SKENARIO A BLOK 26
Oleh: KELOMPOK G4
Tutor: dr. Trijoso Permono, SpBS
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
TAHUN 2020
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa atas segala rahmat dan
karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan laporan tutorial yang berjudul
“Laporan Tutorial Skenario A Blok 26 Tahun 2020” sebagai tugas kompetensi
kelompok.
Kami menyadari bahwa laporan tutorial ini jauh dari sempurna. Oleh karena itu kami
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun guna perbaikan di masa
mendatang.
Dalam penyelesaian laporan tutorial ini, kami banyak mendapat bantuan, bimbingan dan
saran. Pada kesempatan ini, kami ingin menyampaikan syukur, hormat, dan terima kasih
kepada:
1. Tuhan yang Maha Esa, yang telah merahmati kami dengan kelancaran diskusi tutorial,
2. dr. Trijoso Permono, SpBS selaku tutor kelompok G4,
3. Teman-teman sejawat FK Unsri, terutama kelas PSPD GAMMA 2017
Semoga Tuhan memberikan balasan pahala atas segala amal yang diberikan kepada
semua orang yang telah mendukung kami dan semoga laporan tutorial ini bermanfaat
bagi kita dan perkembangan ilmu pengetahuan. Semoga kita selalu dalam lindungan
Tuhan.
Penulis
2
DAFTAR ISI
KEGIATAN DISKUSI
3
Moderator : M. Faishal Zamzami
Sekretaris 1 : Nafrah Ardita
Sekretaris 2 : Farah Azizah Putri
Presentan : Alvinia Fadhillah
Pelaksanaan : 21 September 2020 (13.00 - 15.00 WIB)
23 September 2020 (13.00 - 15.00 WIB)
4
SKENARIO A BLOK 26 Tahun 2020
Tn. Agus, 30 tahun, seorang buruh bangunan, sedang menyelesaikan pekerjaan di lantai 2
tiba-tiba terjadi kebakaran dilantai tersebut, dan api menyambar muka dan lengan Tn. Agus,
Tn. Agus kemudian menyelamatkan diri dengan cara melompat dari lantai 2. Tn. Agus
terjatuh dengan panggul kiri membentur benda keras. Lengan kanan dan kiri mengalami luka
bakar dan terasa nyeri. Tn. Agus juga mengeluh nyeri di panggul kiri dan paha kiri atas. 15
menit kemudian ia dibawa ke UGD RS tipe C dalam keadaan sadar dan mengeluh suaranya
menjadi parau dan waktu batuk keluar dahak berwarna kehitaman. Menurut istrinya, berat
badan Tn. Agus 60 Kg.
Pemeriksaan Fisik:
Primary Survey:
- Kepala:
a. Tidak terdapat jejas
o Mata: Alis terbakar
5
o Telinga dan hidung: bulu hidung terbakar
o Mulut: terpasang ETT
- Leher: dalam batas normal, vena jugularis datar (tidak distensi)
- Thoraks:
o Inspeksi: tidak ada jejas, frekuensi 26x/menit, gerak nafas simetris
o Palpasi: nyeri tekan tidak ada, krepitasi tidak ada, stem fremitus sama kanan
dan kiri
o Perkusi: sonor kanan dan kiri
o Auskultasi: suara paru vesikuler, suara jantung jelas, reguler
- Abdomen:
o Inspeksi: datar
o Palpasi: lemas, nyeri tekan (+) dibagian bawah kiri
o Perkusi: timpani
o Auskultasi: bising usus normal terdengar diseluruh bagian abdomen
- Pelvis:
o Inspeksi: tampak jejas didaerah perut bawah kiri dan panggul kiri
o Palpasi: nyeri tekan (+) didaerah panggul kanan dan
abdomen kanan bawah o ROM: pergerakan panggul
terbatas karena sangat sakit
- Genitalia: OUE darah (-), skrotum tidak tampak hematom dan edema
- Colok dubur: sphincter ani menjepit, ampula kosong, prostat teraba, tidak teraba
tonjolan tulang
- Ekstremitas superior : Terdapat luka bakar pada lengan anterior atas dan
bawah di bagian kanan dan kiri. Ditemukan warna kulit kemerahan dan
terdapat bullae dan terasa nyeri
- Ekstremitas inferior :
Regio Femur Sinistra
Inspeksi: tampak deformitas, soft tissue swelling.
6
I. Klarifikasi istilah
No Istilah Pengertian
.
1. Carbonaceous sputum Sputum yang mengandung karbon.
2. ETT(Endotracheal Tube) Pemasangan endotracheal tube atau intubasi yaitu
memasukkan pipa jalan nafas buatan ke dalam
trakea melalui mulut yang dimana tugs utamanya
adalah menjaga jalurnafas pasien dan memasukkan
pertukaran yang adekuat antara O2 dan CO2.
3. Pupil Isokor Keadaan dimana kedua pupil sama besar.
4. Bullae Tonjolan pada kulit yang berisi cairan dengan
diameter berukuruan 0.5 cm (Buku Ilmu Kulit dan
Kelamin)
5. Hematom Pengumpulan ekstravasasi darah, biasanya
membeku, di dalam organ, ruang, atau jaringan
(Dorland)
6. Distensi Membesar, meluas, atau meregangnya suatu organ
7
menilai keadaan anatomis tubuh dan dinilai setelah
primary survey dan dilakukan pada keadaan pasien
stabil
15. Exposure Keadaan terkena sesuatu sepeti agen-agen infeksi,
cuaca, atau radiasi yang ekstrim sehingga
memberikan efek yang berbahaya (Dorland)
16. Jejas Lecet tergores luka sedikit dan sebagainya pada
kulit (KBBI)
17. Luka bakar Jejas atau kerusakan jaringan yang disebabkan oleh
kontak dengan sumber panas termasuk api, air
panas, dan uap panas
8
II. Identifikasi Masalah
9
mata secara spontan, bisa menggerakkan
ekstremitas sesuai perintah. Pupil isokor,
refleks cahaya (+).
F. Exposure:
o Hematom di daerah panggul dan paha
kiri.
o Tampak luka bakar pada lengan kanan
dan kiri, bullae (+) terasa sakit
o Alis dan bulu hidung terbakar
o Suhu: 36,7o C
3. Secondary Survey: Tidak sesuai VV
harapan
- Kepala:
o Tidak terdapat jejas
o Mata: Alis terbakar
o Telinga dan hidung: bulu hidung
terbakar
o Mulut: terpasang ETT
- Leher: dalam batas normal, vena jugularis
datar (tidak distensi)
- Thoraks:
o Inspeksi: tidak ada jejas, frekuensi
26x/menit, gerak nafas simetris
o Palpasi: nyeri tekan tidak ada, krepitasi
tidak ada, stem fremitus sama kanan
dan kiri
o Perkusi: sonor kanan dan kiri
o Auskultasi: suara paru vesikuler, suara
jantung jelas, reguler
- Abdomen:
o Inspeksi: datar
o Palpasi: lemas, nyeri tekan (+)
dibagian bawah kiri
o Perkusi: timpani
10
o Auskultasi: bising usus normal
terdengar diseluruh bagian abdomen
- Pelvis:
o Inspeksi: tampak jejas didaerah perut
bawah kiri dan panggul kiri
o Palpasi: nyeri tekan (+) di daerah
panggul kanan dan abdomen kanan
bawah o ROM: pergerakan panggul
terbatas karena sangat sakit
- Genitalia: OUE darah (-), skrotum tidak
tampak hematom dan edema
- Colok dubur: sphincter ani menjepit,
ampula kosong, prostat teraba, tidak teraba
tonjolan tulang
- Ekstremitas superior : Terdapat luka
bakar pada lengan anterior atas dan
bawah di bagian kanan dan kiri.
Ditemukan warna kulit kemerahan
dan terdapat bullae dan terasa nyeri
- Ekstremitas inferior :
Regio Femur Sinistra
o Inspeksi: tampak deformitas, soft tissue
swelling.
o Palpasi : Nyeri tekan, arteri dorsalis
pedis teraba
o ROM : Aktif terbatas di daerah sendi
lutut dan panggul
11
III. Analisis Masalah
12
Trauma (Luka bakar) jaringan kulit rusak pembuluh kapiler terpajan
suhu tinggi konstriksi dari sfingter venular dan dilatasi dari pembuluh
kapiler pembuluh kapiler rusak dan permeabilitas meninggi
meningkatan cairan esktraseluler sodium chloride dan protein lewat
melalui darah yang terbakar dan membentuk gelembung – gelembung
oedema (bullae) peregangan pembuluh darah serta sudah mencapai
saraf nyeri
c. Bagaimana dampak luka bakar terhadap Tn. Agus?
Tn. Agus mengalami luka bakar derajat 2 atau yang kedalamannya pada
superficial dermal. Pada kedalaman luka bakar ini terdapat ciri khas yaitu
munculnya bula. Saraf sensoris terekspos menyebabkan luka bakar dalam
kedalaman ini sangat nyeri.
d. Apa saja penyebab pada luka bakar dan interpretasi pada kasus?
1) Luka Bakar Termal → disebabkan oleh karena terpapar atau kontak dengan
api, cairan panas atau objek-objek panas lainnya
2) Luka Bakar Kimia → disebabkan oleh kontaknya jaringan kulit dengan asam
atau basa kuat. Konsentrasi zat kimia, lamanya kontak dan banyaknya
jaringan yang terpapar menentukan luasnya injuri karena zat kimia ini. Luka
bakar kimia dapat terjadi misalnya karena kontak dengan zat-zat pembersih
yang sering dipergunakan untuk keperluan rumah tangga dan berbagai zat
kimia yang digunakan dalam bidang industri, pertanian dan militer
3) Luka Bakar Elektrik → disebabkan oleh panas yang digerakan dari energi
listrik yang dihantarkan melalui tubuh. Berat ringannya luka dipengaruhi oleh
lamanya kontak, tingginya voltage dan cara gelombang elektrik itu sampai
mengenai tubuh
4) Luka Bakar Radiasi → disebabkan oleh terpapar dengan sumber radioaktif.
Tipe injuri ini seringkali berhubungan dengan penggunaan radiasi ion pada
industri atau dari sumber radiasi untuk keperluan terapeutik pada dunia
kedokteran. Terbakar oleh sinar matahari akibat terpapar yang terlalu lama
juga merupakan salah satu tipe luka bakar radiasi
Pada kasus luka bakar termal.
e. Apa saja klasifikasi luka bakar?
1. Berdasarkan penyebab
13
a. Luka bakar suhu tinggi
14
3) Penyembuhan terjadi lebih lama, tergantung apendises kulit yang
tersisa. Biasanya penyembuhan terjadi dalam waktu lebih dari satu
bulan.
Luka bakar derajat III :
1) Luka bakar derajat II, 25% atau lebih pada orang dewasa.
2) Luka bakar derajat II, 20% atau lebih pada anak-anak.
3) Luka bakar derajat III, 10% atau lebih.
4. Berdasarkan Waktu/fase
a. Akut/fase syok/awal
15
o Kejadian/ IRD
o Problem pernafasan dan cairan
o Luka
b. Subakut
o Dalam perawatan
o Problem luka, infeksi, sepsis
c. Kronis
16
Aturan pemberian resusitasi cairan adalah 8 jam pertama (50%), dan 16 jam
berikutnya (50%). Artinya pemberian cairan di 8 jam pertama adalah 16,20 cc
dan 16 jam berikutnya adalah 16,20 cc.
= 2 ml LR X 60 Kg X 13,5% = 16,2 ml
17
Pelvis dibagi menjadi dua bagian oleh apertura pelvis superior, yang
dibentuk di belakang oleh promontorium os sacrum (pinggir anterior dan atas
vertebra sacralis I), di lateral oleh linea terminalis (garis yang berjalan ke
bawah dan depan di sekeliling permukaan dalam ileum), dan di anterior oleh
symphisis pubica.
Struktur Dinding Pelvis
Dinding Anterior Pelvis
adalah dinding yang paling dangkal dan dibentuk oleh permukaan
posterior corpus ossis pubis, rami pubicum, dan symphisis pubis.
Dinding Posterior Pelvis
adalah dinding yang luas dan dibentuk oleh os sacrum dan os coccygis
serta oleh musculus piriformis dan fascia pelvis parietalis yang
meliputinya.
Dinding Lateral Pelvis
adalah dinding yang dibentuk oleh sebagian os coxae di bawah aperture
pelvis superior, membrane obturatoria, ligamentum sacrotuberale dan
ligamentum sacrospinale, serta musculus obturatorius internus beserta
fascia yang meliputinya.
Dinding Inferior Pelvis
adalah penyokong viscera pelvis dan dibentuk oleh diaphragma pelvis.
Dasar pelvis terbentang sepanjang pelvis dan membagi pelvis menjadi
cavitas pelvis utama di sebelah atas yang berisi viscera pelvis; dan
perineum yang terletak di bawahnya.
18
2) Fraktur femur sinistra
Anatomi
Tulang panjang silindris terbesar, terdiri dari: corpus, collum, ujung
proximal (caput), dan ujung distal (condylus)
Corpus mempunyai 3 permukaan: anterior, lateralis, dan medialis. Linea
aspera memisahkan facies lateralis dan medial
Collum ossis femoralis merupakan penyangga tulang berbentuk silindris
yang menghubungkan caput dengan corpus ossis femoris.
Proximal: caput femoris berbentuk bola dan bersendi acetabulum tulang
pelvicum mempunyai lekukan di tengah disebut fovea capitis untuk
perlekatan ligamentum capitis femoris
Distal: condylus lateralis dan condylus medialis bergabung ke anterior
menjadi Facies pattelaris
19
Sistemik
Otak dan jantung (syok)
m. Bagaimana tatalaksana awal pada kasus?
Airway : memasang ETT (Endotracheal Tube)
Pemeriksaan Fisik:
Primary Survey:
20
o Suhu: 36,7o C
a. Bagaimana interpretasi dari hasil primary survey pada kasus?
Kasus Normal Interpretasi
Tampak luka bakar pada lengan kanan Tidak ada bullae Abnormal
dan kiri, bullae (+) terasa sakit dan tidak terasa
sakit
21
Kebakaran menyambar wajah distorsi anatomi/ kompresi eskternal pada
jalan nafas atas trauma inhalasi kerusakan mukosa jalan nafas akibat
gas/asap/uap panas yang terhisap inflamasi oedem laring gannguan silia
dalam membersihkan proses jalan nafas hambatan jalan nafas suara parau
Kebakaran asap masuk ke saluran napas atas akumulasi karbon sputum
menjadi kehitaman atau terdapat karbon
c. Apa saja tindakan airway yang dapat dilakukan pada kasus?
a. Lihat (look)
Lihat jalan napas klien. Pada saat dibuka jalan napas, terdapat karbon dan
adanya tanda-tanda inflamasi orofaring. Pasien mengalami agitasi atau
penurunan kesadaran. Agitasi menunjukkan kesan adanya hipoksemia yang
mungkin disebabkan oleh karena sumbatan jalan napas, sedangkan penurunan
kesadaran disebabkan karena terhirupnya gas karbon yang berlebihan.
b. Dengar (listen)
Terdapat suara tambahan yaitu wheezing pada saat di auskultasi. Adanya
suara napas tambahan berarti ada sumbatan jalan nafas parsial. Suara nafas
tambahan berupa dengkuran (snoring), kumuran (gargling), atau siulan
(crowing/stridor).
c. Rasa (feel)
Dirasakan hawa ekspresi yang keluar dari lubang hidung atau mulut, dan
rasakan ada tidaknya getaran di leher waktu bernapas. Adanya getaran di leher
menunjukkan sumbatan parsial ringan.
a. Chin lift / jaw thrust (lidah itu bertaut pada rahang bawah)
o Chin lift : Letakkan dua jari dibawah tulang dagu, kemudian hati-hati
angkat keatas hingga rahang bawah terangkat ke depan. Selama tindakan
ini, perhatikan leher jangan sampai menengadah berlebihan
(hiperekstensi)
o Jaw Thrust : doronglah sudut rahang bawah (angulus mandibulae) ke
depan hingga rahang bawah terdorong ke depan. Ingat bahwa kedua
tindakan tersebut diatas bukan jalan nafas definitif sehingga penyumbatan
(obstruksi) ulang dapat terjadi.
22
b. Suction / hisap (jika alat tersedia)
c. Guedel airway / nasopharyngeal airway
d. Intubasi trakhea dengan leher di tahan (imobilisasi) pada posisi netral
d. Bagaimana mekanisme abnormalitas dari primary survey (breathing) pada kasus?
Terjadi kebakaran (Trauma termal) proses pembakaran pembakaran tidak
sempurna menghasilkan zat CO terhirup ke saluran pernapasan CO
berikatan dengan Hb penurunan oksigen ke sirkulasi kompensasi dengan
peningkatan RR takipnea
e. Bagaimana mekanisme abnormalitas dari primary survey (circulation) pada
kasus?
o Terjadi kebakaran (trauma termal) → kulit terpajan suhu panas → kerusakan
pembuluh darah dibawah dan sekitarnya → peningkatan permeabilitas
kapiler → kehilangan cairan plasma, protein, elektrolit ke dalam interstitial
→ tekanan osmotic koloid di interstitial meningkat → cairan berpindah ke
interstitial → hipovolemia → gangguan sirkulasi → cardiac output menurun
→ tekanan darah menurun (hipotensi) → kompensasi dengan peningkatan
denyut nadi → takikardia.
o Terjadi kebakaran (trauma termal) → kulit terpajan suhu panas → kerusakan
pembuluh darah dibawah dan sekitarnya → peningkatan permeabilitas
kapiler → kehilangan cairan plasma, protein, elektrolit ke dalam interstitial
23
→ hipovolemia → gangguan sirkulasi → hipoperfusi jaringan perifer →
ekstremitas pucat dan dingin.
f. Apa saja tindakan circulation yang dapat dilakukan pada kasus?
Lihat, dengar, dan rasakan tanda-tanda perfusi yang buruk:
• ekstremitas dingin
• Pengisian kapiler tertunda
• Diaforesis
• Tekanan darah rendah
• Takipnea
• Takikardia
• Denyut nadi tidak ada
Periksa tamponade perikardial
• Hipotensi
• Pembuluh darah leher membengkak
• Suara jantung teredam
Periksa tekanan darah
Ini dievaluasi dengan menilai tingkat respons, jelas perdarahan, warna kulit, dan
denyut nadi (keberadaan, kualitas, dan kecepatan). Tingkat respons dapat dengan
cepat dinilai oleh AVPU mnemonik, sebagai berikut:
(A) - Alert - Waspada
(V) – Verbal - Menanggapi rangsangan Verbal
(P) – Pain - Menanggapi rangsangan yang menyakitkan
(U) – Unresponsive - Tidak responsif terhadap rangsangan apa pun.
g. Bagaimana mekanisme abnormalitas dari primary survey (exposure) pada kasus?
o Terjauh tekanan eksternal lebih besar melewati ambang fraktur tulang
rusak/putusnya kontinuitas tulang Otot dapat mengalami spasme dan
menarik fragmen fraktur keluar posisi periosteum, pembuluh darah serta
saraf dalam korteks dan marrow dan jaringan lunak mengalami kerusakan
perdarahan hematom pada rongga medulla tulang jaringan tulang sekitar
akan mati inflamasi nyeri
o Trauma (Luka bakar) jaringan kulit rusak pembuluh kapiler terpajan
suhu tinggi konstriksi dari sfingter venular dan dilatasi dari pembuluh
kapiler pembuluh kapiler rusak dan permeabilitas meninggi
24
meningkatan cairan esktraseluler sodium chloride dan protein lewat melalui
darah yang terbakar dan membentuk gelembung – gelembung oedema
(bullae) peregangan pembuluh darah serta sudah mencapai saraf nyeri
o Terjadi kebakaran (trauma termal) proses pembakaran pembakaran tidak
sempurna menghasilkan zat CO terhirup ke saluran pernapasan
trauma inhalasi Alis dan bulu hidung terbakar.
o Trauma (Luka bakar) Nekrosis kulit Kerusakan jaringan konstriksi
dari sfingter venular dan dilatasi dari pembuluh kapiler pembuluh kapiler
rusak dan permeabilitas meninggi keluarnya cairan dari intravascular
meningkatan cairan esktraseluler keluarnya cairan pada bagian kulit yang
terbakar dan menguap hipotermia
h. Bagaimana cara melakukan primary survey yang baik dan benar?
Survei ABCDE (Airway, Breathing, Circulation, Disability, Exposure) ini
disebut survei primer yang harus selesai dilakukan dalam 2-5 menit. Terapi
dikerjakan serentak jika korban mengalami ancaman jiwa akibat banyak sistim
yang cedera.
a. Airway
Menilai jalan nafas bebas. Apakah pasien dapat bicara dan bernafas
dengan bebas? Jika ada obstruksi, maka lakukan:
- Chin lift/jaw thrust (lidah itu bertaut pada rahang bawah)
- Suction/hisap (jika alat tersedia)
- Guedel airway/nasopharyngeal airway
- Intubasi trakhea dengan leher di tahan (imobilisasi) pada posisi netral
b. Breathing
Menilai pernapasan adekuat. Sementara itu nilai ulang apakah jalan
napas bebas. Jika pernapasan tidak memadai, maka lakukan:
- Dekompresi rongga pleura (pneumotoraks)
- Tutuplah jika ada luka robek pada dinding dada
- Pernafasan buatan
c. Circulation
25
Menilai sirkulasi/peredaran darah. Sementara itu nilai ulang apakah
jalan napas bebas dan pernapasan adekuat. Jika sirkulasi tidak memadai,
maka lakukan:
- Hentikan perdarahan eksternal
- Segera pasang dua jalur infus dengan jarum besar (14-16 G)
- Berikan infus cairan
d. Disability
Menilai kesadaran dengan cepat. Apakah pasien sadar, hanya respons
terhadap nyeri, atau sama sekali tidak sadar. Tidak dianjurkan mengukur
Glasgow Coma Scale.
- AWAKE = A
- RESPONS BICARA (verbal) = V
- RESPONS NYERI = P
- TAK ADA RESPONS = U
e. Exposure
Lepaskan baju dan penutup tubuh pasien agar dapat dicari semua
cedera yang mungkin ada. Jika ada kecurigaan cedera leher atau tulang
belakang, maka imobilisasi in-line harus dikerjakan.
26
i. Dari primary survey, apakah pasien ini sudah terjadi syok? Dan jika sudah,
termasuk syok apa dan bagaimana mekanismenya?
Ya, dikarenakan terdapat manifestasi klinis yaitu
• Hipotensi
• Takikardi
• Nadi kecil
• Ekstremitas dingin
• Sianotik
Termasuk syok hipovolemik
Mekanisme :
Trauma (luka bakar) Kerusakan jaringan konstriksi dari sfingter venular
dan dilatasi dari pembuluh kapiler pembuluh kapiler rusak dan permeabilitas
meninggi keluarnya cairan dari intravascular estravasasi cairan (H2o,
elektrolit) tekanan onkotik menurun cairan intravaskuler menurun
meningkatan cairan esktraseluler keluarnya cairan pada bagian kulit yang
terbakar dan menguap hemokonsentrasi dan hematokrit naik, cairan darah
menjadi kurang lancar pada daerah luka bakar dan nutrisi kurang syok
hipovolemik
Secondary Survey:
- Kepala:
o Tidak terdapat jejas
o Mata: Alis terbakar
o Telinga dan hidung: bulu hidung terbakar
o Mulut: terpasang ETT
- Leher: dalam batas normal, vena jugularis datar (tidak distensi)
- Thoraks:
o Inspeksi: tidak ada jejas, frekuensi 26x/menit, gerak nafas simetris
o Palpasi: nyeri tekan tidak ada, krepitasi tidak ada, stem fremitus sama kanan
dan kiri
o Perkusi: sonor kanan dan kiri
o Auskultasi: suara paru vesikuler, suara jantung jelas, reguler
- Abdomen:
27
o Inspeksi: datar
o Palpasi: lemas, nyeri tekan (+) dibagian bawah kiri
o Perkusi: timpani
o Auskultasi: bising usus normal terdengar diseluruh bagian abdomen
- Pelvis:
o Inspeksi: tampak jejas didaerah perut bawah kiri dan panggul kiri
o Palpasi: nyeri tekan (+) didaerah panggul kanan dan abdomen kanan bawah
o ROM: pergerakan panggul terbatas karena sangat
sakit
- Genitalia: OUE darah (-), skrotum tidak tampak hematom dan edema
- Colok dubur: sphincter ani menjepit, ampula kosong, prostat teraba, tidak teraba
tonjolan tulang
- Ekstremitas superior : Terdapat luka bakar pada lengan anterior atas dan
bawah di bagian kanan dan kiri. Ditemukan warna kulit kemerahan dan
terdapat bullae dan terasa nyeri
- Ekstremitas inferior :
Regio Femur Sinistra
o Inspeksi: tampak deformitas, soft tissue swelling.
o Palpasi : Nyeri tekan, arteri dorsalis pedis teraba
o ROM : Aktif terbatas di daerah sendi lutut dan panggul
a. Bagaimana interpretasi dari secondary survey pada kasus?
Organ Interpretasi
Kepala o Mata: Alis terbakar
o Telinga dan hidung: bulu hidung terbakar
o Mulut: terpasang ETT
Abnormal
Leher normal, vena jugularis datar artinya tidak menandakan
adanya pneumotoraks.
Thoraks frekuensi 26x/menit artinya takipneu, hasil pemeriksaan
lainnya normal.
Abdomen nyeri tekan (+) di bagian bawah kiri artinya menandakan
terdapat trauma pada organ yang terletak di sana; dalam
kasus ini fraktur dan dislokasi pelvis. Hasil pemeriksaan
28
lainnya normal.
Pelvis jejas di perut bawah kiri, nyeri tekan (+) di daerah
panggul kiri dan abdomen kiri bawah, serta pergerakan
panggul terbatas karena sangat sakit artinya
menandakan terdapat trauma; dalam kasus ini fraktur
dan dislokasi pelvis.
29
gannguan silia dalam membersihkan proses
jalan nafas hambatan jalan nafas O2
yang dibutuhkan menurun pemasangan ETT
Intubasi naso tracheal atau endotracheal
harus dilakukan terutama bila pasien
menunjukkan tanda suara parau yang berat,
kesulitan menelan ludah, nafas menjadi cepat
setelah pasien mengalami inhalation injury
(cedera inhalasi / asap)
30
rongga medulla tulang jaringan tulang
sekitar akan mati inflamasi nyeri
ROM: pergerakan Terjatuh tekanan eksternal lebih besar
panggul terbatas melewati ambang fraktur tulang
karena sangat sakit rusak/putusnya kontinuitas tulang Otot
dapat mengalami spasme dan menarik
fragmen fraktur keluar posisi periosteum,
pembuluh darah serta saraf dalam korteks dan
marrow dan jaringan lunak mengalami
kerusakan merusak jaringan sekitar
deformitas gangguan fungsi hambatan
mobilitas fisik
Ekstremita Terdapat luka bakar Trauma (luka bakar) Kerusakan jaringan
s superior pada lengan anterior konstriksi dari sfingter venular dan dilatasi dari
atas dan bawah di pembuluh kapiler pembuluh kapiler rusak
bagian kanan dan kiri. dan permeabilitas meninggi keluarnya
Ditemukan warna cairan dari intravascular estravasasi cairan
kulit kemerahan dan (H2o, elektrolit) tekanan onkotik menurun
terdapat bullae dan cairan intravaskuler menurun
terasa nyeri meningkatan cairan esktraseluler sodium
chloride dan protein lewat melalui darah yang
terbakar dan membentuk gelembung –
gelembung oedema (bullae)
peregangan pembuluh darah nyeri
Ekstremitas Inspeksi: tampak Pergeseran fragmen tulang merusak
inferior : deformitas, soft tissue jaringan sekitar deformitas
swelling. Terjatuh tekanan eksternal lebih besar
Regio Femur
melewati ambang fraktur tulang
Sinistra
rusak/putusnya kontinuitas tulang Otot
dapat mengalami spasme dan menarik
fragmen fraktur keluar posisi periosteum,
pembuluh darah serta saraf dalam korteks dan
marrow dan jaringan lunak mengalami
kerusakan perdarahan hematom pada
31
rongga medulla tulang jaringan tulang
sekitar akan mati pelepasan mediator
inflamasi vasodilatasi peningkatan aliran
darah peningkatan permeabilitas kapiler
kebocoran cairan ke interstisial soft tissue
swelling
Palpasi : Nyeri tekan, Terjatuh tekanan eksternal lebih besar
arteri dorsalis pedis melewati ambang fraktur tulang
teraba rusak/putusnya kontinuitas tulang respon
tubuh inflamasi dan perdarahan
merangsang system saraf nyeri
32
Pulmonar: penyakit asama, penyakit paru obstruktif kronik, emboli paru,
pneumonia. (”Work of breathing” berlebihan)
Penyakit jantung atau edema pulmoner
Neurologi: berkurangnya dorongan respirasi (Gangguan kontrol
pernafasan dari susunan saraf pusat)
Mekanik: disfungsi paru-paru pada flail-chest atau pada penyakit
neuromuskuler
Hiperventilasi therapeutik untuk pasien–pasien dengan peningkatan
tekanan intrakranial.
4. Data tambahan
Foto femur sinistra AP dan lateral : fraktur femur 1/3 proximal transverse
Foto pelvis AP : tampak fraktur ramus superior inferior os pubis sinistra dan dislokasi
sendi sacroilliaca kiri.
Trauma Inhalasi
1. Bagaimana algoritma penegakkan diagnosis pada kasus?
Diagnosis luka bakar
Untuk diagnosis luka bakar biasanya ditegakkan dengan anamnesis dan
pemeriksaan fisik langsung kepada pasien.
Yang dinilai dalam melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik adalah:
1. Kedalaman Luka Bakar
33
2. Luas Luka Bakar
Kedalaman luka bakar tergantung dari tingginya panas, penyebab, dan lamanya
kontak terhadap bahan yang dapat menyebabkan luka bakar tersebut. Penilaian
kedalaman luka bakar dilihat berdasarkan gambaran klinis pemeriksaan fisik
pada lokasi luka bakar. Adapun klasifikasinya:
1. Derajat 1 kerusakan kulit pada lapisan epidermis, ditandai dengan kemerahan
(erythema) dan nyeri, dapat sembuh dengan perawatan khusus. Terapi yang
dapat dilakukan adalah pemberiak analgetic
2. Derajat 2 kerusakan mencapai dermis, ditandai dengan terbentuknya bullae
(lepuh) dan nyeri
3. Derajat 3 kerusakan mengenai seluruh lapisan kulit, otot, dan tulang,
berwarna kehitaman dan tidak nyeri
Setelah menilai kedalaman luka, nilai luas luka bakar. Penilaian luasnya luka
bakar juga berdasarkan gambaran klinis pada lokasi luka bakar. Adapun
klasifikasinya:
34
o Luka bakar derajat tiga antara 2%-10% luas, kecuali pada wajah, tangan,
kaki, kemaluan, dan saluran napas
o Luka bakar derajat dua antara 15%-30% luas
o Luka bakar derajat satu lebih dari 50%
3. Luka bakar berat
o Semua luka bakar yang disertai cedera pada saluran napas, cedera jaringan
lunak, dan cedera tulang
o Luka bakar derajat dua atau tiga pada wajah, tangan, kaki, kemaluan, atau
saluran napas
o Luka bakar derajat dua di atas 10%
o Luka bakar derajat dua lebih dari 30%
o Luka bakar yang disertai cedera alat gerak
o Luka bakar mengelilingi alat gerak
Trauma Inhalasi
o Inspeksi: Suara serak, adanya luka bakar pada wajah atau leher, adanya
rambut yang terbakar (alis, bulu hidung), adanya sputum yang kehitaman,
atau tanda-tanda kesulitan napas (napas cepat dan dangkal).
o Auskultasi: mengi, stridor
2. Apa diagnosis kerja pada kasus?
Gangguan pernafasan dan syok hipovolemik et causa luka bakar derajat 2, fraktur
femur 1/3 proximal transverse, fraktur ramus superior inferior os pubis sinistra dan
dislokasi sendi sacroilliaca kiri, disertai trauma inhalasi.
3. Apa definisi penyakit pada kasus?
Trauma inhalasi ialah akibat dari respons inflamasi jalan nafas terhadap
bahan-bahan yang terbakar tidak sempurna, dan merupakan penyebab kematian
tertinggi (sampai 77%) pada pasien-pasien luka bakar.
4. Bagaimana epidemiologi penyakit pada kasus?
Menurut WHO, sekitar 90 persen luka bakar terjadi pada sosial ekonomi
rendah di negara-negara berpenghasilan menengah ke bawah, daerah yang umumnya
tidak memiliki infrastruktur yang dibutuhkan untuk mengurangi insiden luka bakar.
Data yang diperoleh dari WHO menyebutkan bahwa wanita di wilayah Asia Tenggara
35
memiliki angka kejadian luka bakar yang tertinggi, 27% dari angka keseluruhan
secara global meninggal dunia dan hampir 70% diantaranya adalah wanita.
Data Nasional mengenai angka mortalitas atau data kejadian luka bakar di
seluruh Indonesia masih belum ada. Umumnya pusat luka bakar di level RSUP atau
RSUD yang ada bedah plastik mempunyai data pasien yang dirawat di unit luka bakar
RSUP / RSUD tersebut.
5. Bagaimana etiologi penyakit pada kasus?
Gas CO adalah penyebab utama dari kejadian trauma inhalasi. Karbon
monoksida (CO) adalah gas yang tidak berwarna dan tidak berbau yang dihasilkan
dari proses pembakaran yang tidak sempurna dari material yang berbahan dasar
karbon seperti kayu, batu bara, bahan bakar minyak dan zat-zat organik lainnya.
Setiap korban kebakaran api harus dicurigai adanya intoksikasi gas CO. Sekitar 50%
kematian akibat luka bakar berhubungan dengan trauma inhalasi dan hipoksia dini
menjadi penyebab kematian lebih dari 50% kasus trauma inhalasi. Intoksikasi gas CO
merupakan akibat yang serius dari kasus inhalasi asap dan diperkirakan lebih dari
80% penyebab kefatalan yang disebabkan oleh trauma inhalasi (Louise & Kristine
dalam Soekamto, 2013).
Ada tiga mekanisme yang menyebabkan cedera pada trauma inhalasi, yaitu
kerusakan jaringan karena suhu yang sangat tinggi, iritasi paru-paru dan asfiksia.
Hipoksia jaringan terjadi karena sebab sekunder dari beberapa mekanisme. Proses
pembakaran menyerap banyak oksigen, dimana di dalam ruangan sempit seseorang
akan menghirup udara dengan konsentrasi oksigen yang rendah sekitar 10-13%.
Penurunan fraksi oksigen yang diinspirasi (FIO2) akan menyebabkan hipoksia (Peter
dalam Soekamto, 2013).
6. Bagaimana patofisiologi penyakit pada kasus?
Trauma inhalasi terjadi melalui kombinasi dari kerusakan epitel jalan nafas
oleh panas dan zat kimia, atau akibat intoksikasi sistemik dari hasil pembakaran itu
sendiri. Hasil dari pembakaran tidak hanya terdiri dari udara saja, tetapi merupakan
campuran dari udara, partikel padat yang terurai di udara (melalui suatu efek iritasi
dan sitotoksik). Aerosol dari cairan yang bersifat iritasi dan sitotoksik serta gas toksik
dimana gabungan tersebut bekerja sistemik. Partikel padat yang ukurannya lebih dari
10 mikrometer tertahan di hidung dan nasofaring. Partikel yang berukuran 3-10
mikrometer tertahan pada cabang trakeobronkial, sedangkan partikel berukuran 1-2
mikrometer dapat mencapai alveoli.
36
Gas yang larut air bereaksi secara kimia pada saluran nafas atas, sedangkan
gas yang kurang larut air pada saluran nafas bawah. Adapun gas yang sangat kurang
larut air masuk melewati barier kapiler dari alveolus dan menghasilkan efek toksik
yang bersifat sistemik. Kerusakan langsung dari sel-sel epitel, menyebabkan
kegagalan fungsi dari apparatus mukosilier dimana akan merangsang terjadinya suatu
reaksi inflamasi akut yang melepaskan makrofag serta aktivitas netrofil pada daerah
tersebut. Selanjutnya akan dibebaskan oksigen radikal, protease jaringan, sitokin, dan
konstriktor otot polos (tromboksan A2, C3A, C5A). Kejadian ini menyebabkan
peningkatan iskemia pada saluran nafas yang rusak, selanjutnya terjadi edema dari
dinding saluran nafas dan kegagalan mikrosirkulasi yang akan meningkatkan
resistensi dinding saluran nafas dan pembuluh darah paru. Komplians paru akan turun
akibat terjadinya edema paru interstitial sehingga terjadi edema pada saluran nafas
bagian bawah akibat sumbatan pada saluran nafas yang dibentuk oleh sel-sel epitel
nekrotik, mukus dan sel-sel darah.
7. Bagaimana manifestasi klinis dari penyakit pada kasus?
37
Tanda / gejala cedera pernafasan. Sesaat setelah terpapar kebakaran, mungkin
hanya ada sedikit gejala / tanda kerusakan saluran napas. Ini tidak meyakinkan karena
jalan napas dan kerusakan paru-paru yang mengancam jiwa dapat terjadi dengan
cepat. Petunjuk awal cedera inhalasi asap adalah luka bakar wajah, suara serak,
rambut hidung hangus, sputum berkarbonasi, dan jelaga / bahan karbon di rongga
mulut. Edema wajah / mulut, stridor, mengi, dispnea, dan sianosis adalah tanda
kerusakan lanjut.Gejala klinis yang sering ditemukan dalam pemeriksaan fisik korban
jejas inhalasi antara lain: batuk dan sesak napas, ronkie dan wheezing, suara parau
dan edema saluran napas atas hingga mengantuk sampai tidak sadar.
9. Bagaimana pemeriksaan penunjang dari penyakit pada kasus?
a) Darah
Pemeriksaan analisis gas darah (AGD) berguna untuk mengetahui status
oksigenasi dan keasaman darah. Kadar laktat plasma yang meningkat
menggambarkan tingkat keracunan sianida. Skrining toksikologi untuk obat-
obatan yang diresepkan dan obat-obatan jalanan harus dilengkapi dengan toksin
spesifik api seperti sianida darah dan COHb.
b) Radiologi
Rontgen dada pada awalnya tampak normal, tetapi kemudian, dapat
menunjukkan atelektasis, konsolidasi, dan / atau edema paru. CT scan dada
dapat mengungkapkan kekeruhan ground-glass dalam distribusi peribronkial,
dalam beberapa jam setelah cedera inhalasi. CT scan dada berguna untuk
menyingkirkan cedera inhalasi asap jika ada keraguan dalam diagnosis dan
dapat mengidentifikasi sejauh mana cedera pada saluran napas distal, yang
terlewatkan oleh FOB. Gambaran infiltrat bilateral menunjukkan pneumonitis
sementara itu atelektasis dan obstruksi dapat dicurigai dengan munculnya air
trapping.
c) Faal paru dan Bronkoskopi
Dalam penilaian awal setidaknya bisa dilakukan pemeriksaan arus
puncak respirasi dan spirometri dasar. Gambaran awal jejas inhalasi dan kadar
obstruksi dapat dinilai melalui bronkoskopi.
FOB digunakan untuk menilai keparahan cedera inhalasi asap, yang
berkorelasi dengan tanda / gejala klinis. Ketebalan dinding bronkial diukur
dengan CT scan dada berkorelasi dengan tingkat keparahan cedera inhalasi asap.
COHb plasma, neutrofilia saluran napas, dan pelepasan sitokin juga berkorelasi
38
dengan tingkat keparahan cedera inhalasi asap. Rasio PaO2 / FiO2 adalah
indikator yang sangat baik untuk prognosis dan tingkat keparahan cedera
penghirupan asap.
FOB dapat digunakan untuk mengidentifikasi jelaga / bahan berkarbon
dan menyedotnya dan memiliki nilai prediksi positif dan negatif yang tinggi
untuk mendiagnosis cedera penghirupan asap. Patensi jalan napas dapat dinilai
untuk risiko obstruksi jalan napas bagian atas. Jika diindikasikan, intubasi
endotrakeal dengan panduan FOB dapat dilakukan.
d) ECG
Gambaran aritmia dan iskemik akan memberikan informasi terjadinya hipoksia
jaringan dan inflamasi.
39
Student Course Manual ATLS, 2018
1. Persiapan
a. Area resusitasi
e. Persetujuan pemindahan
Untuk mencegah terdapatnya penyakit menular seperti AIDS atau hepatitis, CDC
merekomendasikan perlindungan standar seperti masker wajah, pelindung mata, gaun,
dan sarung tangan ketika berkontak dengan cairan tubuh.
2. Triase
3. ABCDE
- Disability
- Exposure/environtmental control
40
Pemeriksaan ini dapat dilakukan dengan mengidentifikasi, menanyakan nama, serta
menanyakan apa yang terjadi kepada pasien. Apabila pasien tidak dapat merespon
pertanyaan tersebut, ada abnormalitas pada A,B,C, dan D.
Pada luka bakar hirup, pemasangan intubasi diperlukan pada pasien dengan keadaan
syok, gangguan oksigenasi, atau koma. Walaupun begitu, pada pasien dengan rambut
hidung tebakar atau adanya carbonaceous sputum, keharusan untuk melakukan
intubasi masih diperdebatkan (Onishi et al., 2017).
Trauma Inhalasi
Prinsip dasar pengobatan untuk cedera pernafasan adalah perawatan suportif melalui
rawat inap akut dan rehabilitasi.
A. Terapi Suportif
o Bronkodilator
41
Obstruksi jalan napas akibat lendir, pembentukan gips fibrin, dan puing-puing
seluler setelah cedera pernafasan ditangani oleh agen mukolitik, khususnya, N-
acetylcysteine (NAC). NAC adalah antioksidan dan pemulung radikal bebas dengan
sifat anti-inflamasi. Ini adalah agen mukolitik kuat yang melemahkan kerusakan ROS.
o Antibiotik
Penggunaan antibiotik dini / profilaksis tidak dianjurkan. Pasien dengan cedera paru-
paru pernafasan telah dipelajari dan ditemukan mengalami peningkatan yang
signifikan dari pneumonia. Sebuah penelitian yang dilakukan di satu institusi
melaporkan peningkatan 4 kali lipat pada pneumonia untuk pasien dengan cedera
pernafasan. Oleh karena itu, antibiotik harus segera dimulai saat diagnosis empiris
pneumonia dibuat.
B. Perawatan khusus
Perawatan khusus dapat bervariasi tergantung pada faktor lain, karena sering
kali cedera penghirupan dapat muncul dengan toksisitas sistemik, misalnya,
keracunan karbon monoksida (CO) dan sianida pada cedera penghirupan asap.
42
Keracunan hidrogen sianida sulit ditentukan dalam banyak kasus. Hasil
pengujian tidak tersedia. Satu penawar, hidroksokobalamin, dapat diberikan pada
pasien dengan kecurigaan tinggi terhadap keracunan sianida. Ini tidak beracun dan
dikeluarkan melalui ginjal. Efek sampingnya termasuk kemerahan pada kulit dan urin.
43
44
IV. Keterbatasan Ilmu Pengetahuan
1. Trauma Algoritme - -
inhalasi, pelvis, penegakan
esktremitas, diagnosis, definisi,
dan kulit epidemiologi,
etiologi, faktor
risiko, klasifikasi,
patofisiologi,
patologi, diagnosis,
pemeriksaan fisik, Jurnal,
pemeriksaan textbook,
penunjang, internet
tatalaksana,
komplikasi,
prognosis, SKDI
2. Fraktur Algoritme - -
penegakan
diagnosis, definisi,
epidemiologi,
etiologi, faktor
risiko, klasifikasi,
patofisiologi,
patologi, diagnosis,
pemeriksaan fisik,
pemeriksaan
penunjang,
tatalaksana,
komplikasi,
prognosis, SKDI
3. Luka Bakar Algoritme - -
penegakan
45
diagnosis, definisi,
epidemiologi,
etiologi, faktor
risiko, klasifikasi,
patofisiologi,
patologi, diagnosis,
pemeriksaan fisik,
pemeriksaan
penunjang,
tatalaksana,
komplikasi,
prognosis, SKDI
4. Assesment Prosedur
kegawatdarurat
an
46
V. Kerangka Konsep
47
VI. Sintesis
1. Trauma Inhalasi
a. Definisi
Ada beberapa istilah yang sering digunakan untuk menjelaskan interaksi zat
toksik dalam sistem pernapasan. Hal ini berbeda istilah paparan gas toksik atau
keracunan gas yang terkesan penyebab kerusakan hanya benda gas. Jejas inhalasi
didefinisikan sebagai spektrum efek klinis yang luas akibat paparan partikel berbahaya
yang bisa berupa asap panas, debu, atau zat toksik lainnya baik benda padat, gas, cair,
atau kombinasi (Rabinowitz et al., 2002). Efek yang ditimbulkan bisa terbatas lokasinya
(localized) dan atau sistemik. Kerusakan organ pun beragam seperti supraglottic thermal
injury, iritasi mukosa epitel saluran nafas, dan gangguan sistemik akibat keracunan
karbon monoksida (CO) dan sianida (CN) atau gabungan lebih dari satu kelainan
Inhalasi dari gas panas dan produk pembakaran dari api dapat menyebabkan
trauma terhadap saluran pernapasan. Selain trauma saluran pernapasan, inhalasi dari
produk pembakaran juga dapat menyebabkan efek toksik pada tubuh baik lokal maupun
sistemik. Trauma inhalasi meningkatkan risiko kematian pada kasus luka bakar mencapai
angka mortalitas 30%. Pada anak - anak, luka bakar > 50% disertai trauma inhalasi
memiliki mortalitas yang sama dengan 73% tanpa trauma inhalasi. Di unit luka bakar
RSCM dilakukan penelitian terdapat pasien trauma inhalasi dengan komplikasi acute
respiratory distress syndrome atau gagal napas sebanyak 8,7% dari 275 pasien dirawat di
luka bakar dengan luka bakar luas dan dalam.
b. Etiologi
Trauma inhalasi disebabkan oleh berbagai inhalan. Inhalan dibedakan atas 4 macam
yaitu:
Gas iritan : bekerja dengan melapisi mukosa saluran nafas dan menyebabkan reaksi
inflamasi. Amonia, klorin, kloramin lebih larut air sehingga dapat menyebabkan luka
48
bakar pada saluran nafas atas dan menyebabkan iritasi pada mata, hidung, dan mulut.
Gas iritan lain yaitu sulfur dioksida, nitrogen dioksida, yang kurang larut air sehingga
menyebabkan trauma paru dan distress pernafasan.
1. Gas asfiksian : karbon dioksida, gas dari bahan bakar (metana, etena, propane,
asetilana), gas-gas ini mengikat udara dan oksigen sehingga menyebabkan asfiksia.
2. Gas yang bersifat toksik sistemik : CO yang merupakan komponen terbesar dari asap,
hidrogen sianida merupakan komponen asap yang berasal dari api, hidrogen sulfide.
Gas-gas ini berhubungan dengan pengangkutan oksigen untuk produksi energi bagi
sel. Sedangkan toksin sistemik seperti hidrokarbon halogen dan aromatik
menyebabkan kerusakan lanjut dari hepar, ginjal, otak, paru-paru, dan organ lain.
3. Gas yang menyebabkan alergi, dimana jika asap terhirup, partikel dan aerosol
menyebabkan bronkospasme dan edema yang menyerupai asma.
c. Patofisiologi
Trauma inhalasi terjadi melalui kombinasi dari kerusakan epitel jalan nafas oleh panas
dan zat kimia, atau akibat intoksikasi sistemik dari hasil pembakaran itu sendiri. Hasil dari
pembakaran tidak hanya terdiri dari udara saja, tetapi merupakan campuran dari udara,
partikel padat yang terurai di udara (melalui suatu efek iritasi dan sitotoksik). Aerosol dari
cairan yang bersifat iritasi dan sitotoksik serta gas toksik dimana gabungan tersebut
bekerja sistemik. Partikel padat yang ukurannya lebih dari 10 mikrometer tertahan di
hidung dan nasofaring. Partikel yang berukuran 3-10 mikrometer tertahan pada cabang
trakeobronkial, sedangkan partikel berukuran 1-2 mikrometer dapat mencapai alveoli.
Gas yang larut air bereaksi secara kimia pada saluran nafas atas, sedangkan gas yang
kurang larut air pada saluran nafas bawah. Adapun gas yang sangat kurang larut air masuk
melewati barier kapiler dari alveolus dan menghasilkan efek toksik yang bersifat sistemik.
Kerusakan langsung dari sel-sel epitel, menyebabkan kegagalan fungsi dari apparatus
mukosilier dimana akan merangsang terjadinya suatu reaksi inflamasi akut yang
melepaskan makrofag serta aktivitas netrofil pada daerah tersebut. Selanjutnya akan
dibebaskan oksigen radikal, protease jaringan, sitokin, dan konstriktor otot polos
(tromboksan A2, C3A, C5A). Kejadian ini menyebabkan peningkatan iskemia pada
saluran nafas yang rusak, selanjutnya terjadi edema dari dinding saluran nafas dan
kegagalan mikrosirkulasi yang akan meningkatkan resistensi dinding saluran nafas dan
pembuluh darah paru. Komplians paru akan turun akibat terjadinya edema paru interstitial
49
sehingga terjadi edema pada saluran nafas bagian bawah akibat sumbatan pada saluran
nafas yang dibentuk oleh sel-sel epitel nekrotik, mukus dan sel-sel darah.
d. Gambaran Klinis
Oleh karena onset terjadinya tidak segera dan sering tidak ditangani sesegera mungkin,
maka perlu diketahui tanda-tanda yang dapat mengarahkan kita untuk bertindak dan harus
mencurigai bahwa seseorang telah mengalami trauma inhalasi antara lain :
- Luka bakar pada wajah
- Alis mata dan bulu hidung hangus
- Adanya timbunan karbon dan tanda-tanda inflamasi akut di dalam orofaring
- Sputum yang mengandung arang atau karbon
- Wheezing, sesak dan suara serak
- Adanya riwayat terkurung dalam kepungan api
- Ledakan yang menyebabkan trauma bakar pada kepala dan badan
- Tanda-tanda keracunan CO (karboksihemoglobin lebih dari 10% setelah berada dalam
lingkungan api) seperti kulit berwarna pink sampai merah, takikardi, takipnea, sakit
kepala, mual, pusing, pandangan kabur, halusinasi, ataksia, kolaps sampai koma.
e. Klasifikasi
a) Saluran napas atas
Kelainan yang sering terjadi biasanya disebabkan oleh suhu yang tinggi. Efek
panas akan merusak sel epitel, terjadi denaturasi protein, dan mengaktifkan sistem
komplemen sehingga merangsang sel-sel inflamasi seperti histamin dan xantin
oksidase dan neuropeptida seperti substansi P dan calcitonin gene-related
peptide. Sel inflamasi ini selanjutnya memicu bronkokonstriksi dan menginduksi
nitric oxide synthase (NOS) dan reactive oxygen species (ROS) yang
menyebabkan edema dan ulserasi saluran napas atas. Obstruksi saluran napas
terjadi karena bronkokonstriksi atau laringospasme, edema mukosa, peningkatan
sekret, dan kerusakan sel epitel. ROS akan menginisiasi peroksidasi lemak dan
kerusakan pada epithelial cell tight junctions, peningkatan sel dan mediator
inflamasi, dan akumulasi cairan interstisial. Meski kerusakan bersifat sementara
dan bisa sembuh sendiri tapi sebagian kasus berdisosiasi menjadi kasus kronis
yaitu reactive upper airway disfunction syndrome (RUDS) seperti yang terjadi
pada korban tragedi WTC 11 September.
50
b) Trakeobronkial
Proses inflamasi pada sistem trakeobronkial juga merangsang bronkokonstriksi.
Kerusakan mukosa dan inflamasi sepanjang peribronkial merupakan kelainan
yang didapatkan secara histologis.
c) Parenkim paru
Efek zat toksik pada parenkim paru biasanya muncul dalam waktu yang lebih
lama. Partikel yang sulit larut seperti fosgen dan nitrogen dioksida lebih
berpotensi merusak parenkim. Akumulasi dari kerusakan alveoli, surfaktan yang
hilang, dan vasokonstriksi akan mengakibatkan gangguan oksigenasi. Acute
respiratory distress syndrome (ARDS) dan pneumonia menjadi komplikasi
tersering.
d) Efek sistemik
Gas CO dan CN sangat mudah memberikan efek toksik sistemik. Peningkatan
kadar karboksihemoglobin dan penurunan fungsi jantung disinyalir sebagai
penyebab utama rendahnya oksigenasi ke seluruh tubuh. Sementara itu CN
menghambat kerja sitokrom C oksidase yang merupakan unsur penting dalam
rangkaian oksidasi pernapasan sel.
f. Pemeriksaan Fisik
Tanda / gejala cedera pernafasan. Sesaat setelah terpapar kebakaran, mungkin hanya ada
sedikit gejala / tanda kerusakan saluran napas. Ini tidak meyakinkan karena jalan napas
dan kerusakan paru-paru yang mengancam jiwa dapat terjadi dengan cepat. Petunjuk awal
cedera inhalasi asap adalah luka bakar wajah, suara serak, rambut hidung hangus, sputum
berkarbonasi, dan jelaga / bahan karbon di rongga mulut. Edema wajah / mulut, stridor,
mengi, dispnea, dan sianosis adalah tanda kerusakan lanjut.Gejala klinis yang sering
ditemukan dalam pemeriksaan fisik korban jejas inhalasi antara lain: batuk dan sesak
napas, ronkie dan wheezing, suara parau dan edema saluran napas atas hingga mengantuk
sampai tidak sadar.
g. Pemeriksaan Penunjang
e) Darah
Pemeriksaan analisis gas darah (AGD) berguna untuk mengetahui status oksigenasi dan
keasaman darah. Kadar laktat plasma yang meningkat menggambarkan tingkat keracunan
51
sianida. Skrining toksikologi untuk obat-obatan yang diresepkan dan obat-obatan jalanan
harus dilengkapi dengan toksin spesifik api seperti sianida darah dan COHb.
f) Radiologi
Rontgen dada pada awalnya tampak normal, tetapi kemudian, dapat menunjukkan
atelektasis, konsolidasi, dan / atau edema paru. CT scan dada dapat mengungkapkan
kekeruhan ground-glass dalam distribusi peribronkial, dalam beberapa jam setelah cedera
inhalasi. CT scan dada berguna untuk menyingkirkan cedera inhalasi asap jika ada
keraguan dalam diagnosis dan dapat mengidentifikasi sejauh mana cedera pada saluran
napas distal, yang terlewatkan oleh FOB. Gambaran infiltrat bilateral menunjukkan
pneumonitis sementara itu atelektasis dan obstruksi dapat dicurigai dengan munculnya air
trapping.
h) ECG
Gambaran aritmia dan iskemik akan memberikan informasi terjadinya hipoksia jaringan
dan inflamasi.
h. Tatalaksana
a) Lokasi kejadian
52
Prioritas utama adalah mengevakuasi korban dan memutus pajanan dengan zat toksik.
Dalam kasus keracunan CO, oksigenasi bisa mengurangi risiko hipoksemia.
Pemasangan intubasi dan trakeostomi pada korban yang diduga mengalami obstruksi
akan memastikan jalan nafas tetap terbuka.
b) Rumah sakit
Terapi suportif dengan memastikan jalan nafas tetap intak dan terbuka serta
mempertahankan hemodinamik tetap stabil menjadi syarat mutlak keberhasilan.
Rehberg et al. (2009) mengingatkan bahaya pemberian cairan intravena. ARDS paska
infus kristaloid dan tranfusi darah beberapa kali dilaporkan sehingga harus dievaluasi
selama 24–48 jam setelah penambahan cairan tubuh dan memantau oksigenasi.
- Ventilasi Mekanik
Ventilasi mekanik dengan setting tidal volume rendah merupakan standar dan
dianggap sebagai cara yang lebih efektif dalam mengurangi ventilator induced lung
injury. Penentuan posisi pronasi tidak banyak memberikan efek dalam menurunkan
mortalitas dan hanya memperbaiki hipoksemia.
- Nebulisasi
Pemberian terapi melalui nebulizer berupa bronkodilator, steroid, antikoagulan, dan
antioksidan memberikan hasil yang baik. Bronkodilator seperti β2-agonists dapat
menurunkan resistensi aliran udara dan tekanan jalan napas. Inhalasi nitrit oksida
(NO) akan memperbaiki oksigenasi dan menurunkan resistensi vaskuler pulmoner
karena NO dapat membalikkan proses ketidakseimbangan ventilasi-perfusi.
Mukolitik, N-acetylcysteine (NAC), memberikan banyak manfaat dan dapat diberikan
bersamaan dengan bronkodilator. Antikoagulan dalam bentuk aerosol bisa
meningkatan aktivitas prokoagulasi. Pemberian heparin pada tikus model ternyata
sangat bermanfaat. Antioksidan juga berperan dalam mengatasi ketidakseimbangan
antara oksidan-antioksidan karena peningkatan ROS. Pemberian vitamin E, α-
tocopherol (5 mg/kg oral), pada kambing selama 24 jam sebelum dipajan dengan asap
memberikan hasil bagus berupa peningkatan permeabilitas.
- Terapi Intravena
Kortikosteroid intravena memberikan hasil yang lebih bagus dibandingkan pemberian
secara inhalasi. Vitamin C juga telah terbukti dapat memperbaiki kerusakan karena
oksidatif stress.
- Bronkoskopi
53
Bronkoskopi dapat digunakan untuk menentukan derajat keparahan sekaligus
modalitas terapi. Penggunaan bronkoskopi sangat efektif dalam mengambil benda
asing dan sekret.
i. Komplikasi
1. Trauma paru berat, edema, dan ketidakmampuan untuk oksigenasi atau ventilasi
yang adekuat dapat menyebabkan kematian
2. Keracunan CO dan inhalasi dari hasil pembakaran yang lain secara bersamaan
dapat menyebabkan hipoksemia, trauma organ dan morbiditas.
2. Fraktur Femur
a. Definisi
Tulang femur merupakan tulang pipa terpanjang, terbesar, dan terberat yang
dimiliki tubuh, serta memiliki fungsi penting untuk mobilisasi atau berjalan. Tulang ini
berada didalam kerangka pada bagian pangkal yang berhubungan dengan asetabulum
membentuk kepala sendi yang disebut kaput femoris. Disebelah atas dan bawah dari
kolumna femoris terdapat laju yang disebut trokanter mayor dan trokanter minor.
Dibagian ujung membentuk persendian lutut, terdapat 2 buah tonjolan yang disebut
kondilus lateralis, diantara kedua kondilus ini terdapat lekukan tempat letaknya tulang
tempurung lutut (patella) yang disebut fosa kondilus (Miradia 2016).
Fraktur femur atau patah tulang paha adalah rusaknya kontinuitas tulang
pangkal paha yang disebabkan oleh trauma langsung, kelelahan otot, dan kondisi
tertentu, seperti degenerasi tulang atau osteoporosis. Fraktur femur lebih banyak
dialami oleh laki-laki dewasa dibandingkan perempuan. Umumnya dibawah 45 tahun
kejadian fraktur femur akan meningkat yang disebabkan oleh aktivitas fisik. Patah
tulang atau fraktur yang terjadi pada daerah paha dapat menimbulkan pendarahan yang
cukup banyak, dan dapat menyebabkan penderita mengalami syok berat (Muttaqin
2008).
b. Klasifikasi
54
Fraktur leher femur merupakan fraktur yang sering terjadi pada lansia terutama wanita
usia 60 tahun ke atas disertai tulang yang osteoporosis. Sedangkan pada anak anak
jarang ditemukan.
Fraktur subtrokanter dapat terjadi pada semua usia, trauma hebat adalah penyebab
utamanya. Pemeriksaan dapat menunjukkan fraktur yang terjadi dibawah trokanter
minor.
Fraktur intertrokanter femur
Pada beberapa keadaan, trauma yang mengenai daerah tulang femur. Fraktur daerah
troklear adalah semua fraktur yang terjadi antara trokanter mayor dan minor. Fraktur ini
bersifat ekstra artikular dan sering terjadi pada orang yang jatuh dan mengalami trauma
yang bersifat memuntir. Keretakan tulang terjadi antara trokanter mayor dan minor
tempat fragmen proksimal cenderung bergeser secara varus. Fraktur dapat bersifat
kominutif terutama pada korteks bagian posteomedial.
Fraktur diafisis femur
Fraktur diafisis femur dapat terjadi pada semua usia dan biasanya disebabkan karena
trauma hebat, misalnya kecelakaan lalu lintas atau jatuh dari ketinggian.
Fraktur suprakondilar femur
Daerah suprakondilar adalah daerah antar batas proksimal kondilus femur dan batas
metafisis dengan diafisis femur. Fraktur ini disebabkan karena adanya tekanan varus
dan valgus yang disertai kekuatan aksial dan putaran sehingga dapat menyebabkan
fraktur pada daerah ini. Pergeseran terjadi karena tarikan otot.
c. Epidemiologi
Fraktur dapat terjadi akibat tekanan yang berlebihan pada tulang melebihi kapasitas
tulang tersebut. Secara epidemiologi, fraktur lebih sering terjadi pada laki-laki dari pada
perempuan dengan perbandingan 3:1. Fraktur sering terjadi karena kecelakaan lalu
lintas, kecelakaan olahraga, pekerjaan, ataupun penyakit lainnya. Fraktur femur adalah
salah satu jenis fraktur yang insidensinya sering terjadi. Insiden fraktur femur di USA
diperkirakan 1 orang setiap 10.000 penduduk setiap tahunnya. Berdasarkan data yang
dikumpulkan oleh Unit Pelaksana Teknis Terpadu Imunoendokrinologi Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia pada tahun 2006 di Indonesia dari 1.690 kasus
55
kecelakaan lalu lintas, 249 kasus atau 14,7%-nya mengalami fraktur femur (Rahmasari
2008).
d. Etiologi
Trauma karena energi yang cukup besar, jenis kecelakaan yang menyebabkan terjadinya
fraktur jenis ini antara lain trauma kecelakaan bermotor, olahraga, jatuh dari tempat
tinggi, serta luka tembak.
e. Patofisiologi
Pada dasarnya penyebab fraktur itu sama yaitu trauma, tergantung dimana
fraktur tersebut mengalami trauma, begitu juga dengan fraktur femur ada dua faktor
penyebab fraktur femur. Faktor-faktor tersebut diantaranya, fraktur fisiologis
merupakan suatu kerusakan jaringan tulang yang diakibatkan dari kecelakaan, tenaga
fisik, olahraga, serta trauma dan fraktur patologis merupakan kerusakan tulang terjadi
akibat proses penyakit dimana dengan trauma minor dapat mengakibatkan fraktur
(Rasjad, 2007).
56
Saat terjadi fraktur yang diakibatkan oleh jatuh dari ketinggian, terjadi
pembebanan yang berlebih pada tulang femur sehingga tulang tidak mampu menahan
beban dan terjadilah fraktur. Patahnya fragmen tulang ini menyebabkan robeknya
pembuluh darah pada tulang dan jaringan lunak disekitarnya sehingga terjadinya
hematoma. Hematoma akan mengeksudasi plasma dan poliferasi menjadi edema lokal
maka terjadi penumpukan di dalam tubuh. Di samping itu fraktur terbuka dapat
mengenai jaringan lunak yang kemungkinan dapat terjadi infeksi terkontaminasi
dengan udara luar dan kerusakan jaringan lunak yang akan mengakibatkan kerusakan
integritas kulit (Nasar et al. 2010).
Nyeri timbul beriringan dengan rusaknya jaringan sekitar fragmen tulang dan
adanya proses hematoma. Kondisi ini akan menyebabkan pasien atau penderita
membatasi pergerakannya bahkan enggan untuk bergerak karena khawatirakan rasa
nyeri yang timbul. Tidak terjadinya gerakan berarti tidak adanya aktifitas otot yang
dapat mengurangi kekuatan otot (Bhandari 2012).
Menurut Kisner & Colby (2012), saat terjadi gangguan pada jaringan lunak baik
akibat cedera mekanis (termasuk pasca operasi) maupun iritasi kimia, memiliki respon
sel dan vaskuler yang sama. Kisner membagi respon tersebut menjadi tiga tahap, yaitu:
a) Acute stage
Tahap ini biasanya memiliki durasi 4-6 hari. Pada tahap ini terjadi bengkak,
nyeri saat istirahat dan kehilangan fungsi. Nyeri yang timbul diakibatkan oleh
teriritasinya saraf oleh cairan kimia lokal didaerah cedera. Saat adanya gerakan, nyeri
akan timbul dan menyebabkan pasien cenderung menahan atau membatasi gerakan.
Apabila hal ini terjadi secara terus menerus dalam waktu yang lama akan megakibatkan
perunan aktifitas otot dan kekakuan sendi.
b) Subacute stage
Pada tahap ini sudah terjadi penurunan nyeri progresif. Nyeri saat adanya
gerakan sudah berkurang atau nyeri timbul saat adanya gerakan maksimal. Pada tahap
ini terjadi kelemahan otot akibat dari tahap sebelumnya dan mengakibatkan
keterbatasan fungsional. Tahap ini biasanya berlangsung selama 10-17 hari.
c) Chronic stage
Pada tahap ini tanda-tanda peradangan sudah tidak lagi muncul. Keterbatasan
gerak masih terjadi akibat dari adanya kontraktur atau adhesi serta adanya kelemahan
otot yang menyebabkan keterbatasan fungsional. Selain kelemahan otot, penyebab dari
57
terjadinya keterbatasan fungsional juga dikarenakan oleh daya tahan otot yang
berlangsung 6 bulan-1 tahun tergantung tingkat kerusakan dari jaringannya.
f. Penatalaksanaan
Fraktur femur terbuka. Fraktur ini harus dinilai dengan mengetahui ada tidaknya kehilangan kulit,
kontaminasi luka, iskemia otot, cedera pada pembuluh darah dan saraf. Penatalaksanaan farktur
femur terbuka meliputi:
a. Profilaksis antibiotik.
Pemberian antibiotik profilaksis untuk mencegah adanya infeksi.
b. Debridemen
Pembersihan luka dan debridemen harus dilakukan dengan sedikit mungkin penundaan.
Jika terdapat kematian jaringan harus dieksisi dengan hati-hati. Luka akibat penetrasi
fragmen luka yang tajam juga perlu dibersihkan dan dieksisi.
c. Stabilisasi dilakukan dengan pemasangan fiksasi interna atau eksterna.
3. Luka Bakar
a. Definisi
Luka bakar adalah suatu trauma yang sdisebabkan oleh panas, arus listrik, bahan
kimia dan petir yang mengenai kulit, mukosa dan jaringan yang lebih dalam (Dr.
Soetomo, 2001).
Luka bakar adalah kerusakan atau kehilangan jaringan yang disebabkan kontak
dengan sumber panas seperti api, air panas, bahan kimia, listrik, dan radiasi ( Moenajat,
2001).
58
b. Epidemiologi
c. Etiologi
Luka bakar dapat disebabkan oleh panas, sinar ultraviolet, sinar X, radiasi nuklir, listrik,
bahan kimia, abrasi mekanik. Luka bakar yang disebabkan oleh panas api, uap atau cairan
yang dapat membakar merupakan hal yang lasim dijumpai dari luka bakar yang parah.:
59
4. Luka Bakar Radiasi
Luka bakar radiasi disebabkan oleh terpapar dengan sumber radioaktif. Tipe
injuri ini seringkali berhubungan dengan penggunaan radiasi ion pada industri atau
dari sumber radiasi untuk keperluan terapeutik pada dunia kedokteran. Terbakar oleh
sinar matahari akibat terpapar yang terlalu lama juga merupakan salah satu tipe luka
bakar radiasi.
d. Patofisiologi
Fase luka bakar dibedakan menjadi 3, yaitu fase akut (fase syok), fase subakut (fase
kompensasi syok) dan fase lanjutan. Pada fase akut (8), masalah utama berkisar pada
gangguan mekanisme bernafas, hal ini dikarenakan adanya eskar yang melingkar di dada
atau trauma multipel di rongga thorax, dan gangguan sirkulasi seperti keseimbangan
elektrolit dan syok hipovolemia.
Fase subakut adalah fase setelah syok berakhir. Masalah utama pada fase ini adalah
Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS) dan Multi-system Organ Dysfunction
Syndrome (MODS) dan sepsis. Hal ini merupakan dampak atau perkembangan masalah
yang timbul pada fase pertama dan masalah yang bermula dari kerusakan jaringan (luka
dan sepsis luka). Fase lanjut berlangsung setelah penutupan luka sampai terjadinya
maturasi jaringan. Masalah yang dihadapi adalah penyulit dari luka bakar seperti parut
hipertrofik, kontraktur dan deformitas lain yang terjadi akibat kerapuhan jaringan atau
struktur tertentu akibat proses inflamasi yang hebat dan berlangsung lama.
Luka bakar mengakibatkan syok karena kaget dan kesakitan. Pembuluh darah
kapiler yang terpajan suhu tinggi rusak dan permeabilitas meninggi sehingga
menyebabkan udem dan bulla dengan membawa serta elektrolit, oleh karena itu terjadi
penurunan volume cairan intravaskuler, sel darah yang di dalam pembuluh darah tersebut
juga mengalami kerusakan sehingga dapat terjadi anemia. Kerusakan kulit akibat luka
bakar menyebabkan kehilangan cairan tambahan karena penguapan yang berlebihan,
cairan masuk ke bulla yang terbentuk pada luka bakar derajat II, dan pengeluaran cairan
dari keropeng luka bakar derajat III. Pada fase akut peristalsis usus menurun atau berhenti
karena syok.
Bila luas luka bakar kurang dari 20%, biasanya mekanisme kompensasi tubuh masih
bisa mengatasinya tetapi bila di atas 20% akan terjadi syok hipovolemik dengan gejala
yang khas seperti gelisah, pucat, dingin, berkeringat, nadi kecil dan cepat, tekanan darah
menurun, dan produksi urin berkurang. Pembengkakan terjadi pelan-pelan, maksimal
60
terjadi setelah 8 jam(7). Setelah 12 - 24 jam, permeabilitas kapiler mulai membaik dan
terjadi mobilisasi dan penyerapan cairan edema kembali ke pembuluh darah. Ini ditandai
dengan meningkatnya diuresis. Pada fase ini peristalsis dapat menurun karena kekurangan
ion kalium(7).
Menurut Jackson pada tahun 1947, luka bakar dibagi menjadi 3 zona, yaitu :
1. Zona koagulasi merupakan zona yang mengalami kerusakan paling berat. Pada zona
ini mengalami kehilangan jaringan yang tidak dapat dikembalikan dikarenakan oleh
koagulasi protein sel di jaringan yang terpajan suhu tinggi.
2. Zona stasis merupakan zona disekeliling zona koagulasi, ditandai dengan penurunan
perfusi pada jaringan. Jaringan pada zona stasis masih dapat diselamatkan dengan cara
melakukan resusitasi pada luka bakar sehingga perfusi pada jaringan ini dapat
meningkat dan mencegah terjadinya kerusakan jaringan yang permanen.
Apabila terjadi hipotensi berkepanjangan, infeksi ataupun udem dapat menyebabkan zona ini menjadi
kehilangan jaringan. Hilangnya jaringan di zona stasis akan menyebabkan luka mendalam dan
melebar.
3. Zona hiperemi merupakan zona terluar dan memiliki perfusi yang lebih baik. Jaringan
pada zona ini akan selalu sembuh, kecuali ada sepsis berat dan hipoperfusi
berkepanjangan.
e. Klasifikasi
1. Berdasarkan penyebab
61
4.) Nyeri karena ujung-ujung saraf sensorik teriritasi.
3.)Dasar luka berwarna merah atau pucat, sering terletak lebih tinggi di
7) Kerusakan meliputi seluruh ketebalan dermis dan lapisan yang lebih dalam.
8) Apendises kulit, seperti folikel rambut, kelenjar keringat, kelenjar sebasea
mengalami kerusakan.
9) Tidak dijumpai bula.
62
10) Kulit yang terbakar berwarna abu-abu dan pucat. Kering, letaknya lebih rendah
dibandingkan kulit sekitar akibat koagulasi protein pada lapisan epidermis dan
dermis (eskar).
11) Tidak dijumpai rasa nyeri, bahkan hilang sensasi karena ujung-ujung serabut
saraf sensorik mengalami kerusakan/kematian.
12) Penyembuhan terjadi lama karena tidak ada proses epitelisasi spontan baik dari
dasar luka, tepi luka, maupun apendises kulit.
4) Luka bakar derajat II, 25% atau lebih pada orang dewasa.
5) Luka bakar derajat II, 20% atau lebih pada anak-anak.
6) Luka bakar derajat III, 10% atau lebih.
f. Penanganan
I. Penanganan awal (primary survey) pada pasien luka bakar, sebagai berikut:
- Airway(5); membebaskan jalan napas, menilai adanya trauma inhalasi, dan
melakukan intubasi bila terdapat indikasi. Indikasi pemasangan intubasi pada luka
bakar, yaitu trauma inhalasi, stridor, luka bakar yang melingkari leher sehingga
mengakibatkan pembengkakan jaringan sekitar jalan napas.
- Breathing(5); memberikan O2, mengenali dan mengatasi keracunan CO.
- Circulation(5); memantau tekanan darah dan nadi, memasang kateter urin,
memeriksa sirkulasi perifer (Capillary Refill Time / CRT), dan memasang infus.
- Disability(5); menilai GCS.
63
- Environment(5); memadamkan sumber panas lalu merendam atau menyiram luka
bakar dengan air mengalir selama sekurang-kurangnya 15 menit(7), melepaskan
pakaian, memeriksa luas luka bakar, memeriksa adanya trauma penyerta lain, dan
menjaga agar pasien tetap hangat(5).
- Fluid(5); melakukan resusitasi cairan sesuai dengan luas luka bakar.
Ada beberapa cara untuk menghitung kebutuhan cairan pada seorang pasien luka
bakar, yaitu:
Keduanya merupakan pengganti cairan yang hilang akibat udem. Plasma diperlukan
untuk mengganti plasma yang keluar dari pembuluh dan meninggikan tekanan
osmosis, hingga mengurangi perembesan keluar dan menarik kembali cairan
yang telah keluar(7).
64
II. Indikasi rawat inap pada pasien luka adalah sebagai berikut:
- Penderita syok atau terancam syok
Anak : luas luka > 10%
Dewasa : luas luka > 15%
- Letak luka memungkinkan penderita terancam cacat berat
Wajah, mata
Tangan atau kaki
Perineum
- Terancam udem laring
Terhirup asap atau udara hangat
III. Penanganan lanjut (secondary survey) pada pasien luka bakar, sebagai berikut:
- Pemantauan terhadap tanda-tanda vital, seperti tekanan darah, frekuensi nadi dan
frekuensi pernapasan.
- Pemeriksaan penunjang untuk pasien luka bakar berat, yaitu pemeriksaan darah, seperti
hemoglobin, hematokrit dan analisis kadar elektrolit darah serta pemeriksaan radiologi.
- Pemasangan pipa lambung (NGT) untuk mengosongkan lambung saat ileus paralitik.
- Pemasangan kateter buli-buli untuk memantau diuresis.
- Pemasangan kateter pengukur tekanan vena untuk memantau sirkulasi darah.
- Obat analgesik diberikan apabila pasien mengalami kesakitan.
- Perawatan luka dapat dilakukan dengan mengoleskan antiseptik dan membiarkan
terbuka pada perawatan terbuka atau mengkompres luka dengan antiseptik dan
menutupnya dengan kasa steril yang telah dibubuhi antiseptik untuk perawatan tertutup.
Perawatan tertutup bertujuan untuk menutup luka dari kemungkinan kontaminasi, tetapi
masih cukup longgar untuk berlangsungnya penguapan.
- Obat topikal yang dipakai dapat berbentuk larutan, salep, atau krim. Antiseptik yang
dipakai adalah betadine atau nitras-argenti 0,5%. Kompres nitras-argenti yang selalu
dibasahi tiap 2 jam efektif sebagai bakteriostatik untuk semua kuman, namun obat ini
mengendap sebagai garam sulfide atau klorida yang memberi warna hitam. Obat lain
yang banyak digunakan adalah silver sulfadiazin, dalam bentuk krim 1%. Krim ini
sangat berguna karena bersifat bakteriostatik, mempunyai daya serap yang cukup,
efektif terhadap semua kuman, tidak menimbulkan resistensi, dan aman. Krim ini
dioleskan tanpa pembalut, dan dapat dibersihkan dan diganti setiap hari.
- Antibiotik dapat diberikan dalam bentuk sediaan kasa (tulle).
65
- Anti tetanus untuk pencegahan tetanus berupa ATS dan/atau toksoid.
a. Tindakan bedah
- Eskarektomi dilakukan pada luka bakar derajat III yang melingkar pada ekstremitas
atau tubuh karena pengerutan keropeng dari pembengkakan yang terus berlangsung
dapat mengakibatkan penekanan yang membahayakan sirkulasi sehingga bagian distal
dapat mengalami nekrosis.
- Debrideme diusahakan sedini mungkin untuk membuang jaringan kulit mati dengan
cara eksisi tangensial. Tindakan ini dilakukan sesegera mungkin setelah keadaan pasien
stabil karena eksisi tangensial juga menimbulkan perdarahan. Biasanya eksisi dini
dilakukan pada hari ketiga sampai ketujuh, dan pasti boleh dilakukan pada hari
kesepuluh. Eksisi tangensial sebaiknya tidak dilakukan lebih dari 10% luas permukaan
tubuh karena dapat terjadi perdarahan yang cukup banyak.
- Pasien luka bakar derajat II dalam dan derajat III dilakukan skin grafting untuk
mencegah terjadinya keloid dan jaringan parut yang hipertropik. Skin grafting dapat
dilakukan sebelum hari kesepuluh yaitu sebelum timbulnya jaringan granulasi.
b. Rujukan
Kriteria merujuk pasien luka bakar yang perlu dirujuk ke pusat luka bakar menurut
American Burn Association, sebagai berikut:
- Luka bakar der. II dan III >10% luas permukaan tubuh pada pasien berumur <10 tahun
atau >50 tahun.
- Luka bakar der. II dan III >20% di luar usia tersebut diatas.
- Luka bakar der. II dan III yang mengenai wajah, mata, telinga, tangan, kaki, genitalia,
atau perineum atau yang mengenai kulit sendi-sendi utama.
- Luka bakar der. III >5% luas permukaan tubuh pada semua umur.
- Luka bakar listrik, termasuk tersambar petir (kerusakan jaringan bawah kulit hebat dan
menyebabkan gagal ginjal akut serta komplikasi lain).
- Luka bakar kimia
- Trauma inhalasi
66
- Luka bakar pada pasien yang karena penyakit yang sedang dideritanya dapat
mempersulit penanganan, memperpanjang pemulihan, atau dapat mengakibatkan
kematian.
- Luka bakar dengan cedera penyerta yang menambah resiko morbiditas dan mortalitas,
ditangani dahulu di UGD sampai stabil, baru dirujuk ke pusat luka bakar.
- Anak-anak dengan luka bakar yang dirawat di rumah sakit tanpa petugas dan peralatan
yang memadai, dirujuk ke pusat luka bakar.
- Pasien luka bakar yang memerlukan penanganan khusus seperti masalah sosial,
emosional atau yang rehabilitasinya lama, termasuk adanya tindakan kekerasan pada
anak atau anak yang ditelantarkan.
g. Komplikasi
Komplikasi luka bakar dapat bermacam-macam sesuai dengan fase yang sedang
berlangsung. Pada fase akut, komplikasi yang sering terjadi adalah syok dan gangguan
keseimbangan cairan dan elektrolit. Pada fase subakut dapat terjadi Systemic
Inflammatory Response Syndrome (SIRS), Multi-system Organ Dysfunction Syndrome
(MODS) dan Sepsis(8). SIRS adalah suatu bentuk respon klinik yang bersifat sistemik
terhadap berbagai stimulus klinik berat akibat infeksi ataupun non-infeksi seperti luka
bakar. Respon ini merupakan dampak dari pelepasan mediator-mediator inflamasi
(proinflamasi) yang mulanya bersifat fisiologik dalam proses penyembuhan luka,
namun secara berlebihan dan mengakibatkan kerusakan pada organ-organ sistemik,
menyebabkan disfungsi (MODS).
Kriteria SIRS yaitu:
Pada fase lanjutan, komplikasi yang dapat terjadi adalah parut hipertrofik dan kontraktur. Hipertrofi
jaringan parut merupakan komplikasi yang sulit dicegah, dan terbentuk akibat beberapa faktor sebagai
67
berikut; kedalaman luka bakar, sifat kulit, usia pasien, lamanya waktu penutupan kulit. Kontraktur adalah
komplikasi yang hampir selalu menyertai luka bakar dan menimbulkan gangguan fungsi pergerakan.
h. Prognosis
Semua prosedur penanganan gawat darurat dengan kejadian trauma, maka langkah
pertama yang dilakukan sejak detik pertama pasien masuk instalasi gawat darurat adalah
pemeriksaan secara cepat dan efisien disebut sebagai primary survey. Dasar dari
pemeriksaan primary survey adalah ABCD, yaitu Airway (jalan nafas), Breathing
(pernafasan), Circulation (sirkulasi darah), Disability (status neurologi)
(Wahjoepramono, (2005).
Airway
Manajemen airway merupakan suatu hal yang terpenting dalam melakukan
resusitasi dan membutuhkan ketrampilan khusus dengan penanganan keadaan gawat
darurat. Oleh sebab itu, hal yang pertama harus segera dinilai adalah kelancaran jalan
nafas, meliputi pemeriksaan jalan nafas yang dapat disebabkan oleh benda asing,
fraktur manibula atau maksila, fraktur laring (Dewi, 2015).
Adapun gangguan jalan nafas (airway) terjadi dikarenakan lidah yang jatuh
kebelakang. Ketika cedera tidak ada di daerah cervikal, dengan posisi kepala ekstensi,
jika tidak membantu maka akan dilakukan pemasangan pipa orofaring atau pipa
endotrakeal dan dilakukan pembersihan dibagian mulut dengan adanya lendir, darah,
muntahan, atau gigi palsu (Wahjoepramono, (2005). Gangguan airway ini juga dapat
timbul secara mendadak dan total, perlahan-lahan dan secara berulang (Dewi,
2013dalamSetyawan, 2015 ).
68
Bebasnya jalan nafas paling terpenting bagi kecukupan ventilasi dan
oksigenasi. Ketika penderita tidak mampu dalam mempertahankan jalan nafas, oleh
karena itu, patensi jalan nafas harus segera dipertahankan dengan cara buatan,
diantaranya : reposisi, chin lift, jaw thrust, atau melakukan penyisipan airway
orofaringeal serta nasofaringeal (Smith, Davidson, Sue, 2007). Dalam usaha untuk
membebaskan jalan nafas harus segera melindungi pada vertebra servikal.
Hal ini dapat dimulai dengan melakukan chin lift atau jaw thrust. Pada pasien
yang dapat berbicara, dianggap bahwa jalan nafasnya bersih, walaupun penilaian
terhadap airway harus tetap dilakukan. Pasiendengan gangguan kesadaran atau
Glasgow Coma Scale< 8 ini memerlukan pemasangan airwaydefinitif. Adanya gerakan
motorik yang tidak bertujuan dalam mengindikasikan diperlukan pada airway definitif.
a) Head tilt
Ketika pasien tidak sadar, sebaiknya dibaringkan dalam posisi terlentang dan
horizontal, kecuali pada pembersihan jalan nafas dimana bahu dan kepala
penderita harus segera direndahkan dengan posisi semilateral untuk memudahkan
drainase lendir, muntah atau benda asing. Kepala diekstensikan dengan cara
meletakkan satu tangan di bawah leher penderita pada dahi depan penderita
sambil mendorong atau menekanke belakang. Posisi ini tetap dipertahankan
dengan berusaha dalam memberikan inflasi bertekanan positif secara intermittena
(Alkatri, 2007).
b) Chin lift
Salah satu tangan pada jari-jemari diletakkan bawah rahang, dengan hati-hati
kemudian diangkat keatas untuk membawa dagu ke arah depan. Ibu jari yang
sama, dengan ringan akan menekan pada bibir di bagian bawah untuk membuka
mulut, ibu jari juga diletakkan di belakang gigi seri (incisor)bagianbawah secara
bersamaan, dagu secara hati-hati diangkat. Manuver chin lift akan menyebabkan
hiperekstensi leher.
Manuver dapat berguna pada korban yang mengalami trauma karena tidak
membahayakan oleh pasien dengan patahnya ruas tulang leher atau mengubah
patah tulang tanpa cedera spinal menjadi patah tulang dengan cedera spinal.
c) Jaw thrust
69
Ketika penolong berada disebelah atas kepala penderita, kedua tangan pada
mandibula, jari kelingking dan manis kanan maupun kiri berada pada angulus
mandibula, jari tengah serta telunjuk kanan maupun kiri yang berada pada
mentum mandibula. Selain itu, mandibula ini diangkat ke atas melewati molar
pada maxila (Arifin, 2012).
e) Nasopharingeal Airway
Salah satu pada indikasi airway nasopharingeal ini disukai dibandingkan
dengan airway orofaring pada pasien dalam memberikan respon, oleh karena itu,
dapat diterima dan lebih kecil kemungkinan dapat merangsang muntah (ATLS,
2004).Diantaranya teknik ini yaitu posisikan kepala pasien lurus dengan tubuh,
Pilihlah ukuran pipa nasofaring sesuai dengan cara menyesuaikan ukuran pada
pipa nasofaring dari lubang hidung sampai tragus (anak telinga).
Pada pipa nasofaring akan diberikan pelicin dengan jelly (gunakan kasa yang
sudah di beri jelly). setelah itu, masukkan pipa naso-faring dengan cara tangan
kanan memegang pangkal pipa nasofaring, lengkungan menghadap ke arah mulut
bagian bawah. Masukkan ke dalam rongga hidung secara perlahan sampai batas
70
pangkal pipa dan dipastikan jalan nafasnya bebas (lihat, dengar, rasa) (Arifin,
2012).
Jika pernafasannya membaik, jaga agar jalan nafas tetap terbuka dan periksa dengan
cara harus dinilai Menurut Pusbankes 118, (2015) :
(1) Lihat (Look) yaitumelihat pergerakan naik turunnya dada yang simetris, jika tidak
simetris maka perlu dicari kelainan intra-thorakal atau fail chest. Amati frekuensi
nafas terlalu cepat maupun lambat.
(2) Dengar (Listen) yaitu mendengar adanya suara pernafasan pada auskultasi kedua
paru, vesikuler normal atau suara menghilang, adanya rhonkhi yang menjadi
petunjuk kelainan intra-thorakal.
(3) Rasakan (Feel) yaitu merasakan adanya hembusan nafas.
Breathing
Oksigen terpenting bagi kehidupan. Sel-sel tubuh memerlukan pasokan
konstan O2 digunakan untuk menunjang reaksi kimiawi penghasil energi dan
menghasilkan CO2 yang harus dikeluarkan secara terus menerus (Dewi, 2013).
Terbukanya airway yaitu langkah awal yang tepenting untuk pemberian
oksigenkonsenterasi tinggi (nonrebreather mask 11-12 liter/menit). Oksigenasi
menunjukkan pengiriman oksigen sesuai ke jaringan ini untuk memenuhi kebutuhan
metabolik, efektivitas ventilasi dapat dinilai secara klinis (Krisanty, 2009).
71
Ketika pernafasan tidak adekuat, ventilasi dengan menggunakan teknik bag-
valve-face-maskini cara yang lebih efektif jika dilakukan oleh dua orang dimana kedua
tangan dari salah satu petugas (ATLAS, 2004)
Pusbankes 118, (2015), Ventilasi dengan bag Valve Mask (BVM) memiliki
konsentrasi oksigen pada pemakaian BVM, yaitu :
72
luar, atau ruptur organ dalam abdomen, trauma dada, tamponade jantung atau
pneumothoraks dan syok septik. (Wahjoepramono, (2005).
Pada shock hipovolemik ini dibatasi dengan tekanan darah kurang dari 90
mmHg dan dapat mengalami penurunan tekanan darah yang berpengaruh terhadap
tingkat kinerja otak (Arifin, 2013) Oleh sebab itu, hal yang pertama harus segera
dinilai adalah mengetahui sumber perdarahan eksternal dan internal, tingkat kesadaran,
nadi dan periksa warna kulit dan tekanan darah (Greenberg 2005 dalam Arsani, 2011&
ATLS 2004), yaitu:
(1) Tingkat kesadaran yaitu ketika volume darah menurun perfusi otak juga
berkurang yang dapat menyebabkan penurunan tingkat kesadaran.
(2) Warna Kulit, yaitu berupa wajah yang keabu-abuan dan kulit ekstremitas yang
pucat merupakan tanda hipovolemia.
(3) Nadi adalah pemeriksaan nadi yang dilakukan pada nadi terbesar seperti a.
femoralis dan a. karotis (kanan kiri), untuk kekuatan nadi, kecepatan dan irama.
Dalam keadaan darurat yang tidak tersedia alat-alat, maka secara cepat dapat
memperkirakan tekanan darah dengan meraba pulsasi (Dewi, 2013), yaitu :
(1) Ketika teraba pulsasi pada arteri radial, maka tekanan darah minimal 80 mmHg
sistol
(2) Ketika teraba pulsasi pada arteri brachial, maka tekanan darah minimal 70
mmHg sistol
(3) Ketika teraba pulsasi pada arteri femoral, maka tekanan darah minimal 70 mmHg
sistol
(4) Ketika teraba pulsasi pada arteri carotid, maka tekanan darah minimal 60 mmHg
sistol
73
dari hipotensi lebih berbahaya terhadap cedera otak dibanding edema pada otak
akibat adanya pemberian cairan yang berlebihan.
(2) Kenali perdarahan internal, kebutuhan untuk intervensi bedah serta konsultasi
pada ahli bedah
(3) Pasangkan kateter IV 2 jalur ukuranterbesar sekaligus mengambil sampel darah
untuk pemeriksaan rutin, kimia darah, tes kehamilan (pada wanita usia subur),
golongan darah dan cross-match serta Analisa Gas Darah (BGA).
(4) Berikan cairan kristaloid telah dihangatkan dengan tetesan tercepat, pasangkan
PSAG/bidai pneumatik untuk mengontrol perdarahan pada pasien fraktur pelvis.
(5) Fraktur pelvis yang mengancam nyawa, cegah adanya hipotermia dengan posisi
tidur yaitu kepala diposisikan datar, cegah head down (kepala lebih rendah dari
leher) karena dapat menyebabkan bendungan vena di kepala serta menaikkan
tekanan intracranial.
Disability
Menjelang akhir primary survey dilakukan evaluasi terhadap keadaan
neurologis secara cepat (ATLS, 2004). Selain itu,Pemeriksaan neurologis secara cepat
yaitu dengan menggunakan metode AVPU (Allert, Voice respone, Pain respone,
Unrespone) (Pusbankes 118, (2015).Hal ini yang dinilai yaitu tingkat kesadaran
dengan memakai skor GCS/PTS, ukuran dan reaksi pupil (Musliha, (2010).
Dalam hal ini, penurunan kesadaran dapat disebabkan oleh adanya penurunan
oksigenasi atau perfusi ke otak serta trauma langsung (Pusbankes 118, 2015). Menurut
Greenberg, (2005) dalam Arsani 2011 bahwa nilai pupil dilihat dari besarnya isokor,
reflek cahaya, awasi adanya tanda-tanda lateralisasi, evaluasi maupun Re-evaluasi
airway, oksigenasi, ventilasi serta circulation.
Exposure
Pada exposure merupakan bagian terakhir dari primary survey,pasien harus
dibuka keseluruhan pakaiannya untuk melakukan pemeriksaan thoraks kemudian
diberikan selimut hangat, cairan intravena yeng telah dihangatkan dan ditempatkan
pada ruangan cukup hangat ini dilakukan pada saat dirumah sakit (Musliha, 2010).
Periksa punggung dengan memiringkan pasien dengan cara long roll(Dewi 2013).
Pemeriksaan seluruh bagian tubuh harus segera dilakukan tindakan agar mencegah
terjadinya hiportermia.
74
Dalam pemeriksaan penunjang ini dilakukan pada survey primer, yaitu
pemeriksaan saturasi oksigen dengan pulse oxymetri, foto thoraks, dan foto polos
abdomen. Tindakan lainnyaseperti pemasangan monitor EKG, kateter dan NGT
Pusbankes 118, (2015).
2) Secondary Survey
Pemeriksaan dilakukan setelah pasien dengan keadaan stabil dan dipastikan airway,
breathing dan sirkulasidapat membaik. Prinsip survey sekunder adalah memeriksa ke
seluruh tubuh yang lebih teliti dimulai dari ujung rambut sampai ujung kaki ( head to toe)
baik pada tubuh dari bagian depan maupun belakang serta evaluasi ulang terhadap
pemeriksaan tanda vital penderita. Dimulai dengan anamnesa yang singkat meliputi
AMPLE (allergi, medication, past illness, last meal dan event of injury). Pemeriksaan
penunjang ini dapat dilakukan pada fase meliputi foto thoraks (Pusbankes 118, (2015).
a) Breathing
Perhatikan adanya frekuensi dan jenis pernafasan, pembebasan obstruksi jalan
nafas, oksigenasi yang cukup, atau adanya hiperventilasi jika diperlukan.
b) Blood
Pada pengukuran tekanan darah dan pemeriksaan laboratorium seperti Hb dan
leukosit.
c) Brain
Langkah awal penilaian ditentukan pada respon mata, motorik, dan verbal
(GCS). Ketika memburuk perlu pemeriksaan keadaan pupil serta gerakan bola
mata.
d) Bladder
Kandung kemih segera dikosongkan dengan pemasangan kateter.
e) Bowel
Usus yang penuh cenderung akan meningkatkan tekanan intrakranial dan
pemeriksaan.
75
Re-evaluasi penderita
Penilaian ulang terhadap penderita, dengan mencatat dan melaporkan setiap adanya
perubahan pada kondisi serta respon terhadap resusitasi, kemudian monitoring tanda-tanda
vital maupun jumlah urin, dan pemakaian analgesik yang tepat.
a) Penderita dapat dirujuk jika rumah sakit tidak mampu menangani pasien karena adanya
keterbatasan SDM maupun fasilitas serta keadaan pasien yang masih dimungkinkan
untuk dirujuk.
b) Tentukan indikasi rujukan, prosedur rujukan dan kebutuhan penderita selama dalam
komunikasi dengan dokter pada pusat rujukan yang dituju.
76
VII.Kesimpulan
77
DAFTAR PUSTAKA
American College of Surgeons Commitee. 2018. Advanced Trauma Life Support (ATLS).
American College of Surgeons Committee. 2005. Management of Complex Extremitiy
Trauma
Coccolini, dkk. 2017. Pelvic Trauma: WSES Classification and Guidelines. World Journal of
Emergency Surgery 12(5)
Granhed, H., Altgärde, E., Akyürek, L. M., & David, P. 2017. Injuries Sustained by Falls - A
Review. Trauma & Acute Care, 2(38), 1–5. https://doi.org/10.21767/2476-2105.100038
Huether, S., & McCance, K. 2019. Buku Ajar Patofisiologi (6th ed.). Elsevier.
Jeschke, M. G., van Baar, M. E., Choudhry, M. A., Chung, K. K., Gibran, N. S., & Logsetty,
S. (2020). Burn injury. Nature Reviews Disease Primers, 6(1).
https://doi.org/10.1038/s41572-020-0145-5
Kaddoura, I., Abu-Sittah, G., Ibrahim, A., Karamanoukian, R., & Papazian, N. 2017. Burn
injury: review of pathophysiology and therapeutic modalities in major burns. Annals
of Burns and Fire Disasters, 30(2), 95–102.
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/29021720%0Ahttp://www.pubmedcentral.nih.g
ov/articlerender.fcgi?artid=PMC5627559
Kemenkes RI. 2019. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tatalaksana Luka Bakar.
Onishi, S. et al. (2017) ‘Indications of early intubation for patients with inhalation injury’,
Acute Medicine & Surgery. Wiley, 4(3), pp. 278–285. doi: 10.1002/ams2.269.
Sjamsuhidajat. 2017. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran ECG.
Snell, R. S. 2012. Anatomi Klinis Berdasarkan Sistem. Dialih bahasakan oleh Sugarto L.
Jakarta: Penerbit EGC.
Soekamto, Tomie Hermawan Dan David Perdana kusuma. 2013. Intoksikasi Karbon
Monoksida. Surabaya: Universitas Airlangga.
Timoty B et al. 2014. Classifications in Brief Young and Burgess Classification of Pelvic
Ring Injuries . Clinical orthopaedics and related research volume 472 No. 8.
V. P, Eroschenko. 2010. Atlas Histologi d’fiore: dengan korelasi fungsional. Jakarta: EGC.
Ed. 11.
78