Anda di halaman 1dari 30

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi Sinus Paranasal


Sinus paranasal merupakan rongga yang terdapat pada bagian dalam tulang
maksila, frontal, sfenoid dan etmoid, serta berhubungan dengan kavum nasi melalui
dinding lateral kavum nasi. Terdapat empat pasang sinus paranasal yaitu sinus
etmoid, maksila, frontal dan sfenoid. Sinus paranasal dilapisi oleh mukoperiosteum
tipis berupa epitel torak berlapis atau berlapis semu bersilia yang berisi udara dengan
sejumlah sel goblet. Dibawahnya terdapat tunika propria yang merupakan jaringan
fibroelastik dan terdapat kelenjar serosanguinus. Kelenjar ini dan sel goblet secara
konstan memproduksi mukus. Sekresi mukus ini terdapat enzim lisozim
(muramidase) yang mampu membunuh kuman. Palut lendir (mucous blanket) yang
terdapat di permukaan epitel bersilia mempunyai fungsi dalam melembabkan,
menghangatkan udara yang dihirup dan menangkap (membersihkan) polutan berbagai
material yang dapat merugikan bagi tubuh. Mukus beserta bahan material yang telah
di proses dihancurkan) selanjutnya oleh pergerakan silia (700 ayunan per menit) akan
di dorong dengan gerakan ritmis menuju ostium dengan pola tertentu.8,9
Patensi ostium sangat diperlukan agar berbagai bahan yang dapat
menyebabkan iritasi serta perubahan histopatologik mukosa dapat dialirkan keluar
sinus. Oleh gerakan silia, mucous blanket yang ada di setiap sinus akan dialirkan
seluruhnya keluar ostium (klirens mukosilier) dalam waktu 20-30 menit. Mukus yang
berasal dari sinus frontal, maksila dan etmoidalis anterior selanjutnya akan menuju
kompleks ostiomeatal di meatus medius. Sedangkan mukus dari sinus etmoidalis
losterior dan sfenoid akan mengalir menuju meatus superior melalui resesus
sfenoetmoidalis. Transport mukus selanjutnya menuju nasofaring dengan
mengelilingi tuba eustachius.8,9
Sinus frontalis berada pada os frontalis, dipisahkan oleh septum tulang.
Masing-masing sinus berbentuk segitiga (triangular), memanjang sampai batas atas
ujung medial alis dan kebelakang hingga bagian medial atap orbita. Sinus frontalis
bermuara pada meatus media melalui infundibulum nasi. Sinus sfenoid berada pada
os sfenoid. Sinus ini bermuara pada resesus sfenoetmoidal diatas konka
superior.Sinus etmoid berada pada anterior, media dan posterior os etmoid, antara
hidung dan orbita. Sinus etmoid anterior bermuara pada infundibulum, sinus etmoid
media bermuara pada meatus media, di atas bula etmoidalis, dan sinus etmoid
posterior bermuara pada meatus superior.2,8,9

Gambar 1. Dinding lateral nasal tanpa konka9

2.1.1 Sinus Etmoid8,9


Sinus etmoid merupakan struktur sentral hidung dengan anatomi yang
kompleks. Bagian lateral sinus etmoid membentuk dinding medial orbita, sfenoid
membentuk bagian posterior wajah sedangkan permukaan superior dibentuk oleh
dasar tengkorak fosa kranial anterior dan beberapa struktur dinding lateral nasal, yang
berasal dari lamela basalis, meluas secara posteroinferior dari dasar tengkorak.
Dinding lateral sinus etmoid, atau lamina papirasea, membentuk dinding medial
orbita. Lempeng vertikal pada bagian tengah tulang etmoid dibentuk dari bagian
superior fosa kranial anterior yang dinamakan krista gali dan bagian inferior kavum
nasi yang dinamakan lempeng perpendikular tulang etmoid, yang akan membentuk
septum nasal. Fosa kranial anterior terpisah dari sel etmoid pada bagian superior oleh
lempeng horizontal tulang etmoid, yang terdiri dari lamina kribiformis medial yang
tipis dan yang lebih tebal pada lateral atap etmoid. Atap etmoid berartikulasi dengan
lamina kribiformis pada lamela lateral lamina kribiformis, yang merupakan tulang
paling tipis pada semua dasar tengkorak. Panjang lamela lateral tergantung dari posisi
lamina kribiformis dengan atap etmoid. Sinus etmoid dipisahkan oleh lima sekat
bertulang atau lamela. Kelima lamela ini, dari anterior ke posterior, yaitu prosesus
unsinatus, bula etmoid, lamela basalis, konka superior, konka suprema. Dasar lamela
merupakan batas yang memisahkan sinus etmoid anterior dan posterior. Bagian
inferior dasar lamela menghubungkan konka media ke dinding nasal lateral pada
bidang aksial dan berfungsi dalam stabilisasi konka saat operasi sinus endoskopi. Sel
etmoid posterior umumnya lebih besar dan memiliki pneumatisasi secara lateral dan
superior ke sinus sfenoid. Lamela sinus etmoid dipisahkan oleh empat buat resesus
yaitu resesus frontal yang merupakan drainase sinus frontalis, infundibulum pada
bagian lateral prosesus unsinatus, sinus lateralis dan resesus sfenoetmoidalis pada
bagian posterior meatus superior yang merupakan drainase sinus etmoid posterior dan
sinus sfenoid. Lamina basalis konka media membagi sinus etmoid menjadi kompleks
etmoidalis anterior dan posterior. Kompleks etmoidalis anterior terdiri atas selule dan
celah yang membuka dan mengalirkan sekret kearah anterior dan inferior menuju
lamela basalis. Bula etmoidalis merupakan sel etmoidalis yang terletak paling anterior
dan berlokasi di dalam lamina papirasea orbita. Kompleks etmoidalis posterior terdiri
atas selulule dan celah yang mengalirkan sekret mukosa kearah posterior dan medial
menuju lamela dari konka media, selanjutnya ke dasar tengkorak, dan dinding medial
orbita.

2.1.2 Sinus Maksila8,9


Sinus maksila merupakan rongga pneumatisasi yang merupakan sinus
paranasal paling besar dengan bentuk seperti piramid, volume pada dewasa antara 15-
30 ml, dan terletak pada regio maksilaris dibelakang kulit pipi. Atap sinus terbentuk
dari dasar orbita dan dasar sinus berhubungan dengan akar premolar dan molar. Sinus
ini bermuara pada meatus media melalui hiatus semilunaris. Dinding anterior
terbentuk dari bagian fasialis maksila, dinding posterior membatasi fosa
infratemporal, dinding medial terbentuk dari dinding lateral kavum nasal, dasar sinus
yaitu prosesus alveolar dan dasar orbita sebagai dinding superior. Pada 2% kasus,
akar gigi molar pertama dan kedua dapat masuk kedalam sinus maksila. Ostium sinus
ini terbuka pada bagian superior dinding medial untuk drainase sinus menuju
infundibulum etmoid. Ostium sinus maksila aksesorius ditemukan 15% sampai 40%
orang, kebanyakan umumnya di bagian superior dan posterior prosesus unsinatus
diatas insersi konka inferior.

2.1.3 Sinus Frontal8,9


Sinus frontal mempunyai variabilitas tinggi dalam perkembangan, jumlah dan
ukuran. Bagian dari sinus ini yang meluas ke meatus medius membentuk penonjolan,
disebut resesus frontalis. Sinus frontal terbagi oleh septa tak beraturan dan memiliki
batas tulang yang juga tak beraturan. Pada dinding posterior dan inferior sinus ini
berbatasan dengan anyaman pembuluh vena besar yang menuju otak dan orbita.
Sekret yang berasal dari sinus frontalis mengalir ke dalam resesus frontalis melalui
ostium nasofrontalis. Dari resesus frontalis, sekret langsung menuju meatus medius,
atau tidak langsung melalui aspek superior infundibulum dan hiatus semilunaris.

2.1.4. Sinus Sfenoid8,9


Sinus ini terletak paling posterior dari sinus paranasal lainnya. Pada dinding
lateral sinus berbatasan dengan beberapa struktur penting seperti sinus kavernosus,
arteri karotis interna, nervus kranialis I, III, IV, V dan VI. Ostium sinus sfenoid
membuka ke resesus sfenoetmoid. Penelitian pada ostium sinus sfenoid
mengidentifikasi ujung posteroinferior konka superior yang merupakan bagian paling
baik dalam identifikasi ostium sinus sfenoid. Pada kebanyakan kasus, ujung
posteroinferior konka superior berada pada bidang horizontal yang sama dengan
dasar sinus sfenoid. Ostium berada pada bagian medial konka superior pada 83%
kasus dan di lateral pada 17% kasus. Septum sfenoid biasanya mengalami deviasi ke
arah posterior dari garis tengah, membagi sinus menjadi dua bagian asimetris dan
dapat masuk ke dalam penonjolan tulang yang melapisi nervus optikus atau arteri
karotis.

Gambar 2. Sinus Paranasal9

Kompleks ostiomeatal (KOM)8


KOM adalah unit drainase fungsional yang terdiri atas bula etmoid dan sel-sel etmoid
anterior dengan ostiumnya, prosesus unsinatus, infundibulum etmoid, hiatus
semilunaris, ostium sinus maksila dan resesus frontalis. Celah sempit ini (KOM)
berperan sangat penting dalam mempertahankan kondisi fisiologis sinus paranasal.
Mukus atau sekret yang berasal dari sinus frontal, etmoid anterior dan maksila akan
mengalir melalui daerah ini. Kompleks ostiomeatal merupakan area yang dikelilingi
oleh konka media di bagian medial, lamina papirasea di bagian lateral dan lamela
basalis pada bagian posterior serta atap etmoid pada bagian superior.
Prosesus unsinatus adalah penonjolan tulang mirip bukit pada dinding meatus
medius yang letaknya anterior dari bula etmoidalis. Infundibulum merupakan ruang
berbentuk corong antara bula etmoidalis dan prosesus unsinatus, pada akhirnya
menerima aliran sekret dari sinus frontalis dan maksilaris. Hiatus semilunaris
merupakan cekungan berbentuk sabit dengan panjang sekitar 2 cm dan kedalaman 3-4
mm, terletak diantara bula etmoidalis dan prosesus unsinatus. Sekret yang berada di
hiatus semilunaris berasal dari infundibulum, selanjutnya menuju meatus medius dan
kemudian ke dalam hidung.

2.1.5 Fungsi Sinus Paranasal


Sampai saat ini belum ada kesesuaian pendapat mengenai fisiologi sinus
paranasal. Ada yang berpendapat bahwa sinus paranasal ini tidak mempunyai fungsi
apa-apa, karena terbentuknya sebagai akibat pertumbuhan tulang muka. Namun ada
beberapa pendapat yang dicetuskan mengenai fungsi sinus paranasal yakni:15
1. Sebagai pengatur kondisi udara (air conditioning)
Sinus berfungsi sebagai ruang tambahan untuk memanaskan dan mengatur
kelembaban udara inspirasi.Keberatan terhadap teori ini ialah karena ternyata
tidak didapati pertukaran udara yang definitive antara sinus dan rongga
hidung.Lagipula mukosa sinus tidak mempunyai vaskularisasi dan kelenjar yang
sebanyak mukosa hidung.
2. Sebagai penahan suhu (thermal insulators)
Sinus paranasal berfungsi sebagai penahan (buffer) panas, melindungi orbita dan
fossa serebri dari suhu rongga hidung yang berubah-ubah.
3. Membantu keseimbangan kepala
Sinus membantu keseimbangan kepala karena mengurangi berat tulang muka.
Akan tetapi, bila udara dalam sinus diganti dengan tulang, hanya akan
memberikan pertambahan berat sebesar 1% dari berat kepala, sehingga teori
dianggap tidak bermakna.
4. Membantu resonansi suara
Sinus mungkin berfungsi sebagai rongga untuk resonansi suara dan
mempengaruhi kualitas suara.Akan tetapi ada yang berpendapat, posisi sinus dan
ostiumnya tidak memungkinkan sinus berfungsi sebagai resonator yang
efektif.Lagipula tidak ada korelasi antara resonansi suara dan besarnya sinus
pada hewan-hewan tingkat rendah.
5. Sebagai peredam perubahan tekanan udara
Fungsi ini berjalan bila ada perubahan tekanan yang besar dan mendadak
misalnya pada waktu bersin atau membuang ingus
6. Membantu produksi mukus
Mukus yang dihasilkan oleh sinus paranasal memang jumlahnya kecil
dibandingkan dengan mukus dari rongga hidung, namun efektif untuk
membersihkan partikel yang turut masuk dengan udara inspirasi karena mukus
ini keluar dari meatus medius, tempat yang paling strategis.

2.2 Rinosinusitis
2.2.1 Definisi
Rinosinusitis merupakan inflamasi dari mukosa hidung dan sinus
paranasal yang ditandai dengan dua atau lebih gejala, dimana salah satu
gejalanya merupakan sumbatan hidung (nasal blockage/obstruction/congestion)
atau nasal discharge (anterior/posterior nasal drip) yang dapat terjadi secara
kronis selama 12 minggu atau lebih, serta diikuti ada atau tanpa nyeri tekan di
daerah wajah dan penurunan atau hilangnya daya penghidu.4
Selain gejala-gejala klinis tersebut, rinosinusitis kronis dapat didukung
oleh pemeriksaan penunjang antara lain: endoskopi, dimana dapat ditemukan
polip dan atau sekret mukopurulen yang berasal dari meatus medius dan atau
edema/obstruksi mukosa pada meatus medius; dan CT Scan, dapat ditemukan
perubahan mukosa pada kompleks osteomeatal dan atau sinus paranasal.4
Berdasarkan anatomi sinus yang terlibat, sinusitis dapat diklasifikasikan
sebagai sinusitis maksila, sinusitis etmoid, sinusitis frontal, dan sinusitis
sfenoid. Sinus yang paling sering terkena infeksi adalah sinus maksilaris dan
sinus etmoidalis, sedangkan sinus frontalis dan sinus sfenoidalis lebih jarang.1
Sebuah penelitian menyebutkan, pasien dengan rinosinusitis kronis
dilaporkan lebih merasakan nyeri jasmani dan fungsi sosial yang lebih buruk
dibanding pasien dengan penyakit kronis lainnya seperti penyakit paru
obstruksi kronik, gagal jantung kongestif, dan nyeri punggung. Dampak
penyakit rinosinusitis kronis terhadap kualitas hidup pasien sebanding dengan
keparahan penyakit kronis lainnya. Oleh karena itu, sama halnya dengan
penyakit kronis yang lain, penyakit rinosinusitis kronis sebaiknya ditangani
secara proaktif.5

2.2.2 Etiologi
Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan
lancarnya klirens mukosiliar (mucocilliary clearance) di dalam kompleks
ostiomeatal (KOM). Mukus juga mengandung substansi antimikrobial dan zat-
zat yang berfungsi sebagai mekanisme pertahanan tubuh terhadap kuman yang
masuk bersama udara pernafasan.1
Kompleks ostiomeatal (KOM) merupakan tempat drainase bagi kelompok
sinus anterior (frontalis, etmoidalis anterior dan maksilaris) dan berperan
penting bagi transpor mukus dan debris serta mempertahankan tekanan oksigen
yang cukup untuk mencegah pertumbuhan bakteri. Rinosinusitis lebih sering
terjadi pada beberapa sinus (multisinusitis) dibandingkan dengan satu sinus
(single sinusitis), hal ini kemungkinan berkaitan erat dengan kompleks
ostiomeatal (KOM), karena KOM merupakan satu kesatuan dari muara
beberapa sinus, jika terjadi gangguan patensi KOM, maka mungkin akan terjadi
gangguan beberapa sinus. KOM atau celah sempit di daerah etmoid anterior
yang merupakan “serambi depan” bagi sinus maksila dan frontal memegang
peran penting dalam terjadinya rinosinusitis kronis, bila terdapat gangguan di
daerah KOM seperti peradangan atau edema, maka hal itu akan menyebabkan
gangguan drainase sehingga terjadi rinosinusitis.16
Pada penderita rinosinusitis kronis terbukti bahwa akumulasi
ketidakseimbangan metabolisme asam arakhidonat dapat memainkan peran
penting dalam rinosinusitis kronis. Metabolisme asam arakhidonat dan
prostaglandin berperan sebagai mediator inflamasi pada suatu penyakit.16
Etiologi dan patofisiologi rinosinusitis kronis bersifat multifaktorial dan
belum sepenuhnya diketahui, rinosinusitis kronis merupakan sindrom yang
terjadi karena kombinasi etiologi yang multipel. Berdasarkan EPOS 2012,
faktor-faktor yang berkaitan dengan terjadinya rinosinusitis kronis adalah
kerusakan sistem mukosiliar, alergi, asma, sensitif terhadap aspirin, pasien
immunocompromised, faktor genetik, kehamilan dan endokrin, faktor lokal,
mikroorganisme, faktor lingkungan, faktor iatrogenik, Helicobacter pylori,
refluks laringofaringeal, dan osteitis.4

2.2.3 Patofisiologi
Etiologi dan faktor predisposisi rinosinusistis cukup beragam. Dalam
patofisiologi sinusitis kronis, beberapa faktor ikut berperan dalam siklus dari
peristiwa yang berulang.17
Lapisan mukoperiosteum sinus paranasalis mempunyai daya tahan luar
biasa terahadap penyakit selain kemampuan untuk memulihkan dirinya sendiri.
Pada dasarnya, faktor-faktor lokal yang memungkinkan penyembuhan mukosa
sinus yang terinfeksi adalah drainase dan ventilasi yang baik. Bila faktor
anatomi menyebabkan kegagalan drainase dan ventilasi sinus, maka terbentuk
suatu medium untuk infeksi selanjutnya oleh kokus mikroaerofilik atau
anaerobik, akibatnya berupa edema, sumbatan, dan infeksi.17
Kegagalan mengobati rinosinusitis akut atau berulang secara adekuat
akan menyebabkan regenerasi epitel permukaan bersilia yang tidak lengkap,
akibatnya terjadi kegagalan pengeluaran sekret sinus, sehingga menjadi
predisposisi infeksi. Sumbatan drainase dapat ditimbulkan oleh perubahan
struktur ostium sinus, atau oleh lesi dalam rongga hidung, misalnya hipertrofi
adenoid, tumor hidung dan nasofaring, dan suatu septum deviasi. Namun,
faktor predisposisi yang paling lazim adalah poliposis nasal yang timbul pada
rinitis alergika; polip dapat memenuhi rongga hidung dan menyumbat total
ostium sinus.17
Alergi juga dapat merupakan predisposisi infeksi karena terjadi edema
mukosa dan hipersekresi. Mukosa sinus yang membengkak dapat menyumbat
ostium sinus dan mengganggu drainase, menyebabkan infeksi lebih lanjut, yang
selanjutnya menghancurkan epitel permukaan, dan siklus seterusnya berulang.17
Rinosinusitis pada dasarnya bersifat rinogenik. Pada rinosinusitis kronis,
sumber infeksi berulang biasanya infundibulum etmoidalis dan resesus
frontalis. Karena inflamasi menyebabkan saling menempelnya mukosa yang
berhadapan, akibatnya terjadi gangguan transpor mukosiliar, menyebabkan
retensi mukus dan mempertinggi pertumbuhan bakteri dan virus.17

Gambar 5. Siklus yang berulang, mengakibatkan terjadinya proses


berkelanjutan yang mengarah pada rinosinusitis.17
2.2.4 Diagnosis
Diagnosis rinosinusitis menurut EPOS 2012 ditegakkan berdasarkan
penilaian subjektif, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang lainnya.
Penilaian subjektif berdasarkan pada keluhan, berlangsung lebih dari 12
minggu yaitu: (1) obstruksi hidung atau kongesti, (2) sekret hidung
(anterior/posterior nasal drip), umumnya mukopurulen, (3) nyeri
wajah/tekanan, nyeri kepala dan (4) penurunan/hilangnya daya penghidu.4
Pemeriksaan fisik yang dilakukan mencakup rinoskopi anterior dan
posterior. Yang menjadi pembeda antara kelompok rinosinusitis kronis tanpa
dan dengan nasal polip adalah ditemukannya jaringan polip / jaringan polipoid
pada pemeriksaan rinoskopi anterior. Pemeriksaan penunjang yang dilakukan
antara lain endoskopi nasal, sitologi dan bakteriologi nasal, pencitraan (foto
polos sinus, transiluminasi, CT-Scan dan MRI), pemeriksaan fungsi mukosiliar,
penilaian nasal airway, fungsi penciuman dan pemeriksaan laboratorium.4
Anamnesis yang cermat dan teliti sangat diperlukan terutama dalam
menilai gejala-gejala yang ada pada kriteria di atas, mengingat patofisiologi
rinosinusitis kronis yang kompleks. Adanya penyebab infeksi baik bakteri
maupun virus, adanya latar belakang alergi atau kemungkinan kelainan anatomi
rongga hidung dapat dipertimbangkan dari riwayat penyakit yang lengkap.
Informasi lain yang perlu berkaitan dengan keluhan yang dialami penderita
mencakup durasi keluhan, lokasi, faktor yang memperingan atau memperberat
serta riwayat pengobatan yang sudah dilakukan. Menurut EPOS 2012, keluhan
subjektif yang dapat menjadi dasar rinosinusitis kronik adalah:4
1) Obstruksi nasal
Keluhan obstruksi hidung biasanya bervariasi dari obstruksi aliran udara
mekanis sampai dengan sensasi terasa penuh pada daerah hidung dan
sekitarnya.
2) Sekret / discharge nasal
Dapat berupa anterior atau posterior nasal drip (sekret hidung).
3) Nyeri / tekanan fasial
Lebih nyata dan terlokalisir pada pasien dengan rinosinusitis akut, pada
rinosinusitis kronik keluhan lebih difus dan fluktuatif.
4) Abnormalitas daya penghidu
Fluktuasi daya penghidu berhubungan dengan rinosinusitis kronis yang
mungkin disebabkan karena obstruksi mukosa fisura olfaktorius dengan /
tanpa alterasi degeneratif pada mukosa olfaktorius.
Inspeksi yang diperhatikan adanya pembengkakan pada muka. Pembengkakan
di pipi sampai kelopak mata b]awah yang berwarna kemerahan mungkin
menunjukkan sinusitis maksila. Pembengkakan di kelopak mata atas mungkin
menunjukkan sinusitis frontal. Sinusitis etmoid jarang menyebabkan pembengkakan
di luar, kecuali bila telah terbentuk abses.15
Rinoskopi anterior adalah memeriksa rongga hidung bagian dalam dari depan.
Dengan rinoskopi anterior dapat dilihat kelainan rongga hidung yang berkaitan
dengan rinosinusitis kronis seperti edema konka, hiperemi, sekret mukopurulen (nasal
drip), krusta, deviasi septum, tumor atau polip. Rinoskopi posterior bila diperlukan
untuk melihat patologi di belakang rongga hidung sekaligus untuk melihat keadaan
nasofaring.18,19
Transiluminasi merupakan pemeriksaan sederhana terutama untuk menilai
kondisi sinus maksila. Pemeriksaan dianggap bermakna bila terdapat perbedaan
transiluminasi antara sinus kanan dan kiri. Namun transiluminasi bukan merupakan
pengganti radiografi dalam evaluasi penyakit sinus.20,21
Endoskopi nasal dapat menilai kondisi rongga hidung, adanya sekret, patensi
kompleks osteomeatal, ukuran konka nasi, edema disekitar orifisium tuba, hipertrofi
adenoid dan penampakan mukosa sinus. Endoskopi nasal lebih baik dalam
penerangan daripada rinoskopi anterior untuk pemeriksaan meatus medius dan
superior. Indikasi endoskopi nasal yaitu evaluasi bila pengobatan konservatif
mengalami kegagalan.4,20
Radiologi, merupakan pemeriksaan tambahan yang umum dilakukan, meliputi
X-foto, CT-Scan, MRI dan USG. CT-Scan merupakan modalitas pilihan dalam
menilai proses patologi dan anatomi sinus, serta untuk evaluasi rinosinusitis lanjut
bila pengobatan medikamentosa tidak memberikan respon. Hal ini diperlukan pada
rinosinusitis kronik yang akan dilakukan pembedahan.4
Pemeriksaan penunjang lain yang dapat dilakukan antara lain:4

1. Sitologi nasal, biopsi, pungsi aspirasi dan bakteriologi


2. Tes alergi
3. Tes fungsi mukosiliar : kliren mukosiliar, frekuensi getar silia, mikroskop
elektron dan nitrit oksida
4. Penilaian aliran udara nasal (nasal airflow): nasal inspiratory peakflow,
rinomanometri, rinometri akustik dan rinostereometri
5. Tes fungsi olfaktori: threshold testing
6. Laboratorium : pemeriksaan CRP ( C-reactive protein)

2.2.5 Penatalaksanaan

Jika pada pemeriksaan ditemukan adanya faktor predisposisi seperti deviasi


septum, kelainan atau variasi anatomi kompleks ostiomeatal (KOM), hipertrofi
adenoid pada anak, polip, kista, jamur, gigi penyebab sinusitis, dianjurkan untuk
melakukan penatalaksanaan yang sesuai dengan kelainan yang ditemukan. Jika tidak
ditemukan faktor predisposisi, diduga kelainan adalah bakterial yang memerlukan
pemberian antibiotik dan pengobatan medik lainnya. Pada dasarnya yang ingin
dicapai melalui terapi medikamentosa adalah kembalinya fungsi drainase ostium
sinus dengan mengembalikan kondisi normal rongga hidung.20,22
A. Terapi Medikamentosa
1. Antibiotik
Antibiotika merupakan modalitas tambahan pada rinosinusitis kronis. Jenis
antibiotik yang digunakan adalah antibiotik spektrum luas antara lain amoksisilin +
asam klavulanat, klindamisin, dan moksifloksasin.Terapi antibiotik jangka panjang
sebaiknya diberikan untuk pasien yang gagal dengan terapi kortikosteroid nasal dan
saline irrigation.4,20
2. Kortikosteroid Nasal
Keuntungan kortikosteroid sebagai anti inflamasi yaitu berefek untuk
mengurangi besarnya polip, memperbaiki gejala seperti hidung tersumbat, rinore,
post nasal drip, dan berkurang atau hilangnya daya penghidu. Kortikosteroid nasal
berupa flutikason propionat, mometason furoat, betametason, dan lainnya.4,5
3. Terapi Tambahan
Terapi tambahan lainnya berupa dekongestan oral/topikal yaitu golongan
agonis alfa adrenergik; saline irrigation; anti histamin; mukolitik; antagonis
leukotrien; anti mikotik; imunomodulator; dan aspirin desentisisasi.4

B. Penatalaksanaan Operatif

Rinosinusitis kronis adalah inflamasi dari mukosa hidung dan sinus paranasal
dan terapi pembedahan bukan merupakan tindakan yang pertama kali dilakukan.
Bedah Sinus Endoskopi Fungsional (BSEF), disebut begitu karena pembedahan ini
dimaksudkan untuk memperbaiki fisiologis dari ventilasi dan drainase sinus. Indikasi
untuk terapi pembedahan ini yaitu : (1) obstruksi hidung yang komplit dikarenakan
polip atau medialisasi dinding hidung lateral, (2) abses orbital, (3) komplikasi
intakranial, (4) polip antrokoana, (5) rinosinusitis fungal (Hamilos, 2011). Terapi
pembedahan ini sebaiknya disertai dengan terapi medikamentosa untuk mengontrol
inflamasi mukosa hidung dan sinus paranasal atau gejala-gejala yang mungkin
kembali. Bedah sinus terbuka kadang diperlukan walaupun dengan keragaman
prosedur endoskopi. Sebagai contoh yaitu operasi Caldwell-Luc dimana sinus maksila
dimasuki melalui insisi sublabia. Melalui operasi Caldwell-Luc ini dapat dilakukan
biopsi dari isi sinus, dan sekaligus jendela untuk drainase akan terbentuk ke kavum
nasal.19,23
2.2.6 Komplikasi
A. Komplikasi Orbita
Sinus etmoidalis merupakan penyebab komplikasi tersering pada daerah orbita.
Pembengkakan orbita dapat merupakan manifestasi etmoiditis akut, namun sinus
frontalis dan sinus maksilaris juga terletak di dekat orbita dan dapat pula
menimbulkan infeksi isi orbita. Penyebaran infeksi terjadi melalui tromboflebitis, dan
perkontinuitatum. Variasi yang dapat timbul dari kelainan ini adalah edema palpebra,
selulitis orbita, abses subperiosteal, abses orbita, dan selanjutnya dapat terjadi
trombosis sinus kavernosus.15,17

B. Komplikasi Intrakranial

Kelainan dapat berupa meningitis, abses ekstradural atau subdural, abses otak,
dan trombosis sinus kavernosus.Meningitis akut disebabkan infeksi dari sinus
paranasalis yang menyebar sepanjang vena atau langsung dari sinus yang berdekatan,
seperti lewat dinding posterior sinus frontalis atau melalui lamina kribiformis di dekat
sistem sel udara etmoidalis.15,17
Abses dura adalah kumpulan pus di antara dura dan tabula interna kranium;
seringkali mengikuti sinusitis frontalis. Proses ini mungkin timbul lambat sehingga
mungkin pasien hanya mengeluh nyeri kepala, dan sebelum pus yang terkumpul
mampu menimbulkan tekanan intrakranial yang memadai, mungkin tidak terdapat
gejala neurologik lain.17
Abses otak biasanya terjadi melalui tromboflebitis yang meluas secara
langsung. Dengan demikian, lokasi abses yang lazim adalah pada ujung vena yang
pecah, meluas menembus dura dan arakhnoid hingga ke perbatasan antara substansia
alba dan grisea korteks serebri.17
C. Osteomielitis dan Abses Subperiosteal

Paling sering timbul akibat sinusitis frontal dan biasanya ditemukan pada anak-
anak. Pada osteomielitis sinus maksila dapat timbul fistula oroantral ataufistula pada
pipi. Nyeri dan nyeri tekan dahi setempat sangat berat.Gejala sistemik berupa malaise
demam dan menggigil. Pembengkakan di atas alis mata juga lazim terjadi dan
bertambah hebat bila terbentuk abses subperiosteal, dimana terbentuk edema
supraorbita dan mata menjadi tertutup.15,17

D. Komplikasi Paru

Kelainan pada paru seperti bronkitis kronik dan bronkiektasis. Adanya kelainan
sinus paranasal disertai dengan kelainan paru ini disebut sinobronkitis. Selain itu
dapat juga menyebabkan kambuhnya asma bronkial yang sukar dihilangkan sebelum
sinusitis disembuhkan.15

E. Mukokel

Mukokel adalah suatu kista yang mengandung mukus yang timbul dalam sinus.
Kista ini paling sering ditemukan pada sinus maksilaris, sering disebut sebagai kista
retensi mukus dan biasanya tidak berbahaya. Dalam sinus frontalis, etmoidalis, dan
sfenoidalis, kista ini dapat membesar dan melalui atrofi tekanan mengikis struktur di
sekitarnya. Dengan demikian, kista ini dapat bermanifestasi sebagai pembengkakan
pada dahi atau fenestra nasalis dan dapat menggeser mata ke lateral. Dalam sinus
sfenoidalis, kista dapat menimbulkan diplopia dan gangguan penglihatan dengan
menekan saraf di sekitarnya.17

2.3 Polip Nasi


2.3.1. Definisi
Polip nasi ialah massa lunak yang mengandung banyak cairan di dalam rongga
hidung, berwarna putih keabu-abuan, yang terjadi akibat inflamasi mukosa. Bentuk
menyerupai buah anggur, lunak dan dapat digerakkan. Polip timbul dari dinding
lateral hidung. Polip yang diakibatkan proses inflamasi biasanya bilateral.1,24

2.3.2 Epidemiologi
Polip nasi biasanya diderita oleh orang dewasa usia 30-60 tahun. Laki-laki
lebih dominan dengan perbandingan 2:1 sampai 4:1.Prevalensi polip hidung dari
seluruh orang dewasa Thailand sekitar 1-4%.Prevalensi pada anak-anak jauh lebih
rendah. Prevalensi polip hidung di Swedia sekitar 2,7% dengan laki-laki lebih
dominan 2,2:1. Di Finlandia, prevalensi polip nasi sekitar 4,3%. Di Amerika Serikat
dan Eropa, prevalensi polip 2,1-4,3%.25
Di Indonesia, Sardjono Soejak dan Sri Herawati melaporkan penderita polip
nasi sebesar 4,63% dari semua pengunjung poliklinik THT-KL RS.Dr. Soetomo
Surabaya. Rasio pria dan wanita 2-4:1. Di RSUPH. Adam Malik Medan selama
Maret 2004 sampai Februari 2005, kasus polip nasi sebanyak 26 orang terdiri dari 17
pria (65%) dan 9 wanita(35%). Selama Januari sampai Desember 2010 didapatkan
kasus polip nasi sebanyak 43 orang terdiri dari 22 pria (51,2%) dan 21 perempuan
(48,8%). Indrawati (2011) melakukan penelitian di RS DR. SardjitoYogyakarta,
melaporkan terdapat 24 penderita polip dimana tipe 1 sekitar20,8%, tipe 2 sekitar
58,3%, tipe 3 sekitar 16,7% dan tipe 4 sekitar 4,2%.25
Faktor genetik dianggap berperan dalam etiologi polip nasi.Sekitar 14%
penderita polip memiliki riwayat keluarga menderita polip nasi. Etnis dan geografis
memiliki peranan dalam patofisiologi polip. Pada populasi Caucasian dominan polip
eosinofilik sementara di Asia dominan neutrofilik.26

2.3.3 Patogenesis Polip Hidung


Alergi ditengarai sebagai salah satu faktor predisposisi polip hidung karena
mayoritas polip hidung mengandung eosinofil, ada hubungan polip hidung dengan
asthma dan pemeriksaan hidung menunjukkan tanda dan gejala alergi. Suatu meta-
analisis menemukan 19% dari polip hidung mempunyai Ig E spesifik yang
merupakan manifestasi alergi mukosa hidung.27
Ketidakseimbangan vasomotor dianggap sebagai salah satu faktor predisposisi
polip hidung karena sebagian penderita polip hidung tidak menderita alergi dan pada
pemeriksaan tidak ditemukan alergen yang dapat mencetuskan alergi.Polip hidung
biasanya mengandung sangat sedikit pembuluh darah. Regulasi vaskular yang tidak
baik dan meningkatnya permeabilitas vaskular dapat menyebabkan edema dan
pembentukan polip hidung.27
Fenomena Bernouilli terjadi karena menurunnya tekanan akibat konstriksi.
Tekanan negatif akan mengakibatkan inflamasi mukosa hidung yang kemudian
memicu terbentuknya polip hidung.Ruptur epitel mukosa hidung akibat alergi atau
infeksi dapat mengakibatkan prolaps lamina propria dari mukosa. Hal ini akan
memicu terbentuknya polip hidung.27
Infeksi merupakan faktor yang sangat penting dalam pembentukan polip
hidung. Hal ini didasari pada percobaan yang menunjukkan rusaknya epitel dengan
jaringan granulasi yang berproliferasi akibat infeksi bakteri Streptococcus
pneumoniae, Staphylococcus aureus atau Bacteroides fragilis (merupakan bakteri
yang banyak ditemukan pada rhinosinusitis) atau Pseudomonas aeruginosa yang
sering ditemukan pada cystic fibrosis.28

2.3.4 Makroskopis
Secara makroskopik polip merupakan massa bertangkai dengan permukaan
licin. Berbentuk bulat atau lonjong, berwarna putih keabu-abuan, agak bening,
lobular, dapat tunggal atau multipel dan tidak sensitif (bila ditekan/ditusuk tidak
terasa sakit). Warna polip yang pucat tersebut disebabkan karena mengandung
banyak cairan dan sedikitnya aliran darah ke polip. Bila terjadi iritasi kronis atau
proses peradangan warna polip dapat berubah menjadi kemerah-merahan dan polip
yang sudah menahun warnanya dapat menjadi kekuning-kuningan karena banyak
mengandung jaringan ikat.2
Tempat asal tumbuhnya polip terutama dari kompleks ostiomeatal di meatus
medius dan sinus etmoid. Bila ada fasilitas pemeriksaan dengan endoskop, mungkin
tempat asal tangkai polip dapat dilihat. Ada polip yang tumbuh ke arah belakang dan
membesar di nasofaring, disebut polip koana. Polip koana kebanyakan berasal dari
dalam sinus maksila dan disebut juga polip antro-koana. Ada juga sebagian kecil
polip koana yang berasal dari sinus etmoid.2

2.3.5 Mikroskopis
Secara mikroskopis tampak epitel pada polip serupa dengan mukosa hidung
normal yaitu epitel bertingkat semu bersilia dengan submukosa yang sembab. Sel-sel
nya terdiri dari limfosit, sel plasma, eosinofil, neutrophil dan makrofag. Mukosa
mengandung sel-sel goblet. Pembuluh darah, saraf dan kelenjar sangat sedikit. Polip
yang sudah lama dapat mengalami metaplasia epitel karena sering terkena aliran
udara, menjadi epitel transisional, kubik atau gepeng berlapis tanpa keratinisasi.2

2.3.6 Histomorfologi Polip


Peradangan merupakan prinsip utama dalam patogenesis pembentukan dan
pertumbuhan polip. Karakteristik polip hidung yang matang ditandai dengan proses
peradangan yang tampak seperti pembentukan pseudokista yang kosong dan
penumpukan sel-sel radang di subepitel, dimana eosinofil adalah sel yang dominan.
Banyak penelitian yang fokus terhadap rekruitmen dan usia eosinofil di polip hidung.
Sitokin dan kemokin bertindak sebagai mediator dalam proses ini.29
Pada polip yang kecil yang tumbuh dari mukosa meatus media yang normal
pada penderita polip hidung bilateral, dijumpai sejumlah eosinofil pada masa awal
pertumbuhan polip. Dari sini diduga ada penumpukan protein plasma yang diatur
oleh eosinofil. Albumin dan protein plasma yang lain menumpuk didalam
pseudokista bersama infiltrasi eosinofil. Histomorfologi polip didominasi oleh epitel
yang rusak, membran basal yang menipis dan meradang dan terdapat sedikit jaringan
stroma yang mengalami fibrosis, dengan minimal pembuluh darah dan kelenjar serta
tidak adanya struktur saraf.29
Peradangan eosinofil pada polip diatur oleh sel T yang teraktivasi.IL-5
memegang peranan penting dalam proses rekruitmen, aktivasi dan inhibisi apoptosis
eosinofil.TGF-β1, suatu sitokin dengan kerja menginhibisi sintesis IL-5. Produksi IL-
5 yang tinggi dan tidak adanya TGF-β1 diduga menjadi penyebab utama lamanya
usia eosinofil dan menfasilitasi degradasi jaringan matrix, kedua hal tersebut
merupakan karakteristik struktur polip.ICAM-1, E-selectin dan P-selectin juga
terlihat pada epitel polip yang berperan dalam rekruitmen eosinofil.VCAM-1 juga
meningkat secara bermakna pada polip. Pengobatan dengan steroid topikal
menurunkandensitas eosinofil serta ekspresi VCAM-1 pada polip.29

Tabel 1. Komponen Polip Hidung.29

Albumin dan protein plasma yang lain Histamin

IL-1β, IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, IL-8 Interferon-γ

Faktor stimulasi koloni Granulosit-makrofag RANTES

Faktor pertumbuhan fibroblas dasar EOTAXIN

Faktor pertumbuhan endotel vascular Selectin-P

Faktor stimulasi koloni Granulosit-makrofag Selectin-E

Faktor pertumbuhan pentransfer α-1 and β-1 MMP-7, MMP-9


Faktor pertumbuhan turunan Keratinosit CD 4+, CD 8+

Adhesi intersel molekul-1 Makrofag

Adhesi sel vaskular molekul-1 Sel Mast


Faktor nekrosis tumor α

Tabel 2. Teori pembentukan polip hidung30

Penelitian Mekanisme pembentukan


Ramanathan et al1 ↓ Respon imun lokal berbasis Th-1

↑ Aktivitas berbasis Th-2

↑ Eosinofil

Ramanathan et al2 ↓ Reseptor mirip Toll-9

Lane et al ↑ Reseptor mirip Toll-2

Qiu et al ↑ Ekspresi surviving

Kowalski et al ↓ Apoptosis eosinophil

Meyer et al ↑ Ekspresi eotaxin

Olze et al ↑ RANTES

↑ Eosinofil

Rudack et al ↑ Eosinofil yang berhubungan dengan sitokin IL-5

Ohori et al ↑ VCAM-1 yang diperkuat oleh TNF-α

Kim et al Ketiadaan limfangiogenesis pada inflamasi

mukosa hidung

↑ Edem stroma dan pembentukan polip

Lechapat-Zalcman Meningkatnya regulasi MMP-9 di kelenjar dan

pembuluh darah

Bernstein et al ↑ Produksi super antigen stapilokokus aureus

Van Zele et al Aktivasi sitokin Th-1 dan Th-2


Cannady et al Abnormalitas metabolisme NO

2.3.7 Diagnosis

Keluhan utama penderita polip nasi ialah hidung rasa tersumbat dari yang
ringan sampai berat, rinore mulai yang jernih sampai purulen, hiposmia atau
anosmia. Mungkin disertai bersin, bersin, rasa nyeri pada hidung disertai sakit
kepala di daerah frontal. Bila disertai infeksi sekunder mungkin didapati post nasal
drip dan rinore purulen. Gejala sekunder yang dapat timbul ialah bernafas melalui
mulut, suara sengau, halitosis, gangguan tidur dan penurunan kualitas hidup. Dapat
menyebabkan gejala pada salurannapas bawah, berupa batuk kronik dan mengi
terutama pada penderita polip nasidengan asma. Selain itu harus ditanyakan riwayat
rintisalergi, asma, intoleransi terhadap aspirin danalergi obat lainnya serta alergi
makanan.2
Polip nasi yang masif dapat menyebabkan deformitas hidung luar sehingga
hidung tampak mekar karena pelebaran batang hidung. Pada pemeriksaan rinoskopi
anterior terliha tsebagai massa yang berwarna pucat yang berasal dari meatus
medius dan mudah digerakkan.2
Adanya fasilitas endoskop (teleskop) akan sangat membantu diagnosis kasus
polip yang baru. Polip stadium 1 dan 2 kadang-kadang tidak terlihat pada
pemeriksaan rinoskopi anterior tetapi tampak dengan pemeriksaan nasoendoskopi.
Pada kasus polip koanal juga sering dapat dilihat tangkai polip yang berasai dari
ostium asesorius sinus maksila.2
Foto polos sinus paranasal (posisi Waters, AP, Caldwell dan lateral) dapat
memperlihatkan penebalan mukosa dan adanya batas udara cairan di dalam sinus,
tetapi kurang bermafaat pada kasus polip. Pemeriksaan tomografi komputer (TK,
CT scan) sangat bermanfaat untuk melihat dengan jelas keadaan di hidung dan sinus
paranasal apakah ada proses radang, kelainan anatomi, polip atau sumbatan pada
kompleks ostiomeatal. TK terutama diindikasikan pada kasus polip yang gagal
diobati dengan terapi medikamentosa, jika ada komplikasi dari sinusitis dan pada
perencanaan tindakan bedah terutama bedah endoskopi. CT scan diindikasikan pada
kasus polip yang gagal terapi medikamentosa, ada komplikasi sinusitis dan rencana
tindakan bedah terutama bedah sinus endoskopi fungsional.2
Pemeriksaan histopatologi merupakan baku emas penegakan diagnosa polip
hidung. Menurut Hellquist (1996), ada empat tipe histopatologi polip hidung, antara
lain : Edematous, Eosinophilic Polyp (Allergic Polyp), Chronic Inflammatory Polyp
(Fibroinflammatory Polyp), Chronic Inflammatory Polyp (Fibroinflammatory
Polyp) dan Polyp with Stromal Atypia.31

2.3.8 Stadium polip

Tabel 3. Stadium Polip Menurut Mackay and Lund 1995.32

Kondisi Polip Stadium

Tidak ada polip 0

Polip terbatas pada meatus media 1

Polip sudah keluar dari meatus media tetapi belum 2

memenuhi rongga hidung

Polip yang massif (memenuhi rongga hidung) 3

Tabel 4. Stadium Polip Menurut Yamada et al 2000.33

Kondisi Polip Stadium


Tidak ada polip 0

Polip di meatus media dan belum mencapai batas bawah 1

konka media

Polip belum mencapai titik tengah antara batas bawah 2

konka media dan batas atas konka inferior

Polip belum melewati batas bawah konka inferior 3

Polip melewati batas bawah konka inferior 4

2.3.9 Penatalaksanaan Polip Hidung

Polip nasi sangat mengganggu pada kebanyakan pasien.Penyakit ini sering berulang
dan memerlukan pengobatan yang lama sampai bertahun-tahun.Dengan demikian
pengobatannya bertujuan untuk mengurangi besarnya atau menghilangkan polip agar aliran
udara hidung menjadi lapang dan penderita dapat bernafas dengan baik.Selanjutnya gejala-
gejala rinitis dapat dihilangkan dan fungsi penciuman kembali normal.Terdapat beberapa
pilihan pengobatan untuk polip nasi mulai dari pemberian obat-obatan, pembedahan
konvensional sederhana dengan menggunakan snare polip sampai pada bedah endoskopi
yang memakai alat lebih lengkap. Walaupun demikian, angka kekambuhan masih tetap
tinggi sehingga memerlukan sejumlah operasi ulang.34
Tujuan utama pengobatan pada kasus polip nasi adalah menghilangkan keluhan-
keluhan, mencegah komplikasi dan mencegah rekurensi polip. Pemberian kortikosteroid
untuk menghilangkan polip nasi disebut juga polipektomi medikamentosa.Dapat di berikan
topikal atau sistemik.Polip eosinofilik memberikan respon yang lebih baik terhadap
pengobatan kortikosteroid intranasi dibandingkan polip tipe neutrofilik.Kasus polip
yang tidak membaik dengan terapi medikamentosa atau polip yang sangat masif
dipertimbangkan untuk terapi bedah.Dapat dilakukan ekstraksi polip
(polipektomi)menggunakan senar polip atau cunam dengananalgesi Iokal
etmoidektomi intranasal atauetmoidektomi ekstranasal untuk polip etmoid,operasi
Caldwell-Luc untuk sinus maksila.Yang terbaik ialah bila tersedia fasilitasendoskop
maka dapat dilakukan tindakanBSEF (Bedah Sinus Endoskopi Fungsional).
Berdasarkan guideline PERHATI-KL, stadium 1 (menurut Mackay and Lund) dapat
diterapi dengan medikamentosa (polipektomi medikamentosa), untuk stadium 2
dapat diterapi medikamentosa atau operasi dan stadium 3 dianjurkan untuk
dioperasi.2,35
Prinsip pengelolaan polip adalah dengan operatif dan non operatif.
Pengelolaan polip nasi seharusnya berdasarkan faktor penyebabnya, tetapi
sayangnya penyebab polip nasi belum diketahui secara pasti. Karena penyebab
yang mendasari terjadinya polip nasi adalah reaksi alergi, pengelolaanya adalah
mengatasi reaksi alergi yang terjadi. Polip yang masih kecil dapat diobati dengan
konservatif.
1. Terapi Konservatif
Pemberian kortikosteroid untuk menghilangkan polip nasi disebut juga
polipektomi medikamentosa. Untuk polip stadium 1 dan 2, sebaiknya diberikan
kortikosteroid intranasal selama 4-6 minggu. Bila reaksinya baik, pengobatan ini
diteruskan sampai polip atau gejalanya hilang. Bila reaksinya terbatas atau tidak ada
perbaikan maka diberikan juga kortikosteroid sistemik.

a. Kortikosteroid spray
Dapat mengecilkan ukuran polip, tetapi relatif tidak efektif unutkpolip yang masif.
Kortikosteroid topikal, intranasal spray, mengecilkan ukuran polip dan sangat efektif
pada pemberian postoperatif untukmencegah kekambuhan.

b. Kortikosteroid sistemik
Merupakan terapi efektif sebagai terapi jangkapendek pada polipnasal. Pasien yang
responsif terhadap pengobatan kortikosteroidsistemik dapat diberikan secara
aman sebanyak 3-4 kali setahun,terutama untuk pasien yang tidak dapat dilakukan
operasi.

c.Leukotrin inhibitor.
Menghambat pemecahan asam arakidonat oleh enzyme 5 lipoxygenase yang akan
menghasilkan leukotrin yang merupakan mediator inflamasi.

2. Terapi operatif
Kriteria polip yang diangkat adalah polip yang sangat besar, berulang,dan jelas
terdapat kelainan di kompleks osteomeatal sehingga tidak dapat diobati dengan terapi
konservatif. Antibiotik sebagai terapi kombinasi pada polip hidung bisa kita berikan
sebelum dan sesudah operasi. Berikan antibiotik bila ada tanda infeksi dan untuk
langkah profilaksis pasca operasi .
Gambar 6. Algoritma Penatalaksanaan Polip Hidung & Sinus Paranasal35
Polip nasi sering tumbuh kembali, oleh karena itu pengobatannya juga perlu
ditujukan kepada penyebabnya, misalnya alergi. Terapi yang paling ideal pada
rinosinusitis adalah menghindari kontak dengan alergen penyebab dan eliminasi.
Secara medikamentosa, dapat diberikan antihistamin dengan atau tanpa
dekongestan yang berbentuk tetes hidung yang bisa mengandung kortikosteroid atau
tidak. Untuk alergi inhalan dengan gejala yang berat dan sudah berlangsung lama
dapat dilakukan imunoterapi dengan cara desensitisasi dan hiposensitisasi, yang
menjadi pilihan apabila pengobatan cara lain tidak memberikan hasil yang
memuaskan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Fokkens W, Lund V, Mullol J, et al. European position paper on rhinosinusitis
and nasal polyps. Rhinology, 2007; 45(suppl 20): 1-139.
2. Busquets JM, Hwang PH. Nonpolypoid rhinosinusitis: Classification, diagnosis
and treatment. In Bailey BJ, Johnson JT, Newlands SD, eds. Head & Neck
Surgery – Otolaryngology. 4th ed. Vol 1. Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins, 2006; 406-416.
3. Aring A, Chan M. Acute rhinosinusitis in adults. American Academy Family
Physicians. 2011;83(9):1057-63.
4. Meltzer, EO, Hamilos DL. Rhinosinusitis Diagnosis and Management for the
Clinician: A Synopsis of Recent Consensus Guidelines.Mayo Clin Proc.
2011;86(5):427-443.
5. Mustafa M et al. Acute and chronic rhinosinusitis, pathophysiology and
treatment. International Journal of Pharmaceutical Science Invention.
2015;4(2):30-6.
6. Skye EP et al. Acute rhinosinusitis in adults. Guidelines for Clinical Care
Ambulatory. 2011:1-9.
7. Fokken WJ et al. European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps.
Rhinol Suppl. 2012;23:1-19.
8. Mangunkusumo E, Soetjipto D. Sinus Paranasal. Dalam: Soepardi EA, Iskandar.
Telinga, Hidung, Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi 7. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 2012.hal.122-124.
9. Hwang PH, Abdalkhani A. Anatomy and Physiology of the Nose and Paranasal
Sinuses. In James B, Snow JR, Wackym PA, eds. Ballenger’s
Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery 17th ed. Vol 1. Connecticut: BC
Decker Inc, 2009:484-494
10. Mangunkusumo E, Soetjipto D. Sinusitis. Dalam: Soepardi EA, Iskandar.
Telinga, Hidung, Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi 7 Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 2012.hal.127-130.
11. Rinaldi, Lubis HM, Daulay RM, Panggabean G. Sinusitis pada Anak. Sari
Pediatri. 2006:7(4): 244-248.
12. Rosenfeld RM, Piccirillo JF, Chandrasekhar SS, Brook I, Ashok Kumar K,
Kramper M, Orlandi RR, Palmer JN, Patel ZM, Peters A, et al. Clinical Pactical
Guideline (Update): Adult Sinusitis. Otolaryngol Head Neck Surg. 2015 Apr;
152(2 Suppl):S1-S39.
13. Hansen JG. Acute rhinosinusitis (ARS) diagnosis and treatment of adults in
general practice. Dan Med J. 2014;61(2):1-15.
14. Chow AW, Benninger MS, Brook I, et al. IDSA Clinical Practice Guideline for
Acute Bacterial Rhinosinusitis in Children and Adults. Clinical Infectious
Diseases.2012;54(8):1041-1045.
15. Anugrahani A, Madaidipoera T, Dermawan A. Korelasi Otitis Media dengan
Temuan Nasoendoskopi pada Penderita Rinosinusitis Akut. ORLI. 2015: 45(2):
101-108.
16. Behrbohm H, Kaschke O, Nawka T, Swift A. Chapter II. Nose, Nasal Sinuses
and Face, Acute and Chronic Rhinosinusitis. In : Ear, Nose and Throat Disease
With Head and Neck Surgery. 3rd Ed. Thieme: New York. 2009.p.155-66.
17. Foden N, Burgess C, Shepherd K, Almeyda R. A guide to the Mangement of
Acute Rhinosinusitis in Primary Care. British Journal of General Practice.
2013;63:611-613.
18. Ryan D. Management of acute rhinosinusitis in primary care: changing
paradigms and the emerging role of intranasal corticosteroids. Primary Care
Respiratory Journal. 2010;17(3):148-55.
19. Slack R, Bates G. Functional endoscopic sinus surgery. American Academy of
Family Physician. 1998:1-11.
20. Behrbohm H, Kaschke O, Nawka T, Swift A. Chapter 38. Complication of
Sinusitis. In : Ear, Nose and Throat Disease With Head and Neck Surgery. 3rd
Ed. Thieme: New York. 2009.p.198-201.

Anda mungkin juga menyukai