengan trauma berat. Perdarahan cenderung berat, dapat menyebabkan syok
hipovolemik, anemia, dan mual selama darah mengalir melalui posterior cavum nasi.
13
2.8 PENATALAKSANAAN
14
Penatalaksanaan oleh PERHATI(7)
EPISTAKSIS
Kalau perlu:
Kalau perlu
Lab.darah tepi;
+Tampon anterior
Cari kausa&terapi kausa:
+koagulasi
Cari komplikasi&terapi komplikasi
oral/sistemik
ANGKAT TAMPON
PERDARAHAN (-)
PERDARAHAN (+)
TAMPON ULANG
2x24 jam/lebih
Jika belum dikerjakan, lakukan:
Lab. Darah tepi
Cari kausa&terapi kausa
Cari komplikasi&terapi komolikasi
ANGKAT TAMPON
PERDARAHAN (-)
PERDARAHAN (+)
INTERVENSI BEDAH:
LIGASI ARTERI
SMR/SEPTOPLASTI
ANGIOGRAFI/EMBOLISASI
15
Non-farmako(2)
Pasien dengan pendarahan aktif harus duduk tegak dan menggunakan suatu wadah
berbentuk ginjal untuk melindungi pakaian nya. Gulung kapas dengan larutan kokain 4% di
masukan dengan hati-hati kedalam hidung. Dengan dokter memegang spekulum pada satu
tangan, sedangkan tangan lain memegang penghisap untuk mengaspirasi darah yang
berlebihan. Setelah lokasi pendarahan di ketahui, katerisasi dapat di coba bila mana
pembuluh darah tersebut kecil; sebaliknya jika pendarahan besar pasang tampon hidung
anterior-unilateral, atau bilateral pada wajah bila mungkin kasus perdarahan hebat atau
sumber perdarahan yang sulit di kenali. Tampon mudah di buat dari lembaran kasa steril
bervaselin 72 x ½ inci, di susunan dari atap hingga rongga hidung dan di susun meluas
hingga rongga hidung. Antibiotik profilaktik di anjurkan oleh beberapa dokter karena ostia
sinus menjadi tersumbat oleh tampon, dan adanya benda asing (tampon) serta bekuan darah
yang menyediakan suatu lingkungan untuk pertumbuhan bakteri . Selain itu sebagian dokter
juga memberi krim atau salep antibiotik untuk mengurangi pertumbuhan bakteri dan
pembentukan bau.
suatu tampon posterior yang di masukkan melalui mulut dapat di tarik dengan kateter
melalui hidung ke dalam koanna posterior. Suatu spons 4 x 4 inci yang di gulung erat dan di
16
ikat dengan benang sutra No.1 merupakan tampon yang baik. Dapat di olesi dengan salep
antibiotik topikal untuk mengurangi insidens infeksi. Tampon dengan berbagai balon hidung
komersial yang di masukkan lewat depan kemudian ditiup, dapat pula di lakukan. Jika suatu
balon di tempatkan baik di anterior ataupun di posterior, maka balon harus di isi dengan
larutan salin dan bukan udara, karena udara dapat bocor dan tampon menjadi gagal.
Kedua talo tali tampon posterior tidak boleh di kaitkan pada kolumela. Yang paling
sering di lakukan adalah memasukkan suatu kateter melalui hidung , di tangkap pada faring
dan kemudian di keluarkan lewat mulut.dua benang pada tampon di kaitkan pada kateter
yang menjulur dari mulut. Tali ketika pada tampon di biarkan menggantung sebagai penarik.
Kateter kemudian di tarik dari hidung depan untuk menempatkan tampon pada koana.jika
perlu, tampon dapat di bantu penenpatannya dengan jari dokter hingga berada di atas palatum
mole. Posisi tampon harus cukup kuat dan tidak boleh menekan palatum mole. Sementara
tegangan di pertahankan memalaui keduan tali yang keluar dari hidung depan, dokter harus
menempatkan tampon anterior di antara kedua tali dan kedua tali diikat simpul pada
gulungan kasa kecil. Kedua tali harus keluar lewat lubang yang sama dan tidak di ikatkan
pada kolumela-hal ini dapat menimbulkan nekrosis jaringan lunak, suatu deformitas yang
tidak sedap di pandang dan sulit di perbaiki.
17
Farmako (6)
1. Anestetik lokal
Anastesi lokal dapat menghasilkan analgesia yang sangat efektif dibagian-bagian tubuh
yang jelas. Rute pemberian lazim adalah aplikasi topical ( misalnya mukosa hidung)
a. Efek penambahan vasokonstriktor
Beberapa manfaat dapat diperoleh dari penambahan suatu vasokonstriktor kedalam suatu
analgesic local. Petama, penyerapan obat oleh neuron local meningkat karena lebih
bertahannya obat dijaringan local yang secara klinis dapat berarti lebih lamanya durasi blok.
Hal ini memungkinkan kita melakukan pembiusan yang adekuat untuk prosedur yang
berlangsung lama, lebih lama mengontrol nyeri pasca operasi, dan mengurangi kebutuhan
anastetik.
18
2.9 KOMPLIKASI(4)
Komplikasi dapat terjadi sebagai akibat dari epistaksisnya sendiri atau sebagai akibat
dari usaha penanggulangan epistaksis.
Akibat perdarahan yang hebat dapat terjadi aspirasi darah ke dalam saluran napas
bawah, juga dapat menyebabkan syok, anemia. Turunnya tekanan darah secara mendadak
dapat menimbulkan hipotensi, hipoksia, iskemia serebri, insufisiensi koroner sampai infark
miokard sehingga dapat menyebabkan kematian. Dalam hal ini pemberian infus atau tranfusi
darah harus dilakukan secepatnya.
Akibat pembuluh darah yang terbuka dapat terjadi infeksi, sehingga perlu diberikan
antibiotik.
Pemasangan tampon dapat menyebabkan rino-sinusitis, otitis media, septikimia atau
toxic shock syndrome. Oleh karena itu, harus selalu diberikan antibiotik pada setiap
pemasangan tampon hidung, dan setelah 2-3 hari tampon harus di cabut. Bila perdarahan
masih berlanjut dipasang tampon baru.
Selain itu dapat terjadi hemotimpanum sebagai akibat mengalirnya darah melalui tuba
Eustachius, dan air mata berdarah (bloody tears),akibat mengalirnya darah secara retrogard
melalui duktus nasolakrimalis.
Pemasangan tampon posterior (tampon belloq) dapat menyebabkan laserasi palatum
mole atau sudut bibir, jika benang yang keluar dari mulut terlalu ketat dilekatkan pada pipi.
Keteter balon atau tampon balon tidak boleh dipompa terlalu keras karena dapat
menyebabkan nekrosis mukosa hidung atau septum.
A. Hipertensi: Epistaksis yang sering terjadi karena kerapuhan pembuluh darah yang
disebabkan kontraksi pembuluh darah terus menerus.
B. Arterosklerosis: Terjadi kekakuan pembuluh darah jika tekanan darah meningkat,
pembuluh darah tidak dapat mengkompensasi dengan vasodilatasi, hingga terjadi rupture.
C. Sirosis hepatis : Hati merupakan organ penting bagi sintesis protein-protein yang
berkaitan dengan koagulasi darah, misalnya: membentuk fibrinogen, protrombin, faktor V,
VII, IX, X dan vitamin K. Pada sirosis hepatis, fungsi sintesis protein-protein dan vitamin
19
yang dibutuhkan untuk pembekuan darah terganggu sehingga mudah terjadi perdarahan
yang dapat menyebabkan epistaksis pada penderita sirosis hepatis.
D. Diabetes mellitus: Terjadi peningkatan gula darah yang menyebabkan
kerusakan mikroangiopati dan makroangiopati. Kadar gula darah yang tinggi
dapat menyebabkan sel endotelial pada pembuluh darah mengambil glukosa lebih dari
normal sehingga terbentuklah lebih banyak glikoprotein pada permukaannya dan hal ini
juga menyebabkan basal membran semakin menebal dan lemah. Dinding pembuluh darah
menjadi lebih tebal tapi lemah sehingga mudah terjadi perdarahan. Sehingga epistaksis
dapat terjadi pada pasien diabetes mellitus.
E. Infeksi akut (Demam berdarah): Sebagai tanggapan terhadap infeksi virus dengue,
kompleks antigen antibodi selain mengaktivasi sistem komplemen, juga
menyebabkan agregasi trombosit dan mengaktivitasi sistem koagulasi melalui
kerusakan sel endotel pembuluh darah. Kedua faktor tersebut akan
menyebabkan perdarahan pada DBD. Agregasi trombosit terjadi sebagai akibat
dari perlekatan kompleks antigen-antibodi pada membran trombosit mengakibatkan
pengeluaran ADP (adenosin diphosphat), sehingga trombosit melekat satu sama lain. Hal
ini akan menyebabkan trombosit dihancurkan oleh RES (reticuloendothelial system)
sehingga terjadi trombositopenia. Agregasi trombosit ini akan menyebabkan
pengeluaran platelet faktor III mengakibatkan terjadinya koagulopati konsumtif (KID
= koagulasi intravaskular deseminata), ditandai dengan peningkatan FDP (fibrinogen
degredation product) sehingga terjadi penurunan faktor pembekuan. Oleh karena itu
epistaksis sering terjadi pada kasus demam berdarah.
F. Kelainan darah: Beberapa kelainan darah yang dapat menyebabkan epistaksis
adalah trombositopenia, hemofilia dan leukemia. Trombosit adalah fragmen sitoplasma
megakariosit yang tidak berinti dan dibentuk di sumsum tulang. Trombosit berfungsi
untuk pembekuan darah bila terjadi trauma. Trombosit pada pembuluh darah yang rusak
akan melepaskan serotonin dan tromboksan A (prostaglandin), hal ini menyebabkan otot
polos dinding pembuluh darah berkonstriksi. Pada awalnya akan mengurangi darah yang
hilang. Kemudian trombosit membengkak, menjadi lengket, dan menempel pada serabut
kolagen dinding pembuluh darah yang rusak dan membentuk plug trombosit. Trombosit
juga akan melepas ADP untuk mengaktivasi trombosit lain, sehingga mengakibatkan
agregasi trombosit untuk memperkuat plug.
20
Trombositopenia adalah keadaan dimana jumlah trombosit kurang dari 150.000/
µl. Trombositopenia akan memperlama waktu koagulasi dan memperbesar resiko
terjadinya perdarahan dalam pembuluh darah kecil di seluruh tubuh sehingga dapat
terjadi epistaksis pada keadaan trombositopenia.
Hemofilia adalah penyakit gangguan koagulasi herediter yang diturunkan secara
X-linked resesif. Gangguan terjadi pada jalur intrinsik mekanisme hemostasis
herediter, dimana terjadi defisiensi atau defek dari faktor pembekuan VIII
(hemofilia A) atau IX (hemofilia B). Darah pada penderita hemofilia tidak dapat
membeku dengan sendirinya secara normal. Proses pembekuan darah berjalan
amat lambat. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya epistaksis.
Leukemia adalah jenis penyakit kanker yang menyerang sel-sel darah putih yang
diproduksi oleh sumsum tulang (bone marrow). Sumsum tulang dalam tubuh
manusia memproduksi tiga tipe sel darah, diantaranya sel darah putih
(berfungsi sebagai daya tahan tubuh melawan infeksi), sel darah merah
(berfungsi membawa oksigen kedalam tubuh) dan trombosit (bagian kecil sel
darah yang membantu proses pembekuan darah). Pada Leukemia terjadi peningkatan
pembentukan sel leukosit sehingga menyebabkan penekanan atau gangguan
pembentukan sel-sel darah yang lain di sumsum tulang termasuk trombosit, sehingga
terjadi keadaan trombositpenia yang menyebabkan perdarahan mudah terjadi. Pasien
leukemia kronik, akut, multiple myeloma, terutama pada stadium lanjut mengalami
serangan epistaksis berulang baik sebagai akibat proses penyakit dasar ataupun
pengobatan. Karena infeksi berat lebih mudah terjadi pada pasien ini, maka
pemakaian lama tampon hidung anterior & posterior harus dihindari.
G. Neoplasma: Epistaksis yang berhubungan dengan neoplasma biasanya sedikit
dan intermiten, kadang-kadang ditandai dengan mukus yang bernoda darah, Hemangioma,
angiofibroma dapat menyebabkan epistaksis berat. Karena pada tumor terjadi
pertumbuhan sel yang abnormal dan pembentukan pembuluh darah yang baru
(neovaskularisasi) yang bersifat rapuh sehingga memudahkan terjadinya perdarahan.
21
22