Anda di halaman 1dari 15

1

Demam Berdarah Dengue


Andri Nugraha
102012231, E7
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jl. Arjuna Utara no 6, Jakarta Barat, 11470
Email: andrinugraha@civitas.ukrida.ac.iad


Pendahuluan
Dengue dilaporkan pertama kali dibatavia oleh David Bylon pada tahun 1779, sedangkan
DHF mula-mula dikemukakan oleh Quintos dan kawan-kawan dimanila yang terjadi pada anak-
anak pada tahun 1954. DHF ini tersebar diwilayah Asia Tenggara, Pasifik barat dan Karibia.
Indonesia sendiri merupakan wilayah endemis dengan sebaran diseluruh tanah air. Pada negara
tropis yang curah hujannya cukup banyak seperti Indonesia, saat peralihan dari musin hujan
kemusim panas banyak terdapat genangan-genangan air. Lingkungan genangan air ini
merupakan sarana tempat berkembangnya jentik nyamuk, diantaranya nyamuk Aedes aegypti
penyebab demam berdarah dengue. Demam berdarah dengue (DBD) menjadi masalah utama
kesehatan, hal ini bukan hanya di Indonesia tetapi di juga diseluruh negara di Asia Tenggara.
Demam berdarah dengue, suatu penyakit demam berat yang sering mematikan, disebabkan oleh
virus, ditandai oleh gangguan permeabilitas kapiler, dan hemostasis tubuh, dan pada kasus berat
menebabkan demam sindrom syok.
1,2

Selama tiga sampai lima tahun terakhir jumlah kasus DBD telah meningkat sehingga
Asia Tenggara menjadi wilayah hiperendemis. virus dengue termasuk arbovirus. Vektor DBD
yang utama adalah nyamuk Aedes aegypti.
1
Maka dari itu dalam makalah ini akan dibahas lebih
jauh mengenai penyebab, patofisiologi, penatalaksaan, komplikasi serta pencegahan yang dapat
dilakukan.

Skenario 1
Seorang laki-laki 18 tahun datang dengan keluhan demam sejak 3 hari yang lalu. Demam timbul
tiba-tiba dirasa cukup tinggi namun tidak diukur. Demam turun sebentar setelah pasien minum
2

obat penurun panas lalu naik lagi. Pasien juga merasa pegal-pegal otot, pusing dan mual. PF: S=
39
O
C, RR= 18x/menit, Nadi 98x/menit, TD=120/80x mmHg, Torniquet test didapatkan 12
petechiae, nyeri tekan epigastrium (+)

Anamnesis
Anamnesis adalah sebuah bentuk komunikasi atau wawancara seorang dokter dengan
tujuan untuk memperoleh informasi mengenai keluhan dan penyakit pasien. Anamnesis dapat
dilakukan dokter dengan cara melakukan serangkaian wawancara dengan pasien
(autoanamnesis), keluarga pasien atau dalam keadaan tertentu dengan penolong pasien
(aloanamnesis). Anamnesis diawali dengan memberikan salam kepada pasien dan menanyakan
identitas pasien tersebut. Dilanjutkan dengan menanyakan beberapa hal sebagai beikut:
a. Keluhan utama adalah suatu kondisi yang paling mungkin mendasari keluhan utama.
b. Penyakit atau kondisi lain yang menjadi kemungkinan lain penyebab munculnya keluhan
pasien (diagnosis banding)
c. Faktor-faktor yang meningkatkan kemungkinan terjadinya penyakit tersebut (faktor
predisposisi dan faktor risiko)
d. Kemungkinan penyebab penyakit (kausa/etiologi)
e. Faktor-faktor yang dapat memperbaiki dan yang memperburuk keluhan pasien (faktor
prognostik, termasuk upaya pengobatan)
f. Riwayat penyakit sekarang berhubungan dengan gejala penyakit, perjalanan penyakit dan
keluhan penyerta pasien.
g. Riwayat penyakit terdahulu merupakan penyakit yang pernah diderita pasien di masa lalu.
h. Riwayat sosial ialah kondisi lingkungan sosial, ekonomi dan kebiasaan pasien sehari-hari.
i. Riwayat keluarga ialah riwayat penyakit yang pernah dialami atau sedang diderita oleh
keluarga pasien
3,4

Hasil anamnesis yang didapat pada skenario adalah sebagai berikut
a. Identitas pasien: Seorang laki-laki 18 tahun
b. Keluhan utama : Demam sejak 3 hari yang lalu.
c. Riwayat penyakit sekarang: Demam timbul tiba tiba tinggi dan turun sebentar setelah pasien
minum obat penurun panas lalu deman naik lagi.
d. Keluhan penyerta : Pegal-pegal otot, pusing dan mual.
3

e. Pemeriksaan fisik : Nyeri tekan epigastrium (+),S= 39
O
C, RR= 18x/menit, Nadi 98x/menit,
TD=120/80x mmHg,
f. Pemeriksaan penunjang: PF: Torniquet test didapatkan 12 petechiae, nyeri tekan epigastrium
(+)

Working Diagnosis
Demam Berdarah Dengue (DBD)
Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Haemorhagic fever (DHF) adalah
penyakit yang terdapat pada anak dan dewasa dengan gejala utama demam, nyeri otot dan
sendi yang biasanya memburuk setelah dua hari pertama yangdisebabkan oleh sejenis virus
yang tergolong arbovirus yang masuk kedalam tubuh penderita melalui gigitan nyamuk aedes
aegeypty betina
2,5


Etiologi
DHF ini disebabkan oleh virus dengue yang termasuk genus flavivirus, keluarga
flaviviridae. Terdapat 4 jenis serotype, virus ini yaitu: DEN 1 dan DEN 2 ditemukan di irian
ketika berlangsungnya perang dunia kedua, DEN 3 dan DEN 4 ditemukan pada saat wabah
difilifina tahun 1953-1954. yang kesemuanya dapat menyebabkan DHF. Keempat serotype
ditemukan di Indonesia dan serotype DEN 3 merupakan serotipe terbanyak.
6


Epidemiologi
Epidemiologi dengue dilaporkan pertama kali dibatavia oleh David Bylon pada tahun
1779, sedangkan DHF mula mula dikemukakan oleh Quintos dan kawan-kawan dimanila yang
terjadi pada anak-anak pada tahun 1954. Indonesia sendiri merupakan wilayah endemis dengan
sebaran diseluruh tanah air. walaupun spesies ini ditemukan dikota-kota pelabuhan yang
penduduknya padat. Insiden DHF atau diindonesia dikenal dengan demam berdarah dengue
(DBD) antara 6-15 orang per 100.000 penduduk (1989-1995) dan pernah meningkat tajam saat
kejadian luar biasa hingga 35 orang per 100.000 penduduk pada tahun 1998. Sedangkan
mortalitas DBD cenderung menurun hingga mencapai 2% tahun 1999.
4

Vektor utama dengue dindonesia adalah nyamuk aedes aegypti, disamping pula aedes
albopictus. Beberapa factor yang diketahui berkaitan dengan peningkatan transmisi biakan virus
dengue yaitu
a. Vector: Perkembang biakan vector kebiasaan mengigit, kepadatan vector dilingkungan, dan
transfortasi vector dari satu tempat ke tempat lain. Vektor virus dengue adalah nyamuk Aedes
agegypti sebagai vector utamanya, sedangkan vector potensialnya adalah Aedes albopictus.
Aedes agegypti ukurannya lebih kecil dibanding kan dengan ukuran nyamuk rumah (Culex
quinguefasciatus) morfologi khasnya adalah warna putih pada pungungnya. Nyamuk betina
meletakkan telurnya rata-rata 100 butir telur tiap kali bertelur didinding tempat
perindukannya 1-2 cm diatas permukaan air setelah 2 hari menetas menjadi larva, pada
satadium ini dapat dibedakan antara larva Aedes agegypti yang memiliki gigi sisir yang
berduri dan Aedes albopictus memiliki gigi sisir yang tidak berduri. Setelah menjadi larva
kemudian selanjutnya mengdakan pengelupasan kulit sebnayk 4 kali, dan tumbuh menjadi
pupa dan akhirnya menjadi dewasa. Pengisapan darah dilakukan dari pagi sampai petang
dengan dua puncak waktu yaitu setelah matahari terbit (8.00-10-00) dan sebelum matahari
terbenam (15.00-17.00). Aedes aegypti mampu terbang sejauh 2 kilometer, walaupun
umumnya jarak terbangnya adalah pendek yaitu kurang lebih 40 meter. (Sutanto I, Ismid I S,
Sjarifuddin P K, Sungkar S. FKUI: Jakarta; 2008)
b. Pejamu: terdapatnya penderita dilingkungan/keluarga dan paparan terhadap nyamuk. jarak
yang berdekatan dengan penderita memungkinkan penularan karena jarak terbang A. aegypti
40-100 meter. Aedes tersebut mengandung virus dengue pada saat menggigit manusia
yang sedang mengalami viremia. Kemudian virus yang berada di kelenjar liur
berkembang biak dalam waktu 8 10 hari (extrinsic incubation period) sebelum dapat di
tularkan kembali pada manusia pada saat gigitan berikutnya. Sekali virus dapat masuk dan
berkembang biak di dalam tubuh nyamuk tersebut akan dapat menularkan virus selama
hidupnya (infektif). Ditubuh manusia, virus memerlukan waktu masa tunas 4 6 hari
(intrinsic incubation period) sebelum menimbulkan penyakit. Penularan dari manusia kepada
nyamuk dapat terjadi bila nyamuk menggigit manusia yang sedang mengalami viremia,
yaitu 2 hari sebelum panas sampai 5 hari setelah demam timbul.
c. Lingkungan: Sanitasi lingkungan yang kurang baik, dan kepadatan penduduk.
2,5


5

Patofisiologi
Terjadinya demam berdarah dengue hingga saat ini masih diperdebatkan. Berdasarkan
data yang ada, terdapat bukti yang kuat bahwa mekanisme imunopatologis berperan dalam
terjadinya demam berdarah dengue dan sindrom renjatan dengue.
1

Virus dengue masuk kedalam tubuh melalui gigitan nyamuk. Aedes agegypti
diperkirakan sebagai vector utamanya, bahkan ada Aedes albopictus yang dianggap sebagai
vector sekunder. Infeksi virus dengue untuk pertama kali akan merangsang aktivasi makrofag
yang memfagositosis kompleks virus antibody sehingga virus bereflikasi dimakrofag.
Selanjutnya virus bersama makrofag yang telah terinfeksi akan menyebar ke organ lain seperti
hati, usus, limpa, dan sumsum tulang belakang (mekanisme eferen). Adanya makrofag yang
terinfeksi akan memicu respon dari sel imun lain sehingga muncul berbagai manifestasi klinis
\yang disebut sebagai mekanisme efektor
Terjadinya infeksi makrofag oleh virus dengue menyebabkan aktivasi T-helper (CD4)
dan T-sitotoksik (CD8). Th selanjutnya berdiferensiasi menjadi Th1 dan Th2. Th1 akan
melepaskan IFN-, IL-2, dan limfokin sedangkan Th2 melepaskan IL-4, IL-5, IL-6, dan IL-10.
Selanjutnya IFN- akan merangsang monosit melepaskan TNF-, IL-1, IL-6, dan histamin.
Limfokin juga merangsang makrofag melepas IL-1. IL-2 juga merupakan stimulan pelepasan IL-
1, TNF-, dan IFN-. Pada jalur komplemen, kompleks imun akan menyebabkan aktivasi jalur
komplemen sehingga dilepaskan C3a dan C5a (anafilatoksin) yang meningkatkan jumlah
histamin. Hasil akhir respon imun tersebut adalah peningkatan IL-1, TNF-, IFN-, IL-2, dan
histamin
IL-1, TNF-, dan IFN- dikenal sebagai pirogen endogen sehingga timbul demam. IL-1
langsung bekerja pada pusat termoregulator sedangkan TNF- dan IFN- bekerja tidak secara
langsung karena merekalah yang merangsang pelepasan IL-1. Hasil akhir mekanismenya adalah
peningkatan thermostatic set point yang menyebabkan aktivasi sistem saraf simpatis untuk
menahan panas (vasokontriksi) dan memproduksi panas dengan menggigil
IFN- sebenarnya berfungsi sebagai penginduksi makrofag yang poten, menghambat
replikasi virus, dan menstimulasi sel B untuk memproduksi antibodi. Namun, bila jumlahnya
terlalu banyak akan menimbulkan efek toksik seperti demam, rasa dingin, nyeri sendi, nyeri otot,
nyeri kepala berat, muntah, dan somnolen
6

Sejak awal demam sebenarnya telah terjadi penurunan jumlah trombosit pada penderita
DBD. Penurunan jumlah trombosit memudahkan terjadinya perdarahan pada pembuluh darah
kecil seperti kapiler yang bermanifes sebagai bercak kemerahan (petekia). Di sisi lain,
peningkatan jumlah histamin meningkatkan permeabilitas kapiler sehingga terjadi perembesan
cairan plasma dari intravaskuler ke interstisiel. Hal itu semakin diperparah dengan penurunan
jumlah albumin akibat kerja IL-1 dan gangguan fungsi hati. Adanya plasma leakage tersebut
menyebabkan peningkatan Ht. Trombositopenia terjadi akibat pemendekan umur trombosit
akibat destruksi berlebihan oleh virus dengue dan sistem komplemen (pengikatan fragmen C3g);
depresi fungsi megakariosit, serta supresi sumsum tulang. Destruksi trombosit terjadi di hepar,
lien, dan sumsum tulang. Trombositopenia menyebabkan perdarahan di mukosa tubuh sehingga
sering muncul keluhan melena, epistaksis, dan gusi berdarah. Hepatomegali pada pasien DBD
terjadi akibat kerja berlebihan hepar untuk mendestruksi trombosit dan untuk menghasilkan
albumin. Selain itu, sel-sel hepar terutama sel Kupffer mengalami banyak kerusakan akibat
infeksi virus dengue. Bila kebocoran plasma dan perdarahan yang terjadi tidak segera diatasi,
maka pasien dapat jatuh ke dalam kondisi kritis yang disebut DSS (Dengue Shock Sydrome) dan
sering menyebabkan kematian.
6,7,8


Pemeriksaan Fisik
a. Tanda-tanda vital
Yang meliputi tanda-tanda vital yaitu : suhu badan, respiratory rate, denyut nadi, dan
tekanan darah. Suhu badan biasanya tinggi selama 2-7 hari kemudian turun secara lisis.
b. Uji tourniquet
Uji ini merupakan manisfestasi pendarahan kulit paling ringan dan dapat dinilai sebagai uji
presumtif oleh karena uji ini positif pada hari-hari pertama demam.Di daerah endemis DBD,
uji tourniquet dilakukan kepada yang menderita demam lebih dari 2 hari tanpa alasan yang
jelas. Pemeriksaan ini harus dilakukan sesuai standar yang ditetapkan oleh WHO.
Pemeriksaan dilakukan dengan terlebih dahulu menetapkan tekanan darah pasien.
Selanjutnya diberikan tekanan antara sistolik dan diastolic pada alat pengukur yang diletakan
dilengan atas siku, tekanan ini diusahakan menetap selama percobaan. Setelah dilakukan
tekanan selama 5 menit, perhatikan timbulmya petekie di bagain volar lengan bawah. Uji
dinyatakan positif apabila pada satu inci persegi didapatkan10 atau lebih 10 petekie
7

(WHO1997). Pada DBD uji ini biasanya menunjukan hasil positif, namun dapat berhasil
negative atau positif lemah pada keadaan syok. Sesuai dengan skenario didapatkan 12
petekie dengan begitu hasil uji tourniquet postif (+).
7
a. Inspeksi Palpasi Perkusi dan Auskultasi
Dengan melakukan ini pada pemeriksaan demam berdarah bisa didapati adanya
hepatomegali. Nyeri dibagian bawah otot terutama dirasakan terutama dirasakan bila tendon
dan otot perut ditekan. Disekitar mata mungkiun ditemukan pembengkakan. Palpasi dapat
disertai atau tanpa hepatomegali jika didapati konsistensi hepar kenyal
.2,5,6


Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium
1. Darah
a) Leukosit: akan dijumpai leucopenia yang akan terlihat pada hari kedua atau ketiga
sampai fase akhir demam dan fase syok akan meningkat.
b) Tromobosit: Pada DHF umum dijumpai trobositopenia pada hari ke 3-8. Masa
pembekuan masih dalam batas normal, tetapi masa perdarahan biasanya
memanjang.
c) Hematokrit: kebocoran plasma dibuktikan dengan ditemukannya peningkatan
hematokrit >20% dari Ht awal, umumnya dimulai pada hari ketiga demam
d) Protein/albumin: dapat terjadi hipoproteinemia akibat kebocoran plasma
b. Pemeriksaan Radiologi
Pada foto dada didapatkan efusi pleura, terutama pada hemitoraks kanan tetapi apabila
terjadi perembesan plasma hebat, efusi pleura dapat dijumpai pada kedua hemitoraks.
Efusi pleura dapat pula di deteksi dengan pemeriksaan USG.
5,6

Kriteria Klinis
Berdasarkan kriteria WHO tahun 1986 diagnosis ditegakkan bila semua hal di bawah ini
dipenuhi:

a. Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari, biasanya bifasik.
b. Terdapat minimal 1 dari manisfestasi pendarahan berikut:
1. Uji bendung positif
2. Petekie, ekimosis, purpura.
8

3. Perdarahan mukosa ( tersering epitaksis, atau pendarahan gusi), pendarahan dari tempat
lain
4. Hematemesis atau melena
c. Trombositoprenia (jumlah trombosit < 100.000/mikroliter)
d. Terdapat minimal satu tanda-tanda plasma leakage (kebocoran plasma) sebagai berikut:
1. Peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standar sesuai dengan umur dan jenis
kelamin.
2. Penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan, dibandingkan dengan niali
hematokrit sebelumnya.
3. Tanda kebocoran plasma seperti : efusi pleura, asites atau hipoproteinemia.
5

Klasifikasi Derajat Penyakit DBD
a. Derajat I Demam mendadak 2-7 hari disertai gejala klinis tidak khas dan satu satunya
manifestasi perdarahan adalah uji tourniquet positif.
b. Derajat II Seperti derajat I, disertai perdarahan spontan di kulit dan atau
perdarahan lain.
c. Derajat III Didapatkan kegagalan sirekulasi, yaitu nadi cepat dan lambat, tekanan nadi
menurun (<20 mmhg) atau hipotensi, kulit dingin atau lembab dan penderita tampak
gelisah.
d. Derajat IV Syok berat, nadi tidak teraba dan tekanan darah tidak terukur.
5


Penatalaksanaan Terapi
Tidak ada terapi yang spesifik untuk demam dengue, prinsip utama adalah terapi suportif.
Dengan terapi suportif yang adekuat, angka kematian dapat diturunkan hingga kurang dari 1%.
Pemeliharaan volume carian sirkulasi merupakan tindakan yang paling penting dalam
penanganan kasus DBD. Asupan cairan pasien harus tetap dijaga, terutama cairan oral. Jika
asupan cairan oral pasien tidak mampu dipertahankan, maka dibutuhkan suplemen cairan melalui
intravena untuk mencegah dehidrasi dan hemokonsentrasi secara bermakna.
7
Perhimpunan
Dokter Ahli Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI) bersama dengan Divisi Penyakit Trofik dan
Infeksi dan Divisi Hematologi dan Onkologi Medik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
telah menyusun protokol penatalaksanaan DBD pada pasien dewasa. Protokol ini terbagi dalam 5
kategori diantaranya
9

a. Protokol 1. Penanganan Tersangka (Probable) DBD Dewasa Tanpa Syok
Digunakan sebagai petunjuk dalam memberikan pertolongan pertama pada penderita DBD
atau yang diduga DBD di Instalansi Gawat Darurat dan juga dipakai sebagai petunjuk dalam
memutuskan indikasi rawat. Seseorang yang tersangka menderita DBD di ruang Gawat
Darurat dilakukan pemeriksaan hemoglobin (Hb), hematokrit (Ht), dan trombosit, bila :
1. Hb, Ht, dan trombosit normal atau trombosit antara 100.000 150.000 pasien dapat
dipulangkan dengan anjuran kontrol atau berobat jalan ke poliklinik dalam waktu 24 jam
berikutnya (dilakukan pemeriksaan Hb, Ht Lekosit dan trombosit tiap 24 jam) atau bila
keadaan penderita memburuk segera kembali ke Instalansi Gawat Darurat.
2. Hb, Ht normal tetapi trombosit < 100.000 dianjurkan untuk dirawat.
3. Hb, Ht meningkat dan trombosit normal atau turun juga dianjurkan untuk dirawat.
b. Protokol 2. Pemberian Cairan pada Tersangka DBD Dewasa di Ruang Rawat
Pasien yang tersangka DBD tanpa perdarahan spontan dan masif tanpa syok maka di ruang
rawat diberikan cairan infus kristaloid dengan jumlah seperti rumus berikut ini Volume
cairan kristaloid per hari yang diperlukan : 1500 + {20 x (BB dalam kg - 20)} Setelah
pemberian cairan, dilakukan pemeriksaan Hb, Ht tiap 24 jam.
1. Bila Hb, Ht meningkat 10 20% dan trombosit < 100.000 jumlah pemberian cairan tetap
seperti rumus di atas tetapi pemantauan Hb, Ht trombosit dilakukan tiap 12 jam.
2. Bila HB, Ht meningkat > 20% dan trombosit < 100.000 maka pemberian cairan sesuai
dengan protokol penatalaksanaan DBD dengan peningkatan Ht > 20%.
c. Protokol 3. Penatalaksanaan DBD dengan Peningkatan Hematokrit > 20%
Meningkatnya Ht > 20 % menunjukkan bahwa tubuh mengalami defisit cairan sebanyak 5%.
Pada keadan ini terapi awal pemberian cairan adalah dengan memberikan infus cairan
kristaloid sebanyak 6 7 ml/kg/jam. Pasien kemudian dipantau setelah 3 4 jam pemberian
cairan. Bila terjadi perbaikan yang ditandai dengan tanda-tanda hematokrit turun, frekuensi
nadi turun, tekanan darah stabil, produksi urin meningkat maka jumlah cairan infus dikurangi
menjadi 5 ml/kg/jam. 2 jam kemudian dilakukan pemantauan keadaan tetap membaik maka
pemberian cairan dapat dihentikan 24 - 48 jam kemudian.
Apabila setelah pemberian terapi cairan awal 6 7ml/kgBB/jam tadi keadaan tetap tidak
membaik, yang ditandai dengan hematokrit dan nadi meningkat, tekanan darah menurun ,
20mmHg, produksi urin menurun, maka kita harus menaikkan jumlah cairan infus menjadi
10

10 ml/kgBB/jam. 2 jam kemudian dilakukan pemantauan kembali dan bila keadaan
menunjukkan perbaikan maka jumlah cairan dikurangi menjadi 5 ml/kgBb/jam tetapi bila
keadaan tidak menunjukkan perbaikan maka jumlah cairan infus dinaikkan menjadi 15
ml/kgBB/jam dan bila dalam perkembangannya kondisi menjadi memburuk dan didapatkan
tanda tanda syok maka pasien ditangani sesuai dengan protokol tatalaksana sindroma syok
dengue pada dewasa. Bila syok telah teratasi maka pemberian cairan dimulai lagi seperti
terapi pemberian cairan awal.
d. Protokol 4. Penatalaksanaan Perdarahan Spontan pada DBD dewasa
Perdarahan spontan dan masif pada penderita DBD dewasa adalah : perdarahan hidung /
epistaksis yang tidak terkendali walaupun telah diberikan tampon hidung, perdarahan saluran
cerna (hematemesis dan melena atau hematoskesia), perdarahan saluran kencing (hematuria),
perdarahan otak atau perdarahan tersembunyi dengan jumlah perdarahan sebanyak 4 5
ml/kgBB/jam. Pada keadaan seperti ini jumlah dan kecepatan pemberian cairan tetap seperti
keadaan DBD tanpa syok lainnya. Pemeriksaan tekanan darah, nadi, pernafasan dan jumlah
urin dilakukan sesering mungkin dengan kewaspadaan Hb, Ht, dan trombosit serta hemostase
harus segera dilakukan dan pemeriksaan Hb, Ht, dan trombosit sebaiknya diulangi setiap 4
6 jam.
Pemberian heparin dilakukan apabila secara klinis dan laboratoris didapatkan tanda-tanda
koagulasi intravaskulat diseminata (KID). Transfusi komponen darah diberikan sesuai
indikasi. FFP diberikan bila didapatkan defisiensi faktor-faktor pembekuan (PT dan aPTT
yang memanjang), PRC diberikan bila nilai Hb kurang dari 10 g/dl. Transfusi trombosit
hanya diberikan pada pasien DBD dengan perdarahan spontan dan masif dengan jumlah
trombosit < 100.000/mm
3
disertai atau tanpa KID.
e. Protokol 5. Tatalaksana Sindroma Syok Dengue pada Dewasa
Bila kita berhadapan dngan Sindroma Syok Dengue (SSD) maka hal pertama yang harus
diingat adalah bahwa renjatan harus segera diatasi dan oleh karena itu penggantian cairan
intravaskuler yang hilang harus segera dilakukan. Angka kematian sindrom syok dengue
sepuluh kali lipat dibandingkan dengan penderita DBD tanpa renjatan, dan renjatan dapat
terjadi karena keterlambatan penderita DBD mendapatkan pertolongan / pengobatan,
penatalaksanaan yang tidak tepat termasuk kurangnya kewaspadaan terhadap tanda-tanda
renjatan dini, dan penatalaksanaan renjatan yang tidak adekuat.
11

Pada kasus SSD cairan kristaloid adalah pilihan utama yang diberikan. Selain resusitasi
cairan, penderita juga diberikan oksigen 2 4 liter/menit. Pemeriksaan-pemeriksaan yang
harus dilakukan adalah pemeriksaan darah perifer lengkap (DPL), hemostasis, analisis gas
darah, kadar natrium, kalium dan klorida, serta ureum dan kreatinin.
Pada fase awal, cairan kristaloid diguyur sebanyak 10 20 ml/kgBB dan dievaluasi
setelah 15 30 menit. Bila renjatan telah teratasi (ditandai dengan tekanan darah sistolik 100
mHg dan tekanan nadi lebih dari 20 mmHg, frekuensi nadi kurang dari 100 kali per menit
dengan volume yang cukup, akral teraba hangat, dan kulit tidak pucat disertai diuresis 0,5 1
ml/kgBB/jam) jumlah cairan dikurangi menjadi 7 ml/kgBB/jam. Bila dalam waktu 60 120
menit kemudian tetap stabil pemberian cairan menjadi 5 ml/kgBB/jam. Bila dalam waktu 60
120 menit kemudian keadaan tetap stabil pemberian cairan menjadi 3 ml/kgBB/jam. Bila
24 - 48 jam setelah renjatan teratasi tanda-tanda vital dan hematokrit tetap stabil serta
diuresis cukup maka pemberian cairan perinfus harus dihentikan (karena jika reabsorbsi
cairan plasma yang mengalami ekstravasasi telah terjadi, ditandai dengan turunnya
hematokrit, cairan infus terus diberikan maka keadaan hipervolemi, edema paru atau gagal
jantung dapat terjdi.)
Pengawasan dini kemungkinan terjadinya renjatan berulang terus dilakukan terutama
dalam waktu 48 jam pertama sejak terjadi renjatan (karena selain proses patogenesis penyakit
masih berlangsung, ternyata cairan kristaloid hanya sekitar 20% saja yang menetap dalam
pembuluih darah setelah 1 jam saat pemberian). Oleh karena untuk mengetahui apakah
renjatan telah teratasi dengan baik, diperlukan pemantauan tanda vital yaitu status kesadaran,
tekanan darah, frekuensi nadi, frekuensi jantung dan naps, pembesaran hati, nyeri tekan
daerah hipokondrium kanan dan epigastrik, serta jumlah diuresis.diuresis diusahak 2
ml/kgBB/jam. Pemantauan kadar hemoglobin, hematokrit dan jumlah trombosit dapat
dipergunakan untuk pemantauan perjalanan penyakit.
Bila setelah fase awal pemberian cairan ternyata renjatan belum teratasi, maka pemberian
cairan kristaloid dapat ditingkatkan menjadi 20 30 ml/kgBB/jam dan kemudian dievaluasi
setelah 20 30 menit. Bila keadaan tetap belum teratasi, maka perhatikan nilai hematokrit.
Bila nilai hematokrit meningkat berarti perembesan plasma masih berlangsung maka
pemberian cairan koloid merupakan pilihan, tetapi bila nilai hematokrit menurun, berati
12

terjadi perdarah (internal bleeding) maka penderita diberikan transfusi darah segar 10
ml/kgBB dan dapat diulang sesuai kebutuhan.
Sebelum cairan koloid diberikan maka sebaiknya kita harus mengetahui sifat-sifat cairan
tersebut. Pemberian koloid sendiri mula-mula diberikan dengan tetesan cepat 10 -
20ml/kgBB dan dievaluasi setelah 10 - 30 menit. Bila keadaan tetap belum teratasi maka
untuk memantau kecukupan cairan dilakukan pemasangan kateter vena sentral, dan
pemberian koloid dapat ditambah hingga jumlah maksimum 30ml/kgBB (maksimal 1 -
1,51/hari) dengan sasaran tekanan vena sentral 15-18 cm H
2
0. Bila keadaan tetap belum
teratasi harus diperhatikan dan dilakukan koreksi terhadap gangguan asam basa, elektrolit,
hipoglikemia, anemia, KID, infeksi sekunder. Bila tekanan vena sentral penderita sudah
sesuai dengan target tetapi renjatan tetap belum teratasi maka dapat diberikan obat inotropik /
vasopresor.
1, 6

Penaatalaksanaan non-terapi
a. Tirah baring
b. Makanan lunak
Bila belum ada nafsu makan dianjurkan untuk minum banyak 1,5-2 liter dalam 24 jam.
2

Prognosis
Prognosis dapat beragam, dipengaruhi oleh adanya antibodi yang didapat secara pasif atau
infeksi sebelumnya dan berhubungan dengan penatalaksanaan awal dan intensif. Prognosisi bisa
buruk oleh karena keterlambatan datang berobat, keterlambatana/kesalahan diagnose dan
kurangnya mengneal tanda-tanda kegawatan serta pada kasus kerusakan otak yang disebabkan
syok berkepanjangan atau perdarahan intrakranial namun kasus ini jarang terjadi.
2,5

Komplikasi
a. Edema Paru
Edema Paru Kardiogenik adalah edema paru yang disebabkan oleh meningkatnya
tekanan hidrostatik kapiler yang disebabkan karena meningkatnya tekanan vena pulmonalis.
Edema Paru Kardiogenik menunjukkan adanya akumulasi cairan yang rendah protein di
13

interstisial paru dan alveoli ketika vena pulmonalis dan aliran balik vena di atrium kiri
melebihi keluaran ventrikel kiri.
9

Pencegahan
Memutuskan rantai penularan dengan cara :
a. Menggunakan insektisida :
1. Malathion, untuk membunuh nyamuk dewasa (adultisida) dengan pengasapan (thermal
fogging) atau pengabutan (cold fogging)
2. Temephos (abate) untuk membunuh jentik (larvasida) dimasukkan ketempat
penampungan air bersih.
b. Tanpa Insektisida :
1. Menguras bak mandi dan tempat penampungan air bersih minimal 1x
seminggu.
2. Menutup tempat penampungan air rapat rapat.
3. Membersihkan halaman rumah dari kaleng kaleng bekas, botol
botol pecah dan benda lain yang memungkinkan nyamuk bersarang kemudian
menguburnya.
2


Diferential Diagnosis
a. Demam Tifoid
Typhoid adalah suatu penyakit infeksi akut usus halus pada usus yang menimbulkan gejala-
gejala sistemik yang disebabkan oleh salmonella typhosa, salmonella type A.B.C. penularan
terjadi secara pecal, oral melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi (Mansoer
Orief.M. 1999). Masa tunas demam tifoid berlangsung antara 10-14 hari. Pada minggu
pertama gejala klinis penyakit ini ditemukan keluhan dan gejala serupa dengan penyakit
infeksi akut pada umumnya yaitu demam, nyeri kepala, pusing, neri otot, anoreksia, mual,
muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak di perut, batuk, dan epitaksis. Pada
pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu tubuh meningkat. Sifat demam adalah meningkat
perlahan-lahan dan terutama pada sore hingga malam hari. Dalam minggu kedua gejala-
gejala menjadi lebih jelas berupa demam, bradikardia relative, lidah yang berselaput/ lidah
14

kotor, bagian tengah berwarna putih dan pinggirnya merah, hepatomegali, splenomegali,
meteroismus, gangguan mental berupa somnolen, stupor, koma, delirium, atau psikosis.
2, 5, 6

b. Malaria
Malaria adalah penyakit infeksi parasit yang disebabkan oleh plasmodium yang
menyerang eritrosit dan ditandai dengan ditemukannya bentuk aseksual di dalam darah. Jenis
plasmodium tersebut diantaranya P. Vivax, PMalariae, P. Ovale dan P. Falciparum. Masa
inkubasi bervariasi pada masing-masing plasmodium. Keluhan dapat terjadi sebelum
terjadinya demam berupa kelesuan, malaise, sakit kepala, merasa dingin, nyeri sendi dan
tulang, demam ringan anoreksia, perut tak enak, diare ringan.
Gejala yang klasik yaitu terjadinya Trias Malaria secara berurutan: periode dingin (15-
60 menit): mulai menggigil, diikuti dengan periode panas: penderita muka merah, nadi cepat,
dan panas badan tetap tinggi beberapa jam, diikuti dengan keadaan berkeringat; kemudian
periode berkeringat: penderita berkeringat banyak dan temperature turun, dan penderita
merasa sehat. Anemia dan splenomegali juga merupakan gejala yang sering dijumpai pada
malaria.
2, 5, 6


Kesimpulan
Penyakit demam dengue dan demam berdarah dengue disebabkan oleh virus dengue yang
disebarkan nyamuk Aedes aegypti, disertai gejala klinis seperti sakit kepala, nyeri otot, sendi dan
tulang, serta yang khas adalah petechi. Factor yang diketahui berkaitan dengan peningkatan
epidemiologi transmisi biakan virus dengue yaitu vector, pejamu dan lingkungan.
Patofisiologi utama yang membedakan DBD dengan demam yang lain adalah adalah
adanya peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah, penurunan volume plasma, serta
terjadi trombisitopenia dan penigkatan Ht. Dengan memahami patogenesis DBD yang baik dan
adanya keterampilan yang baik untuk menegakkan diagnosis secara dini dan pengambilan
keputusan yang tepat, akan menentukan keberhasilan pengobatan DBD. Hipotesis diterima,
scenario yang didapat merupakan pasien dengan tanda dan gejala DBD.




15

Daftar pustaka
1. Suroso T, Hadinegoro SR, Wuryadi S, Simanjuntak G, Umar Al, Pitoyo PD, dkk.
Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit Demam Dengue dan Demam Berdarah Dengue.
WHO dan Departemen Kesehatan RI: Jakarta; 2001.
2. Noer S. Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 1. FKUI: Jakarta;1996.
3. Gleadle, Jonathan. Pengambilan anamnesis. Dalam : At a glance anamnesis dan pemeriksaan
fisik. Jakarta : Penerbit Erlangga; 2007.
4. Welsby PD. Pemeriksaan fisik dan anamnesis klinis. Jakarta : EGC; 2009.h.2-7.
5. Mansjoer A, Triyanti K, Savitri R. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid I. Jakarta: Media
Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2001.
6. Sudoyo A W. Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke-5. Jilid-3. Jakarta: InternaPublishing; 2009.
7. Soedarmo SS, Garna H, Hadinegoro SRS, Satari HI. Buku ajar infeksi dan pediatri tropis. Ed
ke 2. Bagian Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: FKUI; 2002.
8. Kresno SB. Respons Imun terhadap Infeksi Virus. In: Imunologi Diagnosis dan Prosedur
Laboratorium. Jakarta: FKUI; 2001.
9. Isselbacher, Braunwald, Wilson, Martin, Fauci, Kasper. Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit
Dalam. Volume 1. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2002.

Anda mungkin juga menyukai