Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Gigitan ular atau snake bite dapat disebabkan ular berbisa dan ular tidak berbisa.
Gigitan ular yang berbisa mempunyai akibat yang beragam mulai dari luka yang
sederhana sampai dengan ancaman nyawa dan menyebabkan kematian (BC&TLS, 2008).
WHO (World Health Organitation) menyebutkan sebanyak 5 juta orang setiap tahun
digigit ular berbisa sehingga mengakibatkan sampai 2,5 juta orang keracunan, sedikitnya
100.000 orang meninggal, dan sebanyak tiga kali lipat amputasi serta cacat permanen lain
(Bataviase, 2010). Gigitan ular lebih umum terjadi di wilayah tropis dan di daerah
dimana pekerjaan utamanya adalah petani.
Orang-orang yang digigit ular karena memegang atau bahkan menyerang ular
merupakan penyebab yang signifikan di Amerika Serikat. Diperkirakan ada 45.000
gigitan ular per tahun di Amerika Serikat, terbanyak pada musim panas, sekitar 8000
orang digigit ular berbisa. Di Amerika Serikat, 76% korban adalah laki-laki kulit putih.
Studi nasional di negara tersebut melaporkan angka perbandingan antara laki-laki dan
perempuan adalah 9:1, dengan 50% korban berada pada rentang usia 18-28 tahun. 96%
gigitan berlokasi pada ekstremitas, dengan 56% pada lengan (Andimarlinasyam, 2009).
Data tentang kejadian gigitan ular berbisa di Indonesia belum diketahui secara pasti,
tetapi pernah dilaporkan dari pulau Komodo di Nusa Tenggara terdapat angka kematian
20 orang per tahun yang disebabkan gigitan ular berbisa (Gunawan, 2009). Di bagian
Emergensi RSUP dr. Hasan Sadikin Bandung dalam kurun waktu 1996-1998
dilaporkan sejumlah 180 kasus gigitan ular berbisa. Sementara di RSUD dr. Saiful Anwar
Malang pada tahun 2004 dilaporkan sejumlah 36 kasus gigitan ular berbisa. Estimasi
global menunjukkan sekitar 30.000-40.000 kematian akibat gigitan ular (Sudoyo, 2010).
Berdasarkan data Rekam Medik di RSUD Pacitan, selama kurun waktu 2009-2011
tercatat 88 kasus gigitan ular, 17 kasus dilakukan insisi pada luka dan 71 kasus tidak
dilakukan insisi dan sebagian besar disebabkan gigitan ular bandotan yang merupakan
salah satu jenis Viperidae.
Ular berbisa yang menggigit melakukan envenomasi (gigitan yang menginjeksikan
bisa atau racun), bisa ular melewati kelenjar bisa melalui sebuah duktus menuju
taring ular, dan akhirnya menuju mangsanya. Bisa ular tersebut mengandung
berbagai enzimseperti hialuronidase, fosfolipase A dan berbagai proteinase yang dapat

1
menyebabkan kerusakan jaringan. Bisa ular menyebar dalam tubuh melalui saluran
kapiler dan limfatik superfisial (Sartono, 2002).
Efek lokal luka gigitan ular berbisa adalah pembengkakan yang cepat dan nyeri
(Sudoyo, 2010). Korban yang terkena gigitan ular berbisa harus segera mendapatkan.
Pertolongan. Prinsip pertolongan pertama terhadap gigitan ular adalah menghindarkan
penyebaran bisa dan yang kedua adalah mencegah terjadinya infeksi pada bagian yang
digigit. Dulu pernah dikenal cara perawatan ala John Wayne yaitu iris, isap dan
muntahkan (slice, suck and spit) atau tindakan insisi, penghisapan dengan mulut dan
dimuntahkan sebagai upaya untuk mengeluarkan bisa dan mencegah penyebaran bisa
ke seluruh tubuh (Networkbali, 2010). Insisi atau eksisi pada daerah luka gigitan ular
dapat merusak urat syaraf dan pembuluh darah (Sartono, 2002). Adanya luka gigitan
ular terbuka juga menimbulkan resiko peradangan yang salah satu tandanya adalah
pembengkakan. Namun kenyataan di lapangan, beberapa kasus gigitan ular masih
dilakukan tindakan insisi.

1.2 Tujuan
Tujuan Umum
Untuk mendapatkan gambaran dan mengetahui tentang bagaimana asuhan
keperawatan pada klien Gigitan Ular Berbisa.
Tujuan Khusus
Diharapkan mahasiswa mampu memberikan gambaran asuhan keperawatan meliputi :
1. Mampu memberikan gambaran tentang pengkajian pada klien dengan Gigitan
Ular Berbisa
2. Mampu merumuskan diagnosa keperawatan pada klien dengan Gigitan Ular
Berbisa
3. Mampu membuat rencana keperawatan pada klien Gigitan Ular Berbisa

1.3 Masalah
1. Jelaskan pengkajian pada klien dengan Gigitan Ular Berbisa?
2. Jelaskan diagnosa keperawatan pada klien dengan Gigitan Ular Berbisa ?
3. Jelaskan rencana keperawatan pada klien Gigitan Ular Berbisa ?

1.4 Manfaat
1. Untuk mengetahui pengkajian pada klien dengan Gigitan Ular Berbisa
2. Untuk mengetahui diagnosa keperawatan pada klien dengan Gigitan Ular Berbisa
3. Untuk mengetahui rencana keperawatan pada klien Gigitan Ular Berbisa

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Tinjauan Teori


Ular merupakan jenis hewan melata yang banyak terdapat di Indonesia. Spesies
ular dapat dibedakan atas ular berbisa dan ular tidak berbisa. Ular berbisa memiliki
sepasang taring pada bagian rahang atas. Pada taring tersebut terdapat saluran bisa
untuk menginjeksikan bisa ke dalam tubuh mangsanya secara subkutan atau
intramuskular.
Bisa adalah suatu zat atau substansi yang berfungsi untuk melumpuhkan mangsa
dan sekaligus juga berperan pada sistem pertahanan diri. Bisa tersebut merupakan
ludah yang termodifikasi, yang dihasilkan oleh kelenjar khusus. Kelenjar yang
mengeluarkan bisa merupakan suatu modifikasi kelenjar ludah parotid yang terletak di
setiap bagian bawah sisi kepala di belakang mata. Bisa ular tidak hanya terdiri atas satu
substansi tunggal, tetapi merupakan campuran kompleks, terutama protein, yang

3
memiliki aktivitas enzimatik. Gigitan binatang berbisa adalah gigitan atau serangan
yang di akibatkan oleh gigitan hewan berbisa seperti ular.

Efek toksik bisa ular pada saat menggigit mangsanya tergantung pada spesies,
ukuran ular, jenis kelamin, usia, dan efisiensi mekanik gigitan (apakah hanya satu atau
kedua taring menusuk kulit), serta banyaknya serangan yang terjadi.
Ular berbisa kebanyakan termasuk dalam famili Colubridae, tetapi pada
umumnya bisa yang dihasilkannya bersifat lemah. Contoh ular yang termasuk famili ini
adalah ular sapi (Zaocys carinatus), ular tali (Dendrelaphis pictus), ular tikus atau
ular jali (Ptyas korros), dan ular serasah (Sibynophis geminatus). Ular berbisa kuat yang
terdapat di Indonesia biasanya masuk dalam famili Elapidae, Hydropiidae,
atau Viperidae. Elapidae memiliki taring pendek dan tegak permanen. Beberapa
contoh anggota famili ini adalah ular cabai (Maticora intestinalis), ular weling
(Bungarus candidus), ular sendok (Naja sumatrana), dan ular king kobra
(Ophiophagus hannah). Viperidae memiliki taring panjang yang secara normal dapat
dilipat ke bagian rahang atas, tetapi dapat ditegakkan bila sedang menyerang
mangsanya. Ada dua subfamili pada Viperidae, yaitu Viperinae dan Crotalinae.
Crotalinae memiliki organ untuk mendeteksi mangsa berdarah panas (pit organ), yang
terletak di antara lubang hidung dan mata. Beberapa contoh Viperidae adalah ular
bandotan (Vipera russelli), ular tanah (Calloselasma rhodostoma), dan ular
bangkai laut (Trimeresurus albolabris).

2.2 Epidemiologi
Kasus gigitan ular di Amerika Serikat dilaporkan setiap tahun sekitar 45.000
kasus, namun yang disebabkan oleh ular berbisa hanya 8000 kasus. Selama 3

4
tahun terakhir, the American Association of Poison Control Centers melaporkan
bahwa dari 6000 kasus gigitan ular, 2000 diantaranya merupakan gigitan ular
berbisa.
Kematian diperkirakan terjadi pada 5 sampai 15 kasus dan biasanya terjadi pada
anak-anak, orang yang lanjut usia, dan pada kasus yang tidak atau terlambat

mendapatkan anti bisa ular. Pasien korban gigitan ular berbisa 15% sampai
40% akan meninggalkan gejala sisa. Menurut catatan medik RSCM, kejadian
kasus gigitan ular berbisa selama 5 tahun terakhir (1998 2002) sebanyak 37 pasien.
Pada umumnya korban gigitan ular adalah laki- laki dengan usia antara 17
sampai tahun, seringkali dalam kondisi mabuk, sedang melakukan aktifitas

berkebun, atau sedang menangkap bahkan bermain dengan ular.. Waktu gigitan
biasanya terjadi pada malam hari dan gigitan lebih sering terjadi pada
ekstremitas. Malik dkk, pada tahun 1992 melakukan penelitian terhadap korban
gigitan ular, mendapatkan tempat gigitan pada tungkai atau kaki (83,3%) dan
lengan atau tangan (17,7%). Terdapat 3000 spesies ular, 200 spesies diantaranya

termasuk ular berbisa.1 Ular berbisa sebagian besar berasal dari 3 famili yaitu,
Hydrophidae (ular laut), Elapidae (contohnya cobra) dan Viperidae (Crotalidae).
Kasus gigitan ular berbisa 95% disebabkan oleh gigitan ular dari famili Crotalidae.
Ular jenis Crotalidae disebut juga Viperidae atau pit vipers karena kepala
berbentuk triangular, pupil matanya elips, serta terdapat lubang antara hidung dan
mata. (Gambar 2). Lubang tersebut pada jenis pit viper berfungsi sebagai organ
sensoris terhadap panas. Pit viper mudah dikenal dari taringnya yang cukup
panjang, sekitar 3-4 cm. Jenis ular berbisa dari famili Elapidae misalnya coral snake
mempunyai kepala kecil dan bulat, dengan pupil bulat dan taring lebih kecil
sekitar 1-3 mm.Coral snake mudah diidentifikasi karena warnanya terang,
misalnya belang hitam dan merah atau kuning.

5
Gambar 2. Gambar ular jenis Crotalidae dan Elapidae

2.3 Etiologi
a. Bisa ular yang bersifat racun (hemotoxic)
Bisa ular yang bersifat racun terhadap darah yaitu bisa ular yang menyerang
dan merusak (menghancurkan) sel-sel darah merah dengan jalan
menghancurkan stroma lecethine (dinding sel darah merah), sehingga sel
darah merah menjadi hancur dan larut (hemolysin) dan keluar menembus
pembuluh-pembuluh darah, mengakibatkan timbulnya perdarahan pada
selaput tipis (lender) pada mulut, hidung, tenggorokan dan lain-lain.
b. Bisa ular bersifat saraf (neurotoxic)
yaitu bisa ular yang merusak dan melumpuhkan jaringan-jaringan sel saraf
sekitar luka gigitan yang menyebabkan jaringan-jaringan sel saraf tersebut
mati dengan tanda-tanda kulit sekitar luka gigitan tampak kebiru-biruan dan
hitam (nekrotis). Penyebaran dan peracunan selanjutnya mempengaruhi
susunan saraf pusat dengan jalan melumpuhkan susunan saraf pusat, seperti
saraf pernafasan dan jantung. Penyebaran bisa ular keseluruh tubuh, ialah
melalui pembuluh limpa.
c. Bisa ular yang bersifat Myotoksin
Mengakibatkan rabdomiolisis yang sering berhubungan dengan maemotoksin.
Myoglobulinuria yang menyebabkan kerusakan ginjal dan hiperkalemia akibat
kerusakan sel-sel otot.
d. Bisa ular yang bersifat kardiotoksin
Merusak serat-serat otot jantung yang menimbulkan kerusakan otot jantung.
e. Bisa ular yang bersifat cytotoksin
Dengan melepaskan histamin dan zat vasoaktifamin lainnya berakibat
terganggunya kardiovaskuler.
f. Bisa ular yang bersifat cytolitik
Zat ini yang aktif menyebabkan peradangan dan nekrose di jaringan pada
tempat gigitan.

2.4 Patofisiologi
Bisa ular diproduksi dan disimpan pada sepasang kelenjar dibawah mata. Bisa
ular dikeluarkan dari lubang pada gigi-gigi taring yang terdapat dirahang atas.
Dosis bisa setiap gigitan tergantung pada waktu yang berlalu sejak gigitan
terakhir, derajat ancaman yang dirasakan ular, dan ukuran mangsa. Lubang hidung
ular merespon panas yang dikeluarkan mangsa, yang memungkinkan ular untuk
mengubah-ubah jumlah bisa yang akan dikeluarkan.

6
Semua metode injeksi venom kedalam korban (evenomasi) adalah
mengimobilisasi secara cepat dan mulai mencernanya. Sebagian besar bisa terdiri
dari air. Bisa ular terdiri dari bermacam polipeptida yaitu fosfolipase A,
hialuronidase, ATP-ase, 5 nukleotidase, kolin esterase, protease
fosfomonoesterase, RNA-ase, DNA-ase. Enzim ini menyebabkan hemolisis atau
pelepasan histamin sehingga timbul reaksi anafilaksis.

2.5 Diagnosis
Diagnosis definitif gigitan ular berbisa ditegakkan berdasarkan identifikasi ular
yang menggigit dan adanya manifestasi klinis. Ular yang menggigit
sebaiknya dibawa dalam keadaan hidup atau mati, baik sebagian atau seluruh tubuh
ular. Perlu juga dibedakan apakah gigitan berasal dari ular yang tidak berbisa atau
binatang lain, dari pemeriksaan fisik pada luka gigitan yang ditinggalkan. Bila
tidak dapat mengidentifikasi ular yang menggigit, manifetasi klinis menjadi hal yang
utama dalam menegakkan diagnosis.

2.6 Tanda dan Gejala


Gejala dan tanda gigitan ular berbisa dapat dibagi ke dalam beberapa kategori
mayor :
1. Efek lokal
Digigit oleh beberapa ular viper atau beberapa kobra (Naja spp)
menimbulkan rasa sakit dan perlunakan di daerah gigitan. Luka dapat
membengkak hebat dan dapat berdarah dan melepuh. Beberapa bisa ular
kobra juga dapat mematikan jaringan sekitar sisi gigitan luka.
2. Perdarahan
Gigitan oleh famili viperidae atau beberapa elapid Australia dapat
menyebabkan perdarahan organ internal seperti otak atau organ-organ
abdomen. Korban dapat berdarah dari luka gigitan atau berdarah spontan
dari mulut atau luka yang lama. Perdarahan yang tak terkontrol dapat
menyebabkan syok atau bahkan kematian.
3. Efek sistem saraf
Bisa ular elapid dan ular laut dapat berefek langsung pada sistem saraf.
Bisa ular kobra dan mamba dapat beraksi terutama secara cepat
menghentikan otot- otot pernafasan, berakibat kematian sebelum mendapat
perawatan. Awalnya, korban dapat menderita masalah visual, kesulitan
bicara dan bernafas, dan kesemutan.
4. Kematian otot
Bisa dari Russells viper (Daboia russelli), ular laut, dan beberapa elapid

7
Australia dapat secara langsung menyebabkan kematian otot di beberapa
area tubuh. Debris dari sel otot yang mati dapat menyumbat ginjal, yang
mencoba menyaring protein. Hal ini dapat menyebabkan gagal ginjal.
5. Mata
Semburan bisa ular kobra dan ringhal dapat secara tepat mengenai mata
korban, menghasilkan sakit dan kerusakan, bahkan kebutaan sementara
pada mata.

2.7 Penanganan
Penatalaksanaan tergantung derajat keparahan envenomasi; dibagi menjadi
perawatan di lapangan dan manajemen di rumah sakit.
a. Penatalaksanaan di Lapangan
Seperti kasus-kasus emergensi lainnya, tujuan utama adalah untuk
mempertahankan pasien sampai mereka tiba di instalasi gawat darurat.
Sering penatalaksanaan dengan autentisitas yang kurang lebih
memperburuk daripada memperbaiki keadaan, termasuk membuat insisi
pada luka gigitan, menghisap dengan mulut, pemasangan turniket,
kompres dengan es, atau kejutan listrik. Perawatan di lapangan yang tepat
harus sesuai dengan prinsip dasar emergency life support. Tenangkan
pasien untuk menghindari hysteria selama implementasi ABC (Airway,
Breathing, Circulation)
Pertolongan Pertama :
1. Cegah gigitan sekunder atau adanya korban kedua. Ular dapat terus
mengigit dan menginjeksikan bisa melalui gigitan berturut-turut sampai
bisa mereka habis.
2. Buat korban tetap tenang, yakinkan mereka bahwa gigitan ular dapat
ditangani secara efektif di instalasi gawat darurat. Batasi aktivitas dan
imobilisasi area yang terkena (umumnya satu ekstrimitas), dan tetap
posisikan daerah yang tergigit berada di bawah tinggi jantung untuk
mengurangi aliran bisa.
3. Jika terdapat alat penghisap, (seperti Sawyer Extractor), ikuti petunjuk
penggunaan. Alat penghisap tekanan-negatif dapat memberi beberapa
keuntungan jika digunakan dalam beberapa menit setelah envenomasi.
Alat ini telah direkomendasikan oleh banyak ahli di masa lalu, namun
alat ini semakin tidak dipercaya untuk dapat menghisap bisa secara

8
signifikan, dan mungkin alat penghisap dapat meningkatkan kerusakan
jaringan lokal.
4. Buka semua cincin atau benda lain yang menjepit / ketat yang dapat
menghambat aliran darah jika daerah gigitan membengkak. Buat bidai
longgar untuk mengurangi pergerakan dari area yang tergigit.
5. Monitor tanda-tanda vital korban temperatur, denyut nadi, frekuensi
nafas, dan tekanan darah jika mungkin. Tetap perhatikan jalan nafas
setiap waktu jika sewaktu-waktu menjadi membutuhkan intubasi.
6. Jika daerah yang tergigit mulai membengkak dan berubah warna, ular
yang mengigit kemungkinan berbisa.
7. Segera dapatkan pertolongan medis. Transportasikan korban secara
cepat dan aman ke fasilitas medis darurat kecuali ular telah pasti
diidentifikasi tidak berbahaya (tidak berbisa). Identifikasi atau
upayakan mendeskripsikan jenis ular, tapi lakukan jika tanpa resiko
yang signifikan terhadap adanya gigitan sekunder atau jatuhnya korban
lain. Jika aman, bawa serta ular yang sudah mati. Hati-hati pada
kepalanya saat membawa ular ular masih dapat mengigit hingga satu
jam setelah mati (dari reflek). Ingat, identifikasi yang salah bisa fatal.
Sebuah gigitan tanpa gejala inisial dapat tetap berbahaya atau bahkan
fatal.
8. Jika berada di wilayah yang terpencil dimana transportasi ke instalasi
gawat darurat akan lama, pasang bidai pada ekstremitas yang tergigit.
Jika memasang bidai, ingat untuk memastikan luka tidak cukup
bengkak sehingga menyebabkan bidai menghambat aliran darah.
Periksa untuk memastikan jari atau ujung jari tetap pink dan hangat,
yang berarti ekstrimitas tidak menjadi kesemutan, dan tidak
memperburuk rasa sakit.
9. Jika dipastikan digigit oleh elapid yang berbahaya dan tidak terdapat
efek mayor dari luka lokal, dapat dipasang pembalut dengan teknik
imobilisasi dengan tekanan. Teknik ini terutama digunakan untuk
gigitan oleh elapid Australia atau ular laut. Balutkan perban pada luka
gigitan dan terus sampai ke bagian atas ekstremitas dengan tekanan
seperti akan membalut pergelangan kaki yang terpeleset. Kemudian
imobilisasi ekstremitas dengan bidai, dengan tetap memperhatikan
mencegah terhambatnya aliran darah. Teknik ini membantu mencegah
efek sistemik yang mengancam nyawa dari bisa, tapi juga bisa

9
memperburuk kerusakan lokal pada sisi gigitan jika gejala yang
signifikan terdapat di sana.

b. Penatalaksanaan di Rumah Sakit


Bantuan awal pertama pada daerah gigitan ular meliputi :
1) Mengistirahatkan korban
2) Melepskan benda yang mengikat seperti cincin
3) Memberikan kehangatan
4) Membersihkan luka
5) Menutup luka dengan balutan steril
6) Imobilisasi bagian tubuh di bawah tinggi jantung
Evaluasi awal departemen kedaruratan dilakukan dengan cepat meliputi :
1) Menentukan apakah ular berbisa atau tidak
2) Menentukan dimana dan kapan gigitan ular terjadi dan sekitar gigitan
3) Menetapkan urutan kejadian, tanda dan gejala ( bekas gigi, nyeri,
edema, dan eritem jaringan yang digigit dan di dekatnya)
4) Menentukan keparahan dampak keracunan
5) Memantau tanda vital
6) Mengukur dan mencatat lingkar ekstremitas sekitar gigitan atau ares
pada beberapa titik. Dapatkan data laboratorium yang tepat ( misalnya,
HDL , urinalisis, dan pemeriksaan pembekuan

c. Pembedahan
Efek lokal dari keracunan seperti nekrosis lokal, sindrom kompartemen
dan trombosis dari pembuluh darah utama biasanya terjadi pada pasien
yang tidak diterapi dengan anti bisa. Intervensi pembedahan mungkin
dapat dilakukan.
Tetapi intervensi ini menjadi bahaya apabila pasien dengan komplikasi
consumption coagulopathy, trombositopenia, fibrinolisis. Pada pasien
dengan keadaan tersebut harus dilakukan penanganan yang lebih
komperhensif untuk menangani komplikasi dari efek lokal racun tersebut.
1. Fasciotomy
Jika perawatan dengan elevasi tungkai dan obat-obatan gagal, ahli
bedah mungkin perlu melakukan pembedahan pada kulit sampai
kompartemen yang terkena, disebut fasciotomy. Prosedur ini dapat
memperbaiki pembengkakan dan penekanan tungkai, berpotensi
menyelamatkan lengan atau tungkai. Fasciotomi tidak diindikasikan
pada setiap gigitan ular, tapi dilakukan pada pasien dengan bukti

10
objektif adanya peningkatan tekanan kompartemen. Cedera jaringan
setelah sindrom kompartemen bersifat reversible tapi dapat dicegah.

2. Nekrotomi
Dikerjakan bila telah nampak jelas batas kematian jaringan, kemudian
dilanjutkan dengan cangkok kulit. Dalam penanganan yang
menyeluruh, maka perlu dilakukan pengambilan darah untu
pemeriksaan waktu protrombin, APTT, D-Dimer, fibrinogen, dan Hb,
leukosit, trombosit, kreatinin, urea N, elektrolit, CK. Periksa waktu
pembekua, jika dalam 10 menit menunjukkan adanya koagulopati. Juga
dapat dilakukan apus tempat gigitan dengan venom detection.

BAB III
TINJAUAN ASKEP
3.1 Pengkajian

11
Pengkajian keperawatan Marilynn E. Doenges (2000: 871-873), dasar data pengkajian
pasien, yaitu:
a. Aktivitas dan Istirahat
Gejala: Malaise.
b. Sirkulasi
Tanda: Tekanan darah normal/sedikit di bawah jangkauan normal (selama hasil
curah jantung tetap meningkat). Denyut perifer kuat, cepat, (perifer hiperdinamik),
lemah/lembut/mudah hilang, takikardi, ekstrem (syok).
c. Integritas Ego
Gejala: Perubahan status kesehatan.
Tanda: Reaksi emosi yang kuat, ansietas, menangis, ketergantungan, menyangkal,
menarik diri.
d. Eliminasi
e. Makanan/cairan
f. Neorosensori
Gejala: Sakit kepala, pusing, pingsan.
Tanda: Gelisah, ketakutan, kacau mental, disorientasi, delirium/koma.
g. Nyeri/Kenyamanan
h. Pernapasan
Tanda: Takipnea dengan penurunan kedalaman pernapasan.
Gejala: Suhu umunya meningkat (37,95oC atau lebih) tetapi mungkin normal,
kadang subnormal (dibawah 36,63oC), menggigil. Luka yang sulit/lama sembuh.
i. Seksualitas
j. Integumen
Daerah gigitan bengkak, kemerahan, memar

3.2 Diagnosa Keperawatan


1. Gangguan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan reaksi endotoksin.
2. Nyeri akut berhubungan dengan proses infeksi.
3. Hipertermia berhubungan dengan peningkatan tingkat metabolisme, penyakit,
dehidrasi, efek langsung dari sirkulasi endotoksin pada hipotalamus, perubahan
pada regulasi temperatur, proses infeksi

3.3 Intervensi
Diagnosa I :
Gangguan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan reaksi endotoksin.
Kriteria hasil :

12
Menunjukkan bunyi napas jelas, frekuensi pernapasan dalam rentang normal,
bebas dispnea/sianosis.
Intervensi:
1. Pertahankan jalan napas klien.
Rasional: Meningkatkan ekspansi paru-paru.
2. Pantau frekuensi dan kedalaman pernapasan.
Rasional: Pernapasan cepat/dangkal terjadi karena hipoksemia, stres, dan
sirkulasi endotoksin.
3. Auskultasi bunyi napas.
Rasional: Kesulitan pernapasan dan munculnya bunyi adventisius merupakan
indikator dari kongesti pulmonal/edema interstisial, atelektasis.
4. Sering ubah posisi.
Rasional: Bersihan pulmonal yang baik sangat diperlukan untuk mengurangi
ketidakseimbangan ventelasi/perfusi.
5. Berikan O2 melalui cara yang tepat, misal masker wajah.
Rasional: O2 memperbaiki hipoksemia/asidosis. Pelembaban menurunkan
pengeringan saluran pernapasan dan menurunkan viskositas sputum.

Diagnosa 2 :
Nyeri akut berhubungan dengan proses infeksi.

Kriteria hasil :
Melaporkan nyeri berkurang/terkontrol, menunjukkan ekspresi wajah/postur
tubuh tubuh rileks, berpartisipasi dalam aktivitas dan tidur/istirahat dengan tepat.

Intervensi:
1. Kaji tanda-tanda vital.
Rasional: Mengetahui keadaan umum klien, untuk menentukan intervensi
selanjutnya.
2. Kaji karakteristik nyeri.
Rasional: Dapat menentukan pengobatan nyeri yang pas dan mengetahui
penyebab nyeri.
3. Ajarkan tehnik distraksi dan relaksasi.

13
Rasional: Membuat klien merasa nyaman dan tenang.
4. Pertahankan tirah baring selama terjadinya nyeri.
Rasional: Menurunkan spasme otot.
5. Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian analgetik.
Rasional: Memblok lintasan nyeri sehingga berkurang dan untuk membantu
penyembuhan luka.

Diagnosa 3 :
Hipertermia berhubungan dengan peningkatan tingkat metabolisme, penyakit,
dehidrasi, efek langsung dari sirkulasi endotoksin pada hipotalamus, perubahan
pada regulasi temperatur, proses infeksi.
Kriteria hasil :
Mendemonstrasikan suhu dalam batas normal (36-37,5oC), bebas dari
kedinginan.

Intervensi:
1) Pantau suhu klien.
Rasional: Suhu 38,9-41,1oC menunjukkan proses penyakit infeksi akut.
2) Pantau asupan dan haluaran serta berikan minuman yang disukai untuk
mempertahankan keseimbangan antara asupan dan haluaran.
Rasional: Memenuhi kebutuhan cairan klien dan membantu menurunkan suhu
tubuh.
3) Pantau suhu lingkungan, batasi/tambahan linen tempat tidur sesuai
indikasi.
Rasional: Suhu ruangan/jumlah selimut harus diubah untuk mempertahankan
suhu mendekati normal.
4) Berikan mandi kompres hangat, hindari penggunaan alkohol.
Rasional: Dapat membantu mengurangi demam, karena alkohol dapat
membuat kulit kering.
5) Berikan selimut pendingin.
Rasional: Digunakan untuk mengurangi demam.

14
6) Berikan Antiperitik sesuai program.
Rasional: Digunakan untuk mengurangi demam dengan aksi sentralnya pada
hipotalamus.

BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan

Ular merupakan jenis hewan melata yang banyak terdapat di Indonesia.


Spesies ular dapat dibedakan atas ular berbisa dan ular tidak berbisa. Ular berbisa
memiliki sepasang taring pada bagian rahang atas. Pada taring tersebut terdapat
saluran bisa untuk menginjeksikan bisa ke dalam tubuh mangsanya secara subkutan
atau intramuskular. Bisa adalah suatu zat atau substansi yang berfungsi untuk
melumpuhkan mangsa dan sekaligus juga berperan pada sistem pertahanan diri. Bisa
ular yang bersifat racun (hemotoxic)

Bisa ular yang bersifat racun terhadap darah yaitu bisa ular yang menyerang dan
merusak (menghancurkan) sel-sel darah merah dengan jalan menghancurkan stroma
lecethine (dinding sel darah merah), sehingga sel darah merah menjadi hancur dan
larut (hemolysin) dan keluar menembus pembuluh-pembuluh darah, mengakibatkan
timbulnya perdarahan pada selaput tipis (lender) pada mulut, hidung, tenggorokan dan
lain-lain. Adapun beberapa penyebab darigigitan ular berbisa yaitu bisa ular bersifat
saraf (neurotoxic), bisa ular yang bersifat Myotoksin, bisa ular yang bersifat
kardiotoksin, bisa ular yang bersifat cytotoksin dan bisa ular yang bersifat cytolitik

4.2 Saran

15
Semoga makalah ini dapat menjadi referensi bagi mahasiswa yang ingin
membuat makalah tentang Askep Gawat Darurat Gigitan Ular Berbisa serta dapat
menambah wawasan bagi mahasiswa.

DAFTAR PUSTAKA

BC&TLS. (2008). Materi Panduan Pelatihan Basic Cardiac & Trauma Life Support
(BC&TLS). Jakarta: Emergency Medical Training & Services EMS 119.
Dahlan, Sopiyudin. (2011). Statistik Untuk Kedokteran dan Kesehatan. Jakarta:
Salemba Medika.
Djoni Djunaedi. Penatalaksanaan Gigitan Ular Berbisa. Dalam: Sudoyo AW,
Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S, editor. Buku ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jilid 2. Edisi ke-5. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit
Dalam,2009.h.280-3.
Guidelines for the Clinical Management of Snakes bites in the South-East Asia
Region, World Health Organization, 2005.
Pedoman Pertolongan Keracunan untuk Puskesmas, Badan Pengawas Obat dan
Makanan Republik Indonesia, 2002.
Snake Venom: The Pain and Potential of Poison, The Cold Blooded News Vol. 28,
Number 3, March, 2001.

16

Anda mungkin juga menyukai