Anda di halaman 1dari 28

BAB II

PEMBAHASAN

1
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Epidemiologi Infeksi Dengue

Menurut WHO, terdapat sekitar 50-100 juta infeksi dengue yang terjadi setiap
tahunnya. Informasi dari Profil Data Kesehatan Indonesia pada tahun 2011 menemukan,
infeksi dengue menempati peringkat kedua dari sepuluh penyakit rawat inap di rumah sakit.
Pada tahun 2017, WHO kembali memperbarui data infeksi dengue di dunia, dengan estimasi
390 juta kasus, dimana terdapat 96 juta dengan termanifestasi secara klinis. Studi
menemukan, prevalensi dengue mengestimasikan 3,9 juta orang dalam 128 negara memiliki
risiko terinfeksi virus demam berdarah dengue.1,2

Kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) yang terjadi di Indonesia pada tahun 2017
tercatat sebanyak 68.047 kasus. Hal ini disebutkan mengalami penurunan signifikan
dibandingkan tahun 2016 lalu, yaitu 204.171 kasus. Provinsi dengan kasus tertinggi terdapat
di 3 Provinsi di Pulau Jawa: Jawa Barat (10.016 kasus), Jawa Timur (7.838 kasus), dan Jawa
Tengah (7.400 kasus). Kasus terendah ditemukan di Provinsi Maluku Utara, yaitu 37 kasus.3

Gambar 1. Kasus Demam Berdarah Dengue per Provinsi di Indonesia Tahun 2017.3

Angka kematian DBD pada tahun 2017 berjumlah 493 kematian, dan terlihat
mengalami penurunan hingga 3 kali lipat dibandingkan tahun 2016 lalu, yaitu 1.598

2
kematian. Provinsi tertinggi ditempati oleh Jawa Timur (105 kematian) dan paling rendah
ditempati oleh Bangka Belitung, Maluku, Maluku Utara, dan Sulawesi Barat.3

Gambar 2. Kematian Demam Berdarah Dengue per Provinsi di Indonesia Tahun 2017.3

Beberapa penelitian surveilans kasus DBD mencakup beberapa subsistem: manusia,


virus dengue, vektor DBD, pengendalian vektor (sub-sistem lingkungan fisik, biologis,
kebijakan). Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi kejadian DBD yang pernah
ditemukan di Kota Semarang pada tahun 2015. Pada penelitian, ditemukan 3 jenis serotipe:
DENV-1, DENV-2, DENV-3, dengan dominasi DENV-1. Hal ini dikaitkan dengan faktor
risiko dari lingkungan yaitu kelembaban udara yang berbeda-beda di tiap kotanya. Penelitian
lain yang dilakukan di Kabupaten Demak, menemukan sebaran kasus DBD paling banyak di
Kecamatan Mranggen, dengan pola merata di seluruh desanya. Hal ini didukung oleh data,
dimana terdapat kecenderungan bahwa semakin tinggi angka kepadatan penduduk dengan
rumah, maka, semakin tinggi kejadian DBD. Surveilans yang pernah dilakukan di Kabupaten
Banyumas, menemukan bahwa DBD banyak terdistribusi di dataran rendah dengan dominasi
area sawah dan meningkat di musim hujan.2

Provinsi Bali merupakan salah satu tujuan wisata dengan banyak wisatan domestik
maupun mancanegara yang datang setiap tahunnya. Provinsi Bali berkewajiban menyediakan
daerah wisata yang sehat sesuai Peraturan Menteri Pariwisata, terutamanya mencegah
penyakit yang banyak menular di daerah tropis, salah satunya infeksi virus dengue. Data dari
Dinas Kesehatan Provinsi Bali Tahun 2015, penderita DBD mencapai 10.759 kasus, dengan
angka kematian sebanyak 29 orang. Hasil pengumpulan data sekunder Riset Khusus Vektora

3
Tahun 2017 menemukan, di Kabupaten Jembrana tercatat terdapat 345 kasus pada tahun
2015 dan pada tahun 2016 terdapat 771 kasus. Kabupaten Badung menyebutkan pada tahun
2015 terdapat 2.178 kasus dan tahun 2016 terdapat 3.998 kasus. Sementara itu, Kabupaten
Karangasem menemukan pada tahun 2015 terdapat 790 kasus dan tahun 2016 terdapat 3.226
kasus.4

Indikator yang digunakan dalam mengendalikan penyakit DBD adalah Angka Bebas
Jentik (ABJ). Secara nasional, pada tahun 2017, Indonesia belum mencapai target sebesar
≥95%. Hal ini diduga akibat kegiatan Gerakan 1 Rumah 1 Jumantik belum terlaksana dengan
baik di seluruh kabupaten/kota, disertai dengan kurangnya upaya monitoring dan pembinaan
Dinas Kesehatan Provinsi dalam sistem pelaporan untuk mengendalikan kasus DBD.3

Gambar 3. Angka Bebas Jentik di Indonesia Tahun 2010-2017.3

3.2 Etiologi Infeksi Virus Dengue

Infeksi virus dengue disebabkan oleh virus dengue (arbovirus), yaitu virus RNA rantai
tunggal, famili dari Flaviridae. Terdapat 4 serotipe virus ini: DENV-1, DENV-2, DENV-3,
dan DENV-4. Keempat serotipe ini terdapat di Indonesia, dengan DENV-3 dinyatakan
serotipe paling dominan, dikaitkan dengan kasus infeksi yang berat. Vektor dari virus
dengue dapat berupa Aedes aegypti dan Aedes albopictus. Aedes aegypti berasal dari Afrika,
sementara itu, Aedes albopictus berasal dari Asia tenggara dan beberapa pula ditemukan di
Western Pacific dan Samudra India. Hingga saat ini, persebaran kedua vektor nyamuk sudah
meluas hingga mencakup banyak negara di dunia.1,2

3.3 Siklus Hidup Nyamuk Aedes Aegypti

4
Nyamuk Aedes aegypti membutuhkan waktu sekitar 7-10 hari untuk berkembang dari
sebuah telur hingga menjadi nyamuk dewasa. Nyamuk dewasa betina umumnya bertelur pada
dinding bagian dalam dari sebuah kontainer / wadah air maupun diatas permukaan air. Telur
tersebut akan menempel pada dinding wadah air seperti lem. Telur tersebut dikatakan dapat
bertahan - mengering hingga 8 bulan lamanya. Nyamuk juga umumnya hanya membutuhkan
sedikit air untuk bertelur (contoh: mangkuk, cangkir, air macur, ban, tong, vas dan wadah
tempat menyimpan air lainnya), sehingga menjadi tempat pembibitan nyamuk yang baik. Jika
dilihat pada siklus larva, setelah menetas dari telur, larva hanya akan bisa tinggal di dalam air
(larva dapat terlihat sangat aktif di dalam air). Pupae juga tinggal di dalam air. Nantinya,
nyamuk dewasa akan keluar dari pupa dan pergi terbang menjauh untuk mengigit hewan dan
manusia. Aedes aegypti dan Aedes albopictus tidak dapat terbang jarak jauh. Biasanya,
seumur hidup mereka, hanya akan terbang dalam jarak beberapa blok rumah saja. Aedes
aegypti lebih suka tinggal di dekat perumahan manusia (menyukai mengigit manusia, dapat
tinggal di dalam maupun luar ruangan). Sementara, Aedes albopictus dapat tinggal di
dalam/dekat rumah manusia maupun di hutan dekat permukiman manusia (lebih suka tinggal
di luar ruangan).5

Gambar 4. Siklus Hidup Nyamuk Aedes aegypti.5

3.4 Transmisi Virus Dengue

Nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus biasanya hidup diantara 350N dan 350S
dibawah ketinggian 1000 m atau 3300 kaki. Aedes aegypti relatif jarang ditemukan diatas

5
1000 m karena suhu yang lebih rendah. Nyamuk ini biasanya menggigit pada pagi hari dan
sore-menjelang malam. Manusia menjadi penjamu / inang utama (primary host) dari virus ini.
Infeksi dapat diperoleh melalui satu gigitan nyamuk. Nyamuk betina yang mengonsumsi
darah orang yang terinfeksi (dalam rentang waktu demam, yaitu viremia 2-12 hari) akan ikut
terinfeksi di dalam usus nyamuk tersebut. Virus tersebut kemudian menyebar ke jaringan lain
pada nyamuk, termasuk kelenjar ludah nyamuk. Kira-kira setelah 8-10 hari kemudian, virus
akan dilepaskan ke dalam air liurnya. Ketika menggigit orang lain, virus ditularkan melalui
air liurnya tersebut. Virus denguenya sendiri diketahui tidak membahayakan nyamuknya.
Aedes aegypti menjadi perhatian utama karena lebih suka bertelur pada wadah air tawar yang
banyak ditemukan di dekat hidup manusia. Produk darah yang terinfeksi dan donasi organ
juga dapat menyebabkan infeksi demam berdarah. Transmisi vertikal (dari ibu ke anak)
selama kehamilan atau saat lahir juga banyak dilaporkan.6,7

Gambar 5. Distribusi Global Aedes aegypti.7

Gambar 6. Distribusi Global Aedes albopictus.7

3.5 Spektrum dan Gejala Klinis Infeksi Dengue

6
Spektrum klinis dapat terbagi: Undifferentiated febrile illness, dengue fever (DF),
dengue hemorrhage fever (DHF), dan dengue shock syndrome (DSS). Seluruh spektrum
klinis dinyatakan endemis pada wilayah tropis dan subtropis. Adanya infeksi primer oleh
salah satu serotipe virus dapat bermanifestasi sebagai DF ataupun DHF. Namun, jika
terinfeksi oleh serotipe yang berbeda, maka, manifestasinya akan lebih berat, dan berpotensi
menjadi DHF hingga DSS. Salah satu pemeriksaan laboratorium yang digunakan untuk
membedakan infeksi dengue primer atau sekunder adalah pemeriksaan serologis immune
chromatographic test (ICT).2

Gejala dari infeksi virus dengue dapat bersifat asimptomatik atau menyebabkan
undifferentiated febrile illness (viral syndrome), DF, DHF, termasuk DSS. Infeksi pada salah
satu serotipe virus memberikan imunitas jangka panjang terhadap serotipe tersebut, namun,
hanya memberikan imunitas silang jangka pendek terhadap serotipe lain. Manifestasi klinis
tergantung dari strain virus dan faktor host: usia, status imunitas, dan yang lainnya.7,8

Gambar 7. Spektrum Klinis Infeksi Virus Dengue.8

3.5.1 Undifferentiated Fever

Pada bayi, anak-anak dan dewasa dengan status terinfeksi virus dengue, terutamanya
infeksi pertama (primary dengue infection), akan memiliki gejala demam yang sulit
dibedakan dengan infeksi virus lainnya. Umumnya, ruam makulopapular dapat menyertai

7
demam, atau mungkin muncul selama demam masih ada. Gejala pada saluran nafas bagian
atas dan saluran cerna juga sering dilaporkan.7,9

3.5.2 Dengue Fever

Dengue fever / demam dengue lebih sering dijumpai pada anak-anak berusia lebih tua,
remaja, dan dewasa. Dikenal sebagai demam akut, dan terkadang memiliki fase demam
bifasik dengan sakit kepala hebat, myalgia, artralgia, ruam kemerahan, serta leukopenia dan
trombositopenia. Pada orang dewasa, pernah dilaporkan terdapat nyeri otot, sendi, dan tulang
yang hebat (break-bone fever). Perdarahan yang tidak lazim dapat terjadi, yaitu perdarahan
saluran cerna, hipermenorrhea, dan epistaksis masif.7,9

Demam dengue dikarakteristikkan dengan berbagai gejala konstitusional non-spesifik


seperti sakit kepala, rasa tidak enak di seluruh badan, dengan demam tinggi onset akut (39-
400C, bifasik, berlangsung selama 5-7 hari), terkadang dijumpai rasa menggigil setelah
terdapat kenaikan suhu, dengan muka – leher-dada yang kemerahan selama 2-3 hari pertama.
Menjelang akhir periode demam, atau segera setelah demam, ruam umum akan memudar dan
kelompok petekie akan muncul di atas punggung kaki, betis, tangan dan lengan secara
terlokalisir. Beberapa pasien juga dilaporkan mengalami gatal pada kulit. Mungkin dapat
ditemukan nyeri retro-orbital pada pergerakan / penekanan mata. Gejala umum lainnya
mencakup: anoreksia, konstipasi, dan gangguan pengecapan rasa. Gejala ini dapat bertahan
dari beberapa hari hingga beberapa minggu. Gejala perdarahan pada kulit mungkin dapat
ditemukan seperti tourniquet test (+), dan/atau petekie. Jika ini terjadi, maka dapat curiga ke
arah DF with haemorrhagic manifestation. Gejala perdarahan lain seperti epistaksis,
hipermenorrhea, dan gangguan perdarahan saluran cerna jarang ditemukan pada kasus DF.
DF dengan manifestasi perdarahan wajib bisa dibedakan dengan DHF.7,9

8
Tabel 1. Gejala Klinis dari Infeksi Dengue.8

Pemeriksaan tourniquet (+) dan leukopenia (WBC ≤5000 cells/mm3) membantu dalam
penegakan diagnosis infeksi dengue sejak dini. Temuan laboratorium pada area endemis
terhadap infeksi dengue antara lain:7

 Total WBC umumnya normal pada saat onset demam, dengan leukopenia semakin
berkembang ketika terjadi penurunan jumlah neutrophil, berlangsung selama fase
demam.
 Hitung trombosit juga biasanya normal, dengan komponen pembekuan darah lainnya.
Umumnya, populasi pasien dengan DF ditemukan dengan trombositopenia ringan
(100.000-150.000 cells/mm3), namun beberapa pasien masih dapat ditemukan dengan
hitung trombosit <100.000 cells/mm3.
 Peningkatan hematokrit ringan (±10%) dapat ditemukan akibat dari dehidrasi akibat
demam tinggi, muntah, hingga turunnya nafsu makan dan minum.

3.5.3 Dengue Haemorrhagic Fever

Dengue Haemorrhagic Fever sering dijumpai pada anak <15 tahun, diasosiasikan
dengan infeksi dengue berulang. Namun, insidensi DHF pada orang dewasa juga dilaporkan
mengalami peningkatan. DHF dikarakteristikkan dengan demam tinggi onset akut dan
dengan gejala klinis serupa dengan DF pada awal fase demam. Adanya trombositopenia
dengan hemokonsentrasi dapat membedakan antara DHF grade I dan II dengan DF. Di akhir

9
fase demam pada DHF, terdapat kecendrungan untuk mengalami syok hipovolemik (DSS)
akibat adanya gangguan hemostasis disertai kebocoran plasma. Kebocoran plasma secara
selektif terjadi pada rongga pleura dan abdomen. Gejala lain yang harus diperhatikan antara
lain: muntah persisten, nyeri abdomen, sulit untuk istirahat, irritable, dan oligouria. Beberapa
pasien DHF juga melaporkan terdapat nyeri tenggorokan, rasa tidak nyaman pada area
epigastrium, hingga nyeri abdomen secara umum.7

Tabel 2. Gejala Konstitusional Non-Spesifik pada Kasus Demam Berdarah Dengue dan Infeksi Virus
Chikungunya.7

Pemeriksaan test tourniquet positif (≥10 titik/inch2) adalah yang paling mudah diamati
ketika demam masih berada di awal fase. Pada banyak kasus, sering terjadi mudah memar
dan berdarah saat dilakukan pungsi vena. Petekie halus tersebar di ekstremitas, aksila, dan
wajah. Epistaksis dan perdarahan gusi lebih jarang terjadi. Perdarahan saluran cerna maupun
hematuria juga dapat terjadi, namun angka kejadian lebih jarang. Pada periode kritis DHF,
terjadi kebocoran plasma mulai dari transisi fase demam menuju tidak demam. Namun,
adanya kebocoran plasma sulit untuk dideteksi melalui pemeriksaan fisik diawal terjadinya
fase kebocoran plasma. Adanya kehilangan plasma dalam jumlah signifikan dapat berujung
pada syok hipovolemik. Secara klinis, asites dan efusi pleura tidak akan terdeteksi. Namun,
ketika penyakit semakin berat atau setelah diberikan terapi cairan, barulah kebocoran plasma
dapat dideteksi. Pemeriksaan penunjang radiografi (X-ray thorax, posisi dekubitus lateral
kanan dapat meningkatkan sensitivitas) dan ultrasound (USG) dapat mendukung deteksi
klinis DHF. Selain itu, penurunan serum albumin >0,5 gm/dl dari baseline atau <3.5 gm%

10
merupakan bukti tidak langsung dari adanya kebocoran plasma. Pada kasus yang lebih berat,
kondisi pasien dapat memburuk setelah beberapa hari onset demam. Beberapa tanda bahaya
yang perlu diperhatikan antara lain: muntah secara terus menerus, nyeri perut, menolak
asupan oral, gelisah/iritabilitas, oligouria, hingga hipotensi postural.7,9

Syok ditandai dengan denyut nadi yang cepat, namun lemah (penyempitan tekanan
nadi/pulse pressure ≤20 mmHg) atau ketika sudah memasuki tanda hipotensi. Tanda syok
lainnya dapat diamati melalui berkurangnya perfusi jaringan: CRT> 3 detik, kulit dingin
lembab, dan pasien yang mulai gelisah. Jika tidak diberikan pengobatan yang cepat dan tepat,
maka, dapat berisiko terhadap kematian. Jika pasien dapat bertahan dalam kondisi syok,
maka dapat kemungkinan akan menuju fase syok berat (profound shock), dengan tekanan
darah dan/atau denyut nadi menjadi tidak terdeteksi (Grade 4 DHF). Kondisi syok ini
merupakan kondisi reversibel dan berdurasi singkat jika diberikan pengobatan cairan yang
sesuai. Tanpa ada penanganan yang tepat, pasien dapat meninggal dunia dalam waktu 12-24
jam. Pasien dengan syok berkepanjangan dapat berisiko ke arah gangguan asidosis metabolik,
ketidakseimbangan elektrolit, perdarahan di berbagai tempat, hingga gangguan multiorgan
seperti gagal hepar dan ginjal yang sering ditemui.7,8

3.6 Patofisiologi DBD

Patofisiologi dari DENV dan respon imun host masih belum dipahami secara
sepenuhnya. Manifestasi primer dari penyakit mencakup sindrom kebocoran kapiler
(kebocoran plasma akibat disfungsi endotel), trombositopenia (terlihat dari seluruh infeksi
DENV, namun pada DHF lebih parah), kecenderungan untuk perdarahan, dan leukopenia.
Diketahui, viral envelope (E) dari glikoprotein di dalam virus membantu untuk berikatan
dengan sel penjamu, diikuti dengan proses replikasi virus. Data menemukan bahwa monosit
menjadi target utama. Monosit yang telah terinfeksi akan menginduksi produksi daripada
interferon-a (IFN-a) dan IFN – b. Envelope (E), prekursor membrane protein (pre-M), dan
nonstructural protein 1 (NS1) merupakan protein utama DENV yang ditargetkan oleh
antibodi dalam tubuh sebagai bentuk respon imun. Infeksi primer menginduksi kekebalan
seumur hidup terhadap serotipe virus yang bersangkutan, namun tidak terhadap infeksi
sekunder oleh serotipe lain.6

11
Gambar 8. Patofisiologi dari DENV Terhadap Respon Imun Tubuh Manusia.6

3.7 Kriteria Diagnosis Klinis

3.7.1 Dengue Fever

Probable diagnosis dari DF antara lain:7

1. Demam akut dengan 2 atau lebih dari gejala berikut:


 Sakit kepala
 Nyeri di belakang mata
 Nyeri otot (myalgia)
 Nyeri tulang (arthralgia)
 Ruam kemerahan (rash)
 Manifestasi perdarahan
 Leukopenia (≤5000 sel/mm3)
 Trombositopenia (≤150.000 sel/mm3)
 Peningkatan hematokrit (5-10%)

12
2. Dengan setidaknya satu dari gejala berikut:
 Serologi suportif pada sampel serum tunggal: titer ≥1280 dengan
penghambatan tes haemaglutinasi, titer IgG yang sebanding dengan uji
imunosorben terkait enzim, atau testing positif pada IgM tes antibodi, dan
 Kejadian di lokasi dan waktu yang sama dengan kasus demam berdarah
yang dikonfirmasi.

Confirmed diagnosis adalah semua kriteria probable sudah terpenuhi, dengan


setidaknya satu gejala berikut:7

 Isolasi virus dengue dari serum, cairan serebrospinal, ataupun sampel


autopsi
 Peningkatan empat kali lipat atau lebih dalam serum Ig (dengan uji
haemaglutinasi) atau peningkatan IgM antibodi spesifik terhadap virus
dengue
 Deteksi virus dengue atau antigen dalam jaringan, serum, atau cairan
serebrospinal dengan imunohistokimia, imunofluoresensi atau uji
imunosorben terkait enzim
 Deteksi sekuens genom virus dengue dengan reverse transcription-
polymerase chain reaction

3.7.2 Dengue Hemorrhagic Fever

Kriteria diagnosis klinis DHF berupa 2 manifestasi klinis dengan


trombositopenia dan hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit), dapat dianggap
cukup untuk memenuhi diagnosis klinis dari DHF. Temuan pembesaran hepar dengan
tambahan 2 kriteria diagnosis klinis dapat sugestif ke arah DHF sebelum munculnya
tanda kebocoran plasma.7

Manifestasi klinisnya antara lain:7,9

 Demam: onset akut, tinggi, dan kontinyu, dapat berlangsung selama 2-7
hari
 Manifestasi perdarahan: tourniquet positif, petekie, purpura, ekimoisis,
epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis dan/atau melena
 Pembesaran liver (hepatomegali) dapat diobservasi pada 90-98% pasien
anak

13
 Syok, dengan manifestasi berupa takikardi, perfusi jaringan rendah dengan
pulsasi lemah (20 mmHg atau lebih rendah) atau hipotensi dengan
menggigil, kulit lembab dan gelisah

Temuan pemeriksaan laboratorium:7

 Trombositopenia (100.000 sel/mm3 atau lebih rendah)


 Hemokonsentrasi: yaitu hematokrit meningkat ≥20% dari baseline pasien
atau populasi dengan usia yang sama
 Pemeriksaan terhadap efusi pleura (X-ray thorax ataupun USG) menjadi
bukti objektif terjadinya kebocoran plasma dengan hipoalbuminemia
sebagai bukti pendukung

3.7.3 Dengue Shock Syndrome

Kriteria DSS mencakup kriteria DHF dengan tanda syok, seperti:7,9

 Takikardia, ekstremitas dingin, perlambatan pengisian kapiler, pulsasi


lemah, letargis, gelisah (tanda dari rendahnya perfusi ke otak)
 Tekanan pulsasi (pulse pressure) ≤20 mmHg dengan peningkatan tekanan
diastolik. Contoh: 100/80 mmHg
 Hipotensi (menyesuaikan usia), dengan tekanan darah sistolik <80 mmHg
untuk usia <5 thn atau 80-90 mmHg untuk dewasa dan anak-anak yang
lebih tua

Jika terjadi kasus syok, tingginya angka hematokrit dengan trombositopenia


mendukung diagnosis DSS. Kadar LED yang rendah (<10 mm/jam pertama)
membedakan syok pada DSS dengan syok sepsis.7

14
Gambar 9. Perubahan Patofisiologis dari Demam Berdarah Dengue.7

3.8 Derajat Keparahan Demam Berdarah

Berikut adalah derajat keparahan pada demam berdarah dengue:7

Tabel 3. Klasifikasi WHO Terhadap Derajat Keparahan Demam Berdarah Dengue.7

15
Beberapa pasien yang dianggap memiliki risiko tinggi antara lain:7

 Bayi dan usia lanjut


 Obesitas
 Ibu hamil
 Penyakit ulkus peptik
 Wanita dengan menstruasi dan perdarahan vagina tidak normal
 Pasien dengan pengobatan steroid/NSAID
 Penyakit jantung bawaan

3.9 Diagnosis Laboratorium

Diagnosis dan Perjalanan Penyakit Dengue

Viremia pada pasien dengue terjadi dalam waktu singkat, umumnya terjadi dalam 2-3
hari sebelum terjadinya demam, dan berlangsung selama 4-7 hari sakit. Selama periode ini,
bagian dari asam nukleat virus dan antigennya akan bersirkulasi di dalam darah. Antibodi
akan merespon infeksi dengan memunculkan berbagai jenis immunoglobulin; IgM dan IgG
menjadi nilai diagnostik pada demam berdarah.7

Antibodi IgM umumnya akan terdeteksi pada hari ke 3-5 setelah onset penyakit,
meningkat dengan cepat dalam dua minggu dan akan mengalami penurunan hingga menjadi
tidak terdeteksi setelah 2-3 bulan. Antibodi IgG terdeteksi pada tingkatan yang rendah pada
akhir minggu pertama, lalu akan meningkat kemudian dan bertahan pada periode yang lebih
lama (dapat berlangsung selama bertahun-tahun). Oleh karena munculnya antibodi IgM yang
dapat dikatakan terlambat, yaitu setelah 5 hari onset demam, jika melakukan tes serologis
berdasarkan antibodi ini seringkali didapat dengan hasil negatif palsu.7

Ketika terjadi infeksi dengue sekunder (jika sebelumnya host telah terinfeksi virus
dengue), titer antibodi akan meningkat dengan sangat cepat. Antibodi IgG akan dapat bisa
dideteksi pada kadar tinggi, walau pada fase inisial dan akan bertahan selama beberapa bulan
hingga seumur hidup. Kadar antibodi IgM akan secara signifikan lebih rendah pada infeksi
kedua. Dengan demikian, rasio IgM/IgG akan digunakan untuk membedakan infeksi primer
dan sekunder. Infeksi virus didefinisikan sebagai primer jika rasio IgM/IgG >1,2 atau
dianggap sebagai infeksi sekunder jika rasio <1,2. Trombositopenia umumnya diobservasi
antara hari 3 dan hari ke 8 diikuti perubahan hematokrit.7

16
Gambar 10. Perkiraan Waktu Infeksi Virus Dengue Primer dan Sekunder.7

Gambar 11. Perjalanan Penyakit Infeksi Dengue.7

3.10 Komplikasi

Komplikasi Dengue Fever

DF dengan perdarahan dapat terjadi sehubungan dengan penyakit lain yang mendasari
seperti ulkus peptik, trombositopenia berat, maupun riwayat trauma sebelumnya.10

17
Komplikasi Dengue Haemorrhagic Fever

Komplikasi pada DHF berhubungan dengan syok berat/berkepanjangan sehingga


berisiko terhadap asidosis metabolik, perdarahan hebat akibat DIC, hingga kegagalan
multiorgan seperti gagal hepar dan ginjal. Adanya pemberian terapi pengganti cairan setelah
periode kebocoran plasma dapat berisiko terhadap kejadian efusi masif sehingga dapat
mengganggu pernafasan, edema paru akut, gagal jantung (terutama ketika terjadi reabsorbsi
cairan yang telah mengalami ekstravasasi). Risiko terhadap gangguan metabolisme /
elektrolit akibat syok berkepanjangan dengan terapi cairan yang tidak tepat dapat saja terjadi.
Seperti contohnya: hipoglikemia, hiponatremia, hipokalsemia, hingga terkadang
hiperglikemia. Gangguan ini dapat menyebabkan berbagai manifestasi yang tidak lazim
seperti ensefalopati.10

3.11 Manajemen Klinis

Triase Primer

Triase primer wajib dilakukan oleh orang yang sudah terlatih dan kompeten:7

 Jika pasien tiba di rumah sakit dalam kondisi parah/kritis, maka langsung kirim pasien
tersebut ke perawat/asisten medis terlatih.7
 Untuk pasien dengan kondisi yang lebih stabil, maka dapat dilanjutkan sebagai
berikut:7
o Riwayat lamanya demam (jumlah hari) dan memperhatikan tanda bahaya (jika
ada), serta ada tidaknya faktor risiko yang tinggi pada pasien.
o Tes tourniquet dengan menaikkan tekanan menjadi 80 mmHg untuk usia ≥12
tahun dan 60 mmHg untuk anak usia 5-12 tahun selama 5 menit
o Tanda-tanda vital pasien, wajib diperiksa untuk semua pasien. Perhatikan
tanda – tanda penurunan perfusi perifer (tanpa demam, namun dengan
takikardi), wajib segera dirujuk untuk perawatan medis segera, tes darah
lengkap, dan tes kadar gula darah sedini mungkin. Tes darah lengkap yang
disarankan untuk pasien: demam pada kunjungan pertama baseline hematokrit
(HCT), sel darah putih (WBC), dan trombosit (PLT), semua pasien dengan
tanda bahaya, semua pasien dengan gangguan darah/syok (wajib menjalani
pemeriksaan glukosa). Tanda leukopenia dan/atau trombositopenia
mengingatkan untuk dikirim ke tenaga medis segera.

18
o Konsultasi medis sangat direkomendasikan pada pasien dengan: syok, pasien
dengan tanda bahaya dengan penyakit >4 hari.
o Pemberian nasihat pada pasien dan keluarganya harus disampaikan dengan
hati-hati sebelum mengirim pasien pulang (direkomendasikan dilakukan oleh
dokter/perawat). Beberapa saran mencakup: istirahat cukup, asupan cairan oral
atau diet lunak, kompres air hangat ketika demam (selain pemberian
parasetamol). Jika muncul tanda bahaya, segera mencari fasilitas kesehatan
terdekat.

Kunjungan tindak lanjut (follow-up visits) wajib dilakukan untuk semua pasien selama
masa perawatan, terutamanya pada periode kritis yaitu fase afebris dengan tindak
lanjut berupa pemeriksaan darah lengkap untuk mendeteksi ada tidaknya tanda bahaya
dini seperti leukopenia, trombositopenia, dan/atau peningkatan hematokrit.7

3.12 Terapi Simtomatik dan Pengganti Cairan

Tidak ada pengobatan spesifik untuk dengue fever maupun dengue hemorrhagic
fever. Penggunaan obat penurun demam dan pengurang rasa nyeri dapat dikonsumsi untuk
mengurangi gejala berupa demam, nyeri otot, dan yang lainnya. Pengobatan paling baik
adalah asetaminofen ataupun parasetamol. Penggunaan NSAID seperti ibuprofen dan aspirin
sebaiknya dihindari. NSAID diketahui dapat memperberat risiko perdarahan yang ada.12

3.12.1 Dengue Fever

Pasien dengan demam dengue disarankan untuk berobat jalan, tidak perlu
rawat inap. Pada fase demam, disarankan: tirah baring, mengonsumsi obat antipiretik
parasetamol, kompres hangat, minum cairan dan elektrolit per oral (jus buah, susu),
dan monitor suhu, trombosit, dan hematokrit (terutama 2 hari setelah suhu turun)
hingga fase konvalesens. Tanda bahaya yang muncul pada fase kritis antara lain: nyeri
perut hebat, buang air besar hitam, perdarahan (mimisan, perdarahan gusi),
berkeringat dingin. Jika muncul tanda-tanda seperti itu, maka segera dibawa ke rumah
sakit.7

19
Tabel 4. Tanda Bahaya pada Demam Berdarah.7

Tabel 5. Contoh Selebaran Untuk Perawatan Pasien Demam Berdarah di Rumah.7

3.12.2 Dengue Hemorrhagic Fever Grade I, II (Tanpa Syok)

Fase Demam

Tatalaksana DBD fase demam tidak jauh berbeda dengan demam dengue,
yaitu simptomatik dan suportif. Pemberian cairan oral ataupun cairan intravena
(akibat tidak mau minum, muntah, nyeri perut) wajib diberikan. Antipiretik diberikan
sesuai dengan gejala yang muncul, namun perlu diperhatikan bahwa pemberian obat
antipiretik tidak dapat mengurangi lamanya demam pada kasus DBD.7,12

20
Fase Kritis

Fase kritis terjadi di hari ke 3-5 fase demam. Pemeriksaan laboratorium


berkala (terutamanya nilai hematokrit) adalah langkah terbaik untuk dapat
menggambarkan kejadian kebocoran plasma dan menentukan terapi pemberian cairan
intravena. Hematokrit harus diperiksa minimal satu kali sejak hari sakit hari ketiga
sampai suhu dinyatakan normal kembali. Apabila pemeriksaan hematokrit tidak
tersedia (puskesmas), maka dapat dipertimbangkan untuk dilakukan pemeriksaan
hemoglobin sebagai alternatif (Ht = 3x kadar Hb).7,12

Secara umum, volume cairan yang dibutuhkan adalah jumlah cairan rumatan
(maintenance) + 5% defisit (diberikan dalam 48 jam). Pemberian volume cairan
kristaloid isotonik (sebaiknya digunakan selama fase kritis), bertujuan untuk
mempertahankan volume dan sirkulasi intravaskular agar cukup memadai. Pemberian
cairan IV dilakukan apabila asupan cairan pasien tidak adekuat, muntah persisten,
HCT meningkat 10-20% walaupun sudah minum secara oral, syok. Pemberian cairan
secara intravena sebaiknya tidak melebihi 24-48 jam pada pasien dengan syok. Pada
pasien yang tidak mengalami syok, durasi pemberian cairan intravena dapat lebih
lama, namun tidak lebih dari 60-72 jam. Hal ini dikarenakan, pada pasien tanpa syok,
baru saja memasuki periode kebocoran plasma, sementara, pasien syok sudah
mengalami kebocoran plasma yang lebih lama sebelum terapi intravena dimulai.
Kecepatan pemberian cairan intravena sebaiknya disesuaikan dengan situasi klinis
pasien (tanda vital, hematokrit, urin, dewasa/anak-anak). Transfusi platelet tidak
direkomendasikan pada kasus trombositopenia.7,12

Tabel 6. Kebutuhan Cairan Berdasarkan Berat Badan Ideal.7

21
Tabel 7. Perbandingan Antara Cairan Infus.12

Fase Penyembuhan/Konvalesen

Pada fase penyembuhan, ruam konvalesen akan muncul pada daerah


ekstremitas. Reabsorbsi cairan ekstravaskular akan kembali ke dalam intravaskuler,
dan perembesan plasma akan berhenti. Jika pada saat tersebut cairan tidak dikurangi,
akan berisiko terhadap edema palpebra, paru, hingga distress pernafasan.12

Gambar 12. Ruam di Kulit yang Menyeluruh dengan Bercak Putih (Halo)

3.12.3 Demah Berdarah Dengue dengan Syok

Tanda awal pada pasien dengan syok mencakup: gelisah, letargi/lemah,


ekstremitas dingin, bibir sianosis, oliguria, nadi lemah, jarak tekanan sistolik-diastolik
/ pulse pressure (≤20 mmHg), hipotensi, peningkatan mendadak hematokrit/kadar
hematokrit meningkat terus menerus (walau sudah diberikan cairan intravena). Jika
ditemukan hipotensi, wajib mencurigai adanya tanda perdarahan yang parah yang
seringkali terjadi di saluran cerna, sehingga memicu kondisi lebih buruk dari plasma
leakage yang sudah ada.12

22
Manajemen Syok: DHF Grade III (DSS)

Umumnya, resusitasi cairan pada DHF Grade III akan cukup respon dengan
pemberian cairan IV 10 ml/kg/jam pada anak-anak atau 300-500 ml pada dewasa
dalam 1 jam atau bolus jika diperlukan. Pemberian terapi cairan sebaiknya
dipertahankan dalam waktu minimal 24 jam, dan dapat dilepas dalam 36-48 jam.7

Gambar 13. Alur Penggantian Volume Cairan Pasien DSS.7

Sebelum mengurangi kecepatan pemberian cairan intravena, ada baiknya tetap


memperhatikan klinis, tanda vital, urin output, dan tingkat hematokrit untuk
memastikan perbaikan klinis pasien. Jika sudah diberikan terapi cairan yang adekuat,
namun tidak menunjukkan perbaikan klinis, ada baiknya melakukan pemeriksaan lab
berikut:7

23
Tabel 8. Pemeriksaan Laboratorium Pada Pasien dengan Syok Berkepanjangan / Komplikasi Meskipun Volume
Cairan Pengganti Sudah Diberikan.7

Manajemen Shock: DHF Grade IV (Prolonged / Profound Shock)

Resusitasi cairan awal pada derajat ini bersifat lebih massif agar dapat
memulihkan tekanan darah dengan lebih cepat. Pemeriksaan laboratorium (ABCS)
harus dilakukan sesegera mungkin untuk mengetahui organ yang terlibat. 10 ml/kg
cairan bolus diberikan secepat mungkin dalam 10-15 menit. Ketika tekanan darah
sudah kembali pulih, pemberian cairan intravena dapat dikembalikan seperti pada
derajat III. Jika syok tidak pulih setelah pemberian cairan 10 ml/kg pertama, berikan
bolus ulang 10 ml/kg, dan hasil laboratorium harus dicari dan dikoreksi sesegera
mungkin. Transfusi darah yang bersifat mendesak harus dipertimbangkan (curiga
perdarahan internal) sebagai langkah berikutnya dengan pemantauan yang lebih ketat
(kateterisasi kandung kemih, kateterisasi vena sentral, arterial lines). Pemberian
transfusi darah segar/komponen sel darah merah dengan volume kecil 10
ml/kgBB/jam, dapat diulang sampai 30 ml/kgBB/24 jam.

3.13 Kriteria Pemulangan Pasien

Pasien dapat dipulangkan apabila memenuhi semua keadaan dibawah ini:12

 Perbaikan secara klinis


 Bebas demam selama 24 jam tanpa antipiretik
 Tidak ada distress pernafasan (contoh: efusi pleura, asidosis)
 Hematokrit dalam batas stabil
 Trombosit >50.000/µl dan menunjukkan kecenderungan mengalami peningkatan

24
 Tiga hari setelah syok teratasi (hemodinamik stabil)
 Nafsu makan membaik

3.14 Edukasi dan Pemberdayaan Masyarakat

3.14.1 Pengendalian Vektor

Pengendalian Vektor

Pengendalian vektor merupakan upaya untuk menurunkan faktor risiko


penularan oleh vektor dengan meminimalkan habitat perkembangbiakan vektor
hingga memutus rantai penularan penyakit. Pengendalian vektor dapat dilakukan
secara: fisik/mekanik, biologi, kimia.12

Fisik/Mekanik

Beberapa tindakan seperti menguras bak mandi/penampungan air,


menutup rapat tempat penampungan air, memanfaatkan kembali/mendaur
ulang barang bekas (3M). PSN 3M ini dapat memberikan hasil yang baik
apabila dilakukan secara berkesinambungan oleh seluruh lapisan masyarakat.
PSN 3M setidaknya dilakukan minimal seminggu sekali untuk memutus rantai
perkembangbiakan nyamuk menjadi dewasa. PSN 3M diiringi kegiatan Plus,
antara lain: mengganti air vas bunga/tempat air minum burung seminggu
sekali, memperbaiki saluran / talang air, menutup lubang-lubang pada pohon,
menaburkan bubuk larvasida pada daerah yang sulit dikuras, memelihara ikan
pemakan jentik, menghindari menggantuan pakaian dalam kamar,
menggunakan kelambu, memakai obat untuk mencegah gigitan nyamuk.12

Biologi

Menggunakan predator alami seperti ikan pemakan jentuk (cupang,


gabus, guppy) sebagai pengedali vektor DBD.12

Kimia

Pengendalian vektor secara kimiawi menggunakan insektisida yang


banyak digunakan antara lain:12

 Sasaran dewasa: organophospat (malathion, methlpirimiphos), pyrethroid


melalui pengabutan panas/fogging.

25
 Sasaran pra dewasa (jentik) / larva: organophospat (temephos),
piriproxifen.

3.14.2 Upaya Pemberdayaan Masyarakat

Pemberdayaan masyarakat dilaksanakan melalui pendekatan Gerakan 1


Rumah 1 Jumantik disertai dengan upaya Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) 3M
Plus. Gerakan PSN 3M Plus merupakan upaya yang dinilai paling efektif untuk
mencegah terjadinya DBD sekaligus untuk mewujudkan perilaku hidup sehat. Sasaran
dari kegiatan PSN 3M Plus melalui Gerakan 1 Rumah 1 Jumantik, adalah tiap rumah
tangga memiliki satu orang penanggungjawab kegiatan PSN 3M Plus di rumahnya.
Perwakilan yang ditunjuk disebut Jumantik Rumah, harus mampu melaknsanakan
PSN 3M Plus di lingkungan masing-masing dan melakukan pencatatan hasil
pemantauan jentik tiap minggu pada kartu jentik. Untuk tempat-tempat
umum/institusi, pengelola juga harus menugaskan seseorang (Jumantik Lingkungan)
yang mampu bertanggung jawab untuk melaksanakan PSN 3M Plus. Melalui Gerakan
1 Rumah 1 Jumantik, diharapkan semua keluarga:12

 Melaksanakan kegiatan pemantauan jentik dan PSN 3M Plus seminggu sekali


(minimal)
 Mencatat hasil pemantauan jentik di rumah di kartu jentik
 Mengenali tanda dan gejala DBD sehingga dapat melaporkan pada petugas
Kesehatan jika terdapat terduga DBD
 Melaporkan kepada RT/RW, Kepala Desa/Kelurahan jika ada anggota keluarga
diduga menderita DBD
 Membantu kelancaran pengendalian vektor penyakit DBD oleh petugas kesehatan.

26
DAFTAR PUSTAKA

1. Saraswati LPC, Mulyantari NK. Prevalensi demam berdarah dengue (dbd) primer dan
sekunder berdasarkan hasil pemeriksaan serologis di rumah sakit balimed denpasar. E-J
Med. 2017;6(8):1–6.

2. Ikawati B. Aspek kekinian tentang penelitian demam berdarah dengue di pulau jawa dan
sekitarnya. BALABA. 2018;14(1):85–94.

3. Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI. Situasi penyakit demam berdarah
di indonesia tahun 2017. InfoDATIN. 2018;1–7.

4. Widjajanti W, Ayuningtyas RTD, Adnyana NWD. Indeks entomologi vektor demam


berdarah dengue di tiga kabupaten di provinsi bali. Vektora. 2019;11:11–20.

5. Centers for Disease Control and Prevention. Life cycle of aedes aegypti and ae.
albopictus mosquitoes [Internet]. 2020 [cited 2021 Dec 8]. Available from:
https://www.cdc.gov/mosquitoes/about/life-cycles/aedes.html

6. Kothai R, Arul B. Dengue fever: an overview. In: Aparecida Sperança M, editor. Dengue
fever in a one health perspective [Internet]. United Kingdom: IntechOpen; 2020 [cited
2021 Dec 8]. Available from: https://www.intechopen.com/books/dengue-fever-in-a-one-
health-perspective/dengue-fever-an-overview

7. World Health Organization. Comprehensive guidelines for prevention and control of


dengue and dengue haemorrhagic fever. 2nd ed. New Delhi: World Health Organization;
2011. 3-42 p.

27
8. Wang W-H, Urbina AN, Chang MR, Assavalapsakul W, Lu P-L, Chen Y-H, et al.
Dengue hemorrhagic fever – a systemic literature review of current perspectives on
pathogenesis, prevention and control. J Microbiol Immunol Infect. 2020;53(6):963–78.

9. Kalayanarooj S. Clinical manifestations and management of dengue/dhf/dss. Trop Med


Health. 2011;39:S83–7.

10. WHO. Dengue and severe dengue [Internet]. 2021 [cited 2021 Dec 27]. Available from:
https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/dengue-and-severe-dengue

11. CDC. Dengue case management for clinicians [Internet]. 2021 [cited 2021 Dec 27].
Available from: ttps://www.cdc.gov/dengue/resources/dengue-clinician-guide_508.pdf

12. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman pencegahan dan pengendalian


demam berdarah dengue di indonesia. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI; 2017. 22-32 p.

28

Anda mungkin juga menyukai