Anda di halaman 1dari 44

CASE BASED DISCUSSION

“SNAKE BITE”

Oleh:

Lale Aprilia Kirana

(016.06.0007)

Pembimbing:

dr. Made Oka Sastrawan, Sp. B., M.Biomed

DALAM RANGKA MENJALANI KEPANITERAAN KLINIK MADYA


DI BAGIAN STASE BEDAH RUMAH SAKIT UMUM DAERAH
KLUNGKUNG FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM
AL-AZHAR MATARAM
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan
rahmat dan hidayah-Nya laporan Case Base Discussion ini dapat diselesaikan dengan
sebagaimana mestinya. Di dalam laporan ini penulis memaparkan laporan kasus dan
materi berkaitan dengan “Snake Bite/Gigitan Ular”
Penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah
memberikan dukungan serta bantuan hingga terselesaikannya laporan ini. Penulis
mohon maaf jika dalam laporan ini terdapat banyak kekurangan dalam menggali
semua aspek yang menyangkut segala hal yang berhubungan dengan laporan kasus
ini. Oleh karena itu penulis mengharapkan adanya kritik dan saran yang membangun
sehingga dapat membantu untuk dapat lebih baik lagi kedepannya.

Klungkung, 7 Desember 2021

Penyusun
DAFTAR ISI

JUDUL

KATA PENGANTAR...............................................................................................ii

DAFTAR ISI..............................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................1

1.1 Latar Belakang..............................................................................................1


1.2 Tujuan............................................................................................................2
1.3 Manfaat..........................................................................................................2

BAB III LAPORAN KASUS

3.1.........................................................................................................................
Identitas Pasien...............................................................................................3
3.2.........................................................................................................................An
amnesis...........................................................................................................3
3.3.........................................................................................................................Pe
meriksaan Fisik..............................................................................................5
3.4.........................................................................................................................Pe
meriksaan Penunjang..................................................................................7
3.5.........................................................................................................................Di
agnosis Banding.............................................................................................10
3.6.........................................................................................................................Di
agnosis Kerja..................................................................................................10
3.7.........................................................................................................................Pla
nning...............................................................................................................11
2.10.Prognosis.......................................................................................................11
2.11Follow Up.......................................................................................................11

BAB III TINJAUAN PUSTAKA

3.1.Anatomi........................................................................................................13
3.2.Definisi Tumor Mammae..............................................................................18
3.3.Epidemiologi.................................................................................................19
3.4.Etiopatogenesis.............................................................................................20
3.5.Faktor Risiko ...............................................................................................21
3.6.Patofisiologi ................................................................................................23
3.7.Klasifikasi ...................................................................................................24
3.8.Diagnosis ....................................................................................................36
3.10.......................................................................................................................Pe
natalaksanaan .............................................................................................42

BAB III KESIMPULAN...........................................................................................44

DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Gigitan ular dapat menjadi masalah kegawatdaruratan medis yang dapat
mengancam hidup manusia, bisa ular mampu mengganggu fungsi pernapasan,
menyebabkan gangguan perdarahan, fungsi ginjal, serta merusak jaringan lokal yang
menyebabkan terjadinya disabilitas permanen dan amputasi. Menurut WHO, sekitar
5,4 juta orang mengalami gigitan ular setiap tahunnya, dan 2,7 juta diantaranya
adalah gigitan ular berbisa. Sekitar 81.000 hingga 138.000 orang meninggal setiap
tahunnya akibat gigitan ular, dan tiga kali banyaknya amputasi dan disabilitas
permanen disebabkan oleh gigitan ular tiap tahunnya.1
Kasus gigitan ular menjadi penyakit tropis yang terabaikan. Jumlah akurat kasus
gigitan ular di dunia sulit diketahui akibat kesalahan pelaporan yang terjadi.
Meskipun langka, beberapa negara telah melakukan studi untuk mengidentifikasi
insidensi, morbiditas dan mortalitas kasus gigitan ular. Asia Tenggara adalah wilayah
yang paling terdampak karena kepadatan populasinya yang tinggi, besarnya aktivitas
agrikultural, dan banyaknya jenis ular berbisa serta kurangnya program kontrol yang
dibuat. Berdasarkan karakteristik korban di Asia Tenggara, petani merupakan korban
terbanyak yang diikuti oleh pelajar dan ibu rumah tangga, dengan tingkat mortalitas
0,5% hingga 58%.2 Gigitan ular lebih sering terjadi pada laki-laki dengan lokasi
terbanyak di ekstremitas bawah. Insidensi gigitan ular lebih tinggi saat musim hujan
dimana aktivitas agrikultur juga lebih tinggi.2,3
Indonesia adalah salah satu negara tropis terbesar yang memiliki kasus gigitan
ular yang cukup tinggi. Terlebih jumlah masyarakat yang bekerja di bidang agrikultur
cukup banyak, yang dikategorikan sebagai populasi berisiko tinggi.4 Di Indonesia,
estimasi kasus gigitan ular pada tahun 2007 sebanyak 12.739-214.883 dengan 2000 -
11.581 kematian5. Ketepatan laporan tersebut juga dipengaruhi oleh beberapa faktor
seperti penanganan tradisional, kasus terjadi daerah pedesaan sehingga tidak mampu
mencapai rumah sakit. Data epidemiologi nasional tidak tersedia, data yang diperoleh
hanya berdasarkan laporan rumah sakit.6,7 Meskipun demikian, pemerintah dan
komunitas Kesehatan masyarakat di Indonesia masih menaruh perhatian yang sedikit
mengenai masalah ini. Hal ini dapat dilihat dari kurangnya laporan epidemiologi,
program kontrol, dan pedoman nasional manajemen gigitan ular di Indonesia.
Kurangnya informasi gigitan ular merefleksikan bahwa gigitan ular menjadi salah
satu penyaki tropis yang diabaikan di Indonesia.4,5,6
Akibat risiko kesehatan yang dapat ditimbulkan, gigitan ular patut ditanggapi
dengan serius. Upaya untuk mengurangi jumlah kasus dan kematian akibat gigitan
ular di dunia telah dikembangkan dalam sebuah strategi global oleh WHO yang
bertujuan untuk mendorong komunitas untuk mencegah kasus gigitan ular,
memperkuat sistem Kesehatan untuk hasil yang lebih baik, dan menjamin
penatalaksanaan yang tepat, aman, dan efektif dapat terpenuhi.8,9
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1. Identitas Pasien


Nama : IMT
Tanggl lahir/ Umur : 31 Desember 1966/ 55 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Petani
Status Perkawinan : Kawin
Agama : Islam
Suku/ Bangsa : Bali/ Indonesia
Pendidikan : Tidak sekolah
Alamat : Dusun Kelodan, Kec. Banjarangkan, Kab. Klungkung
Tanggal MRS : 7/12/2021
No. Rekam Medis : 052046

2.2. Anamnesa
a. Keluhan Utama :
Digigit ular pada telapak tangan kiri

b. Riwayat penyakit sekarang :


Pasien datang ke IGD RSUD Klungkung dengan diantar keluarga keluhan
digigit ular sejak 3 jam yang lalu di telapak tangan kiri saat pasien sedang
berkebun dibelakang rumah. Ular tidak diketahui jenisnya (bercorak dan
berwarna coklat). Ketika itu pasien langsung kesakitan dan melihat dua tanda
bekas gigitan ular, bengkak dan kemerahan mulai timbul setengah jam
kemudian.
Pasien tidak merasa mual, tidak ada muntah ataupun rasa lemas,
mengantuk, kejang dan gatal-gatal didaerah tangan kiri, Lemah otot, kesemutan
disangkal pasien. Kesulitan menelan dan bernapas (-), BAB dan BAK dalam
batas normal.

c. Riwayat Penyakit Dahulu


- Riwayat keluhan yang sama: tidak ada (belum pernah digigit ular
sebelumnya)
- Riwayat Hipertensi : tidak ada
- Riwayat DM : tidak ada
- Riwayat Asma : tidak ada
- Riwayat Operasi : tidak ada

- Riwayat Penyakit Keluarga


- Riwayat keluhan yang sama: tidak ada
- Riwayat Hipertensi : tidak ada
- Riwayat DM : tidak ada
- Riwayat Alergi : tidak ada

d. Riwayat Pengobatan : Pasien belum berobat sebelumnya

e. Riwayat alergi : Pasien tidak mempunyai alergi obat, makanan,


ataupun minuman

f. Riwayat sosial
- Makan minum : Baik
- BAB dan BAK: BAB normal 1x dalam 2 hari dan BAK jernih.
- Merokok & Alkohol : Tidak
- Kebersihan diri : Baik
- Olahraga : Jarang
2.3. Pemeriksaan Fisik
Status present
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis, GCS = E4M6V5
Berat badan : 70 kg
Tinggi badan : 170 cm
IMT : 24,22 kg/m2
Tanda-tanda Vital:
Tekanan Darah : 129/84 mmHg
Frekuensi Nadi : 64 kali/menit
Frekuensi Napas : 18 kali/menit
Suhu : 36,5 oC
SpO2 : 97 %

Status General
Kepala : Normochepali
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), refleks pupil (+/+)
bulat isokor
THT : Kesan tenang
Leher : simetris, pembesaran KGB (-), pembesaran kelenjar tiroid (-)
Thoraks :
o Cor : S1S2 tunggal, regular, murmur (-)
o Pulmo: suara nafas vesikuler (+/+), rhonki -/-, wheezing -/-
Abdomen : distensi (-), sikatrik (-), bising usus (+) normal 10x/menit, nyeri
tekan (-),hepar dan lien tidak teraba
Ekstremitas : akral hangat (++/++), edema --/--, CRT < 2 detik

Status Lokalis
Ad regio manus sinistra
- Inspeksi : Tampak bekas gigitan ular (fang marks), hiperemis disekitar (-),
edema (+), kehitaman (-)
- Palpasi : Nyeri tekan (+), akral hangat (+), CRT <2 detik

2.4. Pemeriksaan Penunjang


a. Pemeriksaan Laboratorium
- Hematologi/ Darah Lengkap
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan
Hb 14,4 g/dL 10,8-14,2
Leukostit 7,82 ribu/uL 3,5-10
Neutrofil 68 % 39,3-73,7
Limfosit 19,0 % 18,0-48,3
Monosit *4,2 % 4.4 – 12.7
Eosinofil *7,64 % 600 – 7.30
Basofil 0,88 % 0.00 - 1.70
Eritrosit 4,9 juta/uL 3,5-5,5
Ht 45,2 % 35-55
Indeks Eritrosit

MCV 91,8 fL 81.1-96


MCH 29,2 pg 27.0-31.2
MCHC 31,8 % 31.5-35.0
RDW-CV *11,2 % 11.5 – 14.5
Trombosit 209 Ribu/uL 145-450
MPV 9,72 fL 6.90 – 10.6

- Hemostasis
Masa Perdarahan (BT) 1:30 menit 1-5

Masa Pembekuan (CT) 8:30 menit 6-15


- Kimia Klinik
Glukosa darah sewaktu 89 80-200 mg/dL

- PCR
Jenis pemeriksan Hasil Nilai Rujukan

PCR SARS-cov 2 Negatif Negatif

2.5 Diagnosis Kerja


Snake Bite Regio Manus Sinistra

2.6 Planning
- ABU 2 vial dalam D5 100cc
- Cefotaxime 3 x 1gr (IV)
- Difenhidran HCl 3x1 (IV)
- Dexamethason 3 x 1 (IV)
- Ketorolac 3 x 1 (IV)
- Tetagram 1 vial (I.M)
- Observasi tanda-tanda syok, TTV
- Hepatotoksik dan Sitotoksik

2.7 Prognosis
Ad vitam : Dubia ad bonam
Ad Functionam : Dubia ad bonam
Ad Sonationam : Dubia ad bonam
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1. DEFINISI
Luka gigitan adalah cidera yang disebabkan oleh mulut dan gigi hewan atau
manusia. Hewan mungkin menggigit untuk mempertahankan dirinya, dan pada
kesempatan khusus untuk mencari makanan. Gigitan dan cakaran hewan yang sampai
merusak kulit kadang kala dapat mengakibatkan infeksi. Beberapa luka gigitan perlu
ditutup dengan jahitan, sedang beberapa lainnya cukup dibiarkan saja dan sembuh
dengan sendirinya.4
Luka gigitan penting untuk diperhatikan dalam dunia kedokteran. Luka ini dapat
menyebabkan4:
a. Kerusakan jaringan secara umum
b. Perdarahan serius bila pembuluh darah besar terluka
c. Infeksi oleh bakteri atau patogen lainnya, seperti rabies
d. Dapat mengandung racun seperti pada gigitan ular
e. Awal dari peradangan
Spesies ular dapat dibedakan atas ular berbisa dan ular tidak berbisa. Ular berbisa
yang bermakna medis memiliki sepasang gigi yang melebar, yaitu taring, pada bagian
depan dari rahang atasnya. Taring-taring ini mengandung saluran bisa (seperti jarum
hipodermik) atau alur, dimana bisa dapat dimasukkan jauh ke dalam jaringan dari
mangsa alamiahnya. Bila manusia tergigit, bisa biasanya disuntikkan secara subkutan
atau intramuskuler. Ular kobra yang meludah dapat memeras bisanya keluar dari ujung
taringnya dan membentuk semprotan yang diarahkan terhadap kedua mata
penyerang.2,5
Efek toksik bisa ular pada saat menggigit mangsanya tergantung pada spesies,
ukuran ular, jenis kelamin, usia, dan efisiensi mekanik gigitan (apakah hanya satu atau
kedua taring menusuk kulit), serta banyaknya serangan yang terjadi.5

3.2. JENIS ULAR DAN CARA MENGIDENTIFIKASINYA


Ular berbisa kebanyakan termasuk dalam famili Colubridae, tetapi pada
umumnya bisa yang dihasilkannya bersifat lemah. Contoh ular yang termasuk famili
ini adalah ular sapi (Zaocys carinatus), ular tali (Dendrelaphis pictus), ular tikus atau
ular jali (Ptyas korros), dan ular serasah (Sibynophis geminatus). Ular berbisa kuat
yang terdapat di Indonesia biasanya masuk dalam famili Elapidae, Hydropiidae, atau
Viperidae. Elapidae memiliki taring pendek dan tegak permanen. Beberapa contoh
anggota famili ini adalah ular cabai (Maticora intestinalis), ular weling (Bungarus
candidus), ular sendok (Naja sumatrana), dan ular king kobra (Ophiophagus hannah).
Viperidae memiliki taring panjang yang secara normal dapat dilipat ke bagian rahang
atas, tetapi dapat ditegakkan bila sedang menyerang mangsanya. Ada dua subfamili
pada Viperidae, yaitu Viperinae dan Crotalinae. Crotalinae memiliki organ untuk
mendeteksi mangsa berdarah panas (pit organ), yang terletak di antara lubang hidung
dan mata. Beberapa contoh Viperidae adalah ular bandotan (Vipera russelli), ular
tanah (Calloselasma rhodostoma), dan ular bangkai laut (Trimeresurus albolabris).

Gambar 1. Jenis ular Cobra(kiri) dan viper(kanan) yang banyak terdapat di


Indonesia (Sumber : Poisonus Snake in Indonesia, 2010)
Gambar 2. Gigitan ular dan Bisa (Sumber: www.animalsearth.blogspot.com)

Tabel 1. Perbedaan Ular Berbisa dan Ular Tidak Berbisa


Tidak berbisa Berbisa
Bentuk Kepala Bulat Elips, segitiga
Gigi Taring Gigi Kecil 2 gigi taring besar
Bekas Gigitan Lengkung seperti U Terdiri dari 2 titik
Warna Warna-warni Gelap

3.3. BISA ULAR


Bisa adalah suatu zat atau substansi yang berfungsi untuk melumpuhkan mangsa
dan sekaligus juga berperan pada sistem pertahanan diri. Bisa tersebut merupakan
ludah yang termodifikasi, yang dihasilkan oleh kelenjar khusus. Kelenjar yang
mengeluarkan bisa merupakan suatu modifikasi kelenjar ludah parotid yang terletak di
setiap bagian bawah sisi kepala di belakang mata. Bisa ular tidak hanya terdiri atas
satu substansi tunggal, tetapi merupakan campuran kompleks, terutama protein, yang
memiliki aktivitas enzimatik.
a. Komposisi Bisa Ular
Bisa ular mengandung lebih dari 20 unsur penyusun, sebagian besar adalah protein,
termasuk enzim dan racun polipeptida. Berikut beberapa unsur bisa ular yang
memiliki efek klinis:
 Enzim prokoagulan (Viperidae) dapat menstimulasi pembekuan darah namun
dapat pula menyebabkan darah tidak dapat berkoagulasi. Bisa dari ular Russel
mengandung beberapa prokoagulan yang berbeda dan mengaktivasi langkah
berbeda dari kaskade pembekuan darah. Akibatnya adalah terbentuknya fibrin di
aliran darah. Sebagian besar dapat dipecah secara langsung oleh sistem
fibrinolitik tubuh. Segera, dan terkadang antara 30 menit setelah gigitan, tingkat
faktor pembekuan darah menjadi sangan rendah (koagulopati konsumtif)
sehingga darah tidak dapat membeku.
 Haemorrhagins (zinc metalloproteinase) dapat merusak endotel yang meliputi
pembuluh darah dan menyebabkan perdarahan sistemik spontan (spontaneous
systemic haemorrhage).
 Racun sitolitik atau nekrotik – mencerna hidrolase (enzim proteolitik dan
fosfolipase A) racun polipentida dan faktor lainnya yang meningkatkan
permeabilitas membran sel dan menyebabkan pembengkakan setempat. Racun
ini juga dapat menghancurkan membran sel dan jaringan.
 Phospholipase A2 haemolitik and myolitik – ennzim ini dapat menghancurkan
membran sel, endotel, otot lurik, syaraf serta sel darah merah.
 Phospolipase A2 Neurotoxin pre-synaptik (Elapidae dan beberapa Viperidae)
merupakan phospholipases A2 yang merusak ujung syaraf, pada awalnya
melepaskan transmiter asetilkolin lalu meningkatkan pelepasannya.
 Post-synaptic neurotoxins (Elapidae) polipeptida ini bersaing dengan asetilkolin
untuk mendapat reseptor di neuromuscular junction dan menyebabkan paralisis
yang mirip seperti paralisis kuraonium.2
Bisa ular terdiri dari beberapa polipeptida yaitu fosfolipase A, hialuronidase,
ATP-ase, 5 nukleotidase, kolin esterase, protease, fosfomonoesterase, RNA-ase,
DNA-ase. Enzim ini menyebabkan destruksi jaringan lokal, bersifat toksik
terhadap saraf, menyebabkan hemolisis atau pelepasan histamin sehingga timbul
reaksi anafilaksis. Hialuronidase merusak bahan dasar sel sehingga memudahkan
penyebaran racun6.
b. Sifat Bisa Ular
Berdasarkan sifatnya pada tubuh mangsa, bisa ular dapat dibedakan menjadi bisa
hemotoksik, yaitu bisa yang mempengaruhi jantung dan sistem pembuluh darah;
bisa neurotoksik, yaitu bisa yang mempengaruhi sistem saraf dan otak; dan bisa
sitotoksik, yaitu bisa yang hanya bekerja pada lokasi gigitan.
 Bisa ular yang bersifat racun terhadap darah (hematotoksik) Bisa ular yang
bersifat racun terhadap darah, yaitu bisa ular yang menyerang dan merusak
(menghancurkan) sel-sel darah merah dengan jalan menghancurkan stroma
lecethine (dinding sel darah merah), sehinggga sel darah merah menjadi hancur
dan larut (hemolysis) dan keluar menembus pembuluh-pembuluh darah,
mengakibatkan timbulnya perdarahan pada selaput mukosa (lendir) pada mulut,
hidung, tenggorokan, dan lain-lain.
 Bisa ular yang bersifat racun terhadap saraf (neurotoksik) Yaitu bisa ular yang
merusak dan melumpuhkan jaringan-jaringan sel saraf sekitar luka gigitan yang
menyebabkan jaringan-jaringan sel saraf tersebut mati dengan tanda-tanda kulit
sekitar luka tampak kebiruan dan hitam (nekrotik). Penyebaran dan peracunan
selanjut nya mempengaruhi susunan saraf pusat dengan jalan melumpuhkan
susunan saraf pusat, seperti saraf pernapasan dan jantung. Penyebaran bisa ular
ke seluruh tubuh melalui pembuluh limfe.

3.4. PATOFISIOLOGI GIGITAN ULAR


a. Gangguan Pembekuan Darah
Umumnya ular berbisa, bisanya mengandung serine protease, metaloproteinase yang
mengganggu hemostasis dengan aktivasi atau menghambat faktor koagulan atau platelet
dan merusak endotel vaskular. Enzim dalam bisa ular akan berikatan dengan reseptor
platelet menginduksi atau menghambat agregasi platelet. Enzim-enzim prokoagulan akan
mengaktifkan protrombin, faktor V,X,XIII dan pasminogen endogen. Kombinasi konsumsi
aktivitas antikoagulan, terganggunya jumlah dan fungsi platelet dan kerusakan dinding
endotel pembuluh darah berakibat perdarahan yang hebat pada pasien.
Penyakit pembekuan darah (koagulopati) ditandai defibrinasi yang berkaitan dengan
jumlah trombosit. Di samping itu dapat mengubah protrombin menjadi trombin dan
mengurangi faktor V,VII, protein C dan plasminogen.Tekanan di sistem kardiovaskuler
menyebabkan DIC atau tekanan di otot jantung.
b. Neurotoksik
Bisa ular yang bersifat neurotoksik akan menghambat eksitasi neuromuskular
junction perifer dengan berbagai cara. Sehingga gejala yang paling sering muncul adalah
mengantuk, menunjukkan bahwa ada kemungkinan pengaruh sedasi sentral yang terkait
dengan molekul kecil non protein yang terdapat dalam bisa ular king cobra. Hampir
sebagian besar neurotoksin akan mengakibatkan pamanjangan efek dari asetilkolin,
sehingga muncul gejala paralisis seperti ptosis, ophtalmoplegia eksternal, midriasis, dan
depresi jalan napas dan total flacid paralysis seperti pada pasien dengan Myastenia Gravis.
Selain itu ada pola paralisis desendens yang sulit dijelaskan secara patofisiologinya.

c. Hipotensi
Hipotensi yang terjadi pasca gigitan ular disebabkan karena banyak hal terkait bisa
ular itu sendiri. Ada beberapa faktor yang memepengaruhi permeabilitas pembuluh darah
sehingga terjadi ekstravasasi plasma ke jaringan interstisiel. Selain itu zat-zat dalam bisa
ular akan memiliki efek langsung maupun tidak langsung terhadap otot jantung, otot polos
dan jaringan lain. Melalui bradykinin-potentiating peptide, efek hipotensif dari bradikinin
akan semakin meningkat dengan tidak aktifnya peptidyl peptidase yang berfungsi
menghancurkan bradikinin dan mengubah angiotensin I menjadi angiotensin II. Penemuan
patofisiologi ini merupakan awal mula sintesis captopril dan ACE inhibitor lain.

3.5. TANDA DAN GEJALA GIGITAN ULAR BERDASARKAN JENIS ULAR


Gigitan Elapidae (misalnya: ular kobra, ular weling, ular sendok, ular anang, ular
cabai, coral snake, mambas, kraits)
1. Semburan kobra pada mata dapat menimbulkan rasa sakit yang berdenyut, kaku
pada kelopak mata, bengkak di sekitar mulut.
2. Gambaran sakit yang berat, melepuh, dan kulit rusak
3. Setelah digigit ular
 15 menit : muncul gejala sistemik
 10 jam : paralisis otot-otot wajah, bibir, lidah, tenggorokan, sehingga sukar
berbicara, susah menelan, otot lemas, ptosis, sakit kepala, kulit dingin, muntah,
pandangan kabur, parestesia di sekitar mulut. Kematian dapat terjadi dalam 24
jam.

Gigitan Viporidae/Crotalidae(misalnya ular tanah, ular hijau, ular bandotan puspo)


1. Gejala lokal timbul dalam 15 menit, setelah beberapa jam berupa bengkak di dekat
gigitan yang menyebar ke seluruh anggota tubuh.
2. Gejala sistemik muncul setelah 5 menit atau setelah beberapa jam.
3. Keracunan berat ditandai dengan pembengkakan di atas siku dan lutut dalam waktu
2 jam atau ditandai dengan perdarahan hebat.

Gigitan Hydropiridae (misalnya ular laut)


1. Segera timbul sakit kepala, lidah terasa tebal, berkeringat, dan muntah.
2. Setelah 30 menit sampai beberapa jam biasanya timbul kaku dan nyeri
menyeluruh, dilatasi pupil, spasme otot rahang, paralisis otot, mioglobinuria yang
ditandai dengan urin berwarna coklat gelap (penting untuk diagnosis), kerusakan
ginjal, serta henti jantung.

3.6. DIAGNOSA KLINIK


Anamnesis2:
Anamnesis yang tepat seputar gigitan ular serta progresifitas gejala dan tanda baik
lokal dan sistemik merupakan hal yang sangat penting. Empat pertanyaan awal yang
bermanfaat :
d. Pada bagian tubuh mana anda terkena gigitan ular?
Dokter dapat melihat secara cepat bukti bahwa pasien telah digigit ular (misalnya,
adanya bekas taring) serta asal dan perluasan tanda envenomasi lokal.
e. Kapan dan pada saat apa anda terkena gigitan ular?
Perkiraan tingkat keparahan envenomasi bergantung pada berapa lama waktu
berlalu sejak pasien terkena gigitan ular. Apabila pasien tiba di rumah sakit segera
setelah terkena gigitan ular, bisa didapatkan sebagian kecil tanda dan gejala
walaupun sejumlah besar bisa ular telah diinjeksikan. Bila pasien digigit ular saat
sedang tidur, kemungkinan ular yang menggigit adalah Kraits (ular berbisa), bila di
daerah persawahan, kemungkinan oleh ular kobra atau russel viper (ular berbisa),
bila terjadi saat memetik buah, pit viper hijau (ular berbisa), bila terjadi saat
berenang atau saat menyebrang sungai, kobra (air tawar), ular laut (laut atau air
payau).
f. Perlakuan terhadap ular yang telah menggigit anda?
Ular yang telah menggigit pasien seringkali langsung dibunuh dan dijauhkan dari
pasien. Apabila ular yang telah menggigit berhasil ditemukan, sebaiknya ular
tersebut dibawa bersama pasien saat datang ke rumah sakit, untuk memudahkan
identifikasi apakah ular tersebut berbisa atau tidak. Apabila spesies terbukti tidak
berbahaya (atau bukan ular samasekali) pasien dapat segera ditenangkan dan
dipulangkan dari rumah sakit.
g. Apa yang anda rasakan saat ini?
Pertanyaan ini dapat membawa dokter pada analisis sistem tubuh yang terlibat.
Gejala gigitan ular yang biasa terjadi di awal adalah muntah. Pasien yang
mengalami trombositopenia atau mengalami gangguan pembekuan darah akan
mengalami perdarahan dari luka yang telah terjdi lama. Pasien sebaiknya
ditanyakan produksi urin serta warna urin sejak terkena gigitan ular. Pasien yang
mengeluhkan kantuk, kelopak mata yang serasa terjatuh, pandangan kabur atau
ganda, kemungkinan menandakan telah beredarnya neurotoksin.

Pemeriksaan fisik
Tidak ada cara yang sederhana untuk mengidentifikasi ular berbisa yang
berbahaya. Beberapa ular berbisa yang tidak berbahaya telah berkembang untuk
terlihat hampir identik dengan yang berbisa. Akan tetapi, beberapa ular berbisa yang
terkenal dapat dikenali dari ukuran, bentuk, warna, pola sisik, prilaku serta suara yang
dibuatnya saat merasa terancam. Beberapa ciri ular berbisa adalah bentuk kelapa
segitiga, ukuran gigi taring kecil, dan pada luka bekas gigitan tedapat bekas gigi taring.
Gambar 3. Bekas gigitanan ular. (A) Ular tidak berbisa tanpa bekas taring, (B) Ular berbisa
dengan bekas taring (Sumber : Sentra Informasi Keracunan Nasional adan POM, 2012)

Tidak semua ular berbisa pada waktu menggigit menginjeksikan bisa pada
korbannya. Orang yang digigit ular, meskipun tidak ada bisa yang diinjeksikan ke
tubuhnya dapat menjadi panik, nafas menjadi cepat, tangan dan kaki menjadi kaku,
dan kepala menjadi pening. Gejala dan tanda-tanda gigitan ular akan bervariasi sesuai
spesies ular yang menggigit dan banyaknya bisa yang diinjeksikan pada korban. Gejala
dan tanda-tanda tersebut antara lain adalah tanda gigitan taring (fang marks), nyeri
lokal, pendarahan lokal, memar, pembengkakan kelenjar getah bening, radang,
melepuh, infeksi lokal, dan nekrosis jaringan (terutama akibat gigitan ular dari famili
Viperidae).
Tanda dan Gejala Lokal pada daerah gigitan2 :
a. Tanda gigitan taring (fang marks)
b. Nyeri lokal
c. Perdarahan lokal
d. Kemerahan
e. Limfangitis
f. Pembesaran kelenjar limfe
g. Inflamasi (bengkak, merah, panas)
h. Melepuh
i. Infeksi lokal, terbentuk abses
j. Nekrosis
Gambar 4. Gejala Umum Gigitan Ular (Sumber : www.doctorsecret.com)
Tanda dan gejala sistemik2 :
a. Umum (general)
Mual, muntah, nyeri perut, lemah, mengantuk, lemas.
b. Kardiovaskuler (viperidae)
Gangguan penglihatan, pusing, pingsan, syok, hipotensi, aritmia jantung, edema
paru, edema konjunctiva (chemosis)
c. Perdarahan dan gangguan pembekuan darah (Viperidae)
Perdarahan yang berasal dari luka yang baru saja terjadi (termasuk perdarahan yang
terus- menerus dari bekas gigitan (fang marks) dan dari luka yang telah menyembuh
sebagian (oldrus- mene partly-healed wounds), perdarahan sistemik spontan – dari
gusi, epistaksis, perdarahan intrakranial (meningism, berasal dari perdarahan
subdura, dengan tanda lateralisasi dan atau koma oleh perdarahan cerebral),
hemoptisis, perdarahan perrektal (melena), hematuria, perdarahan pervaginam,
perdarahan antepartum pada wanita hamil, perdarahan mukosa (misalnya
konjunctiva), kulit (petekie, purpura, perdarahan diskoid, ekimosis), serta
perdarahan retina.
d. Neurologis (Elapidae, Russel viper)
Mengantuk, parestesia, abnormalitas pengecapan dan pembauan, ptosis,
oftalmoplegia eksternal, paralisis otot wajah dan otot lainnya yang dipersarafi
nervus kranialis, suara sengau atau afonia, regurgitasi cairan melaui hidung,
kesulitan untuk menelan sekret, paralisis otot pernafasan dan flasid generalisata.
e. Destruksi otot Skeletal ( sea snake, beberapa spesies kraits, Bungarus niger and B.
Candidus, western Russell‟s viper Daboia russelii)
Nyeri seluruh tubuh, kaku dan nyeri pada otot, trismus, myoglobinuria,
hiperkalemia, henti jantung, gagal ginjal akut.
f. Sistem Perkemihan
Nyeri punggung bawah, hematuria, hemoglobinuria, myoglobinuria,
oligouria/anuria, tanda dan gejala uremia ( pernapasan asidosis, hiccups, mual, nyeri
pleura, dan lain-lain)

g. Gejala endokrin
Insufisiensi hipofisis/kelenjar adrenal yang disebabkan infark hipofisis anterior.
Pada fase akut : syok, hipoglikemia. Fase kronik (beberapa bulan hingga tahun
setelah gigitan) : kelemahan, kehilangan rambut seksual sekunder, kehilangan
libido, amenorea, atrofi testis, hipotiroidisme.

3.7. PENATALAKSANAAN KERACUNAN AKIBAT GIGITAN ULAR


Langkah-langkah yang harus diikuti pada penatalaksanaan gigitan ular adalah5:
1. Pertolongan pertama, harus dilaksanakan secepatnya setelah terjadi gigitan ular
sebelum korban dibawa ke rumah sakit. Hal ini dapat dilakukan oleh korban
sendiri atau orang lain yang ada di tempat kejadian. Tujuan pertolongan pertama
adalah untuk menghambat penyerapan bisa, mempertahankan hidup korban dan
menghindari komplikasi sebelum mendapatkan perawatan medis di rumah sakit
serta mengawasi gejala dini yang membahayakan. Langkah-langkah pertolongan
yang dilakukan adalah menenangkan korban yang cemas; imobilisasi (membuat
tidak bergerak) bagian tubuh yang tergigit dengan cara mengikat atau menyangga
dengan kayu agar tidak terjadi kontraksi otot, karena pergerakan atau kontraksi otot
dapat meningkatkan penyerapan bisa ke dalam aliran darah dan getah bening;
pertimbangkan pressure-immobilisation pada gigitan Elapidae; hindari gangguan
terhadap luka gigitan karena dapat meningkatkan penyerapan bisa dan
menimbulkan pendarahan lokal.

1 2

3 4

5 6

Gambar 6. Metode pressure-immobilisation pada gigitan Elapidae (Sumber : WHO,2005)

2. Korban harus segera dibawa ke rumah sakit secepatnya, dengan cara yang aman
dan senyaman mungkin. Hindari pergerakan atau kontraksi otot untuk mencegah
peningkatan penyerapan bisa. Beberapa alat transportasi yang dapat digunakan
untuk membawa pasien adalah tandu, sepeda, motor, kuda, kereta, kereta api, atau
perahu, atau pasien dapat dipikul (dengan fireman’s metode). Pasien diposisikan
miring (recovery posotion) bila ia muntah dalam perjalanan.

3. Pengobatan gigitan ular


Pada umumnya terjadi salah pengertian mengenai pengelolaan gigitan ular. Metode
penggunaan torniket (diikat dengan keras sehingga menghambat peredaran darah),
insisi (pengirisan dengan alat tajam), pengisapan tempat gigitan, pendinginan
daerah yang digigit.
4. Terapi yang dianjurkan meliputi:
a. Bersihkan bagian yang terluka dengan cairan faal atau air steril.
b. Untuk efek lokal dianjurkan imobilisasi menggunakan perban katun elastis
dengan lebar + 10 cm, panjang 45 m, yang dibalutkan kuat di sekeliling bagian
tubuh yang tergigit, mulai dari ujung jari kaki sampai bagian yang terdekat
dengan gigitan. Bungkus rapat dengan perban seperti membungkus kaki yang
terkilir, tetapi ikatan jangan terlalu kencang agar aliran darah tidak terganggu.
Penggunaan torniket tidak dianjurkan karena dapat mengganggu aliran darah
dan pelepasan torniket dapat menyebabkan efek sistemik yang lebih berat.
c. Pemberian tindakan pendukung berupa stabilisasi yang meliputi
penatalaksanaan jalan nafas; penatalaksanaan fungsi pernafasan;
penatalaksanaan sirkulasi; penatalaksanaan resusitasi perlu dilaksanakan bila
kondisi klinis korban berupa hipotensi berat dan shock, shock perdarahan,
kelumpuhan saraf pernafasan, kondisi yang tiba-tiba memburuk akibat
terlepasnya penekanan perban, hiperkalaemia akibat rusaknya otot rangka, serta
kerusakan ginjal dan komplikasi nekrosis lokal.
d. Pemberian suntikan antitetanus, bila korban pernah mendapatkan toksoid maka
diberikan satu dosis toksoid tetanus.
e. Pemberian suntikan penisilin kristal sebanyak 2 juta unit secara intramuskular.
f. Pemberian analgesik untuk menghilangkan nyeri.
g. Pemberian serum antibisa.
SERUM ANTI BISA ULAR
Gunannya untuk pengobatan terhadap gigitan ular berbisa. Serum anti bisa ular
merupakan serum polivalen yang dimurnikan dan dipekatkan, berasal dari plasma kuda
yang dikebalkan terhadap bisa ular yang mempunyai efek neurotoksik dan
hematotoksik, yang kebanyakan ada di Indonesia.
Kandungan Serum Anti Bisa Ular
Tiap ml dapat menetralisasi :
a. Bisa ular Ankystrodon rhodosoma 10-50 LD50
b. Bisa ular Bungarus fascinatus 25-50 LD50
c. Bisa Ular Naya sputatrix 25-50 LD50
d. Dan mengandung Fenol 0,25% sebagai pengawet.
Cara Penyimpanan Serum Anti Bisa Ular
Penyimpanan serum antibisa ular adalah pada suhu 20-80 C dengan waktu kadaluwarsa
2 tahun.
Cara Pemakaian Serum Anti Bisa Ular
Pemilihan antibisa ular tergantung dari spesies ular yang menggigit. Dosis yang tepat
untuk ditentukan karena tergantung dari jumlah bisa ular yang masuk peredaran darah
dan keadaan korban sewaktu menerima anti serum. Dosis pertama sebanyak 2 vial @5
ml sebagai larutan 2% dalam NaCl dapat diberikan sebagai infus dengan kecepatan 40-
80 tetes per menit, lalu diulang setiap 6 jam. Apabila diperlukan (misalnya gejala-
gejala tidak berkurang atau bertambah) antiserum dapat diberikan setiap 24 jam
sampai maksimal (80-100 ml). antiserum yang tidak diencerkan dapat diberikan
langsusng sebagai suntikan intravena dengan sangat perlahan-lahan. Dosis untuk anak-
anak sama atau lebih besar daripada dosis untuk dewasa.Cara lain adalah denga
menyuntikkan 2,5 ml secara infiltrasi di sekitar luka, 2,5 ml diinjeksikan secara
intramuskuler atau intravena. Pada kasus berat dapat diberikan dosis yang lebih tinggi.
Penderita harus diamati selama 24 jam.
Efek Samping Serum Anti Bisa Ular
Meskipun pemberian antiserum akan menimbulkan kekebalan pasif dan memberikan
perlindungan untuk jangka waktu pendek, tapi pemberiannya harus hari-hati,
mengingat kemungkinan terjadinya reaksi sampingan yang dapat berupa :
1. Reaksi anafilaktik (anaphylactic shock)
Dapat timbul dengan segera atau beberapa jam setelah suntikan
2. Penyakit serum (serum sickness)
Dapat timbul 7-10 hari setelah suntikan dan dapat berupa kenaikan suhu, gatal-
gatal, sesak nafas dan lain-lain gejala alergi. Reaksi ini jarang timbul bila digunakan
serum yang sudah dimurnikan
3. Kenaikan suhu (demam) dengan menggigil
Biasanya timbul setelah pemberian serum secara intravena
4. Rasa nyeri pada tempat suantikan
Biasanya timbul pada penyuntikan serum dengan jumlah besar reaksi ini terjadi
dalam pemberian 24 jam
Oleh karena itu, pemberian serum harus berdasarkan atas indikasi yang tajam.
Hal-hal yang harus diperhatikan bila akan menyuntik serum
1. Siapkan alat suntik, adrenalin 1:1000, sediakan kortikosteroid dan antihistamin
2. Jangan menyuntik serum dalam keadaan dingin, yang baru dikeluarkan dari lemari
es, apalagi dalam jumlah besar. Hangatkan lebih dahulu hingga suhunya sama
dengan suhu badan
3. Waktu disuntik penderita harus dalam keadaan “relax”
4. Penyuntikan harus perlahan-lahan, sesudahnya amati penderita paling sedikit 30
menit
Tes hipersentivitas subkutan
Untuk mengetahui apakah serum dapat diberikan kepada seseorang, terlebih dahulu
harus dilakukan tes hipersensitifitas sbukutan sebagai berikut :
Suntikan 0,2 ml serum encerkan 1: 10, subkutan dan amati 30 menit.
 Bila timbul reaksi : serum jangan diberikan.
Reaksi yang mungkin timbul dapat berupa tanda-tanda reaksi anafilaktik yang dini
seperti pucat, kepala pusing, perasaan panas, batuk-batuk, kenaikan suhu, mual atau
muntah- muntah, pembengkakan lidah atau bibir, denyut nadi cepat, tekanan darah
menurun, gatal-gatal, rasa tidak nyaman di perut, sesak nafas, kesadaran menurun
atau kejang. Reaksi tersebut biasanya ringan dan mudah diatasi dengan adrenalin
1:1000.
 Bila tidak timbul reaksi : suntikkan lagi serum yang tidak diencerkan 0,2 ml
subkutan dan amati lagi selama 30 menit.
 Bila timbul reaksi : serum jangan diberikan
 Bila tidak timbul reaksi, suntikkan serum dalam dosis penuh secara perlahan-lahan
dan amati lagi paling sedikit 30 menit.
Syarat-syarat pemberian serum secara intravena
1. Pada penderita harus dilakukan tes hipersensitivitas subkutan lebih dahullu,
kemudian dicoba dengan suntikan intramuskuler, baru intravena.
2. Pemberiannya harus perlahan-lahan, dan siapkan adrenalin 1:1000.
3. Setelah dsuntik intravena penderita harus diamati sedikitnya selama satu jam.
Tindakan terhadap reaksi sampingan
1. Reaksi anafilaktik (anaphyilactic shock)
Penderita harus dibaringkan dengan kepala lebih rendah, jangan diberi selimut atau
botol berisi air panas. Suntikkan 0,3-0,5 ml adrenalin 1:1000 intramuskuler. Periksa
tekanan darah secara teratur. Bila tekanan darah tetap rendah, beri lagi 0,3-0,5
adrenalin 1:100 intravena, bila perlu sediaan kortikosteroid intramuskuler. Bila
keadaan belum teratasi, segera kirim ke rumah sakit.
2. Penyakit serum (serum sickness)
Beri antihistamin selama beberapa hari dan penderita sebaiknya istirahat. Bila
sangat mengganggu dapat diberikan sediaan kortikosteroid.
3. Kenaikan suhu (demam) dengan menggigil
Keadaaan ini tidak memerlukan tindakan apa-apa, karena akan cepat menghilang
dalam 24 jam.
4. Rasa nyeri pada tempat suntikan
Keadaan ini tidak memerlukan tindakan apa-apa, karena akan menghilang dengan
sendirinya.

INDIKASI PEMBERIAN SERUM ANTI BISA ULAR :


Pemberian serum anti bisa ular direkomendasikan bila dan saat pasien terbukti atau
dicurigai mengalami gigitan ular berbisa dengan munculnya satu atau lebih tanda
berikut:
Gejala venerasi sistemik:
Kelainan hemostatik : perdarahan spontan (klinis), koagulopati, atau trombositopenia.
Gejala neurotoksik : ptosis, oftalmoplegia eksternal, paralisis, dan lainnya.
Kelainan kardiovaskuler : hipotensi, syok, arritmia (klinis), kelainan EKG.
Cidera ginjal akut (gagal ginjal) : oligouria/anuria (klinis), peningkatan kreatinin/urea
urin (hasil laboratorium). Hemoglobinuria/mioglobinuria : urin coklat gelap (klinis),
dipstik urin atau bukti lain akan adanya hemolisis intravaskuler atatu rabdomiolisis
generalisata (nyeri otot, hiperkalemia) (klinis, hasil laboratorium). Serta adanya bukti
laboratorium lainnya terhadap tanda venerasi.
Gejala venerasi lokal :
Pembengkakan lokal yang melibatkan lebih dari separuh bagian tubuh yang terkena
gigitan (tanpa adanya turniket) dalam 48 jam setelah gigitan. Pembengkakan setelah
tergigit pada jari- jari ( jari kaki dan khususnya jari tangan). Pembengkakan yang
meluas ( misalnya di bawah pergelangan tangan atau mata kaki pada beberapa jam
setelah gigitan pada tangan dan kaki), pembesaran kelenjar getah bening pada kelenjar
getah bening pada ekstremitas yang terkena gigitan.
Pemberian anti bisa ular dapat menggunakan pedoman dari Parrish, seperti tabel di
bawah ini:
Derajat Venerasi Luka gigit Nyeri Udem/eritema Tanda sistemik
0 0 + +/- <3cm/12 jam 0
I +/- + + <3cm/12 jam 0
II + + +++ >12cm- +. Neurotoksik, mual,
25cm/12jam pusing, syok
III ++ + +++ >25cm/12jam ++,syok,
petekie,ekimosis
IV +++ + +++ Pada satu ++, gangguan faal
ekstremitas ginjal, koma,
secara perdarahan
menyeluruh
Pedoman terapi SABU mengacu pada Schwartz dan Way (Depkes, 2001):
 Derajat 0 dan I tidak diperlukan SABU, dilakukan evaluasi dalam 12 jam, jika
derajat meningkat maka diberikan SABU
 Derajat II: 3-4 vial SABU
 Derajat III: 5-15 vial SABU
 Derajat IV: berikan penambahan 6-8 vial SABU
Anti bisa ular harus diberikan segera setelah memenuhi indikasi. Anti bisa ular dapat
melawan envenomasi (keracunan) sistemik walaupun gejala telah menetap selama
beberapa hari, atau pada kasus kelainan haemostasis, yang dapat belangsung dua
minggu atau lebih. Untuk itu, pemberian anti bisa tepat diberikan selama terdapat bukti
terjadi koagulopati persisten. Apakah antibisa ular dapat mencegah nekrosis lokal masih
menjadi kontroversi, namun beberapa bukti klinins menunjukkan bahwa agar antibisa
efektif pada keadaan ini, anti bisa ular harus diberikan pada satu jam pertama setelah
gigitan.

3.8. PEMERIKSAAN PENUNJANG


a. Pemeriksaan laboratorium :
1. Penghitungan jumlah sel darah
2. Pro trombine time dan activated partial tromboplastin time
3. Fibrinogen dan produk pemisahan darah
4. Tipe dan jenis golongan darah
5. Kimia darah, termasuk elektrolit, BUN dan Kreatinin
6. Urinalisis untuk myoglobinuria
7. Analisis gas darah untuk pasien dengan gejala sistemik
b. Pemeriksaan radiologis :
1. Thorax photo untuk pasien dengan edema pulmonum
2. Radiografi untuk mencari taring ular yang tertinggal
c. Pemeriksaan lainnya :
Tekanan kompartemen dapat perlu diukur. Secara komersial tersedia alat yang
steril, sederhana untuk dipasang atau dibaca, dan dapat dipercaya (seperti Styker
pressure monitor). Indikasi pengukuran tekanan kompartemen adalah bila terdapat
pembengkakan yang signifikan, nyeri yang sangat hebat yang menghalangi
pemeriksaan, dan jika parestesi muncul pada ekstremitas yang tergigit.

TINDAK LANJUT
Perawatan pasien lebih lanjut di rumah sakit :
Untuk kasus gigitan kering (bisa tidak diinjeksikan) dari ular viper, observasi di
Instalasi gawat Darurat selama 8-10 jam; namun, hal ini sering tidak mungkin
dilaksanakan. Pasien dengan tanda envenomasi (keracunan) yang berat membutuhkan
perawatan khusus di ICU untuk pemberian produk-produk darah, menyediakan
monitoring yang invasif, dan memastikan proteksi jalan nafas. Observasi untuk gigitan
ular koral minimal selama 24 jam. Buat evaluasi serial untuk penderajatan lebih lanjut
dan untuk menyingkirkan sindroma kompartemen. Tergantung pada skenario klinik,
ukur tekanan kompartemen setiap 30-120 menit. Fasciotomi diindikasikan untuk
tekanan yang lebih dari 30-40 mmHg. Tergantung dari derajat keparahan gigitan,
pemeriksaan darah lebih lanjut mungkin dibutuhkan, seperti waktu pembekuan darah,
jumlah trombosit, dan level fibrinogen.

OBSERVASI DAN EVALUASI RESPON TERHADAP PEMBERIAN


ANTIBISA ULAR
Bila dosis adekuat dari antibisa yang tepat telah diberikan, beberapa respon di bawah
ini dapat diobservasi.
a. Umum : pasien merasa lebih baik, mual, muntah dan nyeri secara keseluruhan dapat
hilang secara cepat.
b. Perdarahan sistemik spontan (misalnya dari gusi) : biasanya terhenti pada 15-30
menit.
c. Koagulasi darah : biasanya terhenti dalam 3-9 jam. Perdarahan dari luka yang
menyembuh sebagian terhenti lebih cepat
d. Pada pasien syok : tekanan darah dapat meningkat antara 30-60 menit pertama dan
aritmia seperti sinus bradikardi dapat teratasi
e. Pada pasien dengan neurotoksisitas tipe post sinaps (gigitan ular kobra) akan
membaik dalam 30 menit setelah pemberian antibisa, namun biasanya
membutuhkan waktu bebeerapa jam. Pada keracunan tipe pre sinaps (Kraits dan ular
laut) tidak tampak respon.
f. Hemolisis aktif dan rhabdomyolisis menurun dalam beberapa jam dan warna urin
akan kembali ke warna normal.
Pada pasien yang terkena bisa ular viper, setelah terjadi respon awal terhadap antibisa
ular (perdarahan berkurang, koagulopati darah terhenti), tanda keracunan sistemik
dapat terjadi kembali dalam 24-48 jam. Hal ini dapat terjadi karena :
a. Absorbsi bisa yang berlanjut dari „depot‟ pada lokasi gigitan, kemungkinan
didukung oleh peningkatkan aliran darah setelah koreksi syok, hipovolemia, dsb,
setelah terjadi eliminasi antibisa (tergantung waktu paruh antibisa : IgG 45 jam,
F(ab‟)2 80-100 jam; Fan 12-18 jam)
b. Redistribusi bisa dari jaringan ke dalam ruang intravaskuler, diakibatkan oleh
terapi antibisa.

Kriteria pengulangan dosis inisiasi anti bisa ular :


a. Koagulopati menetap atau berulang setelah 6 jamatau perdarahan setelah 1-2
jam, terdapat perburukan gejala neurotoksik atau gejala kardiovaskuler setelah 1-2
jam.
b. Bila darah tetap tidak koagulasi, 6 jam setlah pemberian dosis awal antibisa,
dosis yang sama harus diulang. Hal ini berdasarkan observasi bahwa, bila dosis
besar antibisa diberikan ( lebih dari cukup untuk menetralisasi enzim pro koagulan
bisa ular) diberikan pada awal, waktu yang dibutuhkan oleh hepar untuk
memperbaiki tingkat koagulasi fibrinogen dan faktor pembekuan lainnya adalah 3-
9 jam.
c. Pada pasien yang tetap mengalami perdarahan cepat, dosis antibisa harus
diulang antara 1-2 jam.
d. Pada kasus perburukan gejala neurotoksik atau gejala kardiovaskuler, dosis
awal antibisa harus diulang setelah 1-2 jam dan perawatan pendukung harus
dipertimbangkan.
DIAGRAM PENANGANAN GIGITAN ULAR
DIAGRAM PENANGANAN GIGITAN ULAR
PASIEN DG RIWAYAT
GIGITAN ULAR

PERTOLONGAN PERTAMA:
- TENANGKAN PASIEN
- IMMOBILISASI DAERAH GIGITAN
- TRANSPOR PASIEN KE RS
YA
TIDAK
YA
TIDAK
ULAR DIBAWA KE RS
TIDAK
TERDAPAT TANDA ULAR DAPAT
TIDAK ENVENOMASI TERIDENTIFIKASI
YA
(KERACUNAN)
RAWAT Insisi cross bila memenuhi
kriteria ULAR DITETAPKAN
OBSERVASI* DI RS YA TIDAK BERBISA
SELAMA 24 JAM TIDAK
YA RAWAT
TERDAPAT TANDA ENVENOMASI TENANGKAN KORBAN, BERI
TERDAPAT TANDA DIAGNOSTIK DARI ((KERACUNAN) SERUM ANTITETANUS,
ENVENOMASI (KERACUNAN) ULAR PULANGKAN KORBAN
YA TIDAK
YANG UMUM BERADA DI AREA YA
GEOGRAFIS YANG SAMA TANDA MEMENUHI RAWAT
KRITERIA PEMBERIAN OBSERVASI* DI RS
ANTIBISA SELAMA 24 JAM
TIDAK
YA
TANDA MEMENUHI
KRITERIA PEMBERIAN
ANTIBISA1 TERSEDIA ANTIBISA
MONOSPESIFIK / TIDAK
POLISPESIFIK
TIDAK YA
RAWAT
YA
OBSERVASI* DI RS BERIKAN ANTIBISA RAWAT
TERAPI
SELAMA 24 JAM POLISPESIFIK UNTUK BERIKAN ANTIBISA KONSERVATIF**
SPESIES ULAR YANG MONOSPESIFIK /
BERADA DI AREA POLISPESIFIK
GEOGRAFIS YANG
SAMA

LIHAT RESPON2

RAWAT RAWAT
TIDAK TANDA ENVENOMASI YA
OBSERVASI* DI RS ULANGI DOSIS INISIASI
SISTEMIK MENETAP RAWAT
ANTIBISA (MAX 80-100 ml)

Disadur dari WHO Guidelines for The TIDAK ADA PERBAIKAN : ADA PERBAIKAN :
Clinical Management of Snake Bite in The RUJUK SEGERA OBSERVASI* DI RS
South East Asia Region 2005
KETERANGAN SKEMA
CROSS INSISI
Setelah tergigit Bisa yang dapat terbuang
3 menit 90%
15-30 menit 50%
1 jam 1%

TANDA ENVENOMASI (KERACUNAN) GIGITAN ULAR BERBISA

LOKAL ( pada bekas gigitan) Sistemik


a. Tanda gigitan taring Umum (general) : mual, muntah, nyeri perut,
(fang marks)
lemah, mengantuk, lemas.
b. Nyeri lokal
c. Perdarahan lokal Kelainan hemostatik : perdarahan spontan
d. Kemerahan
(klinis), koagulopati, atau trombositopenia.
e. Limfangitis
f. Pembesaran kelenjar Gejala neurotoksik : ptosis, oftalmoplegia
limfe
eksternal, paralisis, dan lainnya.
g. Inflamasi
Kelainan kardiovaskuler : hipotensi, syok,
(bengkak, merah,
arritmia (klinis), kelainan EKG.
panas)
Cidera ginjal akut (gagal ginjal) :
h. Melepuh
i. Infeksi lokal, terbentuk oligouria/anuria (klinis), peningkatan
abses
kreatinin/urea urin (hasil laboratorium).
j. Nekrosis
Hemoglobinuria/mioglobinuria : urin coklat
gelap (klinis), dipstik urin atau bukti lain akan
adanya hemolisis intravaskuler atatu
rabdomiolisis generalisata (nyeri otot,
hiperkalemia) (klinis, hasil laboratorium).
Serta adanya bukti laboratorium lainnya
terhadap tanda venerasi.
1
KRITERIA PEMBERIAN SERUM ANTI BISA ULAR
DERAJAT PARRISH
Derajat Venerasi Luka gigit Nyeri Udem/eritema Tanda sistemik
0 0 + +/- <3cm/12 jam 0
I +/- + + <3cm/12 jam 0
>12cm- +. Neurotoksik, mual,
II + + +++
25cm/12jam pusing, syok
++,syok,
III ++ + +++ >25cm/12jam
petekie,ekimosis
Pada satu
++, gangguan faal
ekstremitas
IV +++ + +++ ginjal, koma,
secara
perdarahan
menyeluruh

PEMBERIAN SABU (SERUM ANTI BISA ULAR)


Derajat parrish SABU (serum antibisa ular)
0-1 Tidak perlu
2 5-20 cc
3-4 40-100 cc

CARA PEMBERIAN SERUM ANTIBISA ULAR


Dosis pertama sebanyak 2 vial @5 ml sebagai larutan 2% dalam NaCl dapat
diberikan sebagai infus dengan kecepatan 40-80 tetes per menit, lalu diulang setiap
6 jam. Apabila diperlukan (misalnya gejala-gejala tidak berkurang atau bertambah)
antiserum dapat diberikan setiap 24 jam sampai maksimal (80-100 ml). antiserum
yang tidak diencerkan dapat diberikan langsusng sebagai suntikan intravena dengan
sangat perlahan-lahan. Dosis untuk anak-anak sama atau lebih besar daripada dosis
untuk dewasa.Cara lain adalah denga menyuntikkan 2,5 ml secara infiltrasi di
sekitar luka, 2,5 ml diinjeksikan secara intramuskuler atau intravena. Pada kasus
berat dapat diberikan dosis yang lebih tinggi. Penderita harus diamati selama 24 jam
untuk reaksi anafilaktik

CARA PENYUNTIKAN SERUM ANTIBISA ULAR

CARA PENYUNTIKAN SERUM ANTIBISA ULAR


injeksi 0,2 ml serum encerkan
1: 10 (subkutan)

Amati 30 menit

Reaksi hipersensitivitas (+) Reaksi hipersensitivitas (-)

Injeksi adrenalin 1:1000 Injeksi serum yang tidak


diencerkan 0,2 ml (subkutan)

Amati 30 menit

Reaksi hipersensitivitas (+) Reaksi hipersensitivitas (-)

Serum jangan diberikan suntikkan serum dalam dosis


penuh secara perlahan-lahan

KETERANGAN :
Reaksi Hipersensitivitas (anafilaktik) dini : pucat, kepala pusing, perasaan panas, Amati respon terhadap
batuk-batuk, kenaikan suhu, mual atau muntah-muntah, pembengkakan lidah atau serum antibisa ular
bibir, denyut nadi cepat, tekanan darah menurun, gatal-gatal, rasa tidak nyaman di
perut, sesak nafas, kesadaran menurun atau kejang

(Disadur dari Serum Anti Bisa Ular Biofarma, Bandung)

KRITERIA PENGULANGAN DOSIS INISIASI ANTI BISA ULAR :


a. Koagulopati menetap atau berulang setelah 6 jamatau perdarahan setelah 1-2
jam, terdapat perburukan gejala neurotoksik atau gejala kardiovaskuler setelah
1-2 jam.
b. Bila darah tetap tidak koagulasi, 6 jam setlah pemberian dosis awal antibisa,
dosis yang sama harus diulang. Hal ini berdasarkan observasi bahwa, bila dosis
besar antibisa diberikan ( lebih dari cukup untuk menetralisasi enzim pro
koagulan bisa ular) diberikan pada awal, waktu yang dibutuhkan oleh hepar
untuk memperbaiki tingkat koagulasi fibrinogen dan faktor pembekuan lainnya
adalah 3-9 jam.
c. Pada pasien yang tetap mengalami perdarahan cepat, dosis antibisa harus
diulang antara 1-2 jam.
d. Pada kasus perburukan gejala neurotoksik atau gejala kardiovaskuler,
dosis awal antibisa harus diulang setelah 1-2 jam dan perawatan pendukung
harus dipertimbangkan.

2
RESPON TERHADAP PEMBERIAN ANTIBISA ULAR
a. Umum : pasien merasa lebih baik, mual, muntah dan nyeri secara
keseluruhan dapat hilang secara cepat.
b. Perdarahan sistemik spontan (misalnya dari gusi) : biasanya terhenti pada
15-30 menit.
c. Koagulasi darah : biasanya terhenti dalam 3-9 jam. Perdarahan dari luka
yang menyembuh sebagian terhenti lebih cepat
d. Pada pasien syok : tekanan darah dapat meningkat antara 30-60 menit
pertama dan aritmia seperti sinus bradikardi dapat teratasi
e. Pada pasien dengan neurotoksisitas tipe post sinaps (gigitan ular kobra) akan
membaik dalam 30 menit setelah pemberian antibisa, namun biasanya
membutuhkan waktu bebeerapa jam. Pada keracunan tipe pre sinaps (Kraits
dan ular laut) tidak tampak respon.
f. Hemolisis aktif dan rhabdomyolisis menurun dalam beberapa jam dan warna
urin akan kembali ke warna normal.

* OBSERVASI
 Keadaan umum dan vital sign, tanda envenomasi (keracunan) bisa ular,
pemeriksaan penunjang, Untuk kasus gigitan kering (bisa tidak diinjeksikan)
dari ular viper, observasi di Instalasi gawat Darurat selama 8-10 jam,
dilanjutkan observasi di ruangan
 Pasien dengan tanda envenomasi (keracunan) yang berat membutuhkan
perawatan khusus di ICU untuk pemberian produk-produk darah,
menyediakan monitoring yang invasif, dan memastikan proteksi jalan nafas.
 Observasi untuk gigitan ular koral minimal selama 24 jam.
 Evaluasi serial untuk penderajatan lebih lanjut dan untuk menyingkirkan
sindroma kompartemen.
- Ukur tekanan kompartemen setiap 30-120 menit.
- Fasciotomi diindikasikan untuk tekanan yang lebih dari 30-40 mmHg.
Tergantung dari derajat keparahan gigitan, pemeriksaan darah lebih lanjut
mungkin dibutuhkan, seperti waktu pembekuan darah, jumlah trombosit,
dan level fibrinogen.
** PERAWATAN KONSERVATIF
1. Bed rest
2. Perawatan luka dengan iodine, hibitane
3. Akses intravena (cairan dan obat-obatan)
4. Pemberian obat-obatan sedatif (Diazepam, Promethazine)
5. Pemberian obat-obatan analgesik (ASA, Paracetamol, Ibuprofen,
Indomethacin, Petidine)
6. Pemerian Antibiotika profilaksis (PPF, Amoxicillin, Ampicillin,
Gentamicin)
7. Pemberian toxoid Tetanus
8. Pemberian Steroid (Hidrocortison, Dexamethasone)

3.9. KOMPLIKASI
Sindrom kompartemen adalah komplikasi tersering dari gigitan ular pit viper.
Komplikasi luka lokal dapat meliputi infeksi dan hilangnya kulit. Komplikasi
kardiovaskuler, komplikasi hematologis, dan kolaps paru dapat terjadi. Jarang terjadi
kematian. Anak-anak mempunyai resiko lebih tinggi untuk terjadinya kematian atau
komplikasi serius karena ukuran tubuh mereka yang lebih kecil. Perpanjangan blokade
neuromuskuler timbul dari envenomasi ular koral.
Komplikasi yang terkait dengan antivenin termasuk reaksi hipersensitivitas tipe
cepat (anafilaksis, tipe I) dan tipe lambat (serum sickness, tipe III). Anafilaksis terjadi
dimediasi oleh immunoglobulin E (IgE), berkaitan dengan degranulasi sel mast yang
dapat berakibat laryngospasme, vasodilatasi, dan kebocoran kapiler. Kematian
umumnya pada korban tanpa intervensi farmakologis. Serum sickness dengan gejala
demam, sakit kepala, bersin, pembengkakan kelenjar lymph, dan penurunan daya
tahan, muncul 1 – 2 minggu setelah pemberian antivenin. Presipitasi dari kompleks
antigen-immunoglobulin G (IgG) pada kulit, sendi, dan ginjal bertanggung jawab atas
timbulnya arthralgia, urtikaria, dan glomerulonephritis (jarang). Biasanya lebih dari 8
vial antivenin harus diberikan pada sindrom ini. Terapi suportif terdiri dari
antihistamin dan steroid7.

3.10. PROGNOSIS
Meskipun kebanyakan korban gigitan ular berbisa dapat tertolong dengan baik,
memprediksi prognosis pada tiap kasus individu dapat menjadi sulit. Disamping fakta
bahwa mungkin terdapat sebanyak 8000 kasus gigitan ular berbisa, terdapat kurang
dari 10 kematian, dan kebanyakan dari kasus fatal ini tidak mencari pertolongan karena
suatu alasan dan lain hal. Jarang terjadi untuk seseorang meninggal sebelum mencapai
perawatan medis di AS. Kebanyakan ular tidak berbisa jika menggigit. Jika tergigit
oleh ular tidak berbisa, korban akan pulih. Komplikasi yang mungkin dari gigitan ular
tak berbisa meliputi gigi yang tertahan pada luka gigitan atau infeksi luka (termasuk
tetanus). Ular tidak membawa atau mentransmisikan rabies6.
Tidak semua gigitan oleh ular berbisa menghasilkan racun berbisa. Pada lebih dari
20% gigitan oleh rattlesnake dan moccasin, sebagai contoh, tidak ada bisa yang
disuntikan. Hal ini disebut gigitan kering yang bahkan lebih umum pada gigitan yang
diakibatkan oleh elapid.
Gigitan kering (tanpa injeksi bisa ular) memiliki komplikasi yang sama dengan
gigitan ular tidak berbisa. Seorang korban yang masih sangat muda, tua, atau memiliki
penyakit sistemik lain sebagian besar tidak mampu mentoleransi jumlah injeksi bisa
yang sama dengan orang dewasa yang sehat. Ketersediaan perawatan medis darurat
dan, yang paling penting, antibisa ular, dapat mempengaruhi bagaimana keadaan
korban.
Efek bisa yang serius dapat tertunda untuk beberapa jam. Seorang korban yang
awalnya terlihat baik kondisinya dapat menjadi sangat kesakitan. Seluruh korban yang
tergigit oleh ular berbisa harus segera mendapat perawatan medis tanpa harus ditunda-
tunda6.

3.11. PENCEGAHAN
a. Mengenali ular lokal di daerah masing-masing, mengetahui tempat tinggal dan
tempat persembunyian yang disukai ular, mengetahui waktu dan cuaca dimana
ular akan lebih aktif, terutama gigitan ular setelah hujan, saat banjir, saat panen,
serta malam hari.
b. Gunakan sepatu atau bots dan celana panjang, khususnya saat berjalan di malam
hari atau semak-semak.
c. Gunakan cahaya (lampu senter, obor) saat berjalan di malam hari.
d. Hindari ular sejauh mungkin, termasuk pertunjukan penjinak ular. Jangan
pernah menyentuh, mengancam, atau menyerang ular dan jangan pernah
menjebak dan memojokkan ular dalam tempat tertutup.
e. Bila memungkinkan, hindari tidur di tanah.
f. Jauhkan anak-anak dari daerah yang diketahui rawan ular.
g. Hindari atau lakukan dengan saat hati-hati saat menangani ular mati, atau ular
yang terlihat mati.
h. Hindari reruntuhan, sampah, gundukan anai-anai, atau hewan domestik yang
dekat dengan hunian manusia, karena dapat menarik ular.
i. Memeriksa rumah secara berkala untuk ular, dan bila mungkin, hindari jenis
konstruksi rumah yang memungkinkan ular untuk bersembunyi (misalnya
dinding jerami dan tanah liat yang memiliki celah dan ruang yang lebar, ruang
tidak tertutup pada lantai).
j. Untuk mencegah gigitan ular laut, nelayan sebaiknya menghindari menyentuh
ular laut yang tertangkap jala dan terpancing. Kepala dan ekor ular tidak mudah
dibedakan. Terdapat resiko tergigit pada mereka yang mandi dan mencuci
pakaian pada air yang keruh pada muara, hulu sungai dan pesisir pantai.
BAB IV
KESIMPULAN

Snake Bite atau Gigitan Ular merupakan salah satu kasus gawat darurat yang terkait

lingkungan, pekerjaan dan musim dan cukup banyak terjadi di berbagai belahan dunia

khususnya di daerah pedesaan. Pekerja di bidang pertanian dan anak-anak merupakan

golongan yang sering tergigit. Pada tahun 2009, WHO pertama kali dikenalkan WHO

sebagai neglected tropical disease. Insidens gigitan ular ini terutama yang menyebabkan

kematian masih cukup tinggi di dunia. Di Indonesia dilaporkan sekitar 20 kasus kematian

dari ribuan kasus gigitan ular per tahun. Wanita lebih jarang digigit ular dibandingkan pria,

kecuali pekerjaan di dominasi oleh wanita. Anak-anak dan dewasa muda merupakan

puncak usia yang sering digigit ular.

Diagnosis dari spesies ular yang menggigit korban penting untuk diketahui. Bisa

dilakukan dengan mengidentifikasi ular yg sudah mati, ciri-cirinya atau dari manifestasi

klinis yang muncul. Dari 2500–3000 spesies ular yang tersebar di dunia kira-kira ada 500

ular yang beracun. Ada tiga famili ular berbisa di Asia Tenggara yaitu Famili

Viperidae (Sri Lanka Pit Viper), Elapidae (naja Sumatrana), Colubridae (Red necked

keelback atau Rhabdophis subminiatus). Banyak jenis ular yang tidak berbisa dan agresif,

mudah menyerang manusia yang mendekati bisanya sering terdapat di perkebunan. Contoh

ular tidak berbisa yang sering ditemukan adalah Python dan Ahaetulla Prasina.

Pada pemeriksaan fisik cek tanda bekas gigitan ular dapat dimulai dari area gigitan

ular yang dapat ditemukan pembengkakan, nyeri tekan, ekimosis dan tan-tanda awal

nekrosis (Perubahan warna). Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah Darah

Lengkap dan Faal Hemostasis. Di Indonesia, dosis yang dianjurkan yaitu 2 vial SABU (10

ml) diencerkan dalam 100 ml Normal Saline 0.9% kemudian drip 60-80 tetes per menit,
dapat diulang setiap 6-8 jam. Dianjurkan tersedia epinefrin untuk penanganan reaksi

anafilaktik akibat administrasi anti bisa ular. Pemberian secara intramuskular tidak

direkomendasikan kecuali jika akses intravena tidak memungkinkan.

DAFTAR PUSTAKA

1) Gold, Barry S.,Richard C. Dart.Robert Barish. 2002. Review Article : Current Concept
Bites Of Venomous Snakes. N Engl J Med, Vol. 347, No. 5·August 1, 2002
2) WHO. 2005. Guidelines for The Clinical Management of Snake Bite in The South East
Asia Region.
3) Kasturiratne A, Wickremasinghe AR, de Silva N, Gunawardena NK, Pathmeswaran A,
et al. 2008. The Global Burden of Snakebite: A Literature Analysis and Modelling
Based on Regional Estimates of Envenoming and Deaths. PLoS Med 5(11): e218.
doi:10.1371/journal.pmed.0050218
4) SMF Bedah RSUD DR. R.M. Djoelham Binjai. 2000. Gigitan Hewan. Availabke
from : www.scribd.com/doc/81272637/Gigitan-Hewan
5) Sentra Informasi Keracunan Nasional Badan POM, 2012. Penatalaksanaan Keracunan
Akibat Gigitan Ular Berbisa. Available from : www.pom.id (diakses pada 30 Maret
2012)
6) Hafid, Abdul, dkk., 1997. Bab 2 : Luka, Trauma, Syok, Bencana : Gigitan Ular. Buku
Ajar Ilmu Bedah, Edisi Revisi, EGC : Jakarta. Hal. 99-100
7) Daley, Brian James MD. 2010. Snake bite : patophysiology. Available from :
http://emedicine.medscape.com/article/168828-overview#a0104
8) Emedicine Health. 2005. Snakebite. available from :
http://www.emedicinehealth.com/snakebite/article_em.htm#Snakebite
9) Depkes. 2001. Penatalaksanaan gigitan ular berbisa. Dalam SIKer, Dirjen POM
Depkes RI. Pedoman pelaksanaan keracunan untuk rumah sakit.
10) Wangoda R., Watmon B. Kisige M. 2002. Snakebite Management : Experience From
Gulu Regional Hospital Uganda.

Anda mungkin juga menyukai