PENDAHULUAN
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu penyakit infeksi yang
disebabkan oleh virus dengue dan ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes Aegypti dan
mungkin juga Aedes Albopictus. Penyakit ini ditandai dengan gejala khas berupa demam ,
nyeri otot dan atau nyeri sendi yang disertai leukopenia, ruam, limfadenopati, trobositopenia
dan diatesis hemoragik yaitu terjadinya perembesan plasma yang ditandai oleh
hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit) atau penumpukan cairan di rongga tubuh.
(Gubler, 2002)
Demam berdarah tersebar di wilayah Asia tenggara, Pasifik barat dan Karibia.
Indonesia merupakan wilayah endemis dengan sebaran di seluruh wilayah tanah air.
Insidensinya sangat tinggi dan meningkat tajam hingga 35 per 100.000 penduduk pada tahun
1998 sedaamgkan mortalitas DBD cendurung menurun hingga mencapai 2% pada tahun
1999. Secara nasional penyakit DBD di Indonesia setiap tahun terjadi pada buan September
s/d Februari dengan puncak pada bulan Desember atau Januari yang bertepatan dengan waktu
musim hujan. (WHO, 1999)
Provinsi Kepulauan Bangka Belitung teranalisa bahwa pada tahun 2012 angka kasus
DBD di Kabupaten/Kota meningkat dengan jumlah 1.075 kasus dengan Insiden Rate (IR):
84,95 per 100.000 penduduk, angka CFR/angka kematian 2,33 % (25 orang meninggal
karena DBD). Tahun 2013 angka kasus DBD di Kabupaten/Kota menurun dengan jumlah
741 kasus dengan Insiden Rate (IR): 58,51 per 100.000 penduduk dengan CFR/angka
kematian 2,70 % (20 orang meninggal karena DBD), Sedangkan pada tahun 2014 angka
kasus DBD di Kabupaten/Kota semakin menurun menjadi 321 kasus dengan Insiden Rate
(IR): 23,60 per 100.000 penduduk dengan CFR/angka kematian 3,4 % (11orang meninggal
karena DBD). Tahun 2015 angka kasus DBD di Kabupaten/Kota sebanyak 755 kasus DBD
dengan Insiden Rate (IR): 55,53 per 100.000 penduduk dengan CFR/angka kematian 1,07%
1
(8 orang meninggal karena DBD). Tahun 2016 angka kasus DBD di Kabupaten/Kota
sebanyak 490 kasus DBD dengan Insiden Rate (IR): 35,77 per 100.000 penduduk dengan
CFR/angka kematian 0,61% (3 orang meninggal karena DBD). Tahun 2017 jumlah kasus
DBD sebesar 233 kasus, tidak ada kematian karena DBD , Insiden Rate (IR) sangat baik yaitu
Berdasarkan latar belakang penelitian yang telah diuraikan di atas, maka penulis dalam
hal ini merumuskan masalah penelitian: “Gambaran Usia, Jenis Kelamin, dan Kadar
Trombosit pada Penderita DBD di Puskesmas Tempilang pada Bulan Januari – Agustus
2020”.
1.3 Tujuan
Untuk mengetahui Gambaran Usia, Jenis Kelamin, dan Kadar Trombosit pada
Untuk mengetahui distribusi jenis kelamin penderita DBD pada bulan Januari –
Untuk mengetahui distribusi usia penderita DBD pada bulan Januari – Agustus
Untuk mengetahui distribusi kadar trombosit penderita DBD pada bulan Januari –
1.4 Manfaat
2
Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan penambahan bagi ilmu kedokteran
tentang Gambaran Usia, Jenis Kelamin, dan Kadar Trombosit pada Penderita DBD di
1. Bagi Keluarga
Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi tambahan Gambaran Usia, Jenis
Kelamin, dan Kadar Trombosit pada Penderita DBD di Puskesmas Tempilang pada Bulan
Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi tentang Gambaran Usia, Jenis
Kelamin, dan Kadar Trombosit pada Penderita DBD di Puskesmas Tempilang pada Bulan
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi praktisi kesehatan agar
tentang Gambaran Usia, Jenis Kelamin, dan Kadar Trombosit pada Penderita DBD di
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai data dasar untuk melaksanakan penelitian
lebih lanjut atau mengembangkan judul lain oleh peneliti sendiri atau peneliti lainnya.
3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Demam berdarah dengue adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue
(Flaviviridae: Flavivirus Group); virus ini terdiri dari 4 serotip : Den-1, Den-2, Den-3, dan
Den-4 (Dani S., 2009). Keempat serotype ditemukan di Indonesia dengan Den-3 merupakan
serotype terbanyak. Terdapat reaksi silang antara serotype dengue dengan Flavivirus lainnya
seperti Yellow fever, Japanese enchephalitis dan West Nile virus (Sudoyo et al, 2006).
Penyakit ini ditularkan oleh salah satu nyamuk rumah Aedes aegypti, sebagai vektor utama
dan nyamuk kebun Aedes albopictus sebagai kovektor. Nyamuk Aedes aegypti umumnya
lebih dominan populasinya diperkotaan dan sebaliknya Aedes albopictus di pedesaan (Dani
S., 2009).
Dalam laboratorium virus dengue dapat bereplikasi pada hewan mamalia seperti tikus,
kelinci, anjing, kelelawar dan primata. Survei epidemiologi pada hewan ternak didapatkan
antibodi terhadap virus dengue pada hewan kuda, sapi dan babi. Penelitian pada artrhopoda
menunjukkan virus dengue dapat bereplikasi pada nyamuk genus Sedes (Stegomyia) dan
Toxorhynchites (Sudoyo et al, 2006).
Manifestasi klinis penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah demam
mendadak, berlangsung 2-7 hari, wajah kemerahan, nyeri otot dan/atau nyeri sendi yang
disertai lekopenia, ruam, nyeri kepala, punggung dan ulu hati, limfadenopati,
trombositopenia, dan diatesis hemoragik (Dani S., 2009; Sudoyo, 2006). Tingkat kematian
untuk pasien yang berlanjut dengan Dengue Shock Syndrome (DSS) berkisar 2-10% (Dani S.,
2009).
2.2 Epidemiologi
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD atau Dengue Haemorrhagic Fever atau
DHF) telah menjadi masalah utama dalam kesehatan masyarakat global beberapa tahun ini.
Setiap tahun diperkirakan terjadi lebih dari 100 juta kasus DBD di seluruh dunia dan hanya
250.000 kasus yang dilaporkan secara resmi (Erdina, 2007).
Demam berdarah dengue tersebar di wilayah Asia tenggara, Pasifik Barat dan Karibia.
Indonesia merupakan wilayah endemis dengan sebaran di seluruh wilayah tanah air (Sudoyo
et al, 2006). Di Indonesia, DBD pertama kali ditemukan di Surabaya pada tahun 1968 dan
4
menyebar ke berbagai daerah. Sampai tahun 1980, seluruh propinsi di Indonesia, kecuali
Timor Timur, telah terjangkit penyakit ini. Dari tahun ke tahun, jumlah kasus demam
berdarah cenderung meningkat baik dari segi jumlah maupun wilayah yang terjangkit . Hal
ini dikarenakan vektor penyakit demam berdarah tersebar luas di seluruh tanah air,
meningkatnya kepadatan serta mobilitas penduduk. Secara nasional penyakit DBD di
Indonesia setiap tahun terjadi mulai bulan September sampai Februari dengan puncak pada
bulan Desember atau Januari yang bertepatan dengan waktu musim hujan (Erdina, 2007).
Faktor iklim, perubahan ekologi dan faktor sosial demografi memegang peranan
penting dalam peningkatan kejadian dan perluasan daerah endemis penyakit DBD. Tingginya
status entomologis vektor DBD sperti house index (HI), container index, breteau index, dan
resting index yang didukung oleh curah hujan yang tinggi juga dapat mendorong terjadinya
KLB. Status entomologis yang lain berupa ovitrap index (OI) dan pupal index (PI) juga
berperan dalam mengevaluasi pasca pengendalian vector DBD. Aspek epidemiologi lain
yang berperan dalam kejadian DBD yaitu mekanisme penularan virus dengue (Wanti, 2010).
2.3 Etiologi
1) Agent
Virus dengue merupakan bagian dari family Flafiridae dan termasuk dalam group B
Arthropod born viruses (arboviruses). Keempat tipe virus dengue (DEN 1, DEN 2, DEN 3
dan DEN 4) dapat dibedakan dengan metode serologi. Keempat tipe virus tersebut telah
ditemukan di berbagai daerah di Indonesia antaralain Jakarta dan Yogyakarta. Virus yang
banyak berkembang di masyarakat adalah virus dengue tipe satu dan tiga. Infeksi pada
manusia oleh salah satu serotype menghasilkan imunitas sepanjang hidup terhadap infeksi
ulang oleh serotype yang sama, tetapi hanya menjadi perlindugan sementara dan parsial
terhadap serotipe yang lain (WHO, 1997).
5
2) Vector
Tabel 1. Taksonomi Nyamuk
Aedes aegypti adalah spesies nyamuk tropis dan subtropis yang ditemukan di bumi,
biasanya antara garis lintang 35°LU dan 35°LS, kira-kira berhubungan dengan musim dingin
isotherm 10°C. Meski Aedes aegypti telah ditemukan sejauh 45°LU, invasi ini telah terjadi
selama musim hangat dan nyamuk tidak hidup pada musim dingin. Distribusi Aedes aegypti
juga dibatasi oleh ketinggian. Ini biasanya tidak ditemukan diatas ketingggian 1.000 m tetapi
telah dilaporkan pada ketinggian 2.121 m di India, pada 2.200 m di Kolombia, dimana suhu
rerata tahunan adalah 17°C, dan pada ketinggian 2.400 m di Eritrea.
Aedes aegypti adalah salah satu vector nyamuk yang paling efisien untuk arbovirus,
karena nyamuk ini sangat antropofilik dan hidup dekat dengan manusia dan sering hidup di
dalam rumah.Wabah dengue juga disertai dengan Aedes albopictus, Aedes polynesiensis dan
banyak spesies kompleks Aedess cutellaris. Setiap spesies ini mempunyai distribusi
geografisnya masing-masing, namun mereka adalah vektor epidemik yang kurang efesien
dibanding Aedes aegypti. Factor penyulit pemusnahan vektor adalah bahwa telur-telur Aedes
6
aegypti dapat bertahan dalam waktu lama terhadap desikasi (pengawetan dengan
pengeringan), kadang selama lebih dari satu tahun (WHO, 1997).
Nyamuk dapat bertahan hidup pada suhu rendah, tetapi proses metabolismenya menurun atau
bahkan terhenti bila suhu turun sampai dibawah suhu kritis. Rata-rata suhu optimum untuk
pertumbuhan nyamuk adalah 25°C-27°C, pertumbuhannya mukakan terhenti sama sekali bila
suhu kurang dari 10°C. kelembaban optimum dalam kehidupannya adalah 70%-80%.
Kelembaban dapat memperpanjang umur nyamuk.Umumnya nyamuk akan meletakkan
telurnya pada temperatur udara sekitar 20°C-30°C (Depkes RI, 2003)
a. Musim dan Curah hujan
Peningkatan curah hujan mempengaruhi perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti,
demikian pula pada musim penhujan. Ini karena semakin banyak jumlah tempat
penampungan air yang dapat digunakan sebagai tempat perindukan. Perubahan musim
akan berpengaruh pada frekuensi gigitannya atau panjang umur nyamuk dan berpengaruh
pula pada kebiasaan hidup manusia untuk lebih lama tinggal di dalam rumah pada waktu
musim hujan (Soedarmo, 1988).
b. Sanitasi Lingkungan
Sanitasi lingkungan mempengaruhi tempat perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti
terutama tempat-tempat penampungan air sebagai media breeding place nyamuk. Seperti
bak mandi/WC, gentong, tempayan, vas bunga, tempat minum burung, kaleng bekas, dan
bekas dan lain-lain. Tempat penampungan air berisi air jernih dan ada di dalam rumah
serta tidak terkena sinar matahari langsung adalah tempat yang disukai nyamuk
(Soegijanto, 2004)
7
3) Daur hidup Nyamuk Aedes Aegypt
a. Telur
Telur nyamuk Aedes berbentuk lonjong, berwarna hitam dan terdapat gambaran seperti
anyaman (sarang lebah) telur diletakkan oleh nyamuk betina secara terpisah-pisah di
tengah atau di tepi permukaan air jernih yang tenang. Nyamuk betina ini akan di
genangan air jernih baik di rumah maupun di luar rumah. Tempat-tempat ini dikenal
sebagai tempat perindukan. Tempat perindukan biasanya terlindung dari pancaran sinar
matahari secara langsung dan mengandung air jernih. Telur ini akan berumur 1-2 hari
yang kemudian menetas, apabila kondisi memungkinkanya itu terdapat genangan air,
namun pada keadaan kering telur dapat bertahan lama bahkan dapat bertahan sampai
bertahun-tahun.
b. Larva (jentik-jentik)
8
Larva nyamuk berbentuk seperti cacing, aktif bergerak dengan gerakan-gerakan naik
kepermukaan dan turun ke dasar secara berulang-ulang. Larva ini makan mikroba di
dasar genangan dan disebut sebagai permakan di dasar (ground feeder).
c. Pupa/kepompong
Pupa Aedes aegypti mempunyai ciri morfologi yang khas yaitu seperti koma, bersifat
aktif dan sensitive terhadap gerakan dan cahaya. Biasanya pupa terbentuk pada sore hari
dan umurnya hanya dua hari untuk segera menjadi nyamuk dewasa (Wulandari, 2001).
d. Nyamuk dewasa
Setelah keluar dari kepompong, nyamuk beristirahat di kulit kepompong untuk
sementara waktu, setelah sayapnya kuat ia mulai terbang untuk mencari
mangsa/makanan. Nyamuk betina menghisap darah yang diperlukan untuk
mematangkan telur agar dapat menetas dan apabila dibuahi oleh nyamuk jantan. Proses
pencarian darah biasanya pada siang hari, aktifitas menggigit dimulai pada pagi hari
yakni antara jam 09.00-10.00 danpada sore hari jam 16.00-17.00 WIB. Nyamuk Aedes
aegypti mempunyai kebiasaan menghisap darah berulang-ulang dan setelah menghisapi
hinggap dan istirahat di dalam rumah berdekatan dengan tempat perkembangbiakannya.
Kemampuan terbang nyamuk dewasa adalah 40 atau maksimal 100 m (Lubis, 1998).
4) Host
Manusia adalah pejamu (host) pertama yang dikenai virus, meskipun studi telah
menunjukkan bahwa monyet pada beberapa bagian dunia dapat terinfeksi dan mungkin
bertindak sebagai sumber virus untuk nyamuk penggigit. Virus bersirkulasi dalam darah
manusia terinfeksi pada kurang lebih saat dimana mereka mengalami demam, dan nyamuk –
nyamuk tak terinfeksi mendapatkan virus bila mereka menggigit individu saat dia dalam
keaadaan viremia. Virus kemudian berkembang di dalam tubuhnya selama periode 8-10 hari
sebelum ini dapat ditularkan kemanusia lain selama menggigit atau menghisap darah
berikutnya. Lama waktu yang diperlukan untuk inkubasi ekstrinsik ini tergantung pada
kondisi lingkungan khususnya suhu sekitar (WHO, 1997).
9
berupa pembentukan antibodi yang berperan dalam proses netralisasi virus, sitolisis yang
dimediasi komplemen dan sitotoksisitas yang dimediasi antibodi. Antibodi terhadap virus
dengue berperan dalam mempercepat replikasi virus pada monosit atau makrofag. Hipotesis
ini disebut antibody dependent enhancement (ADE). Respon yang kedua adalah limfosit T
baik T-helper (CD4) dan T sitotoksik (CD8) berperan dalam respon imun seluler terhadap
virus dengue. Differensiasi T helper yaitu TH1 akan memproduksi interferon gamma, IL2
dan limfokin, sedangkan TH2 memproduksi IL-4, IL-5, IL-6, IL-10. Respon yang ketiga
adalah monosit dan makrofag berperan dalam fagositosis virus dengan opsonisasi antibodi.
Namun proses fagositosis ini menyebabkan peningkatan replikasi virus dan sekresi sitokin
oleh makrofag. Respon yang terakhir adalah aktivasi komplemen oleh kompleks imun yang
menyebabkan terbentuknya C3a dan C5a.
Halstead pada tahun 1973 mengajukan hypotesis secondary heterologous infection
yang menyatakan bahwa DHF terjadi apabila seseorang terinfeksi ulang virus dengue dengan
tipe yang berbeda. Re-infeksi menyebabkan reaksi anamnestik antibodi sehingga
mengakibatkan konsentrasi kompleks imun yang tinggi.
Kurane dan Ennis tahun 1994 merangkum pendapat Halstead dan peneliti lain
menyatakan bahwa infeksi virus dengue menyebabkan aktivasi magrofag yang mefagositosis
kompleks virus-antibodi nonnetralisasi sehingga virus bereplikasi di makrofag. Terjadinya
infeksi makrofag oleh virus dengue menyebabkan aktivasi T helper dan T sitotoksik sehingga
memproduksi limfokin dan interferon gamma. Interferon gamma akan mengaktivasi monosit
sehingga disekresi berbagai mediator inflamasi seperti TNF-α, IL-1, PAF ( platelet aktivating
factor ), IL-6 dan histamin yang mengakibatkan terjadinya disfungsi sel endotel dan terjadi
kebocoran plasma.
Trombositopenia pada infeksi dengue terjadi melalui mekanisme supresi sumsum
tulang serta destruksi dan pemendekan masa hidup trombosit. Gambaran sumsum tulang pada
fase awal infeksi (<5 hari) menunjukkan keadaan hiposeluler dan supresi megakriosit. Setelah
keadaan puncak tercapai akan terjadi peningkatan proses hematopoiesis termasuk
megakariopoiesis. Kadar trombopoietin dalam darah pada saat terjadi trombositopenia justru
menunjukkan kenaikan, hal ini menunjukkan terjadinya stimulasi trombopoesis sebagai
mekanisme kompensasi terhadap keadaan trombositopenia. Destruksi trombosit terjadi
melalui pengikatan fragmen C3g, terdapatnya antibodi VD, konsumsi trombosit selama
proses koagulopati dan sekuestrasi di perifer. Gangguan fungsi trombosit terjadi melalui
mekanisme gangguan pelepasan ADP, peningkatan kadar b-tromboglobulin dan PF4 yang
merupakan pertanda degranulasi trombosit.
10
Koagulopati terjadi sebagai akibat interaksi virus dengan endotel yang menyebabkan
disfungsi endotel. Berbagai penelitian menunjukkan terjadinya koagulopati konsumtif pada
demam berdarah dengue stadium III dan IV. Aktivasi koagulsi pada demam berdarah fengue
terjadi melalui aktivasi jalur ekstrinsik (tissue factor pathway). Jalur intrinsik juga berperan
melalui aktivasi faktor XIa namun tidak melaui aktivasi kontak (kalikkrein CI-inhibitor
komplex).
2.6 Pencegahan
Cara-cara pencegahan Demam Berdarah yaitu memberikan penyuluhan,
menginformasikan kepada masyarakat untuk membersihkan tempat perindukan nyamuk dan
melindungi dari gigitan nyamuk dengan memasang kawat kasa, serta perlindungan dengan
pakaian dan menggunakan obat gosok anti nyamuk. Kemudian melakukan survei di
11
masyarakat untuk mengetahui tingkat kepadatan vektor nyamuk, untuk mengetahui tempat
perindukan dan habitat larva, biasanya untuk Aedes aegypti adalah tempat penampungan air
buatan atau alami yang dekat dengan pemukiman manusia (misalnya ban bekas, vas bunga,
tandon penyimpan air) dan membuat rencana pemberantasan sarang nyamuk serta
pelaksanaannya (Depkes, 2009).
Menurut Kristina dkk (2004) pencegahan penyakit DBD sangat tergantung pada
pengendalian vektornya, yaitu nyamuk Aedes aegypti. Pengendalian nyamuk tersebut dapat
dilakukan dengan menggunakan beberapa metode yang tepat, yaitu metode lingkungan untuk
mengendalikan nyamuk tersebut, antara lain dengan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN),
pengelolaan sampah padat, modifikasi tempat perkembangbiakan nyamuk efek samping
kegiatan manusia dan perbaikan desain rumah. Sebagai contoh menguras bak mandi atau
penampungan air sekurang-kurangnya sekali seminggu, mengganti atau menguras vas bunga
dan tempat minum burung seminggu sekali, menutup dengan rapat tempat penampungan air,
megubur kaleng-kaleng bekas, aki bekas dan ban bekas di sekitar rumah dan lain sebagainya.
Kemudian yang kedua adalah pengendalian biologis antara lain dengan menggunakan ikan
pemakan jentik (ikan cupang), bakteri (Bt.H-14). Cara yang ketiga adalah kimiawi. Cara
pengendaliaan ini adalah dengan pengasapan atau fogging (dengan menggunakan malathion
dan fenthion), berguna untuk mengurangi kemungkinan penularan sampai batas waktu
tertentu. Memberikan bubuk abate (temephos) pada tempat-tempat penampungan air seperti
gentong air, vas bunga, kolam, dan lain-lain (Ardynto, et al., 2009).
Cara yang paling efektif dalam mencegah penyakit DBD adalah dengan
mengkombinasikan cara-cara di atas, disebut dengan 3M Plus, yaitu menutup, menguras,
menimbun. Selain itu juga melakukan beberapa plus seperti memelihara ikan pemakan jentik,
menabur larvasida, menggunakan kelambu pada waktu tidur, memasang kasa, menyemprot
dengan insektisida, menggunakan repellent, memasang obat nyamuk, memeriksa jentik
berkala,dan lain-lain sesuai dengan kondisi setempat (Ardynto, et al., 2009).
Penanggulangan Nyamuk
Pencegahan DBD sangat bergantung pada pengendalian vektornya, yaitu nyamuk
Aedes aegypti. Cara pemberantasan yang dilakukan adalah terhadap nyamuk dewasa atau
jentiknya (Depkes, 2005).
1. Pemberantasan Nyamuk Dewasa
Pemberantasan terhadap nyamuk dewasa dilakukan dengan cara penyemprotan
(pengasapan atau pengabutan atau fogging) dengan insektisida. Kebiasaan nyamuk senang
12
hinggap pada benda-benda bergantungan, maka penyemprotan tidak dilakukan di dinding
rumah. Insektisida yang dapat digunakan antara lain golongan : organophospate, pyretroid
sintetic, carbamat. Penyemprotan dilakukan 2 siklus dengan interval 1 minggu untuk
membatasi penularan virus dengue. Pada penyemprotan siklus pertama, semua nyamuk yang
mengandung virus dengue (nyamuk infektif) dan nyamuk-nyamuk lainnya akan mati, tetapi
akan segera muncul nyamuk-nyamuk baru yang di antaranya akan mengisap darah penderita
viremia yang masih ada yang dapat menimbulkan penularan lagi. Penyemprotan kedua
dilakukan 1 minggu sesudah penyemprotan yang pertama agar nyamuk baru yang infektif
tersebut akan terbasmi sebelum sempat menularkan pada orang lain. Tindakan penyemprotan
harus diikuti dengan pemberantasan terhadap jentiknya agar populasi nyamuk penular dapat
tetap ditekan serendah-rendahnya.
2. Pemberantasan Jentik
Pemberantasan jentik Aedes aegypti yang dikenal dengan istilah Pemberantasan Sarang
Nyamuk Demam Berdarah Dengue (PSN DBD) dilakukan dengan cara :
a) Fisik
Cara ini dikenal dengan kegiatan 3M, yaitu : Menguras dan menyikat bak mandi, bak
WC, dan lain-lain ; Menutup tempat penampungan air rumah tangga (tempayan,
drum, dan lain-lain); Mengubur, menyingkirkan atau memusnahkan barang-barang
bekas (kaleng, ban, dan lain-lain). Pengurasan tempat penampungan air dilakukan
sekurang-kurangnya seminggu sekali agar nyamuk tidak dapat berkembang biak di
tempat itu.
b) Kimia
Cara memberantas jentik Aedes aegypti dengan menggunakan insektisida pembasmi
jentik (larvasida) ini dikenal dengan istilah larvasidasi.Larvasida yang biasa
digunakan adalah temephos.Dosis yang digunakan 1 ppm atau 10 gram untuk tiap 100
liter air.Larvasida dengan temephos mempunyai efek residu 3 bulan.
c) Biologi
Cara ini misalnya dengan memelihara ikan pemangsa jentik (ikan kepala timah, ikan
gupi, ikan cupang, dan lain-lain). WHO (1999) merekomendasikan proteksi diri
terhadap gigitan nyamuk, antara lain dengan menggunakan pakaian yang dapat
melindungi dari gigitan nyamuk, menggunakan repellent, menggunakan kelambu,
menyemprot ruangan dengan obat nyamuk, dan mengatur suhu udara.
13
Suroso (1992) menyebutkan kegiatan pemberantasan DBD yang dapat dilakukan masyarakat
antara lain :
a) Pencegahan
Pencegahan penyakit DBD dilaksanakan oleh masyarakat di rumah dan tempat umum
dengan melakukan PSN secara terus menerus yang meliputi : menguras tempat
penampungan air sekurang-kurangnya seminggu sekali, atau menutupnya rapat-rapat;
mengubur barang bekas yang dapat menampung air; menaburkan racun pembasmi jentik
(abatisasi); memelihara ikan; dan cara-cara lain untuk membasmi jentik.
b) Pembinaan peran serta masyarakat dalam PSN
Melakukan kunjungan secara berkala ke rumah-rumah dan tempat-tempat umum
untuk penyuluhan dan pemeriksaan jentik.
Penyuluhan PSN dan Pemeriksaan Jentik Berkala (PJB) dilaksanakan di rumah-
rumah dan di tempat umum oleh kader atau tenaga pemeriksa jentik secara
swadaya.
Pemantauan hasil penyuluhan PSN dilakukan oleh Kelompok Kerja Pemberantasan
DBD (Pokja DBD) yaitu Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD) di
desa/kelurahan.
Pembinaan usaha PSN di desa/kelurahan dilakukan secara berjenjang oleh
Kelompok Kerja Operasional Pemberantasan Penyakit DBD (Pokjanal DBD) yaitu
Tim Pembina LKMD tingkat Kecamatan, Kabupaten, Propinsi, dan Nasional.
c) Kewaspadaan dini terhadap Kejadian Luar Biasa (KLB) Setiap tersangka atau penderita
DBD dilakukan penyelidikan epidemiologi dan penanggulangan seperlunya
(penyemprotan insektisida dan/atau PSN) untuk membatasi penularan penyakit lebih
lanjut dan mencegah KLB.
d) Pemberantasan intensif di kecamatan/desa rawan penyakit DBD.
Penyuluhan PSN dan PJB di rumah-rumah di semua desa/kelurahan sekurang-
kurangnya setiap 3 bulan disertai dengan abatisasi pada tempat penampungan air
yang ditemukan jentik (Abatisasi Selektif).
Penyemprotan insektisida sebelum musim penularan di desa/kelurahan rawan
untuk mencegah terjadinya KLB dan membatasi penularan/penyebaran penyakit.
e) Penyuluhan kepada masyarakat
14
Dilaksanakan oleh petugas/pejabat kesehatan dan sektor lain serta warga
masyarakat yang mempunyai pengetahuan tentang penyakit DBD pada berbagai
kesempatan.
Dilaksanakan melalui berbagai jalur informasi dan komunikasi kepada
masyarakat.
Dilaksanakan secara intensif sebelum musim penularan penyakit DBD terutama di
daerah rawan.
Penanggulangan DBD di daerah perkotaan lebih cepat dan baik dibandingkan dengan
daerah pedesaan. Hal itu antara lain karena penelitian mengenai pendugaan fluktuasi populasi
nyamuk penular DBD untuk antisipasi serangan penyakit sudah biasa dilakukan oleh petugas
dari Direktorat Jenderal P2PL Depkes di kota. Sedangkan di daerah pedesaan walaupun
terletak di tepi kota, penanggulangan DBD lebih sulit daripada di perkotaan. Hal tersebut
oleh karena tidak adanya program “abatisasi” atau penyemprotan di daerah pedesaan
(Pratomo dan Rusdiyanto, 2003).
15
BAB 3
METODE PENELITIAN
3.1 Definisi Operasional
Definisi
No. Variabel Alat Ukur Hasil Ukur Skala
Operasional
Variabel Dependent
Variabel Independent
16
3.1 Tabel definisi operasional
Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode deskriptif observasional
atau pengamatan yang mana dilakukan pengumpulan data dengan mengadakan pengamatan
langsung dalam suatu periode tertentu dan mengadakan pencatatan secara sistematis tentang
Metode penelitian deskriptif adalah metode penelitian yang digunakan dengan tujuan
utama untuk membuat gambaran atau deskripsi tentang suatu keadaan secara objektif.
Pengambilan data dilaksanakan pada bulan Januari – Agustus 2020. Tempat penelitian
Populasi adalah semua pasien yang melakukan pemeriksaan Trombosit pada penderita
Sampel dalam penelitian adalah setiap pasien yang melakukan pemeriksaan dengan
3.5.Instrumen Penelitian
17
3.7 Pengolahan dan Penyajian Data
Data yang telah terkumpul kemudian akan diolah (editing, coding, entry, dan tabulating
data).
2. Coding, yaitu memberikan kode-kode pada kasus control, serta variabel lain untuk
memudahkan proses pengolahan data dengan memberikan angka nol atau satu.
4. Tabulating, yaitu mengelompokkan data sesuai variabel yang akan diteliti guna
Data yang diperoleh meliputi data hasil pemeriksaan DBD dan di uji menggunakan uji
18
BAB 4
HASIL PENELITIAN
Puskesmas Tempilang merupakan salah satu UPTD Dinas Kesehatan Kota Bangka
Barat yang bertempat di Jln. Belo Laut, Mentok, Kabupaten Bangka Barat.
Karakteristik yang digunakan untuk menjadi sampel dalam penelitian ini adalah
rekam medis pasien rawat inap di Puskesmas Tempilang periode Januari – Agustus 2020.
Jumlah keseluruhan pasien rawat inap yang menjadi sampel adalah 30 pasien.
19
Berdasarkan tabel 4.1 dapat dilihat bahwa jenis kelamin laki- laki yang paling banyak
dengan jumlah adalah 18 (60%). Untuk jenis kelamin perempuan dengan jumlah adalah 12
(40%).
Total 30 100%
Tabel 4.2. Distribusi Sampel Menurut Usia Bulan Januari – Agustus Tahun 2020
20
Berdasarkan tabel 4.2 dapat dilihat usia penderita DBD terbanyak adalah usia 12-25
tahun dengan jumlah kasus 11 tahun (36,6%). Jumlah penderita DBD terendah dalah usia 0-5
tahun dengan jumlah penderita sebanyak 2 (6,66%).
21
Berdasarkan tabel 4.3 dapat dilihat bahwa kadar trombosit pada penderta DBD
4.3 Pembahasan
12-25 tahun dengan jumlah kasus 11 tahun (36,6%). Dilihat usia penderita DBD terbanyak
adalah usia 12-25 tahun dengan jumlah kasus 11 tahun (36,6%). Dilihat bahwa kadar
trombosit pada penderta DBD terbanyak adalah <150.000 dengan jumlah pasien sebanyak 30
(100%).
Secara nasional penyakit DBD di Indonesia setiap tahun terjadi mulai bulan
September sampai Februari dengan puncak pada bulan Desember atau Januari yang
sumsum tulang serta destruksi dan pemendekan masa hidup trombosit. Gambaran sumsum
tulang pada fase awal infeksi (<5 hari) menunjukkan keadaan hiposeluler dan supresi
megakriosit. Setelah keadaan puncak tercapai akan terjadi peningkatan proses hematopoiesis
22
termasuk megakariopoiesis. Kadar trombopoietin dalam darah pada saat terjadi
trombosit terjadi melalui pengikatan fragmen C3g, terdapatnya antibodi VD, konsumsi
trombosit selama proses koagulopati dan sekuestrasi di perifer. Gangguan fungsi trombosit
23
BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil temuan penelitian dan hasil pengujian pada pembahasan yang
1. Usia penderita DBD yang paling banyak di Rawat di PKM Tempilang adalah usia 12
– 25 tahun.
2. Jenis kelamin laki-laki adalah penderita DBD yang paling banyak di Rawat Inap di
PKM Tempilang.
5.2 Saran
Berdasarkan hasil penelitian, beberapa saran yang disampaikan pada pihak terkait
1. Bagi Penderita
plus untuk mengurangi perkembang biakan nyamuk aedes aegpty penyebab penyakit
2. Bagi Keluarga
sarang nyamuk yang meliputi gerakan 3M plus untuk mengurangi perkembang biakan
24
3. Bagi Lahan Penelitian
lingkungan masyarakat. Selain itu petugas promosi kesehatan harus lebih aktif dalam
melakukan kegiatan praktik langsung tentang kegiatan PSN melalui gerakan 3M Plus
untuk dapat mengembangkan metode lain yang lebih bervariasi serta menarik bagi
25
DAFTAR PUSTAKA
Azwar A., 1983, Pengantar Pendidikan Kesehatan, PT. Sastra Hudaya, Jakarta.
Azwar A., 1983, Pengantar Pendidikan Kesehatan, PT. Sastra Hudaya, Jakarta.
Azwar S., 1995, Sikap Manusia Teori dan Pengukurannya. Edisi ke 2, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Anderson, E.T. & McFarlane, J. 2006. Buku Ajar Keperawatan komunitas:Teori dan praktik.
Cahyo K., 2006. Analisis Perilaku Keluarga Dalam Upaya Pencegahan DBD Di Kelurahan
Depkes, 2000, Penerapan Promosi Kesehatan dalam Pemberdayaan Keluarga. Jakarta : Ditjen
Kes-Masy. Depkes, 2004, Kebijaksanaan Program P2-DBD Dan Situasi Terkini DBD
Indonesia
Ditjen PP&PL
Dignan M.B, Carr P.A (1992), Progam Planning for Health Education and Promotion, Lea
Ewles dan Simnet., 1994, Promosi Kesehatan Petunjuk Praktis. Edisi Ke dua terjemahan Ova
Friedman. 1998. Keperawatan Keluarga : Teori dan Praktik. Ed. 3. Alih Bahasa:
26
Gubler D., 1998. Dengue and Dengue Hemorrhagic Fever, Clinical Microbiology Reviews,
11 (3): 480-496
Gubler D., 2002. Epidemic dengue/dengue hemorrhagic fever as a public health, social and
Ircham et al, 2005, Pendidikan Kesehatan Bagian dari Promosi Kesehatan , Fitramaya
Yogyakarta.
Kristina et al, 2004, Demam Berdarah Dengue. Jakarta : Litbang Dinas Kesehatan.
Lopez, P., 2001, Promosi Kesehatan pada Kader Posyandu dalam Meningkatkan Pengetahuan
Manulu E., 2009, Determinan Partisipasi Keluarga Dalam Tindakan Pencegahan Demam
Morton et al., 1995, Introduction to Health Education and Health Promotion, Waveland
Press Inc.
Notoatmodjo, S., 2002, Konsep Perilaku Kesehatan, Interaksi Media Promosi Kesehatan
Notoatmojo dan Soekidjo., 1993, Pengantar Pendidikan Kesehatan dan Ilmu Perilaku
27
Pratomo dan Rusdiyanto., 2003., Studi Populasi Nyamuk Demam Berdarah Dengue (DBD)
Sadiman et al., 2006 Media Pendidikan Pengertian, Pengembangan dan Pemanfaatannya, PT.
University Press.
Siregar F., 2006. Epidemiologi dan Pemberantasan Demam Berdarah di Indonesia, Fakultas
Slamet M., 2003, Membentuk Pola Perilaku Manusia Pembangunan, IPB Press Bogor
Yogyakarta
Suroso. 1992. Kebijakan Nasional Pada Demam Berdarah Dengue. Cermin Dunia
Tran et al., 2003, The Impact of Health Education on Mother’s Knowledge, Attitude and
Practice (KAP) of Dengue Haemorrhagic Fever, Dengue Buletin-Vol 27, 2003. Hal.
174-180.
Wise et al., 2003, Panduan Kesehatan Masyarakat, untuk Kader Kesehatan, Yayasan
28
Lampiran 1
29