Anda di halaman 1dari 15

PAPER LABORATORIUM PARASITOLOGI VETERINER

“OESOPHAGOSTOMIASIS PADA BABI”

Oleh:

Ni Kadek Chris Nariasih


NIM. 2009611049
PPDH Gelombang 17K

LABORATORIUM KOASISTENSI DIAGNOSIS LABORATORIK


FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2021

i
KATA PENGANTAR

Om Swastiastu,
Puji syukur Penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas kuasa-NYAlah Penulis
dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Oesophagostomiasis pada Babi” dengan baik.
Makalah ini Penulis buat untuk mendalami penyakit parasiter khususnya oesophagostomiasis
pada babi. Harapannya tugas makalah ini dapat memberikan manfaat bagi penulis dan pembaca
sekalian. Pada kesempatan kali ini, Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Dr. Drh. Ida Bagus Made Oka, M.Kes, selaku koordinator Diagnosa Kodil Lab
Parasitologi
2. Dr. drh. Nyoman Adi Suratma, M.P, selaku Dosen pembimbing di stase Kodil Lab
Parasitologi
3. Dr. Drh. Ida Ayu Pasti Apsari, M.P, selaku Dosen pengajar di stase Kodil Lab
Parasitologi
4. Drh. I Made Dwinata, M.Kes, selaku Dosen pengajar di stase Kodil Lab Parasitologi
5. Kepada semua pihak yang telah membatu dalam proses pengerjaan makalah ini baik
berupa dukungan tenaga, moril maupun material.
Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari kata sempurna, oleh karena itu
kritik dan saran yang membangun sangat Penulis harapkan demi kebaikan makalah ini. Semoga
makalah ini dapat berrmanfaat bagi Penulis dan Pembaca. Atas perhatiannya, Penulis
mengucapkan terima kasih.

Om Santih, Santih, Santih, Om

Denpasar, 1 Juli 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI
Halaman Muka....................................................................................................................... i
Kata Pengantar....................................................................................................................... ii
Daftar Isi................................................................................................................................ iii
Daftar Gambar........................................................................................................................ iv

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang................................................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah............................................................................................................ 2
1.3 Tujuan Penulisan.............................................................................................................. 3
1.4 Manfaat Penulisan............................................................................................................ 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Babi.................................................................................................................................. 3

BAB III PEMBAHASAN


3.1 Etiologi............................................................................................................................. 4
3.2 Morfologi......................................................................................................................... 4
3.3 Siklus Hidup dan Cara Penularan.................................................................................... 5
3.4 Patogenesa........................................................................................................................ 6
3.5 Gejala Klinis.................................................................................................................... 7
3.6 Diagnosis.......................................................................................................................... 7
3.7 Pengobatan dan Pencegahan............................................................................................ 7

BAB IV PENUTUP
4.1 Simpulan.......................................................................................................................... 8
4.2 Saran................................................................................................................................. 8

DAFTAR PUSTAKA

iii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Cacieng oesophagustomum dentatum dewasa.................................................... 5


Gambar 2. Telur cacing oesophagotomum spp..................................................................... 6
Gambar 3. Siklus Hidup oesophagostomum spp................................................................... 6

iv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Babi merupakan hewan ternak dengan nilai ekonomis tinggi khususnya di Bali, karena
babi memiliki berbagai fungsi dalam kehidupan masyarakat Bali antara lain sebagai sarana
upacara adat, sumber protein hewani dan sumber pendapatan (Kardena et al., 2012). Dalam
usaha peternakan babi, terdapat beberapa kendala yang sering dihadapi peternak, salah
satunya adalah penyakit parasit. Beberapa faktor pemicu infeksi parasit adalah minimnya
manejemen biosekuriti kandang, cekaman stres dan kekurangan nutrisi (Herjuno dan
Purwaningsih, 2015). Salah satu parasit yang banyak menginfeksi adalah cacing
gastrointestinal, yaitu cacing yang terdapat pada organ pencernaan. Cacing ini hampir
menyerang semua ternak, Cacing gastrointestinal bagi babi sebagai inang definitif akan
mengakibatkan penurunan produktivitas karena hilangnya nafsu makan, pengurangan
kecepatan pertumbuhan, menurunnya konversi pakan dan meningkatnya kepekaan terhadap
patogen lain (Yin, 2013). Selain itu parasit cacing dapat menyebabakan kerugian ekonomi
bagi peternak babi (Collins. 2002).
Cacing yang cukup banyak menyerang babi di bali adalah jenis cacing tipe strongyle.
Pada tahun 2001 Nilasasih dalam penelitiannya melaporkan bahwa prevalensi cacing tipe
strongyle pada babi betina dewasa di Bali sebesar 69,85%. Pada tahun 2013 Agustina
melaporkan bahwa prepalensi cacing tipe strongyle di Bali sebesar 60% mendukung hasil
penelitian yang dilaporkan oleh Nilasasih pada tahun 2001. Jenis cacing tipe strongyle yang
banyak menyerang babi di Bali adalah oesophagostomum dentatum dengan prevalensi
47,5% (Agustina, 2013). Tahun 2020 Widisuputri juga melaporkan prevalensi dari
oesophagostomum dentatum yang ditemukan di Kabupaten Tabanan sebanyak 8%.
Cacing Oesophagostomum dentatum juga dikenal dengan sebutan cacing nodul (Corwin
and Tubbs. 1993) yang menyebabkan penyakit Oesophagostomiasis. Oesopgastomum
merupakan cacing yang berpredileksi di dalam lumen usus besar babi yaitu caecum dan
colon (Levine. 1990). Infeksi cacing Oesophagostomum dentatum berlangsung pada saat
babi memakan tumbuh tumbuhan atau pakan yang mengandung larva infektif

1
(Kusumamihardja. 1992). Cacing ini berkembang pada lingkungan yang lembab dengan
curah hujan yang tinggi (Koesdarto, 2011).
Minimnya pengetahuan masyarakat terhadap penyakit oesophagostomiasis menjadi salah
satu faktor potensial terjadinya penyakit Oesophagostomiasis, walaupun cacing ini tidak
bersifat zoonosis tetapi cacing ini bisa menginfeksi manusia dan hewan. Berdasarkan uraian
diatas maka perlu dilakukan kajian lebih dalam dan penulisan artikel ilmiah yang dapat
menambah wawasan masyarakat terkait penyebaran penyakit Oesophagostomiasis.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas maka diperoleh rumusan masalah
sebagai berikut:
1. Apa yang menyebabkan oesophagostomiasis pada babi?
2. Bagaimana siklus hidup dan cara penularan oesophagostomiasis pada babi?
3. Bagaimana patogenesa dan gejala klinis dari oesophagostomiasis pada babi?
4. Bagaimana cara mendiagnosa oesophagostomiasis pada babi?
5. Bagaimana cara pengobatan dan pengendalian infeksi penyakit oesophagostomiasis
pada babi?
1.3 Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah
sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui penyebab oesophagostomiasis pada babi
2. Untuk mengetahui siklus hidup dan cara penularan oesophagostomiasis pada babi
3. Untuk mengetahui patogenesa dan gejala klinis dari oesophagostomiasis pada babi
4. Untuk mengetahui cara mendiagnosa oesophagostomiasis pada babi
5. Untuk mengetahui cara pengobatan dan pengendalian infeksi penyakit
oesophagostomiasis pada babi
1.4 Manfaat Penulisan
Penulisan makalah ini memberikan manfaat bagi penulis dan juga pembaca untuk
menambah pengetahuan mengenai penyakit oesophagostomiasis pada babi. Sehingga jika
ditemukan kejadian oesophagostomiasis dapat dikenali lebih cepat.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Babi
Babi merupakan salah satu dari sekian banyak jenis ternak yang di kembang biakkan di
dunia. Babi yang dipelihara saat ini nenek moyangnya berasal dari dua jenis babi liar yaitu
Sus vitatus dan Sus sropa. Jenis Sus vitatus ini berrasal dari Benua Asia yang meliputi India
Timur, Asia Tenggara, dan China. Sedangakan Sus scropa berasal dari Benua Eropa.
Domestikasi babi liar Sus vitatus di China di mulai sekitar tahun 4910 sebelum masehi,
sedangkan domestikasi babi liar Sus scropa di Benua Eropa dilaksanakan pada tahun 800
tahun sebelum masehi (Hafez and Dyer 1969). Babi asli Indonesia adalah babi hutan yang
sekarang masih berkeliaran di hutan-hutan.Jadi babi-babi Indonesia yang sekarang ini adalah
keturunan babi hutan (celeng – sus verrucosus). Ciri-ciri yang dimiliki bebi Idonesia yaitu:
berwarna hitam atau belang hitam, atas hitam dan bawah putih, kepala kecil, moncong
runcing dengan telinga yang pendek dan berdiri tegak, perut hampir menyusur tanah, karena
tulang punggung yang panjang dan lemah serta kaki yang pendek. Beberapa bangsa babi
yang telah terkenal misalnya babi Bali, Krawang, Nias dan Sumba (Dewi, 2017).
Menurut AAK (1996), Babi adalah ternak monogastric yang memiliki kemampuan
dalam mengubah makanan secara efesien apabila ditunjang dengan kualitas ransum yang
dikonsumsi, tenak babi bersifat prolific yang ditunjukkan dengan kemampuan mempunyai
anak dalam satu kelahiran yaitu berkisar antara 6-12 ekor dan setiap induk mampu
melahirkan dua kali dalam satu tahun, persentase karkas babi mencapai 65-80%. Secara
zoologis ternak babi termasuk ke dalam phylum Chordata, kelas Mammalia, ordo
Artiodactyla, family Suidae, genus Sus (Blakely dan Bade,1998). Babi merupakan salah satu
komoditas ternak hewan penghasil daging yang memiliki potensi besar untuk dikembangkan
karena pertumbuhannya cepat, jumlah anak per kelahiran yang tinggi, dan memiliki daya
adaptasi yang tinggi terhadap pakan dan lingkungan (Gunn dan Sarah, 2012).

3
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Etiologi
Oesophagostomiasis merupakan penyakit cacing bungkul yang disebabkan oleh infeksi
cacing dari genus Oesophagostomum (kangmaruf, 2014). Spesies cacing yang menyerang
babi adalah Oesophagostomum dentatum dan Oesophagostomum quadrispinulatum, nemun
yang lebih sering di jumpai di Indonesia khususnya Bali adah oesophagostomum dentatum.
Cacing ini merupakan parasit internal yang umum ditemukan pada kolon babi dan sering
menginfeksi babi yang tidak dikandangkan atau dilepas di padang rumput. Infeksi terjadi
pada semua kelompok umur babi tetapi mungkin lebih rentan pada babi umur tiga bulan.
Berdasarkan Rahmadina (2019) dalam bukunya taksonomi Oesophagostomum adalah
sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Filum : Nemathelminthes
Kelas : Nematoda
Ordo : Strongylida
Famili : Strongylidae
Genus : Oesophagostomum
Spesies : Oesophagostomum dentatum, oesophagostomum columbianum,
oesophagostomum radiatum, oesophagostomum quadrispinulatum,
oesophagostomum bulferi.
3.2 Morfologi
Cacing oesophagostomum sp. Jantan panjangnya 6-10 mm dan berdiameter 200-500
mikron mempunyai kapsular bucal yang dangkal. Panjang cacing betina 6-14 mm, (Levine,
1990). Telur cacing ini berbentuk oval berdinding tipis, terdiri dari dua lapis dan berukuran
63,18 μm x 36,75 μm dan 67,20 μm x38,79 μm (Gambar 2) (Dewi dan Nugraha, 2007).
Telur dikeluarkan bersama feses inangnya dalam keadaan belum infektif, kemudian di luar
tubuh akan berkembang menjadi larva rhabditiform yang pertama yang akan menetas kurang

4
lebih 24 jam pada suhu yang optimum. Cacing ini memiliki kapsula buccalis silindris dan
sempit, memiliki corona radiate dan mempunyai bursa terdiri 3 lobi dan ada spikula (Olsen,
1967).

Gambar 1. Cacieng oesophagustomum dentatum dewasa (Aagustina, 2013)

Gambar 2. Telur cacing oesophagotomum sp.


(Sumber: Dewi & Nugraha 2007; Fedriyanto et al., 2015; Widayati et al., 2020;
Widisuputri et al., 2020)
3.3 Siklus Hidup dan Cara Penularan

5
Siklus hidup dari Oesopagustomum ini pada dasarnya sama seperti daur hidup dari cacing
Strongylida. Siklus hidup dari cacing ini secara langsung. Telur Oesophagustomom
berbentuk oval mengandung morula dan memiliki ujung yang tumpul dengan ukuran 50-100
mikron, kerabang telur yang tipis dan licin. Morula akan berkembang menjadi L-1
(rhabditiform) dalam waktu 1-2 hari menjadi L-2. Pergantian kutikula (molting) pada L-2
merupakan pelindung untuk L-3 hingga larva menemui inang definitif yang cocok. Sekitar
satu minggu, L-3 akan bermigrasii mencari lingkungan basah sekitar tanah maupun
tumbuhan. Proses infeksi akan terjadi apabila larva infektif termakan inang definitif.

Gambar 3. Siklus hidup Oesophagostomum spp.


(Sumber: Gasser et al., 2007)
Setelah L-3 termakan oleh host definitive, kemudia L-3 menggali kedalam submucosa
usus besar atau usus kecil dan menginduksi kista. Di dalam kista ini, larva berganti kulit dan
menjadi L-4. Larva 4 ini bermigrasi kembali ke lumen usus besar, dimana mereka berganti
kulit menjadi dewasa. Telur oesophagostomum akan muncul dalam feses sekitar 1 bulan
setelah menelan Larva 3 yang infektif.
3.4 Patogenesa
Patogenesisnya tertelan Larva tiga (L3) kemudian menembus dinding usus halus
menyebabkan pendarahan ptekie dan iritasi mukosa. Sebagaian besar larva menembus ke

6
dasar mukosa dan menghancurkan bagian dari muskularis mukosa. Parasit kemudian diam di
mukosa dan submukosa usus. Larva yang ada di dinding usus merangsang terjadinya reaksi
inflamasi yang mengakibatkan terjadinya hipersensitivitas. Edema inflamasi dengan
penebalan mukosa dan trombosis limfatik sering terjadi. Nodul terbentuk akibat reaksi
kekebalan dari host dan ketika nodul pecah akan memicu terjadi anemia dan larva kembali
ke lumen usus. Infeksi sekunder dari nodul sering terjadi (Kangmaruf, 2007).
3.5 Gejala Klinis
Babi yang terinfeksi berat mungkin menunjukkan gejala diare, penurunan berat badan,
dan defisiensi nutrisi. Anemia dan hipoproteinemia juga terjadi. Kematian jarang terjadi.
Lesi yang ditimbulkan antara lain terjadi penebalan dan edema pada dinding usus dan nodul
berukuran 20 mm yang tersebar di lapisan mukosa dan submukosa sekum dan usus besar.
3.6 Diagnosis
Prosedur yang digunakan untuk mendiagnosa infeksi cacing adalah melalui pemeriksaan
mikroskopis dari telur atau larvanya dalam feses (Tjay dan Rahardja, 2007). Roepstorff dan
Nansen (1998) menyatakan diagnosis juga dapat di lakukan dengan melihat tanda klinis
yang terjadi. Menurut Johnstone (2000), pada babi muda penyakit pernapasan yang
signifikan dapat terjadi selama periode prepaten dalam menanggapi migrasi larva. Pada
hewan yang lebih tua infeksi biasanya paten, di mana kasus diagnosis yang jelas dapat
ditentukan dengan menemukan karakteristik telur oleh pengapungan feses.
3.7 Pengobatan dan Pencegahan
Antelmintika atau obat cacing (Yun. anti = lawan, helmins = cacing) adalah obat yang
dapat memusnahkan cacing dalam tubuh manusia dan hewan. Menurut Johnstone (1997)
obat-obatan yang efektif untuk pengobatan terhadap cacing nematode pada babi adalah
Ivermectin, Doramectin, Thiabendazole, Fenbendazole, Levamisole, Dichlorvos, Pirantel
dan Piperazine. Bowman dan Rand (1984) berpendapat bahwa obat cacing ideal dipakai
apabila memenuhi beberapa persyaratan antara lain : 1. Toksik terhadap cacing, 2. Aman
bagi induk semang, 3. Efektif untuk membunuh cacing yang ada dalam tubuh induk semang,
4. Mudah diaplikasikan dan ekonomis.
A. Ivermectin
Ivermectin adalah turunan avermectin, yang diekstrak dari jamur yangditemukan di
Jepang, Streptomyces avermitilis. ivermectin menunjukkan aktivitas spektrum luas

7
terhadap banyak parasit internal atau eksternal, lebih khusus, nematoda dan arthropoda
(Esther, 2009). Ivermectin adalah zat yang sangat lipofilik yang larut dalam kebanyakan
pelarut organik, tetapi praktis tidak larut dalam air. Ivermectin bertindak sebagai
antagonis dari neurotransmitter GABA. Mekanisme kerja ivermectin yaitu mengganggu
aktivitas aliran ion klorida pada sistem syaraf, preparat ini dapat terikat pada reseptor
yang meningkatkan permeabilitas membran parasit terhadap ion klorida sehingga akan
mengakibatkan saluran klorida terbuka dan meningkatkan pengeluaran neutransmiter
gamma amino butyric acid (GABA).
Sebagai akibatnya transmisi neuromuskuler akan terganggu, sehingga akan
menyebabkan terjadinya paralisis dan kematian dari parasit (Booth, 1988). Ivermectin
sangat efektif terhadap spesies nematoda, baik dalam bentuk larva maupun cacing
dewasa, Ivermectin juga sangat efektif melawan berbagai parasit arthropoda hewan
domestik. Pemberian ivermectin secara oral menunjukkan penyerapan cepat oleh tubuh
dan konsentrasi tinggi dalam darah tercapai relatif cepat, berbeda dengan injeksi subcutan
dari ivermectin (ivomec®), yang tingkat penyerapannya adalah 39.2h (tingkat
penyerapan sangat tergantung pada zat pembawa, dalam hal ini
glycerolformalpropilenaglikol 40:60). Obat ini juga didistribusikan di seluruh jaringan
dan organ, termasuk lapisan mukosa dari saluran pencernaan.

8
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Oesophagostomiasis merupakan penyakit yang disebabkan oleh cacing Nematoda dari
genus Oesophagostomum spp. yang berpredileksi pada lumen usus besar babi yaitu caecum
dan colon. Babi menjadi terinfeksi setelah mengkonsumsi pakan yang terkontaminasi oleh
telur cacing oesophagostomum. Larva cacing ini berkembang pada kondisi tanah yang
lembab serta daerah dengan curah hujan tinggi. Cacing ini menyebabkan gejala diiare
berdarah pada babi dan kelesuan, prosedur yang digunakan untuk mendiagnosa infeksi
cacing oesophagostomum adalah melalui pemeriksaan mikroskopis dari telur atau larvanya
dalam feses. Pencegahan yang dapat dilakukan dengan cara meningkatkan biosecurity dan
manajemen kandang yang baik, membuat pembuangan saluran cerna pada kandang babi,
sehingga babi tidak tergenang oleh fesesnya. Pengobatan yang dapat dilakukan dengan
memberikan Ivermectin, Doramectin, Thiabendazole, Fenbendazole, Levamisole,
Dichlorvos, Pirantel dan Piperazine.
4.2 Saran
Para peternak disarankan unutk lebih meningkatkan manajemen perkandangan serta
biosecurity dan sanitasi peralatan kandang. Seperti alas kandang yang mudah kering dan
tempat pakan dan minum yang bersih. Selain itu peternak juga disarankan untuk rutin
melakukan pengecekan kesehatan hewan oleh Dokter Hewan guna mencegah terjadinya
penyakit Oesophagostomiasis pada babi.

9
DAFTAR PUSTAKA

Agustina, K.K.2013. Identifikasi dan Prevalensi Cacing Tipe Strongyle pada Babi di Bali.
Buletin Veteriner Udayana. ISSN : 2085-2495

AAK. 1981. Pedoman Lengkap Beternak Babi. Kanisius, Yogyakarta.

Bowman, W.C. and Rand, M.J. (1984) Farmacologia, bases bioquimicasy patologicas.
Aplicaciones clinicas, 2nd Edn. Editorial Interamericana S.A. de C.V. Mexico, D.F,
pp. 358.

Collins, F. 2002. Preventive Paracitices in Swine : Parasite Treatment. Veterinary Service,


United States Department of Agriculture.

Corwin, R.M and Tubbs, R.C. 1993. Common Internal Parasites of Swine. Department of
Veterinary Microbiology, College of Veterinary Medicine. University of Missouri.
Columbia.

Dewi G.A.M. 2017. Materi Ilmu Ternak Babi. Fakultas Peternakan Universitas Udayana

De-Ming Yin, Fen Li, Xi-Jun Wang, Yuan Lin, Zeng-Zai Liu, Ning-Bo Xia, Xiao-Feng Sheng,
Ting Wang, Yi Liu and Wei Liu, 2013. Prevalence of Helminths in Adult Pigs in
Hunan Province, China. Journal of Animal and Veterinary Advances, 12: 1123-1125.

Fedriyanto, A., Made, D. Ida, B.M.O. dan Kadek.K.A. 2015. Identifikasi dan Prevalensi Cacing
Nematoda Saluran Pencernaan pada Anak Babi di Bali. 4(5): 465-470.

Gasser R.B, Cotte P, Nisbet J.A, Ruttkowski B, Ranganathan S, Joachim A. 2007.


Oesophagostomum dentatum — Potential as a model for genomic studies of
strongylid nematodes, with biotechnological prospects. Elsevier Biotechnology
Advances Vol 25 Page 281-293

Gunn A, Sarah J. Pitt. 2012. Parasitology: An Integrated Approach. United Kingdom: John
Wiley and Sons Ltd.

Herjuno A N dan Purwaningsih E. 2015. Nematoda Parasit Gastrointestinal pada Satwa Mamalia
di Penangkaran Pusat Penelitian Biologi LIPI Cibinong. Jawa Barat. Prosiding
Seminar Nasional Masyarakat Biodiversity Indonesia. ISSN: 2407-8050. 8 Desember
2015. 1 (8): 1785-1789.

10
Johnstone, C. 1997. Nematodes of Veterinary Importance. University of Pennsylvania, School of
Veterinary Medicine & Merck.

Johnstone, C. 2000. Parasites and Parasitic Diseases of Domestic Animals, University of


Pennsylvania, School of Veterinary Medicine & Merck.

Dewi K & Nugraha R.T.P. 2007. Endoparasit Pada Feses Babi Kutil (Sus Verrucosus) Di Kebun
Binatang Surabaya. Jurnal Fauna Tropika. ISSN 0215-191X.

Kusumamihardja, S. 1992. Parasit dan Parasitosis pada Hewan Ternak dan Hewan Piaraan di
Indonesia. Pusat Antar Universitas Bioteknologi, Institut Pertanian Bogor.

Levine, N.D. 1990. Parasitologi Veteriner. G. Ashadi, (penerjemah). Gajah Mada Universitas
Press Yogyakarta. Terjemahan dari Veterinary Parasitology.

Nilasasih, N.P. 2001. Prevalensi Infeksi cacing Nematoda pada Babi Betina Dewasa di
Kecamatan Payangan Kabupaten Gianyar dan Kecamatan Marga Kabupaten
Tabanan. Skripsi. Fakultas Kedokteran Hewan. Universitas Udayana. Denpasar.

Rahmadina. 2019. Taksonomi Invertebrata. Biologi. Jakarta: Penerbit Erlangga,2008. Hal.239

Roepstorff, . dan P. Nansen. 1998. Epidemiology, Diagnosis and Control of Helminth Parasites
of Swine. Food and Agriculture Organization of The United Nations. Rome.

Tjay, Tan HoandanKiranaRahardja, 2007, Obat-ObatPentingKhasiat, PenggunaandanEfek-


EfekSampingnya, EdisiKeenam, 262, 269-271, PT. Elex Media Komputindo,
Jakarta.

Widayati I, Bernaddeta.W.I, Degesi N. 2020. Identifikasi Cacing Gastrointestinal pada Babi di


Kabupaten Jayawijaya dan Paniai, Provinsi Papua. Jurnal Ilmu Peternakan dan
Veteriner Tropis. ISSN: 620-939X

Widisuputri N.K.A, Suwanti L.T, Plumeriastuti H. 2020. Survey for Zoonotic and Other
Gastrointestinal Parasites in Pig in Bali Province, Indonesia. Indonesian Journal of
Tropical and Infection Disease. ISSN 2085-1103

11

Anda mungkin juga menyukai