PEMBAHASAN
1
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
Menurut WHO, terdapat sekitar 50-100 juta infeksi dengue yang terjadi setiap
tahunnya. Informasi dari Profil Data Kesehatan Indonesia pada tahun 2011 menemukan,
infeksi dengue menempati peringkat kedua dari sepuluh penyakit rawat inap di rumah sakit.
Pada tahun 2017, WHO kembali memperbarui data infeksi dengue di dunia, dengan estimasi
390 juta kasus, dimana terdapat 96 juta dengan termanifestasi secara klinis. Studi
menemukan, prevalensi dengue mengestimasikan 3,9 juta orang dalam 128 negara memiliki
risiko terinfeksi virus demam berdarah dengue.1,2
Kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) yang terjadi di Indonesia pada tahun 2017
tercatat sebanyak 68.047 kasus. Hal ini disebutkan mengalami penurunan signifikan
dibandingkan tahun 2016 lalu, yaitu 204.171 kasus. Provinsi dengan kasus tertinggi terdapat
di 3 Provinsi di Pulau Jawa: Jawa Barat (10.016 kasus), Jawa Timur (7.838 kasus), dan Jawa
Tengah (7.400 kasus). Kasus terendah ditemukan di Provinsi Maluku Utara, yaitu 37 kasus.3
Gambar 1. Kasus Demam Berdarah Dengue per Provinsi di Indonesia Tahun 2017.3
Angka kematian DBD pada tahun 2017 berjumlah 493 kematian, dan terlihat
mengalami penurunan hingga 3 kali lipat dibandingkan tahun 2016 lalu, yaitu 1.598
2
kematian. Provinsi tertinggi ditempati oleh Jawa Timur (105 kematian) dan paling rendah
ditempati oleh Bangka Belitung, Maluku, Maluku Utara, dan Sulawesi Barat.3
Gambar 2. Kematian Demam Berdarah Dengue per Provinsi di Indonesia Tahun 2017.3
Provinsi Bali merupakan salah satu tujuan wisata dengan banyak wisatan domestik
maupun mancanegara yang datang setiap tahunnya. Provinsi Bali berkewajiban menyediakan
daerah wisata yang sehat sesuai Peraturan Menteri Pariwisata, terutamanya mencegah
penyakit yang banyak menular di daerah tropis, salah satunya infeksi virus dengue. Data dari
Dinas Kesehatan Provinsi Bali Tahun 2015, penderita DBD mencapai 10.759 kasus, dengan
angka kematian sebanyak 29 orang. Hasil pengumpulan data sekunder Riset Khusus Vektora
3
Tahun 2017 menemukan, di Kabupaten Jembrana tercatat terdapat 345 kasus pada tahun
2015 dan pada tahun 2016 terdapat 771 kasus. Kabupaten Badung menyebutkan pada tahun
2015 terdapat 2.178 kasus dan tahun 2016 terdapat 3.998 kasus. Sementara itu, Kabupaten
Karangasem menemukan pada tahun 2015 terdapat 790 kasus dan tahun 2016 terdapat 3.226
kasus.4
Indikator yang digunakan dalam mengendalikan penyakit DBD adalah Angka Bebas
Jentik (ABJ). Secara nasional, pada tahun 2017, Indonesia belum mencapai target sebesar
≥95%. Hal ini diduga akibat kegiatan Gerakan 1 Rumah 1 Jumantik belum terlaksana dengan
baik di seluruh kabupaten/kota, disertai dengan kurangnya upaya monitoring dan pembinaan
Dinas Kesehatan Provinsi dalam sistem pelaporan untuk mengendalikan kasus DBD.3
Infeksi virus dengue disebabkan oleh virus dengue (arbovirus), yaitu virus RNA rantai
tunggal, famili dari Flaviridae. Terdapat 4 serotipe virus ini: DENV-1, DENV-2, DENV-3,
dan DENV-4. Keempat serotipe ini terdapat di Indonesia, dengan DENV-3 dinyatakan
serotipe paling dominan, dikaitkan dengan kasus infeksi yang berat. Vektor dari virus
dengue dapat berupa Aedes aegypti dan Aedes albopictus. Aedes aegypti berasal dari Afrika,
sementara itu, Aedes albopictus berasal dari Asia tenggara dan beberapa pula ditemukan di
Western Pacific dan Samudra India. Hingga saat ini, persebaran kedua vektor nyamuk sudah
meluas hingga mencakup banyak negara di dunia.1,2
4
Nyamuk Aedes aegypti membutuhkan waktu sekitar 7-10 hari untuk berkembang dari
sebuah telur hingga menjadi nyamuk dewasa. Nyamuk dewasa betina umumnya bertelur pada
dinding bagian dalam dari sebuah kontainer / wadah air maupun diatas permukaan air. Telur
tersebut akan menempel pada dinding wadah air seperti lem. Telur tersebut dikatakan dapat
bertahan - mengering hingga 8 bulan lamanya. Nyamuk juga umumnya hanya membutuhkan
sedikit air untuk bertelur (contoh: mangkuk, cangkir, air macur, ban, tong, vas dan wadah
tempat menyimpan air lainnya), sehingga menjadi tempat pembibitan nyamuk yang baik. Jika
dilihat pada siklus larva, setelah menetas dari telur, larva hanya akan bisa tinggal di dalam air
(larva dapat terlihat sangat aktif di dalam air). Pupae juga tinggal di dalam air. Nantinya,
nyamuk dewasa akan keluar dari pupa dan pergi terbang menjauh untuk mengigit hewan dan
manusia. Aedes aegypti dan Aedes albopictus tidak dapat terbang jarak jauh. Biasanya,
seumur hidup mereka, hanya akan terbang dalam jarak beberapa blok rumah saja. Aedes
aegypti lebih suka tinggal di dekat perumahan manusia (menyukai mengigit manusia, dapat
tinggal di dalam maupun luar ruangan). Sementara, Aedes albopictus dapat tinggal di
dalam/dekat rumah manusia maupun di hutan dekat permukiman manusia (lebih suka tinggal
di luar ruangan).5
Nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus biasanya hidup diantara 350N dan 350S
dibawah ketinggian 1000 m atau 3300 kaki. Aedes aegypti relatif jarang ditemukan diatas
5
1000 m karena suhu yang lebih rendah. Nyamuk ini biasanya menggigit pada pagi hari dan
sore-menjelang malam. Manusia menjadi penjamu / inang utama (primary host) dari virus ini.
Infeksi dapat diperoleh melalui satu gigitan nyamuk. Nyamuk betina yang mengonsumsi
darah orang yang terinfeksi (dalam rentang waktu demam, yaitu viremia 2-12 hari) akan ikut
terinfeksi di dalam usus nyamuk tersebut. Virus tersebut kemudian menyebar ke jaringan lain
pada nyamuk, termasuk kelenjar ludah nyamuk. Kira-kira setelah 8-10 hari kemudian, virus
akan dilepaskan ke dalam air liurnya. Ketika menggigit orang lain, virus ditularkan melalui
air liurnya tersebut. Virus denguenya sendiri diketahui tidak membahayakan nyamuknya.
Aedes aegypti menjadi perhatian utama karena lebih suka bertelur pada wadah air tawar yang
banyak ditemukan di dekat hidup manusia. Produk darah yang terinfeksi dan donasi organ
juga dapat menyebabkan infeksi demam berdarah. Transmisi vertikal (dari ibu ke anak)
selama kehamilan atau saat lahir juga banyak dilaporkan.6,7
6
Spektrum klinis dapat terbagi: Undifferentiated febrile illness, dengue fever (DF),
dengue hemorrhage fever (DHF), dan dengue shock syndrome (DSS). Seluruh spektrum
klinis dinyatakan endemis pada wilayah tropis dan subtropis. Adanya infeksi primer oleh
salah satu serotipe virus dapat bermanifestasi sebagai DF ataupun DHF. Namun, jika
terinfeksi oleh serotipe yang berbeda, maka, manifestasinya akan lebih berat, dan berpotensi
menjadi DHF hingga DSS. Salah satu pemeriksaan laboratorium yang digunakan untuk
membedakan infeksi dengue primer atau sekunder adalah pemeriksaan serologis immune
chromatographic test (ICT).2
Gejala dari infeksi virus dengue dapat bersifat asimptomatik atau menyebabkan
undifferentiated febrile illness (viral syndrome), DF, DHF, termasuk DSS. Infeksi pada salah
satu serotipe virus memberikan imunitas jangka panjang terhadap serotipe tersebut, namun,
hanya memberikan imunitas silang jangka pendek terhadap serotipe lain. Manifestasi klinis
tergantung dari strain virus dan faktor host: usia, status imunitas, dan yang lainnya.7,8
Pada bayi, anak-anak dan dewasa dengan status terinfeksi virus dengue, terutamanya
infeksi pertama (primary dengue infection), akan memiliki gejala demam yang sulit
dibedakan dengan infeksi virus lainnya. Umumnya, ruam makulopapular dapat menyertai
7
demam, atau mungkin muncul selama demam masih ada. Gejala pada saluran nafas bagian
atas dan saluran cerna juga sering dilaporkan.7,9
Dengue fever / demam dengue lebih sering dijumpai pada anak-anak berusia lebih tua,
remaja, dan dewasa. Dikenal sebagai demam akut, dan terkadang memiliki fase demam
bifasik dengan sakit kepala hebat, myalgia, artralgia, ruam kemerahan, serta leukopenia dan
trombositopenia. Pada orang dewasa, pernah dilaporkan terdapat nyeri otot, sendi, dan tulang
yang hebat (break-bone fever). Perdarahan yang tidak lazim dapat terjadi, yaitu perdarahan
saluran cerna, hipermenorrhea, dan epistaksis masif.7,9
8
Tabel 1. Gejala Klinis dari Infeksi Dengue.8
Pemeriksaan tourniquet (+) dan leukopenia (WBC ≤5000 cells/mm3) membantu dalam
penegakan diagnosis infeksi dengue sejak dini. Temuan laboratorium pada area endemis
terhadap infeksi dengue antara lain:7
Total WBC umumnya normal pada saat onset demam, dengan leukopenia semakin
berkembang ketika terjadi penurunan jumlah neutrophil, berlangsung selama fase
demam.
Hitung trombosit juga biasanya normal, dengan komponen pembekuan darah lainnya.
Umumnya, populasi pasien dengan DF ditemukan dengan trombositopenia ringan
(100.000-150.000 cells/mm3), namun beberapa pasien masih dapat ditemukan dengan
hitung trombosit <100.000 cells/mm3.
Peningkatan hematokrit ringan (±10%) dapat ditemukan akibat dari dehidrasi akibat
demam tinggi, muntah, hingga turunnya nafsu makan dan minum.
Dengue Haemorrhagic Fever sering dijumpai pada anak <15 tahun, diasosiasikan
dengan infeksi dengue berulang. Namun, insidensi DHF pada orang dewasa juga dilaporkan
mengalami peningkatan. DHF dikarakteristikkan dengan demam tinggi onset akut dan
dengan gejala klinis serupa dengan DF pada awal fase demam. Adanya trombositopenia
dengan hemokonsentrasi dapat membedakan antara DHF grade I dan II dengan DF. Di akhir
9
fase demam pada DHF, terdapat kecendrungan untuk mengalami syok hipovolemik (DSS)
akibat adanya gangguan hemostasis disertai kebocoran plasma. Kebocoran plasma secara
selektif terjadi pada rongga pleura dan abdomen. Gejala lain yang harus diperhatikan antara
lain: muntah persisten, nyeri abdomen, sulit untuk istirahat, irritable, dan oligouria. Beberapa
pasien DHF juga melaporkan terdapat nyeri tenggorokan, rasa tidak nyaman pada area
epigastrium, hingga nyeri abdomen secara umum.7
Tabel 2. Gejala Konstitusional Non-Spesifik pada Kasus Demam Berdarah Dengue dan Infeksi Virus
Chikungunya.7
Pemeriksaan test tourniquet positif (≥10 titik/inch2) adalah yang paling mudah diamati
ketika demam masih berada di awal fase. Pada banyak kasus, sering terjadi mudah memar
dan berdarah saat dilakukan pungsi vena. Petekie halus tersebar di ekstremitas, aksila, dan
wajah. Epistaksis dan perdarahan gusi lebih jarang terjadi. Perdarahan saluran cerna maupun
hematuria juga dapat terjadi, namun angka kejadian lebih jarang. Pada periode kritis DHF,
terjadi kebocoran plasma mulai dari transisi fase demam menuju tidak demam. Namun,
adanya kebocoran plasma sulit untuk dideteksi melalui pemeriksaan fisik diawal terjadinya
fase kebocoran plasma. Adanya kehilangan plasma dalam jumlah signifikan dapat berujung
pada syok hipovolemik. Secara klinis, asites dan efusi pleura tidak akan terdeteksi. Namun,
ketika penyakit semakin berat atau setelah diberikan terapi cairan, barulah kebocoran plasma
dapat dideteksi. Pemeriksaan penunjang radiografi (X-ray thorax, posisi dekubitus lateral
kanan dapat meningkatkan sensitivitas) dan ultrasound (USG) dapat mendukung deteksi
klinis DHF. Selain itu, penurunan serum albumin >0,5 gm/dl dari baseline atau <3.5 gm%
10
merupakan bukti tidak langsung dari adanya kebocoran plasma. Pada kasus yang lebih berat,
kondisi pasien dapat memburuk setelah beberapa hari onset demam. Beberapa tanda bahaya
yang perlu diperhatikan antara lain: muntah secara terus menerus, nyeri perut, menolak
asupan oral, gelisah/iritabilitas, oligouria, hingga hipotensi postural.7,9
Syok ditandai dengan denyut nadi yang cepat, namun lemah (penyempitan tekanan
nadi/pulse pressure ≤20 mmHg) atau ketika sudah memasuki tanda hipotensi. Tanda syok
lainnya dapat diamati melalui berkurangnya perfusi jaringan: CRT> 3 detik, kulit dingin
lembab, dan pasien yang mulai gelisah. Jika tidak diberikan pengobatan yang cepat dan tepat,
maka, dapat berisiko terhadap kematian. Jika pasien dapat bertahan dalam kondisi syok,
maka dapat kemungkinan akan menuju fase syok berat (profound shock), dengan tekanan
darah dan/atau denyut nadi menjadi tidak terdeteksi (Grade 4 DHF). Kondisi syok ini
merupakan kondisi reversibel dan berdurasi singkat jika diberikan pengobatan cairan yang
sesuai. Tanpa ada penanganan yang tepat, pasien dapat meninggal dunia dalam waktu 12-24
jam. Pasien dengan syok berkepanjangan dapat berisiko ke arah gangguan asidosis metabolik,
ketidakseimbangan elektrolit, perdarahan di berbagai tempat, hingga gangguan multiorgan
seperti gagal hepar dan ginjal yang sering ditemui.7,8
Patofisiologi dari DENV dan respon imun host masih belum dipahami secara
sepenuhnya. Manifestasi primer dari penyakit mencakup sindrom kebocoran kapiler
(kebocoran plasma akibat disfungsi endotel), trombositopenia (terlihat dari seluruh infeksi
DENV, namun pada DHF lebih parah), kecenderungan untuk perdarahan, dan leukopenia.
Diketahui, viral envelope (E) dari glikoprotein di dalam virus membantu untuk berikatan
dengan sel penjamu, diikuti dengan proses replikasi virus. Data menemukan bahwa monosit
menjadi target utama. Monosit yang telah terinfeksi akan menginduksi produksi daripada
interferon-a (IFN-a) dan IFN – b. Envelope (E), prekursor membrane protein (pre-M), dan
nonstructural protein 1 (NS1) merupakan protein utama DENV yang ditargetkan oleh
antibodi dalam tubuh sebagai bentuk respon imun. Infeksi primer menginduksi kekebalan
seumur hidup terhadap serotipe virus yang bersangkutan, namun tidak terhadap infeksi
sekunder oleh serotipe lain.6
11
Gambar 8. Patofisiologi dari DENV Terhadap Respon Imun Tubuh Manusia.6
12
2. Dengan setidaknya satu dari gejala berikut:
Serologi suportif pada sampel serum tunggal: titer ≥1280 dengan
penghambatan tes haemaglutinasi, titer IgG yang sebanding dengan uji
imunosorben terkait enzim, atau testing positif pada IgM tes antibodi, dan
Kejadian di lokasi dan waktu yang sama dengan kasus demam berdarah
yang dikonfirmasi.
Demam: onset akut, tinggi, dan kontinyu, dapat berlangsung selama 2-7
hari
Manifestasi perdarahan: tourniquet positif, petekie, purpura, ekimoisis,
epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis dan/atau melena
Pembesaran liver (hepatomegali) dapat diobservasi pada 90-98% pasien
anak
13
Syok, dengan manifestasi berupa takikardi, perfusi jaringan rendah dengan
pulsasi lemah (20 mmHg atau lebih rendah) atau hipotensi dengan
menggigil, kulit lembab dan gelisah
14
Gambar 9. Perubahan Patofisiologis dari Demam Berdarah Dengue.7
15
Beberapa pasien yang dianggap memiliki risiko tinggi antara lain:7
Viremia pada pasien dengue terjadi dalam waktu singkat, umumnya terjadi dalam 2-3
hari sebelum terjadinya demam, dan berlangsung selama 4-7 hari sakit. Selama periode ini,
bagian dari asam nukleat virus dan antigennya akan bersirkulasi di dalam darah. Antibodi
akan merespon infeksi dengan memunculkan berbagai jenis immunoglobulin; IgM dan IgG
menjadi nilai diagnostik pada demam berdarah.7
Antibodi IgM umumnya akan terdeteksi pada hari ke 3-5 setelah onset penyakit,
meningkat dengan cepat dalam dua minggu dan akan mengalami penurunan hingga menjadi
tidak terdeteksi setelah 2-3 bulan. Antibodi IgG terdeteksi pada tingkatan yang rendah pada
akhir minggu pertama, lalu akan meningkat kemudian dan bertahan pada periode yang lebih
lama (dapat berlangsung selama bertahun-tahun). Oleh karena munculnya antibodi IgM yang
dapat dikatakan terlambat, yaitu setelah 5 hari onset demam, jika melakukan tes serologis
berdasarkan antibodi ini seringkali didapat dengan hasil negatif palsu.7
Ketika terjadi infeksi dengue sekunder (jika sebelumnya host telah terinfeksi virus
dengue), titer antibodi akan meningkat dengan sangat cepat. Antibodi IgG akan dapat bisa
dideteksi pada kadar tinggi, walau pada fase inisial dan akan bertahan selama beberapa bulan
hingga seumur hidup. Kadar antibodi IgM akan secara signifikan lebih rendah pada infeksi
kedua. Dengan demikian, rasio IgM/IgG akan digunakan untuk membedakan infeksi primer
dan sekunder. Infeksi virus didefinisikan sebagai primer jika rasio IgM/IgG >1,2 atau
dianggap sebagai infeksi sekunder jika rasio <1,2. Trombositopenia umumnya diobservasi
antara hari 3 dan hari ke 8 diikuti perubahan hematokrit.7
16
Gambar 10. Perkiraan Waktu Infeksi Virus Dengue Primer dan Sekunder.7
3.10 Komplikasi
DF dengan perdarahan dapat terjadi sehubungan dengan penyakit lain yang mendasari
seperti ulkus peptik, trombositopenia berat, maupun riwayat trauma sebelumnya.10
17
Komplikasi Dengue Haemorrhagic Fever
Triase Primer
Triase primer wajib dilakukan oleh orang yang sudah terlatih dan kompeten:7
Jika pasien tiba di rumah sakit dalam kondisi parah/kritis, maka langsung kirim pasien
tersebut ke perawat/asisten medis terlatih.7
Untuk pasien dengan kondisi yang lebih stabil, maka dapat dilanjutkan sebagai
berikut:7
o Riwayat lamanya demam (jumlah hari) dan memperhatikan tanda bahaya (jika
ada), serta ada tidaknya faktor risiko yang tinggi pada pasien.
o Tes tourniquet dengan menaikkan tekanan menjadi 80 mmHg untuk usia ≥12
tahun dan 60 mmHg untuk anak usia 5-12 tahun selama 5 menit
o Tanda-tanda vital pasien, wajib diperiksa untuk semua pasien. Perhatikan
tanda – tanda penurunan perfusi perifer (tanpa demam, namun dengan
takikardi), wajib segera dirujuk untuk perawatan medis segera, tes darah
lengkap, dan tes kadar gula darah sedini mungkin. Tes darah lengkap yang
disarankan untuk pasien: demam pada kunjungan pertama baseline hematokrit
(HCT), sel darah putih (WBC), dan trombosit (PLT), semua pasien dengan
tanda bahaya, semua pasien dengan gangguan darah/syok (wajib menjalani
pemeriksaan glukosa). Tanda leukopenia dan/atau trombositopenia
mengingatkan untuk dikirim ke tenaga medis segera.
18
o Konsultasi medis sangat direkomendasikan pada pasien dengan: syok, pasien
dengan tanda bahaya dengan penyakit >4 hari.
o Pemberian nasihat pada pasien dan keluarganya harus disampaikan dengan
hati-hati sebelum mengirim pasien pulang (direkomendasikan dilakukan oleh
dokter/perawat). Beberapa saran mencakup: istirahat cukup, asupan cairan oral
atau diet lunak, kompres air hangat ketika demam (selain pemberian
parasetamol). Jika muncul tanda bahaya, segera mencari fasilitas kesehatan
terdekat.
Kunjungan tindak lanjut (follow-up visits) wajib dilakukan untuk semua pasien selama
masa perawatan, terutamanya pada periode kritis yaitu fase afebris dengan tindak
lanjut berupa pemeriksaan darah lengkap untuk mendeteksi ada tidaknya tanda bahaya
dini seperti leukopenia, trombositopenia, dan/atau peningkatan hematokrit.7
Tidak ada pengobatan spesifik untuk dengue fever maupun dengue hemorrhagic
fever. Penggunaan obat penurun demam dan pengurang rasa nyeri dapat dikonsumsi untuk
mengurangi gejala berupa demam, nyeri otot, dan yang lainnya. Pengobatan paling baik
adalah asetaminofen ataupun parasetamol. Penggunaan NSAID seperti ibuprofen dan aspirin
sebaiknya dihindari. NSAID diketahui dapat memperberat risiko perdarahan yang ada.12
Pasien dengan demam dengue disarankan untuk berobat jalan, tidak perlu
rawat inap. Pada fase demam, disarankan: tirah baring, mengonsumsi obat antipiretik
parasetamol, kompres hangat, minum cairan dan elektrolit per oral (jus buah, susu),
dan monitor suhu, trombosit, dan hematokrit (terutama 2 hari setelah suhu turun)
hingga fase konvalesens. Tanda bahaya yang muncul pada fase kritis antara lain: nyeri
perut hebat, buang air besar hitam, perdarahan (mimisan, perdarahan gusi),
berkeringat dingin. Jika muncul tanda-tanda seperti itu, maka segera dibawa ke rumah
sakit.7
19
Tabel 4. Tanda Bahaya pada Demam Berdarah.7
Fase Demam
Tatalaksana DBD fase demam tidak jauh berbeda dengan demam dengue,
yaitu simptomatik dan suportif. Pemberian cairan oral ataupun cairan intravena
(akibat tidak mau minum, muntah, nyeri perut) wajib diberikan. Antipiretik diberikan
sesuai dengan gejala yang muncul, namun perlu diperhatikan bahwa pemberian obat
antipiretik tidak dapat mengurangi lamanya demam pada kasus DBD.7,12
20
Fase Kritis
Secara umum, volume cairan yang dibutuhkan adalah jumlah cairan rumatan
(maintenance) + 5% defisit (diberikan dalam 48 jam). Pemberian volume cairan
kristaloid isotonik (sebaiknya digunakan selama fase kritis), bertujuan untuk
mempertahankan volume dan sirkulasi intravaskular agar cukup memadai. Pemberian
cairan IV dilakukan apabila asupan cairan pasien tidak adekuat, muntah persisten,
HCT meningkat 10-20% walaupun sudah minum secara oral, syok. Pemberian cairan
secara intravena sebaiknya tidak melebihi 24-48 jam pada pasien dengan syok. Pada
pasien yang tidak mengalami syok, durasi pemberian cairan intravena dapat lebih
lama, namun tidak lebih dari 60-72 jam. Hal ini dikarenakan, pada pasien tanpa syok,
baru saja memasuki periode kebocoran plasma, sementara, pasien syok sudah
mengalami kebocoran plasma yang lebih lama sebelum terapi intravena dimulai.
Kecepatan pemberian cairan intravena sebaiknya disesuaikan dengan situasi klinis
pasien (tanda vital, hematokrit, urin, dewasa/anak-anak). Transfusi platelet tidak
direkomendasikan pada kasus trombositopenia.7,12
21
Tabel 7. Perbandingan Antara Cairan Infus.12
Fase Penyembuhan/Konvalesen
Gambar 12. Ruam di Kulit yang Menyeluruh dengan Bercak Putih (Halo)
22
Manajemen Syok: DHF Grade III (DSS)
Umumnya, resusitasi cairan pada DHF Grade III akan cukup respon dengan
pemberian cairan IV 10 ml/kg/jam pada anak-anak atau 300-500 ml pada dewasa
dalam 1 jam atau bolus jika diperlukan. Pemberian terapi cairan sebaiknya
dipertahankan dalam waktu minimal 24 jam, dan dapat dilepas dalam 36-48 jam.7
23
Tabel 8. Pemeriksaan Laboratorium Pada Pasien dengan Syok Berkepanjangan / Komplikasi Meskipun Volume
Cairan Pengganti Sudah Diberikan.7
Resusitasi cairan awal pada derajat ini bersifat lebih massif agar dapat
memulihkan tekanan darah dengan lebih cepat. Pemeriksaan laboratorium (ABCS)
harus dilakukan sesegera mungkin untuk mengetahui organ yang terlibat. 10 ml/kg
cairan bolus diberikan secepat mungkin dalam 10-15 menit. Ketika tekanan darah
sudah kembali pulih, pemberian cairan intravena dapat dikembalikan seperti pada
derajat III. Jika syok tidak pulih setelah pemberian cairan 10 ml/kg pertama, berikan
bolus ulang 10 ml/kg, dan hasil laboratorium harus dicari dan dikoreksi sesegera
mungkin. Transfusi darah yang bersifat mendesak harus dipertimbangkan (curiga
perdarahan internal) sebagai langkah berikutnya dengan pemantauan yang lebih ketat
(kateterisasi kandung kemih, kateterisasi vena sentral, arterial lines). Pemberian
transfusi darah segar/komponen sel darah merah dengan volume kecil 10
ml/kgBB/jam, dapat diulang sampai 30 ml/kgBB/24 jam.
24
Tiga hari setelah syok teratasi (hemodinamik stabil)
Nafsu makan membaik
Pengendalian Vektor
Fisik/Mekanik
Biologi
Kimia
25
Sasaran pra dewasa (jentik) / larva: organophospat (temephos),
piriproxifen.
26
DAFTAR PUSTAKA
1. Saraswati LPC, Mulyantari NK. Prevalensi demam berdarah dengue (dbd) primer dan
sekunder berdasarkan hasil pemeriksaan serologis di rumah sakit balimed denpasar. E-J
Med. 2017;6(8):1–6.
2. Ikawati B. Aspek kekinian tentang penelitian demam berdarah dengue di pulau jawa dan
sekitarnya. BALABA. 2018;14(1):85–94.
3. Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI. Situasi penyakit demam berdarah
di indonesia tahun 2017. InfoDATIN. 2018;1–7.
5. Centers for Disease Control and Prevention. Life cycle of aedes aegypti and ae.
albopictus mosquitoes [Internet]. 2020 [cited 2021 Dec 8]. Available from:
https://www.cdc.gov/mosquitoes/about/life-cycles/aedes.html
6. Kothai R, Arul B. Dengue fever: an overview. In: Aparecida Sperança M, editor. Dengue
fever in a one health perspective [Internet]. United Kingdom: IntechOpen; 2020 [cited
2021 Dec 8]. Available from: https://www.intechopen.com/books/dengue-fever-in-a-one-
health-perspective/dengue-fever-an-overview
27
8. Wang W-H, Urbina AN, Chang MR, Assavalapsakul W, Lu P-L, Chen Y-H, et al.
Dengue hemorrhagic fever – a systemic literature review of current perspectives on
pathogenesis, prevention and control. J Microbiol Immunol Infect. 2020;53(6):963–78.
10. WHO. Dengue and severe dengue [Internet]. 2021 [cited 2021 Dec 27]. Available from:
https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/dengue-and-severe-dengue
11. CDC. Dengue case management for clinicians [Internet]. 2021 [cited 2021 Dec 27].
Available from: ttps://www.cdc.gov/dengue/resources/dengue-clinician-guide_508.pdf
28