Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH GAWAT DARURAT

“KONSEP MEDIS TENTANG RABIES”

Disusun Oleh:

Kelompok 1

Adila Dewi Saputri (2002001)

Bagus Christover (2002016)

Febriyati Inggit Mae (2002033)

Hesti Setyaningtyas (2002039)


PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN

STIKES BETHESDA YAKKUM YOGYAKARTA

2023
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Rabies salah satu penyakit ditularkan melalui hewan atau zoonotik dan dikenal dengan
penyakit anjing gila. Penyakit yang disebabkan oleh virus berciri menyerang sistem
syaraf pusat ini telah menjadi ancaman bagi masyarakat selama bertahun-tahun. Apabila
sudah terinfeksi virus biasanya akan berakhir dengan kematian, untungnya sudah terdapat
vaksin untuk mencegah penyamit rabies. WHO melaporkan rabies terjadi lebih dari 150
negara, khususnya di Asia dan Afrika dengan presentase 95% terlapor rabies(Rabies,
n.d.). Setiap tahun rabies telah memakan korban sekitar 55.000 dengan angka kematian
mendekati 100% pada manusia dan hewan. Usia dibawah 15 tahun menyumbang 40%
dari seluruh orang- orang yang digigit hewan tersangka rabies(Rabies - WOAH - World
Organisation for Animal Health, n.d.).

Di Indonesia rabies pertama kali terjadi pada tahun 1884 yang menginfeksi hewan,
kemudian tahun 1894 ditemukan kasus pada manusia. Hingga sekarang Indonesia sebagai
negara berkembang di Asia yang masih berjuang melawan rabies. Rabies menjadi
prioritas utama sebagai penyakit menular dari hewan yang harus ditangani secara
strategis karena dapat mengancam derajat kesehatan dan sosio-ekonomi masyarakat.
Bahkan, setiap tahunnya di Indonesia tercatat rerata kematian sudah mencapai 142 orang
akibat rabies (Kementerian Pertanian, 2019).

Menurut data Kemenkes dari tahun 2011 sampai tahun 2015 kasus Gigitan Hewan
Penular Rabies (GHPR) di Indonesia memiliki rat-rata 78.413 kasus dengan 131
kematian. Keterlambatan pemeriksaan pada pelayanan kesehatan untuk memperoleh
bantuan pencegahan menjadi salah satu penyebab tingginya angka kematian. Tidak
sampai disitu, angka GHPR meningkat menjadi 100.826 kasus gigitan di tahun 2019 dan
hingga Agustus tahun 2020 sudah mencapai angka 24.745 kasus (Rasa, 2019). Pada
tahun 2021 kasus rabies tidak hanya dilaporkan melalui gigitan anjing sebesar 95%,
namun 2% juga ditularkan oleh kucing dan kera (Kemenkes, n.d.). Penyakit rabies sudah
menyerang separuh provinsi yang di Indonesia.

Risiko penyakit rabies menular sangatlah besar sehingga membahayakan masyarakat


Indonesia. Dengan demikian, rabies menjadi sorotan utama karena apabila tidak segara
diatasi akan berakibat fatal, seperti kematian hewan dan manusia serta dampak sosial-
ekonomi yang cukup signifikan. Usaha dalam memberantas penyakit rabies telah
dilakukan di separuh bagian di Indonesia. Sayangnya, masih belum berhasil terlaksana
karena beberapa faktor seperti sulitnya vaksinasi untuk anjing liar, pemasokan vaksin
terhambat didaerah terpencil, dan adanya culture dibeberapa pulau Indonesia, serta
kekurangan sumber daya. Ketidakberhasilan upaya tersebut terlihat ketika pulai-pulau di
Indonesia yang sebelumnya bebas dari rabies namun berakhir tertular juga, seperti pulau
bali dan pulau timor yang pada tahun 2023 terjadi kenaikan kasus yang cukup tinggi.
Ketiadaan dan/atau belum terdeteksinya perantara rabies dari satwa liar di Indonesia
mengungkapkan fakta penularan rabies dari pulau ke pulau dapat terjadi melewati
perpindahan dan perjalanan anjing yang diperantarai oleh manusia (Kementerian
Pertanian, 2019).

Tingginya angka kematian penyakit yang diakibatkan oleh Lyssa virus ini terjadi karena
tingkat pengetahuan masyarakat yang kurang terhadap penyakit rabies serta tindakan
preventif setelah gigitan hewan penular rabies. Dimana Masyarakat tidak langsung
berobat ke dokter atau fasilitas pelayanan kesehatan terdekat(Murtini et al., 2022).
Terlebih hingga saat ini belum ada pengobatan yang efektif untuk menyembuhkan rabies,
untungnya penyakit ini sudah dapat dicegah dengan vaksinasi dan penanganan kasus
gigitan hewan penular rabies (GHPR) sedini mungkin (Syahfitri, 2023).
B. Tujuan
a) Berdasarkan uraian diatas tujuan makalah ini ntuk mengetahui konsep medis penyakit
rabies
b) Untuk mengetahui peran perawat dalam penanganan penyakit rabies
C. Manfaat
1. Manfaat teoritis
Secara terotis, dari makalah yang dikerjakan diharapakan hasil yaitu untuk
memberikan manfaat dalam bidang ilmu keperawatan, khususnya dalam bahan acuan
makalah lain dengan judul yang sama.
2. Manfaat praktis
a) Bagi mahasiwa
Digunakan sebagai bahan masukan dan informasi bagi mahasiwa di stikes
Bethesda tentang penyakit rabies
b) Bagi Institut STIKES Bethesda Yakkum Yogyakarta
Diharapkan dalam hasil makalah ini dapat dijadikan sumber referensi tentang
penyakit rabies
BAB II

KONSEP MEDIS

A. Definisi
Menurut Kemenkes 2016 dalam jurnal (Rustam et al., 2022) rabies merupakan salah satu
penyakit zoonosis yaitu penyakit yang menular dari hewan ke manusia. Infeksi ini
ditularkan oleh hewan yang terinfeksi penyakit rabies ke manusia. Hewan yang dapat
sebagai penyebab penyebaran rabies adalah: anjing, rakun, rubah, kucing, monyet dan
kelelawar. Rabies berasal dari bahasa latin “Rabere”yang artinya marah, Menurut bahasa
sansekerta “rabhas”yang berarti kekerasan.

B. Anatomi Fisiologis
1. Perubahan patologi antomis
Secara patologi, perubahan patologi yang disebabkan oleh Rabies dapatdilihat secara
makroskopis dan mikroskopis.
a. Perubahan Makroskopik
Perubahan Pathologi utama dari penyakit Rabies adalah perubahan pada
SPP berupa enchepalomyelitis. Temuan maksroskopis pada otak untuk rabies
yang bersifat akut sangat susah untuk dilihat perubahannya. Otak hanya terlihat
sedikitmengalami kebengkakan pada bagian meningeal, pembuluh darah
parenkimtersumbat. Temuan lain adalah adanya perubahan pada organ-organ
respirasi, dangagal jantung. Ada pendarahan atau haemorhage atau jaringan
nekrosis bukanlah hal yang biasa ditemukan dari rabies enchepalitis (Iwasaki and
Tobita 2002)
Proses inflamasi pada otak yang mirip juga dapat diperlihatkan oleh penyakitlain
seperti Japanese enchepalitis. Pada umumnya perubahan patologi
secaramakroskopis pada penyakit Rabies sangat bervariasi dan tidak terdapat
perubahan patognomonis yang menciri terhadap Rabies (Akoso,
2007).Perubahan yang makroskopis lainnya yang sering terlihat ialah
adanya perdarahan pada selaput lendir didaerah mulut disebabkan oleh gejala
pika atauanjing memakan segala sesuatu yang tidak wajar dan mengigit benda-
benda kerasyang meyebabkan trauma disekitar mulut. al ini sering diikuti oleh
perubahanmakroskopis yang berupa temuan barang-barang asing di perut seperti
kawat, kayudan sebagainya (Akoso, 2007).Gejala klinis yang terlihat dan riwayat
penyakit merupakan hal yang pentingdalam menunjang proses diagnosa penyakit
ini. Pembukaan jaringan selain otak tidakdiperlukan karena tidak akan membantu
proses diagnosis (Akoso, 2007). Risikoterjadinya pencemaran virus ke
lingkungan harus menjadi perhatian. Peralatan penunjang yang baik, lengkap dan
proses nekropsi yang baik akan mengurangi risikoterjadi pencemaran terhadap
lingkungan. Pengambilan sampel berupa kelenjar ludahdan hypochampus dapat
dilakukan untuk menunjang diagnosa. Untuk diagnosa banding, jika diperlukan
dapat dilakuka dengan pengmbilan sampel jaringan lain untuk pemeriksaan lebih
lanjut.
b. Perubahan Mikroskopik
Secara histologis tdak ada perubahan secara spesifik yang terjadi pada jaringan
selain pada otak, terkecuali jika diikuti komplikasi dengan penyakit lain.Secara
umum akan terlihat normal tanpa ada perubahan spesifik. Perubahan yang paling
signifkan atau patognomonik adalah adanya badan negeri (negri bodies)
yaitu badan inklusi yang terdapat pada sitoplasma sel neuron yang diinfeksi oleh
Rabies(Akoso, 2007).
Hal yang unik lainnya yang dapat dilihat dari Rabies adalah adanya
persitensivirus dalam organ extraneural. Pada kasus-kasus Rabies yang bersifat
dumb atau paralytic Rabies dengan bentuk awal dan prominent paralysis,
perubahan pada sarafspinal akan sangat terlihat bahkan pada beberapa kasus
organ otak juga akan terlihat perubahan denagn memeperlihatakan gejala
inflamasi pada batang otak (Iwasaki andTobita, 2002).
danya perlakuan postexposure, vaksin Rabies dan perlakuan
lainnyamemungkinkan perubahan patologi yang bervariasi tetapi hal yang paling
pentingadalah adanya badan negri dan Nodul glial pada temuan pathologi
penyakit yangdisebabkan Rabies(Iwasaki and Tobita, 2002).Tidak adanya
temuan badan negri pada setiap kasus dengan gejala Rabiesterkadang terjadi. Hal
ini disebabkan karena tidak terjaringnya badan negri dalamsampel jaringan.
Keberadaan badan negri sangat jarang, sehingga penjaringan sampelyang tepat
untuk Rabies dan pengamatan hewan tersangka (sampai dengan 14
hari)sangatlah penting adanya. Pengambilan sampel sebaiknya diambil pada
jaringandengan neuro besar seperti hipokampus, mesenfalon, otak kecil dan
berbagai macamganglia (Akoso, 2007) sehingga kemungkinan untuk mendeteksi
adanya badan negrilebih besar.
C. Epidemiologi
Rabies merupakan salah satu penyakit zoonotik yang menjadi beban utama di negara –
negara Asia, dengan perkiraan 35.172 kematian manusia per tahun. India menyumbang
59, 9% dari kematian rabies di Asia dan 35% dari kematian secara global. Fenomena
tingginya kasus dan kematian akibat penyakit rabies di India terjadi disebabkan oleh
beberpa hal antara lain pertama India merupakan salah satu negara di Asia ataupun di
dunia yang endemis penyakit rabies. Selain itu tingginya angka kesakitan dan kematian
akibat rabies di India karena program pengendalian dan pencegahan penyakit ini seperti
program vaksinasi anti rabies pada hewan penular rabies seperti anjing dan kera belum
berjalan dengan baik. Juga karena kurangnya sosialisasi dan advokasi terkait pencegahan
dan pengendalian penyakit rabies. Gigitan hewan penular rabies (GHPR) di Indonesia
rata-rata sebanyak 80.861 kasus dan 103 kematian (CFR = 0,13%) setiap tahunnya dalam
kurun waktu tahun 2015 sampai dengan 2019. Beberapa daerah dengan kasus rabies
tertinggi di Indonesia antara lain provinsi Kepulauan Riau, Bangka Belitung, Papua,
Papua Barat, DKI Jakarta, Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa Timur. Semua daerah ini
telah merespon masalah tingginya kasus rabies di daerahnya masing – masing dengan
memperbaiki program pencegahan dan pengendalian penyakit rabies misalnya dengan
melakukan koordinasi lintar sektor untuk prgram vaksinasi hewan peliharaan. Angka
kematian atau Case Fatality Rate (CFR) karena infeksi rabies di dari tahun 2015 terlihat
fluktuatif, akan tetapi secara nasional angka kematian akibat dari infeksi rabies ini masih
cukup tinggi dan masih menjadi masalah kesehatan serius bagi masyarakat Indones.
Angka CFR infeksi rabies tahun 2015 sebesar 0,58%, tahun 2016 sebesar 0,14%, tahun
2017 sebesar 0,15%, tahun 2018 sebesar 0,14% dan tahun 2019 sebesar 0,1%. Sedangkan
ada 9 provinsi lainnya dinyatakan bebas rabies yaitu Papua, Papua Barat, Kepulauan
Bangka Belitung, Kepulauan Riau, dan Nusa Tenggara Barat, DI Yogyakarta, Jawa
Tengah, Jawa Timur dan DKI Jakarta (Irma et al., 2023).

D. Etiologi

Menurut Nugroho et al, 2013 dalam jurnal (Ii & Pustaka, 2013) Rabies merupakan
penyakit zoonosis yang menyerang sistem saraf pusat sehingga dapat berakibat fatal.
Penyakit ini disebabkan oleh virus dari genus Lyssavirus famili Rhabdoviridae dan dapat
menyerang ke semua spesies mamalia termasuk manusia Virus rabies mempunyai bentuk
menyerupai peluru dan tersusun atas RNA (4%), protein (67%), lipid (26%), dan
karbohidrat (3%). Virus ini berukuran panjang antara 150-260 nm, lebar 100-130 nm,
diameter 75 nm. Pada permukaannya terdapat bentuk-bentuk paku (spikes) dengan
ukuran panjang 9 nm. Virus rabies dapat menginfeksi hewan berdarah panas serta
manusia dan menyebabkan kerusakan pada sistem saraf pusat. Hewan berdarah panas
yang dapat tertular rabies antara lain yaitu anjing, kucing, kelelawar penghisap darah,
rakun, dan sapi. Hewan pembawa rabies (HPR) yang paling banya menularkan rabies ke
manusia dan hewan lainnya adalah anjing. Virus ini memiliki 2 antigen utama yaitu: pada
bagian dalam berupa nucleoprotein spesifik dan bagian luar berupa glikoprotein yang
berperan dalam merangsang terjadi netralisasi antibodi. Virus menjadi tidak aktif bila
terpapar sinar matahari, sinar ultraviolet, pemanasan 1 jam selama ii 50 menit,
pengeringan, dan sangat peka terhadap pelarut alkalis seperti sabun, desinfektan, serta
alkohol 70%.

E. Klasifikasi
Dikenal terdapat 2 tipe rabies pada hewan yaitu: (Republik et al., 2019)
1. Tipe Ganas Tipe ganas apabila didominasi tahap eksitasi dimana anjing akan
terlihat beringas serta akan menyerang semua benda yang bergerak.
2. Tipe Dumb (Tenang) Tipe tenang apabila hewan yang terinfeksi rabies setelah
gejala prodormal langsung masuk ke tahap paralisis.

F. Cara Penularan dan Masa Inkubasi (Republik et al., 2019)


Cara penularan rabies melalui gigitan dan non gigitan (goresan cakaran atau jilatan pada
kulit terbuka/mukosa) oleh hewan yang terinfeksi virus rabies. Virus rabies akan masuk
ke dalam tubuh melalui kulit yang terbuka atau mukosa namun tidak dapat masuk melalui
kulit yang utuh. Di dunia sebanyak 99% kematian akibat rabies disebabkan oleh gigitan
anjing. Di sebagian besar negara berkembang, anjing merupakan reservoir utama bagi
rabies sedangkan hewan liar yang menjadi reservoir utama rabies adalah rubah, musang,
dan anjing liar. Di Indonesia, hewan yang dapat menjadi sumber penularan rabies pada
manusia adalah anjing, kucing dan kera namun yang menjadi sumber penularan utama
adalah anjing, sekitar 98% dari seluruh penderita rabies tertular melalui gigitan anjing.
Masa inkubasi penyakit rabies sangat bervariasi yaitu antara 2 minggu sampai 2 tahun,
tetapi pada umumnya 3 - 8 minggu. Masa inkubasinya rata-rata 30 - 90 hari.

G. Manifestasi Klinis
Menurut (Ii & Pustaka, 2013) gejala rabies pada manusia terdiri atas empat fase, yaitu
fase prodormal, fasesensoris, fase eksitasi, dan fase paralisis.
1. Fase prodromal
Pada fase awal prodormal, gejala ringan dan tidak spesifik. Gejala awalnya adalah
munculnya perasaan tidak tenang, peningkatan suhu tubuh, merasa seperti
terbakar, gatal, mual, nyeri kepala, kedinginan, badan terasa lemah, menurunnya
nafsu makan, dan munculnya rasa nyeri di tenggorokan
2. Fase sensoris
Pada fase ini, penderita mulai merasakan nyeri, panas, dan kesemutan pada daerah
sekitar luka bekas gigitan. Gejala ini diikuti dengan munculnya perasaan cemas
dan reaksi berlebihan terhadap rangsangan sensoris.
3. Fase eksitasi
Pada fase ini, penderita mengalami ketakutan yang berlebihan, takut terhadap
cahaya (fotofobia), kehausan, takut terhadap tiupan angin (aerophobia), takut
terhadap air (hidrofobia), takut terhadap suara keras, suhu tubuh meningkat,
gelisah, berhalusinasi, agresif, dan tubuh gemetar, peningkatan volume saliva,
mengeluarkan banyak keringat, lacrimasi, dilatasi pupil, dan piloereksi. Fase ini
akan bertahan sampai penderita meninggal, akan tetapi pada beberapa kasus ada
juga gejala yang berlanjut ke fase paralisis.
4. Fase paralisis
Pada fase ini terlihat perubahan patologi yang dijumpai pada bagian terendah dari
medula oblongata, tempat sumsum tulang belakang berasal.

H. Pathway/ Patogenesis
Virus rabies akan masuk memalui luka gigitan, maka selama 2 minggu virus tersebut
akan bertahan di area luka dan melakukan replikasi di jaringan otot sekitar luka gigitan.
Kemudian virus akan bergerak melalui ujung – ujung saraf menuju susunan saraf pusat
tanpa menunjukkan perubahan – perubahan fungsinya atau gejala klinis. Sesampai di
otak, virus kemudian memperbanyak diri secara cepat dan menyebar luas keseluruh sel –
sel saraf otak / neuron terutama terhadap sel – sel limbik, hipotalamus dan batang otak.
Setelah memperbanyak diri dalam neuron – neuron otak, virus berjalan ke arah perifer
dalam serabut saraf eferen dan pada sistem saraf volunter dan otonom. Dengan demikian
virus menyerang hampir tiap organ dan jaringan di dalam tubuh, serta virus juga akan
berkembang biak dalam jaringan seperti pada kelenjar ludah, ginjal dan sebagainya.

I. Pemeriksaan Diagnostik
1. Elektroensefalogram (EEG) : dipakai unutk membantu menetapkan jenis dan
fokusdari kejang
2. Pemindaian CT: menggunakan kajian sinar X yang lebih sensitif dri biasanya
untukmendeteksi perbedaan kerapatan jaringan.
3. Magneti resonance imaging ( MRI ) : menghasilkan bayangan dengan
menggunakanlapangan magnetik dan gelombang radio, berguna untuk
memperlihatkan daerah-daerah otak yang itdak jelas terlihat bila menggunakan
pemindaian CT
4. Pemindaian positron emission tomography ( PET ) : untuk mengevaluasi kejang
yangmembandel dan membantu menetapkan lokasi lesi, perubahan metabolik atau
alirandarah dalam otak
5. Pemeriksaan Laboratotium
a. Pungsi lumbal : menganalisis cairan serebrovaskuler
b. Hitung darah lengkap : mengevaluasi trombosit dan hematokrit
c. Panel elektrolit
d. Skrining toksik dari serum dan urin
e. GDA
1) Glukosa Darah: Hipoglikemia merupakan predisposisi kejang (N <
200mq/dl)
2) BUN : Peningkatan BUN mempunyai potensi kejang dan
merupakanindikasi nepro toksik akibat dari pemberian obat
3) Elektrolit : K, Na
4) Ketidakseimbangan elektrolit merupakan predisposisi kejang
5) Kalium ( N 3,80-5,00 meq/dl )f)
6) Natrium ( N 135-144 meq/dl)
6. Pemeriksaan Fluorescent Antibodies Test (FAT)
dapat menunjukkan antigen virus di jaringan otak, air liur, kerokan mukosa, cairan
serebrospinal, urin, kulit dan usap kornea. FAT ini juga bisa negatif, bila antibodi
telah terbentuk. Dilakukan pemeriksaan isolasi virus.
Serum neutralizing antibodies pada kasus yang tidak divaksinasi tidak akan
terbentuk sampai hari kesepuluh pengobatan, tetapi setelah itu titer akan meningkat
dengan cepat. Walaupun secara klinis gejalanya patognomonik namun Negri Bodies
dengan pemeriksaan mikroskopis (Seller) dapat negatif pada 10 – 20 kasus, terutama
pada kasus-kasus yang sempat divaksinasi dan penderita yang dapat bertahan hidup
setelah lebih dari 2 minggu. Saat ini teknik pemeriksaan untuk rabies yang cukup
sensitif dan spesifik adalah teknik pemeriksaan PCR (Polymerase Chain Reaction).

J. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan menurut Kemenkes 2016 dalam jurnal (Rustam et al., 2022):
1. Pencucian luka: Pencucian luka merupakan langkah pertama yang sangat penting
dalam penatalakanaan kasus Gigitan Hewan Penular Rabies (GHPR). Luka
gigitan/jilatan dicuci selama 10-15 menit dengan air mengalir dan sabun batangan
atau deterjen.
2. Pemberian anti septik: Pemberian anti septik (bethadin,alcohol 70% dll) dapat
diberikan setelah pencucian luka.
3. Pemberian VAR (Vaksin Anti Rabies) / SAR (Serum Anti Rabies): Dosis
pemberian VAR Minggu 0: 2 x 1 mL/IM (Lengan Kanan/Kiri), Minggu I: 1 x 1
mL/IM (Lengan Kanan), dan Minggu IV: 1 x 1 mL/IM (Lengan Kiri). Sedangkan
pemberian SAR diberikan dosis 20 IU/Kg BB dengan menyuntikkan infiltrasi
sekitar luka kemudian sisanya dilakukan Intra Muskuler dan tidak usah di skin
tes
4. Tindakan penunjang: Luka GHPR tidak boleh dijahit untuk mengurangi invasi
virus pada jaringan luka kecuali luka yang lebar dan dalam dapat dilakukan
jahitan situasi untuk menghentikan pendarahan.

K. Pencegahan
Langkah-langkah pencegahan Rabies menurut (Kemenkes, 2016) yaitu:
1. Tidak memberikan izin untuk memasukkan atau menurunkan anjing, kucing,
kera dan hewan sebangsanya di daerah bebas rabies.
2. Memusnahkan anjing, kucing, kera atau hewan sebangsanya yang masuk
tanpa izin ke daerah bebas rabies.
3. Melaksanakan vaksinasi rutin terhadap anjing, kucing, dan kera,
dengan target khusus 70% populasi anjing yang ada di daerah tertular
(Andasari, 2017).

Rekomendasi WHO mencegah rabies tergantung adanya kontak:

1. Kategori 1: menyentuh, memberi makan hewan atau jilatan hewan pada kulit yang
intak karena tidak terpapar tidak perlu profilaksis, apabila anamnesis dapat
dipercaya.
2. Kategori 2: termasuk luka yang tidak berbahaya adalah jilatan pada kulit luka,
garukan, atau lecet (erosi ekskoriasi), luka kecil disekitar tangan, badan, dan kaki.
Untuk luka resiko rendah diberi Vaksin Antirabies (VAR) saja.
3. Kategori 3: Jilatan/luka pada mukosa, luka diatas daerah bahu (muka, kepala,
leher), luka pada jari tangan/kaki, genitalia, luka yang lebar/dalam dan luka yang
banyak (multiple) atau ada kontak dengan kelelawar, maka gunakan Vaksin
Antirabies (VAR) dan Serum Antirabies (SAR). Vaksin rabies dianjurkan
diberikan pada semua orang dengan riwayat kontak dengan hewan pengidap
rabies (Andasari, 2017).

L. Komplikasi
Komplikasi Menurut Sudoyo, dkk (2007), berbagai komplikasi biasanya terjadi pada fase
komaantara lain kelainan neurologi seperti edema otak atau peningkatan tekanan
intrakranial,kelainan hipotalamus berupa diabetes insipidus dan sindrom abnormalitas
hormon antidiuretik (SAHAD), disfungsi otonomik berupa hipertensi, hipotensi, aritmia,
henti jantung, pneumonia, dan hipertermia"hipotermia. Komplikasi pada fase prodormal
biasanya berupahiper$entilasi dan alkalosis respiratorik. Sedangkan pada fase neurologik
akut terjadihipo$entilasi dan depresi pernafasan. hipotensi terjadi karena gagal jantung
kongestif,dehidrasi, dan gangguan otonomik.
M. Prognosis
Setelah virus rabies masuk ke dalam tubuh melalui luka gigitan, ia tetap berada di dekat
tempat masuknya selama dua minggu sebelum berpindah ke ujung serabut saraf posterior
tanpa mengubah cara kerjanya. Tingkat infeksi paling tinggi pada gigitan pada wajah,
sedang pada gigitan pada lengan dan tangan, dan rendah pada gigitan pada tungkai dan
kaki. Virus akan bereplikasi dengan cepat begitu mencapai otak dan menyebar luas di
antara sel saraf dan neuron di sana, terutama di sistem limbik, hipotalamus, dan batang
otak. Virus menyebar ke sistem saraf tepi melalui serabut saraf eferen baik di sistem saraf
sadar dan otonom setelah berkembang biak di neuron otak. Akibatnya, virus ini
menyerang hampir setiap organ dan jaringan tubuh, dan akan berkembang biak di
jaringan seperti ginjal dan kelenjar ludah (Kemenkes R.I., 2016).
N. Peran Perawat
Menurut Salomon (2015), Petugas kesehatan mempunyai peranan penting dalam
pengendalian masalah rabies ini. Salah satunya adalah berperan dalam memberikan
Komunikasi, informasi dan Edukasi (KIE) kepada masyarakat sehingga pengetahuan
masyarakat mengenai tindakan yang dilakukan pada kasus gigitan HPR serta prosedur
dalam pemberian VAR dapat meningkat. Media yang dipakai dalam memberikan KIE ini
berupa roll banner, leaflet/brosur, papan cerdas rabies, komik rabies dan lain – lain
(Kemenkes RI,2017). Selain memberikan KIE, petugas kesehatan juga harus mampu
menggali informasi tentang karakteristik luka dari gigitan HPR yang terjadi seperti kapan
digigit, daerah lokasi gigitan sehingga dapat menentukan kategori luka. Selain itu,
informasi mengenai karakteristik HPR juga harus digali seperti jenis HPR, status HPR.
Informasi ini berguna dalam penatalaksanaan kasus gigitan HPR sehingga petugas
kesehatan dapat melakukan penanganan sesuai protap takgit yang berlaku. Jika protap
takgit 24 ini sudah dipahami dengan baik diharapkan pemakaian VAR dapat dilakukan
sesuai protap tersebut (Kemenkes RI,2016). Petugas kesehatan selain melakukan KIE,
penanganan sesuai protap takgit, juga berperan dalam melakukan koordinasi dengan
Pusat Kesehatan Hewan (Puskeswan) setiap terjadi kasus gigitan hewan penular rabies.
Dari laporan ini petugas kesehatan hewan akan melakukan tindakan atau penilaian
terhadap HPR tersebut. Hasil dari penilaian tersebuat akan dilaporkan/diinformasikan
kembali ke petugas kesehatan untuk menentukan tatalaksana selanjutnya.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Rabies adalah penyakit zoonosis ditemukan hampir diseluruh tempat di dunia kecuali
Antartika. Sebagian besar kasus (95%) berasal dari Asia dan Afrika, dan korban
umumnya anak-anak dibawah 15 tahun (30%- 60%)/. Di Indonesia ditemukan kejadian
luar biasa (KLB), seperti di Kalimantan Barat, Maluku Utara, dan Maluku pada 2003,
Banten pada 2007 dan Bali pada 2008.Sebagian besar kasus (98%) disebabkan gigitan
anjing, sedangkan sisanya oleh hewan lain seperti kucing dan monyet. Sampai saat ini,
rabies masih tersebar di 24 provinsi. Hanya 9 provinsi yang bebas dari rabies yaitu
Bangka Belitung, Kepulauan Riau, DKI Jakarta,Jawa Tengah, Jawa Timur, Yogyakarta,
NTB, Papua Barat dan Papua. Masa inkubasi rabies sangat bervariasi, mulai dari 7 hari
sampai lebih dari 1 tahun, rata-rata 1-2 bulan, tergantung jumlah virus yang masuk, berat
dan luasnya kerusakan jaringan akibat gigitan, jauh dekatnya lokasi gigitan ke sistem
saraf pusat, persarafan daerah luka gigitan dan sistem kekebalan tubuh. Gejala klinik
dibagi menjadi 4 stadium: (a) Stadium permulaan: gejalanya lemas, sulit makan, dan
anoreksia, (b) Stadium rangsangan; ditandai panas dan kesemutan pada luka gigitan serta
cemas dan reaksi berlebihan akibat rangsangan sensorik, (c) Stadium ketiga; terjadi
perubahan perilaku berteriak, menjambak rambut, berlari, dan melompat-lompat, takut
air, takut udara, takut cahaya, peningkatan lakrimasi dan salivasi. Rabies harus dicurigai
pada penderita dengan gejala neurologi dan psikiatri akut atau gejala laringo faringeal
yang tidak bisa dijelaskan, khususnya bila terjadi di daerah endemis atau orang yang
digigit hewan di daerah endemis rabies. Stadium terakhir, lumpuh, dan meninggal.
Penyakit rabies dapat dicegah dengan memberikan vaksin pada binatang yang berpotensi
sebagai penyebar virus rabies. Jika tergigit hewan yang dicurigai, luka harus segera
dicuci dengan air sabun agar lemak yang menyelimuti virus rabies larut sehingga virus
mati. Setelah itu, pasien harus diberi vaksin antirabies (VAR), sekaligus serum anti rabies
(SAR). Hal itu untuk mencegah virus yang bergerak cepat menuju pusat saraf, yakni otak.

B. Saran
Pengetahuan masyarakat terhadap rabies yang penting dalam pencegahan rabies masih
rendah, menyebabkan banyaknya kasus gigitan anjing tidak ditangani dengan baik dan
hampir selalu berakhir dengan kematian. Dan Pentingnya vaksinasi profilaksis pada
individu berisiko tinggi terpapar virus rabies seperti dokter hewan, pekerja dikebun
binatang, petugas karantina hewan, penangkap binatang, petugas laboratorium penelitian
yang bekerja dengan virus rabies dan wisatawan ke daerah endemis rabies. Penanganan
rabies mestinya dimulai pada hewan dengan melakukan vaksinasi hewan peliharaan yang
berpotensi terkena rabies seperti anjing, kucing, dan monyet. Jika rabies sudah menular
pada manusia, selain penanganannya lebih kompleks biayanya juga lebih mahal
DAFTAR PUSTAKA

Ii, B. A. B., & Pustaka, T. (2013). dan dapat menyerang ke semua spesies mamalia termasuk
manusia (Nugroho.

Irma, Kamrin, & Harleli. (2023). Epidemiologi Faktor Host Kasus Gigitan Hewan Penular
Rabies (GHPR) di Kabupaten Kolaka Utara. Global Health Science, 8(1), 27–34.

Republik, K. K., Direktorat, I., Pencegahan, J., Pengendalian, D., Direktorat, P., Dan, P.,
Penyakit, P., Vektor, T., & Zoonotik, D. (2019). Buku Saku Rabies Petunjuk Teknis
Penatalaksanaan Kasus Gigitan Hewan Penular Rabies di Indonesia. 1–50.

Rustam, K., Keperawatan, F., Teknologi, I., Muhammadiyah, S., Teknologi, F., Teknologi, I., &
Muhammadiyah, S. (2022). 1972-Article Text-3759-2-10-20220927. 12(2).

Syahfitri, R. I. (2023). Pengaruh Tingkat Pengetahuan Terhadap Pencegahan Penyakit Rabies.


PubHealth Jurnal Kesehatan Masyarakat, 2(1), 48–53.
https://doi.org/10.56211/pubhealth.v2i1.310

Sudoyo, Aru W, dkk. (2007). Ilmu Penyakit Dalam, Jilid III, Edisi IV. Jakarta : Depertemen Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Indonesia.

Teuku Shaddiq Rosa, Suharmita Darmin, Fauziah. (2017). Penyakit Anjing Gila (Rabies) Pada
Anjing. Laboratorium Patologi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala Banda
Aceh. https://id.scribd.com/document/364784960/RabiesKu#:~:text=Secara%20histologis
%20tdak,lebih%20besar

Ni Luh Putu Eva Budiantini, Luh Putu Ratih Artasari, Made Surya Mahardika, Ni Nengah
Juniarti, Ni Kadek Rai Widiastuti. (2019). Keperawatan Medikal Bedah III Laporan
Pendahuluan Dan Asuhan Keperawatan Dengan Gangguan Sistem Saraf Pusat Dengan
Kasus Rabies.

Anda mungkin juga menyukai