Anda di halaman 1dari 28

BAGIAN ILMU THT-KL REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS AL-KHAIRAAT PALU

PAPILLOMA CAVUM NASI

Disusun Oleh:
Widiawati Abd.Muis 16 20 777 14 414
Pembimbing : dr. Christian Lopo, Sp. THT-KL

DISUSUN UNTUK MEMENUHI TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU THT-KL

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ALKHAIRAAT
2023
BAB I

PENDAHULUAN
A. Anatomi Hidung
Hidung merupakan organ berbentuk piramid yang bagian luarnya terdiri atas
pangkal hidung, batang hidung, puncak hidung, ala nasi, kolumela, dan lubang
hidung. Rangka hidung sendiri tersusun atas bagian tulang dan tulang rawan.
Bagian tulang pada hidung mencakup tulang hidung (os nasal), prosesus
frontalis os maksila, dan prosesus nasalis os frontal. Sedangkan bagian yang
termasuk tulang rawan adalah sepasang kartilago nasalis lateralis superior,
sepasang kartilago nasalis lateralis inferior (kartilago ala mayor), dan tepi
anterior kartilago septum.1

Gambar 1. Rangka Hidung (Sumber: Marrieb, 2001).

Rongga pada hidung yang disebut kavum nasi berbentuk terowongan yang
memanjang dari lubang hidung (nares anterior) sampai koana (nares posterior).
Nares posterior menghubungkan antara kavum nasi dan nasofaring. Kavum nasi
dibagi menjadi kavum nasi kanan dan kiri oleh septum nasi. Bagian kavum nasi
yang terletak tepat di belakang nares anterior disebut vestibulum. Vestibulum
dikelilingi oleh tulang rawan yang fleksibel. Bagian ini dilapisi oleh epitel
berlapis gepeng berkeratin. Di limen nasi yang menjadi batas posterior
vestibulum, epitel berubah menjadi epitel berlapis gepeng tidak berkeratin dan
kemudian menjadi epitel kolumner berlapis semu bersilia.
Masing-masing kavum nasi dibatasi oleh empat dinding, yaitu dinding medial,
lateral, inferior, dan anterior. Dinding medial kavum nasi adalah septum nasi.
Septum nasi tersusun atas tulang dan tulang rawan. Bagian tulang terletak di
posterior yang terdiri atas lamina perpendikularis os etmoid, vomer, krista
nasalis os maksila, dan krista nasalis os palatina. Bagian tulang rawan terletak
di anterior yang disebut kartilago septi nasi, Di bagian lateral, kavum nasi
dibatasi oleh tiga buah konka, yaitu konka nasalis inferior, konka nasalis media,
dan konka nasalis superior. Konka nasalis inferior dan media menempati
sebagian besar dinding lateral kavum nasi, sedangkan konka nasalis superior
berukuran kecil dan letaknya berdekatan dengan daerah olfaktorius di atap
kavum nasi. Konka nasalis inferior merupakan suatu tulang yang melekat pada
os maksila dan labirin etmoid. Lain halnya dengan konka nasalis media dan
superior yang merupakan bagian dari labirin etmoid. 1

Gambar 2. lateral kavum


nasi
Di antara
konka dan dinding
lateral kavum nasi, terdapat rongga yang disebut meatus. Meatus terdiri atas
tiga jenis berdasarkan letaknya terhadap konka, yaitu meatus nasi inferior,
meatus nasi media, dan meatus nasi superior. Meatus merupakan muara dari
beberapa saluran. Pada meatus nasi inferior, duktus nasolakrimalis membuka
melalui plika lakrimalis. Meatus nasi media merupakan tempat bermuaranya
sinus maksilaris, sinus frontalis, dan sinus etmoid anterior. Di bawah meatus
ini, terdapat hiatus semilunaris yang di atasnya terdapat bula etmoidalis dan di
bawahnya terdapat prosesus uncinatus. Pada meatus nasi superior, bermuara
sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid. Di bagian posteriornya terdapat
resesus sfenoetmoidalis dengan apertura sinus sfenoidalis yang
menghubungkan kavum nasi dengan sinus sfenoid, Dinding superior kavum
nasi dibentuk oleh lamina kribiformis. Lamina kribiformis memisahkan kavum
nasi dengan rongga kepala. Lamina kribiformis merupakan tulang yang
strukturnya berlubang-lubang untuk tempat masuknya serabut saraf olfaktorius.
Di bagian inferior, kavum nasi dibatasi oleh os maksila dan os palatum. 19–21
Bagian superior, inferior, serta anterior dari kavum nasi mendapatkan
vaskularisasi dari arteri yang berbeda-beda. Bagian superior mendapatkan
pendarahan dari a. etmoidalis anterior dan posterior. Arteri-arteri ini merupakan
cabang dari a. oftalmika yang dicabangkan oleh a. carotis interna. Bagian
inferior atau dasar dari kavum nasi didarahi oleh cabang a. maksilaris interna,
antara lain a. palatina mayor dan a. sfenopalatina. Bagian anterior / depan
hidung didarahi oleh cabang-cabang a. fasialis.1 Pada septum nasi, a.
sfenopalatina berjalan dan beranastomosis dengan a. Etmoidalis anterior, a.
labialis superior, dan a. palatina mayor. Anastomosis ini disebut pleksus
Kiesselbach. Daerah anastomosis ini menjadi lokasi tersering perdarahan
hidung karena letaknya superfisial dan mudah cedera oleh trauma.1

Gambar.3 Arteri-arteri pada cavum nasi


Aliran darah balik dari hidung dialirkan melalui pembuluh v. etmoidalis
anterior dan posterior menuju v. sfenopalatina lalu ke pleksus Pterygoideus
dalam fossa infratemporalis yang akhirnya bermuara pada sinus kavernosus.
Karakteristik vena yang tidak memiliki katup merupakan salah satu hal yang
dapat meningkatkan risiko penyebaran infeksi ke intra kranial.

Gambar. 4 Vena- vena pada cavum nasi


Mukosa hidung mendapatkan persarafan sensorik dari cabang-cabang n.
Trigeminus (V) yaitu n. oftalmikus (V1) dan n. maksilaris (V2). N. oftalmikus
mencabangkan n. nasosiliaris yang akan bercabang lagi menjadi n. etmoidalis
anterior yang mempersarafi bagian anterior dan superior kavum nasi. N.
maksilaris menginervasi hidung melalui ganglion sfenopalatina.19,20 Ganglion
sfenopalatina merupakan ganglion yang menerima serabut saraf sensoris dari n.
Maksilaris, serabut parasimpatis n. petrosus superfisialis mayor, dan serabut
simpatis dari n. petrosus profundus. Karena susunan tersebut, ganglion ini
memberikan inervasi sensorik dan vasomotor atau otonom pada hidung.
Ganglion yang terletak di posterosuperior dari konka nasalis media ini
mempersarafi sebagian besar kavum nasi.19,20 N. olfaktorius memegang
peranan dalam fungsi menghidu. Serabut sarafnya berasal dari bulbus
olfaktorius di otak dan turun ke kavum nasi melalui lamina kribosa. Saraf ini
mempersarafi sel-sel reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius yang terletak
di sepertiga atas hidung.
Gambar.5 Persarafan pada cavum nasi
B. Histologi hidung
Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologi dan fungsional
dibagi atas mukosa pernafasan dan mukosa penghidu. Mukosa pernafasan
terdapat pada sebagian besar rongga hidung dan permukaannya dilapisi oleh
epitel torak berlapis semu yang mempunyai silia dan diantaranya terdapat sel –
sel goblet. Pada bagian yang lebih terkena aliran udara mukosanya lebih tebal
dan kadang – kadang terjadi metaplasia menjadi sel epital skuamosa. Dalam
keadaan normal mukosa berwarna merah muda dan selalu basah karena diliputi
oleh palut lendir (mucous blanket) pada permukaannya. Palut lendir ini
dihasilkan oleh kelenjar mukosa dan sel goblet.
Gambar.6 Histologi hidung

Silia yang terdapat pada permukaan epitel mempunyai fungsi yang penting.
Dengan gerakan silia yang teratur, palut lendir di dalam kavum nasi akan
didorong ke arah nasofaring. Dengan demikian mukosa mempunyai daya untuk
membersihkan dirinya sendiri dan juga untuk mengeluarkan benda asing yang
masuk ke dalam rongga hidung. Gangguan pada fungsi silia akan menyebabkan
banyak sekret terkumpul dan menimbulkan keluhan hidung tersumbat.
Gangguan gerakan silia dapat disebabkan oleh pengeringan udara yang
berlebihan, radang, sekret kental dan obat – obatan .
C. Fisilogi Hidung
1. Sebagai jalan nafas Pada saat inspirasi
udara masuk melalui nares anterior lalu naik ke atas setinggi konka
media dan kemudian turun ke bawah ke arah nasofaring, sehingga aliran
udara ini berbentuk lengkungan atau arkus. Pada saat ekspirasi udara
masuk melalui koana dan kemudian mengikuti jalan yang sama seperti
udara inspirasi,. Tetapi di bagian depan aliran udara terpecah, sebagian
kembali ke belakang membentuk pusaran dan bergabung dengan aliran
dari nasofaring.
2. Pengatur kondisi udara
Fungsi hidung sebagai pengatur kondisi udara diperlukan untuk
mempersiapkan udara yang akan masuk ke dalam alveolus. Fungsi ini
dilakukan dengan cara :
- Mengatur kelembaban udara. Fungsi ini dilakukan oleh palut lendir.
Pada musim panas, udara hampir jenuh oleh uap air, penguapan dari
lapisan ini sedikit, sedangkan pada musim dingin akan terjadi
sebaliknya.
- Mengatur suhu. Fungsi ini dimungkinkan karena banyaknya
pembuluh darah di bawah epitel dan adanya permukaan konka dan
septum yang luas, sehingga radiasi dapat berlangsung secara optimal.
Dengan demikian suhu udara setelah melalui hidung kurang lebih
3. Sebagai penyaring dan pelindung
Fungsi ini berguna untuk membersihkan udara inspirasi dari debu
dan bakteri dan dilakukan oleh rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi,
silia dan, palut lendir (mucous blanket). Debu dan bakteri akan melekat
pada palut lendir dan partikel – partikel yang besar akan dikeluarkan
dengan refleks bersin. Palut lendir ini akan dialirkan ke nasofaring oleh
gerakan silia. Enzim yang dapat menghancurkan beberapa jenis bakteri,
disebut lysozime.
4. Indera penghidu Hidung
juga bekerja sebagai indera penghirup dengan adanya mukosa
olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga
bagian atas septum Partikel bau dapat mencapai daerah ini dengan cara
difusi dengan palut lendir atau bila menarik nafas dengan kuat.
Resonansi suara Penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan
menyanyi. Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang
atau hilang, sehingga terdengar suara sengau.
5. Proses bicara
Membantu proses pembentukan kata dengan konsonan nasal
(m,n,ng) dimana rongga mulut tertutup dan rongga hidung terbuka,
palatum molle turun untuk aliran udara, Refleks nasal Mukosa hidung
merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan saluran cerna,
kardiovaskuler dan pernafasan. Contoh : iritasi mukosa hidung
menyebabkan refleks bersin dan nafas terhenti. Rangsang bau tertentu
menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung dan pankreas.
D. Fisiologi penciuman
Mekanisme kerja indra penciuman sebagai berikut adanya rangsang (bau) masuk
ke lubang hidung, dilanjutkan ke epitelium olfaktori, kemudian ke mukosa olfaktori,
ke saraf olfaktori, ke talamus, ke hipotalamus, dan ke otak.1

1) Perangsang reseptor.1
Reseptor-reseptor penciuman hanya memberi respon terhadap zat
yang bersentuhan dengan epitel penciuman dan larut dalam lapisan
mukus yang tipis.Ambang penciuman untuk berbagai zat representatif
melukiskan kepekaan yang menyolok dari reseptor penciuman terhadap
beberapa zat.Misalnya, metil merkaptan, yaitu zat yang memberi bau
yang khas pada bawang, dapat dicium pada konsentrasi yang kurang dari
sepersatu juta miligram perliter udara.Apabila molekul berbau
merangsang reseptor maka timbulah potensial reseptor.
Satu teori mengemukakan bahwa molekul berbau menekan aktivitas
sistem enzim epitel dan menyebabkan perubahan pada reaksi-reaksi
kimia. Teori lain mengemukakan bahwa molekul berbau mengubah
permukaan sel-sel reseptor yang menyebabkan total listriknya. Teori yang
ketiga mengemukakan bahwa molekul hanya mengubah permeabilitas Na
dari membran reseptor.
2) Mendengus
Bagian rongga hidung yang mengandung reptor pencium mendapat
fentilasi yang sangat sedikit. Sebagian besar udara biasanya bergerak
dengan tenang melalui bagian bawah rongga hidung pada setiap siklus
pernapasan. Jumlah udara yang mencapai bagian ini sangat meningkat
dengan mendengus yaitu suatu gerakan yang menyertakan kontraksi
bagian bawah lubang. Hidung pada septum untuk membantu
membiasakan arus udara ke atas. Mendengus adalah respon semirefleks
yang biasanya terjadi apabila bau yang baru menarik perhatian.1
3) Peranan serabut-serabut nyeri dalam hidung
Ujung-ujung telanjang dari banyak serabut nyeri N. trigeminus
ditemukan dalam membrana mukosa penciuman. Serabut-serabut ini
terangsang oleh zat-zat yang menyangat, dan perasaan menyengat
komponen yang timbul dari trigeminus merupakan komponen dari “bau”
yang khas dari zat seperti minyak permen, menthol, dan klor. Ujung-
ujung ini jugsa yang bertanggung jawab untuk menimbulkan refleks
bersin, mengeluarkan air mata, sesak nafas, dan respon refleks lainnya
terhadap iritan terhadap hidung.1
4) Adaptasi
Telah diketahui umumnya bahwa bila seseorang secara terus
menerus terkena bau yang paling tidak enakpun, persepsi dari bau itu
menurun dan akhirnya berhenti. Fenomena yang kadang-kadang berguna
ini disebabkan karena adaptasi yang agak cepat yang terjadi pada sistem
penciuman. Adaptasi ini adalah spesifik untuk bau tertentu yang dicium,
ambang untuk bau-bau lainnya tidak berubah. Adaptasi penciuman
sebagian adalah peristiwa sentral, tetapi juga karena perubahan pada
reseptor.1
BAB II

PAPILOMA CAVUM NASI


A. DEFINISI
Papilloma merupakan tumor jinak yang berasal dari pseudostratified ciliated
columnar epithelium regio sinonasal, umumnya dinding lateral rongga hidung
kebanyakan pada meatus media, jarang dari septum nasi ataupun sinus
paranasal.2
B. EPIDEMIOLOGI
Papilloma sinonasal merupakan tumor yang jarang ditemukan yaitu hanya
0,5-4 % dari tumor sinonasal.3 terhitung 62% dari kasus secara keseluruhan.
Tumor terjadi dengan kejadian 0,2 sampai 1,5/100.000 per tahun, lebih sering
pada laki-laki, dan memiliki usia diagnosis rata-rata 55 tahun.5
Insiden tertinggi keganasan sinonasal ditemukan di jepang yaitu 2 sampai
3,6 per 100.000 penduduk pertahun. Di Indonesia prevalensi banyaknya yang
mengalami kasus polip sebesar 0,2-0,4%.6
C. ETIOLOGI
Etiologi belum diketahui. Pasien yang menderita tumor sinonasal umumnya
datang dengan stadium lanjut dan biasanya tumor tersebut sudah meluas ke
jaringan sekitar. Kemungkinan disebabkan alergi, sinusitis kronis, pulisi udara
dan infeksi human papilloma virus (HPV). Sebagian besar karsinoma sel
skumosa terjadi pada daerah-daerah yang terpapar sinar matahari, dapat pula
terjadi pada mukosa yang ulserasi atau iritasi kronik, dan trauma.4
Beberapa teori telah diajukan, meliputi alergi, inflamasi kronik dan
karsinogen berhubungan dengan pajanan serta infeksi virus papiloma. Alergi
merupakan penyebab yang sudah agak ditinggalkan, dikarenakan pasien-pasien
penderita papiloma inverted mempunyai riwayat alergi yang negatif, selain itu
papiloma sinonasal biasanya unilateral. Sinusitis paranasal sering ditemukan
pada penderita papiloma inverted dan ini disebabkan oleh obstruksi tumor
dibanding dengan menyebabkan terbentuknya tumor, Faktor ekstrinsik yang
berhubungan dengan polusi udara dan limbah industri yang bersifat
karsinogenik telah dipertimbangkan sebagai kemungkinan penyebab timbulnya
papiloma inverted. Beberapa virus telah lama dicurigai sebagai penyebab lesi-
lesi neoplastik ini, dikarenakan virus-virus tersebut telah diketahui mempunyai
kecenderungan membentuk papiloma-papiloma di berbagai organ tubuh.
D. PATOGENESIS
Menurut teori berntstein, terjadinya perubahan mukosa hidung akibat adanya
peradangan yang cukup lama dan adanya perubahan aliran udara yang terjadi
secara cepat pada daerah ostomental. Sehingga dapat menimbulkan prolaps
pada submukosa. Bila proses tetap berlanjut maka, mukosa akan membesar dan
berkembang menjadi massa polip nasi hingga massa dapat turun ke rongga
hidung membentuk tangkai.
E. FAKTOR RESIKO
Faktor resiko papilloma cavum nasi meningkat pada laki-laki
dibandingkan dengan wanita dengan perbandingan 2:1 dan insidensi
kejadiannya memuncak pada usia 50 samapi 70 tahun.2,3
Pasien yang sedang terinfeksi HPV (Human Papiloma Virus).
F. JENIS PAPILOMA HIDUNG
Saluran sinonasal, dilapisi oleh mukosa pernapasan bersilia (epitel
Schneiderian), menimbulkan tiga morfologi papiloma yang berbeda. Secara
kolektif, lesi ini disebut sebagai papiloma Schneiderian yaitu inverted (50%),
eksofitik(47%), dan onkositik(3%), Secara histologi, papilloma dapat dibagi
menjadi tiga yaitu:
1) nverted papilloma pada tipe ini pertumbuhan epitel dominan berada di
bawah stroma, Secara anatomi, inverted papilloma dapat dibagi menjadi
dua yaitu papiloma dinding lateral dan papilloma septal kedua jenis
papilloma ini menunjukkan pola yang berbeda yaitu :
a) Papilloma septal hanya berada di septum nasi dan jarang melibatkan
kavum nasalis, Bentuk keganasan jarang dijumpai pada papilloma
septal.
b) papilloma dinding lateral sering mengenai beberapa tempat seperti
dasar dari kavum nasi, sinus para nasalis dan duktus nasolakrimalis.
Bentuk keganasan sering dijumpai pada jenis ini, berikut ini adalah
ambaran histopatology dari papiloma inverted

Gambar.7 Penampang histologis papiloma sinonasal inverted


Invaginasi dari epitel superfisial ke stroma di bawahnya (tanda
bintang hitam)18
2) Papiloma eksofilik, bentuk papillary atau bentuk fungiform, tipe ini
menunjukkan proliferasi epitel dengan jaringan ikat sebagai intinya, inversi
dari epitel tidak terlihat pada jenis ini, berikut ini adalah gambaran
gambaran histopatology dari papiloma eksofilik

Gambar.8 Proyeksi papiler filiform ke dalam lumen, dilapisi


oleh epitel transisional tanpa mukosit atau sel inflamasi yang
berkembang dengan baik
3) Papiloma onkositik, pada papiloma ini sel kolumnar, merupakan varian dari
papiloma yang ada di kavum nasi, sel pada tipe ini adalah sel kolumnar dan
pada tipe ini angka rekurensi dan keganasannya lebih tinggi dari tipe lain,
berikut ini adalah gambaran histopatology dari papiloma onkositik

Gambar. 9 sel-sel kolumnar dengan inti yang dilacak trem, sitoplasma


eosinofilik yang melimpah, dan kista berisi lendir intralesi terlihat pada
tipe sel kolumnar ini.
G. TANDA DAN GEJALA
Lamanya timbul gejala bervariasi antara beberapa minggu sampai
tahunan, tidak ada gejala spesifik yang dapat membedakan papilloma dengan
keganasan. Gejala klinis adalah antara lain obstruksi hidung unilateral, hal ini
terjadi karena adanya massa yang cukup besar sehingga menyebabkan obstruksi
saluran nafas, rinore hal ini terjadi karena penumpukan sekresi dari kavum nasi
dan sekresi mukus yang berlebihan dari kelenjar pada mukosa nasal, epistaksis
biasanya terjadi unilateral dan tidak dipicu oleh sesuatu. Epistaksis akan
sembuh dengan sendirinya tanpa pengobatan.2
Gejala klinis lain yang dapat terjadi yaitu sakit kepala, hal ini terjadi
karena adanya penyumbatan drainase dari sinus. Jika sakit kepala terasa terus-
menerus dan nokturnal maka harus dicurigai adanya tranformasi malignan yang
merusak basis cranii, sinusitis dan bengkak pada kedua hidung, hal ini karena
adanya massa yang mengakibatkan obstruksi dari drainase sinus. Anosmia,
adalah gejala lain yang bisa terjadi. Hal ini sangat jarang terjadi tetapi dapat
terjadi apabila mengenai kedua hidung, gangguan pendengaran, hal ini
disebabkan oleh adanya massa yang meluas ke nasofaring dan melibatkan tuba
eustachius. Tinitus juga dapat terjadi tetapi sangat jarang, epifora, hal ini
disebabkan oleh adanya sumbatan pada duktus nasolakrimalis pada meatus
inferior, kaku pada wajah, hal ini disebabkan oleh keterlibatan dari nervus
infraorbital, gangguan berbicara hal ini terjadi apabila massa telah melibatkan
nasofaring, proptosis terlihat apabila lamina papyracea telah rusak.2
H. GAMBARAN RADIOLOGI PAPILOMA CAVUM NASI
Pemeriksaan radiologis pada inverted papilloma preoperatif penting
untuk mengetahui pendesakan tumor dan keterlibatan struktur sekitarnya,
sehingga tindakan pendekatan tepat yang dipilih. Menurut beberapa
penelitian CT scan potongan coronal dan axial dengan kontras pilihan
pemeriksaan yang baik untuk tumor intranasal.3
Studi radiologis menunjukkan bahwa lebih dari 90% kasus
memungkinkan untuk mengidentifikasi tempat perlekatan papilloma dengan
adanya penebalan focal bone pada CT resolusi tinggi.10 Pemeriksaan computed
tomography (CT) non-kontras dengan sayatan tipis (<1 mm) adalah protokol
standar untuk mengevaluasi area erosi tulang, meskipun temuan biasanya
menunjukkan kepadatan jaringan lunak non-spesifik dengan mikrokalsifikasi
terdapat pada 20% kasus.3
Gambar.10 koronal dari computed tomography menunjukkan sinonasal inverted
papilloma pedikel berulang pada dinding sinus maksilaris posterior. Terdapat
hiperostosis yang signifikan pada asal lesi.3

Gambar.11 Inverted papilloma pre dan paska operasi atas: Potongan


coronal, bawah : potongan axial

Gambar.12 Karsinoma sel skuamosa degenerasi IP. (A) Gambaran


sinus CT tanpa kontras a massa sphenoid kiri dengan erosi dasar
tengkorak di sella. (B) Urutan STIR kontras dengan MRI
menunjukkan massa ekspansil yang berasal dari dinding lateral
sphenoid kiri. (C) T1 semenunjukkan massa ekspansil yang berasal
dari dinding lateral sphenoid kiri.

Gambar 13. Karsinoma sel skuamosa degenerasi IP. (A) CT scan


tanpa kontras menunjukkan massa erosif di rongga hidung kanan
dengan invasi ke orbit. (B) Urutan T1 kontras dengan MRI massa
erosif di rongga hidung kanan dengan invasike orbit. Pemindaian
PET CT menunjukkanscan menunjukkan invasi massa ke orbit
medial. (C,D) Pemindaian PET CT menunjukkanaviditas massa
hidung kanan. aviditas massa hidung kanan
I. DIAGNOSA
1) Anamnesis
Pasien biasanya datang dengan gejala yang menyerupai gejala pada
penyakit inflamasi nasal lainnya. Pasien dapat datang dengan gejala
seperti hidung tersumbat, epistaksis, sekret nasal yang berbau busuk,
sakit kepala, dan nyeri pada daerah wajah. Selain gejala nasal, pasien
juga dapat mengalami gejala regional berdasarkan perluasan tumor dan
gejala sistemik lain.
Pada massa hidung didapatkan adanya sumbatan hidung unilateral,
sekret hidung, epistaksis. Pada gejala yang didapatkan dijumpai adanya
rasa sakit kepala, diplopia, epifora, atau hiposmia menunjukkan invasi
ke struktur yang berdekatan.21

Table.1 Gejala dan tanda perluasan inverted papilloma


2) Pemeriksaan Fisik
Pendekatan diagnosis dalam pemeriksaan fisik meliputi inspeksi,
deskripsi massa tumor secara rinci, dan palpasi.
A. Inspeksi
Pada pemeriksaan klinis akan didapatkan massa tumor mirip
dengan polip hidung tetapi biasanya unilateral, umumnya terdapat
pada dinding lateral kavum nasi, namun tidak jarang juga ditemukan
pada vestibulum, septum nasi, dasar nasofaring, sinus frontal dan
spenoidal, serta sakus lakrimal, tetapi biasanya unilateral. Dijumpai
massa polipoid unilateral yang mengisi kavum nasi yang menyebabkan
hidung tersumbat. Inverted papilloma berbrntuk ireguler, biasanya
berdarah jika disentuh, berwarna keabuan, mengisi penuh kavum nasi,
berlanjut dari vestibulum ke nasofaring. Septum nasi biasanya
terdorong kontralateral.
B. Palpasi
Dilakukan palpasi pada daerah tumor dirasakan licin, lunak, dan
tidak nyeri saat ditekan. 2

C. Rinoskopi anterior

Secara makroskopik tampak tumor ini hampir serupa dengan


polip hidung biasa. Masa tumor dapat berbentuk polipoid,
mulberry-like,soliter atau multipel, konsistensinya lebih padat
daripada polip, permukaan tak rata, warna bervariasi dari putih
keabu-abuan sampai kemerahan(reddish grey-livid), biasanya
rapuh dan mudah Pemeriksaan Penunjang.2
Pemeriksaan Sinoskopi

Pemeriksaan nasoendoskopi dan sinoskopi dapat membantu


menemukan tumor. Adanya pembesaran kalenjar leher juga perlu di cari
meskipun tumor ini jarang bermetastasiske kalenjar leher. Pada
pemeriksaan endoskopi biasanya berasal dari medial maxilla, namun
terkadang ditemukan pada septum, vestibulum atau dari sinus frontalis.
Secara makroskopis gross tumor terlihat dengan permukaan ireguler,
licin, lunak, dan tidak nyeri saat ditekan. Warna papiloma putih keabu-
abuan dan mengisi kavum nasi sinistra meluas ke vestibulum dan
nasofaring. Septum pasien agak terdesak ke arah sisi kontralateral.2

Gambar 14. Papilloma sinonasal dengan pada dinding lateral hidung.5

Tes Serologi
Tes serologis dapat digunakan sebagai metode diagnostik tidak langsung,
tetapi tidak akurat dalam mendiagnosis infeksi sebelumnya. Kehadiran antibodi
sebagai dugaan diagnostik ketika ada faktor risiko atau dalam evolusi
prognosis. Pada sebagian besar pasien dengan OSCC terkait HPV, antibodi
spesifik HPV (antibodi E6) terdapat dalam plasma lebih dari 10 tahun sebelum
diagnosis kanker orofaringeal. Deteksi antibodi E6 dan E7 berkorelasi lebih
baik dengan hasil pasien daripada tes HPV jaringan. Namun, beberapa data
literatur bertentangan dengan hipotesis ini karena antibodi anti-E6 dan E7 tidak
konsisten, dan seringkali tidak dapat dinilai untuk mendiagnosis dan memantau
lesi yang berpotensi ganas. Mengenai titer antibodi anti-HPV, terlihat bahwa
secara signifikan lebih tinggi dalam serum dibandingkan dengan sekresi yang
diambil dari tingkat serviks.11
J. PENATALAKSANAAN
1) Konservatif
A. Medikamentosa

Antibiotik dan dan kortikosteroid sering diresepkan, untuk mengurangi


peradangan yang ada dan perdarahan intraoperatif sehingga dapat
memperbaiki kondisi operasi, meskipun tidak ada data konklusif yang
tersedia pada saat ini.18
B. Terapi nonmedikamentosa
Diberikan edukasi dan mencegah terjadinya pertumbuhan kembali polip
tersebut. Dalam hal ini yaitu menjaga hygiene hidung dengan mengganakan
cuci hidung. Cuci hidung adalah suatu metode yang sederhana dan murah
dengan cara membilas rongga hidung menggunakan larutan garam. Larutan
garam yang digunakan umumnya adalah larutan isotonis seperti NaCl 0,9%.
Kegunaannya adalah untuk menunjang perbaikan pembersihan mukosiliar
dengan melembabkan rongga hidung dan mengangkat material-materiayang
melekat pada membran mukosa. 6
2) Operatif
Adapun pendekatan teknik pembedahan yang diketahui sebagai berikut:
a) pembedahan konservatif
Operasi konservatif dilaporkan cukup efektif pada kasus-kasus
inverted papilloma tertentu, misalnya tumor masih kecil, terbatas pada kavum
nasi dengan gambaran radiologis sinus paranasal masih jernih, belum
pernah mengalami operasi sebelumnya. Eksisi terbatas meliputi intranasal
polipektomi, konkotomi, CWL, ethmoidektomi eksternal.
b) rinotomi lateral
insisi dimulai dari tepi bawah medial alis mata, menyusuri ke inferior
antara kantus media dan dorsum nasi sepanjang tepi hidung sampai ala
nasi. Untuk mencapai reseksi en bloc, dilakukan osteotomi pada dinding
medial maksila sampai ke dinding medial orbita dibagian inferior sutura
frontoethmoid, lalu ke inferior rim orbital dan dasar orbita. Tumor dapat
diambil menggunakan forcep Mayo bengkok. Untuk menghindari epifora,
sakus lakrimalis di marsupialisasi dengan insisi secara vertikal dan tepinya
dijahit Kekurangan pendekatan rinotomi lateral adalah terdapat jaringan
parut (scar), epifora dan kebocoran LCS (liquor
cerebrospinal).Jaringan parut dapat dihindari dengan pendekatan midfacial
degloving.
c) Midfacial degloving
Pendekatan midfacial deglovingpertama kali dijelaskan oleh Casson
pada tahun 1974, pendekatan ini mengangkat jaringan lunak dari medial
wajah dengan insisi sublabial terdiri dari 4 (empat) tipe: (1) insisi
interkartilago, (2) insisi komplit septokolumelar transfiksi, (3) insisi
sublabial bilateral dari teberositas maksila ke tuberositas maksila
lainnya, (4) insisi apertura piriformis bilateral meluas ke vestibulum.
Insisi tersebut di atas membuka apertura piriformis, dinding lateral nasal
dan dinding medial orbita (Sharma dan Koirala, 2009). Kekurangan
pendekatan ini yaitu: keterbatasan pada lokasi tumor jauh seperti frontal,
ethmoid superior, sinus sphenoid, orbital dan komplikasi berupa stenosis
vestibular, fistula oroantral dan epistaksis. Pendekatan midfacial
deglovingdapat dikombinasikan dengan pendekatan endoskopi.
d). Pendekatan endoskopi
Sejak tahun 1980an teknik operasi endoskopi endonasal atau
mikrosendoskopi telah digunakan secara luas untuk pembedahan
inverted papilloma(Kraft et al., 2003; Lawson et al., 2003; Pasquini et al.,
2004). Pendekatan endoskopi endonasal dapat untuk menghindari
komplikasi yang terjadi jika dilakukan pendekatan eksternal, tetapi
pengangkatan tumor tidak bersih jika tumor meluas dan sulit
dijangkau.

Pilihan pertama dalam pengobatan adalah operasi. Dalam operasi


papilloma inverted, eksisi radikal pada daerah di mana tumor berada
dilakukan dengan pendekatan yang berbeda, seperti rhinotomy lateral atau
degloving. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, jika tumor tidak dalam
stadium yang sangat lanjut, diperlukan induksi endoskopik. Tingkat
keberhasilan telah dilaporkan tinggi dengan operasi endoskopik yang sesuai.
Kekambuhan dapat diamati karena pembedahan yang tidak memadai.9
Pendekatan ekstra-nasal adalah "gold standar" untuk melakukan reseksi
tumor "en bloc" selama sekitar 35 tahun. Padahal, sejak berkembangnya
bedah endonasal endoskopi, selama beberapa tahun terakhir, teknik mini-
invasif semakin banyak digunakan. Maxillectomy medial endoskopik dan
sejenisnya menjadi cara penting untuk menghilangkan papilloma. Ini
memberikan akses luas ke area hidung tertentu dan visualisasi struktur
anatomi yang lebih baik. Dibandingkan dengan pendekatan terbuka,
endoskopik medial maxillectomy telah menunjukkan keuntungan dari rawat
inap yang lebih pendek dengan komplikasi yang lebih sedikit dan tingkat
keberhasilan yang sama .7
3) Terapi Radiasi
Terapi radiasi (RT) dapat dipertimbangkan dalam IP dalam dua keadaan:
karsinoma terkait, dan ketidakmungkinan pembedahan. Ada beberapa laporan, Tidak
ada konsensus mengenai indikasi terapi radiasi pada inverted papiloma, Untuk RT
pasca operasi, dosis rata-rata 56 Grays, apakah reseksi selesai secara mikroskopis
atau tidak. Untuk RT eksklusif (pada pasien yang tidak dapat dioperasi), dosis rata-
rata dalam 61 Grays. Dalam kasus karsinoma, pembedahan yang diikuti oleh RT
tampaknya lebih efektif daripada pembedahan eksklusif atau RT dalam hal
kelangsungan hidup 5 tahun, yaitu 84% untuk terkait versus 41% untuk pengobatan
eksklusif. 18

K. PROGNOSIS
Kekambuhan terjadi terutama pada kasus reseksi tidak lengkap yang
disebabkan oleh paparan yang buruk dan visualisasi batas tumor. Mereka
umumnya muncul dalam waktu 6 bulan setelah operasi, namun kasus
kekambuhan papilloma telah dilaporkan 20 tahun setelahnya dalam literatur.
Tingkat kekambuhan papilloma pada orang dewasa berkisar antara 14 dan
78% . Dalam kasus pediatrik, Limaye mencatat kekambuhan dalam dua kasus
yang dilaporkan setelah 10 dan 12 bulan. Özcan juga melaporkan, kasus
papilloma berulang pada anak berusia 9 tahun. Pemeriksaan endoskopi pada
kontrol klinis adalah cara utama untuk mendeteksi kekambuhan dan dengan
demikian memberikan operasi minimal ketika masih berukuran kecil.7
DAFTARPUSTAKA

1. Sitti Khadijah, Sst, M.Kes. Buku Ajar Anatomi Dan Fisiologi Manusia.
Cetakan Pertama, Januari 2020. Hal 211.
2. Lana Asfaradilla1 , Hadjiman Yotosudarmo. Laki-Laki 45 Tahun Dengan
Inverted Papilloma Pada Cavum Nasi Sinistra Lana Asfaradilla1 , Hadjiman
Yotosudarmo. Majority . Volume 6 . Nomor 3.Juli 2017. 109-114.
3. Rizki Hanriko1 , Muhartono. Papilloma Dan Karsinoma Sinonasal. Jurnal
Kesehatan, Volume Viii, Nomor 1, April 2017, Hlm 161-164.
4. Ida Ayu Meilasari Dewi1 Ni Putu Sriwidyani2 I Gusti Ayu Sri Mahendra
Dewi3 Ni Wayan Winarti. Karakteristik Klinikopatologi Tumor Sinonasal Di
Rsup Sanglah Periode 2016-2020. J Urnal Medika Udayana, Vol. 11
No.11,November, 2022. Hal 74-77.
5. Jacob G. Eide , Kevin C. Welch Nithin D. Adappa, James N. Palmer And
Charles C. L. Tong. Sinonasal Inverted Papilloma And Squamous Cell
Carcinoma: Contemporary Management And Patient Outcomes. Cancers
2022. Hal.1-15.
6. Puput Indriany, Muh Ardi Munir, Olvi Nancy. Management Of Patients With
Antrocoanal Nasal Polyps At The Poly EntHn Undata General Hospital Palu.
Vol. 2. No. 3. November 2020.
7. Amel El Korbi, Sondes Jellali, Naourez Kolsi, Rachida Bouatay, Leila Njim,
Emna Berguaoui, Mehdi Ferjaoui, Khaled Harrathi, Jamel Koubaa. Pediatric
Naso-Sinusal Inverted Papilloma: Report Of A Case And Literature Review.
Amel El Korbi Et Al. Pamj - 37(373). 23 Dec 2020. Hal 1-8.
8. Elena Cristina Andrei, Ileana Monica Banit,Ă, Maria Cristina Munteanu,
Cristina Jana Busuioc, Garofit,A Olivia Mateescu , Ramona Denise Mălin 4
And Cătălina Gabriela Pisoschi 5. Oral Papillomatosis: Its Relation With
Human Papilloma Virus Infection And Local Immunity—An Update.
Medicina 2022. Hal 1-28.
9. Yaşar Can Akar, Fatma Nur Yildirim, Füruzan Kaçar Döger, Hatice Sema
Başak1. Inverted Papilloma: Our Clinical Experiences. Eur J Rhinol Allergy
2018; 1(3): 67-9.
10. Tomasz Gotlib, Antoni Krzeski , Marta Held-Ziółkowska, Kazimierz
Niemczyk. Endoscopic Transnasal Management Of Inverted Papilloma
Involving Frontal Sinuses. Videosurgery And Other Miniinvasive Techniques
4, December/2012. Hal. 299-303.
11. Lester DR, Thompson MD, Schneiderian papiloma of the sinonasal tarct,
Department of Pathology, Woodland Hills Medical Center, Southern
California Permanente Medical Group, Woodland Hills, september 22, 2020.
12. Elgart K, Faden DL, Sinonasal Squamous Cell Carcinoma: Etiology,
Pathogenesis, and the Role of Human Papilloma Virus, Massachusetts Eye and
Ear, Harvard Medical School, Boston, 24 June 2020.
13. Peric A, Ðurd BV, Labus M, Gace´ D, Barsova GK et al, Simultaneous Nasal
Septal Schneiderian Papilloma and Respiratory Epithelial Adenomatoid
Hamartoma, Department of Otorhinolaryngology, Faculty of Medicine of the
Military Medical Academy, University of Defence, Belgrade, Serbia, 17
oktober 2022.
14. Bin Xu, Nasal cavity, paranasal sinuses, nasopharynx Benign tumors
Sinonasal papilloma, 2020.
15. Steiger JD, Chiu AG, A sinonasal inverted papilloma of mixed histology:
Implications for management of all sinonasal papillomas. 2007
16. Gaillard F, Yap J, Saber M, et al. Inverted papilloma, radiopaedia 30 Aug
2022
17. Wang MJ, Julia E. Noel b, Etiology of sinonasal inverted papilloma: A
narrative review, Department of Otolaryngology e Head and Neck Surgery,
Beijing TongRen Hospital, Capital Medical University, Beijing, China, 2016
18. Lisan Q , Laccourreye O, Bonfils P, Sinonasal inverted papilloma: From
diagnosis to treatment, Hôpital Européen Georges Pompidou, Faculté de
Médecine Paris Descartes, Université Paris. 2016.
19. Ungari C, Riccardi E, Reale G et al, Management and treatment of sinonasal
inverted papilloma, Department of Oral and Maxillo-Facial Sciences,
“Sapienza” University of Rome, Italy. 2015
20. Sadeghi N, Sinonasal Papillomas Treatment & Management, Department of
Otolaryngology-Head and Neck Surgery, McGill University Faculty of
Medicine, Royal Victoria Hospital, Canada. Feb 03, 2021
21. Carrau RL. Malignant Tumors of the Nasal Cavity. Medscape. 2021.
https://emedicine.medscape.com/article/846995-overview

Anda mungkin juga menyukai