Anda di halaman 1dari 24

Program Pemberantasan DHF di PKM

Julianti Dewisarty Ranyabar


10-2011-167
Mahasiswi, Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jalan Arjuna Utara No. 6 Jakarta Barat 11510
Telephone : (021) 5694-2061
Fax : (021)- 563 1731

Pendahuluan
Demam Berdarah Dengue (DHF) pada saat ini merupakan salah satu masalah kesehatan
masyarakat di Indonesia. Oleh menteri Kesehatan Republik Indonesia. DHF telah ditetapkan
menjadi salah satu penyakit menular yang harus dilaporkan dalam wakti satu kali dua puluh
empat jam. Hal ini disebabkan karena angka kematian yang tinggi, angka kesakitan
cenderung meningkat dari tahun ke tahun, daerah yang terjangkit semakin meluas khususnya
di daerah perkotaan yang padat dan adanya beberapa Kejadian Luar Biasa (KLB) yang
berdampak pada bidang pariwisata.
Penyakit DHF dalam dua puluh tahun terakhir merupakan penyakit yang menimbulkan
keresahan masyarakat karena menyerang terutama pada anak-anak dan terjadinya kematian
yang mendadak sesudah demam tinggi yang timbul mendadak, serta menyerang beberapa
anggota keluarga secara bersamaan atau selang beberapa hari dan penyakit ini sulit
diramalkan kesudahannya. Penyebab penyakit DHF adalah virus dengue yang termasuk
dalam group B arbovirus. Sebelum pertengahan abad ke-20 virus dengue dikenal hanya
menyebabkan penyakit demam dengue (demam klasik) dengan gejala utama yaitu demam
tinggi, nyeri pada sendi atau anggota tubuh, kadang-kadang timbul ruam makulo-papular dan
sembuh dalam waktu 5 hari dengan atau tanpa pengobatan. DHF pertama kali dilaporkan di
Manila pada tahun 1953. Pada saat wabah menyerang anak-anak dengan tanda demam tinggi
disertai perdarahan dan shock. Tahun-tahun berikutnya menyebar ke Asia Tenggara dan ke
Kepulauan Pasific.
Vektor penyakit ini adalah nyamuk Aedes aegypti yang banyak terdapat di perkotaan dan
Aedes Albopictus (transmitan co-vector) di perdesaan.
Penularan DHF berkaitan dengan musim penghujan khususnya pada permulaan dan pada
akhir musim penghujan. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya tempat perindukan nyamuk
Aedes aegypty di luar rumah sehingga populasi nyamuk Aedes aegypti yang meningkat.
Pembahasan
1


I.

Epidemiologi
Faktor agent
Penyakit DHF disebabkan oleh virus dengue. Virus ini termasuk dalam grup B
Antropod Bone Virus (Arbo virus) kelompok flavivirus dari famili flaviviridae yang
terdiri dari empat serotipe yaitu DEN 1, DEN 2, DEN 3, dan DEN 4.1
Infeksi virus dengue telah ada di Indonesia sejak abad ke-18 seperti yang dilaporkan
oleh David Bylon seorang dokter berkebangsaan Belanda. Saat itu infeksi virus
dengue menimbulkan penyakit yang dikenal sebagai penyakit demam lima hari
(vijvdaagse koorts) kadang-kadang disebut juga sebagai demam sendi (knokkel
koorts).1 Disebut demikian karena demam yang terjadi meghilang dalam lima hari dan
disertai nyeri pada sendi, nyeri otot, dan nyeri kepala. Pada masa itu infeksi virus
dengue di Asia Tenggara hanya merupakan penyakit ringan yang tidak pernah
menimbulkan kematian.1 Tetapi sejak tahun 1952 infeksi virus dengue menimbulkan
penyakit dengan manifestasi klinis berat yaitu DHF yang ditemukan di Manila,
Filipina.1 Kemudian menyebar ke negara lain seperti Thailand, Vietnam, Malaysia,
dan Indonesia. Pada tahun 1968, penyakit DHF dilaporkan di Surabaya dan Jakarta
dengan jumlah kematian yang sangat tinggi.
Masing-masing saling berkaitan sifat antigennya di berbagai daerah di Indonesia.
DEN 3 merupakan serotipe yang paling sering ditemui selama terjadinya KLB di
Indonesia yang diikuti DEN 2, DEN 1, dan DEN 4. 2 DEN 3 juga merupakan serotipe
yang paling dominan yang berhubungan dengan tingkat keparahan penyakit yang
menyebabkan gejala klinis yang berat dan penderita banyak yang meninggal.
Faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan dan penyebaran kasus DHF sangat

II.

kompleks yaitu:1
a) Pertumbuhan penduduk yang tinggi
b) Urbanisasi yang tidak terencana dan tidak terkendali
c) Tidak adanya kontrol vektor nyamuk yang efektif di daerah endemis
d) Peningkatan sarana transportasi
Faktor nyamuk penular
Nyamuk Aedes aegypti maupun Aedes albopticus merupakan vektor penularan virus
dengue dari penderita kepada orang lain melalui gigitannya. Nyamuk Aedes aegypti
merupakan vektor penting di daerah perkotaan (daerah urban) sedangkan daerah
perdesaan (daerah rural) kedua spesies nyamuk tersebut berperan dalam penularan.
Nyamuk Aedes aegypti dewasa warna dasarnya hitam dengan belang-belang putih
pada badan terutama pada kaki. Pada thorax ada tanda khas berupa bulu-bulu putih
membentuk gambaran lire.2
Nyamuk tersebut mendapat virus dari orang yang dalam darahnya terdapat virus
tersebut. Orang itu (carrier) tidak harus orang yang sakit demam berdarah sebab orang
2

yang mempunyai kekebalan tidak akan tampak sakit atau bahkan sama sekali tidak
sakit walaupun dalam darahnya terdapat virus dengue. Dengan demikian orang
tersebut dapat menularkan penyakit kepada orang lain. Virus dengue akan berada
dalam darah manusia selama 1 minggu. Biasanya orang dewasa mempunyai
kekebalan dengan virus ini. 3
Nyamuk aedes aegypti bersifat endo dan eksofagik. Aktif menghisap darah pada siang
hari dengan dua puncak waktu yaitu pada jam 8.00-12.00 dan pada jam 15.00-17.00. 2Beristirahat pada benda-benda tergantung dan perabot-perabot yang terlindungi dari
cahaya matahari atau pada tumbuhan-tumbuhan di luar rumah
Di alam bebas nyamuk dewasa hidup kurang lebih 10 hari. Jarak terbang nyamuk
kurang lebih 30 meter dalam radius lebih kurang 100 meter.4
Tempat perindukan nyamuk aedes aegypti ialah tempat-tempat yang mengandung air
jernih. Tempat-tempat yang mempunyai resiko tinggi untuk terjadinya penularan
demam berdarah ialah tempat umum seperti rumah sakit, puskesmas, selolah, hotel
atau tempat penginapan yang kebersihan lingkungannya tidak terjaga khususnya
kebersihan tempat-tempat penampungan air (bak mandi, WC, dan lain-lain)
Rumah atau tempat tinggal yang buruk atau kumuh dapat mendukung terjadinya
penularan penyakit dan gangguan kesehatan seperti:5
a) Infeksi saluran napas
Contoh: Common cold, TBC, influenza, pertusis
b) Infeksi pada kulit
Contoh: Skabies, ring worm, impetigo, dan lepra.
c) Infeksi akibat infestasi tikus
Contoh: Pes dan leptospirosis.
d) Arthropoda
Contoh: dengue, malaria, dan kaki gajah.
e) Kecelakaan
Contoh: bangunan rumah, terpeleset, patah tulang, dan gegar otak.
f) Mental
Contoh: neurosis, gangguan kepribadian, psikosomatis, dan ulkus peptikum.
Terdapat kriteria rumah yang sehat dan aman dari segi lingkungan yaitu:
a) Memiliki sumber air bersih dan sehat serta tersedia sepanjang tahun
b) Memiliki tempat pembuangan kotoran, sampah, dan air limbah yang baik
c) Dapat mencegah terjadi pengembangbiakan vektor penyakit seperti nyamuk, lalat,
tikus, dan sebagainya
d) Letak perumahan jauh dari sumber pencemaran (kawasan industri) dengan jarak
minimal 5 km dan memiliki daerah penyangga atau daerah hijau serta bebas
III.

banjir
Host

Karakteristik host (pejamu) adalah manusia yang kemungkinan terjangkit penyakit


DHF. Pada beberapa penelitian menunjukan bahwa anak-anak lebih rentan tertular
penyakit yang berpotensi mematikan ini.
Di daerah endemik, mayoritas kasus penyakit DHF terjadi pada usia kurang dari 15
tahun. Sebuah studi retrospektif di Bangkok yang dilaporkan WHO pada bulan MeiNovember 1962 menunjukan bahwa pada populasi 870.000 anak-anak usia di bawah
15 tahun diperkirakan 150.000-200.000 mengalami demam ringan akibat infeksi virus
dengue.6-7
Di Indonesia, penderita penyakit DBD terbanyak berusia 11 tahun. Secara
keseluruhan, tidak terdapat perbedaan kelamin penderita tetapi angka kematian lebih
banyak pada perempuan daripada laki-laki.2
Anak-anak cenderung lebih rentan daripada kelompok usia lain. Salah satu
penyebabnya adalah faktor imunitas yang relatif rendah dibandingkan orang dewasa.
Selain itu, pada kasus-kasus berat, yakni DHF derajat 3 dan 4, komplikasi terberat
yang kerap muncul yaitu syok yang relatif lebih banyak dijumpai pada anak-anak dan
sering kali tidak tertangani dan berakhir dengan kematian penderita
Pendidikan akan mempengaruhi cara berpikir dalam penerimaan penyuluhan dan cara
pemberantasan yang dilakukan. Hal ini berkaitan dengan pengetahuan. Hasil
penelitian Nicolas Duma pada tahun 2007 di Kecamatan Baruga kota Kendari, ada
hubungan yang sangat signifikan antara pengetahuan dengan kejadian DHF.

IV.

Environment
Di awal Musim hujan (September hingga Februari) meningkatkan populasi nyamuk. 5
Hal ini disebabkan karena terdapat genangan air bersih di dalam sisa-sisa kaleng
bekas, ban bekas, maupun benda-benda lain yang mampu menampung sisa air hujan.
Di Indonesia musim kering pun populasinya tetap banyak karena orang cenderung
menampung air dan di daerah sulit air orang menampung air di dalam bak air atau
drum sehingga nyamuk dan jentik selalu ada sepanjang tahun.5
Nyamuk Aedes aegypti sangat suka tinggal dan berkembang biak di genangan air
bersih yang tidak terkontak langsung dengan tanah. Vektor penyakit DHF diketahui
banyak bertelur di genangan air yang terdapat pada sisa-sisa kaleng bekas, tempat
penampungan air, bak mandi, ban bekas, dan sebagainya
Di daerah Urban berpenduduk padat, puncak penderita penyakit DBD adalah bulan
Juni atau Juli bertepatan dengan awal musim kemarau

Tanda dan Gejala Demam Berdarah Dengue (DBD).5


4

a. Demam
Penyakit DBD ditandai dengan demam tinggi secara mendadak disertai
facial flushing dan sakit kepala. Demam ini berlangsung terus-menerus selama 2-7
hari kemudian turun secara cepat. Kadang-kadang suhu tubuh sangat tinggi sampai
40oC dan dapat dijumpai kejang demam. Pasien kehilangan nafsu makan, muntah,
nyeri epigastrium, nyeri perut di daerah lengkung iga sebelah kanan. Akhir fase
demam merupakan fase kritis pada DBD, oleh karena fase tersebut dapat
merupakan awal penyembuhan tetapi dapat pula sebagai awal fase syok.
b. Tanda-tanda perdarahan
Penyebab perdarahan pada pasien demam berdarah adalah vaskulopati,
trombosipunio gangguan fungsi trombosit serta koasulasi intravasculer yang
menyeluruh. Jenis perdarahan terbanyak adalah perdarahan bawah kulit seperti
retekia, purpura, ekimosis dan perdarahan conjuctiva. Retekia merupakan tanda
perdarahan yang sering ditemukan. Muncul pada hari pertama demam tetepai dapat
pula dijumpai pada hari ke 3,4,5 demam. Perdarahan lain yaitu, epitaxis,
perdarahan gusi, melena dan hematemesis.
c. Hepatomegali
Pada umumnya dapat ditemukan pada awal penyakit, bervariasi dari hanya
sekedar dapat diraba (just palpable) sampai 2-4 cm di bawah lengkung iga kanan.
Derajat pembesaran hati tidak sejajar dengan beratnya penyakit. Untuk
menemukan pembesaran hati, harus dilakukan perabaan setiap hari. Nyeri tekan di
daerah hati sering kali ditemukan dan pada sebagian kecil kasus dapat disertai
ikterus. Nyeri tekan di daerah hati tampak jelas pada anak besar dan ini
berhubungan dengan adanya perdarahan.
d. Syok
Pada saat atau beberapa saat setelah suhu turun, antara hari sakit ke-3 sampai
7, terdapat tanda kegagalan sirkulasi, kulit teraba dingin dan lembap terutama pada
ujung jari dan kaki, sianosis di sekitar mulut, pasien menjadi gelisah, nadi cepat,
lemah, kecil sampai tidak teraba. Walaupun pada beberapa pasien tampak sangat
lemah, pada saat akan terjadi syok, pasien sangat gelisah. Sesaat sebelum syok
sering kali pasien mengeluh nyeri perut. Syok ditandai dengan denyut nadi cepat
dan lemah, tekanan nadi menurun (menjadi 20 mmHg atau kurang), jadi untuk
menilai tekanan nadi perhatikan tekanan sistolik dan diastolik, misalnya 100/90
5

mmHg berarti tekanan nadi 10 mmHg atau hipotensi (tekanan sistolik menurun
sampai 80 mmHg atau kurang), kulit dingin dan lembab. Syok harus bisa segera
ditangani, apabila tidak, akan terjadi asidosis metabolik, perdarahan saluran cerna
hebat atau perdarahan lain, yang berprognosis buruk.
e. Trombositopeni
Penurunan jumlah trombosit menjadi < 100.000/mm3 atau < 1-2 trombosit /
lapangan pandang dengan rata-rata pemeriksaan dilakukan pada 10 lpb, pada
umumnya trombositopenia terjadi sebelum ada peningkatan hematokrit dan terjadi
sebelum suhu turun. Jumlah htrombosit < 100.000/mm3 biasanya ditemukan antara
hari sakit ke-3 sampai hari sakit ke-7. Pemeriksaan trombosit perlu di ulang sampai
terbukti bahwa jumlah trombosit dalam batas normal atau menurun. Pemeriksaan
dilakukan pada saat pasien diduga menderita DBD, bila normal maka diulang pada
hari sakit ke-3 tetapi bila perlu diulang setiap hari sampai suhu turun.
f. Hemokonsentrasi / kadar hematokrit
Peningkatan nilai hematokrit (Ht) atau hemokonsentrasi selalu dijumpai
pada DBD, merupakan indikator yang peka akan terjadinya perembesan plasma,
sehingga perlu dilakukan pememeriksaan Ht secara berkala. Pada umumnya
penurunan trombosit mendahului peningkatan Ht. Hemokonsentrasi dengan
peningkatan Ht 20% atau lebih (misalnya dari 35% menjadi 42%), mencerminkan
peningkatan permeabilitas kapiler dan perembesan plasma. Nilai Ht dipengaruhi
oleh penggantian cairan atau perdarahan (WHO, 2009).

Kriteria Diagnosis DBD.5


Diagnosis demam berdarah ditegakkan berdasarkan kriteria diagnosis menurut WHO

terdiri dari kriteria klinis dan laboratories. Kriteria klinis antara lain :
a. Demam tinggi mendadak, tanpa sebab jelas, berlangsung terus-menerus selama 2 sampai 7
hari,
b. Terdapat manifestasi perdarahan, termasuk uji tourniquet positif, petekie, ekimosis,
epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis dan/atau melena,
c. Pembesaran hati,
d. Syok, ditandai dengan nadi cepat dan lemah serta penurunan tekanan nadi, hipotensi, kaki
dan tangan dingin, kulit lembap dan pasien tampak gelisah.
Kriteria laboratoris adalah :
6

a. Trombositopenia (100.000/mm3 atau kurang);


b. Hemokonsentrasi, dapat dilihat dari peningkatan hematokrit 20% atau lebih menurut
standar umur dan jenis kelamin;
Dua kriteria klinis pertama ditambah trombositopenia dan hemokonsentrasi cukup
untuk menegakkan diagnosis klinis DBD. WHO juga memberikan pedoman untuk membantu
menegakkan derajat beratnya penyakit, yaitu :
1. Derajat I : demam dengan uji bendung atau Rumpel leede (+);
2. Derajat II : derajat I ditambah perdarahan spontan;
3. Derajat III : nadi cepat dan lemah, tekanan nadi 20 mmHg hipotensi, akral dingin;
4. Derajat IV : syok berat, nadi tak teraba, tekanan darah tak terukur
(WHO, 2009)
2.1.7. Pengobatan
Pengobatan penderita Demam Berdarah adalah dengan cara:
a. Penggantian cairan tubuh.
b. Penderita diberi minum sebanyak 1,5 liter 2 liter dalam 24 jam (air teh dan gula sirup
atau susu).
c. Gastroenteritis oral solution/kristal diare yaitu garam elektrolit (oralit), kalau perlu 1
sendok makan setiap 3-5 menit.
d. Dilakukan dengan pengobatan terhadap tingkat gejala yang timbul, sehingga dapat
dikurangi, sebab masih belum adanya vaksin yang dapat menyembuhkan demam
berdarah secara langsung (WHO, 2009).

I.

Program Pemberantasan Demam Berdarah Dengue di Puskesmas.7


Perencanaan
Perencanaan suatu program bisa kita pakai analisis situasi berdasarkan data sebelumnya
seperti penanggulangan DHF, pengobatan DHF kegiatan-kegiatan yang akan
dilaksanakan dalam upaya pencegahan DHF. Jika program terdahulu berhasil, program
tersebut bisa kita pakai untuk acuan kita untuk merencanakan program sekarang yang
sedang direncanakan. Dalam membuat perencanaan diperlukan dokumen yang menjadi
acuan dalam pembuatan perencanaan yang berkaitan dengan penanggulangan DHF.
Selain itu perencanaan anggaran perlu diperhitungkan secara cermat demi kelancaran
progam tersebut. Dalam menyusun perencanaan diperlukan data-data dari puskesmas
seperti:
a) Jumlah kasus sebelumnya
b) Data jumlah penderita
c) Jumlah penduduk
7

d)
e)
f)
g)
h)
i)

Besar wilayah
Jumlah rumah
Jumlah tenaga yang ada
Sarana yang ada
Data situasi DHF sebelumnya
Angka Bebas Jentik
Rendahnya angka bebas jentik sangat berhubungan erat dengan peningkatan kasus
DBD dan diharapkan dengan meningkatnya cakupan Angka Bebas Jentik dapat

II.

menekan insiden Penyakit DHF


Pengorganisasi
Langkah-langkah yang ditempuh dalam pengorganisasian petugas yang terlibat dalam
penanggulangan DBD adalah dengan cara menyebarkan informasi terkait dengan kasus.
Setelah informasi disebarkan maka masing-masing petugas kelurahan akan langsung
turun ke lapangan. Informasi bisa didapat dari warga yang melapor ataupun media
massa.
Untuk melaksanakan kegiatan di lapangan, semua Puskesmas Kelurahan memiliki
koordinator DBD, petugas jumanti di setiap RT, dan petugas fogging tiap wilayah.
Petugas kecamatan tinggal mengkoordinir saja. Petugas tersebut akan melaksanakan
tugas dan tanggung jawab yang sudah ditetapkan dari awal. Contoh: petugas fogging,

III.

kalau penyelidikan epidemiologi positif maka segera dilakukan fogging


Pelaksanaan
a) Penyelidikan epidemiologi (PE)
Tenaga untuk melaksanakan Penyelidikan epidemiologi adalah petugas DBD yang
dibantu oleh jumantik serta masyarakat. Setelah data kasus diterima kemudian
diinformasikan ke kelurahan sesuai dengan alamat kasus, petugas puskesmas
kelurahan yang akan melaksanakan PE. PE dilakukan jika ada kasus baik yang
bersumber dari internet maupun yang langsung dilaporkan oleh warga. PE
dilaksanakan di rumah pasien DHF dan rumah-rumah di sekitar penderita DHF.
Hasil dari kegiatan PE berupa laporan dapat mengetahui perlu atau tidaknya fogging
di daerah tersebut
b) Pengendalian vektor DHF
Ada beberapa prinsip yang perlu diketahui dalam pengendalian arthopoda antara
lain:6-8
1. Pengendalian lingkungan
Pengendalian lingkungan merupakan cara terbaik untuk mengontrol arthopoda
karena hasilnya dapat bersifat permanen serta tidak merusak keseimbangan alam
dan tidak mencemari lingkungan.
Pengendalian lingkungan dibagi menjadi 2 macam yaitu:
Modifikasi lingkungan

Cara ini berkaitan dengan mengubah sarana fisik dan hasilnya bersifat
permanen. Contoh modifikasi lingkungan yaitu:
Pengaturan sistim irigasi
Penimbunan tempat-tempat yang dapat menampung air dan tempat-

tempat pembuangan sampah


Penimbunan tempat pengaliran air yang menggenang menjadi kering
Pengubahan rawa menjadi sawah
Pengubahan hutan menjadi pemukiman
Manipulasi lingkungan
Cara ini berkaitan dengan pembersihan atau pemeliharaan sarana fisik yang
telah ada supaya tidak terbentuk tempat-tempat perindukan atau tempat
istirahat serangga dan bersifat tidak permanen. Contohnya adalah

melancarkan got yang tersumbat


2. Pengendalian kimia
Pada pendekatan ini dilakukan penggunaan beberapa golongan insektisida.
Pengendalian kimia untuk DHF dapat dilaksanakan dengan menggunakan
mineral oils, paris green, insektisida sintetis seperti chlorpyrofos, abate, dan
malathion. Kebaikan cara pengendalian ini ialah dapat dilakukan dengan segera,
meliputi daerah yang luas sehingga dapat menekan populasi serangga dalam
waktu singkat. Penggunaan insektisida ini sering menimbulkan resistensi dan
juga kontaminasi pada lingkungan serta kematian beberapa pemangsa dan
organisme yang bukan target. Selain itu, pengendalian kimia dengan cara
penyemprotan banyak ditolak oleh penduduk setempat. Hal ini disebabkan
karena khawatir binatang peliharaaan mati.
3. Pengendalian fisik
Pada cara pengendalian ini digunakan alat fisika untuk pemanasan, pembekuan,
dan penggunaan alat listrik untuk pengadaan angin, penyinaran yang dapat
membunuh atau mengganggu kehidupan serangga. Di Indonesia, cara ini dapat
dilihat di hotel, restoran, dan pasar swalayan yang memasang hembusan angin
keras di pintu masuk. Memasang lampu kuning dapat menghalau nyamuk.
4. Pengendalian biologi
Pengendalian biologi bertujuan untuk mengurangi pencemaran lingkungan
akibat pemakaian insektisida yang berasal dari bahan-bahan beracun.
Pengendalian ini dilakukan dengan memperbanyak pemangsa dan parasit
sebagai musuh alami bagi serangga. Beberapa parasit yang bertujuan
mengendalikan larva yaitu:

Nematoda (Romanomersis iyengari merupakan cacing yang dapat


menembus badan larva nyamuk dan hidup sebagai parasit hingga larva mati

dan mencari hospes baru)


Bakteri
Protozoa (Pleistophora culicis dan Nosema algerae dapat menjadi parasit

larva nyamuk)
Jamur (Tolypocladium cylindrosporum dan Culicinomyces clavisporus yang
bertujuan untuk pengendalian larva Anopheles, Aedes, Culex, Simulium, dan

Culicoides)
Virus dapat dipakai sebagai pengendali larva nyamuk.
Arthopoda juga dapat dipakai sebagai pengendali nyamuk dewasa. Predator atau
pemangsa yang baik untuk pengendalian larva nyamuk terdiri dari:
Ikan
Beberapa jenis ikan yang cocok untuk pengendalian larva ialah:
Panchax panchax (ikan kepala timah)

Gambar 1. Kepala ikan timah

Gambar 2. Kepala ikan timah


Lebistus reticularis ( Guppy = water ceto)

Gambar 3. Ikan guppy


9

10

Gambar 4. Ikan guppy


Gambusia affinis (ikan gabus)

Gambar 5. Ikan gabus


Poecilia reticulata

Gambar 6. Poecilia reticulata

Gambar 7. Poecilia reticulata


10
Trichogaster trichopterus

11

Gambar 8. Trichogaster trichopterus

Gambar 9. Trichogaster trichopterus


Cyprinus carpio (ikan karpa)

Gambar 10. Cyprinus carpio

Gambar 11. Cyprinus carpio


11
Tilapia nilotica

12

Gambar 12. Tilapia nilotica

Gambar 13. Tilapia nilotica


Puntious binolatus

Gambar 14. Puntious binolatus

Gambar 15. Puntious binolatus


Rasbora lateristriata

Gambar 16. Rasbora lateristriata


12

13

Gambar 17. Rasbora lateristriata


Larva nyamuk yang berukuran lebih besar
Larva capung

Gambar 18. Larva capung

Gambar 19. Larva capung


Crustaceae
Contohnya adalah mesacyclops yang terdapat pada gambar 20.

Gambar 20. Mesacyclops


13
5. Pengendalian genetik
Dalam pendekatan ini, ada beberapa teknik yang dapat digunakan yaitu:
Steril male technique
Perusakan DNA di dalam kromosom tanpa mengganggu proses pematangan
dengan zat kimia (preparat TPA atau dengan radiasi Cobalt 60, antimitotik,
14

antimetabolit, dan bazarone) atau cara radiasi, Setelah dilakukan perusakan


DNA, serangga tersebut dilepaskan di aam bebas, tempat populasi serangga

bahaya tadi.
Citoplasmic incompatibility
Dilakukan dengan cara mengawinkan antar strain nyamuk sehingga
sitoplasma telur tidak dapat ditembus sperma dan tidak terjadi pembuahan.
Chorosomal translocation
Radiasi yang dapat mengubah letak susunan dalam kromosom.
Hybrid strerility
Mengawinkan serangga antar spesies terdekat akan mendapatkan keturunan

jantan yang steril.


Untuk pengendalian antilarva dapat kita terapkan 3 pengendalian yaitu pengendalian
lingkungan, pengendalian kimia, dan pengendalian biologi.
Dalam upaya pengendalian terhadap nyamuk dewasa, beberapa merode di bawah ini
dapat dilakukan yaitu:
1. Residual spray yang terdapat pada tabel 1
Tabel 1 Pengendalian nyamuk dengan insektisida
Residual
spray
DDT
Lindane
Malathion

Dosis
g/m2
1-2
0,5
2

Durasi
(bulan)
26-12
3
3

Sesuai dengan kepustakaan no.

2. Space spray
Penyemprotan ruangan ini dapat menggunakan ekstrak pyrethrum maupun
residual insektisida
3. Pengendalian genetik
Cara-cara untuk melakukan pengendalian genetik di antaranya steril male
technique, cytoplasmic incompatibility, chromosom translocation, dan sex
distortion.
Untuk pengendalian nyamuk dewasa dapat dilakukan tindakan-tindakan berikut ini
yaitu:
1. Pemasangan mosquito net (kelambu)
2. Pelaksanaan screening
3. Penggunaan repellent (kimia)
Repellent (penolak nyamuk) yang digunakan mengandung zat kimia seperti
diethyltoluamide, indalon, atau dimethyl karbote.
Pengendalian vektor DHF adalah semua kegiatan yang bertujuan untuk menekan
kepadatan nyamuk dan jentik nyamuk yang berperan sebagai vektor penyakit DHF
di rumah atau bangunan yang meliputi perumahan, perkantoran, tempat umum,
sekolah, gudang, dan sebagainya.
15

Untuk memutuskan rantai penularan, pemberantasan vektor dianggap cara paling


memadai saat ini. Vektor demam berdarah dengue khususnya Aedes aegyti
sebenarnya mudah diberantas karena sarang-sarangnya terbatas di tempat yang berisi
air bersih dan jarak terbang maksimal nyamuk ini hanya 100 meter. Tetapi karena
vektor tersebut tersebar luas maka untuk keberhasilan pemberantasan perlu
dilakukan total coverage (meliputi seluruh wilayah) agar nyamuk tak dapat
berkembang biak lagi.
Langkah-langkah kegiatan berhubungan dengan pengendalian vektor demam
berdarah dengue yang ditetapkan oleh Departemen Kesehatan RI yaitu:1
1. Survalensi tempat perindukan vektor
Pendataan rumah/bangunan di wilayah kerja
Pemeriksaan tempat perindukan vektor pada rumah atau bangunan
Pengolahan data hasil pemeriksaan tempat perindukan vektor
Rekomendasi kepada petugas kesehatan dan sektor terkait
Laporan kepada atasan langsung dan sektor terkait
Penyebarluasan (sosialisasi informasi) hasil survalensi atau pengamatan
2. Pengendalian vektor
Investigasi rumah atau bangunan dan lingkungan yang berpotensi jentik di

wilayah kerja melalui survey lingkungan


Menentukan jenis pengendalian vektor sesuai dengan permasalahan di

wilayah kerja
Melakukan pemberantasan vektor
3. Penyuluhan dan pergerakan masyarakat
Melakukan identifikasi masalah sesuai dengan sasaran
Menentukan jenis media penyuluhan sesuai dengan sasaran
Menentukan materi penyuluhan pengendalian vektor
Melaksanakan penyuluhan dan penggerakan masyarakat dalam rangka
pengendalian vektor khususnya tempat perindukan
Menghimpun umpan balik yang diberikan oleh sasaran
4. Sosialisasi, advokasi, dan kemitraan
Melakukan pertemuan untuk sosialisasi terhadap lintas program, lintas

sektor terkait, swasta, dan masyarakat


Menentukan jumlah dan jenis pedoman yang akan disosialisasikan
Melakukan advokasi terhadap pengambilan keputusan di tingkat kecamatan

maupun kabupaten atau kota


Menjalin kerja sama baik terhadap lintas sektor maupun swasta
Hasil sosialisasi dilaporkan kepada atasan langsung dan sektor terkait
5. Monitoring dan evaluasi
Pemantauan secara terus menerus terhadap hasil survalensi tempat
perindukan

16

Pembinaan teknis terhadap pemerintah (dinas kesehatan, puskesmas),

swasta, dan masyarakat


6. Peningkatan SDM
Menentukan jenis pelatihan yang sesuai dengan peserta yang dilatih
Melaksanakan pelatihan pengendalian vektor
Langkah-langkah kegiatan penanggulangan kasus demam berdarah dengue di
wilayah kerja Puskesmas meliputi penyelidikan epidemiologi (PE) yaitu pendarian
penderita atau tersangka DHF lainnya dan pemeriksaan jentik di rumah penderita
atau tersangka dalam radius sekurang-kurangnya 100 meter (di rumah penderita dan
20 rumah sekitarnya) serta tempat-tempat umum yang diperkirakan menjadi sumber
penularan. Dari hasil PE bila ditemukan penderita DHF lain atau ada jentik dan
penderita panas tanpa sebab yang jelas > 3 orang maka dilakukan penyuluhan
mengenai 3M, tindakan larvadisasi, pengasapan. Apabila tidak ditemukan maka
hanya dilakukan penyuluhan dan kegiatan 3M
Dalam hal pemberantasan vektor, langkah kegiatannya meliputi pemberantasan
sarang nyamuk demam berdarah dengue (PSN DHF) dengan cara 3M dan
pemeriksaan jentik berkala (PJB) setiap 3 bulan sekali tiap desa atau kelurahan
endemis pada 100 rumah atau bangunan yang dipilih secara acak yang merupakan
evaluasi hasil kegiatan PSN DHF yang telah dilakukan masyarakat. Kegiatan ini
harus ditunjang dengan pelaksanaan promosi kesehatan dalam bentuk penyuluhan
tentang penyakit demam berdarah dengue dan kegiatan evaluasi yang dilakukan
secara aktif yaitu melalui supervisi dan secara pasif melalui laporan hasil kegiatan.
c) Pemeriksaan jentik berkala di sekolah dan kelurahan
Pemeriksaan jentik berkala dilaksanakan di sekolah-sekolah dan kelurahankelurahan yang ada di wilayah kerja Puskesmas. Pemeriksaan jentik berkala di
sekolah dilakukan oleh petugas UKS yang ada di sekolah-sekolah. Pemeriksaan
jentik berkala di kelurahan dilakukan oleh orang-orang yang bekerja di kantor
kelurahan.
d) Kunjungan rumah penderita DHF
Puskesmas melakukan kunjungan ke rumah-rumah penderita DHF untuk mengkaji
lebih lanjut masalah DHF yang ada di wilayah tersebut seperti melakukan
pemeriksaan terhadap anggota keluarga yang menderita DHF. Selain itu, petugas
kesehatan juga memeriksa 10 rumah yang ada di samping kiri, samping kanan,
depan, dan belakang dari rumah pasien. Apabila didaptkan kasus di antara rumah
yang diperiksa maka puskesmas akan melakukan fogging di daerah tersebut.8
e) Melakukan fogging

17

Melakukan fogging dengan malanthion untuk membunuh nyamuk dewasa setidaktidaknya 2 kali dengan jarak waktu 10 hari. Pengasapan hanya dilakukan bila di
lokasi ditemukan 3 kasus positif DHF dengan radius 100 meter (40 rumah) dan bila
di daerah tersebut ditemukan banyak jentik nyamuk DHF.9 Misalnya di daerah yang
terkena wabah dan di daerah endemi DHF yang indeks kepadatan nyamuknya relatif
tinggi dengan cara pemantauan kepadatan populasi nyamuk. Pengukuran kepadatan
populasi nyamuk yang belum dewasa (stadium jentik) dilakukan dengan cara
pemeriksaan tempat-tempat perindukan di dalam atau di luar rumah dari 100 rumah
yang terdapat di daerah pemeriksaan.9-10
f) Pemantauan dan pelaksanaan PSN di sekolah
Pemantauan dan pelaksanaan PSN di sekolah dilakukan oleh petugas UKS. Petugas
UKS akan membuat kartu dan mereka diberikan tugas untuk memeriksa jentik di
rumah masing-masing seminggu sekali. Apabila terdapat jentik di rumah, mereka
harus menulisnya di kartu yang dibagikan. Kartu tersebut dikumpulkan kepada
IV.

petugas UKS kemudian dibuat laporan kepada puskesmas setiap 3 bulan sekali
Pengawasan
Metode pengawasan dibagi menjadi 2 macam yaitu:
a) Pengawasan langsung (dilakukan ketika ada kegiatan penanggulangan DHF).
Waktu pengawasan dilaksanakan ketika kegiatan berlangsung
b) Pengawasan tidak langsung (melalui laporan kegiatan)
Waktu pengawasan dilakukan setiap bulannya dari hasil laporan kegiatan.
Monitoring dan evaluasi dilakukan dengan membuat mini lokakarya. Mini lokakarya ini
dilaksanakan dengan mempresentasikan semua hasil kegiatan Puskesmas. Monitoring
dan evaluasi dapat dilakukan setiap bulan, 3 bulan sekali, atau 6 bulan sekali. Evaluasi
bertujuan untuk membandingkan hasil yang ada dengan indikator yang ingin dicapai saat
perencanaan.10

Problem Solving Cycle (Siklus Pemecahan Masalah)


Problem Solving Cycle (PSC) adalah serangkaian kegiatan terus
menerus dalam rangka pemecahan masalah. Metode ini sudah umum
diginakan dalam pemecahaman masalah kesehatan. Beberapa langkah
utama PSC adalah :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

Identifikasi Masalah
Perumusan Masalah
Prioritas Masalah
Identifikasi Faktor Penyebab Masalah
Penetapan Penyebab Masalah
Identikasi Alternatif Tindakan Pemecahan Masalah
Pemilihan Tindakan Intervensi
Plan Of Action (POA)
18

9. Rencana Evaluasi Program dan Kegiatan


Ada yang merumuskan 7 langkah dan ada yang lebih dari 9 langkah,
oleh karna beberapa langkah bisa disederhanakan ke dalam 1 tahapan
dan ada yang bisa dirinci menjadi lebih detail. Jumlah tahapan PSC
bukanlah hal yang prinsip. Yang menjadi prinsip dalam PSC adalah bahwa
kegiatan disusun dan direncanakan didasari oleh masalah yang ditemukan
di lokasi bersangkutan (data empirik), dan, hasil kegiatan dijadikan bahan
perencanaan pada siklus berikutnya, damikian seterusnya sehingga
menjadi siklus tanpa henti. Uraian Ringkas tiap kegiatan adalah sebagai
berikut :
1. Identifikasi Masalah :
Masalah adalah sesuatu yang tidak diinginkan. Perbedaan yang
diinginkan

dengan

fakta

yang

terjadi.

Sebuah

kondisi

yang

seharusnya sudah terjadi, namun kenyataan belum terjadi. Atau


target yang tidak tercapai bisa juga dijadikan sebuah masalah.
Dalam pembangunan kesehatan, termasuk KB telah ditetapkan
target kondisi yang diharapkan tercapai dalam jangka waktu
tertentu. Jika hal tersebut tidak dapat dicapai maka akan timbul
masalah

baru

atau

akan

dihadapi

konsekwensi

dari

ketidak

tercapaian tersebut.
Idealnya masalah diidentifikasi dengan pengumpulan data primer di
lapangan, namun bisa juga dilakukan dengan menganalisis data
sekunder

seperti

laporan

pelaksanaan

kegiatan

periode

sebelumnya.
Apabila dalam analisis masalah menggunakan data primer, maka
yang didefinisikan sebagai masalah adalah variabel dependen
dalam pengumpulan data tersebut.
2. Perumusan Masalah
Masalah, dirumuskan dalam kalimat masalah (sesuatu yang negatif)
dari variabel masalah itu sendiri. Perumusan masalah suatu kajian
teoritis apakah daftar masalah tersebut memang suatu masalah
yang memerlukan penanganan atau hanya sekedar efek samping
dari suatu keadaan. Artinya prevalensi-prevalensi masalah yang
19

didapatkan merupakan ukuran sampingan dari masalah lain yang


apabila masalah lain tersebut ditangani makan secara otomatis
akan terpecahkan juga. Jadi masalah yang seperti ini tidak
membutuhkan

penanganan

khusus

yang

perlu

direncakan

pemecahannya.
3. Prioritas Masalah
Memprioritaskan masalah adalah sebuah upaya untuk mengurutkan
masalah menjadi sebuah daftar urutan penanganan masalah
tersebut.

Pengurutan

prioritas

masalah

akan

menempatkan

beberapa masalah dalam skala prioritas, seperti masalah utama dan


masalah berikutnya sesuai urutan hasil analisis. Ada banyak metode
yang dapat digunakan dalam memprioritaskan masalah seperti
Delphi, Delbec, metode Skoring atau Pembobotan, dan lain-lain.
Dalam PSC di bidang kesehatan pertimbangan yang sangat lazim
digunakan adalah
a. Luasnya masalah (banyaknya orang yang terkena), berkaitan
dengan prevalensi.
b. Beratnya Masalah, berkaitan dengan akibat buruk yang
ditimbulkan.
c. Technical Support, kertersediaan teknik pemecahan
d. Opportunity, peluang bisa dipecahkan (tingkat keberhasilan).
Masing-masing pertimbangan diberi bobot dari tertinggi sampai
terendah. Berdasarkan 4 pertimbangan di atas, maka skoring
didasarkan pada (1) Luasnya masalah, makin luas masalah atau
semakin banyak orang yang menderita, dalam hal ini makin tinggi
prevalensi maka makin tinggi skor. (2) Beratnya masalah, makin
berat dampak yang dirasakan oleh masyarakat maka makin tinggi
skor. (3) Technical Support, makin tersedia teknik pemecahan
masalah di lokasi tempat masalah itu muncul maka makin tinggi
skor. dan (4) Kesesuaian dengan profesi adalah karakteristik
masalah yang diangkat diberi skor kedekatan dengan profesi yang
akan memecahkan masalah.
Setelah dilakukan pembobotan masing-masing masalah, kemudian
dijumlahkan skor masing-masing masalah, dan kemudian ditetapkan
20

prioritas masalah berdasarkan jumlah skor yang didapat. Masalah


yang menjadi prioritas utama untuk dipecahkan adalah yang
mendapat jumlah skor tertinggi dan seterusnya. Apabila ada jumlah
skor yang sama untuk beberapa masalah, maka masalah tersebut
menempati urutan yang sama untuk dipecahkan.
Bagian akhir dari prioritas masalah akan didapatkan beberapa
masalah yang akan ditangani lebih dahulu (misalnya 5 rangking
taratas). Pada langkah berikutnya, analisis penyebab masalah akan
dilakukan terhadap variabel yang bermasalah saja yang akan
dicarikan faktor penyebabnya.
4. Alternatif solusi
Alternatif solusi dapat diketahui dengan metode brainstorming.
Brainstorming merupakan teknik mengembangkan ide dalam waktu
yang singkat yang digunakan untuk mengenali adanya masalah,
baik yang telah terjadi maupun yang potensial terjadi, menyusun
daftar

masalah,

menyusun

alternatif

pemecahan

masalah,

menetapkan kriteria untuk monitoring, mengembangkan kreativitas,


dan menggambarkan aspek-aspek yang perlu dianalisis dari suatu
pokok bahasan
5. Pelaksanaan solusi terpilih
Solusi yang paling tepat dapat dipilih dengan menggunakan 2 cara
yaitu teknik skoring dan non skoring. Pada teknik skoring dilakukan
dengan memberikan nilai (skor) terhadap beberapa alternatif solusi
yang menggunakan ukuran (parameter). Pada teknik non scoring
alternative solusi didapatkan melalui diskusi kelompok
6. Evaluasi solusi yang dilaksanakan
a. Hasil yang dicapai sesuai dengan rencana
terpecahkan)
b. Terdapat kesenjangan

antara

berbagai

(masalah

ketetapan

dalam

rencana dengan hasil yang dicapai (tidak seluruh masalah


teratasi)
c. Hasil yang dicapai lebih dari yang direncanakan (masalah lain

ikut terpecahkan)
Pemberdayaan Masyarakat

Pemberdayaan mayarakat dapat dilakukan dengan melakukan penyuluhan dan mengajak


masyarakat di sekitar tempat tinggal untuk menjadi pemantau jentik sendiri (self jumantik)
21

serta selalu bergotong royong menjaga kebersihan lingkungan dan rumah khususnya
melakukan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) DHF.
Jumantik merupakan singkatan dari Juru Pemantau Jentik. Dalam rangka pemberantasan
sarang nyamuk DHF, Departemen Kesehatan RI memunculkan gagasan tentang Jumantik.
Jumantik adalah orang-orang yang bertugas melakukan pemantauan secara rutin terhadap ada
atau tidaknya jentik nyamuk pada tempat-tempat penampungan air di sekitar rumah. Setiap
orang pun bisa menjadi jumantik.
Selain itu, bagi pelajar bisa menjadi Wamantik (Siswa atau Mahasiswa Pemantau Jentik).
Tugas wamantik adalah melakukan pengamatan mengenai keberadaan jentik-jentik nyamuk
di lingkungan sendiri seperti kamar mandi di sekolah, di rumah, di tempat wisata, toilet
tempat umum, dan sebagainya.7

Kejadian Luar Biasa

Tujuh kriteria Kejadian Luar Biasa (KLB) menurut Permenkes 1501 tahun 2010 yaitu:
a) Timbulnya suatu penyakit menular tertentu yang sebelumnya tidak ada atau tidak dikenal
pada suatu daerah
b) Peningkatan kejadian kesakitan terus menerus selama tiga kurun waktu dalm jam, hari,
atau minggu berturut-turut menurut jenis penyakitnya
c) Peningkatan kejadian kesakitan dua kali atau lebih dibandingkan periode sebelumnya
dalam kurun waktu jam, hari, atau minggu menurut jenis penyakitnya
d) Jumlah penderita baru dalam periode wakti satu bulan menunjukan kenaikan dua kali
atau lebih dibandingkan dengan rata-rata jumlah kejadian kesakitan per bulan pada tahun
sebelumnya
e) Rata-rata jumlah kejadian kesakitan per bulan selama satu tahun menunjukan kenaikan
dua kali atau lebih dibandingkan dengan rata-rata jumlah kejadian sakit per bulan pada
tahun sebelumnya
f) Angka kematian kasus suatu penyakit (Case fatality rate) dalam satu kurun waktu
tertentu menunjukan kenaikan 50% atau lebih dibandingkan dengan angka kematian
suatu penyakit periode sebelumnya dalam kurun waktu yang sama
g) Angka proporsi penyakit penderita baru pada satu periode menunjukkan kenaikan dua
kali atau lebih daripada satu periode sebelumnya dalam kurun waktu yang sama

Kesimpulan

Indonesia merupakan negara tropis dengan resiko kemungkinan terjadinya DBD cukup
tinggi. Menegakkan diagnosis serta tatalaksana infeksi dengue tidaklah mudah, untuk itu
perlu difahami perjalanan penyakit agar tercapai terapi yang rasional, dalam rangka
mengurangi mortalitas.Untuk mengantisipasi terjadinya peningkatan pasien dirawat di rumah
22

sakit/sarana pelayanan kesehatan lainnya perlu dilakukan penataan penanganan pasien DBD
melalui pedoman tatalaksana pasien DBD di sarana pelayanan kesehatan. Diharapkan
pedoman ini dapat dipakai sebagai acuan oleh petugas kesehatan dalam melakukan DBD.
Pedoman ini perlu disosialisasikan ke semua petugas kesehatan sarana pelayanan kesehatan
dan dilakukan pemantauan serta evaluasi implementasi pedoman ini agar diperoeh hasil yang
maksimal dalam penanganan DBD

Daftar Pustaka
1. Tata laksana DBD. Diunduh dari www.depkes.go.id, 04 Juli 2015
2. Yuswulandary. Penyakit DBD. Edisi 2010. Diunduh dari www.usu.ac.id, 04 Juli 2015
3. Djaenudin N, Ridad A. Parasitologi kedokteran ditinjau dari organ tubuh yang diserang.
Jakarta: EGC; 2012.p.316-7.
4. Anies. Manajemen berbasis lingkungan. Jakarta: PT Elex Media Komputindo;
2012.p.61-9.
5. Okti H. Demam berdarah dengue. Edisi ke-5. Yogyakarta: Kanisius; 2013.p.8.
6. Staf Pengajar Departemen Parasitologi FKUI. Parasitologi kedokteran. Dalam: Haedojo,
Zulhasril, penyunting. Pengendalian vektor. Edisi ke-4. Jakarta: Balai Penerbit FKUI;
2011.p.275-8.
7. Indonesia Departemen Kesehatan. Pedoman kerja puskesmas. Jilid ke-3. Jakarta:
Departemen Kesehatan RI; 2011.p. G-24-5.
23

8. Budiman C. Pengantar kesehatan lingkungan. Jakarta: EGC; 2009.p.34-6, 41-2, 165-6.


9. Genis G. Apa yang dokter anda tidak katakan tentang demam berdarah. Yogyakarta:
Bentang Pustaka; 2012.p.14-5.
10. Nyoman K. Manual pemberantasan penyakit menular. Edisi ke-7. Jakarta: Departemen
Kesehatan; 2000.p.200-5.

24

Anda mungkin juga menyukai