TINJAUAN PUSTAKA
2.2 Rinosinusitis
2.2.1 Definisi
Rinosinusitis merupakan inflamasi dari mukosa hidung dan sinus
paranasal yang ditandai dengan dua atau lebih gejala, dimana salah satu
gejalanya merupakan sumbatan hidung (nasal blockage/obstruction/congestion)
atau nasal discharge (anterior/posterior nasal drip) yang dapat terjadi secara
kronis selama 12 minggu atau lebih, serta diikuti ada atau tanpa nyeri tekan di
daerah wajah dan penurunan atau hilangnya daya penghidu.4
Selain gejala-gejala klinis tersebut, rinosinusitis kronis dapat didukung
oleh pemeriksaan penunjang antara lain: endoskopi, dimana dapat ditemukan
polip dan atau sekret mukopurulen yang berasal dari meatus medius dan atau
edema/obstruksi mukosa pada meatus medius; dan CT Scan, dapat ditemukan
perubahan mukosa pada kompleks osteomeatal dan atau sinus paranasal.4
Berdasarkan anatomi sinus yang terlibat, sinusitis dapat diklasifikasikan
sebagai sinusitis maksila, sinusitis etmoid, sinusitis frontal, dan sinusitis
sfenoid. Sinus yang paling sering terkena infeksi adalah sinus maksilaris dan
sinus etmoidalis, sedangkan sinus frontalis dan sinus sfenoidalis lebih jarang.1
Sebuah penelitian menyebutkan, pasien dengan rinosinusitis kronis
dilaporkan lebih merasakan nyeri jasmani dan fungsi sosial yang lebih buruk
dibanding pasien dengan penyakit kronis lainnya seperti penyakit paru
obstruksi kronik, gagal jantung kongestif, dan nyeri punggung. Dampak
penyakit rinosinusitis kronis terhadap kualitas hidup pasien sebanding dengan
keparahan penyakit kronis lainnya. Oleh karena itu, sama halnya dengan
penyakit kronis yang lain, penyakit rinosinusitis kronis sebaiknya ditangani
secara proaktif.5
2.2.2 Etiologi
Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan
lancarnya klirens mukosiliar (mucocilliary clearance) di dalam kompleks
ostiomeatal (KOM). Mukus juga mengandung substansi antimikrobial dan zat-
zat yang berfungsi sebagai mekanisme pertahanan tubuh terhadap kuman yang
masuk bersama udara pernafasan.1
Kompleks ostiomeatal (KOM) merupakan tempat drainase bagi kelompok
sinus anterior (frontalis, etmoidalis anterior dan maksilaris) dan berperan
penting bagi transpor mukus dan debris serta mempertahankan tekanan oksigen
yang cukup untuk mencegah pertumbuhan bakteri. Rinosinusitis lebih sering
terjadi pada beberapa sinus (multisinusitis) dibandingkan dengan satu sinus
(single sinusitis), hal ini kemungkinan berkaitan erat dengan kompleks
ostiomeatal (KOM), karena KOM merupakan satu kesatuan dari muara
beberapa sinus, jika terjadi gangguan patensi KOM, maka mungkin akan terjadi
gangguan beberapa sinus. KOM atau celah sempit di daerah etmoid anterior
yang merupakan “serambi depan” bagi sinus maksila dan frontal memegang
peran penting dalam terjadinya rinosinusitis kronis, bila terdapat gangguan di
daerah KOM seperti peradangan atau edema, maka hal itu akan menyebabkan
gangguan drainase sehingga terjadi rinosinusitis.16
Pada penderita rinosinusitis kronis terbukti bahwa akumulasi
ketidakseimbangan metabolisme asam arakhidonat dapat memainkan peran
penting dalam rinosinusitis kronis. Metabolisme asam arakhidonat dan
prostaglandin berperan sebagai mediator inflamasi pada suatu penyakit.16
Etiologi dan patofisiologi rinosinusitis kronis bersifat multifaktorial dan
belum sepenuhnya diketahui, rinosinusitis kronis merupakan sindrom yang
terjadi karena kombinasi etiologi yang multipel. Berdasarkan EPOS 2012,
faktor-faktor yang berkaitan dengan terjadinya rinosinusitis kronis adalah
kerusakan sistem mukosiliar, alergi, asma, sensitif terhadap aspirin, pasien
immunocompromised, faktor genetik, kehamilan dan endokrin, faktor lokal,
mikroorganisme, faktor lingkungan, faktor iatrogenik, Helicobacter pylori,
refluks laringofaringeal, dan osteitis.4
2.2.3 Patofisiologi
Etiologi dan faktor predisposisi rinosinusistis cukup beragam. Dalam
patofisiologi sinusitis kronis, beberapa faktor ikut berperan dalam siklus dari
peristiwa yang berulang.17
Lapisan mukoperiosteum sinus paranasalis mempunyai daya tahan luar
biasa terahadap penyakit selain kemampuan untuk memulihkan dirinya sendiri.
Pada dasarnya, faktor-faktor lokal yang memungkinkan penyembuhan mukosa
sinus yang terinfeksi adalah drainase dan ventilasi yang baik. Bila faktor
anatomi menyebabkan kegagalan drainase dan ventilasi sinus, maka terbentuk
suatu medium untuk infeksi selanjutnya oleh kokus mikroaerofilik atau
anaerobik, akibatnya berupa edema, sumbatan, dan infeksi.17
Kegagalan mengobati rinosinusitis akut atau berulang secara adekuat
akan menyebabkan regenerasi epitel permukaan bersilia yang tidak lengkap,
akibatnya terjadi kegagalan pengeluaran sekret sinus, sehingga menjadi
predisposisi infeksi. Sumbatan drainase dapat ditimbulkan oleh perubahan
struktur ostium sinus, atau oleh lesi dalam rongga hidung, misalnya hipertrofi
adenoid, tumor hidung dan nasofaring, dan suatu septum deviasi. Namun,
faktor predisposisi yang paling lazim adalah poliposis nasal yang timbul pada
rinitis alergika; polip dapat memenuhi rongga hidung dan menyumbat total
ostium sinus.17
Alergi juga dapat merupakan predisposisi infeksi karena terjadi edema
mukosa dan hipersekresi. Mukosa sinus yang membengkak dapat menyumbat
ostium sinus dan mengganggu drainase, menyebabkan infeksi lebih lanjut, yang
selanjutnya menghancurkan epitel permukaan, dan siklus seterusnya berulang.17
Rinosinusitis pada dasarnya bersifat rinogenik. Pada rinosinusitis kronis,
sumber infeksi berulang biasanya infundibulum etmoidalis dan resesus
frontalis. Karena inflamasi menyebabkan saling menempelnya mukosa yang
berhadapan, akibatnya terjadi gangguan transpor mukosiliar, menyebabkan
retensi mukus dan mempertinggi pertumbuhan bakteri dan virus.17
2.2.5 Penatalaksanaan
B. Penatalaksanaan Operatif
Rinosinusitis kronis adalah inflamasi dari mukosa hidung dan sinus paranasal
dan terapi pembedahan bukan merupakan tindakan yang pertama kali dilakukan.
Bedah Sinus Endoskopi Fungsional (BSEF), disebut begitu karena pembedahan ini
dimaksudkan untuk memperbaiki fisiologis dari ventilasi dan drainase sinus. Indikasi
untuk terapi pembedahan ini yaitu : (1) obstruksi hidung yang komplit dikarenakan
polip atau medialisasi dinding hidung lateral, (2) abses orbital, (3) komplikasi
intakranial, (4) polip antrokoana, (5) rinosinusitis fungal (Hamilos, 2011). Terapi
pembedahan ini sebaiknya disertai dengan terapi medikamentosa untuk mengontrol
inflamasi mukosa hidung dan sinus paranasal atau gejala-gejala yang mungkin
kembali. Bedah sinus terbuka kadang diperlukan walaupun dengan keragaman
prosedur endoskopi. Sebagai contoh yaitu operasi Caldwell-Luc dimana sinus maksila
dimasuki melalui insisi sublabia. Melalui operasi Caldwell-Luc ini dapat dilakukan
biopsi dari isi sinus, dan sekaligus jendela untuk drainase akan terbentuk ke kavum
nasal.19,23
2.2.6 Komplikasi
A. Komplikasi Orbita
Sinus etmoidalis merupakan penyebab komplikasi tersering pada daerah orbita.
Pembengkakan orbita dapat merupakan manifestasi etmoiditis akut, namun sinus
frontalis dan sinus maksilaris juga terletak di dekat orbita dan dapat pula
menimbulkan infeksi isi orbita. Penyebaran infeksi terjadi melalui tromboflebitis, dan
perkontinuitatum. Variasi yang dapat timbul dari kelainan ini adalah edema palpebra,
selulitis orbita, abses subperiosteal, abses orbita, dan selanjutnya dapat terjadi
trombosis sinus kavernosus.15,17
B. Komplikasi Intrakranial
Kelainan dapat berupa meningitis, abses ekstradural atau subdural, abses otak,
dan trombosis sinus kavernosus.Meningitis akut disebabkan infeksi dari sinus
paranasalis yang menyebar sepanjang vena atau langsung dari sinus yang berdekatan,
seperti lewat dinding posterior sinus frontalis atau melalui lamina kribiformis di dekat
sistem sel udara etmoidalis.15,17
Abses dura adalah kumpulan pus di antara dura dan tabula interna kranium;
seringkali mengikuti sinusitis frontalis. Proses ini mungkin timbul lambat sehingga
mungkin pasien hanya mengeluh nyeri kepala, dan sebelum pus yang terkumpul
mampu menimbulkan tekanan intrakranial yang memadai, mungkin tidak terdapat
gejala neurologik lain.17
Abses otak biasanya terjadi melalui tromboflebitis yang meluas secara
langsung. Dengan demikian, lokasi abses yang lazim adalah pada ujung vena yang
pecah, meluas menembus dura dan arakhnoid hingga ke perbatasan antara substansia
alba dan grisea korteks serebri.17
C. Osteomielitis dan Abses Subperiosteal
Paling sering timbul akibat sinusitis frontal dan biasanya ditemukan pada anak-
anak. Pada osteomielitis sinus maksila dapat timbul fistula oroantral ataufistula pada
pipi. Nyeri dan nyeri tekan dahi setempat sangat berat.Gejala sistemik berupa malaise
demam dan menggigil. Pembengkakan di atas alis mata juga lazim terjadi dan
bertambah hebat bila terbentuk abses subperiosteal, dimana terbentuk edema
supraorbita dan mata menjadi tertutup.15,17
D. Komplikasi Paru
Kelainan pada paru seperti bronkitis kronik dan bronkiektasis. Adanya kelainan
sinus paranasal disertai dengan kelainan paru ini disebut sinobronkitis. Selain itu
dapat juga menyebabkan kambuhnya asma bronkial yang sukar dihilangkan sebelum
sinusitis disembuhkan.15
E. Mukokel
Mukokel adalah suatu kista yang mengandung mukus yang timbul dalam sinus.
Kista ini paling sering ditemukan pada sinus maksilaris, sering disebut sebagai kista
retensi mukus dan biasanya tidak berbahaya. Dalam sinus frontalis, etmoidalis, dan
sfenoidalis, kista ini dapat membesar dan melalui atrofi tekanan mengikis struktur di
sekitarnya. Dengan demikian, kista ini dapat bermanifestasi sebagai pembengkakan
pada dahi atau fenestra nasalis dan dapat menggeser mata ke lateral. Dalam sinus
sfenoidalis, kista dapat menimbulkan diplopia dan gangguan penglihatan dengan
menekan saraf di sekitarnya.17
2.3.2 Epidemiologi
Polip nasi biasanya diderita oleh orang dewasa usia 30-60 tahun. Laki-laki
lebih dominan dengan perbandingan 2:1 sampai 4:1.Prevalensi polip hidung dari
seluruh orang dewasa Thailand sekitar 1-4%.Prevalensi pada anak-anak jauh lebih
rendah. Prevalensi polip hidung di Swedia sekitar 2,7% dengan laki-laki lebih
dominan 2,2:1. Di Finlandia, prevalensi polip nasi sekitar 4,3%. Di Amerika Serikat
dan Eropa, prevalensi polip 2,1-4,3%.25
Di Indonesia, Sardjono Soejak dan Sri Herawati melaporkan penderita polip
nasi sebesar 4,63% dari semua pengunjung poliklinik THT-KL RS.Dr. Soetomo
Surabaya. Rasio pria dan wanita 2-4:1. Di RSUPH. Adam Malik Medan selama
Maret 2004 sampai Februari 2005, kasus polip nasi sebanyak 26 orang terdiri dari 17
pria (65%) dan 9 wanita(35%). Selama Januari sampai Desember 2010 didapatkan
kasus polip nasi sebanyak 43 orang terdiri dari 22 pria (51,2%) dan 21 perempuan
(48,8%). Indrawati (2011) melakukan penelitian di RS DR. SardjitoYogyakarta,
melaporkan terdapat 24 penderita polip dimana tipe 1 sekitar20,8%, tipe 2 sekitar
58,3%, tipe 3 sekitar 16,7% dan tipe 4 sekitar 4,2%.25
Faktor genetik dianggap berperan dalam etiologi polip nasi.Sekitar 14%
penderita polip memiliki riwayat keluarga menderita polip nasi. Etnis dan geografis
memiliki peranan dalam patofisiologi polip. Pada populasi Caucasian dominan polip
eosinofilik sementara di Asia dominan neutrofilik.26
2.3.4 Makroskopis
Secara makroskopik polip merupakan massa bertangkai dengan permukaan
licin. Berbentuk bulat atau lonjong, berwarna putih keabu-abuan, agak bening,
lobular, dapat tunggal atau multipel dan tidak sensitif (bila ditekan/ditusuk tidak
terasa sakit). Warna polip yang pucat tersebut disebabkan karena mengandung
banyak cairan dan sedikitnya aliran darah ke polip. Bila terjadi iritasi kronis atau
proses peradangan warna polip dapat berubah menjadi kemerah-merahan dan polip
yang sudah menahun warnanya dapat menjadi kekuning-kuningan karena banyak
mengandung jaringan ikat.2
Tempat asal tumbuhnya polip terutama dari kompleks ostiomeatal di meatus
medius dan sinus etmoid. Bila ada fasilitas pemeriksaan dengan endoskop, mungkin
tempat asal tangkai polip dapat dilihat. Ada polip yang tumbuh ke arah belakang dan
membesar di nasofaring, disebut polip koana. Polip koana kebanyakan berasal dari
dalam sinus maksila dan disebut juga polip antro-koana. Ada juga sebagian kecil
polip koana yang berasal dari sinus etmoid.2
2.3.5 Mikroskopis
Secara mikroskopis tampak epitel pada polip serupa dengan mukosa hidung
normal yaitu epitel bertingkat semu bersilia dengan submukosa yang sembab. Sel-sel
nya terdiri dari limfosit, sel plasma, eosinofil, neutrophil dan makrofag. Mukosa
mengandung sel-sel goblet. Pembuluh darah, saraf dan kelenjar sangat sedikit. Polip
yang sudah lama dapat mengalami metaplasia epitel karena sering terkena aliran
udara, menjadi epitel transisional, kubik atau gepeng berlapis tanpa keratinisasi.2
↑ Eosinofil
Olze et al ↑ RANTES
↑ Eosinofil
mukosa hidung
pembuluh darah
2.3.7 Diagnosis
Keluhan utama penderita polip nasi ialah hidung rasa tersumbat dari yang
ringan sampai berat, rinore mulai yang jernih sampai purulen, hiposmia atau
anosmia. Mungkin disertai bersin, bersin, rasa nyeri pada hidung disertai sakit
kepala di daerah frontal. Bila disertai infeksi sekunder mungkin didapati post nasal
drip dan rinore purulen. Gejala sekunder yang dapat timbul ialah bernafas melalui
mulut, suara sengau, halitosis, gangguan tidur dan penurunan kualitas hidup. Dapat
menyebabkan gejala pada salurannapas bawah, berupa batuk kronik dan mengi
terutama pada penderita polip nasidengan asma. Selain itu harus ditanyakan riwayat
rintisalergi, asma, intoleransi terhadap aspirin danalergi obat lainnya serta alergi
makanan.2
Polip nasi yang masif dapat menyebabkan deformitas hidung luar sehingga
hidung tampak mekar karena pelebaran batang hidung. Pada pemeriksaan rinoskopi
anterior terliha tsebagai massa yang berwarna pucat yang berasal dari meatus
medius dan mudah digerakkan.2
Adanya fasilitas endoskop (teleskop) akan sangat membantu diagnosis kasus
polip yang baru. Polip stadium 1 dan 2 kadang-kadang tidak terlihat pada
pemeriksaan rinoskopi anterior tetapi tampak dengan pemeriksaan nasoendoskopi.
Pada kasus polip koanal juga sering dapat dilihat tangkai polip yang berasai dari
ostium asesorius sinus maksila.2
Foto polos sinus paranasal (posisi Waters, AP, Caldwell dan lateral) dapat
memperlihatkan penebalan mukosa dan adanya batas udara cairan di dalam sinus,
tetapi kurang bermafaat pada kasus polip. Pemeriksaan tomografi komputer (TK,
CT scan) sangat bermanfaat untuk melihat dengan jelas keadaan di hidung dan sinus
paranasal apakah ada proses radang, kelainan anatomi, polip atau sumbatan pada
kompleks ostiomeatal. TK terutama diindikasikan pada kasus polip yang gagal
diobati dengan terapi medikamentosa, jika ada komplikasi dari sinusitis dan pada
perencanaan tindakan bedah terutama bedah endoskopi. CT scan diindikasikan pada
kasus polip yang gagal terapi medikamentosa, ada komplikasi sinusitis dan rencana
tindakan bedah terutama bedah sinus endoskopi fungsional.2
Pemeriksaan histopatologi merupakan baku emas penegakan diagnosa polip
hidung. Menurut Hellquist (1996), ada empat tipe histopatologi polip hidung, antara
lain : Edematous, Eosinophilic Polyp (Allergic Polyp), Chronic Inflammatory Polyp
(Fibroinflammatory Polyp), Chronic Inflammatory Polyp (Fibroinflammatory
Polyp) dan Polyp with Stromal Atypia.31
konka media
Polip nasi sangat mengganggu pada kebanyakan pasien.Penyakit ini sering berulang
dan memerlukan pengobatan yang lama sampai bertahun-tahun.Dengan demikian
pengobatannya bertujuan untuk mengurangi besarnya atau menghilangkan polip agar aliran
udara hidung menjadi lapang dan penderita dapat bernafas dengan baik.Selanjutnya gejala-
gejala rinitis dapat dihilangkan dan fungsi penciuman kembali normal.Terdapat beberapa
pilihan pengobatan untuk polip nasi mulai dari pemberian obat-obatan, pembedahan
konvensional sederhana dengan menggunakan snare polip sampai pada bedah endoskopi
yang memakai alat lebih lengkap. Walaupun demikian, angka kekambuhan masih tetap
tinggi sehingga memerlukan sejumlah operasi ulang.34
Tujuan utama pengobatan pada kasus polip nasi adalah menghilangkan keluhan-
keluhan, mencegah komplikasi dan mencegah rekurensi polip. Pemberian kortikosteroid
untuk menghilangkan polip nasi disebut juga polipektomi medikamentosa.Dapat di berikan
topikal atau sistemik.Polip eosinofilik memberikan respon yang lebih baik terhadap
pengobatan kortikosteroid intranasi dibandingkan polip tipe neutrofilik.Kasus polip
yang tidak membaik dengan terapi medikamentosa atau polip yang sangat masif
dipertimbangkan untuk terapi bedah.Dapat dilakukan ekstraksi polip
(polipektomi)menggunakan senar polip atau cunam dengananalgesi Iokal
etmoidektomi intranasal atauetmoidektomi ekstranasal untuk polip etmoid,operasi
Caldwell-Luc untuk sinus maksila.Yang terbaik ialah bila tersedia fasilitasendoskop
maka dapat dilakukan tindakanBSEF (Bedah Sinus Endoskopi Fungsional).
Berdasarkan guideline PERHATI-KL, stadium 1 (menurut Mackay and Lund) dapat
diterapi dengan medikamentosa (polipektomi medikamentosa), untuk stadium 2
dapat diterapi medikamentosa atau operasi dan stadium 3 dianjurkan untuk
dioperasi.2,35
Prinsip pengelolaan polip adalah dengan operatif dan non operatif.
Pengelolaan polip nasi seharusnya berdasarkan faktor penyebabnya, tetapi
sayangnya penyebab polip nasi belum diketahui secara pasti. Karena penyebab
yang mendasari terjadinya polip nasi adalah reaksi alergi, pengelolaanya adalah
mengatasi reaksi alergi yang terjadi. Polip yang masih kecil dapat diobati dengan
konservatif.
1. Terapi Konservatif
Pemberian kortikosteroid untuk menghilangkan polip nasi disebut juga
polipektomi medikamentosa. Untuk polip stadium 1 dan 2, sebaiknya diberikan
kortikosteroid intranasal selama 4-6 minggu. Bila reaksinya baik, pengobatan ini
diteruskan sampai polip atau gejalanya hilang. Bila reaksinya terbatas atau tidak ada
perbaikan maka diberikan juga kortikosteroid sistemik.
a. Kortikosteroid spray
Dapat mengecilkan ukuran polip, tetapi relatif tidak efektif unutkpolip yang masif.
Kortikosteroid topikal, intranasal spray, mengecilkan ukuran polip dan sangat efektif
pada pemberian postoperatif untukmencegah kekambuhan.
b. Kortikosteroid sistemik
Merupakan terapi efektif sebagai terapi jangkapendek pada polipnasal. Pasien yang
responsif terhadap pengobatan kortikosteroidsistemik dapat diberikan secara
aman sebanyak 3-4 kali setahun,terutama untuk pasien yang tidak dapat dilakukan
operasi.
c.Leukotrin inhibitor.
Menghambat pemecahan asam arakidonat oleh enzyme 5 lipoxygenase yang akan
menghasilkan leukotrin yang merupakan mediator inflamasi.
2. Terapi operatif
Kriteria polip yang diangkat adalah polip yang sangat besar, berulang,dan jelas
terdapat kelainan di kompleks osteomeatal sehingga tidak dapat diobati dengan terapi
konservatif. Antibiotik sebagai terapi kombinasi pada polip hidung bisa kita berikan
sebelum dan sesudah operasi. Berikan antibiotik bila ada tanda infeksi dan untuk
langkah profilaksis pasca operasi .
Gambar 6. Algoritma Penatalaksanaan Polip Hidung & Sinus Paranasal35
Polip nasi sering tumbuh kembali, oleh karena itu pengobatannya juga perlu
ditujukan kepada penyebabnya, misalnya alergi. Terapi yang paling ideal pada
rinosinusitis adalah menghindari kontak dengan alergen penyebab dan eliminasi.
Secara medikamentosa, dapat diberikan antihistamin dengan atau tanpa
dekongestan yang berbentuk tetes hidung yang bisa mengandung kortikosteroid atau
tidak. Untuk alergi inhalan dengan gejala yang berat dan sudah berlangsung lama
dapat dilakukan imunoterapi dengan cara desensitisasi dan hiposensitisasi, yang
menjadi pilihan apabila pengobatan cara lain tidak memberikan hasil yang
memuaskan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Fokkens W, Lund V, Mullol J, et al. European position paper on rhinosinusitis
and nasal polyps. Rhinology, 2007; 45(suppl 20): 1-139.
2. Busquets JM, Hwang PH. Nonpolypoid rhinosinusitis: Classification, diagnosis
and treatment. In Bailey BJ, Johnson JT, Newlands SD, eds. Head & Neck
Surgery – Otolaryngology. 4th ed. Vol 1. Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins, 2006; 406-416.
3. Aring A, Chan M. Acute rhinosinusitis in adults. American Academy Family
Physicians. 2011;83(9):1057-63.
4. Meltzer, EO, Hamilos DL. Rhinosinusitis Diagnosis and Management for the
Clinician: A Synopsis of Recent Consensus Guidelines.Mayo Clin Proc.
2011;86(5):427-443.
5. Mustafa M et al. Acute and chronic rhinosinusitis, pathophysiology and
treatment. International Journal of Pharmaceutical Science Invention.
2015;4(2):30-6.
6. Skye EP et al. Acute rhinosinusitis in adults. Guidelines for Clinical Care
Ambulatory. 2011:1-9.
7. Fokken WJ et al. European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps.
Rhinol Suppl. 2012;23:1-19.
8. Mangunkusumo E, Soetjipto D. Sinus Paranasal. Dalam: Soepardi EA, Iskandar.
Telinga, Hidung, Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi 7. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 2012.hal.122-124.
9. Hwang PH, Abdalkhani A. Anatomy and Physiology of the Nose and Paranasal
Sinuses. In James B, Snow JR, Wackym PA, eds. Ballenger’s
Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery 17th ed. Vol 1. Connecticut: BC
Decker Inc, 2009:484-494
10. Mangunkusumo E, Soetjipto D. Sinusitis. Dalam: Soepardi EA, Iskandar.
Telinga, Hidung, Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi 7 Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 2012.hal.127-130.
11. Rinaldi, Lubis HM, Daulay RM, Panggabean G. Sinusitis pada Anak. Sari
Pediatri. 2006:7(4): 244-248.
12. Rosenfeld RM, Piccirillo JF, Chandrasekhar SS, Brook I, Ashok Kumar K,
Kramper M, Orlandi RR, Palmer JN, Patel ZM, Peters A, et al. Clinical Pactical
Guideline (Update): Adult Sinusitis. Otolaryngol Head Neck Surg. 2015 Apr;
152(2 Suppl):S1-S39.
13. Hansen JG. Acute rhinosinusitis (ARS) diagnosis and treatment of adults in
general practice. Dan Med J. 2014;61(2):1-15.
14. Chow AW, Benninger MS, Brook I, et al. IDSA Clinical Practice Guideline for
Acute Bacterial Rhinosinusitis in Children and Adults. Clinical Infectious
Diseases.2012;54(8):1041-1045.
15. Anugrahani A, Madaidipoera T, Dermawan A. Korelasi Otitis Media dengan
Temuan Nasoendoskopi pada Penderita Rinosinusitis Akut. ORLI. 2015: 45(2):
101-108.
16. Behrbohm H, Kaschke O, Nawka T, Swift A. Chapter II. Nose, Nasal Sinuses
and Face, Acute and Chronic Rhinosinusitis. In : Ear, Nose and Throat Disease
With Head and Neck Surgery. 3rd Ed. Thieme: New York. 2009.p.155-66.
17. Foden N, Burgess C, Shepherd K, Almeyda R. A guide to the Mangement of
Acute Rhinosinusitis in Primary Care. British Journal of General Practice.
2013;63:611-613.
18. Ryan D. Management of acute rhinosinusitis in primary care: changing
paradigms and the emerging role of intranasal corticosteroids. Primary Care
Respiratory Journal. 2010;17(3):148-55.
19. Slack R, Bates G. Functional endoscopic sinus surgery. American Academy of
Family Physician. 1998:1-11.
20. Behrbohm H, Kaschke O, Nawka T, Swift A. Chapter 38. Complication of
Sinusitis. In : Ear, Nose and Throat Disease With Head and Neck Surgery. 3rd
Ed. Thieme: New York. 2009.p.198-201.