Anda di halaman 1dari 34

Analisis Masalah

1. dr. Desi baru bertugas 6 bulan sebagai Kepala Puskesmas “Manggis”. Puskesmas
“Manggis” berada di kecamatan “Mangga” yang terdiri dari 4 Desa, yang total
penduduk 4500 jiwa. Ditengah Desa tersebut mengalir sungai yang dipakai sebagai
sumber air rumah tangga dan sebagai tempat (MCK). Di desa tersebut belum terdapat
tempat pembuangan sampah yang jelas, hanya ada satu open dumping yang mewakili
setiap desa dengan lokasi yang berada di pinggiran Desa serta dekat dengan
pemukiman warga. Tempat pembuangan sampah ini belum bisa mewakili seluruh desa
sehingga masih terdapat sampah dimana-mana dikarenakan masyarakatnya
mempunyai kebiasaan membuang sampah sembarangan walaupun sebagian
masyarakat memiliki kebiasaan membakar sampah jika musim kering. Mayoritas
penduduknya adalah petani, oleh karena itu di dalam Desa banyak area persawahan
irigasi yang drainasenya mengarah ke sungai. Drainase dari aliran Desa banyak
terhambat karena sampah, sehingga membentuk genangan-genangan air. Selain itu
didalam desa terdapat banyak rawa-rawa.
a. Bagaimana kriteria MCK yang baik? 1, 7, 4
b. Bagaimana status demografi di kecamatan Mangga? 2, 6, 3
c. Apa dampak dari banyaknya persawahan terhadap kesehatan lingkungan? 3, 4,
11
d. Bagaimana analisa risiko kesehatan daerah rawa? 4, 5, 10
Permasalahan kesehatan masyarakat dilahan basah di pengaruhi oleh kesehatan
lingkungan yang ada di sekitar yaitu:
1. Air Bersih
Yaitu air yang digunakan untuk keperluan sehari-hari dimana
kualitasnya memenuhi syarat kesehatan dan dapat diminum apabila
telah dimasak. Di daerah lahan basah biasanya masyarakat
mendapatkan air bersih dari PDAM, selebihnya menggunakan sumur
atau sumber lain. Bila datang musim kemarau, krisis air dapat terjadi
dan penyakit dapat muncul.
2. Pembuangan kotoran atau tinja
Masyarakat didaerah lahan basah masih dapat dijumpai membuang
kotoran atau tinja di sungai. Hal ini dapat mencemari sungai dan
menimbulkan penyakit. Metode pembuangan tinja yang baik yaitu
menggunakan jamban
3. Pembuangan sampah
Pembuangan sampah di indonesia masih memprihatinkan, dimana kita
dapat melihat masih banyak masyarakat yang membuang sampah
disungai, masyarakat masih belum terbiasa membuang sampah pada
tempatnya.
Adanya permasalahan kesehatan masyarakat di lahan basah contohnya
Penyakit menular yang ditularkan melalui air sudah menjadi masalah prioritas
kesehatan masyarakat di Indonesia, dimana angka kejadian dan kematiannya
terjadi dalam waktu yang singkat. Penyebaran penyakit ini terkait dengan aktivitas
manusia, di antaranya penebangan hutan, pembangunan pemukiman,
pembangunan bendungan dan perubahan iklim. Malaria, demam kuning (yellow
fever), demam berdarah, filariasis dan encephalitia termasuk penyakit tropika dan
subtropika yang berkaitan dengan lahan basah. Semula keadaan ini membuat
orang menjauhi lahan basah. Dari sisi preservasi lahan basah, ketakutan orang
pada lahan basah dapat dianggap mengandung hikmah. Akan tetapi kemudian,
dengan alasan memberantas penyakit, orang di banyak negara seperti di Eropa,
Amerika Serikat, Amerika Tengah, Afrika dan juga Indonesia, melakukan
pembukaan dan pengatusan lahan basah secara besar-besaran.
Akibatnya, banyak lahan basah menjadi rusak dan yang paling menderita
adalah kawasan mangrove. Pembukaan kawasan mangrove besar-besaran di Jawa,
Panama dan Puerto Rico dengan maksud memberantas nyamuk Anopheles yang
menjadi vektor malaria justru meningkatkan serangan penyakit malaria karena
spesies nyamuknya berganti yang justru menyukai tempat-tempat yang terang. Di
negaranegara yang berhasil membasmi penyakit malaria, seperti di Eropa bagian
selatan, keberhasilan itu diragukan apakah benar karena penghilangan lahan basah
ataukah karena perbaikan sanitasi dan perumahan. Di negara-negara itu sampai
sekarang spesies nyamuk pengantar penyakit malaria masih tetap ada (Maltby,
1986; Dugan, 1990). Jenis penyakit yang bisa terjadi dilahan basah yaitu:
1. Malaria
Malaria merupakan infeksi parasit pada sel merah yang disebabkan
oleh suatu protozoa spesies plasmodium yang di tularkan kemanusia
melalui air liru nyamuk. Orang yang beresiko terinfeksi malaria adalah
anak-anak, balita, wanita hami serta penduduk nonimun yang
mengunjungi daerah endemis malaria serta berpenduduk di daerah
lahan basah (Handay & andi, 2008).
2. Demam kuning (yellow fever)
Demam kuning atau yellow fever merupakan penyakit infeksi yang di
sebabkan oleh virus. Disebut demam kuning karena penyakit ini
ditandai dengan ikterik (mata kuning). Penularan virus ini terjadi
karena gigitan oleh nyamuk yang terinfeksi virus demam kuning
namun penularannya tidak terjadi antar manusia (Cahyono, 2010).
3. Demam berdarah
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD)merupakan salahsatu
masalah kesehatan masyarakat penting di Indonesia dan
seringmenimbulkan suatu letusan Kejadian Luar Biasa (KLB)
dengankematian yang besar. Penyakit DBD adalah penyakit infeksi
oleh virus Dengue yangditularkan melalui gigitan nyamukAedes,
dengan ciri demam tinggimendadak disertai manifestasi perdarahan dan
bertendensimenimbulkan renjatan (shock) dan kematian. Sampai
sekarang penyakit DBD belum ditemukan obat maupunvaksinnya,
sehingga satu-satunya cara untuk mencegah terjadinya penyakit ini
dengan memutuskan rantai penularan yaitu denganpengendalian vektor
(Fathi dkk, 2005).
4. Filariasis
Filariasis adalah penyakit infeksi sistemik kronik yang disebabkan oleh
cacing seperti benang, dari genus Wuchereria dan Brugia yang dikenal
sebagai filaria yang tinggal di sistem limfa (mengandung getah bening),
yaitu jaringan pembuluh yang berfungsi untuk menyangga dan menjaga

Laporan Tutorial Skenario C Blok 22 G2 Page 2


keseimbangan cairan antara darah dan jaringan otot yang merupakan
komponen esensial dari sistem kekebalan tubuh. Filariasis atau yang
lebih dikenal dengan sebutan penyakit “kaki gajah” ini disebabkan oleh
tiga spesies filaria, yaitu Wuchereria brancofti dimana hampir sebagian
besar berada di daerah yang memiliki kelembaban yang cukup tinggi
(Juriastuti dkk,2010).
5. Encephalitia Japanese
encephalitis (JE) merupakan penyakit infeksi akut pada susunan saraf
pusat (SSP) yang ditularkan melalui nyamuk yang terinfeksi virus JE.
Virus JE termasuk dalam famili flavivirus. Japanese encephalitis adalah
infeksi neurologik yang berkaitan erat dengan St. Louis encephalitis
dan West Nile encephalitis. Virus JE menyebar terutama di daerah
pedesaan (rural) di Asia. Virus tersebut disebarkan oleh nyamuk
culicine: nyamuk yang paling sering ditemukan sebagai vektor ialah
Culex tritaeniorhynchus yang dapat menularkan virus JE baik ke
manusia maupun ke hewan peliharaan lainnya. Penyebaran penyakit ini
tergantung musim, terutama pada musim hujan saat populasi nyamuk
Culex meningkat, kecuali di Malaysia, Singapura, dan Indonesia yaitu
sporadik terutama di daerah pertanian seperti di daerah lahan basah
(Rampengan , 2016).

e. Apa saja peran puskesmas terhadap kesehatan lingkungan? 5, 3, 9


Permenkes RI No 13 Th 2015 tt PENYELENGGARAAN PELAYANAN
KESEHATAN LINGKUNGAN DI PUSKESMAS

1. Pelayanan Kesehatan Lingkungan adalah kegiatan atau serangkaian kegiatan


yang ditujukan untuk mewujudkan kualitas lingkungan yang sehat baik dari
aspek fisik, kimia, biologi, maupun sosial guna mencegah penyakit dan/atau
gangguan kesehatan yang diakibatkan oleh faktor risiko lingkungan.
2. Pasien adalah setiap orang yang melakukan konsultasi masalah kesehatan
untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang diperlukan, baik secara langsung
maupun tidak langsung di Puskesmas.
3. Faktor Risiko Lingkungan adalah hal, keadaan, atau peristiwa yang berkaitan
dengan kualitas media lingkungan yang mempengaruhi atau berkontribusi
terhadap terjadinya penyakit dan/atau gangguan kesehatan.
4. Tenaga Kesehatan Lingkungan adalah setiap orang yang telah lulus pendidikan
minimal Diploma Tiga di bidang kesehatan lingkungan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundangan-undangan.

Dalam Permenkes RI: No 3 Th 2014 : tt Sanitasi Total Berbasis Masyarakat


disebutkan :

1. Sanitasi Total Berbasis Masyarakat yang selanjutnya disingkat STBM adalah


pendekatan untuk mengubah perilaku higienis dan saniter melalui
pemberdayaan masyarakat dengan cara pemicuan.
2. Pilar Sanitasi Total Berbasis Masyarakat yang selanjutnya disebut Pilar STBM
adalah perilaku higienis dan saniter yang digunakan sebagai acuan dalam
penyelenggaraan Sanitasi Total Berbasis Masyarakat.

Laporan Tutorial Skenario C Blok 22 G2 Page 3


3. Pemicuan adalah cara untuk mendorong perubahan perilaku higiene dan
sanitasi individu atau masyarakat atas kesadaran sendiri dengan menyentuh
perasaan, pola pikir, perilaku, dan kebiasaan individu atau masyarakat.
4. Stop Buang Air Besar Sembarangan adalah kondisi ketika setiap individu
dalam suatu komunitas tidak lagi melakukan perilaku buang air besar
sembarangan yang berpotensi menyebarkan penyakit.
5. Cuci Tangan Pakai Sabun adalah perilaku cuci tangan dengan menggunakan air
bersih yang mengalir dan sabun.
6. Pengelolaan Air Minum dan Makanan Rumah Tangga adalah melakukan
kegiatan mengelola air minum dan makanan di rumah tangga untuk
memperbaiki dan menjaga kualitas air dari sumber air yang akan digunakan
untuk air minum, serta untuk menerapkan prinsip higiene sanitasi pangan
dalam proses pengelolaan makanan di rumah tangga.
7. Pengamanan Sampah Rumah Tangga adalah melakukan kegiatan pengolahan
sampah di rumah tangga dengan mengedepankan prinsip mengurangi,
memakai ulang, dan mendaur ulang.
8. PengamananLimbah Cair Rumah Tangga adalah melakukan kegiatan
pengolahan limbah cair di rumah tangga yang berasal dari sisa kegiatan
mencuci, kamar mandi dan dapur yang memenuhi standar baku mutu kesehatan
lingkungan dan persyaratan kesehatan yang mampu memutus mata rantai
penularan penyakit.

Dasar hukum diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia


Nomor 13 Tahun 2015 Tentang Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan
Lingkungan di Puskesmas.
Salah satu visi dari puskesmas adalah adanya program kegiatan penyehatan
lingkungan berupa:
1. Jumlah desa/kelurahan yang melaksanakan STBM
2. Persentase sasaran air minum yang dilakukan pengawasan
3. Jumlah tempat-tempat umum (TTU) yang diawasi memenuhi syarat
kesehatan lingkungan
4. Presentase tempat pengelolaan makanan (TPM) yang dilakukan pengawasan
5. Jumlah kabupaten/kota sehat (kumulatif)
6. Jumlah pasar yang memenuhi syarat kesehatan yang dilakukan pengawasan

f. Apa dampak dari drainase yang terhambat karena sampah sehingga


membentuk genangan-genangan air? 6, 11, 7
g. Apa dampak system pembuangan open dumping terhadap lingkungan di desa
tersebut? 7, 10, 8
h. Apa saja risiko kesehatan membakar sampah? 8, 9, 6

Laporan Tutorial Skenario C Blok 22 G2 Page 4


i. Bagaimana cara mengedukasi agar masyarakat tidak membuang sampah
sembarangan? 9, 8, 5
Contoh poster :

- Promosi kesehatan di Puskesmas, yaitu secara internal dan eksternal. Bentuk


promosi kesehatan di internal puskesmas dapat berupa poster-poster atau
anjuran-anjuran perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS). Salah satu poster
yang ada di Puskesmas adalah poster kesehatan “Membuang sampah pada
tempatnya”. Poster yang ada di Puskesmas berasal dari Dinas Kesehatan
(Dinkes) dan Puskesmas itu sendiri. Pemasangan poster juga harus
memperhatikan mengenai luasa Kawasan. Jika Kawasan yang sempit maka
poster yang dipasang ialah postr yang. Berasal dari puskesmas itu sendiri.
Karakteristik poster dari Dinkes berukuran lebih besar dan disertai gambar dan
tulisan ajakannya. Namun karakteristik poster dari Puskesmas berukuran relatif
lebih kecil dan juga poster dari Puskesmas itu sendiri menekankan pada isi
pesan kesehatan dan tidak disertai gambar.
- Perilaku membuang sampah dipengaruhi oleh pengetahuan kondisi
lingkungan. Perubahan perilaku dapat dilakukan melalui dunia pendidikan
dengan cara memberikan pelajaran tentang sampah kepada anak-anak didik
sejak mulai dari TK sampai Perguruan Tinggi. Pemerintah bisa
menyelengarakan pelatihan, penyuluhan, atau seminar-seminar tentang

Laporan Tutorial Skenario C Blok 22 G2 Page 5


pengelolaan sampah. Proses penyadaran dilakukan di seluruh lapisan
masyarakat. Proses penyadaran dimulai dari aparat pemerintahan kemudian ke
desa dan lanjut ke masyarakat. Perusahaan-perusahaan bisa menyalurkan
sebagian dana CSR untuk program-program penyadaran masyarakat tentang
pengelolaan sampah yang baik. Dari kegiatan-kegiatan di atas secara bertahap
diharapkan terjadi perubahan perilaku masyarakat. Masyarakat tidak lagi
membuang sampah sembarangan. Masyarakat tidak membuang sampah di
selokan atau saluran air. Masyarakat membuang sampah pada tempatnya.
Masyarakat mulai memisah-misahkan sampah sesuai kelompoknya: organik,
plastik, logam, dan kaca. Masyarakat tidak lagi membakar sampah. Dan yang
lebih penting muncul ’social control’ dari masyarakat itu sendiri untuk
mengelola sampah dengan baik. Misalnya saja ada semacam hukuman sosial
jika ada orang yang membuang sampah sembarangan. Atau orang akan
menegur orang lain yang membuang sampah sembarangan. Lebih jauh lagi,
orang malu dan takut membuang sampah sembarangan. Yang menjadi tujuan
utama sosialisasi adalah membangkitkan kesadaran warga agar menjaga
kebersihan lingkungan dan tidak membuang sampah sembarang mengingat
bahaya yang ditimbulkan akibat membuang sampan sembarangan, serta
terjangkaunya lokasi TPA, untuk itu TPA(Tempat Pembuangan Akhir)
terdapat di tepi jalan utama yang merupakan tanah milik desa dan brosur yang
dibagikan saat sosialisasi disertai dengan penggolongan sampah beserta konsep
pembuangan sampah yang disajikan melalui bagan dan gambar jadi warga
dapat dengan mudah memahaminya

Edukasi :
Membuang sampah sembarangan merupakan salah satu pelanggaran etika yang
sering dijumpai, ada banyak dampak negatif yang ditimbulkan dari membuang
sampah sembarangan yaitu seperti banjir, wabah penyakit dan tentunya
kerusakan lingkungan yang lainnya. Sedangkan Darmono (2010) menyatakan
bahwa beberapa dampak lainnya adalah terjadinya pencemaran udara yang
merusak lapisan ozon sehingga menimbulkan pemanasan global; pencemaran
air yang berupa pencemaran substansi kimia dan radioaktif yang mengganggu
fauna misalnya keracunan hingga terjadinya kerusakan genetik dan gangguan
reproduksi atau perkembangbiakan; dan perpindahan emisi logam yang
mempengaruhi kesehatan makhluk hidup. Racun dari sampah saat ini telah
banyak berubah. Sampah plastik dibuat dari bahan sintetis, umumnya
menggunakan minyak bumi sebagai bahan dasar, ditambah bahan-bahan
tambahan yang umumnya merupakan logam berat (kadnium, timbal, nikel)
atau bahan beracun lainnya seperti Chlor. Racun dari plastik ini terlepas pada
saat terurai atau terbakar. Penguraian plastik akan melepaskan berbagai jenis
logam berat dan bahan kimia lain yang dikandungnya. Bahan kimia ini terlarut
dalam air atau terikat di tanah, dan kemudian masuk ke tubuh kita melalui
makanan dan minuman. Sedangkan pembakaran plastik menghasilkan salah
satu bahan paling berbahaya di dunia, yaitu Dioksin. Dioksin adalah salah satu
dari sedikit bahan kimia yang telah diteliti secara intensif dan telah dipastikan
menimbulkan Kanker. Bahaya dioksin sering disejajarkan dengan DDT, yang
sekarang telah dilarang di seluruh dunia. Selain dioksin, abu hasil pembakaran
juga berisi berbagai logam berat yang terkandung di dalam plastik.

Laporan Tutorial Skenario C Blok 22 G2 Page 6


j. Bagaimana teknik pembuangan sampah yang tepat pada kasus? 10, 7, 4
k. Bagaimana dampak sumber air yang digabung antara MCK dan sumber air
rumah tangga? 11, 6, 3
l. Bagaimana irigasi persawahan yang baik? 1, 5, 11

 Syarat Utama Irigasi

Irigasi memainkan peranan penting dalam usaha meningkatkan hasil pangan.


Kerena dengan irigasi kebutuhan air untuk tanaman dapat terpenuhi. Sehingga
proses pertumbuhan tanaman dapat berjalan dengan baik. Syarat utama irigasi
yang merupakan tempat unsur fungsional pokok yang harus ada dalam irigasi,
yaitu :
1. Jaringan pembawa berupa saluran yang mengalirkan air irigasi ke petak-petak
tersier.
2. Petak-petak tersier dengan system pembagian air dan sistem pembuangan
kolektif, air irigasi dibagi-bagi dan di alirkan ke sawah-sawah dan kelebihan air
ditampung di dalam suatu sistem pembuangan dalam petak tersier.
3.   Sistem pembuang yang ada di luar daeah irigasi untuk membuang kelebihan
air di sungai atau saluran-saluran alamiah.
4. Tersedianya sumber air dan air yang berlimpah untuk dapat mengalirkan air
agar dapat berguna bagi makhluk hidup. Karena jika tidak tersedia air yang
melimpah atau cukup banyak, maka air tidak bisa diribusikan untuk memenuhi
kebutuhan makhluk hidup.

Dengan adanya bangunan-bangunan utama, jaringan pembawa, petak-petak


tersier, dan system pembuang dapat mengorganisir air agar dapat cukup untuk
memenuhi kebutuhan agar tidak boros. Karena apabila tidak tedapat empat
unsur  fungsional pokok irigasi, air tidak dapat terorganisir dengan baik dan
terjadi pemborosan air, serta bisa saja air tidak sampai ke daerah yang lebih
tinggi dari sumber air.

 Syarat Utama Air, Tanah, dan Tanaman Untuk Irigasi

Tanah merupakan proses penguraian batuan yang terdiri dari proses mekanik
disintegrasi dan proses kimia dekomposisi. Ada beberapa jenis tanah yang
mempunyai komposisi mineral yang sama dengan batu asalnya atau beberapa
mineral baru karena dimungkinkan bersenyawa dengan air, karbondioksida dan
mineral organik lainnya.

Tanah mendukung pertumbuhan tanaman dengan menyediakan air dan oksigen


yang sangat berguna bagi tanaman. Di dalam tanah selain terdapat air tanah
juga terdapat udara, mineral, dan karbonat bebas yang tersimpan pada lapisan
teratas bumi. Juga terdapat sisa-sisa tanaman dan hewan (fosil) dengan
berbagai macam tingkatan dekomposisi.

Sifat fisik tanah mempengaruhi kesuburan tanah dan daya tumbuh tanaman.
Sifat fisik terpenting yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman adalah tekstur
tanah dan struktur tanah. Menurut ukurannya butiran tanah dibedakan atas
pasir, lumpur, dan tanah liat.

Laporan Tutorial Skenario C Blok 22 G2 Page 7


Untuk mendapatkan mutu tanah yang baik dan lahan yang baik untuk untuk
irigasi perlu diperhatikan ciri fisik dan ciri kimianya, yaitu :

Ciri-ciri fisik :

 Tekstur dan struktur tanah


 Permeabilitas dan tingkat infiltrasi
 Kapasitas menyimpan air
 Kemiringan lahan dan ke dalaman permukaan tanah
 Drainability dan kedalaman lapisan batu

Ciri-ciri kimia :

 Cation-exchange capacity
 Exchangeable cation
 Alkaline earth carbonates
 Toxic ion salinity

m. Berapa idealnya jumlah wilayah kerja yang dipegang oleh satu puskesmas? 2,
3, 10
2. Puskesmas “Manggis” mempunyai SDM Kesehatan yang belum lengkap sehingga
belum terakreditasi. Puskesmas ini belum mempunyai PWS yang lengkap yang
menggambarkan kinerja program wilayah kerja Puskesmas “Manggis”. Dalam 7 hari
ini ada 5 orang anak Sekolah Dasar yang didiagnosa Demam Berdarah Dengue yang
dirujuk ke Rumah Sakit. Bulan September Tahun lalu terdiagnosa DBD 15 orang. Dari
evaluasi program terjadi peningkatan kasus DBD 2 kali dibandingkan bulan sama pada
tahun lalu.
a. Apa saja kriteria kelengkapan SDM di puskesmas berdasarkan akreditasi? 3, 4, 9
b. Bagaimana persyaratan dan penilaian akreditasi puskesmas? 4, 11, 8
Dasar hukum diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 46 Tahun 2015 tentang Akreditasi Puskesmas, Klinik Pratama, Tempat
Praktik Mandiri Dokter, dan Tempat Mandiri Dokter Gigi.
Penilaian keberhasilan Puskesmas dapat dilakukan oleh internal organisasi
Puskesmas itu sendiri, yaitu dengan ”Penilaian Kinerja Puskesmas,” yang
mencakup manajemen sumber daya termasuk alat, obat, keuangan dan tenaga,
serta didukung dengan manajemen sistem pencatatan dan pelaporan, disebut
Sistem Informasi Manajemen Puskesmas (SIMPUS). Tujuan utama akreditasi
Puskesmas adalah untuk pembinaan peningkatan mutu, kinerja melalui perbaikan
yang berkesinambungan terhadap sistem manajemen, sistem manajemen mutu dan

Laporan Tutorial Skenario C Blok 22 G2 Page 8


sistem penyelenggaraan pelayanan dan program, serta penerapan manajemen
risiko, dan bukan sekedar penilaian untuk mendapatkan sertifikat akreditasi.
Struktur standar akreditasi Puskesmas terdiri dari 9 bab, dengan total 776
elemen penilaian, setiap bab akan diuraikan dalam standar, tiap standar akan
diuraikan dalam kriteria, tiap kriteria diuraikan dalam elemen penilaian untuk
menilai penilaian kriteria tersebut.
BAB Judul Jumlah Jumlah Jumlah Elemen
Standar Kriteria Penilaian
I Penyelenggaraan Pelayanan Puskesmas 3 13 59
(PPP)
II Kepemimpinan dan Manajemen 6 29 121
Puskesmas (KMP)
III Peningkatan Mutu dan Manajemen 1 7 32
Risiko (PMMR)
IV Upaya Kesehatan Masyarakat yang 3 10 53
berorientasi sasaran (UKMBS)
V Kepemimpinan dan Manajemen Upaya 7 22 101
Kesehatan Masyarakat (KMUKM)
VI Sasaran Kinerja UKM (SKUKM) 1 6 29
VII Layanan Klinis yang Berorientasi Pasien 10 33 151
(LKBP)
VIII Manajemen Penunjang Layanan Klinis 7 36 172
(MPLK)
XI Peningkatan Mutu Klinis dan 4 12 58
Keselamatan Pasien (PMKP)

Akreditasi Puskesmas menilai tiga kelompok pelayanan di Puskesmas, yaitu:


1. Kelompok Administrasi Manajemen, yang diuraikan dalam :
a. Penyelenggaraan Pelayanan Puskesmas (PPP)
b. Kepemimpinan dan Manajemen Puskesmas (KMP)
c. Peningkatan Mutu Puskesmas (PMP)
2. Kelompok Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM), yang diuraikan dalam:
a. Upaya Kesehatan Masyarakat yang Berorientasi Sasaran (UKMBS)
b. Kepemimpinan dan Manajemen Upaya Kesehatan Masyarakat (KMUKM)
KETENAGAAN PUSKESMAS
 Kepala Puskesmas adalah tenaga kesehatan yang kompeten sesuai
dengan peraturan perundangan.

Laporan Tutorial Skenario C Blok 22 G2 Page 9


- Kepala Puskesmas adalah tenaga kesehatan.
- Ada kejelasan persyaratan Kepala Puskesmas.
- Ada kejelasan uraian tugas Kepala Puskesmas.
- Terdapat bukti pemenuhan persyaratan penanggung jawab sesuai
dengan yang ditetapkan.
 Tersedia tenaga medis, tenaga kesehatan lain, dan tenaga non kesehatan
sesuai dengan kebutuhan dan jenis pelayanan yang disediakan.
- Dilakukan analisis kebutuhan tenaga sesuai dengan kebutuhan dan
pelayanan yang disediakan.
- Ditetapkan persyaratan kompetensi untuk tiap-tiap jenis tenaga
yang dibutuhkan.
- Dilakukan upaya untuk pemenuhan kebutuhan tenaga sesuai dengan
yang dipersyaratkan.
- Ada kejelasan uraian tugas untuk setiap tenaga yang bekerja di
Puskesmas.
- Persyaratan perizinan untuk tenaga medis, keperawatan, dan tenaga
kesehatan yang lain dipenuhi
c. Sasaran Kinerja Upaya Kesehatan Masyarakat
3. Kelompok Upaya Kesehatan Perorangan, yang diuraikan dalam:
a. Layanan Klinis yang Berorientasi Pasien (LKBP)
b. Manajemen Penunjang Layanan Klinis (MPLK)
c. Peningkatan Mutu Klinis dan Keselamatan Pasien (PMKP)

c. Bagaimana kriteria PWS yang lengkap? 5, 10, 6


- Adanya surveilans epidemiologi
Kegiatan Surveilans Epidemiologi memerlukan data dan informasi
epidemiologi yang lengkap, akurat, tepat waktu dan aksesibilitas untuk dapat
menghasilkan informasi Kejadian Luar Biasa (KLB) penyakit. Informasi
tersebut akan digunakan untuk kegiatan kewaspadaan dini (SKD) KLB dan
menjadi dasar penentuan kegiatan Pemantauan Wilayah Setempat (PWS).
- Menurut Petunjuk Pelaksanaan Surveilans Epidemiologi Penyakit Informasi
yang hasil Surveilans epidemiologi untuk kewaspadaan dini Kejadian Luar
Biasa (KLB). hendaknya lengkap yaitu mencakup variabel epidemiologi

Laporan Tutorial Skenario C Blok 22 G2 Page 10


tempat, yaitu dapat ditunjukkan dengan mapping penderita menurut wilayah
tertentu, misalnya kelurahan
d. Bagaimana epidemiologi kejadian DBD pada kasus? 6, 9, 7
Penyakit DBD telah menjadi penyakit yang mematikan sejak tahun 2013.
Penyakit ini telah tersebar di 436 kabupaten/kota pada 33 provinsi di Indonesia.
Jumlah kematian akibat DBD tahun 2015 sebanyak 1.071 orang dengan total
penderita yang dilaporkan sebanyak 129.650 orang. Nilai Incidens Rate (IR) di
Indonesia tahun 2015 sebesar 50,75% dan Case Fatality Rate (CFR) 0,83%.
Jumlah kasus tercatat tahun 2014 sebanyak 100.347 orang dengan IR sebesar
39,80% dan CFR sebesar 0,90% (Kemenkes RI, 2016b). Kota Blitar merupakan
wilayah ke 13 di Jawa Timur dengan kasus DBD yang tinggi pada tahun 2015-
2017 (Gambar 1). 0 200 400 600 800 1000 1200 1400 1600 1800 Bangkalan K.
Batu K. Blitar Bondowoso Jember Kediri Lamongan Madiun Magetan K.
Malang K. Mojokerto Ngawi Pamekasan K.pasuruan Probolinggo Sampang
Situbondo Surabaya Tuban 2015 2016 2017.

Kasus DBD dipengaruhi oleh jumlah penduduk pada suatu wilayah yang
dicerminkan melalui perhitungan Incidence Rate (IR). Incidence Rate dari kota
Blitar tahun 2016 adalah 189 per 100.000 orang. Nilai IR tersebut termasuk
dalam klasifikasi sangat tinggi (Kemenkes RI, 2016b).

Di Indonesia, KLB DBD sering terjadi pada saat perubahan musim dari kemarau
ke hujan atau sebaliknya. Hampir sebagian besar wilayah Indonesia endemis

Laporan Tutorial Skenario C Blok 22 G2 Page 11


DBD. KLB DBD dapat terjadi di daerah yang memiliki sistim pembuangan dan
penyediaan air tidak memadai, baik di perdesaan maupun perkotaan. Serangan
DBD sering terjadi pada daerah yang padat penduduk dan kumuh (slum area)
Frekuensi KLB DBD semakin tahun semakin meningkat, daerah yang terserang
juga semakin meluas. Berdasarkan data yang ada dapat diidentifikasi terjadinya
peningkatan frekuensi serangan setiap 3-5 tahun sekali dengan jumlah penderita
yang lebih besar. Walaupun risiko kematian diantara penderita DBD (CFR)
semakin menurun tetapi jumlah kematian DBD (angka kematian) semakin
meningkat.

e. Apakah pada kasus ini merupakan KLB? Disertai alasan 7, 8, 5


7 (tujuh) Kriteria Kejadian Luar Biasa (KLB) Menurut Permenkes 1501
Tahun 2010 adalah
1. Timbulnya suatu penyakit menular tertentu yang sebelumnya tidak ada atau
tidak dikenal pada suatu daerah
2. Peningkatan kejadian kesakitan terus-menerus selama 3 (tiga) kurun waktu
dalam jam, hari atau minggu berturut-turut menurut jenis penyakitnya
3. Peningkatan kejadian kesakitan dua kali atau lebih dibandingkan dengan
periode sebelumnya dalam kurun waktu jam, hari, atau minggu menurut jenis
penyakitnya
4. Jumlah penderita baru dalam periode waktu 1 (satu) bulan menunjukkan
kenaikan dua kali atau lebih dibandingkan dengan angka rata-rata jumlah per
bulan dalam tahun sebelumnya
5. Rata-rata jumlah kejadian kesakitan per bulan selama 1 (satu) tahun
menunjukkan kenaikan dua kali atau lebih dibandingkan dengan rata-rata
jumlah kejadian kesakitan per bulan pada tahun sebelumnya
6. Angka kematian kasus suatu penyakit (Case Fatality Rate) dalam 1 (satu)
kurun waktu tertentu menunjukkan kenaikan 50% (lima puluh persen) atau
lebih dibandingkan dengan angka kematian kasus suatu penyakit periode
sebelumnya dalam kurun waktu yang sama
7. Angka proporsi penyakit (Proportional Rate) penderita baru pada satu
periode menunjukkan kenaikan dua kali atau lebih dibanding satu periode
sebelumnya dalam kurun waktu yang sama

Laporan Tutorial Skenario C Blok 22 G2 Page 12


KLB DBD ditetapkan bila ditemukan satu atau lebih kondisi berikut:
1) Timbulnya suatu penyakit menular tertentu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 Permenkes No. 1501/2010, yang sebelumnya tidak ada atau tidak
dikenal pada suatu daerah.
2) Jumlah penderita baru dalam periode waktu 1 (satu) bulan menunjukkan
kenaikan dua kali atau lebih dibandingkan dengan angka rata-rata per
bulan dalam tahun sebelumnya  Pada kasus
3) Angka kematian kasus suatu penyakit (Case Fatality Rate) dalam 1 (satu)
kurun waktu tertentu menunjukkan kenaikan 50% (lima puluh persen) atau
lebih dibandingkan dengan angka kematian kasus suatu penyakit periode
sebelumnya dalam kurun waktu yang sama.

f. Bagaimana tahap-tahap SKD pada kasus? 8, 7, 4


1) Kajian Epidemiologi Ancaman KLB
Melaksanakan pengumpulan data dan pengolahan data serta informasi
gigitan HPR, kesakitan dan kematian rabies pada manusia dan hewan,
kondisi rentan KLB seperti populasi HPR, cakupan imunisasi anjing atau
HPR serta ketersediaan logistik penanggulangan di Puskesmas dan Dinas
Kesehatan. Peringatan Kewaspadaan Dini KLB
Bila dari kajian epidemiologi adanya kecenderungan ancaman KLB (adanya
cakupan imunisasi HPR rendah, peningkatan gigitan dan dan adanya kasus
HPR positif rabies) maka diberikan peringatan kewaspadaan dini
kemungkinan adanya ancaman KLB kepada pemangku kepentingan
(Puskesmas, Rumah Sakit, Peternakan, Camat, Kepala Desa/Lurah, Bupati,
Walikota dan lain-lain)
2) Peningkatan Kewaspadaan dan Kesiapsiagaan terhadap KLB
Peningkatan dan penyelidikan lebih dalam mengenai kondisi rentan KLB
dengan melaksanakan PWS kondisi rentan KLB. Melakukan PWS penyakit
potensial KLB (Rabies) secara intensif di Puskesmas dan Puskesmas
pembantu.
3) Penyelidikan awal tentang adanya KLB. Melakukan penyuluhan kesehatan
untuk mendorong kewaspadaan KLB di Puskesmas, Pustu, klinik lainnya
dan masyarakat.
Kesiapsiagaan menghadapi KLB antara lain Tim Gerak Cepat Puskesmas,
Kabupaten/Kota, Logistik dan lain-lain. Menjalin koordinasi dan kerjasama
dengan program dan lintas sektor terkait untuk memperbaiki kondisi rentan
KLB rabies eperti : imunisasi HPR, eliminasi HPR tak berpemilik,
pengawasan gigitan HPR dan lain-lain.

Laporan Tutorial Skenario C Blok 22 G2 Page 13


Peningkatan SKD-KLB di daerah endemis antraks pada manusia dengan
bekerjasama dengan sektor peternakan dalam SKD-KLB antraks pada hewan.
Spora antraks di tanah atau pada kulit hewan dapat bertahan dalam periode
waktu yang lama. Spora di tanah akan terdorong naik ke permukaan tanah
bersamaan dengan tumbuh-tumbuhan atau penggalian, sehingga dapat menulari
kaki manusia, dimakan binatang bersamaan dengan rumput atau tanaman lain.
Pada daerah tertular penyakit Antraks perlu menjadi kewaspadaan pada saat
menjelang perayaan hari Raya Idul Fitri/Adha, biasanya kebutuhan ternak
(daging) meningkat, sehingga banyak pemotongan hewan tidak dilakukan di
Rumah Pemotongan Hewan (RPH) yang ada, serta saat perubahan musim (dari
Kemarau ke penghujan). Lokasi tersebut perlu diwaspadai.

Laporan Tutorial Skenario C Blok 22 G2 Page 14


g. Bagaimana penilaian kinerja puskemas? 9, 6, 3
3. dr. Desi mengadakan pertemuan dengan seluruh staf Puskesmas untuk melihat jadwal
kegiatan Promosi kesehatan dan kesehatan lingkungan di wilayah Puskesmas dan
PHBS di Sekolah Dasar tsb. Dari hasil pertemuan dengan staf Puskesmas dalam 3
bulan ini kegiatan promosi kesehatan yang berhubungan dengan kesehatan lingkungan
belum terlaksana, sampah menumpuk, dan banyak sampah yang masuk selokan
sehingga menghambat saluran air dan dari hasil pemantauan, banyak jentik-jentik

Laporan Tutorial Skenario C Blok 22 G2 Page 15


nyamuk di air yang tergenang, persawahan dan di rumah-rumah penduduk. Dari hasil
laboratorium terdapat 3 jenis jentik nyamuk yaitu Aedes aegypti, Aedes albopictus dan
Anopheles. Program Fogging yang diadakan di dalam Desa belum memiliki jadwal
yang jelas, terkadang satu kali atau dua kali setahun.
a. Bagaimana pelaksanaa PHBS di sekolah dasar? 10, 5, 11
Indikator PHBS Di Sekolah
PHBS Di Sekolah merupakan langkah untuk memberdayakan siswa,guru dan
masyarakat lingkungan sekolah agar bisa dan mau melakukan perilaku hidup
bersih dan sehat dalam menciptakan sekolah yang sehat.

Contoh phbs di sekolah

 Mencuci tangan dengan sabun sebelum dan sesudah makan,


 Mengkonsumsi jajanan sehat,
 Menggunakan jamban bersih dan sehat
 Olahraga yang teratur
 Memberantas jentik nyamuk
 Tidak merokok di lingkungan sekolah
 Membuang sampah pada tempatnya, dan
 Melakukan kerja bakti bersama warga lingkungan sekolah untuk menciptakan
lingkungan yang sehat.

 Pembinaan PHBS di Institusi Pendidikan

Di ins pendidikan, pembinaan PHBS dilaksanakan melalui ketan Usaha Kesehatan


Sekolah (UKS) yan terintrasi denan kiatan penmbanan dan pembinaan Desa Siaga dan
Kelurahan Siaga Aktif. Namun demikian, tanggung jawab pembinaan yang terendah
tidak diletakkan di tingkat kecamatan, melainkan di tingkat kabupaten/kota (Pokjanal
Kabupaten/Kota).

a. Pemberdayaan
Pemberdayaan di instusi pendidikan seperti sekolah, madrasah, pesantren, seminari
dan lain-lain, dilakukan terhadap para anak didik. Sebagaimana di desa atau
kelurahan, di sebuah institusi pendidikan pemberdayaan juga diawali denan penoani-
sasian masyarakat (yaitu masyarakat instusi pendidikan tersebut). Pengorganisasian
masyarakat ini adalah untuk membentuk atau merevitalisasi Tim Pelaksana UKS atau
yan disebut dengan nama lain dan para pendidik di instusi pendidikan yan
bersangkutan (pengembangan kapasitas pengelola). Dengan pengorganisasian
masyarakat di institusi pendidikan tersebut, maka selanjutnya pemberdayaan anak
didik dapat diserahkan kepada pimpinan insi pendidikan, komite atau dewan
penyantun, Tim Pelaksana UKS atau yan disebut denan nama lain, para pendidik, dan
anak-anak didik yang ditunjuk sebagai kader (misalnya dokter kecil).

 Pemberdayaan dilaksanakan di berbagai kesempatan, yaitu terintegrasi dalam proses


belajar- mengajar (kurikuler) dan dalam kegiatan-kegiatan di luar proses belajar-
mengajar (ekstra kurikuler). Juga dapat dilaksanakan melalui penyelenggaraan Klinik

Laporan Tutorial Skenario C Blok 22 G2 Page 16


Konsultasi Kesehatan (UKBM) yang dikelola oleh para pendidik dan kader dibantu
petugas kesehatan dari Puskesmas/rumah sakit/dinas kesehatan.

2. Bina Suasana
Bina suasana di institusi pendidikan selain dilakukan oleh para pendidik, juga oleh
para pemuka masyarakat (khususnya pemuka masyarakat bidan pendidikan dan
agama), pengurus organisasi anak didik seperti OSIS dan sejenisnya, Pramuka dan
para kader. Para pendidik, pemuka masyarakat, pengurus organisasi anak didik,
Pramuka dan kader berperan sebaai panutan dalam mempraktekkan PHBS di
pendidikan tersebut. Bina suasana juga dapat dilakukan dengan pemanfaatan media
seperti billboard di halaman, poster di kelas, pertunjukan film, pembuatan
makalah/berita di majalah dinding atau majalah sekolah, serta penyelenggaraan
seminar/simposium/diskusi, pakar atau alim-ulama atau publik untuk berceramah,
pemanfaatan halaman untuk taman obat/taman gizi dan lain-lain.
3. Advokasi
Advokasi dilakukan oleh fasilitator dari kabupaten/ kota/provinsi terhadap para
pemilik/pimpinan institusi pendidikan, para pendidik dan pengurus organisasi peserta
didik, agar mereka berperan serta dalam kegiatan pembinaan PHBS di institusi
pendidikannya. Para pemilik/pimpinan institusi pendidikan misalnya, harus
memberikan dukungan kebijakan/pengaturan dan menyediakan sarana agar PHBS di
Institusi Pendidikannya dapat dipraktekkan. Advokasi juga dilakukan terhadap para
penyandan dana, termasuk pengusaha, agar mereka membantu upaya pembinaan
PHBS di Institusi Pendidikan.

Kegiatan-kegiatan pemberdayaan, bina suasana dan advokasi di institusi pendidikan


tersebut di atas harus didukung oleh kegiatan-kegiatan (1) bina suasana PHBS di
Pendidikan dalam lingkup yang lebih luas (kecamatan, kabupaten/kota, provinsi dan
nasional) dengan memanfaatkan media massa berjangkauan luas seperti surat kabar,
majalah, radio, televisi dan internet; serta (2) advokasi secara berjenjang dari tingkat pusat
ke tingkat provinsi, dan dari tingkat provinsi ke tingkat kabupaten/kota.

b. Bagaimana kegiatan promosi kesehatan di puskesmas? 11, 4, 10


1. Strategi Promosi Kesehatan
Promosi kesehatan diharapkan dapat melaksanakan strategi yang bersifat
paripurna (komprehensif), khususnya dalam menciptakan perilaku baru. Kebijakan
Nasional Promosi Kesehatan telah menetapkan tiga strategi dasar promosi
kesehatan, yaitu: Advokasi, Bina suasana, dan Gerakan pemberdayaan. Dalam
program pengendalian DBD strategi promosi kesehatan yang harus dilakukan
adalah (1) pemberdayaan masyarakat, (2) pembinaan susana lingkungan sosialnya,
dan (3) advokasi kepada pihak-pihak yang dapat mendukung terlaksananya
program pengendalian DBD.
a. Gerakan Pemberdayaan
Gerakan pemberdayaan masyarakat juga merupakan cara untuk menumbuhkan
dan mengembangkan norma yang membuat masyarakat mampu untuk

Laporan Tutorial Skenario C Blok 22 G2 Page 17


pengendalian DBD secara mandiri. Strategi ini tepatnya ditujukan pada sasaran
primer (msyarakat umum) agar berperan serta secara aktif dalam pengendalian
DBD. Pemberdayaan akan lebih berhasil jika dilaksanakan melalui kemitraan
serta menggunakan metode dan teknik yang tepat. Pada saat ini banyak
dijumpai Lembaga-lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak di
bidang kesehatan atau peduli terhadap kesehatan. Kunci keberhasilan gerakan
pemberdayaan adalah membuat orang tersebut memahami bahwa penyakit
DBD adalah masalah baginya dan bagi masyarakatnya. Sepanjang orang yang
bersangkutan belum mengetahui dan menyadari bahwa sesuatu itu merupakan
masalah, maka orang tersebut tidak akan bersedia menerima informasi apa pun
lebih lanjut. Manakala ia telah menyadari masalah yang dihadapinya, maka
kepadanya harus diberikan informasi umum lebih lanjut tentang masalah yang
bersangkutan.

Laporan Tutorial Skenario C Blok 22 G2 Page 18


b. Strategi Bina Suasana
Bina Suasana adalah upaya menciptakan opini atau lingkungan sosial yang
mendorong individu anggota masyarakat untuk mau melakukan
penanggulangan DBD. Seseorang akan terdorong untuk mau melakukan
sesuatu apabila lingkungan sosial di mana pun ia berada memiliki opini yang
positif terhadap perilaku tersebut.
 Sasaran dari kegiatan ini adalah sebagai berikut:
- Kader dan Tokoh masyarakat
- Lintas program (Intern Dep. Kesehatan)
- Lintas sektor (Sektor terkait)
- Organisasi pemuda (Karang Taruna, Saka Bakti Husada, dll)
- Organisasi Profesi (misalnya IBI, IDI, dll)
- Organisasi Wanita (Dharma Wanita, IWAPI, KOWANI, dll)
- Organisasi keagamaan (Pengajian, Majelis Taklim, Ibadah Rumah
Tangga)
- Organisasi Kesenian
- Lembaga Swadaya Masyarakat.
 Metode Bina Suasana
- Orientasi
- Pelatihan
- Kunjungan lapangan
- Jumpa pers
- Dialog terbuka/interaktif diberbagai media
- Lokakarya/seminar
- Penulisan artikel di media massa
- Khotbah di tempat peribadatan
 Materi pesan, dengan menggunakan media antara lain media massa cetak
& elektronik (radio, televisi, koran, majalah, situs internet, dan lain-lain),
Media tradisional
- Waspada Nyamuk Demam Berdarah
- Gejala demam berdarah

Laporan Tutorial Skenario C Blok 22 G2 Page 19


- Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) dengan bebas jentik nyamuk
di rumah
- 3 M Plus
 Hasil yang ingin dicapai
- Adanya opini positif berkembang di masyarakat tentang pentingnya
pengendalian DBD
- Semua kelompok potensial di masyarakat ikut menyuarakan dan
mendukung pengendalian DBD
- Adanya dukungan sumber daya (SDM, Dana, Sumber daya lain) dari
kelompok potensial di masyarakat

c. Strategi Advokasi
Advokasi kesehatan adalah upaya secara sistimatis untuk mempengaruhi
pimpinan, pembuat/penentu kebijakan, keputusan dan penyandang dana dan
pimpinan media massa agar proaktif dan mendukung berbagai kegiatan
promosi penanggulangan Penanggulangan DBD sesuai dengan bidang dan
keahlian masing-masing.
 Sasaran advokasi adalah:
- Pimpinan legislative (Komisi DPRD)
- Pimpinan eksekutif (Gubernur, Bupati, Bappeda)
- Penyandang dana
- Pimpinan media massa
- Pimpinan institusi lintas sektoral
- Tokoh Agama/Masyarakat/PKK, organisasi profesi
 Metode Advokasi:
- Lobby
- Pendekatan Informal
- Penggunaan media massa
 Materi Pesan
- Harus diketahui jumlah kasus DBD di wilayahnya
- Program cara pencegahan dan pengendalian DBD

Laporan Tutorial Skenario C Blok 22 G2 Page 20


- Kebijakan dalam pengendalian DBD (menyiapkan tenaga kesehatan,
dan lintas sektor lain untuk melaksanakan program bebas DBD.
 Hasil yang diharapkan
- Adanya dukungan politis, kebijakan/keputusan dan sumber daya
(SDM, dana dan sumber daya lainnya) dalam penanggulangan DBD.
- Terbentuknya forum komunikasi/komite/pokjanal yang beranggotakan
lembaga pemerintah, swasta, LSM, Dunia Usaha, untuk membahas dan
memberi masukan dalam penanggulangan BDB

2. Tindakan Preventif DBD


Pengendalian vektor adalah upaya menurunkan faktor risiko penularan oleh
vektor dengan meminimalkan habitat perkembangbiakan vektor, menurunkan
kepadatan dan umur vektor, mengurangi kontak antara vektor dengan manusia
serta memutus rantai penularan penyakit
a. Kimiawi
Pengendalian vektor cara kimiawi dengan menggunakan insektisida
merupakan salah satu metode pengendalian yang lebih populer di masyarakat
dibanding dengan cara pengendalian lain. Sasaran insektisida adalah stadium
dewasa dan pra-dewasa. Karena insektisida adalah racun, maka
penggunaannya harus mempertimbangkan dampak terhadap lingkungan dan
organisme bukan sasaran termasuk mamalia. Disamping itu penentuan jenis
insektisida, dosis, dan metode aplikasi merupakan syarat yang penting untuk
dipahami dalam kebijakan pengendalian vektor. Aplikasi insektisida yang
berulang di satuan ekosistem akan menimbulkan terjadinya resistensi serangga
sasaran. Golongan insektisida kimiawi untuk pengendalian DBD adalah:
 Sasaran dewasa (nyamuk) adalah : Organophospat (Malathion,
methylpirimiphos), Pyrethroid (Cypermethrine, lamda-cyhalotrine,
cyflutrine, Permethrine & S-Bioalethrine). Yang ditujukan untuk stadium
dewasa yang diaplikasikan dengan cara pengabutan panas/Fogging dan
pengabutan dingin/ULV
 Sasaran pra dewasa (jentik) : Organophospat (Temephos).
b. Biologi
Pengendalian vektor biologi menggunakan agent biologi seperti
predator/pemangsa, parasit, bakteri, sebagai musuh alami stadium pra dewasa

Laporan Tutorial Skenario C Blok 22 G2 Page 21


vektor DBD. Jenis predator yang digunakan adalah Ikan pemakan jentik
(cupang, tampalo, gabus, guppy, dll), sedangkan larva Capung,
Toxorrhyncites, Mesocyclops dapat juga berperan sebagai predator walau
bukan sebagai metode yang lazim untuk pengendalian vektor DBD. Golongan
insektisida biologi untuk pengendalian DBD (Insect Growth Regulator/IGR
dan Bacillus Thuringiensis Israelensis/BTi), ditujukan untuk stadium pra
dewasa yang diaplikasikan kedalam habitat perkembangbiakan vektor.
c. Manajemen Lingkungan
Lingkungan fisik seperti tipe pemukiman, sarana-prasarana penyediaan air,
vegetasi dan musim sangat berpengaruh terhadap tersedianya habitat
perkembangbiakan dan pertumbuhan vektor DBD. Nyamuk Aedes aegypti
sebagai nyamuk pemukiman mempunyai habitat utama di kontainer buatan
yang berada di daerah pemukiman. Manajemen lingkungan adalah upaya
pengelolaan lingkungan sehingga tidak kondusif sebagai habitat
perkembangbiakan atau dikenal sebagai source reduction seperti 3M plus
(menguras, menutup dan memanfaatkan barang bekas, dan plus: menyemprot,
memelihara ikan predator, menabur larvasida dll); dan menghambat
pertumbuhan vektor (menjaga kebersihan lingkungan rumah, mengurangi
tempat-tempat yang gelap dan lembab di lingkungan rumah dll)
d. Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN)
Pengendalian Vektor DBD yang paling efisien dan efektif adalah dengan
memutus rantai penularan melalui pemberantasan jentik. Pelaksanaannya di
masyarakat dilakukan melalui upaya Pemberantasan Sarang Nyamuk Demam
Berdarah Dengue (PSN-DBD) dalam bentuk kegiatan 3 M plus.
 Sasaran, Semua tempat perkembangbiakan nyamuk penular DBD :
- Tempat penampungan air (TPA) untuk keperluan sehari-hari
- Tempat penampungan air bukan untuk keperluan sehari-hari (non-
TPA)
- Tempat penampungan air alamiah
 Ukuran keberhasilan
Keberhasilan kegiatan PSN DBD antara lain dapat diukur dengan Angka
Bebas Jentik (ABJ), apabila ABJ lebih atau sama dengan 95% diharapkan
penularan DBD dapat dicegah atau dikurangi.

Laporan Tutorial Skenario C Blok 22 G2 Page 22


 Cara PSN DBD, PSN DBD dilakukan dengan cara ‘3M-Plus’, 3M yang
dimaksud yaitu:
- Menguras dan menyikat tempat-tempat penampungan air, seperti bak
mandi/wc, drum, dan lain-lain seminggu sekali (M1)
- Menutup rapat-rapat tempat penampungan air, seperti gentong
air/tempayan, dan lain-lain (M2)
- Memanfaatkan atau mendaur ulang barang-barang bekas yang dapat
menampung air hujan (M3).
Selain itu ditambah (plus) dengan cara lainnya, seperti:
- Mengganti air vas bunga, tempat minum burung atau tempat-tempat
lainnya yang sejenis seminggu sekali.
- Memperbaiki saluran dan talang air yang tidak lancar/rusak
- Menutup lubang-lubang pada potongan bambu/pohon, dan lain-lain
(dengan tanah, dan lain-lain)
- Menaburkan bubuk larvasida, misalnya di tempat-tempat yang sulit
dikuras atau di daerah yang sulit air
- Memelihara ikan pemakan jentik di kolam/bak-bak penampungan air
- Memasang kawat kasa
- Menghindari kebiasaan menggantung pakaian dalam kamar
- Mengupayakan pencahayaan dan ventilasi ruang yang memadai
- Menggunakan kelambu
- Memakai obat yang dapat mencegah gigitan nyamuk
Cara-cara spesifik lainnya di masing-masing daerah.
Menurut Kementrian Kesehatan RI. Dalam penanganan DBD, peran serta
masyarakat untuk menekan kasus ini sangat menentukan. Oleh karenanya
program Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) dengan cara 3M Plus perlu
terus dilakukan secara berkelanjutan sepanjang tahun khususnya pada musim
penghujan. Program PSN , yaitu: 1) Menguras, adalah membersihkan tempat
yang sering dijadikan tempat penampungan air seperti bak mandi, ember air,
tempat penampungan air minum, penampung air lemari es dan lain-lain 2)
Menutup, yaitu menutup rapat-rapat tempat-tempat penampungan air seperti
drum, kendi, toren air, dan lain sebagainya; dan 3) Memanfaatkan kembali atau

Laporan Tutorial Skenario C Blok 22 G2 Page 23


mendaur ulang barang bekas yang memiliki potensi untuk jadi tempat
perkembangbiakan nyamuk penular Demam Berdarah.
Gerakkan implementasi PSN 3M-PLUS berupa :

Laporan Tutorial Skenario C Blok 22 G2 Page 24


c. Bagaimana upaya puskesmas untuk mengeliminasi jentik-jentik nyamuk pada
kasus? 1, 3, 9
d. Apa penyakit yang dapat disebabkan oleh nyamuk Aedes aegypti, Aedes
albopictus dan Anopheles? 2, 1, 8
4. Melihat permasalahan yang ada, dr. Desi berkoordinasi dengan Pak Camat, segera
mengadakan pertemuan dengan Kepala Desa, Pak RT, kepala Sekolah, Tokoh agama,
kader Kesehatan mengadakan Survei Mawas Diri dan dilanjutkan dengan Musyawarah
Masyarakat Desa serta diharapkan akan menurunkan frekuensi kejadian penyakit
Demam berdarah Dengue di Kecamatan “Mangga” dan membuat program pengolahan
sampah dan vector control untuk masyarakat desa.
Minggu yang lalu, Puskesmas “Manggis” dikunjungi oleh staf Dinas Kesehatan
Kabupaten karena kegiatan surveillance DBD tidak jalan.
a. Apa yang dimaksud dengan survey mawas diri? 3, 11, 7
Survei Mawas Diri adalah kegiatan pengenalan, pengumpulan danpengkajian
masyarakat kesehatan yang dilakukan oleh kader dan tokokmasyarakat
setempat dibawah bimbingan kepala Desa/Kelurahan danpetugas kesehatan
(petugas Puskesmas, Bidan di Desa).
b. Apa yang dimaksud dengan musyawarah masyarakat desa? 4, 10, 5
Musyawarah Masyarakat Desa (MMD) adalah pertemuan perwakilan warga
desa beserta tokoh masyarakatnya dan para petugas untuk membahas hasil
Survei Mawas Diri dan merencanakan penanggulangan masalah kesehatan
yang diperoleh dari hasil survei mawas diri.
c. Bagaimana cara pelaksanaan survey mawas diri? 5, 9, 6
Cara Pelaksanaan Survei Mawas Diri (SMD)
a) Petugas Puskesmas, Bidan di desa dan kader/kelompok warga
yangditugaskan untuk melaksanakan SMD dengan kegiatan meliputi :
1. Pengenalan instrumen (daftar pertanyaan) yang akandipergunakan
dalam pengumpulan data dan informasi masalahkesehatan.
2. Penentuan sasaran baik jumlah KK ataupun lokasinya
3. Penentuan cara memperoleh informasi masalah kesehatan dengan cara
wawancara yang menggunakan daftar pertanyaan.
b) Kader, tokoh masyarakat dan kelompok warga yang telah
ditunjukmengolah data SMD dengan bimbingan petugas Puskesmas dan
bidandi desa, sehingga dapat diperoleh perumusan masalah kesehatan

Laporan Tutorial Skenario C Blok 22 G2 Page 25


untukselanjutnya merumuskan prioritas masalah kesehatan, lingkungan
danperilaku di desa/kelurahan yang bersangkutan
d. Bagaimana pelaksanaan surveillance DBD pada kasus? 6, 7, 4

Surveillans Epidemiologi

Terdiri dari kegiatan-kegiatan :


a. Penemuan dan pelaporan penderita, di Rumah Sakit, di Puskesmas, di
klinik/dokter praktek swasta, menggunakan sisitm pelaporan yang telah baku.
Penyakit DBD termasuk salah satu penyakit menular yang dapat
menimbulkan wabah, sesuai dengan UU Wabah No 4 tahun 1984, PP no. 4
tahun 1991 tentang Penanggulangan Wabah dan PERMENKES No 560 th
1989 tentang Jenis penyakit yg dapat menimbulkan wabah, maka penderita
DBD wajib dilaporkan dalam waktu < 24 jam. Dokter yg menemukan
penderita/tersangka DBD wajib melaporkannya ke Puskesmas setempat
sesuai dengan tempat tinggal penderita.

Metode :

a. Surveilans pasif : menerima pelaporan.

b. Surveilans aktif : petugas Dinas Kesehatan mendatangi RS/sarana


pelayanan kesehatan yang merawat penderita DBD.

b. Tindak lanjut penanggulangan kasus DBD di lapangan :

1. Penyelidikan epidemiologi
2. Penanggulangan seperlunya meliputi foging fokus, penggerakkan
masyarakat dan penyuluhan untuk PSN serta larvasidasi.
3. Melakukan analis berdasarkan PWS ( Pemantauan Wilayah Setempat )

e. Kapan sebaiknya dilakukan survey mawas diri dan musyawarah masyarakat


desa? 7, 8, 3
f. Apa saja contoh program vector control yang dapat dilakukan? (secara umum)
8, 6, 11
A. Fase vektor :
a. Nyamuk dewasa :
Untuk memutuskan mata rantai penularan maka nyamuk
dewasa yang diduga telah terinfeksi ( sesuai kriteria PE ) harus segera
diberantas dengan cara pengasapan . Bila sebuah daerah dinyatakan
KLB, maka pengasapan massal seluruh area merupakan metode yang
harus dilakukan.
b. Jentik : dengan melakukan PSN dengan kegiatan 3 M Plus :
- Secara fisik : 3 M ( Menguras, Menutup, Mengubur )
- Secara kimiawi : Larvasidasi ( ”Abate / altosid” )

Laporan Tutorial Skenario C Blok 22 G2 Page 26


- Secara biologis : Ikanisasi; ikan adu/cupang/tempalo di

Cara mandiri lainnya untuk mencegah dan mengusir nyamuk seperti


menggunakan repelan, obat nyamuk bakar, obat nyamuk semprot,
menggunakan kelambu, memasang kawat kasa, mendaur ulang barang-
barang bekas dll.

B. Kegiatan Pengamatan Vektor.

a. Pengamatan terhadap vektor khususnya jentik nyamuk perlu dilakukan


terus menerus, paling tidak seminggu sekali oleh masyarakat sendiri
dengan peran aktif KADER dan dimonitor oleh petugas puskesmas.
b. Bulan kewaspadaan “gerakan 3M“. Pada saat Sebelum Musim
Penularan, dipimpin oleh kepala wilayah (Gubernur, Bupati, Walikota,
camat/lurah).
Tujuannya untuk meningkatkan kewaspadaan dan kepedulian
masyarakat memasuki musim penghujan. Kegiatannya meliputi :
- Penyuluhan intensif
- Kerja bakti ”3M PLUS” - Kunjungan rumah
c. Pemantauan Jentik Berkala di desa endemis setiap tiga bulan sekali,
dilaksanakan oleh PUSKESMAS.
d. Pemantauan Jentik oleh JUMANTIK (Juru Pemantau Jentik)
e. Pemantauan Wilayah Setempat (PWS) dan dikomunikasikan kepada
pimpinan wilayah pada rapat bulanan, sebagai alat monitoring.
Indikator yang digunakan adalah : 1. Angka Bebas Jentik (ABJ)
2. Kontainer Indeks.

C. Pada Situasi KLB :

Perlu persiapan sarana dan prasarana termasuk mesin fogging,


ULV dipastikan dalam keadaan berfungsi, kecukupan insektisida dan
larvasida dan penyediaan biaya operasional, seringkali hal-hal ini yang
menyebabkan keterlambatan dalam penanggulangan KLB. Demikian
pula kesiagaan di RS untuk dapat menampung pasien-pasien DBD,
baik penyediaan tempat tidur, sarana logistik dan tenaga medis,
paramedis dan laboratorium yang siaga 24 jam. Pemerintah daerah
menyiapkan anggaran untuk perawatan gratis bagi pasien-pasien tidak
mampu dan perawatan di klas III.

4. dr. Desi ingin menurunkan kejadian DBD di wilayah Puskesmas Manggis dengan
membuat program-program kegiatan prenvensi terhadap penyakit DBD.
a. Apa saja factor risiko DBD? 9, 5, 10
Salah satu faktor risiko penularan DBD adalah pertumbuhan penduduk
perkotaan yang cepat, mobilisasi penduduk karena membaiknya sarana dan
prasarana transportasi dan terganggu atau melemahnya pengendalian populasi
sehingga memungkin terjadinya KLB. Faktor risiko lainnya adalah kemiskinan
yang mengakibatkan orang tidak mempunyai kemampuan untuk menyediakan
rumah yang layak dan sehat, pasokan air minum dan pembuangan sampah

Laporan Tutorial Skenario C Blok 22 G2 Page 27


yang benar. Tetapi di lain pihak, DBD juga bisa menyerang penduduk yang
lebih makmur terutama yang biasa bepergian. Dari penelitian di Pekanbaru
Provinsi Riau, diketahui faktor yang berpengaruh terhadap kejadian DBD
adalah pendidikan dan pekerjaan masyarakat, jarak antar rumah, keberadaan
tempat penampungan air, keberadaan tanaman hias dan pekarangan serta
mobilisai penduduk; sedangkan tata letak rumah dan keberadaan jentik tidak
menjadi faktor risiko. Faktor risiko yang menyebabkan munculnya antibodi
IgM anti dengue yang merupakan reaksi infesksi primer, berdasarkan hasil
penelitian di wilayah Amazon Brasil adalah jenis kelamin laki-laki,
kemiskinan, dan migrasi. Sedangkan faktor risiko terjadinya infeksi sekunder
yang menyebabkan DBD adalah jenis kelamin lakilaki, riwayat pernah terkena
DBD pada periode sebelumnya serta migrasi ke daerah perkotaan.

b. Bagaimana tindakan preventif DBD pada kasus? (penjadwalan program


fogging, peningkatan kesehatan lingkungan) 10, 4, 9
c. Bagaimana program-program yang dapat dilakukan sebagai prevensi terhadap
DBD pada kasus? 11, 3, 8

Hipotesis: Kejadian DBD di wilayah Kecamatan Mangga dapat diturunkan dengan cara
membuat program prevensi melalui promosi kesehatan dan peningkatan kesehatan lingkungan
serta pengendalian pembuangan sampah, Survey Mawas Diri, dan Musyawarah Masyarakat
Desa dengan bantuan para tokoh masyarakat di kecamatan tersebut.

LI :
1. DBD (1, 3, 5, 7, 11)
Demam Berdarah Dengue (DBD) atau dalam bahasa asing dinamakan Dengue Hemorrhagic
Fever (DHF) adalah penyakit yang disebabkan oleh Arbovirus (arthropodborn virus) dan
ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes (Aedes Albopictus dan Aedes Aegepty). Demam
Berdarah Dengue sering disebut pula Dengue Haemoragic Fever (DHF). DHF/DBD adalah
suatu penyakit yang disebabkan oleh virus dengue yang tergolong arbovirus dan masuk ke
dalam tubuh penderita melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti yang betina. Demam dengue
adalah penyakit yang terdapat pada anak-anak dan dewasa dengan gejala utama demam, nyeri
otot dan sendi, yang biasanya memburuk setelah dua hari pertama terinfeksi virus lahan basah
merupakan habitat nyamuk untuk hidupnya (Gede S.P, 2016).

Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus
ditularkan melalui nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus. Nyamuk Aedes aegypti
betina menyimpan virus ke dalam tubuh manusia melalui gigitan (Ratnasari E dkk, 2018).
Beberapa tahun terakhir, kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) seringkali muncul di musim
pancaroba, khususnya bulan Januari di awal tahun. Karena itu, masyarakat perlu mengetahui
penyebab penyakit DBD, mengenali tanda dan gejalanya, sehingga mampu mencegah dan
menanggulangi dengan baik. Beberapa faktor yang mempengaruhi munculnya DBD antara
lain rendahnya status kekebalan kelompok masyarakat dan kepadatan populasi nyamuk

Laporan Tutorial Skenario C Blok 22 G2 Page 28


penular karena banyaknya tempat perindukan nyamuk yang biasanya terjadi pada musim
penghujan (Fatmawati K dan Agus P.W, 2018).
Demam berdarah dengue banyak ditemukan di daerah tropis dan sub tropis. Asia menjadi
urutan pertama di dunia dalam jumlah penderita DBD setiap tahunnya. Menurut World Health
Organizaion (WHO) sejak tahun 1968 hingga tahun 2009, Indonesia menjadi negara dengan
kasus DBD tertinggi di Asia Tenggara. Penyakit DBD masih merupakan salah satu masalah
kesehatan masyarakat yang utama di Indonesia. Jumlah penderita dan luas daerah
penyebarannya semakin bertambah seiring dengan meningkatnya mobilitas dan kepadatan
penduduk (Masdiari, 2017).

Penderita DBD pada umumnya disertai dengan tanda-tanda berikut:


1) Demam selama 2-7 hari tanpa sebab yang jelas
2) Manifestasi pendarahan dengan tes Rumpel Leed (+), mulai dari petekie (+) sampai
pendarahan spontan seperti mimisan, muntah darah, atau berak darah-hitam.
3) Hasil pemeriksaan trombosit menurun (normal: 150.000-300.000 µL), hematocrit
meningkat (normal: pria < 45, wanita < 40).
4) Akral dingin, gelisah, tidak sadar (DSS, dengue shock syndrome).

Gejala klinis khas pada pasien DD dewasa terjadi mendadak yaitu sebagai berikut
(Misnadiarly, 2009):
a) Suhu meningkat tinggi
b) Kadang-kadang disertai menggigil diikuti nyeri kepala
c) Muka kemerahan
d) Dalam waktu 24 jam mungkin muncul rasa nyeri di bagian belakang mata terumata
pada pergerakan otot mata atau tekanan bola mata, fotofobia nyeri punggung.
e) Nyeri otot atau persendian.

Gejala lainnya adalah (Misnadiarly, 2009):


a) Tidak ada nafsu makan
b) Berubahnya indra perasa
c) Konstipasi
d) Nyeri perut
e) Nyeri pada lipatan paha
f) Radang tenggorokan
g) Depresi

2. Surveillance epidemiologi (WAJIB)

Terdiri dari kegiatan-kegiatan :


a. Penemuan dan pelaporan penderita, di Rumah Sakit, di Puskesmas, di

klinik/dokter praktek swasta, menggunakan sisitm pelaporan yang telah baku. Penyakit DBD
termasuk salah satu penyakit menular yang dapat menimbulkan wabah, sesuai dengan UU
Wabah No 4 tahun 1984, PP no. 4 tahun 1991 tentang Penanggulangan Wabah dan
PERMENKES No 560 th 1989 tentang Jenis penyakit yg dapat menimbulkan wabah, maka
penderita DBD wajib dilaporkan dalam waktu < 24 jam. Dokter yg menemukan
penderita/tersangka DBD wajib melaporkannya ke Puskesmas setempat sesuai dengan tempat
tinggal penderita.

Laporan Tutorial Skenario C Blok 22 G2 Page 29


Metode :
a. Surveilans pasif : menerima pelaporan.

b. Surveilans aktif : petugas Dinas Kesehatan mendatangi RS/sarana pelayanan kesehatan


yang merawat penderita DBD.

b. Tindak lanjut penanggulangan kasus DBD di lapangan :


1. Penyelidikan epidemiologi
2. Penanggulangan seperlunya meliputi foging fokus, penggerakkan masyarakat

dan penyuluhan untuk PSN serta larvasidasi.


3. Melakukan analis berdasarkan PWS ( Pemantauan Wilayah Setempat )

TAHAP PENGUMPULAN DATA


Berdasarkan Ditjen PPM & PL Depkes RI (2005) dalam Leviana Erdiati (2009) bahwa
Pengumpulan dan pencatatan data dapat dilakukan yaitu :
1) Pengumpulan dan pencatatan dilakukan setiap hari, bila ada laporan tersangka DBD dan
penderita DD, DBD, SSD. Data tersangka DBD dan penderita DD, DBD, SSD yang diterima
puskesmas dapat berasal dari rumah sakit atau dinas kesehatan kabupaten/kota, puskesmas
sendiri atau puskesmas lain (cross notification) dan puskesmas pembantu, unit pelayanan
kesehatan lain (balai pengobatan, poliklinik, dokter praktek swasta, dan lain – lain), dan hasil
penyelidikan epidemiologi (kasus tambahan jika sudah ada konfirmasi dari rumah sakit / unit
pelayanan kesehatan lainnya).
2) Untuk pencatatan tersangka DBD dan penderita DD, DBD, SSD menggunakan ‘Buku
catatan harian penderita DBD’ yang memuat catatan (kolom) sekurang – kurangnya seperti
pada form DP-DBD ditambah catatan (kolom) tersangka DBD.

Berdasarkan penelitian sitepu dkk (2010) Pengumpulan data yang dilakukan dalam
pelaksanaan sistem surveilans DBD, yaitu Petugas di DKK Singkawang mengumpulkan.
data kasus DBD dari rumah sakit (RS) dengan cara dijemput langsung. Laporan dari RS akan
ditabulasi untuk diteruskan kepada masing-masing petugas di tingkat Puskesmas agar segera
dilakukan Penyelidikan Epidemiologi (PE).
Petugas surveilans lebih aktif dalam mengumpulkan data kasus DBD d a n
menginformasikan kepada petugas Puskesmas Petugas puskesmas melaksanakan active case
finding di masyarakat di sekitar tempat tinggal kasus.

TAHAP ANALISIS DAN INTERPRETASI

Laporan Tutorial Skenario C Blok 22 G2 Page 30


a. Analisis Data
Data yang terkumpul dari kegiatan surveilans epidemiologi diolah dan disajikan dalam bentuk
tabel situasi demam berdarah tiap puskesmas, RS maupun daerah. serta tabel endemisitas dan
grafik kasus DBD per minggu/bulan/tahun. Analisis dilakukan dengan melihat pola
maksimal-minimal kasus DBD, dimana jumlah penderita tiap tahun ditampilkan dalam bentuk
grafik sehingga tampak tahun dimana terjadi terdapat jumlah kasus tertinggi (maksimal) dan
tahun dengan jumlah kasus terendah (minimal). Kasus tertinggi biasanya akan berulang setiap
kurun waktu 3–5 tahun, sehingga kapan akan terjadi Kejadian Luar Biasa (KLB) dapat
diperkirakan. Analisis juga dilakukan dengan membuat rata–rata jumlah penderita tiap bulan
selama 5 tahun, dimana bulan dengan rata–rata jumlah kasus terendah merupakan bulan yang
tepat untuk intervensi karena bulanberikutnya merupakan awal musim penularan.

Analisis merupakan langkah penting dalam surveilans epidemiologi karena akan


dipergunakan untuk perencanaan,monitoring dan evaluasi serta tindakan pencegahan dan
penanggulangan penyakit. Kegiatan ini menghasilkan ukuran-ukuran epidemiologi seperti
rate, proporsi, rasio dan lain-lain untuk mengetahui situasi, estimasi dan prediksi penyakit.
Dalam program pemberantasan DBD dikenal beberapa indikator yang diperoleh dari hasil
analisis data yaitu:
· Angka kesakitan / CFR (Case Fatality Rate) merupakan jumlah kasus DBD disuatu
wilayah tertentu selama 1 tahun tiap 100ribu penduduk.
· Angka kematian / IR (Insidence Rate) adalah banyaknya penderita DBD yang
meninggal dari seluruh penderita DBD di suatu wilayah.
· ABJ (Angka Bebas Jentik)/ Case fatality rate didefinisikan sebagai prosentase rumah
yang bebas dari jentik dari seluruh rumah yang diperiksa.

Puskesmas, Rumah Sakit, Laboratorium, Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, Dinas kesehatan


Propinsi dan Ditjen PPM&PL Depkes berperan dalam penyelenggaraan Surveilans Terpadu
Penyakit bersumber data Puskesmas (STP Puskesmas), Rumah Sakit (STP Rumah Sakit) dan
Laboratorium (STP Laboratorium).
- Unit surveilans Puskesmas
- Unit surveilans Rumah Sakit
- Unit surveilans Laboratorium

Laporan Tutorial Skenario C Blok 22 G2 Page 31


- Unit surveilans Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota
- Unit surveilans Dinas Kesehatan Propinsi
- Unit surveilans Ditjen PPM&PL Depkes

b. Interpretasi
Disamping menghasilkan informasi untuk pihak puskesmas dan DKK, informasi juga harus
disebarluaskan kepada stakeholder yang lain seperti Camat dan lurah,lembaga swadaya
masyarakat, Pokja/Pokjanal DBD dan lain-lain. Penyabarluasan informasi dapat berbentuk
laporan rutin mingguan wabah dan laporan insidentil bila terjadi KLB.

Implementasi
Data surveilans DBD didapatkan dari Ditjen PP & PL Depkes RI tahun 2009 yang disajikan
dalam bentuk tabel, grafik yang menjelaskan penyebaran penyakit DBD di Indonesia.
Penyebaran kasus DBD dilihat dari tahun 1968 – 2009 di seluruh provinsi di Indonesia yang
disajikan dalam bentuk tabel. Dari data surveilans tersebut juga dapat dilihat Angka Insiden
( AI ) / Insident Rate ( IR ) berdasarkan 100.000 penduduk dari tahun 1968 – 2009. JIka
terjadi peningkatan kasus DBD tiap tahunnya maka harus dilakukan program pengendalian
DBD dan menjadi perhatian utama pada tingkat Kota/Kabupaten maupun Puskesmas.
Selain itu, dengan menggunakan data surveilans, Angka Insiden pada tahun 2009 di setiap
Provinsi dapat diketahui. Hasil analisi ini dapat disajikan menggunakan grafik sehingga dapat
diketahui Provinsi mana saja yang mengalami kasus DBD tertinggi maupun terendah. Selain
Analisis data surveilans DBD menurut tempat dan waktu, analisis juga dilakukan menurut
orang dengan menghitung Angka Insiden berdasarkan kelompok umur dan Jenis Kelamin.
Dari data yang ada, dapat dihitung pula Angka Kematian / Case Fatality Rate ( CFR )
berdasarkan provinsi di Indonesia.
Jika data surveilans didapatkan dari laporan kasus rawat inap dan kasus rawat jalan pasien
DBD di RS dari tahun 2004-2008 dan tidak diketahui jumlah rumah sakit yang melaporkan
dari tahun ke tahun, sehingga sulit menganalisis atau menginterpretasi data tersebut. Dari data
ini tampak cukup banyak pasien DBD yang di rawat jalan, sehingga perlu dilakukan validasi
data apakah pasien rawat jalan adalah pasien kontrol pasca rawat inap saja atau pasien lama
diitambah dengan pasien baru.
Selain laporan dari Puskesmas, RS, Dinkes dll. Analisis juga dapat menggunakan faktor-
faktor yang mempengaruhi kejadian DBD seperti perubahan iklim dapat memperpanjang

Laporan Tutorial Skenario C Blok 22 G2 Page 32


masa penularan penyakit yang ditularkan melalui vektor dan mengubah luas geografinya,
dengan kemungkinan menyebar ke daerah yang kekebalan populasinya rendah atau dengan
infrastruktur kesehatan masyarakat yang kurang. Selain perubahan iklim faktor risiko yang
mungkin mempengaruhi penularan DBD adalah faktor lingkungan, urbanisasi, mobilitas
penduduk, kepadatan penduduk dan transportasi.
Selain itu, laporan KLB yang didapatkan dari Puskesmas, RS, Dinkes dll dapat digunakan
untuk analisis hubungannya dengan IR maupun CFR pada setiap provinsi. Yang kemudian
hasil analisis ini dapat digunakan sebagai landasan atau acuan Puskesmas, RS, Dinkes dll.
Untuk membuat upaya program pencegahan DBD.

TAHAP DISEMINASI DAN ADVOKASI

Tahap Diseminasi
Tahap disseminasi yakni melakukan penyiapan bahan perencanaan, monitoring & evaluasi,
koordinasi kajian, pengembangan dan diseminasi, serta pendidikan dan pelatihan bidang
surveilans epidemiologi (BBTKLPP, 2013). Yang mana hasil analisis dan interpretasi
didiseminasikan kepada orang-orang yang berkepentingan dan sebagai umpan balik
(feedback) agar pengumpulan data di masa yang akan datang menjadi lebih baik. Diseminasi
berguna kepada orang-orang yang mengumpulkan data, decision maker, orang-orang tertentu
(pakar) dan masyarakat. Pelaksanaan diseminasi dapat berupa buletin dan laporan, seminar,
symposium serta laporan (Isna, 2013).
Contohnya seperti yang tertera pada Buletin Jendela Epidemiologi tahap disseminasi
informasi yang telah dilakukan yaitu :
· Buletin Jendela Epidemiologi Vol.2 yang diterbitkan pada Agustus 2010 merupakan
salah satu bentuk disseminasi informasi surveilans epidemiologi pada penyakit DBD yang
diterbitkan oleh Kementerian Kesehatan RI.
· Laporan data berupa grafik dan tabel mengenai kejadian DBD yang bersumber dari
penelitian, Depkes RI dan WHO.
· Metode komunikasi/penyampaian informasi/pesan pada perubahan perilaku dalam
pelaksanaan PSN (Pemberantasan Sarang Nyamuk) melalui pendekatan sosial budaya
setempat yaitu Metode Communication for Behavioral Impact (COMBI).

Tahap Advokasi

Laporan Tutorial Skenario C Blok 22 G2 Page 33


Tahap advokasi yakni melakukan penyiapan bahan perencanaan, monitoring &
evaluasi, koordinasi pelaksanaan advokasi dan fasilitasi kejadian luar biasa, serta wabah dan
bencana (BBTKLPP, 2013). Advokasi dilakukan kepada Bupati / Walikota dan DPRD.
Contohnya seperti yang tertera pada Buletin Jendela Epidemiologi tahap advokasi yang telah
dilakukan yaitu :
· Pengendalian vektor melalui surveilans vektor diatur dalam Kepmenkes No.581 tahun
1992, bahwa kegiatan pemberantasan sarang nyamuk (PSN) dilakukan secara periodik oleh
masyarakat yang dikoordinir oleh RT/RW dalam bentuk PSN dengan pesan inti 3M plus.
· Pada provinsi yang belum mencapai target dalam menurunkan AK maka dilakukan
pelatihan manajemen kasus terhadap petugas, penyediaan sarana dan prasarana untuk
deteksi dini dan penanganan yang tepat dan cepat.

TAHAP EVALUASI

Tahap evaluasi system surveilans merupakan suatu tahapan dalam surveilans yang dilakukan
secara sistematis untuk menilai efektivitas program. Hasil evaluasi terhadap data system
surveilans selanjutnya dapat digunakan untuk perencanaan, penanggulangan khusus serta
program pelaksanaannya, untuk kegiatan tindak lanjut (follow up), untuk melakukan koreksi
dan perbaikan-perbaikan program dan pelaksanaan program, serta untuk kepentingan evaluasi
maupun penilaian hasil kegiatan.
Setiap program surveilans sebaiknya dinilai secara periodic untuk mengevaluasi manfaatnya.
Sistem atau program tersebut dikatakan dapat berguna apabila secara memuaskan memenuhi
paling tidak salah satu dari pernyataan berikut :
- apakah kegiatan surveilans dapat mendeteksi kecenderungan yang mengidentifikasi
perubahan dalam kejadian kasus penyakit,
- apakah program surveilans dapat mendeteksi epidemic kejadian penyakit

3. Kesehatan lingkungan (WAJIB)


4. UKBM (9, 10, 11)
5. Promosi kesehatan (jumantik,dll) (1, 3, 5, 7, 9)
6. Survey mawas diri, Musyawarah mayarakat desa (2, 4, 6, 8, 10)
7. PHBS (2, 4, 6, 8)

Laporan Tutorial Skenario C Blok 22 G2 Page 34

Anda mungkin juga menyukai