Anda di halaman 1dari 12

Nama : Vitra Nurdian Cahyani

NIM : 6411422098

Rombel : 3B Kesehatan Masyarakat

RESUME MK EPIDEMIOLOGI PENYAKIT MENULAR

Dosen pengampu: dr. Arulita Ika Fibriana, M. Kes

DENGUE FEVER

A. Definisi
Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit yang disebabkan oleh virus
dengue dan ditularkan melalui vektor nyamuk Aedes sp. Kasus DBD banyak
ditemukan pada musim penghujan ketika muncul banyak genangan air dari
wadah/media yang menampung air hujan menjadi tempat perindukan nyamuk.
Sampai dengan saat ini jumlah kabupaten/kota terjangkit DBD di Indonesia sebanyak
477 kabupaten/kota atau sebesar 92,8% dari seluruh kabupaten/kota yang ada di
Indonesia. Jumlah ini cenderung meningkat sejak tahun 2010 sampai dengan 2019
(Arisanti & Suryaningtyas, 2021). DBD (Demam Berdarah Dengue) adalah suatu
penyakit yang disebabkan oleh virus dengue tipe 1-4, dengan manifestasi klinis
demam mendadak 2-7 hari disertai gejala perdarahan dengan atau tanpa syok, disertai
pemeriksaan laboratorium menunjukkan trombositopenia (trombosit kurang dari
100.000) dan peningkatan hematokrit 20% atau lebih dari nilai normal (Putri et al.,
2019).

B. Vektor
Demam berdarah dengue ditularkan oleh nyamuk Ae. aegypti yang menjadi
vektor utama serta Ae. albopictus yang menjadi vektor pendamping. Kedua spesies
nyamuk itu ditemukan di seluruh wilayah Indonesia, hidup optimal pada ketinggian di
atas 1000 di atas permukaan laut, tapi dari beberapa laporan dapat ditemukan pada
daerah dengan ketinggian sampai dengan 1.500 meter, bahkan di India dilaporkan
dapat ditemukan pada ketinggian 2.121 meter serta di Kolombia pada ketinggian
2.200 meter. Nyamuk Aedes berasal dari Brazil dan Ethiopia, stadium dewasa
berukuran lebih kecil bila dibandingkan dengan rata-rata nyamuk lainnya (Candra,
2010).
Kedua spesies nyamuk tersebut termasuk ke dalam Genus Aedes dari Famili
Culicidae. Secara morfologis keduanya sangat mirip, namun dapat dibedakan dari
strip putih yang terdapat pada bagian skutumnya. Skutum Ae. aegypti berwarna hitam
dengan dua strip putih sejajar di bagian dorsal tengah yang diapit oleh dua garis
lengkung berwarna putih. Sedangkan skutum Ae. albopictus yang juga berwarna
hitam hanya berisi satu garis putih tebal di bagian dorsalnya.
Nyamuk Ae. aegypti mempunyai dua subspesies yaitu Ae. aegypti
queenslandensis dan Ae. aegypti formosus. Subspesies pertama hidup bebas di Afrika,
sedangkan subspecies kedua hidup di daerah tropis yang dikenal efektif menularkan
virus DBD. Subspesies kedua lebih berbahaya dibandingkan subspecies pertama.

C. Epidemiologi
Sejak 20 tahun terakhir, terjadi peningkatan frekuensi infeksi virus dengue
secara global. Di seluruh dunia 50-100 milyar kasus telah dilaporkan. Setiap tahunnya
sekitar 500.000 kasus DBD perlu perawatan di rumah sakit, 90% diantaranya adalah
anak – anak usia kurang dari 15 tahun. Angka kematian DBD diperkirakan sekitar 5%
dan sekitar 25.000 kasus kematian dilaporkan setiap harinya.

D. Etiologi dan Transmisi


DBD diketahui disebabkan oleh virus dengue. Virus dengue merupakan RNA
virus dengan nukleokapsid ikosahedral dan dibungkus oleh lapisan kapsul lipid. Virus
ini termasuk kedalam kelompok arbovirus B, famili Flaviviridae, genus Flavivirus.
Flavivirus merupakan virus yang berbentuk sferis, berdiameter 45-60 nm, mempunyai
RNA positif sense yang terselubung, bersifat termolabil, sensitif terhadap inaktivasi
oleh dietil eter dan natrium dioksikolat, stabil pada suhu 70oC 4,7. Virus dengue
mempunyai 4 serotipe, yaitu DEN 1, DEN 2, DEN 3, DEN 4. Manifestasi klinis
dengue selain dipengaruhi oleh virus dengue itu sendiri, terdapat 2 faktor lain yang
berperan yaitu faktor host dan vektor perantara. Virus dengue dikatakan menyerang
manusia dan primata yang lebih rendah. Penelitian di Afrika menyebutkan bahwa
monyet dapat terinfeksi virus ini. Transmisi vertikal dari ibu ke anak telah dilaporkan
kejadiannya di 3 Bangladesh dan Thailand. Vektor utama dengue di Indonesia adalah
Aedes aegypti betina, disamping pula Aedes albopictus betina. Ciri-ciri nyamuk
penyebab penyakit demam berdarah (nyamuk Aedes aegypti):

 Badan kecil, warna hitam dengan bintik-bintik putih

 Hidup di dalam dan di sekitar rumah

 Menggigit/menghisap darah pada siang hari

 Senang hinggap pada pakaian yang bergantungan dalam kamar

 Bersarang dan bertelur di genangan air jernih di dalam dan di sekitar rumah bukan
di got/comberan

 Di dalam rumah: bak mandi, tampayan, vas bunga, tempat minum burung, dan lain-
lain

Jika seseorang terinfeksi virus dengue digigit oleh nyamuk Aedes aegypti,
maka virus dengue akan masuk bersama darah yang diisap olehnya. Di dalam tubuh
nyamuk itu virus dengue akan berkembang biak dengan cara membelah diri dan
menyebar ke seluruh bagian tubuh nyamuk. Sebagian besar virus akan berada dalam
kelenjar air liur nyamuk. Jika nyamuk tersebut menggigit seseorang maka alat tusuk
nyamuk (proboscis) menemukan kapiler darah, sebelum darah orang itu diisap maka
terlebih dahulu dikeluarkan air liurnya agar darah yang diisapnya tidak membeku.
Bersama dengan air liur inilah virus dengue tersebut ditularkan kepada orang lain.
E. Perjalanan Ilmiah Penyakit
Masa inkubasi virus dengue dalam manusia (inkubasi intrinsik) berkisar antara
3 sampai 14 hari sebelum gejala muncul, gejala klinis rata-rata muncul pada hari
keempat sampai hari ke-7, sedangkan masa inkubasi ekstrinsik (di dalam tubuh
nyamuk) berlangsung sekitar 8-10 hari. Manifestasi klinis mulai dari infeksi tanpa
gejala demam, demam dengue (DD) dan DBD, ditandai dengan demam tinggi terus
menerus selama 2-7 hari; pendarahan diatesis seperti uji tourniquet positif, trom-
bositopenia dengan jumlah trombosit ≤ 100 x 109/L dan kebocoran plasma akibat
peningkatan permeabilitas pembuluh darah (WHO, 2003).
Tiga tahap presentasi klinis diklasifikasikan sebagai demam, beracun dan
pemulihan. Tahap beracun, yang berlangsung 24-48 jam, adalah masa paling kritis,
dengan kebocoran plasma cepat yang mengarah ke gangguan peredaran darah.
Terdapat 4 tahapan derajat keparahan DBD, yaitu derajat I dengan tanda terdapat
demam disertai gejala tidak khas dan uji torniket positif; derajat II yaitu derajat I
ditambah ada perdarahan spontan di kulit atau perdarahan lain, derajat III yang
ditandai adanya kegagalan sirkulasi yaitu nadi cepat dan lemah serta penurunan
tekanan nadi ≤20 mmHg hipotensi (menurun sampai ≤80 mmHg) sianosis di sekitar
mulut, akral dingin, kulit lembab dan pasen tampak gelisah; serta derajat IV yang
ditandai dengan syok berat (profound shock) yaitu nadi tidak dapat diraba dan tekanan
darah tidak terukur.
Patofisiologi primer DBD dan dengue syock syndrome (DSS) adalah
peningkatan akut permeabilitas vaskuler yang mengarah ke kebocoran plasma ke
dalam ruang ekstravaskuler, sehingga menimbulkan hemokonsentrasi dan penurunan
tekanan darah. Pada kasus berat, volume plasma menurun lebih dari 20%, hal ini
didukung penemuan post mortem meliputi efusi pleura, hemokonsentrasi dan
hipoproteinemi. (Novriani, 2002)
Setelah masuk dalam tubuh manusia, virus dengue berkembang biak dalam sel
retikuloendotelial yang selanjutnya diikuti dengan viremia yang berlangsung 5-7 hari.
Akibat infeksi ini, muncul respon imun baik humoral maupun selular, antara lain anti
netralisasi, antihemaglutinin dan anti komplemen. Antibodi yang muncul pada
umumnya adalah IgG dan IgM, pada infeksi dengue primer antibodi mulai ter-
bentuk, dan pada infeksi sekunder kadar antibodi yang telah ada jadi meningkat
(Septarini, 2017).
Antibodi terhadap virus dengue dapat ditemukan di dalam darah sekitar
demam hari ke-5, meningkat pada minggu pertama sampai dengan ketiga, dan
menghilang setelah 60-90 hari. Kinetik kadar IgG berbeda dengan kinetik kadar
antibodi IgM, oleh karena itu kinetik antibodi IgG harus dibedakan antara infeksi
primer dan sekunder. Pada infeksi primer antibodi IgG meningkat sekitar demam hari
ke-14 sedangkan pada infeksi sekunder antibodi IgG meningkat pada hari kedua. Oleh
karena itu diagnosa dini infeksi primer hanya dapat ditegakkan dengan mendeteksi
antibodi IgM setelah hari sakit kelima, diagnosis infeksi sekunder dapat ditegakkan
lebih dini dengan adanya peningkatan antibodi IgG dan IgM yang cepat.

F. Cara Penularan
Terdapat tiga faktor yang memegang peranan pada penularan infeksi virus
dengue, yaitu mausia, virus dan vektor perantara. Virus dengue ditularkan kepada
manusia melalui nyamuk Aedes Aegypti. Aedes albopictus, Aedes polynesiensis dan
beberapa spesies yang lain dapat juga menularkan virus ini, namun merupakan vektor
yang kurang berperan. Aedes tersebut mengandung virus dengue pada saat menggigit
manusia yang sedang mengalami viremia. Kemudian virus yang berada di kelenjar
liur berkembang biak dalam waktu 8 – 10 hari (extrinsic incubation period) sebelum
dapat di tularkan kembali pada manusia pada saat gigitan berikutnya. Sekali virus
dapat masuk dan berkembang biak di dalam tubuh nyamuk tersebut akan dapat
menularkan virus selama hidupnya (infektif).
Dalam tubuh manusia, virus memerlukan waktu masa tunas 4–6 hari (intrinsic
incubation period) sebelum menimbulkan penyakit. Penularan dari manusia kepada
nyamuk dapat terjadi bila nyamuk menggigit manusia yang sedang mengalami
viremia, yaitu 2 hari sebelum panas sampai 5 hari setelah demam timbul (Nuryati,
2012).

G. Faktor Risiko
Faktor individu meliputi usia, jenis kelamin, ras, status gizi, infeksi sekunder, dan
respon inang serta dapat ditinjau pula dari faktor pengetahuan (kognitif) individu,
sikap (afektif) seseorang dan tindakan (konatif) yang dilakukan terkait DBD. Faktor
penyebab (agent) terdiri dari jenis dan serotipe virus dengue, serta vektor penyakit
DBD yaitu Aedes aegypti dan Aedes albopictus. Sedangkan faktor epidemiologi yaitu
jumlah kasus, identifikasi virus, virulensi, hiperendemik, kondisi lingkungan seperti
fisik (kepadatan rumah, keberadaan kontainer, suhu, kelembaban, curah hujan),
biologis (keberadaan tanaman hias, pekarangan, jentik nyamuk), dan sosial
(pendidikan, pekerjaan, penghasilan, mobilitas penduduk, kepadatan penduduk,
pemberantasan sarang nyamuk) (Lardo et al, 2018; Rismawati & Nurmala, 2017;
Fransisco et al, 2018 dalam (Husna et al., 2020)).
Sedangkan aktor-faktor risiko yang dapat mempengaruhi terjadinya penyakit
demam berdarah menurut (Selni, 2020) diantaranya:
1. Lingkungan rumah (jarak rumah, tata rumah, jenis kontainer, ketinggian tempat
dan iklim)
Jarak antara rumah mempengaruhi penyebaran nyamuk dari satu rumah ke
rumah lain, semakin dekat jarak antar rumah semakin mudah nyamuk menyebar
kerumah sebelah menyebelah. Bahan-bahan pembuat rumah, konstruksi rumah,
warna dinding dan pengaturan barang-barang dalam rumah menyebabkan rumah
tersebut disenangi atau tidak disenangi oleh nyamuk. Berbagai penelitian penyakit
menular membuktikan bahwa kondisi perumahan yang berdesak-desakan dan
kumuh mempunyai kemungkinan lebih besar terserang penyakit.
Macam kontainer, termasuk macam kontainer disini adalah jenis/bahan
kontainer, letak kontainer, bentuk, warna, kedalaman air, tutup dan asal air
mempengaruhi nyamuk dalam pemilihan tempat bertelur.7,10 Ketingian tempat,
pengaruh variasi ketinggian berpengaruh terhadap syarat-syarat ekologis yang
diperlukan oleh vektor penyakit. Di Indonesia nyamuk Aedes aegypti dan Aedes
albopictus dapat hidup pada daerah dengan ketinggian 1000 meter diatas
permukaan laut. Iklim adalah salah satu komponen pokok lingkungan fisik, yang
terdiri dari: suhu udara, kelembaban udara, curah hujan dan kecepatan angin.
2. Lingkungan biologi yang mempengaruhi penularan DBD terutama adalah
banyaknya tanaman hias dan tanaman pekarangan, yang mempengaruhi
kelembaban dan pencahayaan didalam rumah. Adanya kelembaban yang tinggi
dan kurangnya pencahayaan dalam rumah merupakan tempat yang disenangi
nyamuk untuk hinggap beristirahat.
3. Lingkungan Sosial, kebiasaan masyarakat yang merugikan kesehatan dan kurang
memperhatikan kebersihan lingkungan seperti kebiasaan menggantung baju,
kebiasaan tidur siang, kebiasaan membersihkan TPA, kebiasaan membersihkan
halaman rumah, dan juga partisipasi masyarakat khususnya dalam rangka
pembersihan sarang nyamuk, maka akan menimbulkan resiko terjadinya transmisi
penularan penyakit DBD di dalam masyarakat. Kebiasaan ini akan menjadi lebih
buruk dimana masyarakat sulit mendapatkan air bersih, sehingga mereka
cenderung untuk menyimpan air dalam tandon bak air, karena TPA tersebut sering
tidak dicuci dan dibersihkan secara rutin pada akhirnya menjadi potensial sebagai
tempat perindukan nyamuk Aedes aegypti.

H. Prognosis
Prognosis DHF ditentukan oleh derajat penyakit, cepat tidaknya penanganan
diberikan, umur, dan keadaan nutrisi. Prognosis DBD derajat I dan II umumnya baik.
DBD derajat III dan IV bila dapat dideteksi secara cepat maka pasien dapat ditolong.
Angka kematian pada syok yang tidak terkontrol sekitar 40-50 % tetapi dengan terapi
penggantian cairan yang baik bisa menjadi 1-2 %. Penelitian pada orang dewasa di
Surabaya, Semarang, dan Jakarta memperlihatkan bahwa prognosis dan perjalanan
penyakit DHF pada orang dewasa umumnya lebih ringan daripada anak-anak. Pada
kasus- kasus DHF yang disertai komplikasi sepeti DIC dan ensefalopati prognosisnya
buruk.

I. Pengendalian Vektor
Secara garis besar ada cara pengendalian vector menurut (Selni, 2020) antara lain:
a) pengendalian cara kimiawi, pada pengendalian kimiawi digunakan insektisida yang
ditujukan pada nyamuk dewasa atau larva. Insektisida yang dapat digunakan adalah
dari golongan organoklorin, organopospor, karbamat, dan pyrethoid.
b) Pengendalian hayati atau biologik, menggunakan kelompok hidup, baik dari
golongan mikroorganisme hewan invertebrata atau vertebrata. Sebagai pengendalian
hayati dapat berperan sebagai patogen, parasit, dan pemangsa. Beberapa jenis ikan
kepala timah (Panchaxpanchax), ikan gabus (Gambusia afffinis) adalah pemangsa
yang cocok untuk larva nyamuk.
c) Pengendalian lingkungan, pencegahan yang paling tepat dan efektif dan aman
untuk jangka panjang adalah dilakukan dengan program Pemberantasan Sarang
Nyamuk (PSN) dan 3M yaitu: menguras bak mandi, bak penampungan air, tempat
minum hewan peliharaan. Menutup rapat tempat penampungan air sedemikian rupa
sehingga tidak dapat diterobos oleh nyamuk dewasa. Mengubur barang bekas yang
sudah tidak terpakai, yang kesemuanya dapat menampung air hujan sebagai tempat
berkembang biaknya nyamuk Aedes aegypty.
J. Pencegahan
Pencegahan penyakit DBD dapat dibagi menjadi 3 tingkatan yaitu pencegahan primer,
pencegahan sekunder, dan pencegahan tersier (Depkes RI, 2012)
A. Pencegahan Primer
Pencegahan primer adalah tahap awal dari ketiga tahap pencegahan suatu
penyakit. Pada tahap ini dilakukan penyuluhan dan proteksi spesifik untuk
mengendalikan penyakit yang bersangkutan. Indonesia adalah Negara yang
mempunyai program tersendiri untuk mengendalikan penyakit Demam Berdarah
Dengue. Program itu bernama Gerttak PSN (Gerakan Seretak Pembasmian Sarang
Nyamuk). Mengingat keterbatasan dana dan sarana yang dimiliki oleh Negara,
maka kegiatan penyuluhan dan penggerakkan masyarakat dalam PSN Demam
Berdarah Dengue dilaksanakan melalui kerja sama lintas sektor serta lintas
program, termasuk LSM yang terkait penyuluhan, bimbingan dan motivasi kepada
masyarakat. Kegiatan ini bertujuan untuk mewujudkan kemandirian masyarakat
dalam mencegah penyakit demam berdarah dengue. Demam berdarah dapat
dicegah dengan memberantas jentik-jentik nyamuk Demam Berdarah (Aedes
aegypti) dengan cara melakukan PSN (Pembersihan Sarang Nyamuk) Upaya ini
merupakan cara yang terbaik, ampuh, murah, mudah dan dapat dilakukan oleh
masyarakat, dengan cara sebagai berikut:
1. Bersihkan (kuras) tempat penyimpanan air (seperti: bak mandi / WC, drum, dan
lain-lain) sekurang-kurangnya seminggu sekali. Gantilah air di vas kembang,
tempat minum burung, perangkap semut dan lain-lain sekurang-kurangnya
seminggu sekali
2. Tutuplah rapat-rapat tempat penampungan air, seperti tampayan, drum, dan
lain-lain agar nyamuk tidak dapat masuk dan berkembang biak di tempat itu
3. Kubur atau buanglah pada tempatnya barang-barang bekas, seperti kaleng
bekas, ban bekas, botol-botol pecah, dan lain-lain yang dapat menampung air
hujan, agar tidak menjadi tempat berkembang biak nyamuk. Potongan bamboo,
tempurung kelapa, dan lain-lain agar dibakar bersama sampah lainnya
4. Tutuplah lubang-lubang pagar pada pagar bambu dengan tanah atau adukan
semen
5. Lipatlah pakaian/kain yang bergantungan dalam kamar agar nyamuk tidak
hinggap disitu
6. Untuk tempat-tempat air yang tidak mungkin atau sulit dikuras, taburkan bubuk
ABATE ke dalam genangan air tersebut untuk membunuh jentik-jentik nyamuk.
Dalam rangka peningkatan penggerakkan masyarakat dalam PSN Demam
Berdarah Dengue secara intensif, pemerintah juga melakukan pembinaan dan
pemantapan terhadap Pokjanal/Pokja Demarn Berdarah Dengue melalui orientasi
secara berjenjang, dengan memperioritaskan Kecamatan endemis Demam
Berdarah Dengue. Tidak hanya PSN, pemerintah melalui Dinas Kesehatan juga
mempunyai tim khusus dalam bidang Surveilans DBD. Tim dengan lambing
sepatu bolong ini akan selalu siap untuk turun ke lapangan untuk memperoleh
data yang diinginkan.
Surveilans untuk nyamuk Aedes aegypti ini sangat penting untuk menentukan
distribusi, kepadatan populasi, habitat utama larva, faktor resiko berdasarkan
waktu dan tempat yang berkaitan dengan penyebaran dengue, dan tingkat
kerentanan atau kekebalan insektisida yang dipakai untuk memprioritaskan
wilayah dan musim untuk pelaksanaan pengendalian vektor. Data tersebut akan
memudahkan pemilihan dan penggunaan sebagian besar peralatan pengendalian
vektor, dan dapat dipakai untuk memantau keefektifannya. Salah satu kegiatan
yang dilakukan adalah survei jentik.
Selain penyuluhan dan surveilans, pemerintah juga mempunyai satu program
yang diberi nama fogging. Fogging atau pengasapan ini dilakukan untuk
memberantas nyamuk dewasa. Penyemprotan ini dilakukan dengan manggunakan
zat kimia berupa pestisida. Untuk membasmi penularan virus dengue,
penyemprotan dilakukan 2 siklus dengan interval 1 minggu. Pada penyemprotan
siklus pertama, semua nyamuk yang mengandung virus dengue dan nyamuk-
nyamuk lainnya akan mati. Tetapi akan segera muncul nyamuk-nyamuk baru yang
diantaranya akan menghisap darah pada penderita viremia (pasien yang positif
terinfeksi DBD) yang masih dapat menimbulkan terjadinya penularan kembali,
oleh karena itu perlu dilakukan penyemprotan yang kedua agar nyamuk baru yang
infektif tersebut akan terbasmi sebelum sempat menularkan pada orang lain.
Tindakan penyemprotan dapat membasmi penularan akan tetapi tindakan ini harus
diikuti dengan pemberantasan terhadap jentiknya agar populasi nyamuk penular
dapat diminimalisir.
B. Pencegahan Sekunder
Pencegahan tingkat kedua ini murupakan upaya manusia untuk mencegah orang
yang sakit agar sembuh, menghambat progresifitas penyakit, menghindarkan
komplikasi dan mengurangi ketidakmampuan. Pencegahan sekunder dapat
dilakukan dengan cara mendeteksi penyakit secara dini dan pengadaan
pengobatan yang cepat dan tepat. Penemuan, pertolongan, dan pelaporan
penderita DBD dilaksanakan oleh petugas kesehatan dan masyarakat dengan cara:
1) Bila dalam keluarga ada yang menunjukkan gejala penyakit DBD, berikan
pertolongan pertama dengan banyak minum, kompres dingin dan berikan obat
penurun panas yang tidak mengandung asam salisilat serta segera bawa ke dokter
atau unit pelayanan kesehatan.
2) Dokter atau unit kesehatan setelah melakukan pemeriksaan/diagnosa dan
pengobatan segaera melaporkan penemuan penderita atau tersangka DBD tersebut
kepada Puskesmas, kemudian pihak Puskesmas yang menerima laporan segera
melakukan penyelidikan epidemiologi dan pengamatan penyakit dilokasi
penderita dan rumah disekitarnya untuk mencegah kemungkinan adanya
penularan lebih lanjut.
3) Kepala Puskesmas melaporkan hasil penyelidikan epidemiologi dan
kejadianluar biasa (KLB) kepada Camat, dan Dinas Kesehatan Kota/Kabupaten,
disertai dengan cara penanggulangan seperlunya diagnosis laboratorium.
C. Pencegahan Tersier
Pencegahan ini dimaksudkan untuk mengurangi ketidakmampuan dan
mengadakan rehabilitasi. Upaya pencegahan ini dapat dilakukan dengan:
1) Transfusi Darah Penderita yang menunjukkan gejala perdarahan seperti
hematemesis dan malena diindikasikan untuk mendapatkan transfusi darah
secepatnya.
2) Stratifikasi Daerah Rawan DBD Menurut Kemenkes RI, adapun jenis kegiatan
yang dilakukan disesuaikan dengan stratifikasi daerah rawan seperti:
• Endemis Yaitu Kecamatan, Kelurahan, yang dalam 3 tahun terakhir selalu ada
kasus DBD. Kegiatan yang dilakukan adalah fogging Sebelum Musim Penularan
(SMP), Abatisasi selektif, dan penyuluhan kesehatan kepada masyarakat.
• Sporadis Yaitu Kecamatan, Kelurahan, yang dalam 3 tahun terakhir ada kasus
DBD. Kegiatan yang dilakukan adalah Pemeriksaan Jentik Berkala (PJB), PSN
(Pemberantasan Sarang Nyamuk) dan 3M, penyuluhan tetap dilakukan.
• Potensial Yaitu Kecamatan, Kelurahan, yang dalam 3 tahun terakhir tidak ada
kasus DBD. Tetapi penduduknya padat, mempunyai hubungan transportasi
dengan wilayah lain dan persentase rumah yang ditemukan jentik > 5%. Kegiatan
yang dilakukan adalah PJB, PSN, 3M dan penyuluhan.
• Bebas Yaitu Kecamatan, Kelurahan yang tidak pernah ada kasus DBD.
Ketinggian dari permukaan air laut > 1000 meter dan persentase rumah yang
ditemukan jentik ≤ 5%. Kegiatan yang dilakukan adalah PJB, PSN, 3M dan
penyuluhan
Ulangi hal ini setiap 2-3 bulan sekali 17 Takaran penggunaan bubuk ABATE adalah
sebagai berikut: Untuk 10 liter air cukup dengan 1 gram bubuk ABATE. Untuk
menakar ABATE digunakan sendok makan. Satu sendok makan peres berisi 10 gram
ABATE. Setelah dibubuhkan ABATE maka:
1. Selama 3 bulan bubuk ABATE dalam air tersebut mampu membunuh jentik Aedes
aegypti
2. Selama 3 bulan bila tempat penampungan air tersebut akan dibersihkan/diganti
airnya, hendaknya jangan menyikat bagian dalam dinding tempat penampungan air
tersebut
3. Air yang telah dibubuhi ABATE dengan takaran yang benar, tidak membahayakan
dan tetap aman bila air tersebut diminum
DAFTAR PUSTAKA

Arisanti, M., & Suryaningtyas, N. H. (2021). Kejadian Demam Berdarah Dengue (Dbd) Di
Indonesia Tahun 2010-2019. Spirakel, 13(1), 34–41.
https://doi.org/10.22435/spirakel.v13i1.5439

Candra, A. (2010). Demam Berdarah Dengue : Epidemiologi , Patogenesis , dan Faktor


Risiko Penularan Dengue Hemorrhagic Fever : Epidemiology , Pathogenesis , and Its
Transmission Risk Factors. Demam Berdarah Dengue: Epidemiologi, Patogenesis, Dan
Faktor Risiko Penularan, 2(2), 110–119.

Husna, I., Putri, D. F., Triwahyuni, T., & Kencana, G. B. (2020). Analisis Faktor yang
Mempengaruhi Kejadian Demam Berdarah Dengue di Wilayah Kerja Puskesmas Way
Kandis Bandar Lampung Tahun 2020. Jurnal Analis Kesehatan, 9(1), 9.
https://doi.org/10.26630/jak.v9i1.2111

Nuryati, E. (2012). Analisis Spasial Kejadian Demam Berdarah Dengue Di Kota Bandar
Lampung Tahun 2006-2008. Jurnal Ilmiah Kesehatan, 1(2).
https://doi.org/10.35952/jik.v1i2.80

Putri, D. F., Widiani, N., & Arivo, D. (2019). PENYEBARAN VIRUS DENGUE SECARA
TRANSOVARIAL PADA VEKTOR DEMAM BERDARAH DENGUE NYAMUK
Aedes aegypti. Holistik Jurnal Kesehatan, 12(4), 216–223.
https://doi.org/10.33024/hjk.v12i4.81

Selni, P. S. M. (2020). Faktor - Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Demam


Berdarah Dengue Pada Balita. Jurnal Kebidanan, 9(2), 89–96.
https://doi.org/10.35890/jkdh.v9i2.161

Septarini, N. W. (2017). Modul Metode Pengendalian Penyakit Menular Penyakit Yang


Ditularkan Melalui Vektor. 1–33.

Anda mungkin juga menyukai