Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN

KOASISTENSI DIAGNOSA LABORATORIK VETERINER


STUDI KASUS BRUCELLOSIS PADA SAPI

OLEH:
Anak Agung Gde Fandhiananta Widyanjaya
NIM. 2009611047
Gelombang 17 Kelompok K

LABORATORIUM KOASISTENSI DIAGNOSA LABORATORIK VETERINER


FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2021
1. Sinyalemen
Kasus abortus dilaporkan terjadi pada trisemester akhir kebuntingan sapi dalam periode 3
tahun (2012-2014) pada sebuah peternakan sapi perah di Uttar Pradesh, India Utara (Mittal et al.,
2018).
Jenis Hewan : Sapi
Ras : Frieswal, Crossbreed, Sahiwal
Umur : Bervariasi antara 3 – 7 tahun
Kelamin : Betina
Jumlah Populasi : > 1000 ekor (730 induk sapi Frieswal, 180 induk sapi Crossbreed, 90
induk sapi Sahiwal)
Lokasi Kandang : Uttar Pradesh, India Utara
2. Tanda Klinis
Abortus ditemukan pada induk sapi yang sedang bunting (sebanyak 40 pada induk sapi
Frieswal, 17 pada induk sapi Crossbreed, dan 31 pada induk sapi Sahiwal). Selain itu juga
ditemukan retensi plasenta pada beberapa induk sapi. Menurut OIE (2004), pada hewan bunting
dapat menyebabkan plasentitis yang berakibat terjadinya abortus pada kebuntingan bulan ke-5
sampai ke-9. Menurut Xavier et al. (2009), brucellosis berhubungan dengan abortus pada
trimester terakhir kebuntingan, pdet lahir mati atau lahir lemah, dan infertilitas pada sapi dan
kerbau jantan.
3. Data Epidemiologi
Di India, brucellosis pertama kali ditemukan pada tahun 1942 dan hingga kini mewabah di
seluruh daerah. Perjalanan dan perdagangan yang cepat dan mudah meningkatkan potensi
endemisitas. Penyakit ini dilaporkan pada sapi, kerbau, domba, kambing, babi, anjing dan
manusia (Renukaradhya, 2002). Dua spesies Brucella yang menjadi perhatian utama di India
adalah B. melitensis dan B. abortus. Di India, biotipe B. abortus yang berbeda (tipe-1, 2, 4, 6 dan
9) telah diisolasi dari sapi. B. abortus juga diisolasi dari kerbau, kambing, dan domba (Smits dan
Kadri, 2005). Biotipe Brucella memiliki dominasi tertentu atas suatu wilayah (Sen dan Sharma,
1975) seperti, B. abortus biotipe-1 menjadi biotipe utama di sebagian besar wilayah negara,
diikuti oleh B. abortus biotipe-3 di negara bagian utara Uttar Pradesh dan Haryana dan negara
bagian timur Odisha, B. abortus biotipe 9 di Odisha, serta B. abortus biotipe-4, 6 dan 9 dan B.
melitensis biotipe-2 di negara bagian selatan Tamil Nadu.
Populasi sapi di India tersebar di seluruh wilayah negara dan menjadi komoditi ternak
mayoritas dibandingkan dengan spesies lain. Brucellosis sapi tersebar luas di seluruh wilayah di
India. Laporan kemajuan program pemantauan dari 2012-2013 oleh The Indian Council of
Agricultural Research memperkirakan bahwa seroprevalensi nasional brucellosis pada sapi saat
ini diperkirakan 13,5% dan pada keseimbangan endemik yang stabil (Rahman et al., 2013).
Sebuah studi seroprevalensi dari Uttar Pradesh oleh Upadhyay et al. (2007) mencatat 7,25%
prevalensi pada sapi (12,77% pada sapi dan 3,55% pada kerbau).
Di India, brucellosis pada ternak diperkirakan menyebabkan kerugian sebesar US $ 3,4
miliar per tahun dimana sapi dan kerbau menyumbang 95,6% dari total kerugian akibat kejadian
abortus, infertilitas sementara, dan infertilitas pada hewan dewasa (Singh et al, 2015).
Panchasara (2018) melaporkan bahwa kerugian ekonomi yang disebabkan oleh brucellosis
terutama disebabkan oleh penurunan produksi susu yang diikuti oleh biaya perawatan dan
kematian pedet akibat abortus. Terdapat rata-rata kerugian sebanyak 231 liter dan 177 liter susu
(10% dari total hasil laktasi) masing-masing pada sapi dan sapi kerbau yang positif terjangkit
penyakit Brucellosis.
4. Data Patologi Anatomi
Berdasarkan pemeriksaan patologi anatomi yang dilakukan oleh Xavier et al. (2009), lesi
makroskopis yang paling umum terlihat adalah uterus yang membengkak berwarna kecoklatan,
berbau busuk, dan eksudat flokulen yang mengandung bahan nekrotik. Plasentoma terlihat
hemmorhagi dan nekrosis. Limfonodus superfisial dan internal serta limpa mengalami
pembesaran. Selain itu ditemukan plasentitis nekrotikan dan/atau hemorrhagika. Lesi yang paling
umum terlihat pada fetus yang abortus atau yang lahir lemah adalah pleuritis fibrinosa. Lesi di
paru-paru terlihat fokal hingga difusa dengan warna kemerahan hingga keabu-abuan, terdapat
area yang padat pada parenkim, serta eksudat fibrinous pada permukaan pleura.
5. Diagnosa Sementara
Berdasarkan gejala klinis yang teramati, diagnosa sementara yang dapat disimpulkan yaitu
brucellosis dengan diagnosa banding neosporiasis, leptospirosis, dan Infectious Bovine
Rhinotracheitis (IBR). Rochmadiyanto et al. (2013) melaporkan bahwa abortus adalah gejala
klinis utama dari neosporosis pada sapi potong maupun sapi perah. Pada hewan ternak
ruminansia yang bunting, gejala abortus, pedet lahir mati atau lemah sering muncul pada kasus
leptospirosis (Kusmiyati et al., 2005). Infeksi IBR dapat menyebabkan abortus yang umumnya
terjadi antara bulan ke-4 hingga ke-7 masa kebuntingan (Sudarisman, 2003).
6. Diagnosa Definitif
Diagnosa definitif yang diperoleh yaitu brucellosis. Hal tersebut dibuktikan dengan
pemeriksaan bakteriologi yang menunjukkan bahwa bakteri Brucella abortus dapat diisolasi dan
diidentifikasi pada media sheep blood agar 5%. Selain itu dilakukan pemeriksaan dengan Serum
agglutination test (SAT) dan PCR dan menunjukkan hasil positif Brucella abortus.
7. Diskusi Kasus
a. Alasan Pengambilan Sampel
Sampel yang diambil untuk pemeriksaan laboratorium adalah limfonodus
supramamaria dan iliaca interna, glandula mamae, plasentoma, endometrium, hati, dan
limpa. Selain itu sampel darah diambil untuk pemeriksaan serologi. Sampel tersebut
diambil karena ketika B. abortus memasuki tubuh host, bakteri terlokalisasi pada
limfonodus, kemudian bakteri menghasilkan infeksi lokal dan keluarnya Brucella dari
kelenjar limfonodus ke dalam darah. Selama fase bakteremia, bakteri paling sering
diisolasi dari limfonodus supra-mammae, susu, limfonodus iliaca, limpa dan uterus
(Acha dan Szyfres, 2001). Pada hewan bunting bakteri kemudian mencapai plasenta dan
akhirnya ke fetus dan terlokalisasi pada plasentoma (Radostits et al., 2000).
b. Kajian Epidemiologi Singkat
Penyakit brucellosis dikatagorikan sebagai salah satu penyakit zoonosis yang
tersebar secara meluas di dunia oleh Food and Agriculture Organisation (FAO), World
Health Organisation (WHO) dan the Office International des Epizooties (OIE)
(Schelling et al., 2003). Brucella telah ditemukan di seluruh dunia dengan distribusi
organisme yang bervariasi, yaitu B. abortus, B. melitensis, dan B. suis biovar 1-3.
Beberapa organisme tersebut umum ditemukan di beberapa negara bagian Timur
Tengah, Asia dan Amerika Latin. Bovine brucellosis biasanya disebabkan oleh B.
abortus. Hewan bukan sapi, termasuk manusia, juga dapat tertular penyakit dan berperan
dalam persistensi dan penularannya. Brucella abortus memiliki tujuh biovar yang diakui,
yang paling banyak dilaporkan adalah biovar 1, 2, 3, 4 dan 9, dengan biovar 1 menjadi
yang paling umum di Amerika Latin. Brucellosis pada sapi dilaporkan di hampir semua
negara tempat ternak dibudidayakan, dengan beberapa negara Eropa utara dan tengah,
Australia, Kanada, Jepang, dan Selandia Baru dianggap bebas dari brucellosis. Pada
tahun 2008, 12 negara Uni Eropa dianggap bebas dari brucellosis sapi, serta brucellosis
caprine dan ovine (Aparicio, 2013).
Di Indonesia, Brucellosis pertama kali terdeteksi pada tahun 1925 oleh Kirschner
pada sapi perah di Bandung (Sudibyo & Ronohardjo, 1989), kemudian penyakit ini
menyebar ke seluruh provinsi kecuali Bali yang secara historis bebas dari brucellosis.
Brucellosis masih menjadi endemik di Jawa, Sulawesi, dan Nusa Tenggara Timur
dengan kerugian ekonomi mencapai Rp 138,5 milyar per tahun (Dirjennak, 2006).
Hingga kini, terdapat beberapa provinsi yang dideklarasikan bebas dari brucellosis, yaitu
Bali, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur,
Kalimantan Tengah, Sumatera Barat, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Lampung, Bangka
Belitung, Madura, dan Sumatera Utara (Naispospos, 2014; Direktorat Kesehatan Hewan,
2018). Prevalensi Brucellosis pada ternak di Indonesia cukup tinggi, yaitu mencapai
40% dan tersebar hampir di seluruh wilayah Indonesia. Keadaan ini sangat
memungkinkan penularan Brucellosis dari hewan ke manusia dan dapat menjadi faktor
risiko terjadinya Brucellosis di manusia (Samkhan, 2014; Sudibyo, 1995).
c. Etiologi
Brucella abortus, seperti spesies lain dari genus Brucella, adalah patogen
intraseluler fakultatif yang menginfeksi sapi. Bakteri ini merupakan bakteri Gram
negatif, berdiameter 0,5-0,7μ dan panjang 0,6-1,5μ, organisme coccobacillus yang
termasuk dalam subdivisi alpha-2 dari Proteobacteria, bersama dengan Ochrobactrum,
Rhizobium, Rhodobacter, Agrobacterium, Bartonella, dan Rickettsia. B. abortus bersifat
oksidase, katalase dan urease positif (Yanagi & Yamasato, 1993). B abortus memiliki 2
kromosom sirkuler yang menyandi genome dengan ukuran sekitar 3,2 Mb dan dibagi
menjadi 7 biovar berdasarkan sifat biokimia, fenotipik, dan antigeniknya (Alton et al.,
1988).
B. abortus merupakan strain yang paling sering menginfeksi sapi. Masa inkubasi
penyakit ini masih belum diketahui secara pasti, berkisar antara 2 minggu hingga satu
tahun atau bisa lebih lama pada kondisi tertentu. Brucella merupakan patogen
intraseluler, selama infeksi bakteri bertahan dan berkembang biak di makrofag. Bakteri
beradaptasi dengan pH asam, tingkat oksigen yang rendah, dan tingkat nutrisi yang
rendah (Kohler et al., 2002). Sel bakteri mampu bertahan untuk waktu yang lama di
dalam air, janin yang diaborsi, tanah, produk susu, daging, kotoran, dan debu (Gwida et
al., 2010).
Pada hewan, konsentrasi bakteri B. abortus tertinggi terdapat pada uterus hewan
bunting. Fetus yang abortus, selaput atau cairan plasenta, dan cairan uterus lainnya
dianggap sebagai sumber utama infeksi. Pada hewan yang terinfeksi juga terdapat
organisme bakteri pada susu yang beresiko sebagai sumber penularan bagi pedet yang
baru lahir. Penyakit ini ditularkan ke hewan yang rentan melalui konsumsi pakan dan air
yang terkontaminasi, kontak dengan fetus yang abortus, selaput fetus dan cairan uterus,
serta infeksi melalui udara juga mungkin terjadi. Penggunaan semen sapi jantan yang
terinfeksi untuk inseminasi buatan juga menimbulkan risiko menyebarkan infeksi ke
banyak induk sapi (Acha dan Szyfers, 2001).
Pada manusia, konsumsi produk susu merupakan sumber yang paling penting
dalam penularan infeksi. Konsumsi sayur mentah dan air yang terkontaminasi serta
daging hewan yang tidak dimasak juga memungkinkan sebagai sumber penularan
(Radostits et al., 2000). Transmisi melalui kontak langsung juga dapat terjadi pada area
endemik. Manusia terinfeksi melalui kontak dengan jaringan atau hewan yang terinfeksi,
kontak dekat dengan material yang terinfeksi. Brucella juga diasumsikan dapat masuk
melalui luka pada kulit, trans-conjunctival, dan melalui udara (Walker, 1999).

Gambar 1. Siklus Hidup Brucella abortus pada Sapi dan Manusia (Moreno &
Barquero-Calvo, 2020)
d. Patogenesis
Penularan B. abortus terjadi terutama melalui kontak mukosa secara langsung
atau secara aerosol dengan cairan atau jaringan yang berhubungan dengan kelahiran atau
fetus yang terinfeksi (Enright, 1990). Karena konsentrasi bakteri dalam cairan fetus atau
plasenta setelah abortus dapat mencapai 109 hingga 1010 CFU/g dan dosis infeksius
minimum diperkirakan berkisar antara 103 hingga 104 CFU, kejadian abortus secara
lateral dapat menularkan brucellosis ke banyak sapi yang bersentuhan dengan material
kelahiran (Cheville et al., 1998).
Brucella yang menyerang biasanya terlokalisasi di kelenjar limfonodus,
mengakibatkan hiperplasia jaringan limfoid dan retikulo-endotel dan infiltrasi sel
inflamasi. Mekanisme first-line of defense oleh bakteri menghasilkan infeksi lokal dan
keluarnya Brucella dari kelenjar getah bening ke dalam darah. Selama fase bakteremia,
tulang, persendian, mata dan otak dapat terinfeksi, tetapi bakteri tersebut paling sering
diisolasi dari limfonodus supra-mammae, susu, limfonodus iliaca, limpa dan uterus. Pada
sapi jantan, tempat predileksi untuk infeksi juga merupakan organ reproduksi dan
limfonodus. Selama fase infeksi akut, semen mengandung Brucella dalam jumlah besar
tetapi ketika infeksi menjadi kronis, jumlah Brucella yang diekskresikan menurun (Acha
dan Szyfres, 2001).
Setelah organisme Brucella menyebar melalui jalur hematogen pada hewan
bunting, kemudian mencapai plasenta dan akhirnya ke fetus. Lokalisasi preferensial ke
saluran reproduksi hewan bunting adalah karena adanya cairan alantois yang akan
merangsang pertumbuhan Brucella. Erythritol dianggap sebagai salah satu faktor yang
menyebabkan peningkatan Brucella pada plasenta dan cairan fetus sejak sekitar bulan
kelima kebuntingan. Lokalisasi awal dalam trophoblast eritrofagostik dari plasentoma
yang berdekatan dengan membran chorio-allantoic menyebabkan pecahnya sel dan
ulserasi membran. Kerusakan jaringan plasenta bersama dengan infeksi fetus dan stres
fetus yang menyebabkan perubahan hormonal induk dapat menyebabkan abortus
(Radostits et al., 2000).
e. Pencegahan dan Pengobatan
Karena lokalisasi intraseluler Brucella dan kemampuannya untuk beradaptasi
dengan kondisi lingkungan yang dihadapi, pengobatan dengan antibiotik biasanya tidak
berhasil (Seleem et al., 2008). Meskipun kombinasi doxycycline-streptomycin dianggap
sebagai gold standard pengobatan, penggunaan obat tersebut kurang praktis karena
streptomycin harus diberikan secara parenteral selama 3 minggu. Kombinasi pengobatan
doxycycline (durasi 6 minggu) dengan gentamycin yang diberikan secara parenteral (5
mg/kg) selama 7 hari juga dianggap sebagai kombinasi pengobatan alternatif yang dapat
digunakan (Glynn dan Lynn, 2008).
Pengendalian brucellosis yang efektif memerlukan elemen-elemen berikut: 1)
surveilans untuk mengidentifikasi populasi hewan yang tertular, 2) pencegahan
penularan ke populasi hewan yang tidak terinfeksi, dan 3) pemberantasan reservoir untuk
menghilangkan sumber-sumber infeksi untuk melindungi hewan atau popupasi yang
rentan untuk mencegah masuknya kembali penyakit (Gwida et al., 2010). Di daerah
yang telah ditetapkan atau diasumsikan bebas brucellosis berdasarkan data epidemiologi,
resiko masuknya penyakit melalui pergerakan hewan harus dilindungi. Pergerakan
hewan yang terinfeksi harus dilarang dan izin impor harus diberikan hanya untuk
peternakan atau daerah yang bersertifikat bebas brucellosis. Di daerah dengan prevalensi
penyakit yang tinggi, satu-satunya cara untuk mengendalikan dan memberantas penyakit
ini adalah dengan vaksinasi semua inang yang rentan dan eliminasi hewan yang
terinfeksi (Briones et al., 2001). Vaksin yang paling umum digunakan untuk melawan
brucellosis sapi adalah B. abortus strain 19 dan strain RB51 (Moriyon et al., 2004).
LABORATORIUM PATOLOGI VETERINER
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS UDAYANA
Jl. P.B. Sudirman, Denpasar 80232, Tlp/Fax (0361) 701808;223791

PEMERIKSAAN LABORATORIUM PATOLOGI VETERINER

Euthanasia

Nekropsi sapi & fetus


yang abortus

Pengambilan sampel (paru-paru fetus, limfonodus, gl.


mamae, endometrium, plasentoma)

Pemeriksaan Patologi Pemeriksaan


Anatomi Histopatologi

Pembuatan preparat
histopatologi

Dehydration & Clearing


Trimming Fixation
menggunakan alkohol
Jaringan diiris menjadi Fiksasi organ selama 24 jam
bertingkat & menggunakan
lebih kecil dengan NBF 10%
xylol

Embedding & Blocking Cutting


Parafin blok dipotong dengan microtom, Staining
Pembenaman dengan Pewarnaan dengan
paraffin selama 6 jam dipindahkan ke dalam waterbath,
kemudian dipindahkan ke slide kaca Haematoxylin-Eosin

Mounting
Dicuci dengan air mengalir,
Dikeringkan diatas kertas filter, preparat
Pengamatan preparat kemudian dicelupkan ke dalam
diteteskan dengan Entelan® dan ditutup
aquades dan alkohol
dengan cover glass
LABORATORIUM PATOLOGI VETERINER
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS UDAYANA
Jl. P.B. Sudirman, Denpasar 80232, Tlp/Fax (0361) 701808;223791

PEMERIKSAAN LABORATORIUM PATOLOGI VETERINER


A. Hasil Pemeriksaan Patologi Anatomi

Terdapat cairan yang berwarna


kecoklatan pada uterus, dengan eksudat
fibrin pada permukaan karunkula (Xavier
et al., 2009)

Potongan permukaan plasentoma dengan


banyaknya eksudat fibrin nekrosis dan
multifocal hemorrhagi (necrotizing
placentitis) (Xavier et al., 2009)

Pada fetus yang abortus, terdapat banyak


eksudat fibrinoserosa pada permukaan
pleura dan sedikit cairan pada cavum
thorax (Xavier et al., 2009)
LABORATORIUM PATOLOGI VETERINER
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS UDAYANA
Jl. P.B. Sudirman, Denpasar 80232, Tlp/Fax (0361) 701808;223791

Pengamatan pada kantong pericardial


yang dibuka ditemukan banyak eksudat
fibrinosa (fibrinous pericarditis) pada
fetus yang abortus (Xavier et al., 2009).

B. Hasil Pemeriksaan Histopatologi

Kripta karunkula dipenuhi oleh debris


nekrotik dan infiltrasi sel inflamasi
(acute necrotizing placentitis) (Alcina
et al., 2010).

Glandula mamae dengan focal


interstisial infiltrasi sel-sel limfosit,
makrofag dan neutrophil, dan terdapat
neutrofil pada lumen acinar (Alcina et
al., 2010).
LABORATORIUM PATOLOGI VETERINER
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS UDAYANA
Jl. P.B. Sudirman, Denpasar 80232, Tlp/Fax (0361) 701808;223791

Endometrium dengan area erosi yang


ekstensif pada epitel luminal, serta
akumulasi fibrin, sel debris, dan
koloni bakteri (Xavier et al., 2009).

Endometrial arteriole dengan infiltrasi


sel-sel inflamasi mural dan
perivascular, dan degenerasi fibrinoid
(vaskulitis) (Xavier et al., 2009).

Limfonodus supramamaria dengan


sinus medullary berisi makrofag dan
neutrofil (suppurative lymphadenitis)
(Xavier et al., 2009).
LABORATORIUM PATOLOGI VETERINER
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS UDAYANA
Jl. P.B. Sudirman, Denpasar 80232, Tlp/Fax (0361) 701808;223791

Pada fetus yang abortus, ditemukan


penebalan visceral pleura dengan
akumulasi fibrin dan infiltrasi sel-sel
inflamasi (Xavier et al., 2009).

Penebalan dinding alveolus dengan


infiltrasi sel inflamasi interstisial
(Alcina et al., 2010).

Bronkiolus dengan eksudat fibrinosa


pada lumen dan infitrasi sel inflamasi
pada parenkim (bronchopneumonia)
(Xavier et al., 2009)

Denpasar, 5 Mei 2021


Mengetahui

Dosen Pembimbing Mahasiswa

Prof. Dr. drh. I Ketut Berata, M.Si Anak Agung Gde Fandhiananta Widyanjaya, S.KH
NIP. 96109141987021001 NIM. 2009611047
LABORATORIUM BAKTERIOLOGI DAN MIKOLOGI VETERINER
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS UDAYANA
Jl. P.B. Sudirman, Denpasar 80232, Tlp/Fax (0361) 701808;223791

PEMERIKSAAN LABORATORIUM BAKTERIOLOGI DAN MIKOLOGI

Pengambilan sampel
(vaginal discharge, material abortus)

Isolasi dan identifikasi bakteri

Inokulasi pada media


Uji Biokimia
pertumbuhan

Brucella medium McConkey’s katalase, urease, Triple Sugar Iron Sulfat Indol
Farrel’s medium
base + 5% serum Agar sitrat Agar (TSIA) Motility
kuda (SIM)

Inkubasi pada inkubator dengan suhu 37oC dan 10% CO2 Tidak memfermentasi Negatif
hingga kurang lebih 2 minggu gula

H2O2 3% Positif
Pengamatan koloni yang tumbuh

Urea Agar Positif

Tidak ditemukan
Koloni terlihat koloni yang
Koloni berbentuk Simmonse
bulat, cembung, tumbuh
bulat, halus, citrate agar Negatif
dengan margin
berwarna kuning (SCA)
halus, translucent
mengkilat seperti
dan berwarna
madu
madu pucat

Pewarnaan Gram Gram negatif, cocobacilli

Pewarnaan
Cocobacilli, berwarna
Pewarnaan Ziehl-Neelsen merah
LABORATORIUM BAKTERIOLOGI DAN MIKOLOGI VETERINER
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS UDAYANA
Jl. P.B. Sudirman, Denpasar 80232, Tlp/Fax (0361) 701808;223791

Isolasi dan kultur langsung Brucella biasanya dilakukan pada media padat. Umumnya
metode ini merupakan metode yang paling memuaskan karena memungkinkan koloni yang
berkembang diisolasi dan dikenali dengan jelas, serta membatasi perkembangan kontaminan
yang berlebihan. Berbagai macam media basal dehidrasi komersial tersedia, misalnya Brucella
medium base, tryptose soy agar (TSA). Penambahan 2–5% serum sapi atau kuda diperlukan
untuk pertumbuhan strain seperti B. abortus bv. 2 (OIE, 2018). Menurut Sulaiman (2006), B.
abortus strain virulen pada Brucella medium base, memiliki karakteristik berwarna putih madu,
translucent, bertepi halus, bersifat lembap dan berdiameter 1-2 mm.
Media selektif yang paling banyak digunakan adalah Farrel’s medium yang dimodifikasi
(FM) (Stack et al., 2002), ditambahkan ke 1 liter agar: polimiksin B sulfat (5000 unit = 5 mg);
bacitracin (25.000 unit = 25 mg); natamycin (50 mg); asam nalidixic (5 mg); nistatin (100.000
unit); vankomisin (20 mg). Pertumbuhan biasanya muncul setelah 3–4 hari, tetapi biakan tidak
boleh dianggap negatif apabila tidak tumbuh koloni sampai 7–10 hari telah berlalu. Setelah
inkubasi 4 hari, koloni Brucella berbentuk bulat, diameter 1–2 mm, dengan tepi halus, tembus
cahaya dan berwarna madu pucat saat plate dilihat di cahaya matahari melalui media transparan.
Jika dilihat dari atas, koloni tampak cembung dan putih seperti mutiara (OIE, 2018).
LABORATORIUM BAKTERIOLOGI DAN MIKOLOGI VETERINER
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS UDAYANA
Jl. P.B. Sudirman, Denpasar 80232, Tlp/Fax (0361) 701808;223791

Gambar 1. Koloni B. abortus yang tumbuh pada Farrel’s medium (a) dan Brucella Medium
Base (b), tidak ditemukan adanya koloni yang tumbuh pada media McConkey’s Agar (c) (Geresu
et al, 2016; Meze et al., 2020).

Gambar 2. Hasil pewarnaan Gram (kiri) dan pewarnaan Zeihl Neelsen (kanan) koloni B.
abortus yang diisolasi dari sapi perah (Geresu et al., 2016).
Pewarnaan Gram terlihat bakteri bersifat Gram negatif yang berarti zat warna I
(Gentian/kristal violet) dapat dilunturkan oleh aceton alkohol sehingga bakteri berwarna merah
karena menyerap zat warna II yaitu safranin. Pewarnaan Zeihl-Neelsen terlihat bakteri berwarna
merah yang menandakan bahwa koloni merupakan bakteri tahan asam.

Gambar 3. Hasil uji biokimia katalase (panah hitam), UA (panah kuning), SCA (panah hijau),
TSIA (panah merah), SIM (panah biru) isolat Brucella abortus (Meze et al., 2020).
LABORATORIUM BAKTERIOLOGI DAN MIKOLOGI VETERINER
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS UDAYANA
Jl. P.B. Sudirman, Denpasar 80232, Tlp/Fax (0361) 701808;223791

Uji urease menggunakan media UA menunjukkan hasil positif ditandai dengan perubahan
warna media dari kuning menjadi kemerahan yang menunjukkan adanya aktivitas enzim urease
dari B. abortus. Enzim urease menghidrolisis urea maka terjadi perombakan urea menjadi
amoniak yang dibebaskan dalam media dan bereaksi dengan air di media membentuk amonium
hidroksida dan menyebabkan medium berubah menjadi alkalis, sehingga warna media menjadi
lebih merah yang disebabkan adanya indikator phenol red dalam media. Uji sitrat menggunakan
media SCA menunjukkan hasil negatif ditandai dengan tidak ada perubahan warna pada media
yang berarti B. abortus tidak menggunakan sitrat sebagai sumber karbon (Handijatno et al.,
2016). Uji indol menggunakan media SIM menunjukkan hasil yang negatif ditandai dengan tidak
terbentuknya cincin berwarna merah muda pada ujung tabung. Pada media TSIA menunjukkan
hasil butt dan slant bersifat alkali ditandai dengan warna merah pada bagian atas dan bawah
media yang berarti B. abortus tidak memfermentasi glukosa, sukrosa dan laktosa serta tidak
membentuk gas. Uji katalase menunjukkan hasil positif, ditandai dengan gelembung udara
sebagai reaksi pemecahan H2O2 oleh enzim katalase menjadi H2O dan O.
LABORATORIUM BAKTERIOLOGI DAN MIKOLOGI VETERINER
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS UDAYANA
Jl. P.B. Sudirman, Denpasar 80232, Tlp/Fax (0361) 701808;223791

Uji Serologi dengan metode Rose Bengal Test (RBT)

Sampel serum

Diletakkan pada plate


WHO sebanyak 25-30 μl
pada tiap lubang

Ditambahkan antigen dengan


jumlah yang sama

Diaduk selama 4 menit hingga


homogen

Interpretasi hasil

Tidak terdapat
Terdapat aglutinasi
aglutinasi

Negatif
Positif 1 Positif 2 Positif 3
(+) (++) (+++)

Uji RBT merupakan rapid test yang berfungsi untuk mendeteksi adanya antibodi
Brucella dalam serum (Alamian et al., 2019). Apabila sapi terinfeksi Brucella, maka tubuh akan
LABORATORIUM BAKTERIOLOGI DAN MIKOLOGI VETERINER
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS UDAYANA
Jl. P.B. Sudirman, Denpasar 80232, Tlp/Fax (0361) 701808;223791

menghasilkan antibodi yang berfungsi untuk melawan adanya infeksi. Hasil positif pada uji RBT
ditandai dengan aglutinasi yang tampak seperti butiran pasir berwarna merah muda (Onsa et al.,
2018). Aglutinasi terjadi ketika terjadi ikatan antara Antigen RBT dengan antibodi yang terdapat
dalam serum (Al Tahir, 2016).

Gambar 4. Hasil uji RBT menunjukkan reaksi positif 3 (+++) yang ditunjukkan dengan adanya
aglutinasi yang sempurna, kasar, dan batas sangat jelas (Wilujeng et al., 2020)
Standar penentuan nilai pada uji RBT terdiri dari dua kategori penilaian, yaitu hasil
negatif (-), apabila tidak tejadi aglutinasi dan warna serum tetap homogen yakni ungu
kemerahan, dan hasil positif (+) ditunjukkan dengan terbentuknya aglutinasi berupa bentukan
seperti pasir. Hasil uji positif pada metode RBT dibagi menjadi tiga kategori yakni, apabila
terbentuk aglutinasi halus dan tepi dikelilingi dengan partikel halus yang membentuk garis putus-
putus, maka dianggap positif satu (+). Apabila aglutinasi terlihat seperti butiran pasir dan
membentuk partikel aglutinasi dengan tepi pinggiran lebar, maka nilainya adalah positif dua (+
+). Nilai positif tiga (+++) didapat ketika terjadi aglutinasi yang sempurna, kasar, dan batas
sangat jelas (OIE, 2018).

Denpasar, x Mei 2021


Mengetahui

Dosen Pembimbing Mahasiswa

Dr. drh. Hapsari Mahatmi, M.P Anak Agung Gde Fandhiananta Widyanjaya, S.KH
NIP. 196006051987022001 NIM. 2009611047
DAFTAR PUSTAKA
Acha, N., Szyfers, B. 2001. Zonoosis and communicable disease common to man
and animals. Vol I. Bacteriosis and Mycosis. 3rd edition. Washington DC, USA:
Scientific and Technical Pulication. Pp.40-62.
Alamian, S., Dadar, M., Soleimani, S., Behrozikhah, A. M., Etemadi, A .2019. A Case of
Identity Confirmation of Brucella abortus S99 by Phage Typing and PCR Methods. Arch.
Razi Ins., 74(2), 127-133.
Alcina, V.C.N., Mol, J.P.S., Xavier, M.N., Paixão, T.A., Lage, A.P., Santos, R.L. 2010.
Pathogenesis of bovine brucellosis. The Veterinary Journal, 184: 146-155.
Al Tahir, M.O. 2016. Estimation of Brucella Antibodies among Febrile Patients attending Al
Matamma Hospital (Sudan). Afr. J. Med. Sci., 1(1), 1-7.
Alton, G.G, Jones, L.M., Angus, R.D., et al. 1988. Techniques for the brucellosis laboratory.
Paris: Institut National de la recherche agronomique. p. 13–62.
Aparicio, E.D. 2013. Epidemiology of brucellosis in domestic animal caused by Brucella
melitensis, Brucella suis and Brucella abortus. Rev. sci. tech Off. Int. Epiz, 32(1): 53-60.
Briones, G., Inon de Iannino, N., Roset, M., Vigliocco, A., Paulo, P.S., Ugalde, R.A.
2001. Brucella abortus cyclic beta-1, 2-glucan mutants have reduced virulence in
mice and are defective in intracellular replication in HeLa cells. Infect. Immun., 69: 4528–
4535.
Cheville, N.F., McCullough, D.R., Paulson, L.R. 1998. Brucellosis in the Greater Yellowstone
Area. Washington DC: National Research Council. p. 25.
Ditjennak. 2006. Kebijakan pemberantasan brucellosis pada sapi perah. Rakor brucellosis se-
Pulau Jawa. Jakarta: Direktorat Jenderal Peternakan.
Enright, F.M. 1990. The pathogenesis and pathobiology of Brucella infection in domestic
animals. In: Nielsen K, Duncan JR, editors. Animal brucellosis. Boca Raton (FL): CRC
Press, Inc. p. 301–20.
Geresu, M.A., Ameni, G., Wubete, A., Arenas-Gamboa, A.M., Kassa, G.M. 2016. Isolation and
Identification of Brucella Species from Dairy Cattle by Biochemical Tests: The First
Report from Ethiopia. World Vet J, 6(2); 80-88.
Glynn, M. K., Lynn, T.V. 2008. Brucellosis. J. Am. Vet. Med. Assoc. 233: 900–908.
Handijatno, D., Narumi, H.E., Chusniati, S., Saruji, S., Tyasningsih, W. 2016. Diagnosis secara
Mikrobiologis Konvensional. Surabaya: Departemen Mikrobiologi. Fakultas Kedokteran
Hewan. Universitas Airlangga. p. 34-37.
Gwida M, Al Dahouk F, Melzer U, Rosler H, Neubauer H, Tomaso H. 2010. Brucellosis –
regionally emerging zoonotic disease?. Croat J Med. 51: 289-295
Kohler, S., Foulongne, V., Ouahrani-Bettache, S., Bourg, G., Teyssler, J., Ramuz, M., et al.
2002. The analysis of the intramacrophagic virulome of Brucella suis deciphers the
environment encountered by the pathogen inside the macrophage host cell. Journal of
National Academic Science. 99: 15711–15716.
Kusmiyati, Noor, S.M., Supar. 2005. Leptospirosis pada Hewan dan Manusia di Indonesia.
Wartazoa. 15(4): 213-220.
Meze, M.G.P., Handijatno, D., Tyasningsih, W., Suwarno, Estoepangestie, A.T.S., Ernawati, R.
2020. Deteksi Molekuler Gen Penyandi Protein Virb11 pada Brucella abortus Isolat Lokal
Asal Pinrang, NTT, dan Strain Vaksin. Jurnal Veteriner, 21(4): 502-511.
Mittal, M., Sharma, V., Nehra, K., Chakravarti, S., Kundu, K., Bansal, V.K., Churamani, C.P.,
Kumar, A. 2018. Abortions in an organized dairy farm from North India reveal the
possibility of breed susceptibility to Bovine Brucellosis. One Health, 5: 1-5.
Moreno, E., & Barquero-Calvo, E. 2020. The Role of Neutrophils in Brucellosis. Microbiology
and Molecular Biology Reviews, 84(4).
Moriyon, I., Grillo, M.J., Monreal, D., Gonzalez, D., Marin, C., Lopez-Goni, I., Mainar-Jaime,
R.C., Moreno, E. and Blasco, J.M. 2004. Rough vaccines in animal brucellosis:
Structural and genetic basis and present status. Vet. Res., 35: 1–38.
[OIE] Office International des Epizooties. 2004. Manual standards for diagnostic test and
vaccines for terrestrial animals: Bovine Brucellosis.
http://www.oie.int/eng/normes/mmanual/a_summry.htm. [Diakses tanggal 30 Maret 2021]
[OIE] Office International des Epizooties. 2018. Manual of Diagnostic Test and Vaccines for
Terrestrial Animals: Brucellosis, pp: 355-398.
Onsa, R.A.H., Hamid, F.M., Elshafie, E.I., Muna, E.A., Mohammed, G.E. 2018. Production of
Modified Rapid Serum Agglutination Antigen for Sero-diagnosis of Contagious Bovine
Pleuropneumonia (CBPP). J. Adv. Microbiol., 13(3), 1-7.
Panchasara, H. 2018. Economic implications of brucellosis in bovine. Indian J F Vet. 8(1):19–
21.
Radostits, O.M., Gay, C.C., Blood, C.D., Hinchecliff, K.W. 2000. Veterinary Medicine: a text
book of the disease of cattle, sheep, pigs and horses, 9th ed. New York: W. B. Saunders
Company Ltd., Pp.867-882.
Rahman, A.K., Saegerman, C., Berkvens, D., Fretin, D., Gani, M.O., Ershaduzzaman, M.,
Ahmed, M.U. Emmanuel, A. 2013. Bayesian estimation of true prevalence, sensitivity and
specificity of indirect ELISA, Rose Bengal Test and Slow Agglutination Test for the
diagnosis of brucellosis in sheep and goats in Bangladesh. Preventive Veterinary Medicine,
110: 242-252
Renukaradhya, G. J., Isloor, S. Rajasekhar, M. 2002. Epidemiology, zoonotic aspects,
vaccination and control/eradication of brucellosis in India. Veterinary Microbiology, 90:
183–195.
Samkhan. 2014. Analisis ekonomi Brucellosis dalam menyongsong penanggulangan,
pemberantasan, dan pembebasan Brucellosis di Indonesia Tahun 2025. Buletin
Laboratorium Veteriner. 14(1)1-5.
Schelling, E., Diguimbaye, C., Daoud, S., Nicolet, J., Boerlin, P., Tanner, M., Zinsstag, J. 2003
Brucellosis and Q-fever seroprevalences of nomadic pastoralists and their livestock in
Chad. Journal of Preventive Veterinary Medicine, 61: 279 – 293.
Seleem, M.N., Boyle, S. M., Sriranganathan, N. 2008. Brucella: a pathogen without classic
virulence genes. Vet. Microbiol., 129: 1–14.
Sen, G.P. dan Sharma, G.L. 1975. Speciation of seventy-eight Indian strains of Brucella: An
Epidemiological Study. Indian Journal of Animal Science, 45: 537-542
Singh, B.B., Dhand, N., Gill, J.P.S. 2015. Economic losses occurring due to brucellosis in Indian
livestock populations. Preventive Veterinary Medicine, 119(34): 211-215.
Smits, H. L. dan Kadri, S. M. 2005. Brucellosis in India: a deceptive infectious disease. Indian
Journal of Medical Research, 122: 375-384.
Sudarisma. 2003. Penyakit Infectious Bovine Rhinotracheitis (IBR) pada Sapi di Lembaga-
Lembaga Pembibitan Ternak di Indonesia. Wartazoa, 13(3): 108-118.
Sudibyo, A. 1995. Studi epidemiologi Brucellosis dan dampaknya terhadap reproduksi sapi
perah di DKI Jakarta. JITV. 1:31-36
Sulaiman I. 2006. Bovine Brucellosis (Bakteriologi, Isolasi dan Identifikasi). Dalam: Pedoman
Diagnosa Laboratorium Brucellosis Sapi. Wates, Yogyakarta: BBVet Wates. p. 1-11.
Upadhyay, S.R., Singh, R., Chandra, D., Singh, K.P., Rathore, B.S. 2007. Seroprevalence of
Bovine Brucellosis in Uttar Pradesh. Journal of Immunology and Immunopathology, 9:58-
60
Walker, L.R. 1999. Brucella. In: Veterinary Microbiology. Wight, D., Hirsh, C., Yuan Chung Z.
(ed.). Blackwell Science., Pp.196-202
Wilujeng, E., Suwarno, Praja, R.N., Hamid, I.S., Yunita, M.N., Wibawanti, P.A. 2020.
Serodeteksi Brucellosis dengan Metode Rose Bengal Test dan Complement Fixation Test
pada Sapi Perah di Banyuwangi. Jurnal Medik Veteriner, 3(2): 188-195.
Xavier, M.N., Paixao, T.A., Poester, F.P., Lage, A.P., Santos, R.L. 2009. Pathological,
immunohistochemical and bacteriological study of tissues and milk of cows and foetuses
experimentally infected with Brucella abortus, J. Comp. Pathol. 140: 149–157.
Yanagi, M., Yamasato, K. 1993. Phylogenetic analysis of the family Rhizobiaceae and related
bacteria by sequencing of 16S rRNA gene using PCR and DNA sequence. FEMS
Microbiol. Lett., 107: 115–120.

Anda mungkin juga menyukai