Anda di halaman 1dari 20

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dengan yang disebarkan virus disebarkan oleh nyamuk Aedes (Stegomyia). Selama dua
dekade terakhir, frekuensi kasus dan epidemi penyakit demam dengue (dengue fever, DF),
demam berdarah (dengue hemorragic fever, DHF), dan sindrom syok dengue (dengue syok
syndrom, DSS) menunjukkan peningkatan yang dramatis di seluruh dunia. The World Health
Report 1996, menyatakan bahwa”kemunculan kembali penyakit infeksisus merupakan suatu
peringatan bahwa kemajuan yang telah diraih sampai sejauh ini terhadap keamanan dunia
dalam hal kesehatan dan kemakmuran sia-sia belaka”. Laporan tersebut lebih jauh
menyebutkan bahwa” penyakit infeksius tersebut berkisar dari penyakit yang terjadi di daerah
tropis (seperti malaria dan DHF yang sering terjadi di negara berkembang) hingga penyakit
yang ditemukan di seluruh dunia (seperti hepatitis dan penyakit menular seksual [PMS],
termasuk HIV/AIDS) dan penyakit yang disebarkan melalui makanan yang mempengaruhi
sejumlah besar penduduk dunia baik di negara miskin maupun kaya.

Pada Mei 1993, pertemuan kesehatan dunia yang ke-46 mengajukan suatu resolusi
tentang pengendalian dan pencegahan dengue yang menekankan bahwa pengokohan
pencegahan dan pengendalian DF, DHF, DSS baik di tingkat lokal maupun nasional harus
menjadi salah satu prioritas dari Negara Anggota WHO tempat endemiknya penyakit. Resolusi
tersebut juga meminta: (1) strategi yang dikembangkan untuk mengatasi penyebaran dan
peningkatan insiden dengue harus dapat dilakukan oleh negara terkait, (2) peningkatan
penyuluhan kesehatan masyarakat, (3) mengencarkan promosi kesehatan, (4) memperkuat
riset, (5) memperluas surveilens dengue, (6) pemberian panduadalam hal pengendalian vektor,
dan (7) mobilisasi sumber daya eksternal untuk pencegahan penyakit harus menjadi prioritas.
Untuk menanggapi resolusi WHA dalam pencegahan dan pengendalian dengue, strategi
global untuk operasionalitas kegiatan pengendalian vektor dikembangkan berdasarkan
komponen utama seperti, tindakan pengendalian nyamuk yang selektif terpadu dengan
partisipasi masyarakat dan kerja sama antarsektor, persiapan kedaruratan, dll. Salah satu
penopang utama dalam strategi global adalah peningkatan surveilans yang aktif dan didasarkan
pada pemeriksaaan laboratorium yang akurat terhadap DF/DHF dan vektornya. Agar berjalan
lancar, setiap negara endemik harus memasukkan penyakit DHF menjadi salah satu jenis
penyakit yang harus dilaporkan.

1.2 Tujuan

1. Tujuan Umum
Memberikan informasi secara umum mengenai asuhan keperawatan pada anak dengan
gangguan cairan, elektrolit dan darah (DHF)

1
2. Tujuan Khusus
a. Menjelaskan secara umum mengenai Dangue Haemoragic Fever (DHF)
b. Menjelaskan tanda dan gejala terjangkit dangue haemoragic fever (DHF)
c. Memberikan gambaran dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien anak
dengan DHF

1.3 Manfaat
1. Mampu memberikan asuhan keperawatan pada anak dengan demam berdarah
2.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Demam Berdarah Dengue ( dengue haemorrhagic fever/DHF) ialah penyakit yang terdapat
pada anak dan dewasa dengan gejala utama demam, nyeri otot dan sendi, yang biasanya
memburuk setelah dua hari pertama. Uji tourniquet akan positif dengan tanpa ruam disertai
beberapa atau semua gejala perdarahan seperti petekie spontan yang timbul serentak,
purpura,ekimosis, epitaksis. hematemesis, melena, trombositopenia, masa perdarahan
danmasa protrombin memanjang, hematokrit meningkat dan gangguan maturasimegakariosit.
(WHO, 2008)
Penyakit demam berdarah dengue (DBD) merupakan penyakit yang di sebabkan oleh
infeksi virus DEN-1, DE-2, DEN-3, atau DEN-4 yang di tularkan melalui gigitan nyamuk Aedes
aegypti dan Aedes albopictus yang sebelumnya telah terinfeksi virus Dengue dari penderita
DBD lainnya (Ginanjar, 2008).
Demam dengue (DD) adalah penyakit fibris–virus akut, sering kali di sertai dengan sakit
kepala, nyeri tulang atau sendi dan otot, ruam dan leukopenia sebagai gejalanya. demam
berdarah dengue (DBD) di tandai oleh empat manifestasi klinis utama demam tinggi, fenomena
hemoragik, sering dengan hepatomegali dan pada kasus berat, tanda-tanda kegagalan
sirkulasi, pasien ini dapat mengalami syok hipovolemik yang diakibatkan oleh kebocoran
plasma (WHO, 2008).

2.2 Etiologi
Demam dengue dan demam berdarah dengue disebabkan oleh virus dengue, yang
termasuk dalam genus Flavivirus, keluarga Flaviviridae. Flavivirus merupakan virus dengan
diameter 30nm terdiri dari asam ribonukleat rantai tunggal dengan berat molekul 4 x 106.
Terdapat 4 serotipe virus tipe yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4 yang semuanya
dapat menyebabkan demam dengue atau demam berdarah dengue keempat serotype
ditemukan di Indonesia dengan DEN-3 merupakan serotype terbanyak. Terdapat reaksi silang
antara serotype dengue dengan Flavivirus lain seperti Yellow fever, Japanese encephalitis dan
West Nile virus (Suhendro, Nainggolan, Chen)
Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) adalah penyakit yang disebabkan oleh virus dengue
sejenis virus yang tergolong arbovirus (Arthropod-borne viruses) artinya virus yang di tularkan
melalui gigitan arthropoda misalnya nyamuk aedes aegypti (betina). Arthropoda akan menjadi

3
sumber infeksi selama hidupnya sehingga selain menjadi vektor virus dia juga menjadi hospes
reservoir virus tersebut yang paling bertindak menjadi vector adalah berturut-turut nyamuk.
Menurut Dinkes Jateng (2005), Penyebab penyakit DBD ada 4 tipe (Tipe 1, 2, 3, dan 4),
termasuk dalam group B Antropod Borne Virus (Arbovirus). Dengue tipe -3 merupakan serotip
virus yang dominan yang menyebabkan kasus yang berat. Masa inkubasi penyakit demam
berdarah dengue diperkirakan < 7 hari. Penularan penyakit demam berdarah dengue.
Umumnya ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes Aegepty meskipun dapat juga ditularkan
oleh Aedes Albopictus yang hidup dikebun. Cara penularan virus dengue yaitu virus masuk
ketubuh manusia melalui gigitan nyamuk selanjutnya beredar dalam sirkulasi darah selama
periode sampai timbul gejala demam. Periode ini dimana virus beredar didalam sirkulasi darah
manusia disebut fase viremia. Apabila nyamuk yang belum terinfeksi menghisap darah manusia
dalam fase viremia maka virus akan masuk kedalam tubuh nyamuk dan berkembang selama
periode 8-10 hari sebelum virus siap di transmisikan kepada manusia lain. Rentang waktu yang
diperlukan untuk inkubasi ekstrinsik tergantung pada kondisi lingkungan terutama temperatur
sekitar. Siklus penularan virus dengue dari manusia – nyamuk – manusia dan seterusnya
(ecological of dengue infection).

2.3 Faktor Resiko


 Status imun setiap individu
 Strain/serotype virus yang menginfeksi
 Usia pasien
 Latar belakang genetik pasien

Infeksi sekunder dengue merupakan faktor resiko untuk DHF, termasuk juga antibodi-
pasif pada bayi. Strain virus juga merupakan faktor resiko untuk terkena DHF; tidak semua tipe
liar virus berpotensi menimbulkan epidemi atau mengakibatkan kasus yang parah. Terakhir,
usia pasien dan genetik pejamu juga termasuk faktor resiko terhadap DHF. Walaupun DHF
dapat dan memang menyerang orang dewasa, kebanyakan kasusnya ditemukan pada anak-
anak yang berusia kurang dari 15 tahun, dan bukti tidak langsung memperlihatkan bahwa
beberapa kelompok di masyarakat mungkin justru lebih rentan terhadap sindrom pecahnya
pembuluh darah daripada kelompok lainnya. (WHO, 2005)

4
2.4 Epidemiologi
Demam berdarah dengue tersebar di wilayah Asia Tenggara, Pasifik Barat dan Karibia.
Indonesia merupakan wilayah endemis dengan sebaran di seluruh wilayah tanah air. Insiden
DBD di Indonesia antara 6 hingga 15 per 100.000 penduduk (1989 hingga 1995); dan pernah
meningkat tajam saat kejadian luar biasa hingga 35 per 100.000 penduduk pada tahun 1998,
sedangkan mortalitas DBD cenderung menurun hingga mencapai 2% pada tahun 1999.
Penularan infeksi virus dengue terjadi melalui vektor nyamuk genus Aedes (terutama A.
aegypti dan A. albopictus). Peningkatan kasus setiap tahunnya berkaitan dengan sanitasi
lingkungan dengan tersedianya tempat perindukan bagi nyamuk betina yaitu bejana yang berisi
air jernih (bak mandi, kaleng bekas dan tempat penampungan air lainnya).
1.4.1 Beberapa faktor diketahui berkaitan dengan peningkatan transmisi virus dengue yaitu :
 Vektor : perkembang biakan vektor, kebiasaan menggigit, kepadatan vektor di
lingkungan, transportasi vektor dilingkungan, transportasi vektor dai satu tempat ke
tempat lain;
 Pejamu : terdapatnya penderita di lingkungan/keluarga, mobilisasi dan paparan
terhadap nyamuk, usia dan jenis kelamin;
 Lingkungan : curah hujan, suhu, sanitasi dan kepadatan penduduk
2.5 Patofisiologi DHF

5
2.6 Tanda dan Gejala
Demam Berdarah Dengue (DBD) ditandai oleh demam mendadak tanpa sebab yang
jelas disertai dengan gejala lain seperti lemah, nafsu makan berkurang, muntah, nyeri pada
anggota badan, punggung, sendi, kepala dan perut. Gejala-gejala tersebut menyerupai
influenza biasa. Pada hari ke-2 dan ke-3 demam muncul bentuk perdarahan yang beraneka
ragam dimulai dari yang paling ringan sampai berupa perdarahan dibawah kulit, perdarahan
gusi, epistaksis, sampai perdarahan yang hebat sampai muntah darah akibat perdarahan
lambung, melena, dan juga hematuria masif. Selain perdarahan juga terjadi syok yang biasanya

6
dijumpai saat demam telah menurun antara hari ke-3 dan ke-7 dengan tanda-tanda makin
lemah, ujung-ujung jari, telinga, dan hidung teraba dingin dan lembab (Ngastiah, 2005).
Menurut Misnadiarly (2009), tanda atau gejala awal perjalanan penyakit DBD yaitu
panas tinggi tanpa sebab jelas yang timbul mendadak dan terus-menerus, badan lemah atau
lesu, ujung jari kaki dan tangan teraba dingin atau lembab. Selanjutnya demam yang akut,
selama 2-7 hari, dengan 2 atau lebih gejala sebagai berikut : nyeri kepala, nyeri otot, nyeri
persendian, bintik-bintik pada kulit sebagai manifestasi perdarahan dan leucopenia.

2.7 Pemeriksaan Diagnostik


 Pemeriksaan uji Tourniquet/Rumple leed
Percobaan ini bermaksud menguji ketahanan kapiler darah pada penderita DHF. Uji
rumpel leed merupakan salah satu pemeriksaan penyaring untuk mendeteksi kelainan sistem
vaskuler dan trombosit. Dinyatakan positif jika terdapat lebih dari 10 ptechiae dalam diameter
2,8 cm di lengan bawah bagian depan termasuk lipatan siku (Depkes,2006). Prinsip : Bila
dinding kapiler rusak maka dengan pembendungan akan tampak sebagai bercak merah kecil
pada permukaan kulit yang disebut Ptechiae (R.Ganda Soebrata,2004).
 Pemeriksaan Hemoglobin
Kasus DHF terjadi peningkatan kadar hemoglobin dikarenakan terjadi kebocoran
/perembesan pembuluh darah sehingga cairan plasmanya akan keluar dan menyebabkan
terjadinya hemokonsentrasi. Kenaikan kadar hemoglobin >14 gr/100 ml. Pemeriksaan kadar
hemaglobin dapat dilakukan dengan metode sahli dan fotoelektrik (cianmeth hemoglobin),
metode yang dilakukan adalah metode fotoelektrik. Prinsip : Metode fotoelektrik (cianmeth
hemoglobin) Hemoglobin darah diubah menjadi cianmeth hemoglobin dalam larutan yang berisi
kalium ferrisianida dan kalium sianida. Absorbansi larutan diukur pada panjang gelombang 540
nm/filter hijau (R.Ganda Soebrata,2004).
 Pemeriksaan Hematokrit
Peningkatan nilai hematokrit menggambarkan terjadinya hemokonsentrasi, yang
merupakan indikator terjadinya perembesan plasma. Nilai peningkatan ini lebih dari 20%.
Pemeriksaan kadar hematokrit dapat dilakukan dengan metode makro dan mikro. Prinsip :
Mikrometode yaitu menghitung volume semua eritrosit dalam 100 ml darah dan disebut dengan
% dari volume darah itu (R.Ganda Soebrata,2004).
 Pemeriksaan Trombosit
Pemeriksaan jumlah trombosit ini dilakukan pertama kali pada saat pasien didiagnosa
sebagai pasien DHF, Pemeriksaan trombosit perlu dilakukan pengulangan sampai terbukti

7
bahwa jumlah trombosit tersebut normal atau menurun. Penurunan jumlah trombosit <
100.000 /μl atau kurang dari 1-2 trombosit/ lapang pandang dengan rata-rata pemeriksaan 10
lapang pandang pada pemeriksaan hapusan darah tepi. Prinsip : Darah diencerkan dengan
larutan isotonis (larutan yang melisiskan semua sel kecuali sel trombosit) dimaksudkan dalam
bilik hitung dan dihitung dengan menggunakan faktor konversi jumlah trombosit per μ/l darah
(R.Ganda Soebrata,2004).
 Pemeriksaan Lekosit
Kasus DHF ditemukan jumlah bervariasi mulai dari lekositosis ringan sampai lekopenia
ringan. Prinsip : Darah diencerkan dengan larutan isotonis (larutan yang melisiskan semua sel
kecuali sel lekosit) dimasukkan bilik hitung dengan menggunakan faktor konversi jumlah lekosit
per μ/l darah (R.Ganda Soebrata,2004).
 Pemeriksaan Bleding time (BT)
Pasien DHF pada masa berdarah, masa perdarahan lebih memanjang menutup
kebocoran dinding pembuluh darah tersebut, sehingga jumlah trombosit dalam darah
berkurang. Berkurangnya jumlah trombosit dalam darah akan menyebabkan terjadinya
gangguan hemostatis sehingga waktu perdarahan dan pembekuan menjadi memanjang. Prinsip
: Waktu perdarahan adalah waktu dimana terjadinya perdarahan setelah dilakukan penusukan
pada kulit cuping telinga dan berhentinya perdarahan tersebut secara spontan. (R.Ganda
Soebrata,2004).
 Pemeriksaan Clothing time (CT )
Pemeriksaan ini juga memanjang dikarenakan terjadinya gangguan hemostatis. Prinsip :
Sejumlah darah tertentu segera setelah diambil diukur waktunya mulai dari keluarnya darah
sampai membeku. (R.Ganda Soebrata,2004).
 Pemeriksaan Limfosit Plasma Biru (LPB)
Pada pemeriksaan darah hapus ditemukan limfosit atipik atau limfosit plasma biru ≥ 4 %
dengan berbagai macam bentuk : monositoid, plasmositoid dan blastoid. Terdapat limfosit
Monositoid mempunyai hubungan dengan DHF derajat penyakit II dan IgG positif, dan limfosit
non monositoid (plasmositoid dan blastoid) dengan derajat penyakit I dan IgM positif. (E.N
Kosasih,1984). Prinsip: Menghitung jumlah limfosit plasma biru dalam 100 sel jenis-jenis lekosit.
 Pemeriksaan Imunoessei dot-blot
Hasil positif IgG menandakan adanya infeksi sekunder dengue, dan IgM positif
menandakan infeksi primer. Tes ini mempunyai kelemahan karena sensitifitas pada infeksi
sekunder lebih tinggi, tetapi pada infeksi primer lebih rendah, dan harganya relatif lebih mahal.

8
Prinsip : Antibodi dengue baik IgM atau IgG dalam serum akan diikat oleh anti-human
IgM dan IgG yang dilapiskan pada dua garis silang di strip nitrosellulosa (Suroso dan Torry
Chrishantoro,2004).

2.8 Penatalaksanaan
Pada dasarnya terapi DBD adalah bersifat suportif dan simtomatis. Penatalaksanaan
ditujukan untuk mengganti kehilangan cairan akibat kebocoran plasma dan memberikan terapi
substitusi komponen darah bilamana diperlukan. Proses kebocoran plasma dan terjadinya
trombositopenia pada umumnya terjadi antara hari ke 4 hingga 6 sejak demam berlangsung.
Pada hari ke-7 proses kebocoran plasma akan berkurang dan cairan akan kembali dari ruang
interstitial ke intravaskular.
Terapi nonfarmakologis yang diberikan meliputi tirah baring (pada trombositopenia yang
berat) dan pemberian makanan dengan kandungan gizi yang cukup, lunak dan tidak
mengandung zat atau bumbu yang mengiritasi saluaran cerna. Sebagai terapi simptomatis,
dapat diberikan antipiretik berupa parasetamol, serta obat simptomatis untuk mengatasi
keluhan dispepsia. Pemberian aspirin ataupun obat antiinflamasi nonsteroid sebaiknya dihindari
karena berisiko terjadinya perdarahan pada saluran cerna bagian atas (lambung/duodenum).
Menurut WHO, pemberian cairan sebagai komponen utama penatalaksanaan DBD
dewasa mengacu pada 5 tahap. Tahapannya sebagai berikut:
1. Penanganan tersangka DBD tanpa syok
2. Pemberian cairan pada tersangka DBD dewasa di ruang rawat
3. Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan hematokrit >20%
4. Penatalaksanaan perdarahan spontan pada DBD dewasa
5. Tatalaksana sindroma syok dengue pada dewasa
Ada dua hal penting yang perlu diperhatikan dalam terapi cairan khususnya pada
penatalaksanaan demam berdarah dengue : pertama adalah jenis cairan dan kedua adalah
jumlah serta kecepatan cairan.yang akan diberikan. Karena tujuan terapi cairan adalah untuk
mengganti kehilangan cairan di ruang intravaskular, pada dasarnya baik kristaloid (ringer laktat,
ringer asetat, cairan salin) maupun koloid dapat diberikan. WHO menganjurkan terapi kristaloid
sebagai cairan standar pada terapi DBD karena dibandingkan dengan koloid, kristaloid lebih
mudah didapat dan lebih murah. Jenis cairan yang ideal yang sebenarnya dibutuhkan dalam
penatalaksanaan antara lain memiliki sifat bertahan lama di intravaskular, aman dan relatif
mudah diekskresi, tidak mengganggu sistem koa-gulasi tubuh, dan memiliki efek alergi yang
minimal.

9
Secara umum, pengunaan kristaloid dalam tata-laksana DBD aman dan efektif.
Beberapa efek samping yang dilaporkan terkait dengan penggunaan kristaloid adalah edema,
asidosis laktat, instabilitas hemodinamik dan hemokonsentrasi.
Dibandingkan cairan kristaloid, cairan koloid memiliki beberapa keunggulan yaitu: pada
jumlah volume yang sama akan didapatkan ekspansi volume plasma (intravaskular) yang lebih
besar dan bertahan untuk waktu lebih lama di ruang intravaskular. Dengan kelebihan ini,
diharapkan koloid memberikan oksigenasi jaringan lebih baik dan hemodinamik terjaga lebih
stabil. Beberapa kekurangan yang mungkin didapatkandengan penggunaan koloid yakni risiko
anafilaksis, koagulopati, dan biaya yang lebih besar. Namun beberapa jenis koloid terbukti
memiliki efek samping koagulopati dan alergi yang rendah (contoh: hetastarch).
 DBD derajat 1 dan 2, cairan diberikan untuk kebutuhan rumatan (maintenance) dan
untuk mengganti cairan akibat kebocoran plasma. Secara praktis, kebutuhan rumatan
pada pasien dewasa dengan berat badan 50 kg, adalah sebanyak kurang lebih 2000
ml/24 jam; sedangkan pada kebocoran plasma yang terjadi seba-nyak 2,5-5% dari berat
badan sebanyak 1500-3000 ml/24 jam. Jadi secara rata-rata kebutuhan cairan pada
DBD dengan hemodinamik yang stabil adalah antara 3000-5000 ml/24 jam. Namun
demikian, pemantauan kadar hematokrit perlu dilakukan untuk menilai apakah
hemokonsentrasi masih berlangsung dan apakah jumlah cairan awal yang diberikan
sudah cukup atau masih perlu ditambah. Pemantauan lain yang perlu dilakukan adalah
kondisi klinis pasien, stabilitas hemodinamik serta diuresis.
 DBD dengan kondisi hemodinamik tidak stabil (derajat 3 dan 4) cairan diberikan secara
bolus atau tetesan cepat antara 6-10 mg/kg berat badan, dan setelah hemodinamik
stabil secara bertahap kecepatan cairan dikurangi hingga kondisi benar-benar stabil
(lihat protokol pada gambar 6 dan 7). Pada kondisi di mana terapi cairan telah diberikan
secara adekuat, namun kondisi hemodinamik belum stabil, pemeriksaan kadar
hemoglobin dan hematokrit perlu dilakukan untuk menilai kemungkinan terjadinya
perdarahan internal.

2.9 Pencegahan 
Mengingat obat dan vaksin pencegah penyakit DBD hingga dewasa ini belum tersedia,
maka upaya pencegahan dan pemberantasan DBD, dilakukan dengan cara memberantas
nyamuk Aedes yang merupakan vector penyakit DBD. Pemberantasan vector ini dapat
dilakukan dengan dua cara yaitu dengan menggunakan insektisida dan tanpa insektisida.
Insektisida yang umum digunakan dalam pemberantasan DBD adalah bubuk abate, dengan

10
penaburan bubuk abate di sekolah, tempat – tempat umum dan disemua tempat penampungan
air, dirumah dan bangunan yang ditemukan jentik Aedes aegypti ditaburi bubuk abate sesuai
dengan dosis 1 sendok makan (10 g) abate untuk 100 liter air. 
Pemberantasan DBD tanpa menggunakan insektisida dilakukan dengan cara 3M di
rumah dan halaman masing-masing dengan melibatkan seluruh keluarga, dengan cara sebagai
berikut :
 Menguras bak mandi sekurang-kurangnya 1 minggu sekali
 Menutup rapat-rapat tempat penampungan air
 Mengganti air Vas bunga/tanaman air seminggu sekali
 Mengganti air tempat minum burung
 Menimbun barang-barang bekas yang dapat menampung air
 Menabur bubuk abete atau altosid pada tempat-tempat penampungan air yang sulit
dikuras atau di daerah yang air bersih sulit didapat, sehingga perlu penampungan air
hujan
 Memelihara ikan di tempat-tempat penampungan air. Takaran abate : 1 sendok peres (+
10 gram) untuk 100 liter air. Takaran altosid : 1/4 sendok peres (+ 2,5 gram) untuk 100
liter

Menurut CDC (2010) telah memberikan aturan umum untuk mencegah transfer virus
dan patogen lain yang disebabkan nyamuk dan vektor pengigit lainnya. Pencegah wabah DHF
adalah untuk menjauhkan kemungkinan, pejalan sebaiknya menghindari daerah-daerah yang
terkenal sebagai transmisi penyakit. CDC Travelers' Health telah memberikan informasi-
informasi mengenai daerah yang berpotensi mentransmisikan penyakit. 
 Sadari puncak pajanan dalam aspek waktu dan tempat. Pajanan gigitan arthropoda
dapat berkurang jika pejalan memodifikasi aktivitas dan kebiasaan mereka. Walaupun
nyamuk dapat mengigit kapanpun dalam sehari, namun aktivitas tertinggi gigitan dari
vektor untuk penyakit-penyakit tertentu (dengue dan chikunguya) adalah sepanjang pagi
dan siang. Vektor untuk penyakit lain seperti malaria lebih aktif pada hari senja atau
malam hari. Hindari pergi keluar ruangan atau mengurangi aktivitas saat pajanan
sedang tinggi. Lokasi juga harus diperhatikan tempat yang berumput dan atau tumbuh-
tumbuhan sering sebagai lokasi pengigitan. Kantor kesehatan resmi setempat juga
dapat membantu menunjukan tempat-tempat yang memiliki aktivitas artopoda tertinggi. 
 Menggunakan pakaian yang sesuai. Pejalan dapat meminimalisasi pajanan kulit dengan
menggunakan pakaian lengan panjang, celana panjang, sepatu boot, dan topi. Pembasi

11
insektisida seperti permetrin dapat diaplikasikan ke baju dan perlengkapan untuk
proteksi tambahan. 
 Kelambu penting untuk memberikan proteksi dan mengurangi ketidaknyamanan karena
gigitan nyamuk. Jika kelambu tidak dapat mennyentuh tanah, kelambu dapat diselipkan
di bawah kasur. Kelambu menjadi lebih efektif bila diberikan permetrin.Permetrin dapat
berfungsi selama beberapa bulan jika kelambu tidak dicuci. 
 Insektisida : Aerosol insektisida, obat nyamuk dapat membantu namun perlu dihindari
inhalasi langsung. 
 Pembasmi nyamuk. CDC merekomendasikan pembasmi nyamuk harus mengandung
hingga 50% DEET (N,N-diethyl-m-toluamide).

2.10 Komplikasi
Kebanyakan orang yang menderita DBD pulih dalam waktu dua minggu. Namun, untuk
orang-orang tertentu dapat berlanjut untuk selama beberapa minggu hinga berbulan-bulan.
Gejala klinis yang semakin berat pada penderita DBD dan dengue shock syndromes dapat
berkembang menjadi gangguan pembuluh darah dan gangguan hati. Hal ini tentu dapat
mengancam jiwa.2,3

1.10.1 Sindrom Syok Dengue (SSD)4


Seluruh kriteria Demam Berdarah Dengue (DBD) disertai kegagalan sirkulasi dengan
manifestasi: 
 Nadi yang cepat dan lemah
 Tekanan darah turun (≤ 20 mmHg)
 Hipotensi (dibandingkan standar sesuai umur)
 Kulit dingin dan lembab
 Gelisah

Sindrom syok dengue pada penderita DBD yang disertai syok, setelah demam
berlangsung selama beberapa hari, keadaan umum penderita tiba-tiba memburuk. Pada
sebagian besar penderita ditemukan tanda kegagalan peredaran darah yaitu kulit teraba
lembab dan dingin, sianosis sekitar mulut, nadi menjadi cepat dan lemah, kecil sampai tidak
dapat diraba. Tekanan darah menurun menjadi 20 mmHg atau kurang, dan tekanan sistolik
menurun sampai 80 mmHg atau lebih rendah. Penderita kelihatan lesu, gelisah, dan secara
cepat masuk dalam fase kritis syok. Penderita seringkali mengeluh nyeri di daerah perut sesaat

12
sebelum syok timbul. Nyeri perut hebat seringkali mendahului perdarahan gastrointestinal, dan
nyeri di daerah retrosternal tanpa sebab yang dapat dibuktikan memberikan petunjuk terjadinya
perdarahan gastrointestinal yang hebat. Syok yang terjadi selama periode demam biasanya
mempunyai prognosis buruk. 
Tatalaksana sindrom syok dengue sama dengan terapi DBD, yaitu pemberian cairan
ganti secara adekuat. Pada sebagian besar penderita, penggantian dini plasma secara efektif
dengan memberikan cairan yang mengandung elektrolit, ekspander plasma, atau plasma,
memberikan hasil yang baik. Nilai hematokrit dan trombosit harus diperiksa setiap hari mulai
hari ke-3 sakit sampai 1-2 hari setelah demam menjadi normal. Pemeriksaan inilah yang
menentukan perlu tidaknya penderita dirawat dan atau mendapatkan pemberian cairan
intravena.

1.10.2 Ensefalopati Dengue 


Pada umumnya ensefalopati terjadi sebagai komplikasi syok yang berkepanjangan
dengan pendarahan, tetapi dapat juga terjadi pada DBD yang tidak disertai syok. Gangguan
metabolik seperti hipoksemia, hiponatremia, atau perdarahan, dapat menjadi penyebab
terjadinya ensefalopati. Melihat ensefalopati DBD bersifat sementara, maka kemungkinan dapat
juga disebabkan oleh trombosis pembuluh darah –otak, sementara sebagai akibat dari
koagulasi intravaskular yang menyeluruh. Dilaporkan bahwa virus dengue dapat menembus
sawar darah-otak. Dikatakan pula bahwa keadaan ensefalopati berhubungan dengan
kegagalan hati akut.
Pada ensefalopati cenderung terjadi udem otak danalkalosis, maka bila syok telah
teratasi cairan diganti dengan cairan yang tidak mengandung HC03- danjumlah cairan harus
segera dikurangi. Larutan laktat ringer dektrosa segera ditukar dengan larutan NaCl (0,9%) :
glukosa (5%) = 1:3. Untuk mengurangi udem otak diberikan dexametason 0,5 mg/kg BB/kali
tiap 8 jam, tetapi bila terdapat perdarahan saluran cerna sebaiknya kortikosteroid tidak
diberikan. Bila terdapat disfungsi hati, maka diberikan vitamin K intravena 3-10 mg selama 3
hari, kadar gula darah diusahakan > 80 mg. Mencegah terjadinya peningkatan tekanan
intrakranial dengan mengurangi jumlah cairan (bila perlu diberikan diuretik), koreksi asidosis
dan elektrolit. Perawatan jalan nafas dengan pemberian oksigen yang adekuat. Untuk
mengurangi produksi amoniak dapat diberikan neomisin dan laktulosa. Usahakan tidak
memberikan obat-obat yang tidak diperlukan (misalnya antasid, anti muntah) untuk mengurangi
beban detoksifikasi obat dalam hati. Transfusi darah segar atau komponen dapat diberikan atas

13
indikasi yang tepat. Bila perlu dilakukan tranfusi tukar. Pada masa penyembuhan dapat
diberikan asam amino rantai pendek.

1.10.3 Kelainan ginjal 


Gagal ginjal akut pada umumnya terjadi pada fase terminal, sebagai akibat dari syok
yang tidak teratasi dengan baik. Dapat dijumpai sindrom uremik hemolitik walaupun jarang.
Untuk mencegah gagal ginjal maka setelah syok diobati dengan menggantikan volume
intravaskular, penting diperhatikan apakah benar syok telah teratasi dengan baik. Diuresis
merupakan parameter yang penting dan mudah dikerjakan untuk mengetahui apakah syok telah
teratasi. Diuresis diusahakan > 1 ml / kg berat badan/jam. Oleh karena bila syok belum teratasi
dengan baik, sedangkan volume cairan telah dikurangi dapat terjadi syok berulang. Pada
keadaan syok berat sering kali dijumpai acute tubular necrosis, ditandai penurunan jumlah urin
dan peningkatan kadar ureum dan kreatinin.

1.10.4 Udem paru 


Udem paru adalah komplikasi yang mungkin terjadi sebagai akibat pemberian cairan
yang berlebihan. Pemberian cairan pada hari sakit ketiga sampai kelima sesuai panduan yang
diberikan, biasanya tidak akan menyebabkan udem paru oleh karena perembesan plasma
masih terjadi. Tetapi pada saat terjadi reabsorbsi plasma dari ruang ekstravaskuler, apabila
cairan diberikan berlebih (kesalahan terjadi bila hanya melihat penurunan hemoglobin dan
hematokrit tanpa memperhatikan hari sakit), pasien akan mengalami distress pernafasan,
disertai sembab pada kelopak mata, dan ditunjang dengan gambaran udem paru pada foto
rontgen dada. 
Komplikasi demam berdarah biasanya berasosiasi dengan semakin beratnya bentuk
demam berdarah yang dialami, pendarahan, dan shock syndrome. Komplikasi paling serius
walaupun jarang terjadi adalah sebagai berikut:
 Dehidrasi
 Pendarahan
 Jumlah platelet yang rendah
 Hipotensi
 Bradikardi
1.10.5 Kerusakan hati
Pembesaran hati pada umumnya dapat ditemukan pada permulaan penyakit, bervariasi
dari hanya sekedar dapat diraba (just palpable) sampai 2-4 cm di bawah lengkung iga kanan,

14
derajat pembesaran hati tidak sejajar dengan beratnya penyakit. Untuk menemukan
pembesaran hati ,harus dilakukan perabaan setiap hari. Nyeri tekan di daerah hati sering kali
ditemukan dan pada sebagian kecil kasus dapat disertai ikterus. Nyeri tekan di daerah hati
tampak jelas pada anak besar dan ini berhubungan dengan adanya perdarahan.

2.11 Konsep Asuhan Keperawatan Pasien DHF

1. Pengkajian
1.1 Biodata : DHF dapat menyerang dewasa atau anak-anak terutama anak berumur < 15
tahun.
1.2 Keluhan utama : panas / demam
1.3 Riwayat penyakit sekarang : Demam mendadak selama 2-7 hari dan kemudian demam
turun dengan tanda-tanda lemah, ujung-ujung jari, telinga dan hidung teraba dingin dan
lembab. Demam disertai lemah, nafsu makan berkurang, muntah, nyeri pada anggota
badan, punggung, sendi, kepala dan perut, nyeri ulu hati, konstipasi atau diare.
1.4 Riwayat penyakit dahulu : Ada kemungkinan anak yang telah terjangkau penyakit DHF
bisa berulang DHF lagi, Tetapi penyakit ini tidak ada hubungannya dengan penyakit
yang pernah diderita dahulu.
1.5 Riwayat penyakit keluarga : Penyakit DHF bisa dibawa oleh nyamuk aedes aegepty jadi
jika dalam satu keluarga ada yang menderita penyakit ini kemungkinan tertular itu
besar.
1.6 Riwayat kesehatan keluarga : Daerah atau tempat yang sering dijadikan tempat nyamuk
ini adalah lingkungan yang kurang pencahayaan dan sinar matahari, banyak genangan
air, vas and ban bekas.
1.7 Pemeriksaan : Suhu tubuh tinggi (39,4 – 41,1 0C), menggigit hipotensi, nadi cepat dan
lemah.
- Kulit : tampak bintik merah (petekil), hematom, ekimosit.
- Kepala : mukosa mulut kering, perdarahan gusi, lidah kotor (kadang).
- Dada : nyeri tekan epigastrik, nafas cepat dan sering berat.
- Abdomen : pada palpasi teraba pembesaran hati dan limfe pada keadaan dehidrasi
turgor kulit menurun.
- Anus dan genetalia : dapat terganggu karena diare/ konstipasi.
- Ekstrimitas atas dan bawah : ekstrimitas dingin, sianosis.
1.8 Pemeriksaan Penunjang Pada pemeriksaan darah pasien DHF akan di jumpai:
- Hb dan PCV meningkat (≥20%).

15
- Trombositopenia (≤100.000/ml).
- Leukopenia (mungkin normal atau leukositosis).
- Ig.D.dengue positif.
- Hasil pemeriksaan kimia darah menunjukan: hipoprotinemia, hipokloremia, dan
hiponatremia
- Urium dan PH darah mungkin meningkat.
- Asidosis metabolik: pCO <35-40 mmHg HCO rendah.
- SGOT/SGPT memungkinkan meningkat.

2. Diagnosa Keperawatan
1. Hipertermi berhubungan dengan infeksi virus
2. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan peningkatan permeabilitas kapiler,
perdarahan, muntah, dan demam.
3. Gangguan pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan mual,
muntah dan anoreksia.
4. Gangguan rasa nyaman (nyeri) berhubungan dengan keletihan malaise sekunder
akibat DHF.
5. Kecemasan ringan berhubungan dengan kondisi pasien yang memburuk dan
perdarahan yang dialami pasien.

3. Rencana Keperawatan

Diagnosa keperawatan 1 : Hipertermi berhubungan dengan infeksi virus


Tujuan: Anak menunjukkan suhu tubuh dalam batas normal setelah mendapat tindakan
keperawatan selama 2x24 jam.
Kriteria hasil :
a. Suhu tubuh 36-370C
b. Pasien bebas dari demam.
NOC : Thermoregulation
No. Indikator 1 2 3 4 5
1. Increased skin temperature √
2. Hyperthermia / demam √
3. Skin color changes √
4. Headache √

16
1 : Parah; 2 : Berat; 3 : Sedang; 4 : Ringan; 5 : Tidak ada
NIC : Temperature regulation
Intervensi Rasional
Monitor suhu minimal tiap 2 jam Perubahan temperatur dapat terjadi pada
proses infeksi akut
Monitor tanda – tanda vital TTV merupakan acuan untuk mengetahui
keadaan umum pasien
Monitor warna dan suhu kulit Menunjukkan kesan dari luar berapa suhu
tubuhnya
Ajarkan kepada pasien cara mencegah Agar pasien dapat mandiri, tidak membuat
keletihan akibat panas badannya demam lagi
Kolaborasi pemberian antipiretik bila perlu Menurunkan panas pada pusat hipotalamus

Diagnosa keperawatan 2 : Kekurangan volume cairan berhubungan dengan peningkatan


permeabilitas kapiler, perdarahan, muntah, dan demam.
Tujuan : Anak menunjukkan tanda-tanda terpenuhinya kebutuhan cairan setelah mendapat
tindakan keperawatan selama 3x24 jam.
Kriteria hasil :
a. TTV (nadi, tensi) dalam batas normal.
b. Turgor kulit kembali dalam 1 detik.
c. Ubun-ubun datar.
d. Produksi urine 1 cc/ kg/ BB/ jam.
e. Tidak terjadi syok hipovolemik.
NOC: Fluid Balance
No. Indikator 1 2 3 4 5
1. Turgor kulit √
2. Intake cairan √
3. Berkemih √
4. Kelembaban mucus membran √
1 : Sangat membahayakan; 2 : Bahaya berat; 3 : Bahaya sedang; 4 : Bahaya ringan; 5 : Tidak
bahaya
NIC : Fluid Management
Intervensi Rasional
Pertahankan catatan intake dan output yang Asupan yang tepat sangat penting untuk

17
akurat menambah volume cairan dalam tubuh
Monitor status hidrasi (kelembapan membrane Mengetahui derajat dehidrasi
mukosa, nadi adekuat dan tekanan darah
ortostatik)
Lakukan terapi IV Untuk membantu mengurangi defisit cairan,
karena cairan akan langsung masuk ke
pembuluh darah
Monitor TTV Mengetahui kondisi pasien

Diagnosa keperawatan 3 : Gangguan pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan


dengan mual, muntah dan anoreksia.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 X 24 jam kebutuhan nutrisi pasien
terpenuhi.
Kriteria hasil :
a. Adanya minat/ selera makan.
b. Porsi makansesuai kebutuhan.
c. BB dipertahankan sesuai usia.
d. BB meningkat sesuai usia.
NOC : Nutritional Status: Nutrient Intake
No. Indikator 1 2 3 4 5
1. Caloric Intake √
2. Proteint Intake √
3. Fat Intake √
4. Carbohidrate Intake √
5. Fiber Intake √
6. Vitamine Intake √
7. Mineral Intake √
8. Iron Intake √
9. Calsium Intake √
10. Sodium Intake √
1: Sangat Tidak Adekuat 2: Tidak Adekuat 3: Cukup Adekuat 4: adekuat 5: Sangat Adekuat
NIC: Nutrition Management
Intervensi Rasional

18
Kaji adanya alergi makanan Agar tidak memperburuk kondisi pasien
Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan Memberi bantuan untuk menetapkan diet
jumlah kalori dan nutrisi yang dibutuhkan pasien
pasien.
Monitor jumlah nutrisi dan jumlah kalori. Memonitor jumlah kalori dan kualitas makanan
yang akan dikonsumsi
Kaji kemampuan pasien untuk mendapatkan Agar memperbaiki kondisi pasien
nutrisi yang dibutuhkan.

Gangguan keperawatan 4 : Gangguan rasa nyaman (nyeri) berhubungan dengan keletihan


malaise sekunder akibat DHF.
Tujuan : Rasa nyaman pasien terpenuhi dengan kriteria nyeri berkurang atau hilang setelah
mendapat tindakan keperawatan selama 2x24 jam.
Kriteria Hasil :
a. Nyeri berkurang
b. Ekspresi wajah tidak mengindikasikan nyeri lagi
NOC: Comfort Status: Physical
No. Indikator 1 2 3 4 5
1. Headache √
2. Muscleaches √
3. Nausea √
4. Vomitting √
1: Sangat Berat; 2: Berat; 3: Sedang; 4: Ringan; 5: Tidak ada
NIC: pain manajemen
Intervensi Rasional
Tentukan lokasi, karakteristik, kualitas, dan Mengetahui nyerinya dan merencanakan
derajat nyeri sebelum pemberian obat tindakan
Chek instruksi dokter tentang jenis obat, dosis, Agar terjadi komunikasi yang baik antara tim
frekuensi kesehatan demi kesembuhan pasien
Tentukan pilihan analgesic tergantung tipe dan Dapat menekan rasa nyeri yang ada
beratnya nyeri

19
Berikan posisi yang nyaman dan suasana Agar membuat perasaan pasien menjadi
tenang nyaman
Evaluasi efektifitas analgesic, tanda, dan Agar pasien bisa mewaspadai efek samping
gejala (efek samping) obat

Diagnosa keperawatan 5 : Kecemasan ringan berhubungan dengan kondisi pasien yang


memburuk dan perdarahan yang dialami pasien.
Tujuan : Kecemasan berkurang setelah mendapat tindakan keperawatan selama 2x24 jam.
Kriteria Hasil:
a. Klien tampak lebih tenang.
b. Klien mau berkomunikasi dengan perawat.
NOC: Coping
No. Indikator 1 2 3 4 5
1. Identifikasi keefektifan koping √
2. Melaporkan pengurangan stres √
3. Menggunakan strategi koping efektif √
1: Tidak Pernah; 2: Jarang; 3: Kadang-kadang; 4: Sering; 5: Selalu

NIC: Anciety reduction


Intervensi Rasional
Identifikasi tingkat kecemasan Menetapkan tingkat kecemasan pasien
Bantu pasien mengenal situasi penimbul Membantu mengetahui penyebab kecemasan
kecemasan
Dorong pasien untuk mengungkapkan Menenangkan perasaan pasien
perasaan, ketakutan, dan persepsi
Instruksi pasien menggunakan teknik relaksasi Agar meredakan kecemasan pasien

20

Anda mungkin juga menyukai