Oleh :
Putu Angga Prasetyawan
NIM. 2009611003
Gelombang 17. Kelompok i
Disfagia - -
Ataksia - -
Takut dan gelisah saat di Takut dan gelisah saat di -
dekati manusia dekati manusia
Spasme laring dan faring Spasme, laring dan faring -
Trismus pada abses -
-
retrofaring
(Sumber : Ukwueze et al., 2015; Wilson dan Steiner, 2005; Adamantos dan Boag, 2007;
Bandt et al., 2007; Burkitt et al., 2007; Rodrigo et al., 2012)
6. Diagnosa Definitif
Berdasarkan hasil anamnesa, data epidemiologi maka pemeriksaan yang dilakukan
adalah pemeriksaan postmortem jaringan otak, menggunakan histopatologi dan
imunohistokimia yang relatif mudah, cepat dan dapat diandalkan untuk distribusi dan
konfirmasi lesi patognomonik dan antigen rabies (Faizee et al., 2011).
Pewarnaan Sellers' untuk melihat badan Negri menjadi uji standar untuk mendiagnosa
rabies pada kebanyakan laboratorium. Hal ini disebabkan karena metode ini tergolong
sederhana dan ekonomis (Rudd et al., 2005). Namun, pewarnaan Sellers' ini juga memiliki
sensitivitas yang relatif rendah. Oleh karena itu, pewarnaan Seller's biasanya dikonfirmasi
dengan uji biologis Mouse Inoculation Test (MIT) yang merupakan uji diagnosa rabies
dengan sensitivitas yang lebih tinggi dari uji pewarnaan Sellers’ (Akoso, 2007).
Menurut (Suardana, 2016) uji antibody FAT (Fluorescent Antibodi Test) juga bisa
digunakan untuk mendiagnosis penyakit rabies. Uji ini cukup akurat karena memiliki
sensitifitas dan spesifitas yang tinggi mendekati 100%. Bahkan dengan kelebihan yang
dimiliki teknik FAT seperti tingkat sensitifitas yang tinggi dan waktu pengujian yang
relatif cepat, Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (OIE) menjadikan FAT sebagai gold
standart untuk diagnosa penyakit rabies (Shankar, 2009).
7. Diskusi Kasus
7.1 Alasan Pengambilan Sampel
Berdasarkan temuan kasus dan hasil pemeriksaan klinis, diduga kuat anjing
terinfeksi virus melalui gigitan anjing liar sehingga terdapat luka pada kulit perut dan
gigitan di sisi dalam lengan depan. Penyebaran virus terjadi karena saliva yang
mengandung virus rabies dapat masuk ke dalam tubuh hewan pada saat mendapatkan
gigitan hewan terinfeksi. Sehingga dilakukan eutanasi dan pengambilan organ otak
untuk dilakukan pemeriksaan laboratorium.
7.2 Kajian Epidemiologi
Penyebaran penyakit rabies hampir terdapat di seluruh dunia, bukan saja di daerah
tropis melainkan juga di daerah subtropis dan negara beriklim dingin. Selain itu, di
negara-negara berkembang di Asia, Afrika, Amerika serta beberapa negara di Eropa
masih banyak ditemukan penyakit rabies.
Bukti empirik dan keyakinan teoritis memperkuat bahwa rabies seperti umumnya
penyakit lain memiliki lebih dari satu faktor risiko sebagai penyebab. Beberapa
peneliti telah mengkaji faktor-faktor risiko yang diyakini berpengaruh terhadap
kejadian rabies yakni status vaksinasi anjing (Hampson et al., 2007), sistem
pemeliharaan anjing (Kamil et al., 2004), pengetahuan pemilik anjing (Wattimena dan
Suharyo, 2010), mobilitas anjing (Zhang et al., 2006), kepadatan populasi anjing,
sosial budaya masyarakat (Mattos et al., 1999) dan sosial ekonomi masyarakat
(Widdowson et al., 2002).
7.3 Etiologi dan Patogenesa Penyakit
Rabies adalah penyakit zoonotic yang disebabkan oleh virus kelompok negatif
sense single-stranded RNA, golongan Mononegavirales, Family Rhabdoviridae, dan
genus Lyssavirus. Biasanya, virus neurotropik berbentuk peluru yang menghasilkan
tanda dan gejala neurologis dan perilaku yang tidak biasa, mengakibatkan ensefalitis
dan seringkali mematikan pada hewan dan manusia (Jackson, 2011).
Sebagian besar penularan virus rabies terjadi melalui gigitan anjing yang telah
terinfeksi rabies. Virus masuk ke dalam tubuh melalui luka bekas gigitan hewan
terinfeksi rabies dan luka terbuka yang terpapar saliva dari hewan pembawa rabies
yang telah terinfeksi. Penularan rabies juga dapat terjadi melalui jilatan hewan,
transplantasi kornea, ataupun dari donor terinfeksi rabies. Anjing adalah sumber
penularan yang paling umum, terhitung 96% dari kasus rabies pada manusia
disebabkan oleh anjing (Gongal dan Wright, 2011).
Eutanasia
Nekropsi
Mengetahui,
Prof. drh. A. A. Ayu Mirah Adi, M.Si, Ph.D. Putu Angga Prasetyawan
NIP. 19630826 198803 2 001 NIM. 2009611003
LABORATORIUM VIROLOGI VETERINER
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS UDAYANA
JL. PB Sudirman, Denpasar 80232, Tlp/Fax (0361) 701808;223791
Susun preparat dalam cawan petri Preparat difiksasi dalam asetone Tempelkan sampel pada
yang telah dialasi kertas saring absolut pada suhu -20oC selama gelas obyek, Pindahkan
basah (untuk menjaga kelembaban) 30 menit dan dikering-anginkan pada kertas towel dan tekan
Tetesi preparat (±0,1 ml) dengan konjugate rabies yang sudah dilarutkan
dengan pelarut konjugat pada lingkaran yang sudah tersedia.
Untuk memperoleh hasil yang lebih kontras dan lebih baik Fluorescentnya serta
mendeteksi sample yang positif lemah / low positif, dianjurkan konjuget Biorad dicampur
dengan Evans Blue 1 % dengan pernbandingan :
Sel-sel neuron yang terinfeksi virus rabies akan ditandai dengan adanya warna hijau
(apple green) yang berpendar (OIE, 2008).
LABORATORIUM VIROLOGI VETERINER
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS UDAYANA
JL. PB Sudirman, Denpasar 80232, Tlp/Fax (0361) 701808;223791
- Ukuran - Bentuk
Media Umum - Elevasi - Warna
(Blood Agar) - Tepian/ Margin - Hemolisis
- Ukuran - Bentuk
Media Selektif - Elevasi - Warna
- Tepian/ Margin
Uji Glukosa
Uji Laktosa
*Keterangan : diagram yang berwarna adalah uji-uji yang dilakukan penyakit tetanus yang
merupakan diagnosa banding dari penyakit rabies
LABORATORIUM BAKTERIOLOGI DAN MIKOLOGI VETERINER
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS UDAYANA
JL. PB Sudirman, Denpasar 80232, Tlp/Fax (0361) 701808;223791
Mengetahui,
Diamkan selama Letakan di atas rak bak pencuci, ditetesi dengan pewarna Giemsa yang
15-30 menit telah diencerkan dengan buffer Giemsa dengan perbandingan 1:4
Preparat ulas darah dicuci dengan air mengalir Periksa dibawah mikroskop cahaya
dari kran, lalu dikeringkan di udara.
LABORATORIUM PARASITOLOGI VETERINER
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS UDAYANA
JL. PB Sudirman, Denpasar 80232, Tlp/Fax (0361) 701808;223791
Mengetahui,
Mahasiswa
Adamantos S. dan Boag A. 2007. Thirteen cases of tetanus in dogs. Veterinary Record.
Volume 161. Page 298-302.
Ahmad W., Duan M., Guan Z., Ali M. A., Liu Z., Dan Zhang M. 2018. Case Study Of A
Rabid Dog: Vaccine Failure And Owner’s Ignorance. The J. Anim. Plant Sci.
Volume 28(2)
Akoso, BT. 2007. Pencegahan dan Pengendalian Rabies Penyakit Menular pada Hewan dan
Manusia. Yogyakarta : Kanisius
Andriani F., Batan I.W. dan Kardena I.M., 2016. Penyebaran Rabies dan Analisis Korelasi
Kejadiannya pada Anjing dengan Manusia di Kabupaten Bangli Tahun 2009 –
2014. Indonesia Medicus Veterinus. Volume 5(1). Page 79 - 88
Bandt C., Rozanski E. A., Steinberg T. dan Shaw S. P. 2007. Retrospective study of tetanus
in 20 dogs: 1988-2004. Journal of the American Animal Hospital Association.
Volume 43. Page 143-148.
Burkitt J. M., Sturges B. K., Jandrey K. E. Dan Kass, P. H. 2007. Risk factors associated with
outcome in dogs with tetanus: 38 cases (1987-2005). Journal of the American
Veterinary Medical Association. Volume 230. Page 76-83.
Faizee N., Hailat N.Q., Ababneh M.M.K., Hananehand W. M. dan Muhaidat A. 2011.
Pathological, Immunological and Molecular Diagnosis of Rabies in Clinically
Suspected Animals of Different Species Using Four Detection Techniques in
Jordan. Transb. Emerg. Volume 1865. Page 1-11.
Fawcett A. dan Irwin P., 2014. Diagnosis and treatment of generalised tetanus in dogs.
Journal Companion Animals. Volume 36. Page 482-493
Gongal G. dan Wright A. E. 2011. Human Rabies in the WHO Southeast Asia Region:
Forward Steps for Elimination. Adv Prev Med. Page 383-870.
Hampson K., Dushoff J., Bingham J., Bruckner G., Ali Y. H. dan Dobson A. 2007.
Synchronous cycles of domestic dog rabies in sub-Saharan Africa and the
impact of control efforts. PNAS. Volume 104(18). Page 7717-7722.
Iwasaki Y. dan Tobita M. 2002. Pathology In: Jackson, A.C., H.Wunner, W. (Eds.), RABIES.
Elsevier Science (USA). London , UK. Page 283-303.
Jackson A.C. 2011. Research and Reports in Tropical Medicine. Res. Rep. Trop. Med.
Volume 2. Page 31-43.
Johnson N., Nunez A., Marston D. A., Harkess G., Voller K., Goddard T., Hicks D.,
McElhinney L. M. dan Fooks A. R. 2011. Investigation of an Imported Case of
Rabies in a Juvenile Dog with Atypical Presentation. Animals. Volume 1. Page
402-413.
Kamil M., Sumiarto B., Budhiarta S. 2004.Kajian kasus kontrol rabies pada anjing di
Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Agrosains. Volume 17(3). Page 313-320.
Knobel D. L, Arega S., Reininghaus B., Simpson G. J. G., Gessner B. D., Stryhn H., and
Conan A. 2017. Rabies vaccine is associated with decreased all-cause mortality
in dogs. Vaccine. Volume 35. Page 3844–3849
Mattos C. C. D., Mattos C. A. D., Loza-Rubio E., Aguilar-Setien A., Orciari L. A. dan Smith
J. S. 1999. Molecular Characterization of Rabies Virus Isolates from Mexico:
Implications for Transmission Dynamics and Human Risk. Am J Trop Med Hyg.
Volume 61(4). Page 587-597.
Petra B., Josipa K., Renata B. R. dan Vladimir M. 2018. CANINE BABESIOSIS: WHERE
DO WE STAND?. Acta Veterinaria-Beograd. Volume 68 (2). Page 127-160.
Rahmadani I., Handharyani E. dan Harlina E. 2016. Natural Case Of Rabies In Stray Dogs:
Pathomorphology And Antigen Distribution Studies Of Brain And Salivary
Glands. Buletin Informasi Kesehatan Hewan. Volume 18. No. 92
Reddy B. S., Sivajothi S. Reddy L. S. S. V. dan Raju K. G. S. 2016. Clinical and Laboratory
Findings of Babesia Infection in Dogs. J Parasit Dis. Volume 40(2). Page 268–
272.
Rudd R. J, Trimarchi C. V. dan Abelseth M. K. 2005. Tissue culture techniques for routine
isolation of street rabies virus. J.Clin.Microbiol. Volume 12. Page 590-593.
Shankar B. P. 2002. Advances in diagnosis of rabies. Veterinary World. Volume 2(2): Page
74-78.
Singh R., Singh K. P., Cheriana P., Saminathan M., Kapoor S., Reddy G. B. M., Panda S. dan
Dham K. 2017. Rabies – Epidemiology, Pathogenesis, Public Health Concerns
And Advances In Diagnosis And Control: A Comprehensive Review.
Veterinary Quarterly. Volume 37(1). Page 212–251.
Suardana I. W. 2016. Buku Ajar Zoonosis : Penyakit Menular dari Hewan ke Manusia. PT
Kanisius. Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Ukwueze C. S., Orajaka C. F., Okorie-Kanu C. O., Mshelbwala P. P. dan Kalu, N. 2015.
Rabies in 5 Months Old German Shepherd. International Journal of Medical
and Pharmaceutical. Volume 4(1). Page 21-24.
Valgaeren B., Schutter P. D., Pardon B., Eeckhaut V., Boyen F., Immerseel F. V. Dan Deprez
P. 2011. Thermic dehorning and ear tagging as atypical portals of entry of
Clostridium tetani in ruminants. Vlaams Diergeneeskundig Tijdschrift. Volume
80. Page 351-354.
Wattimena J. C. dan Suharyo. 2010. Beberapa faktor risiko kejadian rabies pada anjing di
Ambon. KEMAS. Volume 6(1). Page 34-42.
WHO. 2013. Expert consultation on rabies. Second report. WHO Tech. Rep. Ser., Volume
982. page 1–139.
Widdowson M. A., Morales G. J., Chaves S. dan McGrane J. 2002. Epidemiology of urban
canine rabies, Santa Cruz, Bolivia. 1992-1997. Emerg Infect Dis. Volme 8. Page
458-461.
Wilson G. J. dan Steiner S. S. 2005. Tetanus in an adult dog originating from a tooth root
abscess. Australian Veterinary Practitioner. Volume 35. Page 62-63.
Zaidi S. M. A., Labrique A. B., Khowaja S., Lotia- Farrukh I. dan Irani J. 2013. Geographic
Variation in Access to Dog-Bite Care in Pakistan and Risk of Dog-Bite
Exposure in Karachi: Prospective Surveillance Using a Low- Cost Mobile
Phone System. PLos. Negl . Trop. Dis. Volume 7 (12). Page 1-13.
Zhang Y. Z., Xiong C. L., Zou Y., Wang D. M., Jiang R. J., Xiao Q. Y., Hao Z. Y., Zhang L.
Z., YuYX, dan HuZF. 2006. Molecular characterization rabies virus isolates in
China during 2004. Virus Res. Volume 121. Page 179-188.