Anda di halaman 1dari 23

PAPER VIROLOGI

DEMAN BERDARAH DENGUE

OLEH :
1. CITRA NUR ANNISAA PO714203211045
2. MUSDALIFAH PO714203211054
3. NURUL SHABRINA CHAERUNNISA PO714203211061
KELAS B

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MAKASSAR
JURUSAN TEKNOLOGI LABORATORIUM MEDIS
PROGRAM STUDI SARJANA TERAPAN
2024
PENDAHULUAN
Infeksi virus dengue merupakan masalah kesehatan utama di 100 negara-
negara tropis dan subtropis di Asia Tenggara, Pasifik Barat, Amerika Tengah, dan
Amerika Selatan (WHO, 2011). Kira-kira 50 juta kasus baru terjadi di seluruh dunia
setiap tahunnya. Faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan dan penyebaran
kasus dengue ini sangat kompleks, yaitu pertumbuhan penduduk, urbanisasi yang
tidak terencana dan tidak terkontrol, tidak adanya kontrol terhadap nyamuk yang
efektif di daerah endemik, dan peningkatan sarana transportasi. Morbiditas dan
mortalitas infeksi dengue dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain status
imunologis pejamu, kepadatan vektor nyamuk, transmisi virus dengue, faktor
keganasan virus, dan kondisi geografis setempat (Mansjoer, 2000).
Prevalensi global DHF mengalami peningkatan yang dramatis dalam dua
dekade terakhir. Sekitar 40 % dari penduduk dunia di daerah tropis dan sub tropis
beresiko terkena DHF (WHO, 2011). Penyakit ini kini menjadi penyakit yang
endemik di Indonesia sejak tiga dekade terakhir. Insidennya berfluktuasi setiap
tahun bahkan sampai terjadi wabah DHF di beberapa daerah di Indonesia
(Hadinegoro, 2011). Sampai saat ini 200 kota telah melaporkan kejadian luar biasa.
Insiden rate meningkat dari 0,005 per 100.000 penduduk pada tahun 1968 menjadi
berkisar 6-27 per 100.000 penduduk pada tahun terakhir ini. Jumlah kasus Dengue
Hemorragic Fever ( DHF ) di Indonesia sejak Januari s/d Mei 2004 mencapai
64.000 (IR 29,7 per 100.000 penduduk) dengan kematian sebanyak 724 orang (CFR
1,1 %) (WHO, 2009).
DHF dapat menyerang semua golongan umur. Proporsi kasus DHF
berdasarkan umur di Indonesia menunjukkan bahwa DHF paling banyak terjadi
pada anak usia sekolah yaitu pada usia 5-14 tahun (Hadinegoro, 2011). DHF masih
sulit diberantas karena belum ada vaksin untuk pencegahan dan
penatalaksanaannya hanya bersifat suportif. Keberhasilan penatalaksanaan DHF
terletak pada kemampuan mendeteksi secara dini fase kritis dan penanganan yang
cepat dan tepat (WHO, 2009).
A. DEFINISI
DBD (Demam Berdarah Dengue) adalah suatu penyakit yang disebabkan
oleh virus dengue tipe 1-4, dengan manifestasi klinis demam mendadak 2-7 hari
disertai gejala perdarahan dengan atau tanpa syok, disertai pemeriksaan
laboratorium menunjukkan trombositopenia (trombosit kurang dari 100.000)
dan peningkatan hematokrit 20% atau lebih dari nilai normal (WHO, 2011).
Demam Berdarah atau Dengue adalah penyakit virus yang ditularkan oleh
nyamuk yang telah menyebar dengan cepat ke seluruh wilayah dalam beberapa
tahun terakhir. Virus dengue ditularkan oleh nyamuk betina terutama dari
spesies Aedes aegypti dan, pada tingkat lebih rendah, Ae. albopictus . Nyamuk
ini juga merupakan vektor chikungunya, demam kuning dan virus Zika. Demam
berdarah tersebar luas di seluruh daerah tropis, dengan variasi lokal dalam risiko
yang dipengaruhi oleh parameter iklim serta faktor sosial dan lingkungan.
B. EPIDEMIOLOGI
Sejak 20 tahun terakhir, terjadi peningkatan frekuensi infeksi virus
dengue secara global. Di seluruh dunia 50-100 milyar kasus telah dilaporkan.
Setiap tahunnya sekitar 500.000 kasus DBD perlu perawatan di rumah sakit,
90% diantaranya adalah anak – anak usia kurang dari 15 tahun. Angka kematian
DBD diperkirakan sekitar 5% dan sekitar 25.000 kasus kematian dilaporkan
setiap harinya (Buchy, 2006).
C. ETIOLOGI DAN TRANSMISI
DBD diketahui disebabkan oleh virus dengue. Virus dengue merupakan
RNA virus dengan nukleokapsid ikosahedral dan dibungkus oleh lapisan kapsul
lipid. Virus ini termasuk kedalam kelompok arbovirus B, famili Flaviviridae,
genus Flavivirus. Flavivirus merupakan virus yang berbentuk sferis,
berdiameter 45-60 nm, mempunyai RNA positif sense yang terselubung,
bersifat termolabil, sensitif terhadap inaktivasi oleh dietil eter dan natrium
dioksikolat, stabil pada suhu 70C (Guzman, 2007). Virus dengue mempunyai
4 serotipe, yaitu DEN 1, DEN 2, DEN 3, DEN 4 (Hadinegoro, 2004).
Manifestasi klinis dengue selain dipengaruhi oleh virus dengue itu
sendiri, terdapat 2 faktor lain yang berperan yaitu faktor host dan vektor
perantara. Virus dengue dikatakan menyerang manusia dan primata yang lebih
rendah. Penelitian di Afrika menyebutkan bahwa monyet dapat terinfeksi virus
ini. Transmisi vertikal dari ibu ke anak telah dilaporkan kejadiannya
diBangladesh dan Thailand (Buchy, 2006). Vektor utama dengue di Indonesia
adalah Aedes aegypti betina, disamping pula Aedes albopictus betina (Guzman,
2007). Ciri-ciri nyamuk penyebab penyakit demam berdarah (nyamuk Aedes
aegypti) (Shu, 2006).
• Badan kecil, warna hitam dengan bintik-bintik putih.
• Hidup di dalam dan di sekitar rumah.
• Menggigit/menghisap darah pada siang hari.
• Senang hinggap pada pakaian yang bergantungan dalam kamar.
• Bersarang dan bertelur di genangan air jernih di dalam dan di sekitar
rumah bukan di got/comberan.
• Di dalam rumah: bak mandi, tampayan, vas bunga, tempat minum
burung, dan lain-lain.

Jika seseorang terinfeksi virus dengue digigit oleh nyamuk Aedes aegypti,
maka virus dengue akan masuk bersama darah yang diisap olehnya. Didalam
tubuh nyamuk itu virus dengue akan berkembang biak dengan cara membelah
diri dan menyebar ke seluruh bagian tubuh nyamuk. Sebagian besar virus akan
berada dalam kelenjar air liur nyamuk. Jika nyamuk tersebut menggigit
seseorang maka alat tusuk nyamuk (proboscis) menemukan kapiler darah,
sebelum darah orang itu diisap maka terlebih dahulu dikeluarkan air liurnya
agar darah yang diisapnya tidak membeku (Mansjoer, 2000). Bersama dengan
air liur inilah virus dengue tersebut ditularkan kepada orang lain.
D. PATOFISIOLOGI DAN PATOGENESIS
Walaupun demam dengue (DD) dan demam berdarah dengue (DBD)
disebabkan oleh virus yang sama, tapi mekanisme patofisiologisnya yang
berbeda yang menyebabkan perbedaan klinis. Perbedaan yang utama adalah
hemokonsentrasi yang khas pada DBD yang bisa mengarah pada kondisi
renjatan. Renjatan itu disebabkan karena kebocoran plasma yang diduga karena
proses imunologi. Pada demam dengue hal ini tidak terjadi. Manifestasi klinis
demam dengue timbul akibat reaksi tubuh terhadap masuknya virus. Virus akan
berkembang di dalam peredaran darah dan akan ditangkap oleh makrofag.
Segera terjadi viremia selama 2 hari sebelum timbul gejala dan berakhir setelah
lima hari gejala panas mulai. Makrofag akan segera bereaksi dengan
menangkap virus dan memprosesnya sehingga makrofag menjadi APC
(Antigen Presenting Cell). Antigen yang menempel di makrofag ini akan
mengaktifasi sel T-Helper dan menarik makrofag lain untuk memfagosit lebih
banyak virus. T-helper akan mengaktifasi sel T-sitotoksik yang akan melisis
makrofag yang sudah memfagosit virus. Juga mengaktifkan sel B yang akan
melepas antibodi. Ada 3 jenis antibodi yang telah dikenali yaitu antibodi
netralisasi, antibodi hemagglutinasi, antibodi fiksasi komplemen.
Proses diatas menyebabkan terlepasnya mediator-mediator yang
merangsang terjadinya gejala sistemik seperti demam, nyeri sendi, otot, malaise
dan gejala lainnya. Dapat terjadi manifetasi perdarahan karena terjadi agregasi
trombosit yang menyebabkan trombositopenia, tetapi trombositopenia ini
bersifat ringan. Imunopatogenesis DBD dan DSS masih merupakan masalah
yang kontroversial. Dua teori yang digunakan untuk menjelaskan perubahan
patogenesis pada DBD dan DSS yaitu teori virulensi dan hipotesis infeksi
sekunder (secondary heterologous infection theory).
Teori virulensi dapat dihipotesiskan sebagai berikut : Virus dengue seperti
juga virus binatang yang lain, dapat mengalami perubahan genetik akibat
tekanan sewaktu virus mengadakan replikasi baik pada tubuh manusia maupun
pada tubuh nyamuk. Ekspresi fenotipik dari perubahan genetik dalam genom
virus dapat menyebabkan peningkatan replikasi virus dan viremia, peningkatan
virulensi, dan mempunyai potensi untuk menimbulkan wabah. Renjatan yang
dapat menyebabkan kematian terjadi sebagai akibat serotipe virus yang paling
virulen.
Secara umum hipotesis secondary heterologous infection menjelaskan
bahwa jika terdapat antibodi yang spesifik terhadap jenis virus tertentu maka
antibodi tersebut dapat mencegah penyakit, tetapi sebaliknya apabila antibodi
terdapat dalam tubuh merupakan antibodi yang tidak dapat menetralisasi virus,
justru dapat menimbulkan penyakit yang berat.6 Antibodi heterolog yang telah
ada sebelumnya akan mengenai virus lain yang akan menginfeksi dan kemudian
membentuk kompleks antigen-antibodi yang akan berikatan dengan Fc reseptor
dari membran sel leukosit terutama makrofag. Dihipotesiskan juga mengenai
antibody dependent enhancement (ADE), suatu proses yang akan meningkatkan
infeksi dan replikasi virus dengue di dalam sel mononuklear. Sebagai respon
terhadap infeksi tersebut, terjadi sekresi mediator vasoaktif yang kemudian
menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah, sehingga
mengakibatkan keadaan hipovolemia dan syok.
Patogenesis terjadinya syok berdasarkan hipotesis infeksi sekunder (teori
secondary heterologous infection). Sebagai akibat infeksi sekunder oleh tipe
virus dengue yang berlainan pada seorang pasien, respon antibodi anamnestik
yang akan terjadi dalam waktu beberapa hari mengakibatkan proliferasi dan
transformasi limfosit dengan menghasilkan titer tinggi antibodi IgG antidengue.
Disamping itu, replikasi virus dengue terjadi juga di dalam limfosit yang
bertransformasi dengan akibat terdapatnya virus dalam jumlah banyak. Hal ini
akan mengakibatkan terbentuknya kompleks antigen-antibodi (virus antibody
complex) yang selanjutnya akan mengakibatkan aktivasi sistem komplemen.
Pelepasan C3a dan C5a akibat aktivasi C3 dan C5 menyebabkan
peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah dan merembesnya plasma
dari ruang intravaskuler ke ruang ekstravaskuler. Pada pasien dengan syok
berat, volume plasma dapat berkurang sampai lebih dari 30% dan berlangsung
selama 24 – 48 jam. Perembesan plasma yang erat hubungannya dengan
kenaikan permeabilitas dinding pembuluh darah ini terbukti dengan adanya
peningkatan kadar hematokrit, penurunan kadar natrium dan terdapatnya cairan
di dalam rongga serosa (efusi pleura dan asites). Syok yang tidak tertanggulangi
secara adekuat akan menyebabkan asidosis dan anoksia, yang dapat berakibat
fatal, oleh karena itu pengobatan syok sangat penting guna mencegah kematian.

Patogensis Terjadinya Syok Pada DBD


Sebagai respon terhadap infeksi virus dengue, kompleks antigen antibodi
selain mengaktivasi sistem komplemen, juga menyebabkan agregasi trombosit
dan mengaktivasi sistem koagulasi melalui kerusakan sel endotel pembuluh
darah. Kedua faktor tersebut akan mengakibatkan perdarahan pada DBD.
Agrerasi trombosit terjadi sebagai akibat dari perlekatan kompleks antigen-
antibodi pada membran trombosit mengakibatkan pengeluaran ADP (adenosin
diphosphat ), sehingga trombosit dihancurkan oleh RES (reticulo endothelial
system) sehingga terjadi trombositopenia. Agregasi trombosit ini akan
menyebabkan pengeluaran platelet faktor III mengakibatkan terjadinya
koagulapati konsumtif (KID; koagulasi intravaskular deseminata), ditandai
dengan peningkatan FDP (fibrinogen degradation product ) sehingga terjadi
penurunan faktor pembekuan.
Agregasi trombosit ini juga mengakibatkan gangguan fungsi trombosit,
sehingga walaupun jumlah trombosit masih cukup banyak, tidak berfungsi
dengan baik. Di sisi lain, aktivasi koagulasi akan menyebabkan aktivasi faktor
Hagemen sehingga terjadi aktivasi sistem kinin kalikrein sehingga memacu
peningkatan permeabilitas kapiler yang dapat mempercepat terjadinya syok.
Jadi, perdarahan masif pada DBD diakibatkan oleh trombositopenia, penurunan
faktor pembekuan (akibat KID), kelainan fungsi trombosit, dan kerusakan
dinding endotel kapiler. Akhirnya perdarahan akan memperberat syok yang
terjadi.

Patogenesis Terjadinya Perdarahan Pada DBD


E. SPEKTRUM KLINIS DAN DERAJAT PENYAKIT
Perjalanan infeksi virus di dalam tubuh manusia sangat tergantung dari
interaksi antara kondisi imunologik dan umur seseorang. Oleh karena itu infeksi
virus dengue dapat tidak menunjukan gejala (asimptomatik) ataupun
bermanifestasi klinis ringan yaitu demam tanpa penyebab yang jelas, demam
dengue (DD) dan bermanifestasi berat dengan demam berdarah dengue (DBD)
tanpa syok atau sindrom syok dengue (SSD). Namun, untuk alasan praktis,
infeksi dengue yang tidak berat (non-severe dengue) dapat dikelompokkan ke
dalam 2 kelompok yaitu pasien dengan warning sign dan tanpa warning sign.

Spektrum Klinis Infeksi Virus Dengue


F. DIAGNOSIS
Kriteria untuk mendiagnosis dengue (dengan atau tanpa warning sign)
dan severe dengue dapat dilihat pada gambar berikut ini.
Klasifikasi Infeksi Dengue

G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1) Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan untuk menunjang
diagnosis DBD adalah pemeriksaan darah lengkap, urine, serologi dan
isolasi virus. Yang signifikan dilakukan adalah pemeriksaan darah lengkap,
selain itu untuk mendiagnosis DBD secara definitif dengan isolasi virus,
identifikasi virus dan serologis.
a) Darah Lengkap
Pemeriksaan darah rutin dilakukan untuk memeriksa kadar
hemoglobin, hematokrit, jumlah trombosit. Peningkatan nilai
hematokrit yang selalu dijumpai pada DBD merupakan indikator
terjadinya perembesan plasma, Selain hemokonsentrasi juga didapatkan
trombositopenia, dan leukopenia.
b) Isolasi Virus
Ada beberapa cara isolasi dikembangkan, yaitu :
a. Inokulasi intraserebral pada bayi tikus albino umur 1-3 hari.
b. Inokulasi pada biakan jaringan mamalia (LLCKMK2) dan
nyamuk A. albopictus.
c. Inokulasi pada nyamuk dewasa secara intratorasik / intraserebri
pada larva.
c) Identifikasi Virus
Adanya pertumbuhan virus dengue dapat diketahui dengan
melakukan fluorescence antibody technique test secara langsung atau
tidak langsung dengan menggunakan cunjugate. Untuk identifikasi virus
dipakai flourensecence antibody technique test secara indirek dengan
menggunakan antibodi monoklonal.
d) Uji Serologi
1. Uji hemaglutinasi inhibasi (Haemagglutination Inhibition Test = HI
test)
Diantara uji serologis, uji HI adalah uji serologis yang paling
sering dipakai dan digunakan sebagai baku emas pada pemeriksaan
serologis. Terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam uji
HI ini :
a. Uji ini sensitif tetapi tidak spesifik, artinya dengan uji serologis
ini tidak dapat menunjukan tipe virus yang menginfeksi.
b. Antibodi HI bertahan didalam tubuh sampai lama sekali (48
tahun), maka uji ini baik digunakan pada studi seroepidemiologi.
c. Untuk diagnosis pasien, kenaikan titer konvalesen empat kali
lipat dari titer serum akut atau konvalesen dianggap sebagai
presumtive positif, atau diduga keras positif infeksi dengue yang
baru terjadi (Recent dengue infection).
2. Uji Komplement Fiksasi (Complement Fixation test = CF test)
Uji serologi yang jarang digunakan sebagai uji diagnostik
secara rutin oleh karena selain cara pemeriksaan agak ruwet,
prosedurnya juga memerluikan tenaga periksa yang sudah
berpengalaman. Berbeda dengan antibodi HI, antibodi komplemen
fiksasi hanya bertahan sampai beberapa tahun saja ( 2 – 3 tahun).
3. Uji neutralisasi ( Neutralisasi Tes = NT test)
Merupakan uji serologi yang paling spesifik dan sensitif untuk
virus dengue. Biasanya uji neutralisasi memakai cara yang disebut
Plaque Reduction Neutralization Test ( PRNT ) yaitu berdasarkan
adanya reduksi dari plaque yang terjadi. Saat antibodi neutralisasi
dideteksi dalam serum hampir bersamaan dengan HI antibodi
komplemen tetapi lebih cepat dari antibodi fiksasi dan bertahan lama
(48 tahun). Uji neutralisasi juga rumit dan memerlukan waktu yang
cukup lama sehingga tidak dipakai secara rutin.
4. IgM Elisa ( IgM Captured Elisa = Mac Elisa)
Pada tahun terakhir ini, mac elisa merupakan uji serologi yang
banyak sekali dipakai. Sesuai namanya test ini akan mengetahui
kandungan IgM dalam serum pasien. Hal-hal yang perlu
diperhatikan dalam uji mac elisa adalah :
a. Pada perjalanan penyakit hari 4 – 5 virus dengue, akan timbul
IgM yang diikuti oleh IgG.
b. Dengan mendeteksi IgM pada serum pasien, secara cepat dapat
ditentukan diagnosis yang tepat.
c. Ada kalanya hasil uji terhadap masih negatif, dalam hal ini perlu
diulang.
d. Apabila hari ke 6 IgM masih negatif, maka dilaporkan sebagai
negatif.
e. IgM dapat bertahan dalam darah sampai 2 – 3 bulan setelah
adanya infeksi. Untuk memeperjelas hasil uji IgM dapat juga
dilakukan uji terhadap IgG. Untuk itu uji IgM tidak boleh
dipakai sebagai satu – satunya uji diagnostik untuk pengelolaan
kasus.
f. Uji mac elisa mempunyai sensitifitas sedikit dibawah uji HI,
dengan kelebihan uji mac elisa hanya memerlukan satu serum
akut saja dengan spesifitas yang sama dengan uji HI.
5. IgG Elisa
Pada saat ini juga telah beredar uji IgG elisa yang sebanding
dengan uji HI, hanya sedikit lebih spesifik. Beberapa merek dagang
kita uji untuk infeksi dengue IgM / IgG dengue blot, dengue rapid
IgM, IgM elisa, IgG elisa, yang telah beredar di pasaran. Pada
dasarnya, hasil uji serologi dibaca dengan melihat kenaikan titer
antibodi fase konvalesen terhadap titer antibodi fase akut (naik
empat kali kelipatan atau lebih).
e) Metode Diagnosa Baru (RTPCR)
Akhir-akhir ini dengan berkembangnya ilmu biologi molekular,
diagnosis infeksi virus dengue dapat dilakukan dengan suatu uji yang
disebut Reverse Transcriptase Polymerase Chai Reaction (RTPCR)
(Chien, 2008). Cara ini merupakan cara diagnosis yang sangat sensitif
dan spesifik terhadap serotipe tertentu, hasil cepat didapat dan dapat
diulang dengan mudah. Cara ini dapat mendeteksi virus RNA dari
spesimen yang berasal dari darah, jaringan tubuh manusia, dan nyamuk.
Meskipun sensitivitas PCR sama dengan isolasi virus, PCR tidak begitu
dipengaruhi oleh penanganan spesimen yang kurang baik (misalnya
dalam penyimpanan dan handling), bahkan adanya antibodi dalam darah
juga tidak mempengaruhi hasil dari PCR (Lanciotti, 2008).
2) Pemeriksaan Radiologi
Kelainan yang bisa didapatkan antara lain :
1. Dilatasi pembuluh darah paru.
2. Efusi pleura.
3. Kardiomegali atau efusi perikard.
4. Hepatomegali.
5. Cairan dalam rongga peritoneum.
6. Penebalan dinding vesika felea
H. DIAGNOSA BANDING
a. Pada awal perjalanan penyakit, diagnosis banding mencakup infeksi bakteri,
virus, atau penyakit protozoa seperti demam tifoid, campak, influenza,
hepatitis chikungunya, malaria. Adanya trombositopenia yang jelas disertai
hemokonsentrasi dapat membedakan antara DBD dengan penyakit lain.
b. DBD harus dibedakan pada deman chikungunya (DC). Pada DC biasanya
seluruh anggota keluarga dapat terserang dan penularannya mirip dengan
influenza. Bila dibandingkan dengan DBD, DC memperlihatkan serangan
demam mendadak, masa demam lebih pendek, suhu tubuh tinggi, hampir
selalu disertai ruam makulopapular, injeksi kojungtiva dan lebih sering
dijumpai nyeri sendi. Proporsi uji tourniquet positif, petekie dan epistaksis
hampir sama dengan DBD. Pada DC tidak ditemukan perdarahan
gastrointestinal dan syok.
c. Perdarahan seperti petekie dan ekimosis ditemukan pada beberapa penyakit
infeksi, misalnya sepsis, meningitis meningkokus. Pada sepsis, anak sejak
semula kelihatan sakit berat, demam naik turun, dan ditemukan tanda-tanda
infeksi. Disamping itu jelas terdapat leukositosis disertai dominasi sel
polimorfonuklear (pergeseran ke kiri pada hitung jenis). Pemeriksaan laju
endap darah (LED) dapat dipergunakan untuk membedakan infeksi bakteri
dengan virus. Pada meningitis meningkokokus jelas terdapat rangsangan
meningeal dan kelainan pada pemeriksaan cairan serebrospinalis.
d. Idiopatic Thrombocytopenic Purpura (ITP) sulit dibedakan dengan DBD
derajat II, oleh karena didapatkan demam disertai perdarahan di bawah kulit.
Pada hari-hari pertama, diagnosis ITP sulit dibedakan dendgan penyakit
DBD, tetapi pada ITP demam cepat menghilang, tidak dijumpai
hemokonsentrasi, dan pada fase penyembuhan DBD jumlah trombosit lebih
cepat kembali normal daripada ITP.
e. Perdarahan dapat juga terjadi pada leukemia atau anemia aplastik. Pada
leukemia demam tidak teratur, kelenjar limfe dapat teraba dan anak sangat
anemis. Pemeriksaan darah tepi dan sumsum tulang akan memperjelas
diagnosis leukemia. Pada anemia aplastik anak sangat anemik, demam
timbul karena infeksi sekunder.
I. PENATALAKSANAAN
Berdasarkan panduan WHO 2009, pasien dengan infeksi dengue
dikelompokkan ke dalam 3 kelompok yaitu Grup A, B, dan C. Pasien yang
termasuk Grup A dapat menjalani rawat jalan. Sedangkan pasien yang termasuk
Grup B atau C harus menjalani perawatan di rumah sakit. Sampai saat ini belum
tersedia terapi antiviral untuk infeksi dengue. Prinsip terapi bersifat simptomatis
dan suportif.
1. Grup A
Yang termasuk Grup A adalah pasien yang tanpa disertai warning
signs dan mampu mempertahankan asupan oral cairan yang adekuat dan
memproduksi urine minimal sekali dalam 6 jam. Sebelum diputuskan rawat
jalan, pemeriksaan darah lengkap harus dilakukan. Pasien dengan
hematokrit yang stabil dapat dipulangkan. Terapi di rumah untuk pasien
Grup A meliputi edukasi mengenai istirahat atau tirah baring dan asupan
cairan oral yang cukup, serta pemberian parasetamol. Pasien beserta
keluarganya harus diberikan KIE tentang warning signs secara jelas dan
diberikan instruksi agar secepatnya kembali ke rumah sakit jika timbul
warning signs selama perawatan di rumah.
2. Grup B
Yang termasuk Grup B meliputi pasien dengan warning signs dan
pasien dengan kondisi penyerta khusus (co-existing conditions). Pasien
dengan kondisi penyerta khusus seperti kehamilan, bayi, usia tua, diabetes
mellitus, gagal ginjal atau dengan indikasi sosial seperti tempat tinggal yang
jauh dari RS atau tinggal sendiri harus dirawat di rumah sakit. Jika pasien
tidak mampu mentoleransi asupan cairan secara oral dalam jumlah yang
cukup, terapi cairan intravena dapat dimulai dengan memberikan larutan
NaCl 0,9% atau Ringer’s Lactate dengan kecepatan tetes maintenance.
Monitoring meliputi pola suhu, balans cairan (cairan masuk dan cairan
keluar), produksi urine, dan warning signs.
Tatalaksana pasien infeksi dengue dengan warning signs adalah sebagai
berikut :
• Mulai dengan pemberian larutan isotonic (NS atau RL) 5-7 ml/kg/jam
selama 1-2 jam, kemudian kurangi kecepatan tetes menjadi 3-5
ml/kg/jam selama 2-4 jam, dan kemudian kurangi lagi menjadi 2-3
ml/kg/jam sesuai respons klinis.
• Nilai kembali status klinis dan evaluasi nilai hematokrit. Jika hematokrit
stabil atau hanya meningkat sedikit, lanjutkan terapi cairan dengan
kecepatan 2-3 ml/kg/jam selama 2-4 jam.
• Jika terjadi perburukan tanda vital dan peningkatan cepat nilai HCT,
tingkatkan kecepatan tetes menjdai 5-10 ml/kg/jam selama 1-2 jam
• Nilai kembali status klinis, evaluasi nilai hematokrit dan evaluasi
kecepatan tetes infuse. Kurangi kecepatan tetes secara gradual ketika
mendekati akhir fase kritis yang diindikasikan oleh adanya produksi
urine dan asupan cairan yang adekuat dan nilai hematokrit di bawah nilai
baseline.
• Monitor tanda vital dan perfusi perifer (setiap 1-4 jam sampai pasien
melewati fase kritis), produksi urine, hematokrit (sebelum dan sesudah
terapi pengganti cairan, kemudian setiap 6-12 jam), gula darah, dan
fungsi organ lainnya (profil ginjal, hati, dan fungsi koagulasi sesuai
indikasi).
3. Grup C
Yang termasuk Grup C adalah pasien dengan kebocoran plasma
(plasma leakage) berat yang menimbulkan syok dan/atau akumulasi cairan
abnormal dengan distres nafas, perdarahan berat, atau gangguan fungsi
organ berat. Terapi terbagi menjadi terapi syok terkompensasi (compensated
shock) dan terapi syok hipotensif (hypotensive shock).
Terapi cairan pada pasien dengan syok terkompensasi meliputi :
• Mulai resusitasi dengan larutan kristaloid isotonik 5-10 ml/kg/jam
selama 1 jam. Nilai kembali kondisi pasien, jika terdapat perbaikan,
turunkan kecepatan tetes secara gradual menjadi 5-7 ml/kg/jam selama
1-2 jam, kemudian 3-5 ml/kg/jam selama 2-4 jam, kemudian 2-3
ml/kg/jam selama 2-4 jam dan selanjutnya sesuai status hemodinamik
pasien. Terapi cairan intravena dipertahankan selama 24-48 jam.
• Jika pasien masih tidak stabil, cek nilai hematokrit setelah bolus cairan
pertama. Jika nilai hematorit meningkat atau masih tinggi (>50%),
ulangi bolus cairan kedua atau larutan kristaloid 10-20 ml/kg/jam
selama 1 jam. Jika membaik dengan bolus kedua, kurangi kecepatan
tetes menjadi 7-10 ml/kg/jam selama 1-2 jam dan lanjutkan
pengurangan kecepatan tetes secara gradual seperti dijelaskan pada poin
sebelumnya.
• Jika nilai hematokrit menurun, hal ini mengindikasikan adanya
perdarahan dan memerlukan transfusi darah (PRC atau whole blood).
Terapi cairan pada pasien dengan syok hipotensif meliputi :
• Mulai dengan larutan kristaloid isotonik intravena 20 ml/kg/jam sebagai
bolus diberikan dalam 15 menit.
• Jika terdapat perbaikan, berikan cairan kristaloid atau koloid 10
ml/kg/jam selama 1 jam, kemudian turunkan kecepatan tetes secara
gradual.
• Jika tidak terdapat perbaikan atau pasien masih tidak stabil, evaluasi
nilai hematokrit sebelum bolus cairan. Jika hematokrit rendah (<40%),
hal ini menandakan adanya perdarahan, siapkan cross-match dan
transfusi. Jika hematokrit tinggi dibandingkan nilai basal, ganti cairan
dengan cairan koloid 10-20 ml/kg/jam sebagai bolus kedua selama 30
menit sampai 1 jam, nilai ulang setelah bolus kedua.
• Jika terdapat perbaikan, kurangi kecepatan tetes menjadi 7-10
ml/kg/jam selama 1-2 jam, kemudian kembali ke cairan kristaloid dan
kurangi kecepatan tetes seperti poin penjelasan sebelumnya.
• Jika pasien masih tidak stabil, evaluasi ulang nilai hematokrit setelah
bolus cairan kedua. Jika nilai hematokrit menurun, hal ini menandakan
adanya perdarahan. Jika hematokrit tetap tinggi atau bahkan meningkat
(>50%), lanjutkan infus koloid 10-20 ml/kg/jam sebagai bolus ketiga
selama 1 jam, kemudian kurangi menjadi 7-10 ml/kg/jam selama 1-2
jam, kemudian ganti dengan cairan kristaloid dan kurangi kecepatan
tetes.
• Jika terdapat perdarahan, berikan 5-10 ml/kg/jam transfusi PRC segar
atau 10-20 ml/kg/jam whole blood segar.
Kriteria memulangkan pasien
Pasien dapat dipulangkan apabila :
• Tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik.
• Nafsu makan membaik.
• Secara klinis tampak perbaikan.
• Hematokrit stabil.
• Tiga hari setelah syok teratasi.
• Jumlah trombosit > 50.000/µl.
• Tidak dijumpai distres pernafasan (disebabkan oleh efusi pleura atau
asidosis)
J. KOMPLIKASI
a. Ensefalopati Dengue
Pada umumnya ensefalopati terjadi sebagai komplikasi syok yang
berkepanjangan dengan perdarahan, tetapi dapat juga terjadi pada DBD
yang tidak disertai syok. Gangguan metabolik seperti hipoksemia,
hiponatremia, atau perdarahan, dapat menjadi penyebab ensefalopati.
Melihat ensefalopati DBD bersifat sementara, kemungkinan dapat juga
disebabkan oleh trombosis pembuluh darah otak sementara sebagai akibat
dari koagulasi intravaskuler yang menyeluruh. Dilaporkan bahwa virus
dengue dapat menembus sawar darah otak. Dikatakan juga bahwa keadaan
ensefalopati berhubungan dengan kegagalan hati akut.
Pada ensefalopati dengue, kesadaran pasien menurun menjadi apatis
atau somnolen, dapat disertai atau tidak kejang dan dapat terjadi pada
DBD/SSD. Apabila pada pasien syok dijumpai penurunan kesadaran, maka
untuk memastikan adanya ensefalopati, syok harus diatasi terlebih dahulu.
Apabila syok telah teratasi maka perlu dinilai kembali kesadarannya. Pungsi
lumbal dikerjakan bila kesadarannya telah teratasi dan kesadaran tetap
menurun (hati-hati bila jumlah trombosit < 50.000/µl). Pada ensefalopati
dengue dijumpai peningkatan kadar transaminase (SGOT/SGPT), PT dan
PTT memanjang, kadar gula darah menurun, alkalosis pada analisa gas
darah, dan hiponatremia (Bila mungkin periksa kadar amoniak darah).
b. Kelainan Ginjal
Gagal ginjal akut umumnya terjadi pada fase terminal, sebagai akibat
dari syok yang tidak teratasi dengan baik. Dapat dijumpai sindrom uremik
hemolitik walaupun jarang. Untuk mencegah gagal ginjal, maka setelah
syok diobati dengan menggantikan volume intravaskuler, penting
diperhatikan apakah benar syok telah teratasi dengan baik. Diuresis
merupakan parameter yang penting dan mudah dikerjakan, untuk
mengetahui apakah syok telah teratasi. Diuresis diusahakan > 1 ml/Kg BB
per jam. Oleh karena bila syok belum teratasi dengan baik sedangkan
volume cairan telah dikurangi dapat terjadi syok berulang. Pada keadaan
syok berat sering kali dijimpai akut tubular nekrosis ditandai penurunan
jumlah urine dan peningkatan kadar ureum dan kreatinin.
c. Oedema Paru
Merupakan komplikasi yang mungkin terjadi sebagai akibat dari
pemberian cairan yang berlebihan. Pemberian cairan pada hari ketiga
sampai kelima sakit sesuai dengan panduan yang diberikan, biasanya tidak
akan menyebabkan oedema paru karena perembesan plasma masih terjadi.
Tetapi pada saat terjadi reabsorbsi plasma dari ruang ekstravaskuler, apabila
cairan yang diberikan berlebih (Kesalahan terjadi bila hanya melihat
penurunan hemoglobin dan hematokrit tanpa memperhatikan hari sakit),
pasien akan mengalami distres pernafasan, disertai sembab pada kelopak
mata dan ditunjang dengan gambaran oedema paru pada foto rontgen.
K. PENCEGAHAN
Demam berdarah dapat dicegah dengan memberantas jentik-jentik
nyamuk Demam Berdarah (Aedes aegypti) dengan cara melakukan PSN
(Pembersihan Sarang Nyamuk) Upaya ini merupakan cara yang terbaik, ampuh,
murah, mudah dan dapat dilakukan oleh masyarakat, dengan cara sebagai
berikut :
1. Bersihkan (kuras) tempat penyimpanan air (seperti : bak mandi / WC,
drum, dan lainlain) sekurang-kurangnya seminggu sekali. Gantilah air di
vas kembang, tempat minum burung, perangkap semut dan lain-lain
sekurang-kurangnya seminggu sekali
2. Tutuplah rapat-rapat tempat penampungan air, seperti tampayan, drum,
dan lain-lain agar nyamuk tidak dapat masuk dan berkembang biak di
tempat itu.
3. Kubur atau buanglah pada tempatnya barang-barang bekas, seperti kaleng
bekas, ban bekas, botol-botol pecah, dan lain-lain yang dapat menampung
air hujan, agar tidak menjadi tempat berkembang biak nyamuk. Potongan
bamboo, tempurung kelapa, dan lain-lain agar dibakar bersama sampah
lainnya
4. Tutuplah lubang-lubang pagar pada pagar bambu dengan tanah atau
adukan semen.
5. Lipatlah pakaian/kain yang bergantungan dalam kamar agar nyamuk tidak
hinggap disitu.
6. Untuk tempat-tempat air yang tidak mungkin atau sulit dikuras, taburkan
bubuk ABATE ke dalam genangan air tersebut untuk membunuh jentik-
jentik nyamuk. Ulangi hal ini setiap 2-3 bulan sekali.
Takaran penggunaan bubuk ABATE adalah sebagai berikut: Untuk 10
liter air cukup dengan 1 gram bubuk ABATE. Untuk menakar ABATE
digunakan sendok makan. Satu sendok makan peres berisi 10 gram ABATE.
Setelah dibubuhkan ABATE maka :
1. Selama 3 bulan bubuk ABATE dalam air tersebut mampu membunuh
jentik Aedes aegypti.
2. Selama 3 bulan bila tempat penampungan air tersebut akan
dibersihkan/diganti airnya, hendaknya jangan menyikat bagian dalam
dinding tempat penampungan air tersebut.
3. Air yang telah dibubuhi ABATE dengan takaran yang benar, tidak
membahayakan dan tetap aman bila air tersebut diminum.
L. PROGNOSIS
Prognosis DHF ditentukan oleh derajat penyakit, cepat tidaknya
penanganan diberikan, umur, dan keadaan nutrisi. Prognosis DBD derajat I dan
II umumnya baik. DBD derajat III dan IV bila dapat dideteksi secara cepat maka
pasien dapat ditolong. Angka kematian pada syok yang tidak terkontrol sekitar
40-50 % tetapi dengan terapi penggantian cairan yang baik bisa menjadi 1-2 %.
Penelitian pada orang dewasa di Surabaya, Semarang, dan Jakarta
memperlihatkan bahwa prognosis dan perjalanan penyakit DHF pada orang
dewasa umumnya lebih ringan daripada anak-anak. Pada kasus- kasus DHF
yang disertai komplikasi sepeti DIC dan ensefalopati prognosisnya buruk.

M. KESIMPULAN DAN SARAN


Demam dengue/DF dan demam berdarah dengue/DBD (dengue
haemorrhagic fever/ DHF) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus
dengue dengan manifestasi klinis demam, nyeri otot dan/atau nyeri sendi yang
disertai lekopenia, ruam, limfoadenopati, trombositopenia dan diatesis
hemoragik. Pada DBD terjadi perembesan plasma yang ditandai oleh
hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit) atau penumpukan cairan di rongga
tubuh. Sindrom renjatan degue (dengue shock syndrome) adalah demam
berdarah dengue yang ditandai oleh renjatan (syok)1 Beberapa faktor diketahui
berkaitan dengan peningkatan transmisi virus dengue yaitu: 1) vektor:
perkembangbiakan vektor, kebiasaan mengigit, kepadatan vektor di
lingkungan, transportasi vektor dari satu tempat ke tempat lain; 2) pejamu:
terdapatnya penderita di lingkungan/keluarga, mobilisasi dan paparan terhadap
nyamuk, usia dan jenis kelamin; 3) lingkungan: curah hujan, suhu, sanitasi dan
kepadatan penduduk.
Saran dari kami yaitu perlu adanya pengarahan lengkap, efektif, dan
efisien, yang berupa sikap atau contoh gerakan bebas Demam Berdarah Dengue
lebih lanjut tentang demam Demam Berdarah Dengue dengan sasaran yang
tepat dan perbaikan perilaku yang lebih efisien terhadap komunitas. Adanya
pengarahan terhadap pasien yang lebih ditekankan pada aspek perubahan
perilaku, di antaranya tentang tindakan pencegahan, 3M, penggunaan abate, dan
pengetahuan tentang fogging. Diharapkan dapat membantu pasien mencegah
penyebaran DHF di lingkungan pasien.
DAFTAR PUSTAKA
Buchy P, Yoksan S, Peeling RW, Hunsperger E. Laboratory Tests for The Diagnosis
of Dengue Virus Infection. J Clin Microbiol 2006; 40:376-81.
Chien LJ. Development of a real time reverse transcriptase PCR assays to detect
and serotype dengue viruses. J Clin Microbiol 2008; 44:1295-04.
Guzman MG, Kouri G. Dengue diagnosis, advances and challenges. Int J Infect Dis
2007; 8:69-80.
Hadinegoro, S.Sri Rezeki. 2011. Tata Laksana Demam Berdarah Dengue di
Indonesia. Terbitan Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Edisi
Ketiga. Jakarta.
Hadinegoro, S.Sri Rezeki, Pitfalls and Pearls. 2004. Diagnosis dan Tata Laksana
Demam Berdarah Dengue, dalam: Current Management of Pediatrics
Problem. Balai Penerbit FKUI. Jakarta. Hal 63-72.
Lanciotti RS. Rapid detection and typing of dengue viruses from clinical samples
by using reverse transcriptase-polymerase chain reaction. J Clin Microbiol
2008; 30:545-51.
Mansjoer, Arif & Suprohaita. 2000. Kapita Slekta Kedokteran Jilid II. Fakultas
Kedokteran UI : Media Aescullapius. Jakarta.
Shu PY. Comparison of a capture immunoglobulin M (IgM) and IgG ELISA and
nonstructural protein NS1 serotype-specific IgG ELISA for differentiation
of primary and secondary dengue virus infections. Clin Diagn Lab Immunol
2006;10:622-30.
WHO, Regional Office for South East Asia. 2011. Comprehensive Guidelines for
Prevention and Control of Dengue and Dengue Haemorrhagic Fever:
Revised and expanded edition. SEARO Technical Publication Series No.
60. India
World Health Organization. DENGUE Guidelines for diagnosis, treatment,
prevention and control. New Edition 2009.

Anda mungkin juga menyukai