FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS AL-KHAIRAAT PALU
Disusun Oleh:
Widiawati Abd.Muis 16 20 777 14 414
Pembimbing : dr. Christian Lopo, Sp. THT-KL
PENDAHULUAN
A. Anatomi Hidung
Hidung merupakan organ berbentuk piramid yang bagian luarnya terdiri atas
pangkal hidung, batang hidung, puncak hidung, ala nasi, kolumela, dan lubang
hidung. Rangka hidung sendiri tersusun atas bagian tulang dan tulang rawan.
Bagian tulang pada hidung mencakup tulang hidung (os nasal), prosesus
frontalis os maksila, dan prosesus nasalis os frontal. Sedangkan bagian yang
termasuk tulang rawan adalah sepasang kartilago nasalis lateralis superior,
sepasang kartilago nasalis lateralis inferior (kartilago ala mayor), dan tepi
anterior kartilago septum.1
Rongga pada hidung yang disebut kavum nasi berbentuk terowongan yang
memanjang dari lubang hidung (nares anterior) sampai koana (nares posterior).
Nares posterior menghubungkan antara kavum nasi dan nasofaring. Kavum nasi
dibagi menjadi kavum nasi kanan dan kiri oleh septum nasi. Bagian kavum nasi
yang terletak tepat di belakang nares anterior disebut vestibulum. Vestibulum
dikelilingi oleh tulang rawan yang fleksibel. Bagian ini dilapisi oleh epitel
berlapis gepeng berkeratin. Di limen nasi yang menjadi batas posterior
vestibulum, epitel berubah menjadi epitel berlapis gepeng tidak berkeratin dan
kemudian menjadi epitel kolumner berlapis semu bersilia.
Masing-masing kavum nasi dibatasi oleh empat dinding, yaitu dinding medial,
lateral, inferior, dan anterior. Dinding medial kavum nasi adalah septum nasi.
Septum nasi tersusun atas tulang dan tulang rawan. Bagian tulang terletak di
posterior yang terdiri atas lamina perpendikularis os etmoid, vomer, krista
nasalis os maksila, dan krista nasalis os palatina. Bagian tulang rawan terletak
di anterior yang disebut kartilago septi nasi, Di bagian lateral, kavum nasi
dibatasi oleh tiga buah konka, yaitu konka nasalis inferior, konka nasalis media,
dan konka nasalis superior. Konka nasalis inferior dan media menempati
sebagian besar dinding lateral kavum nasi, sedangkan konka nasalis superior
berukuran kecil dan letaknya berdekatan dengan daerah olfaktorius di atap
kavum nasi. Konka nasalis inferior merupakan suatu tulang yang melekat pada
os maksila dan labirin etmoid. Lain halnya dengan konka nasalis media dan
superior yang merupakan bagian dari labirin etmoid. 1
Silia yang terdapat pada permukaan epitel mempunyai fungsi yang penting.
Dengan gerakan silia yang teratur, palut lendir di dalam kavum nasi akan
didorong ke arah nasofaring. Dengan demikian mukosa mempunyai daya untuk
membersihkan dirinya sendiri dan juga untuk mengeluarkan benda asing yang
masuk ke dalam rongga hidung. Gangguan pada fungsi silia akan menyebabkan
banyak sekret terkumpul dan menimbulkan keluhan hidung tersumbat.
Gangguan gerakan silia dapat disebabkan oleh pengeringan udara yang
berlebihan, radang, sekret kental dan obat – obatan .
C. Fisilogi Hidung
1. Sebagai jalan nafas Pada saat inspirasi
udara masuk melalui nares anterior lalu naik ke atas setinggi konka
media dan kemudian turun ke bawah ke arah nasofaring, sehingga aliran
udara ini berbentuk lengkungan atau arkus. Pada saat ekspirasi udara
masuk melalui koana dan kemudian mengikuti jalan yang sama seperti
udara inspirasi,. Tetapi di bagian depan aliran udara terpecah, sebagian
kembali ke belakang membentuk pusaran dan bergabung dengan aliran
dari nasofaring.
2. Pengatur kondisi udara
Fungsi hidung sebagai pengatur kondisi udara diperlukan untuk
mempersiapkan udara yang akan masuk ke dalam alveolus. Fungsi ini
dilakukan dengan cara :
- Mengatur kelembaban udara. Fungsi ini dilakukan oleh palut lendir.
Pada musim panas, udara hampir jenuh oleh uap air, penguapan dari
lapisan ini sedikit, sedangkan pada musim dingin akan terjadi
sebaliknya.
- Mengatur suhu. Fungsi ini dimungkinkan karena banyaknya
pembuluh darah di bawah epitel dan adanya permukaan konka dan
septum yang luas, sehingga radiasi dapat berlangsung secara optimal.
Dengan demikian suhu udara setelah melalui hidung kurang lebih
3. Sebagai penyaring dan pelindung
Fungsi ini berguna untuk membersihkan udara inspirasi dari debu
dan bakteri dan dilakukan oleh rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi,
silia dan, palut lendir (mucous blanket). Debu dan bakteri akan melekat
pada palut lendir dan partikel – partikel yang besar akan dikeluarkan
dengan refleks bersin. Palut lendir ini akan dialirkan ke nasofaring oleh
gerakan silia. Enzim yang dapat menghancurkan beberapa jenis bakteri,
disebut lysozime.
4. Indera penghidu Hidung
juga bekerja sebagai indera penghirup dengan adanya mukosa
olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga
bagian atas septum Partikel bau dapat mencapai daerah ini dengan cara
difusi dengan palut lendir atau bila menarik nafas dengan kuat.
Resonansi suara Penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan
menyanyi. Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang
atau hilang, sehingga terdengar suara sengau.
5. Proses bicara
Membantu proses pembentukan kata dengan konsonan nasal
(m,n,ng) dimana rongga mulut tertutup dan rongga hidung terbuka,
palatum molle turun untuk aliran udara, Refleks nasal Mukosa hidung
merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan saluran cerna,
kardiovaskuler dan pernafasan. Contoh : iritasi mukosa hidung
menyebabkan refleks bersin dan nafas terhenti. Rangsang bau tertentu
menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung dan pankreas.
D. Fisiologi penciuman
Mekanisme kerja indra penciuman sebagai berikut adanya rangsang (bau) masuk
ke lubang hidung, dilanjutkan ke epitelium olfaktori, kemudian ke mukosa olfaktori,
ke saraf olfaktori, ke talamus, ke hipotalamus, dan ke otak.1
1) Perangsang reseptor.1
Reseptor-reseptor penciuman hanya memberi respon terhadap zat
yang bersentuhan dengan epitel penciuman dan larut dalam lapisan
mukus yang tipis.Ambang penciuman untuk berbagai zat representatif
melukiskan kepekaan yang menyolok dari reseptor penciuman terhadap
beberapa zat.Misalnya, metil merkaptan, yaitu zat yang memberi bau
yang khas pada bawang, dapat dicium pada konsentrasi yang kurang dari
sepersatu juta miligram perliter udara.Apabila molekul berbau
merangsang reseptor maka timbulah potensial reseptor.
Satu teori mengemukakan bahwa molekul berbau menekan aktivitas
sistem enzim epitel dan menyebabkan perubahan pada reaksi-reaksi
kimia. Teori lain mengemukakan bahwa molekul berbau mengubah
permukaan sel-sel reseptor yang menyebabkan total listriknya. Teori yang
ketiga mengemukakan bahwa molekul hanya mengubah permeabilitas Na
dari membran reseptor.
2) Mendengus
Bagian rongga hidung yang mengandung reptor pencium mendapat
fentilasi yang sangat sedikit. Sebagian besar udara biasanya bergerak
dengan tenang melalui bagian bawah rongga hidung pada setiap siklus
pernapasan. Jumlah udara yang mencapai bagian ini sangat meningkat
dengan mendengus yaitu suatu gerakan yang menyertakan kontraksi
bagian bawah lubang. Hidung pada septum untuk membantu
membiasakan arus udara ke atas. Mendengus adalah respon semirefleks
yang biasanya terjadi apabila bau yang baru menarik perhatian.1
3) Peranan serabut-serabut nyeri dalam hidung
Ujung-ujung telanjang dari banyak serabut nyeri N. trigeminus
ditemukan dalam membrana mukosa penciuman. Serabut-serabut ini
terangsang oleh zat-zat yang menyangat, dan perasaan menyengat
komponen yang timbul dari trigeminus merupakan komponen dari “bau”
yang khas dari zat seperti minyak permen, menthol, dan klor. Ujung-
ujung ini jugsa yang bertanggung jawab untuk menimbulkan refleks
bersin, mengeluarkan air mata, sesak nafas, dan respon refleks lainnya
terhadap iritan terhadap hidung.1
4) Adaptasi
Telah diketahui umumnya bahwa bila seseorang secara terus
menerus terkena bau yang paling tidak enakpun, persepsi dari bau itu
menurun dan akhirnya berhenti. Fenomena yang kadang-kadang berguna
ini disebabkan karena adaptasi yang agak cepat yang terjadi pada sistem
penciuman. Adaptasi ini adalah spesifik untuk bau tertentu yang dicium,
ambang untuk bau-bau lainnya tidak berubah. Adaptasi penciuman
sebagian adalah peristiwa sentral, tetapi juga karena perubahan pada
reseptor.1
BAB II
C. Rinoskopi anterior
Tes Serologi
Tes serologis dapat digunakan sebagai metode diagnostik tidak langsung,
tetapi tidak akurat dalam mendiagnosis infeksi sebelumnya. Kehadiran antibodi
sebagai dugaan diagnostik ketika ada faktor risiko atau dalam evolusi
prognosis. Pada sebagian besar pasien dengan OSCC terkait HPV, antibodi
spesifik HPV (antibodi E6) terdapat dalam plasma lebih dari 10 tahun sebelum
diagnosis kanker orofaringeal. Deteksi antibodi E6 dan E7 berkorelasi lebih
baik dengan hasil pasien daripada tes HPV jaringan. Namun, beberapa data
literatur bertentangan dengan hipotesis ini karena antibodi anti-E6 dan E7 tidak
konsisten, dan seringkali tidak dapat dinilai untuk mendiagnosis dan memantau
lesi yang berpotensi ganas. Mengenai titer antibodi anti-HPV, terlihat bahwa
secara signifikan lebih tinggi dalam serum dibandingkan dengan sekresi yang
diambil dari tingkat serviks.11
J. PENATALAKSANAAN
1) Konservatif
A. Medikamentosa
K. PROGNOSIS
Kekambuhan terjadi terutama pada kasus reseksi tidak lengkap yang
disebabkan oleh paparan yang buruk dan visualisasi batas tumor. Mereka
umumnya muncul dalam waktu 6 bulan setelah operasi, namun kasus
kekambuhan papilloma telah dilaporkan 20 tahun setelahnya dalam literatur.
Tingkat kekambuhan papilloma pada orang dewasa berkisar antara 14 dan
78% . Dalam kasus pediatrik, Limaye mencatat kekambuhan dalam dua kasus
yang dilaporkan setelah 10 dan 12 bulan. Özcan juga melaporkan, kasus
papilloma berulang pada anak berusia 9 tahun. Pemeriksaan endoskopi pada
kontrol klinis adalah cara utama untuk mendeteksi kekambuhan dan dengan
demikian memberikan operasi minimal ketika masih berukuran kecil.7
DAFTARPUSTAKA
1. Sitti Khadijah, Sst, M.Kes. Buku Ajar Anatomi Dan Fisiologi Manusia.
Cetakan Pertama, Januari 2020. Hal 211.
2. Lana Asfaradilla1 , Hadjiman Yotosudarmo. Laki-Laki 45 Tahun Dengan
Inverted Papilloma Pada Cavum Nasi Sinistra Lana Asfaradilla1 , Hadjiman
Yotosudarmo. Majority . Volume 6 . Nomor 3.Juli 2017. 109-114.
3. Rizki Hanriko1 , Muhartono. Papilloma Dan Karsinoma Sinonasal. Jurnal
Kesehatan, Volume Viii, Nomor 1, April 2017, Hlm 161-164.
4. Ida Ayu Meilasari Dewi1 Ni Putu Sriwidyani2 I Gusti Ayu Sri Mahendra
Dewi3 Ni Wayan Winarti. Karakteristik Klinikopatologi Tumor Sinonasal Di
Rsup Sanglah Periode 2016-2020. J Urnal Medika Udayana, Vol. 11
No.11,November, 2022. Hal 74-77.
5. Jacob G. Eide , Kevin C. Welch Nithin D. Adappa, James N. Palmer And
Charles C. L. Tong. Sinonasal Inverted Papilloma And Squamous Cell
Carcinoma: Contemporary Management And Patient Outcomes. Cancers
2022. Hal.1-15.
6. Puput Indriany, Muh Ardi Munir, Olvi Nancy. Management Of Patients With
Antrocoanal Nasal Polyps At The Poly EntHn Undata General Hospital Palu.
Vol. 2. No. 3. November 2020.
7. Amel El Korbi, Sondes Jellali, Naourez Kolsi, Rachida Bouatay, Leila Njim,
Emna Berguaoui, Mehdi Ferjaoui, Khaled Harrathi, Jamel Koubaa. Pediatric
Naso-Sinusal Inverted Papilloma: Report Of A Case And Literature Review.
Amel El Korbi Et Al. Pamj - 37(373). 23 Dec 2020. Hal 1-8.
8. Elena Cristina Andrei, Ileana Monica Banit,Ă, Maria Cristina Munteanu,
Cristina Jana Busuioc, Garofit,A Olivia Mateescu , Ramona Denise Mălin 4
And Cătălina Gabriela Pisoschi 5. Oral Papillomatosis: Its Relation With
Human Papilloma Virus Infection And Local Immunity—An Update.
Medicina 2022. Hal 1-28.
9. Yaşar Can Akar, Fatma Nur Yildirim, Füruzan Kaçar Döger, Hatice Sema
Başak1. Inverted Papilloma: Our Clinical Experiences. Eur J Rhinol Allergy
2018; 1(3): 67-9.
10. Tomasz Gotlib, Antoni Krzeski , Marta Held-Ziółkowska, Kazimierz
Niemczyk. Endoscopic Transnasal Management Of Inverted Papilloma
Involving Frontal Sinuses. Videosurgery And Other Miniinvasive Techniques
4, December/2012. Hal. 299-303.
11. Lester DR, Thompson MD, Schneiderian papiloma of the sinonasal tarct,
Department of Pathology, Woodland Hills Medical Center, Southern
California Permanente Medical Group, Woodland Hills, september 22, 2020.
12. Elgart K, Faden DL, Sinonasal Squamous Cell Carcinoma: Etiology,
Pathogenesis, and the Role of Human Papilloma Virus, Massachusetts Eye and
Ear, Harvard Medical School, Boston, 24 June 2020.
13. Peric A, Ðurd BV, Labus M, Gace´ D, Barsova GK et al, Simultaneous Nasal
Septal Schneiderian Papilloma and Respiratory Epithelial Adenomatoid
Hamartoma, Department of Otorhinolaryngology, Faculty of Medicine of the
Military Medical Academy, University of Defence, Belgrade, Serbia, 17
oktober 2022.
14. Bin Xu, Nasal cavity, paranasal sinuses, nasopharynx Benign tumors
Sinonasal papilloma, 2020.
15. Steiger JD, Chiu AG, A sinonasal inverted papilloma of mixed histology:
Implications for management of all sinonasal papillomas. 2007
16. Gaillard F, Yap J, Saber M, et al. Inverted papilloma, radiopaedia 30 Aug
2022
17. Wang MJ, Julia E. Noel b, Etiology of sinonasal inverted papilloma: A
narrative review, Department of Otolaryngology e Head and Neck Surgery,
Beijing TongRen Hospital, Capital Medical University, Beijing, China, 2016
18. Lisan Q , Laccourreye O, Bonfils P, Sinonasal inverted papilloma: From
diagnosis to treatment, Hôpital Européen Georges Pompidou, Faculté de
Médecine Paris Descartes, Université Paris. 2016.
19. Ungari C, Riccardi E, Reale G et al, Management and treatment of sinonasal
inverted papilloma, Department of Oral and Maxillo-Facial Sciences,
“Sapienza” University of Rome, Italy. 2015
20. Sadeghi N, Sinonasal Papillomas Treatment & Management, Department of
Otolaryngology-Head and Neck Surgery, McGill University Faculty of
Medicine, Royal Victoria Hospital, Canada. Feb 03, 2021
21. Carrau RL. Malignant Tumors of the Nasal Cavity. Medscape. 2021.
https://emedicine.medscape.com/article/846995-overview