Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN KOASISTENSI

DIAGNOSTIK LABORATORIK VETERINER

RABIES PADA ANJING

Oleh :
Putu Angga Prasetyawan
NIM. 2009611003
Gelombang 17. Kelompok i

LABORATORIUM DIAGNOSTIK LABORATORIK


FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2020
1. Sinyalemen
Hewan : Anjing
Jenis Kelamin : Jantan
Umur : 5 Tahun
Alamat : Rumah sakit hewan sipil Faisalabad, Pakistan
(Ahmad et al., 2018).
2. Klinis
Seekor anjing jantan berusia 5 tahun dibawa ke rumah sakit hewan Faisalabad,
Pakistan. Anjing dengan keadaan lesu, kurus kering, dan suhu rektal 39,1° C. Pemilik
mengeluh bahwa asupan makanan dan air hewan tidak teratur sejak 5 hari terakhir, dan
menunjukan perubahan perilaku yang aneh. Kecuriggan utamanya adalah trauma pada
kepala karena mendapat serangan agresif dari anjing jalanan, dua minggu sebelum
dimulainya perubahan perilaku.
Menggunakan pemahamannya sendiri, pemilik mengikatkan balutan krim antiseptik
pada luka. Pemilik membawa hewan peliharaannya ke unit layanan veteriner terdekat
untuk pengobatan suportif dan vaksin profilaksis. Setelah dilakukan pengamatan lebih
dekat, kulit perut memiliki luka robek dan gigitan di sisi dalam lengan depan. Permukaan
punggung kepala tidak ada goresan, robekan, atau bercak darah yang jelas. Pemilik dididik
tentang tindakan pencegahan umum dan disarankan untuk menjaga anjingnya di tempat
terpisah.
Setelah 5 hari berikutnya, pemilik khawatir akan kegilaan anjing dengan perilaku
ketakutan, melolong, gelisah, air liur lengket dan gerakan agresif pada anjingnya. Setelah
itu, tanda dan gejala klinis secara progresif mengembangkan bentuk paralitik rabies, yang
menyebabkan gerakan tersentak-sentak dari kaki yang lumpuh saat berbaring miring.
Anjing kemudian dieutanasi dengan persetujuan pemiliknya, selanjutnya kepalanya
dipisahkan dan otak diangkat dan direndam dalam neutral buffer formalin 10% untuk
fiksasi. Kemudian dilakukan Tes Immunohistokimia (IHC) langsung digunakan untuk
mengkonfirmasi rabies dengan mendeteksi antigen rabies pada sampel otak (Ahmad et al.,
2018).
3. Data Epidemiologi
Rabies adalah penyakit endemik dan tidak dapat dilaporkan di Pakistan dan rata-rata
ribuan jumlah gigitan anjing dan hewan dilaporkan setiap tahun di semua kota Pakistan.
Angka numerik ini berpotensi menyebabkan sekitar 2.500-5.000 kematian di Pakistan
seperti yang dilaporkan oleh Asian Global Alliance for Rabies Control (Zaidi et al., 2013).
Terlepas dari upaya global yang luas dan implementasi skema pengendalian ekstensif dan
program kesadaran kesehatan masyarakat, masih lebih dari 95% kematian terjadi di Asia
dan Afrika, di mana rabies anjing bersifat enzootic (WHO 2013).
Rabies adalah infeksi virus akut yang menyerang sistem saraf pusat manusia dan
mamalia dengan mortalitas 100%. Mortalitas rabies dapat dikurangi bila penyakit ini cepat
diketahui dan disertai penatalaksanaan yang cepat dan tepat (Tanzil, 2014). Vaksinasi
rabies mengurangi risiko kematian pada anjing sebesar 56% pada anjing usia 0–3 bulan,
sebesar 44% pada anjing usia 4–11 bulan dan sebesar 16% pada anjing berusia 12 bulan
ke atas (Knobel, et. al. 2017).
4. Data Patologi Anatomi
Pada pemeriksaan patologi anatomi dilakukan pengamatan pada organ otak, jaringan
otak terlihat sedikit mengalami edema dengan kongesti yang parah (Ahmad et al., 2018).
Gambar 1. Otak mengalami congestion dan edematous
(Sumber : Ahmad et al., 2018)
Perubahan pathologi utama dari penyakit rabies adalah perubahan pada system saraf
pusat berupa enchepalomyelitis. Temuan maksroskopis pada otak untuk rabies yang
bersifat akut sangat susah untuk dilihat perubahannya. Otak hanya terlihat sedikit
mengalami kebengkakan pada bagian meningeal, pembuluh darah parenkim tersumbat.
Ada pendarahan atau haemorhage atau jaringan nekrosis bukanlah hal yang biasa
ditemukan dari rabies enchepalitis (Iwasaki dan Tobita, 2002).
Pada umumnya perubahan patologi secara makroskopis pada penyakit rabies sangat
bervariasi dan tidak terdapat perubahan patognomonis yang menciri terhadap rabies.
Perubahan yang makroskopis lainnya yang dapat terlihat ialah adanya perdarahan pada
selaput lendir didaerah mulut disebabkan oleh gejala pika atau anjing memakan segala
sesuatu yang tidak wajar dan mengigit benda-benda keras yang meyebabkan trauma
disekitar mulut. Hal ini sering diikuti oleh perubahan makroskopis berupa temuan
barang-barang asing di perut seperti kawat, kayu dan sebagainya (Akoso, 2007).
5. Diagnosa Sementara dan Diagnosa Banding
Diagnosa sementara yang di dapat dari kasus ini adalah anjing tersebut terinfeksi virus
rabies, dikarenakan gejala yang ditimbulkan dan trauma yang didapat akibat serangan
anjing liar. Diagnosis banding dari kasus ini yaitu penyakit tetanus yang disebabkan oleh
bakteri clostridium tetani, dan penyakit babesiosis yang disebabkan oleh parasit babesia
canis.
Tetanus memiliki gejala umum berupa kekakuan pada otot (Linnenbrink dan
McMichael, 2006). Tanda awal ialah sedikit kekakuan, gelisah dan terjadi kekejangan
yang berlebihan bila ada sedikit rangsangan dari luar (suara, sentuhan, cahaya dan lain-
lain). Bila toksin sudah menyerang otak maka akan terjadi kekejangan umum, konvulsi
yang berkesinambungan terjadi disebabkan oleh aspeksia. Penting untuk mencari luka
yang dicurigai sebagai tempat terinfeksi bakteri clostridium tetani, karena debridemen luka
dapat meminimalkan pengeluaran toksin lebih lanjut, tetapi luka yang memicu tidak selalu
ditemukan (Fawcett dan Irwin, 2014).
Menurut (Cardoso et al., 2008) gejala dan tanda klinis babesiosis adalah kelemahan,
otot tremor, kekakuan otot, malnutrisi, pucat, demam. Gejala infeksi kronis yang nampak
adalah demam, kehilangan nafsu makan dan anoreksia.
Tabel 1. Persamaan dan perbedaan rabies, tetanus dan babesiosis

Rabies Tetanus Babesiosis

Agen virus Agen bakteri Agen parasit

Penularan melalui luka Penularan melalui luka Penularan melalui caplak


Metode pemeriksaan dengan Metode pemeriksaan dengan Metode pemeriksaan dengan
uji FAT. uji pewarnaan gram. uji ulas darah.
Kekakuan dan kelumpuhan Kekakuan dan kelumpuhan Kekakuan dan tremor otot
otot otot
Kehilangan nafsu makan Kehilangan nafsu makan Kehilangan nafsu makan

Disfagia - -

Menggigit benda atau orang - -

Ataksia - -
Takut dan gelisah saat di Takut dan gelisah saat di -
dekati manusia dekati manusia
Spasme laring dan faring Spasme, laring dan faring -
Trismus pada abses -
-
retrofaring
(Sumber : Ukwueze et al., 2015; Wilson dan Steiner, 2005; Adamantos dan Boag, 2007;
Bandt et al., 2007; Burkitt et al., 2007; Rodrigo et al., 2012)
6. Diagnosa Definitif
Berdasarkan hasil anamnesa, data epidemiologi maka pemeriksaan yang dilakukan
adalah pemeriksaan postmortem jaringan otak, menggunakan histopatologi dan
imunohistokimia yang relatif mudah, cepat dan dapat diandalkan untuk distribusi dan
konfirmasi lesi patognomonik dan antigen rabies (Faizee et al., 2011).
Pewarnaan Sellers' untuk melihat badan Negri menjadi uji standar untuk mendiagnosa
rabies pada kebanyakan laboratorium. Hal ini disebabkan karena metode ini tergolong
sederhana dan ekonomis (Rudd et al., 2005). Namun, pewarnaan Sellers' ini juga memiliki
sensitivitas yang relatif rendah. Oleh karena itu, pewarnaan Seller's biasanya dikonfirmasi
dengan uji biologis Mouse Inoculation Test (MIT) yang merupakan uji diagnosa rabies
dengan sensitivitas yang lebih tinggi dari uji pewarnaan Sellers’ (Akoso, 2007).
Menurut (Suardana, 2016) uji antibody FAT (Fluorescent Antibodi Test) juga bisa
digunakan untuk mendiagnosis penyakit rabies. Uji ini cukup akurat karena memiliki
sensitifitas dan spesifitas yang tinggi mendekati 100%. Bahkan dengan kelebihan yang
dimiliki teknik FAT seperti tingkat sensitifitas yang tinggi dan waktu pengujian yang
relatif cepat, Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (OIE) menjadikan FAT sebagai gold
standart untuk diagnosa penyakit rabies (Shankar, 2009).
7. Diskusi Kasus
7.1 Alasan Pengambilan Sampel
Berdasarkan temuan kasus dan hasil pemeriksaan klinis, diduga kuat anjing
terinfeksi virus melalui gigitan anjing liar sehingga terdapat luka pada kulit perut dan
gigitan di sisi dalam lengan depan. Penyebaran virus terjadi karena saliva yang
mengandung virus rabies dapat masuk ke dalam tubuh hewan pada saat mendapatkan
gigitan hewan terinfeksi. Sehingga dilakukan eutanasi dan pengambilan organ otak
untuk dilakukan pemeriksaan laboratorium.
7.2 Kajian Epidemiologi
Penyebaran penyakit rabies hampir terdapat di seluruh dunia, bukan saja di daerah
tropis melainkan juga di daerah subtropis dan negara beriklim dingin. Selain itu, di
negara-negara berkembang di Asia, Afrika, Amerika serta beberapa negara di Eropa
masih banyak ditemukan penyakit rabies.
Bukti empirik dan keyakinan teoritis memperkuat bahwa rabies seperti umumnya
penyakit lain memiliki lebih dari satu faktor risiko sebagai penyebab. Beberapa
peneliti telah mengkaji faktor-faktor risiko yang diyakini berpengaruh terhadap
kejadian rabies yakni status vaksinasi anjing (Hampson et al., 2007), sistem
pemeliharaan anjing (Kamil et al., 2004), pengetahuan pemilik anjing (Wattimena dan
Suharyo, 2010), mobilitas anjing (Zhang et al., 2006), kepadatan populasi anjing,
sosial budaya masyarakat (Mattos et al., 1999) dan sosial ekonomi masyarakat
(Widdowson et al., 2002).
7.3 Etiologi dan Patogenesa Penyakit
Rabies adalah penyakit zoonotic yang disebabkan oleh virus kelompok negatif
sense single-stranded RNA, golongan Mononegavirales, Family Rhabdoviridae, dan
genus Lyssavirus. Biasanya, virus neurotropik berbentuk peluru yang menghasilkan
tanda dan gejala neurologis dan perilaku yang tidak biasa, mengakibatkan ensefalitis
dan seringkali mematikan pada hewan dan manusia (Jackson, 2011).
Sebagian besar penularan virus rabies terjadi melalui gigitan anjing yang telah
terinfeksi rabies. Virus masuk ke dalam tubuh melalui luka bekas gigitan hewan
terinfeksi rabies dan luka terbuka yang terpapar saliva dari hewan pembawa rabies
yang telah terinfeksi. Penularan rabies juga dapat terjadi melalui jilatan hewan,
transplantasi kornea, ataupun dari donor terinfeksi rabies. Anjing adalah sumber
penularan yang paling umum, terhitung 96% dari kasus rabies pada manusia
disebabkan oleh anjing (Gongal dan Wright, 2011).

Gambar 2. Patogenesis rabies


(Sumber : Sambo, 2012)
Replikasi virus rabies diawali pada sel otot lurik di daerah tempat masuknya virus.
Sistem saraf perifer akan terinfeksi virus pada berkas neurotendinal atau pada
neuromuskular. Virus rabies menuju susunan saraf pusat, menyebar secara centrifugal
melalui aksoplasma saraf perifer atau lewat cairan intraaxonal melalui saraf perifer,
sensorik, dan neuron (Prabowo, 2009). Di dalam sistem saraf pusat, virus rabies
kemudian menyebar dan memperbanyak diri dalam neuron. Virus berpredileksi di sel-
sel sistem limbik, hipotalamus, dan sel batang otak. Setelah memperbanyak diri dalam
neuron, virus kemudian bergerak ke arah perifer dalam serabut saraf eferen maupun
saraf otonom. Dengan demikian virus menyerang hampir setiap organ tubuh penderita
dan berkembang biak pada jaringan seperti kelenjar ludah (Andriani et al., 2016).
7.4 Kontrol Penyakit
Menurut (Suardana, 2016) kontrol penyakit rabies dapat dilakukan dengan cara
yaitu seperti vaksinasi pada hewan, kontrol terhadap rabies pada hewan liar,
pengawasan terhadap transport hewan sesuai petunjuk internasional.
LABORATORIUM PATOLOGI VETERINER
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS UDAYANA
JL. PB Sudirman, Denpasar 80232, Tlp/Fax (0361) 701808;223791

Pemeriksa : Putu Angga Prasetyawan Hewan/ Ras : Anjing


NIM : 2009611003 Umur : 5 Tahun
Diagnosa : Rabies TTD Dosen Piket :

PEMERIKSAAN LABORATORIUM PATOLOGI VETERINER

Eutanasia

Nekropsi

Sampel (Otak) Pemeriksaan Virologi

Pemeriksaan Perubahan Pemeriksaan Perubahan Histopatologi


Patologi Anatomi
Pembuatan Preparat Histopatologi

Organ dipotong kecil


Jernikan dengan dan didehidrasi dalam Fiksasi organ selama 24 jam
xylol selama 6 jam alkohol dengan NBF 10%

Blok parafin dipotong dengan Warnai dengan teknik


Emmbedding dengan
mikrotom, masukkan ke air pewarnaan Hematoxylin-
parafin selama 6 jam
hangat dan pidahkan ke slide kaca Eosin

Keringkan diatas kertas filter, Cuci dengan air mengalir dan


sediaan ditetesi dengan entelan dan celupkan ke aquades dan alkohol
ditutup dengan cover glass
LABORATORIUM PATOLOGI VETERINER
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS UDAYANA
JL. PB Sudirman, Denpasar 80232, Tlp/Fax (0361) 701808;223791

Hasil Pemeriksaan Patologi Anatomi dan Histopatologi


Laboratorium Patologi Veteriner

Lesi pada rabies terlihat pembuluh darah di


sulkus hemisfer serebral yang bengkak.

(Singh et. al., 2017)

Gambaran patologi anatomi menunjukan


otak anjing mengalami pembengkakan
pada lapisan meningen

Bagian cerebrum (otak besar) yang


memperlihatkan perivaskular cuff berwarna
merah muda yang dikelilingi oleh lapisan
limfosit (pewarnaan Hematoxylin dan
Eosin, 200X)

(Ahmad et al., 2018)

Lesi pada cerebellum terlihat negry bodies


dalam sel purkinje sitoplasma (panah). Bar
= 50 µm.

(Rahmadani et al., 2016)


LABORATORIUM PATOLOGI VETERINER
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS UDAYANA
JL. PB Sudirman, Denpasar 80232, Tlp/Fax (0361) 701808;223791

Tanda panah menunjukkan kromatolisis


sentral dan marginasi inti. Panah blok
menunjukkan perivascular cuff X20.

(Johnson et al., 2011)

Imonuhistokimia positif antigen rabies


(Mouse monoclonal antibody IgN, X-400).

(Ahmad et al., 2018)

Badan negri berwarna coklat pada area


definitif intrasitoplasmik sel neuron.
(Pewarnaan IHC dengan label streptavidin
biotin dan DAB x 400).

(Wirata, et. al. 2014)

Pemeriksaan imunohistokimia antigen virus


terdeteksi di sitoplasma sel piramidal
hipokampus

(Rahmadani et al., 2016)

Pemeriksaan imunohistokimia antigen virus


terdeteksi di sitoplasma (panah) sel purkinje
cerebellum.

(Rahmadani et al., 2016)


LABORATORIUM PATOLOGI VETERINER
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS UDAYANA
JL. PB Sudirman, Denpasar 80232, Tlp/Fax (0361) 701808;223791

Denpasar, 4 Oktober 2020

Mengetahui,

Dosen Pembimbing Mahasiswa

Prof. drh. A. A. Ayu Mirah Adi, M.Si, Ph.D. Putu Angga Prasetyawan
NIP. 19630826 198803 2 001 NIM. 2009611003
LABORATORIUM VIROLOGI VETERINER
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS UDAYANA
JL. PB Sudirman, Denpasar 80232, Tlp/Fax (0361) 701808;223791

Pemeriksa : Putu Angga Prasetyawan Hewan/Ras : Anjing


NIM : 2009611003 Umur : 5 Tahun
Diagnosa : Rabies TTD Dosen Piket :

PEMERIKSAAN LABORATORIUM VIROLOGI

Letakkan sampel pada cawan petri → potong


Uji Fluorescent Antibody Buat lingkaran bagian otak (hipokampus, medulla, pons) dan
Technique (FAT) pada gelas obyek letakkan pada paper towel.

Susun preparat dalam cawan petri Preparat difiksasi dalam asetone Tempelkan sampel pada
yang telah dialasi kertas saring absolut pada suhu -20oC selama gelas obyek, Pindahkan
basah (untuk menjaga kelembaban) 30 menit dan dikering-anginkan pada kertas towel dan tekan

Tetesi preparat (±0,1 ml) dengan konjugate rabies yang sudah dilarutkan
dengan pelarut konjugat pada lingkaran yang sudah tersedia.

Untuk memperoleh hasil yang lebih kontras dan lebih baik Fluorescentnya serta
mendeteksi sample yang positif lemah / low positif, dianjurkan konjuget Biorad dicampur
dengan Evans Blue 1 % dengan pernbandingan :

Evans Blue 1 % Ambil 1 gram Evans blue dicampur Simpan dilemari es /


99 ml Aquadest / Aquabidest steril refrigerator suhu 4 – 8 ° C
(Stock 1 % Evans Blue )
Beri 1 tetes buffer
gliserin 50% Inkubasikan dalam
sebagai mounting Cuci dan rendam dengan PBS pH 7,4 inkubator selama 30
media, lalu diberi selama 5 menit sebanyak 3 (dua) kali menit pada suhu 37OC.
gelas penutup lalu dikering- anginkan

Periksa di bawah mikroskop FAT dengan pembesaran 40x

Sel-sel neuron yang terinfeksi virus rabies akan ditandai dengan adanya warna hijau
(apple green) yang berpendar (OIE, 2008).
LABORATORIUM VIROLOGI VETERINER
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS UDAYANA
JL. PB Sudirman, Denpasar 80232, Tlp/Fax (0361) 701808;223791

Hasil Pemeriksaan Laboratorium Virologi Veteriner

Sinyal apple green fluorescent signals dari antigen virus


rabies dari air liur anjing. dFAT x200.

(Singh et al., 2017)

Uji FAT Positif Rabies Sampel Otak (hipokampus)


dengan evans blue.

Uji FAT Positif Rabies Sampel Otak (hipokampus)


tanpa evans blue.

Denpasar, 04 Oktober 2020


Mengetahui,

Dosen Pembimbing Mahasiswa

Prof. Drh. I Nyoman Mantik Astawa, Ph.D Putu Angga Prasetyawan


NIP. 196012311988031003 NIM. 2009611003
LABORATORIUM BAKTERIOLOGI DAN MIKOLOGI VETERINER
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS UDAYANA
JL. PB Sudirman, Denpasar 80232, Tlp/Fax (0361) 701808;223791

Pemeriksa : Putu Angga Prasetyawan Hewan/Ras : Anjing


NIM : 2009611003 Umur : 5 Tahun
Diagnosa : TTD Dosen Piket :

PEMERIKSAAN LABORATORIUM BAKTERIOLOGI DAN MIKOLOGI

- Ukuran - Bentuk
Media Umum - Elevasi - Warna
(Blood Agar) - Tepian/ Margin - Hemolisis

- Ukuran - Bentuk
Media Selektif - Elevasi - Warna
- Tepian/ Margin

Uji - Gram Gram positif : ungu Clostridium Tetani


Pewarnaan - Bentuk Gram positif,
Gram - Susunan Gram negatif : merah Bentuk batang dan
bersifat motil.
Uji Oksidase
Uji Primer
Uji Katalase

Sampel Organ TSIA (Triple Sugar Iron Agar)

SCA (Simon Citrat Agar)

SIM (Sulfide Indol Mortility)


Uji Biokimia
MR (Methyl Red)

Uji Glukosa

Uji Laktosa

Uji Imunologi Microscopic agglutination test (MAT),


ELISA, indirect hemaglutination test

Uji Biologi Molekuler PCR

*Keterangan : diagram yang berwarna adalah uji-uji yang dilakukan penyakit tetanus yang
merupakan diagnosa banding dari penyakit rabies
LABORATORIUM BAKTERIOLOGI DAN MIKOLOGI VETERINER
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS UDAYANA
JL. PB Sudirman, Denpasar 80232, Tlp/Fax (0361) 701808;223791

Hasil Pemeriksaan Laboratorium Bakteriologi dan Mikologi Veteriner

Spora dan bakteri Clostridium tetani dengan


bentuk stik drum khas, diisolasi dari kerak
luka (pewarnaan gram-1000x).

(Valgaeren et al., 2011)

Spora dan bakteri Clostridium tetani dengan


bentuk stik drum khas yang diisolasi dari
ear tags (Malachite Green - 1000x).

(Valgaeren et al., 2011)

Denpasar, 04 Oktober 2020

Mengetahui,

Dosen Pembimbing Mahasiswa

Dr. Drh. Hapsari Mahatmi, MP Putu Angga Prasetyawan


NIP. 19600605 198702 2 001 NIM. 2009611003
LABORATORIUM PARASITOLOGI VETERINER
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS UDAYANA
JL. PB Sudirman, Denpasar 80232, Tlp/Fax (0361) 701808;223791

Pemeriksa : Putu Angga Prasetyawan Hewan/Ras : Anjing


NIM : 2009611003 Umur : 5 Tahun
Diagnosa : TTD Dosen Piket :

PEMERIKSAAN LABORATORIUM PARASITOLOGI


Metode pemeriksaan parasit babesia canis menggunakan metode pemeriksaan ulas
darah.

Pemeriksaan Ulas Darah Siapkan 2 gelas objek Sampel darah diteteskan di


ujung salah satu gelas objek

Gelas penghapus ditarik agar Gelas penghapus diletakkan dekat


Preparat ulas darah
segera dikeringkan darah tersebar ke seluruh dengan tetesan darah membentuk
permukaan gelas objek sudut 30-45o dengan gelas objek.

Fiksasi dengan merendam preparat yang Preparat kemudian diangkat dan


kering dengan methanol selama lima menit. dikeringkan di udara

Diamkan selama Letakan di atas rak bak pencuci, ditetesi dengan pewarna Giemsa yang
15-30 menit telah diencerkan dengan buffer Giemsa dengan perbandingan 1:4

Preparat ulas darah dicuci dengan air mengalir Periksa dibawah mikroskop cahaya
dari kran, lalu dikeringkan di udara.
LABORATORIUM PARASITOLOGI VETERINER
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS UDAYANA
JL. PB Sudirman, Denpasar 80232, Tlp/Fax (0361) 701808;223791

Hasil Pemeriksaan Laboratorium Parasitologi Veteriner

Babesia sp. terdeteksi pada pemeriksaan


ulas darah menggunakan mikroskop
cahaya. Panah menunjukkan parasit di sel
darah merah.

(Petra et al., 2018)

Pemeriksaan ulas darah peripheral blood


smear dari anjing yang terinfeksi
menunjukkan babesia canis di dalam sel
darah merah (x 1.000).

(Reddy et al., 2016)

Denpasar, 04 Oktober 2020

Mengetahui,

Mahasiswa

Putu Angga Prasetyawan


NIM. 2009611003
DAFTAR PUSTAKA

Adamantos S. dan Boag A. 2007. Thirteen cases of tetanus in dogs. Veterinary Record.
Volume 161. Page 298-302.

Ahmad W., Duan M., Guan Z., Ali M. A., Liu Z., Dan Zhang M. 2018. Case Study Of A
Rabid Dog: Vaccine Failure And Owner’s Ignorance. The J. Anim. Plant Sci.
Volume 28(2)

Akoso, BT. 2007. Pencegahan dan Pengendalian Rabies Penyakit Menular pada Hewan dan
Manusia. Yogyakarta : Kanisius

Andriani F., Batan I.W. dan Kardena I.M., 2016. Penyebaran Rabies dan Analisis Korelasi
Kejadiannya pada Anjing dengan Manusia di Kabupaten Bangli Tahun 2009 –
2014. Indonesia Medicus Veterinus. Volume 5(1). Page 79 - 88

Bandt C., Rozanski E. A., Steinberg T. dan Shaw S. P. 2007. Retrospective study of tetanus
in 20 dogs: 1988-2004. Journal of the American Animal Hospital Association.
Volume 43. Page 143-148.

Burkitt J. M., Sturges B. K., Jandrey K. E. Dan Kass, P. H. 2007. Risk factors associated with
outcome in dogs with tetanus: 38 cases (1987-2005). Journal of the American
Veterinary Medical Association. Volume 230. Page 76-83.

Faizee N., Hailat N.Q., Ababneh M.M.K., Hananehand W. M. dan Muhaidat A. 2011.
Pathological, Immunological and Molecular Diagnosis of Rabies in Clinically
Suspected Animals of Different Species Using Four Detection Techniques in
Jordan. Transb. Emerg. Volume 1865. Page 1-11.

Fawcett A. dan Irwin P., 2014. Diagnosis and treatment of generalised tetanus in dogs.
Journal Companion Animals. Volume 36. Page 482-493

Gongal G. dan Wright A. E. 2011. Human Rabies in the WHO Southeast Asia Region:
Forward Steps for Elimination. Adv Prev Med. Page 383-870.

Hampson K., Dushoff J., Bingham J., Bruckner G., Ali Y. H. dan Dobson A. 2007.
Synchronous cycles of domestic dog rabies in sub-Saharan Africa and the
impact of control efforts. PNAS. Volume 104(18). Page 7717-7722.

Iwasaki Y. dan Tobita M. 2002. Pathology In: Jackson, A.C., H.Wunner, W. (Eds.), RABIES.
Elsevier Science (USA). London , UK. Page 283-303.

Jackson A.C. 2011. Research and Reports in Tropical Medicine. Res. Rep. Trop. Med.
Volume 2. Page 31-43.

Johnson N., Nunez A., Marston D. A., Harkess G., Voller K., Goddard T., Hicks D.,
McElhinney L. M. dan Fooks A. R. 2011. Investigation of an Imported Case of
Rabies in a Juvenile Dog with Atypical Presentation. Animals. Volume 1. Page
402-413.

Kamil M., Sumiarto B., Budhiarta S. 2004.Kajian kasus kontrol rabies pada anjing di
Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Agrosains. Volume 17(3). Page 313-320.
Knobel D. L, Arega S., Reininghaus B., Simpson G. J. G., Gessner B. D., Stryhn H., and
Conan A. 2017. Rabies vaccine is associated with decreased all-cause mortality
in dogs. Vaccine. Volume 35. Page 3844–3849

Linnenbrink T. dan Mcmichael M. (2006) Tetanus: pathophysiology, clinical signs,


diagnosis, and update on new treatment modalities. Journal of Veterinary
Emergency and Critical Care. Volume 16. Page 199-207

Mattos C. C. D., Mattos C. A. D., Loza-Rubio E., Aguilar-Setien A., Orciari L. A. dan Smith
J. S. 1999. Molecular Characterization of Rabies Virus Isolates from Mexico:
Implications for Transmission Dynamics and Human Risk. Am J Trop Med Hyg.
Volume 61(4). Page 587-597.

Petra B., Josipa K., Renata B. R. dan Vladimir M. 2018. CANINE BABESIOSIS: WHERE
DO WE STAND?. Acta Veterinaria-Beograd. Volume 68 (2). Page 127-160.

Prabowo B. 2009. Penanggulangan Rabies di Samarinda (tesis). Program Pasca Sarjana :


Universitas Mulawarman, Samarinda.

Rahmadani I., Handharyani E. dan Harlina E. 2016. Natural Case Of Rabies In Stray Dogs:
Pathomorphology And Antigen Distribution Studies Of Brain And Salivary
Glands. Buletin Informasi Kesehatan Hewan. Volume 18. No. 92

Reddy B. S., Sivajothi S. Reddy L. S. S. V. dan Raju K. G. S. 2016. Clinical and Laboratory
Findings of Babesia Infection in Dogs. J Parasit Dis. Volume 40(2). Page 268–
272.

Rodrigo C., Samarakoon L., Fernando S. D. dan Rajapakse S. 2012 A Meta-Analysis Of


Magnesium For Tetanus. Anaesthesia. Volume 67. Page 1370-1374.

Rudd R. J, Trimarchi C. V. dan Abelseth M. K. 2005. Tissue culture techniques for routine
isolation of street rabies virus. J.Clin.Microbiol. Volume 12. Page 590-593.

Sambo, M. B. 2012. Epidemiological Dynamics of Rabies in Tanzania and its Impacts on


Local Communities. Msc(R) Thesis. Fulfilment Of The Requirements For The
Degree Of: Msc Ecology And Environmental Biology.

Shankar B. P. 2002. Advances in diagnosis of rabies. Veterinary World. Volume 2(2): Page
74-78.

Singh R., Singh K. P., Cheriana P., Saminathan M., Kapoor S., Reddy G. B. M., Panda S. dan
Dham K. 2017. Rabies – Epidemiology, Pathogenesis, Public Health Concerns
And Advances In Diagnosis And Control: A Comprehensive Review.
Veterinary Quarterly. Volume 37(1). Page 212–251.

Suardana I. W. 2016. Buku Ajar Zoonosis : Penyakit Menular dari Hewan ke Manusia. PT
Kanisius. Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.

Ukwueze C. S., Orajaka C. F., Okorie-Kanu C. O., Mshelbwala P. P. dan Kalu, N. 2015.
Rabies in 5 Months Old German Shepherd. International Journal of Medical
and Pharmaceutical. Volume 4(1). Page 21-24.
Valgaeren B., Schutter P. D., Pardon B., Eeckhaut V., Boyen F., Immerseel F. V. Dan Deprez
P. 2011. Thermic dehorning and ear tagging as atypical portals of entry of
Clostridium tetani in ruminants. Vlaams Diergeneeskundig Tijdschrift. Volume
80. Page 351-354.

Wattimena J. C. dan Suharyo. 2010. Beberapa faktor risiko kejadian rabies pada anjing di
Ambon. KEMAS. Volume 6(1). Page 34-42.

WHO. 2013. Expert consultation on rabies. Second report. WHO Tech. Rep. Ser., Volume
982. page 1–139.

Widdowson M. A., Morales G. J., Chaves S. dan McGrane J. 2002. Epidemiology of urban
canine rabies, Santa Cruz, Bolivia. 1992-1997. Emerg Infect Dis. Volme 8. Page
458-461.

Wilson G. J. dan Steiner S. S. 2005. Tetanus in an adult dog originating from a tooth root
abscess. Australian Veterinary Practitioner. Volume 35. Page 62-63.

Wirata I. K, Berata I. K. dan Puja I. K. 2014. Sensitifitas dan Spesifisitas Teknik


Imunohistokimia Rabies. Jurnal Ilmu dan Kesehatan Hewan. Volume 2 (1).
Page 49-59.

Zaidi S. M. A., Labrique A. B., Khowaja S., Lotia- Farrukh I. dan Irani J. 2013. Geographic
Variation in Access to Dog-Bite Care in Pakistan and Risk of Dog-Bite
Exposure in Karachi: Prospective Surveillance Using a Low- Cost Mobile
Phone System. PLos. Negl . Trop. Dis. Volume 7 (12). Page 1-13.

Zhang Y. Z., Xiong C. L., Zou Y., Wang D. M., Jiang R. J., Xiao Q. Y., Hao Z. Y., Zhang L.
Z., YuYX, dan HuZF. 2006. Molecular characterization rabies virus isolates in
China during 2004. Virus Res. Volume 121. Page 179-188.

Anda mungkin juga menyukai