Anda di halaman 1dari 28

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN NOVEMBER 2022


UNIVERSITAS HALU OLEO

DEMAM DENGUE

Oleh :

Putri Dwiyana, S.Ked

K1B1 22 001

Pembimbing

dr.Hj.Musyawarah, Sp.A

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HALUOLEO
KENDARI
2022
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertandatangan di bawah ini, menyatakan bahwa :


Nama : Putri Dwiyana, S.Ked

Stambuk : K1B1 22 001

Judul Kasus : Demam dengue

Telah menyelesaikan tugas laporan kasus dalam rangka kepaniteraan klinik


pada Bagian Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran, Universitas Halu Oleo.

Kendari, Oktober 2022


Mengetahui Pembimbing,

dr.Hj.Musyawarah Sp.A
DEMAM DENGUE

A. PENDAHULUAN
Asal kata “dengue” berasal dari frase Swahili ka-dinga pepo yang
menggambarkan penyakit yang disebabkan oleh roh jahat. Kata Swahili
Dinga berasal dari kata Spanyol demam berdarah, yang berarti cerewet atau
hati-hati yang akan menggambarkan kiprah seseorang menderita sakit
tulang akibat demam berdarah. Istilah Break Bone Fever diterapkan oleh
Benjamin Rush dalam 1789 laporan dari epidemi Philadelphia. Dia
menggunakan nama "bilious remitting fever". Syarat demam berdarah mulai
digunakan setelah tahun 1828.1
Catatan pertama dari kasus kemungkinan demam berdarah ada di
Cina ensiklopedia medis dari Dinasti Jin (265-420AD) yang mengacu pada
"racun air" terkait dengan serangga terbang. Pada tahun 1906, nyamuk
Aedes menularkan demam berdarah dikonfirmasi dan pada tahun 1907,
Dengue merupakan penyakit kedua setelah “demam kuning” yang terbukti
disebabkan oleh virus.1
Demam Berdarah Dengue demam pertama kali dilaporkan di
Filipina pada tahun 1953, dan pada tahun 1981 di Amerika Selatan. Infeksi
dengue merupakan sekelompok penyakit yang disebabkan oleh virus
dengue pada manusia. Penyakit tersebut dibagi menjadi Demam Dengue
(DD), Demam Berdarah Dengue (DBD), dan Expanded Dengue Syndrome
(EDS). Virus dengue termasuk golongan arthropod-borne viruses, genus
flavivirus, famili flaviviridae. Virus ini memiliki 4 serotipe (DENV-1,
DENV-2, DENV-3 dan DENV-4) yang telah teridentifikasi bersirkulasi di
sebagian belahan dunia terutama pada daerah tropis dan subtropis, termasuk
Indonesia. Saat ini sekitar 2,5 milyar atau lebih kurang 40% penduduk dunia
tinggal di wilayah yang memiliki risiko penularan infeksi dengue. Badan
Kesehatan Dunia atau WHO memperkirakan sekitar 50 sampai 100 juta
kejadian infeksi dengue setiap tahunnya.2
Di Indonesia, istilah DBD lebih dikenal oleh sebagian besar
masyarakat umum untuk mendeskripsikan penyakit yang disebabkan
infeksi virus dengue. Infeksi dengue adalah penyakit infeksi virus akut yang
disebabkan oleh virus dengue yang ditandai demam 2–7 hari disertai dengan
manifestasi perdarahan, penurunan trombosit (trombositopenia), adanya
hemokonsentrasi yang ditandai kebocoran plasma (peningkatan hematokrit,
asites, efusi pleura, hipoalbuminemia). Infeksi dengue dapat disertai gejala-
gejala tidak khas seperti nyeri kepala, nyeri otot dan tulang, ruam kulit atau
nyeri belakang bola mata.2
B. DEFINISI
Dengue adalah penyakit menular yang disebabkan oleh salah satu
dari empat serotipe virus dengue: DENV 1-4. Ini adalah penyakit yang
ditularkan nyamuk dan terutama ditularkan ke manusia oleh nyamuk Aedes
betina. Penyakit ini terutama ditemukan di daerah tropis dan subtropis,
menempatkan hampir sepertiga dari populasi manusia, di seluruh dunia,
pada risiko infeksi.3
Infeksi DENV menghasilkan berbagai tingkat kondisi patologis,
mulai dari demam dengue asimtomatik ringan (DF) hingga demam berdarah
dengue berat (DBD) dan sindrom syok dengue (DSS) yang dapat berakibat
fatal Ekspansi DENV yang dramatis di seluruh dunia telah terjadi karena
urbanisasi yang cepat, peningkatan perjalanan internasional, kurangnya
tindakan pengendalian nyamuk yang efektif, dan globalisasi. 3
Demam dengue klasik terutama merupakan penyakit anak-anak dan
orang dewasa. Hal ini ditandai dengan demam mendadak dan berbagai tanda
dan gejala nonspesifik, termasuk sakit kepala frontal, nyeri retro-orbital,
nyeri tubuh, mual dan muntah, nyeri sendi, kelemahan, dan ruam. Pasien
mungkin anoreksia, mengalami perubahan sensasi rasa, dan sakit
tenggorokan ringan. Sembelit kadang-kadang dilaporkan; diare dan gejala
pernapasan jarang dilaporkan dan mungkin karena infeksi bersamaan.4
C. EPIDEMIOLOGI
Demam dengue diyakini menginfeksi 50 hingga 100 juta orang di
seluruh dunia dalam setahun. Tingkat kematian sekitar 1-5% tanpa
pengobatan dan kurang dari 1% dengan pengobatan. Penyakit berat (demam
berdarah) membawa kematian sebesar 26%. Insiden DBD meningkat 30
kali lipat antara tahun 1960 dan 2010. Peningkatan ini diyakini disebabkan
oleh beberapa faktor seperti, cepatnya urbanisasi, pertumbuhan penduduk,
peningkatan perjalanan internasional dari daerah endemik dan terakhir
pemanasan global. Distribusi geografis di sekitar khatulistiwa terutama
mempengaruhi Asia dan wilayah pasifik.1
Penyakit Ini adalah penyakit virus yang ditularkan oleh nyamuk
dengan penyebaran tercepat secara global, mempengaruhi lebih dari 100
juta manusia setiap tahun. Demam berdarah juga menyebabkan 20 hingga
25.000 kematian, terutama pada anak-anak, dan ditemukan di lebih dari 100
negara. Epidemi terjadi setiap tahun di Amerika, Asia, Afrika, dan
Australia.
Setelah tahun 2010, usia rata-rata pasien adalah 34 tahun
dibandingkan dengan 27,2 tahun dari tahun 1990 hingga 2010. Serotipe
virus dengue yang menyebabkan wabah penyakit bervariasi dari waktu ke
waktu, seperti halnya terjadinya demam berdarah yang parah. 5
D. ETIOLOGI
Demam Dengue disebabkan oleh salah satu dari empat serotipe yang
berbeda (DENV 1-4) dari virus RNA beruntai tunggal dari genus Flavivirus.
Infeksi oleh satu serotipe menghasilkan kekebalan seumur hidup terhadap
serotipe tersebut tetapi tidak terhadap serotipe lainnya.
Masa inkubasi virus dengue dalam darah nyamuk 8-12 hari sebelum
menularkan kepada individu yang rentan. Sekali nyamuk terinfeksi, virus
dengue akan menetap seumur hidup nyamuk dan dapat menularkan kepada
manusia yang digigitnya. Tranmisi dapat pula terjadi secara vertical dari ibu
hamil ke janin yang dikandungnya.11
Beberapa faktor yang dapat menyebabkan seseorang terinfeksi virus
Dengue diantaranya adalah
1. Virologi
Virus dengue (DENV) adalah virus RNA untai tunggal yang kecil,
bulat, dengan 10.700 pangkalan. Merupakan genus Flavivirus dalam
keluarga Flaviviridae. DENV terdiri dari tiga protein struktural dan tujuh
protein non-struktural. Infeksi dengan setiap serotipe memberikan
kekebalan seumur hidup untuk serotipe penyebab, tetapi tidak untuk
serotipe lainnya. Pada sebaliknya, infeksi ulang dengan serotipe yang
berbeda menyebabkan penyakit. Di wilayah tertentu, wabah berkala terjadi
karena perbedaan serotipe selama beberapa dekade, sehingga
pengembangan kawanan lengkap kekebalan untuk keempat serotipe di
masyarakat tidak dapat dicapai dan penyakit mungkin tetap tanpa eliminasi
alami. 6
2. Host
Virus dengue, yang berevolusi dari nyamuk, beradaptasi dengan primata
non-manusia dan manusia dalam proses evolusi. Viremia di antara manusia
membangun titer tinggi dua hari sebelum timbulnya demam (non-febrile)
dan berlangsung 5-7 hari setelah timbulnya demam (febrile). Selama dua
periode inilah spesies vektor terinfeksi. Setelah itu, manusia menjadi jalan
tempat untuk transmisi. Penyebaran infeksi terjadi melalui pergerakan inang
(manusia) karena gerakan vektor sangat terbatas. Kerentanan manusia
tergantung pada status kekebalan dan kecenderungan genetic baik monyet
maupun manusia.7
3. Transmisi
Penularan virus dengue terjadi dalam tiga siklus:
a. Siklus enzootik: Siklus sylvatic primitif yang dipelihara oleh siklus
monyet-Aedes-monyet seperti yang dilaporkan dari Asia Selatan
dan Afrika. Virus tidak patogen bagi monyet dan viremia
berlangsung selama 2-3 hari. Keempat serotipe dengue (DENV-1
hingga -4) telah diisolasi dari monyet. 7
b. Siklus epizootik: Virus dengue menyeberang ke primata non-
manusia dari siklus epidemi manusia yang berdampingan melalui
vektor jembatan. Di Sri Lanka, siklus epizootik diamati di antara
kera touqe (Macaca sinica) selama 1986-1987 di daerah penelitian
berdasarkan serologis. Dalam wilayah studi (tiga kilometer), 94%
kera ditemukan terkena dampak. 7
c. Siklus epidemi: Siklus epidemik dipertahankan oleh siklus manusia-
Aedes aegypti-manusia dengan epidemi periodik/siklus. Umumnya,
semua serotipe bersirkulasi dan menimbulkan hiperendemisitas. Ae.
aegypti umumnya memiliki kerentanan yang rendah terhadap
infeksi mulut, tetapi antropi yang kuat dengan perilaku makan ganda
dan habitat yang sangat terdomestikasi menjadikannya vektor yang
efisien. Persistensi virus dengue, oleh karena itu, tergantung pada
perkembangan titer virus yang tinggi pada inang manusia untuk
memastikan penularan pada nyamuk. 7
E. PATOGENESIS
Pada studi invitro dan autopsi diduga terdapat tiga organ penting
yang terlibat dalam pathogenesis infeksi dengue yaitu sistem imun, hati dan
sel endotel pembuluh darah. Virus masuk ke dalam tubuh manusia melalui
gigitan nyamuk yang mengandung virus dengue. Setelah virus masuk ke
dalam aliran darah akan terjadi infeksi pada sel Langerhans imatur
(epidermal dendritic cell dan keratinocyte) yang berada di lapisan epidermis
dan dermis. Sel yang terinfeksi akan memasuki kelenjar limfe dan
selanjutnya terjadi infeksi monosit dan makrofag yang menjadi target
infeksi dengue dan terjadi viremia. Viremia primer akan mengakibatkan
infeksi pada monosit dan mielosit yang bersikulasi sehingga terjadi infeksi
pada makrofag yang berada di hati dan limpa.
Respon imun pada Infeksi sekunder dengan serotipe virus dengue
yang berbeda, diawali oleh IgG anti dengue yang telah ada dengan kadar
yang tinggi dan selanjutnya akan membentuk kompleks imun dengan virus
dengue yang baru masuk (kompleks antigen-antibodi). Kompleks imun
yang terjadi mengakibatkan uptake virus oleh reseptor monosit/ makrofag
meningkat, replikasi virus meningkat, sehingga viral load juga meningkat.
Sel yang terinfeksi dan viremia yang terjadi akan berperan dalam
menghasilkan sitokin pro-inflamasi dan anti-inflamasi. Hati merupakan
organ penting, peningkatan enzim transaminase berhubungan dengan
peningkatan tendensi terjadinya perdarahan selain itu virus dengue juga
mengakibatkan apoptosis dan nekrosis sel hepatosit.5
Sel endotel pembuluh darah berperan dalam respon koagulasi akibat
inflamasi. Keterlibatan sel endotel terdapat pada pembuluh darah pulmonal
dan abdominal. Dalam studi invitro tampak replikasi virus mengakibatkan
kelainan endotel dan tidak terjadi perusakkan morfologi sel. Di Asia infeksi
pada anak lebih berat dari pada dewasa, berbeda dengan kejadian di
Singapura dan Amerika yang cenderung mengenai dewasa lebih ringan. Hal
ini berdasarkan hipotesis yang secondary of h eterotypic dengue infection
atau dikenal dengan Antibody Dengue Enhachment (ADE), dimana jika
seseorang terinfeksi dengue untuk kedua kalinya dengan serotipe yang
berbeda akan menyebabkan dengue yang berat.5
Beberapa faktor yang memegang peran penting adalah adanya
reseptor Fcg yang terdapat pada permukaan sel amkrofag mononuclear.
Antibody enhancing immune- globulin G (un- neutralized antibody) akan
mengikat virus dan menempel pda permukaan makrofag dan membawa
infection virion mendekati reseptor. Jadi virus- specific antibody dan
reseptor Fc bekerja sama sebagai co-receptor, sehingga ikatan menjadi kuat
dan meningkatkan jumlah sel yang terinfeksi. Jadi pada seorang pasien yang
yang terinfeksi virus dengue, pre-exiting antibody dapat menyebabkan
peningkatan viral load, memperpendek masa inkubasi dan meningkatkan
derajat keparahan penyakit. 5
Beberapa penelitian klinis pada manusia memperlihatkan bahwa
tingkat derajat viremia yang tinggi berhubungan dengan kejadian DBD dan
SSD, pada infeksi sekunder oleh virus dengue heterotipik. Peran sel T pada
pathogenesis virus dengue juga sangat penting.
Berdasarkan penelitian invitro dan in vivo, dikatakan bahwa
aktivitas sel T berperan pada terjadinya perembesan plasma (plasma
leakage). Interaksi antigen- presenting cell (APC) sel T akan memicu
proliferasi dan produksi sitokin pro-inflamasi seperti IFN gamma dan TNF
alfa. Sitokin tersebut secara langsung berdampak pada endotel vascular
sehingga terjadi perembesan plasma.5
F. KLASIFIKASI
Pada tahun 2011 WHO membuat klasifikasi infeksi dengue menjadi
demam tidak terdiferensiasi, DD, dan DBD. DBD sendiri dibagi lagi
menjadi derajat I-IV. Untuk menentukan penatalaksanaan penderita infeksi
virus dengue, perlu diketahui klasifikasi derajat penyakit seperti tertera pada
tabel. 2

G. MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis infeksi dengue dapat bersifat asimtomatik dan
simtomatik. Manifestasi infeksi dengue memperlihatkan gejala asimtomatik
atau demam dengue dan pada infeksi berat disertai gangguan koagulasi,
peningkatan fragilitas vaskuler dan peningkatan permeabilitas kapiler
kemudian diikuti dengan syok hipovolemik.

Klasifikasi WHO-TDR 2009 membagi dengue with and without warning


signs dan severe dengue (termasuk syok, perdarahan, dan keterlibatan organ
demam dengue, demam berdarah dengue, baik tanpa syok maupun dengan syok
dan expanded dengue syndrome (EDS).
1. Demam yang tidak berdiferensiasi (demam tidak jelas) Demam pada kategori
ini sebagian besar terlihat pada infeksi dengue primer namun walaupun
demikian keadaan ini masih mungkin terjadi pada infeksi sekunder fase awal.
Secara klinis, demam pada keadaan ini sulit dibedakan dengan demam yang
disebabkan oleh infeksi virus lainnya dan seringkali tidak terdiagnosis. Ruam
makulopapular dapat menyertai demam atau dapat juga muncul selama fase
defervescence. Gejala gangguan pernafasan atas dan gastrointestinal juga
sering terjadi. 2
2. Demam Dengue Demam dengue (DD) paling sering terjadi pada anak dengan
usia yang lebih tua, remaja, dan orang dewasa. Demam yang terjadi biasanya
berupa demam akut, terkadang dapat juga berupa demam bifasik, disertai
gejala sakit kepala berat, mialgia, artralgia, ruam, leukopenia dan
trombositopenia. Ruam kulit umumnya asimtomatik dan hanya pada 16-27%
kasus disertai dengan pruritus. Perdarahan jarang terlihat pada DD, namun
epistaksis dan perdarahan gingiva, hipermenore, petekie atau purpura, dan
perdarahan saluran gastrointestinal dapat juga terjadi. Di daerah endemik
dengue, wabah DD jarang terjadi di kalangan masyarakat setempat. Wabah
infeksi DEN-1 di Taiwan menunjukkan bahwa perdarahan gastrointestinal
yang berat dapat terjadi pada orang-orang yang sebelumnya sudah ada
penyakit ulkus peptikum. Perdarahan yang berat dapat menyebabkan
kematian. Angka mortalitas kasus DD kurang dari 1%. Penting untuk
membedakan kasus DD dengan perdarahan dengan kasus DBD. Pada DBD
terjadi hemokonsentrasi yang timbul akibat adanya peningkatan permeabilitas
vaskular, sedangkan pada DD tidak. 2
3. Demam Berdarah Dengue (DBD) Di daerah hiperendemik infeksi dengue,
DBD lebih sering terjadi pada anak di bawah 15 tahun. Hal tersebut sering
dihubungkan dengan infeksi dengue berulang. DBD paling sering ditemukan
pada infeksi dengue sekunder. Angka kejadian DBD pada orang dewasa
belakangan ini meningkat. DBD ditandai dengan demam mendadak tinggi
disertai dengan tanda dan gejala yang mirip dengan DD fase akut. Manifestasi
perdarahan juga dapat terjadi. Manifestasi perdarahan tersebut dapat berupa uji
bending atau tourniquet test positif (terdapat ≥10 petekie / inci persegi),
petekie, mudah memar, dan atau pada kasus berat terjadi perdarahan
gastrointestinal. 2
Manifestasi perdarahan pada DBD disebabkan oleh beberapa faktor seperti
vaskulopati, defisiensi dan disfungsi trombosit, dan defek pada jalur
pembekuan darah. Trombositopenia dan meningkatnya hematokrit
(hemokonsentrasi), merupakan temuan yang sering didapat pada DBD dan
umumnya terjadi sewaktu demam mulai turun (fase defervesens). Penurunan
produksi trombosit dan peningkatan destruksi trombosit dapat menyebabkan
trombositopenia pada DBD. Jumlah dan fungsi trombosit yang menurun dapat
memperburuk manifestasi perdarahan. Timbulnya syok hipovolemik
(sindroma syok dengue) akibat kebocoran plasma pada umumnya terjadi pada
fase kritis. Adanya tanda peringatan (warning signs) dini seperti muntah terus-
menerus dan tidak dapat minum, nyeri perut hebat, letargi dan atau gelisah,
perdarahan, pusing atau lemas, akral pucat, dingin dan basah, dan oliguria
penting untuk diketahui karena keadaan tersebut dapat mendahului terjadinya
syok. Hemostasis tidak normal dan kebocoran plasma merupakan pemegang
peran utama patofisiologi DBD.
4. Expanded Dengue Syndrome Manifestasi yang tidak lazim penderita dengue
dengan keterlibatan organ berat seperti hati, ginjal, otak atau jantung semakin
banyak dilaporkan baik pada kasus DBD dan juga pada penderita infeksi
dengue yang tidak mengalami kebocoran plasma (demam dengue/DD).
Sebagian besar penderita DBD yang memiliki manifestasi yang tidak biasa itu
timbul akibat terjadinya syok yang berkepanjangan (prolonged shock) dengan
kegagalan organ (organ failure) atau penderita dengan komorbiditas atau
koinfeksi. Ensefalopati juga dapat terjadi pada infeksi dengue. Pada
ensefalopati sering dijumpai gejala kejang, penurunan kesadaran, dan paresis.
Ensefalopati dengue dapat disebabkan oleh perdarahan atau oklusi (sumbatan)
pembuluh darah. Sayangnya otopsi sangat jarang dilakukan sehingga
penyebab yang sebenarnya sulit dibuktikan. Selain itu, terdapat laporan bahwa
virus dengue dapat melewati sawar darah-otak dan menyebabkan ensefalitis. 2
Gejala khas demam berdarah adalah: demam mendadak, sakit kepala
(Biasanya di belakang mata), nyeri otot dan sendi, dan ruam; nama alternatif
untuk demam berdarah, "Break-Bone Fever", berasal dari otot dan nyeri
sendi. Perjalanan infeksi dibagi menjadi tiga fase: demam, kritis, dan
pemulihan.
Fase demam
Fase ini biasanya berlangsung selama 3-7 hari dan bermanifestasi
dengan suhu tinggi, sakit kepala, artralgia, mialgia, sakit punggung, dan
anoreksia. Kadang-kadang, gejala saluran pernapasan atas dan
gastrointestinal mengganggu. Tampak sakit sering terjadi, dan kemerahan
menyeluruh pada kulit yang memucat dengan tekanan muncul dengan atau
tanpa erupsi eritematosa morbiliformis dan pulau-pulau di area pucat.6
Manifestasi perdarahan kulit seperti petechiae, purpura atau
ekimosis dapat muncul menjelang bagian akhir dari fase demam.
Hipokondrium kanan lunak atau hepatomegali ringan mungkin ada. Dari
hari kedua demam, hitung darah lengkap menunjukkan leukopenia,
trombositopenia dan peningkatan hematokrit. Peningkatan transaminase
hati seperti alanine transaminase (ALT) dan aspartate transaminase (AST)
biasanya diamati. Pola suhu bisa biphasic. 6
Fase kritis
Sebagian pasien akan memasuki fase kritis, yang dibuktikan dengan
kebocoran vaskular sistemik, biasanya terjadi dengan demam sementara.
Hal ini dapat dilihat dengan peningkatan konsentrasi plasma dari
peningkatan hematokrit. Kebocoran vaskular lebih sering terjadi pada
rongga peritoneum yang dapat dideteksi secara dini dengan pemeriksaan
ultrasonografi abdomen untuk menemukan edema dinding kandung
empedu, dan pengumpulan cairan perikolesistik. Secara tidak langsung,
perubahan dan munculnya tanda-tanda peringatan menunjukkan masuknya
ke fase kritis. Mekanisme kompensasi fisiologis awal kebocoran plasma
akan menyebabkan penyempitan tekanan nadi, tetapi jika tetap tidak
terdeteksi atau tidak diobati, pasien akan mengalami dekompensasi,
menyebabkan syok berat dan disfungsi multi-organ. Peningkatan
hematokrit lebih dari 20% dari baseline dan hipoalbuminemia merupakan
indikator lain dari fase kritis. Kebocoran vaskular dapat berlangsung selama
24-48 jam dan bersifat dinamis, biasanya mencapai puncaknya pada 24 jam
onse. Fase ini dikaitkan dengan peningkatan risiko perdarahan dan disfungsi
hati. 6
Fase pemulihan/Recovery
Fase pemulihan terjadi selanjutnya, dengan resorpsi cairan yang
bocor ke dalam aliran darah. Ini biasanya terjadi selama dua sampai tiga
hari. Peningkatannya sering mencolok, tetapi mungkin ada gatal parah.
Selama tahap inilah keadaan kelebihan cairan dapat terjadi, yang jika itu
mempengaruhi otak dapat mengurangi tingkat kesadaran atau menyebabkan
kejang.1
Fase ini secara klinis dialami oleh pasien dan beberapa mengalami
ruam gatal. pasien Juga mengalami bradikardia, yang disebut pemulihan
bradikardia. Hemodilusi menyebabkan penurunan hematokrit dan
peningkatan jumlah sel darah putih yang cepat, diikuti oleh trombosit.
Pasien mengalami poliuria, bahkan menyebabkan dehidrasi. 6
Presentasi geja lainnya
 Dengue yang tidak biasa atau dengue yang diperluas digambarkan
sebagai keterlibatan multi-sistem selain kebocoran plasma
 Neurologis - Ensefalitis, ensefalopati, neuropati, sindrom Guillain-
Barré
 Gastrointestinal - Hepatitis, kolesistitis, pankreatitis, nekrosis hati
hemoragik
 Ginjal – Nefritis
 Jantung - Miokarditis, pericarditis
 Muskuloskeletal – Myositis
 Hematologi - Limfohistiositosis hemofagositosis, trombositopenia
imun
RNA DENV telah terdeteksi di sebagian besar organ dan jaringan
tubuh dalam studi post mortem. Ini menyiratkan bahwa virus dapat
menginfeksi sistem organ, menyebabkan peradangan dan disfungsi. Tingkat
keparahan miokarditis dapat bervariasi dan, pada miokarditis parah,
kematian tidak dapat dihindari. Demikian pula, nekrosis hemoragik hati
membawa prognosis yang buruk. Iskemia hepatik selama syok yang
berkepanjangan dan sepsis bakterial sekunder juga merupakan penyebab
yang berkontribusi terhadap perkembangan gagal hati fulminant. 6
H. DIAGNOSIS
Diagnosis klinis dengue dapat menjadi tantangan, tergantung
sebagian besar pada tahap apa dalam proses infeksi yang dialami pasien.
Tergantung pada wilayah geografis dunia, mungkin ada sejumlah patogen
penyebab penyakit atau penyakit menyatakan bahwa: dapat meniru
spektrum penyakit yang timbul dari infeksi dengue. Pada tahap awal
penyakit klinis, demam dengue dapat muncul sebagai demam "flu-like"
ringan yang tidak dapat dibedakan dengan gejala yang mirip dengan
penyakit lain seperti influenza, campak, Zika, chikungunya, demam kuning,
dan malaria.8
Diagnosis dengue dimulai dengan kecurigaan klinis, didorong oleh:
pengenalan kumpulan gejala dan tanda yang ada. Di fase awal demam akut
penyakit, pasien demam berdarah sering hadir dengan riwayat demam
mendadak, yang sering disertai oleh mual, nyeri dan nyeri. Sayangnya,
gejala ini tidak unik untuk demam berdarah dan dilaporkan dengan penyakit
demam lainnya (OFI).9
Timbulnya ruam makulopapular, nyeri retro-orbital, petekie atau
hidung berdarah atau gusi lebih patognomonik dari demam berdarah dan
akan lebih mungkin memicu diagnosis banding dengue, meskipun gejala-
gejala ini biasanya muncul pada stadium lanjut penyakit, mendekati fase
demam, ketika terjadi kebocoran plasma. Kegunaannya untuk diagnosis dini
akan lebih terbatas.9
a. Laboratorium
Diagnosis pasti infeksi dengue hanya dapat dibuat di laboratorium
dan tergantung pada mengisolasi virus, mendeteksi antigen virus atau
RNA dalam serum atau jaringan, atau mendeteksi antibodi dalam serum
pasien. Ada menjadi dua ulasan terbaru tentang topik ini. Sampel darah
fase akut harus selalu diambil sesegera mungkin setelah kecurigaan
timbulnya penyakit demam berdarah, dan sampel fase penyembuhan
idealnya harus diambil 2-3 minggu kemudian. Karena seringkali sulit
untuk mendapatkan sampel fase penyembuhan, sampel darah kedua
harus selalu diambil dari pasien rawat inap pada hari keluar dari rumah
sakit.4
Biomarker yang telah ditetapkan sebagai pendukung diagnosis
meliputi: virus itu sendiri (isolasi virus dalam kultur atau nyamuk atau
deteksi RNA genomik virus), produk virus (menangkap dan deteksi
protein NS1 yang disekresikan), atau kekebalan inang respons terhadap
infeksi virus (melalui pengukuran imunoglobulin M [IgM] dan
imunoglobulin G [IgG] spesifik virus).8
1. Isolasi virus
Isolasi virus telah menjadi metode diagnostik tradisional
untuk mendeteksi infeksi DENV. Namun, secara bertahap telah
digantikan oleh reaksi berantai polimerase transkripsi balik (RT-
PCR) dan, baru-baru ini, dengan NS1 antigen-capture enzymelinked
immunosorbent assays (ELISAs) untuk diagnosis yang lebih cepat.
Untuk isolasi virus, sampel klinis diambil dari pasiendikultur dalam
berbagai garis sel baik nyamuk (AP61, Tra-284, AP64, C6/36, dan
sel CLA-1) atau mamalia
(LLCMK2, Vero, dan sel BHK-21) berasal atau dari nyamuk hidup.
Sampel darah yang diambil dari pasien terinfeksi yang mengalami
penyakit demam hingga 5 hari setelah timbulnya penyakit
menghasilkan: hasil yang paling sukses. Namun, isolasi virus dari
pasien yang terinfeksi sekunder menjadi lebih sulit dengan produksi
anamnestik cepat antibodi reaktif silang awal selama fase akut
penyakit yang membentuk kompleks imun dengan virus yang
bersirkulasi. Meskipun deteksi DENV dengan isolasi virus sudah
pasti, itu tidak terlalu praktis, karena isolasi dapat membutuhkan
waktu berhari-hari hingga berminggu-minggu untuk muncul. 8
2. RT-PCR
Metode molekuler seperti RT-PCR dan hibridisasi asam
nukleat telah digunakan untuk berhasil dalam mendiagnosis infeksi
DENV. Metode berbasis PCR menyediakan metode yang sama atau
diagnosis DENV hari berikutnya selama fase akut penyakit.
Lanciotti et al awalnya melaporkan uji RT-PCR heminested 2
langkah yang sangat sensitif. Metode ini adalah kemudian
dimodifikasi menjadi RT-PCR multipleks real-time satu langkah
assay, yang diadopsi di seluruh dunia. Keuntungan utama
teknik berbasis PCR adalah bahwa RNA virus dapat dideteksi dari
awal penyakit dan sensitif, spesifik, cepat, kurang rumit, dan lebih
murah daripada metode isolasi virus. Meskipun metode berbasis
PCR cepat dan akurat, mereka membutuhkan laboratorium dengan
peralatan khusus dan terlatih staf untuk melakukan analisis. Ini tidak
selalu merupakan pilihan di rangkaian terpencil yang miskin sumber
daya di mana demam berdarah endemik. Selain itu, terlepas dari
ketersediaan kit komersial, sebagian besar metode RT-PCR yang
dilaporkan dikembangkan di rumah dan kurangnya standarisasi
pusat-ke-pusat. Berbasis non-PCR metode yang meniru amplifikasi
asam nukleat in vitro, seperti: sebagai amplifikasi isotermal
(misalnya, transkripsi balik tabung tunggal-dimediasi amplifikasi
isotermal), telah menunjukkan tingkat sensitivitas dan spesifisitas
yang tinggi bila digunakan bersama metode diagnostik lainnya. 8
3. Antigen NS1
Protein virus NS1 adalah target diagnostik yang ideal karena
disekresikan dari sel yang terinfeksi, ditemukan pada tingkat
sirkulasi yang tinggi dalam darah individu yang terinfeksi, dan dapat
dideteksi dari timbulnya gejala sampai 9 hari atau lebih setelah
timbulnya penyakit, setidaknya pada infeksi primer. NS1 dapat
dideteksi pada saat yang sama dengan RNA virus dan sebelum
respons antibody dipasang pada infeksi primer. Ini dapat dilihat
sebagai penanda pengganti untuk viremia, dengan tingkat NS1
terbukti berkorelasi dengan titer virus. Deteksi NS1 pada
pasien darah menggunakan pendekatan ELISA antigen-capture
adalah yang pertama dijelaskan pada tahun 2000. Menggunakan
ELISA tangkapan kuantitatif, telah ditemukan bahwa NS1
disekresikan pada tingkat tinggi, dalam kisaran nanogram rendah per
mililiter hingga mikrogram per mililiter, dengan hingga 50 g/mL
ditemukan beredar di beberapa orang yang terinfeksi individu. Studi
selanjutnya menyelidiki kinetika NS1 pada infeksi sekunder
menemukan bahwa kadar NS1 600 ng/ mL dalam 72 jam pertama
penyakit adalah prediktor yang kuat perkembangan penyakit yang
lebih parah. Laporan awal ini mengarah pada pengembangan
komersial NS1 capture ELISAs dan tes strip cepat. 8
Pengembangan komersial dari NS1 sebagai alat diagnostik
telah merevolusi diagnosis dengue karena telah menyediakan tes
sederhana dan berteknologi rendah yang memiliki sensitivitas dan
spesifisitas yang tinggi. Tes deteksi ini memiliki: sekarang menjadi
standar baru untuk diagnosis dengue, memungkinkan diagnosis dini
dan lebih efektif manajemen pasien. Meskipun nilai prediksi yang
disarankan dari NS1 sebagai penanda perkembangan penyakit,
kuantisasi yang diperlukan masih tetap menjadi penelitian akademis,
dengan semua tes komersial hanya memberikan kualitatif
positif/negative bacakan. Keterbatasan deteksi NS1 untuk pasien
yang mengalami infeksi sekunder adalah peningkatan anamnestik
yang cepat pada NS1 antibodi yang bereaksi silang selama fase akut
penyakit. 8
4. Serologi
Ada banyak pendekatan untuk diagnosis serologis yang
tersedia, termasuk penghambatan hemaglutinasi (HI) tes, tes fiksasi
komplemen, tes dot-blot, Western blotting, tes antibodi
imunofluoresen tidak langsung, dan tes netralisasi pengurangan
plak, serta IgM dan ELISA penangkap antibodi IgG. tes HI bersama
dengan ELISA penangkap antibodi IgM dan IgG telah terbukti
menjadi metode diagnostik serologis yang paling berguna untuk
deteksi DENV rutin. Tes HI telah diterapkan untuk diagnosis dengue
selama bertahun-tahun, dengan sebagian besar laboratorium
mengembangkan metodologi in-house, meskipun komersial kit juga
tersedia. Seperti semua tes berdasarkan deteksi antibodi, periode
penyakit akut awal biasanya menyajikan jendela deteksi negatif,
mengingat kebutuhan untuk respon antibodi yang relevan untuk
ditimbulkan. Namun demikian, ELISA penangkap antibodi IgM dan
IgG throughput tinggi telah menjadi relatif rutin, terutama setelah
pengujian otomatisasi. IgM dapat muncul sedini hari ke 3-5 di
primer infeksi, memuncak beberapa minggu setelah pemulihan dan
tetap pada tingkat yang dapat dideteksi selama beberapa bulan. IgG
umumnya tidak muncul selama fase akut penyakit primer. Namun,
selama infeksi sekunder, ada respons IgG anamnestik yang cepat
terhadap epitop bersama pada banyak protein virus antara infeksi
pertama dan kedua serotipe, dengan IgG muncul sedini 3 hari setelah
onset penyakit. 8
b. Pemeriksaan penunjang radiologi
Pada pasien dewasa, pemeriksaan Radiologi yang dilakukan adalah
foto toraks posisi PA (Postero Anterior) Erect dan Lateral. Bila pasien
tidak bisa dalam posisi tegak (erect) maka dilakukan posisi AP Supine
(telentang ) atau AP duduk /semi fowler. Untuk mendeteksi effusi pleura
minimal sebaiknya dilakukan lateral dekubitus, tergantung kecurigaan
di sisi kiri atau kanan , atau USG (Ultrasonografi). Pada pasien dengan
perawatan ICU dilakukan foto toraks AP Supine Portable. 1
I. DIAGNOSIS BANDING
Pada awal fase demam, diagnosis banding meliputi spektrum luas
virus, bakteri, dan infeksi protozoa mirip dengan DF. Manifestasi
perdarahan, mis. tes tourniquet positif dan leukopenia (≤5000 sel/mm3)
disarankan untuk dilakukan pada penyakit demam dengue. Adanya
trombositopenia dengan hemokonsentrasi bersamaan membedakan
DBD/DSS dari penyakit lain. Pada pasien tanpa peningkatan hematokrit
yang signifikan sebagai akibat dari perdarahan hebat dan/atau terapi cairan
intravena dini, adanya efusi pleura atau asites menunjukkan kebocoran
plasma. Hipoproteinemia atau albuminemia mendukung adanya kebocoran
plasma. Tingkat sedimentasi eritrosit (ESR) yang normal membantu
membedakan dengue dari infeksi bakteri dan syok septik. Perlu dicatat
bahwa selama periode syok, ESR <10 mm/jam.7
Pada masa inkubasi infeksi dengue dapat timbul gejala prodromal
yang tidak khas seperti nyeri kepala, nyeri tulang belakang dan perasaan
lelah. Diagnosis banding pada demam Dengue sangat luas dan bervariasi
sesuai dengan fase penyakitnya. Selama fase demam, gambaran klinis mirip
dengan infeksi virus umum seperti: seperti COVID-19, influenza,
adenovirus, campak, rubella, enteroviral infeksi dan infeksi bakteri seperti
leptospirosis, rickettsial infeksi dan demam tifoid. Penyakit jaringan ikat
seperti: lupus eritematosus sistemik dan penyakit Still bisa erat meniru
infeksi dengue di awal. Keganasan tertentu seperti karena leukemia akut
bisa sangat mirip dengan demam berdarah Karena itu, anamnesis yang
terperinci – termasuk perjalanan ke daerah endemik dengue, riwayat kontak
dan perjalanan penyakit.6
Dengue fever
 Mononukleosis menular.
 Infeksi virus Chickengunya.
 Coxsackie dan infeksi enteroviral lainnya.
 Infeksi Rickettsial.
 Rubella.
 Infeksi Parvovirus B19.
 Leptospirosis.
 Influenza.
DBD
 Leptospirosis.
 Infeksi virus Chikengunya.
 Penyakit Kawasaki.
 Demam kuning.
 Infeksi virus Hanta.
 Demam berdarah virus lainnya.
 Septikemia meningokokus. 10
J. TATALAKSANA
Infeksi dengue adalah suatu penyakit sistemik yang sangat dinamis
dan memiliki spektrum klinis yang luas yang mencakup manifestasi klinis
berat dan non-berat. Setelah masa inkubasi, manifestasi penyakit dimulai
secara tiba-tiba dan diikuti oleh tiga fase yaitu fase febris, kritis dan
pemulihan. Walaupun manifestasi penyakitnya cukup kompleks namun
terapinya relatif sederhana, tidak mahal dan sangat efektif dalam
menyelamatkan nyawa penderita selama intervensi dilakukan secara
adekuat dan tepat waktu. Kunci dari manajemen penyakit ini adalah
pengenalan dini dan pemahaman masalah klinis yang baik selama
berjalannya ketiga fase penyakit.
Sistem triage dan keputusan tatalaksana di tingkat pelayanan primer
dan sekunder (tempat penderita pertama kali dilihat dan dievaluasi) sangat
penting dalam menentukan hasil klinis infeksi dengue. Respon awal yang
dikelola dengan baik tidak hanya mengurangi jumlah perawatan yang tidak
perlu di rumah sakit tetapi juga menyelamatkan nyawa penderita terinfeksi
dengue. Pemberitahuan dini kasus demam berdarah yang terdapat pada
pelayanan primer dan sekunder sangat penting dilakukan untuk
mengidentifikasi adanya wabah penyakit dan dimulainya penatalaksanaan
yang cepat dan tepat.
Tidak ada terapi yang spesifik untuk DD dan DBD. Prinsip utama
adalah terapi suportif. Penanganan yang tepat oleh dokter dan perawat dapat
menyelamatkan penderita DBD. Dengan terapi suportif yang adekuat,
angka kematian dapat diturunkan hingga kurang dari 1%. Pemeliharaan
volume cairan sirkulasi merupakan tindakan yang paling penting dalam
penanganan kasus DBD. Asupan cairan penderita, terutama cairan oral,
harus tetap dijaga. Jika asupan cairan oral penderita tidak mencukupi maka
dibutuhan suplemen cairan melalui intravena untuk mencegah dehidrasi dan
hemokonsentrasi. Deteksi dini kebocoran plasma sangat penting diketahui
agar penatalaksanaan yang diberikan dapat adekuat sehingga angka
kematian pada infeksi dengue dapat diturunkan.
Pengelolaan dan keputusan pada triase dan manajemen di pelayanan
tingkat primer dan sekunder (dimana penderita pertama kali diperiksa dan
dievaluasi) sangat penting dalam menentukan hasil klinis dengue. Respons
garis depan yang dikelola dengan baik, tidak hanya mengurangi jumlah
penderita rawat-inap yang tidak perlu, tetapi juga menyelamatkan nyawa
penderita dengue.

1. Protokol penatalaksanaan DBD


Pada tahun 2005 Departemen Kesehatan Republik Indonesia telah
menyusun protokol penatalaksanaan DBD pada penderita dewasa.
Namun seiring dengan kemajuan dan perkembangan ilmu kedokteran
maka dirasakan perlu merevisi pedoman penatalaksanaan infeksi
dengue tersebut. Pedoman yang dibuat ini tetap berdasarkan:
a. Tatalaksana dengan rencana tindakan sesuai indikasi;
b. Praktis dalam penatalaksannya; dan
c. Mempertimbangkan cost effectiveness.
Protokol penanganan DBD dewasa dibagi dalam 6 kategori yakni:
Protokol 1. Penanganan tersangka (Probable) DBD
Protokol 2. Pemberian cairan pada tersangka DBD di ruang rawat inap
Protokol 3. Pemberian cairan pada kasus DBD dengan Tanda
Peringatan Protokol 4. Penatalaksanaan Perdarahan Spontan pada DBD
Protokol 5. Penatalaksanaan DBD dengan syok terkompensasi
Protokol 6. Penatalaksanaan Sindroma Syok Dengue
a. Penatalaksanaan Tersangka Demam Dengue Tidak semua penderita
tersangka demam dengue atau demam dengue harus dirawat;
sebagian lainnya dapat dipulangkan atau berobat jalan. Untuk lebih
lengkapnya bisa kita lihat pada protokol 1.Protokol ini digunakan
sebagai petunjuk dalam memberikan pertolongan pertama dan juga
dapat dipakai untuk memutuskan indikasi rawat inap pada penderita
DD atau yang diduga DD di sarana pelayanan kesehatan.
Seseorang yang berobat di tempat pelayanan kesehatan dan
tersangka menderita DD maka pemeriksaan yang perlu dilakukan
terlebih dahulu adalah melihat adanya tanda-tanda kedaruratan. Bila
ada tanda kedaruratan berupa syok, kejang, kesadaran menurun,
perdarahan, muntah dan atau asupan oral inadekuat, hematuria,
hematokrit cenderung meningkat, nyeri perut hebat, letargi dan atau
gelisah, lemas atau pusing berputar, akral pucat, dingin dan basah,
oliguria (urin yang keluar kurang / tidak ada selama 4-6 jam),
memiliki komorbid, dan tinggal sendiri atau jauh dari fasilitas
kesehatan penderita harus dirawat inap.
Bila tidak ada tanda kedaruratan dan lama demam ≥ 3 hari
maka perlu dilakukan pemeriksaan hemoglobin (Hb), hematokrit
(Ht), leukosit, dan trombosit. Apabila didapatkan nilai trombosit
≤100.000 maka penderita dianjurkan rawat inap; tetapi bila nilai
trombosit >100.000 maka penderita dapat berobat jalan serta
dibekali edukasi mengenai tanda-tanda kedaruratan dan kepada
penderita juga dianjurkan pemeriksaan Hb, Ht, Leukosit dan
trombosit dan kontrol setiap 24 jam ke sarana pelayanan kesehatan.
Bila kemudian dalam perjalanan penyakitnya terdapat tanda-tanda
kedaruratan dan atau trombosit ≤100.000 maka penderita
dianjurkan untuk dilakukan rawat inap; bagi penderita yang tetap
tidak memiliki tanda kedaruratan dan nilai trombosit >100.000
maka penderita tetap berobat jalan. Prosedur tersebut dilakukan
setiap harinya sampai penderita bebas demam atau penderita harus
dirawat inap.1
Bila penderita mengeluh demam <3 hari dan tidak 100.000
maka penderita tetap menjalani rawat jalan. Bagi penderita yang
dapat berobat jalan perlu diberikan edukasi terhadap penderita atau
keluarga seperti berikut ini:
1) Penderita perlu istirahat yang cukup.
2) Asupan cairan yang adekuat.
WHO menganjurkan agar cairan oral yang diberikan
jangan air putih biasa tetapi minuman yang mengandung
glukosa dan elektrolit seperti susu, jus buah, larutan isotonik
oral, oralit, dan air tajin. Asupan cairan oral yang adekuat
diharapkan dapat mengurangi jumlah angka rawat inap.
Perlu diingat bahwa cairan yang mengandung glukosa dapat
menimbulkan hiperglikemia akibat stres fisiologis dari
infeksi dengue dan diabetes mellitus.
3) Jaga suhu tubuh di bawah 39 °C. Jika suhu tubuh melebihi
39 °C, penderita diberikan parasetamol. Parasetamol
tersedia dalam dosis 325 mg atau 500 mg dalam bentuk
tablet. Dosis yang dianjurkan adalah 10 mg/kg/dosis dan
harus diberikan dalam frekuensi atau jarak tidak kurang dari
enam jam. Dosis maksimum untuk orang dewasa adalah 4
gram/hari. Hindari penggunaan parasetamol berlebihan dan
aspirin dan NSAID.
4) Berikan kompres hangat pada dahi, ketiak dan ekstremitas;
sedangkan untuk orang dewasa dianjurkan agar mandi
dengan air hangat.
5) Beri tahu keluarga penderita atau orang yang akan merawat
penderita bahwa penderita harus segera dibawa ke rumah
sakit jika terdapat salah satu dari tanda kedaruratan. 1
K. PENCEGAHAN
1. Pengendalian vektor
Strategi pengendalian vektor konvensional kurang efektif karena
nyamuk sangat jinak. Strategi pengendalian vektor lain yang lebih baru,
seperti pelepasan nyamuk jantan yang dimodifikasi secara genetik yang
mensterilkan populasi betina tipe liar, dapat menyebabkan pengurangan
kepadatan vektor.22 Pengenalan embrio strain bakteri intraseluler
obligat Wolbachia ke A aegypti, yang membuat nyamuk yang resisten
terhadap DENV, merupakan alternatif.23 Metode perlindungan pribadi
seperti pakaian yang memadai dan penggunaan obat nyamuk memiliki
manfaat.
2. Pengembangan vaksin
Pengembangan vaksin untuk DENV sangat menantang karena
berbagai alasan. Vaksin harus mencakup keempat serotipe, jika tidak,
peningkatan kekebalan dapat terjadi. Jadi, harapannya adalah
menghasilkan vaksin tetravalen. Selanjutnya, patofisiologi DENV
masih harus dijelaskan dan tidak ada model hewan untuk menciptakan
kembali proses manusia. Semua ini menghambat pengembangan
kandidat vaksin yang efektif. Vaksin berlisensi pertama Dengvaxia
(CYDTDV), disahkan pada tahun 2015, memiliki banyak masalah dan
saat ini banyak peneliti yang bekerja di bidang ini untuk vaksin yang
lebih baik yang menargetkan keempat serotype.6

L. PROGNOSIS DAN KOMPLIKASI


Pasien dengan syok berkepanjangan atau tidak dikoreksi dapat
menimbulkan perjalanan yang lebih rumit dengan asidosis metabolik dan
ketidakseimbangan elektrolit, kegagalan multiorgan dan perdarahan hebat
dari berbagai organ. Gagal hati dan ginjal sering terjadi diamati pada syok
yang berkepanjangan. Ensefalopati dapat terjadi terkait dengan kegagalan
multiorgan, gangguan metabolisme dan elektrolit. Perdarahan intrakranial
jarang terjadi dan mungkin merupakan kejadian yang terlambat.7
Pasien dengan syok yang berkepanjangan atau tidak terkoreksi
memiliki prognosis yang buruk dan mortalitas yang tinggi.Demam berdarah
berat yang tidak diobati ini mungkin memiliki tingkat kematian 10% sampai
20%. Perawatan suportif yang tepat mengurangi angka kematian menjadi
sekitar 1%.5

DAFTAR PUSTAKA

1. Srinivas,V., Srinivas,VR.2015. Dengue Fever: A Review Article. J of


Evolution of Med and Dent Sci. 4(29);5048-5058
2. Menteri Kesehatan Republik Indonesia. 2020. Keputusan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor Hk.01.07/Menkes/9845/2020
Tentang Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana Infeksi
Dengue Pada Dewasa.
3. Khetarpal,N.,Khanna,I.2016. Review Article Dengue Fever: Causes,
Complications, and Vaccine Strategies. Journal of Immunology Research.
1-15
4. GUBLER,DJ. 1998. Dengue and Dengue Hemorrhagic Fever. Clinical
Microbiology Reviews. 11(3);480-496
5. Buku Ajar Infeksi dan Penyakit Tropis., 2018. Ikatan Dokter Anak
Indonesia. Sri Rezeki S., Ismoedijanto M, Anggraini A. Dengue Virus.
(189-205).
6. Kularatne,SA., Dalugam,C. 2022. Dengue infection: Global importance,
immunopathology and management. Clinical Medicine. 22(1): 9-13
7. World Health Organization. 2011. Comprehensive Guidelines for
Prevention and Control of Dengue and Dengue Haemorrhagic Fever.India;
WHO
8. Muller,DA., Depelsenaire,CI., Youn,RP. 2017. Clinical and Laboratory
Diagnosis of Dengue Virus Infection. The journal of infectious disease.
215;89-95
9. Tang,KF., Ooi,EE.2012. Diagnosis of dengue: an update. Expert Rev. Anti
Infect. Ther. 10(8);895-907
10. Fernando,GNM., Fernando,DJ., Seneviratne,SL.2004. Dengue viral
infections. Postgrad Med J. 80:588–601

Anda mungkin juga menyukai