PENDAHULUAN
1.2 TUJUAN
1. Tujuan Umum
Mahasiswa mampu menjelaskan DHF
1
2. Tujuan Khusus
a) Mahasiswa mampu mendeskripsikan pengertian DHF
b) Mahasiswa mampu mendeskripsikan etiologi DHF
c) Mahasiswa mampu mendeskripsikan vektor DHF
d) Mahasiswa mampu mendeskripsikan epidemiologi DHF
e) Mahasiswa mampu mendeskripsikan manifestassi klinis untuk DHF
f) Mahasiswa mampu mendeskripsikan patofisiologi DHF
g) Mahasiswa mampu mendeskripsikan pathways DHF
h) Mahasiswa mampu mendeskripsikan temuan laboratorium pada DHF
i) Mahasiswa mampu mendeskripsikan komplikasi dan manifestasi takunum DHF
j) Mahasiswa mampu mendeskripsikan pentahapan keparahan DHF
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
dengue di Hawaii dengan nama tipe 1, sedangkan virus dari penderita demam dengue yang
berasal dari New Guinea diberi nama tipe 2 (FK UI, 1985).
Virus dengue tipe 1 dan tipe 2 berhasil diisolasi dengan menyuntik darah penderita
secara intrakutis pada anak tikus putih muda. Dari serum penderita yang diserang
Philippene hemorrhagic fever yang terjadi di Manila pada tahun 1953 dapat diisolasi tipe
virus dengue baru yang diberi nama virus dengan tipe 3 dan 4. Virus dengue dengan tipe 1
dan tipe 2 berhasil diisolasi dengan menyuntik darah penderita secara intrakutis pada anak
tikus putih muda. Dari serum penderita yang diserang Philippine hemorrhagic fever yang
terjadi di Manila pada tahun 1953 dapat disolasi tipe virus dengue baru yang diberi nama
virus dengue tipe 3 dan tipe 4. Ae. Albopictus sel C6/36, “a clone of Singh’s Ae.
albopictus cells” untuk mengisolasi virus. Biakan jaringan itu diberi kode sel c6/36 dan
disebut “a clone of Singh’s Ae. albopictus cell” karena Singh adalah sarjana pertama yang
membuat biakan jaringan Ae. albopictus, sedangkan kloning biakan jaringan
dikembangkan oleh Igarashi. Isolasi virus dengue dengan menggunakan biakan jaringan
nyamuk Ae, aegypti atau Ae, albopictus disebut mosquito inoculation technique yang
merupakan suatu teknik baru, sangat sensitif, sederhana dan murah. Sensitivitas isolasi
bergantung pada serotipe virus, macam strain, macam biakan jaringan, asal biakan
jaringan, jumlah pasase biakan jaringan dan lain-lain (FK UI, 1985).
4
2.4 Epidemiologi
Infeksi virus dengue pada manusia mengakibatkan suatu spektrum manifestasi klinis
yang bervariasi antara penyakit paling ringan (mild undifferentiated febrile illness),
dengue fever, dengur hemorrhagic fever (DHF) dan dengue shock syndrome (DSS); yang
terakhir dengan mortalitas tinggi yang disebabkan renjatan dan perdarahan hebat (FK UI,
1985). Gambaran manifestasi klinis yang bervariasi ini dapat disamakan dengan sebuah
gunung es. DHF dan DSS sebagai kasus-kasus yang dirawat di rumah sakit merupakan
puncak gunung es yang kelihatan diatas permukaan laut, sedangkan kasus-kasus dengue
ringan (demam dengue dan silent dengue infection) merupakan dasar gunung es.
Diperkirakan untuk setiap kasus renjatan yang dijumpai di rumah sakit, telah terjadi 150 –
200 kasus silent dengue infection.
Wabah demam dengue di Eropa meletus pertama kali pada tahun 1784, sedangkan di
Amerika Selatan wabah itu muncul diantara tahun 1830 – 1870. Di Afrika wabah demam
dengue hebat terjadi pada tahun 1871 – 1873 dan di Amerika Serikat pada tahun 1922
terjadi wabah demam dengue dengan 2 juta penderita.
Dalam kurun waktu 4 tahun yaitu pada tahun 2007-2010, kasus DBD di Indonesia
meningkat tiap tahunnya. Terdapat dua puncak epidemik di tahun 2007 terdapat 158.115
kasus dan 2009 terdapat sekitar 158.912 kasus. Pada tahun 2008 terdapat 137.469 kasus
(Insiden Rate = 59,02 per 100.000 penduduk) dan tahun 2010 mencapai sekitar 140.000
kasus.
Provinsi Jawa Tengah dapat dikatakan sebagai provinsi yang endemis untuk penyakit
DBD. Berdasarkan data dari profil kesehatan Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2007
terdapat sebanyak 20.565 kasus, tahun 2008 sebanyak 19.307 kasus, tahun 2009 kasus
turun menjadi 18.728 kasus dan pada tahun 2010 sekitar 17.000 kasus DBD.
Di beberapa negara penularan virus dengue dipengaruhi oleh adanya musim, jumlah
kasus biasanya meningkat bersamaan dengan peningkatan curah hujan. Di Indonesia
pengaruh musim terhadap DBD tidak begitu jelas, akan tetapi secara garis besar dapat
dikemukakan bahwa jumlah penderita meningkat antara bulan September sampai Februari
dan mencapai puncaknya pada bulan Januari. Di daerah urban yang berpenduduk padat
puncak penderita adalah bulan Juni-Juli hal ini bertepatan dengan awal musim kemarau.
Dari pengamatan di Surabaya antara tahun 1987-1991 menunjukkan bahwa distribusinya
berubah-ubah dan puncaknya mengikuti pola perubahan kejadian musim hujan ke musim
panas atau sebaliknya.
5
Demikian juga data yang ada pada instalasi rawat inap di bagian ilmu kesehatan anak
RSUD Dr. Soetomo pada tahun 1997, polanya tidak banyak perbedaan. Dikemukakan
bahwa banyaknya kasus DBD tersebut ada hubunganya dengan kepadatan nyamuk dewasa
dan jentik nyamuk Aedes aegyti yang sering dijumpai ditempat penampungan air akibat
curah hujan.
Walaupun DHF bisa mengenai semua kelompok umur, namun terbanyak pada anak
dibawah umur 15 tahun. Di Indonesia, Suroso (1997) mengemukakan bahwa penderita
demam berdarah dengue terbanyak umur 5-14 tahun.
2.6 Patofisiologi
Virus dengue akan masuk ke dalam tubuh melalui gigitan nyamuk aedes aegypti dan
kemudian akan bereaksi dengan antibodi dan terbentuklah kompleks virus antibody, dalam
sirkulasi akan mengaktivasi sistem komplement. Akibat aktivasi C3 dan C5 akan dilepas
C3a dan C5a, dua peptida yang berdaya untuk melepaskan histamin dan merupakan
mediator kuat sebagai faktor meningginya permeabilitas dinding pembuluh darah dan
menghilangkan plasma melalui endotel dinding itu.
6
Terjadinya trombositopenia, menurunnya fungsi trombosit dan menurunnya faktor
koagulasi (protrombin, faktor V, VII, IX, X dan fibrinogen) merupakan faktor penyebab
terjadinya perdarahan hebat, terutama perdarahan saluran gastrointestinal pada DHF.
Yang menentukan beratnya penyakit adalah meningginya permeabilitas dinding
pembuluh darah, menurunya volume plasma, terjadinya hipotensi, trombositopenia dan
diatesis homoragik. Renjatan terjadi secara akut.
Nilai hematokrit meningkat bersamaan dengan hilangnya plasma melalui endotel
dinding pembuluh darah. Dan dengan hilangnya plasma klien mengalami hipovolemik.
Apabila tidak diatasi bisa terjadi anoksia jaringan, asidosis metabolik dan kematian.
2.7 Komplikasi
Dengan makin umumnya infeksi dengue, peningkatan jumlah kasus DF atau penyakit
seperti DHF telah dihubungkan dengan manifestasi takumum (WHO, 1999). Manifestasi
ini termasuk fenomena sistem saraf pusat seperti kejang, spastisitas, perubahan kesadaran
dan paresis transien. Bentuk kejang halus kadang terjadi selama fase demam pada bayi.
Kejang ini mungkin hanya kejang demam sederhana, karena cairan serebrospinal
ditemukan normal pada kasus ini. Intoksikasi air akibat dari pemberian cairan isotonik
berlebihan untuk mengatasi pasien DHF/DSS dengan hiponatremia dapat menimbulkan
ensefalopati. Pasien dengan ensefalopati sebagai komplikasi dari koagulasi intravaskular
diseminata juga telah dilaporkan.
Pasien mati dengan manifestasi neurologis telah dilaporkan di India, Indonesia,
Malaysia, Myanmar, Puerto Riko, dan Thailand. Sementara telah ada beberapa laporan
tentang isolasi virus atau anti-dengue IgM dari cairan serebrospinal, sampai kini tidak ada
bukti keterlibatan langsung virus dengue dalam kerusakan neural. Perdarahan intrakranial
dapat terjadi, dan herniasi batang otak karena edema serebral pernah ditemukan. Pada
umunya, pasien yang telah meninggal dengan tanda atau gelaja neurologis belum menjadi
subjek untuk studi sutopsi. Baik studi makro dan mikroskopik adalah penting untuk
menentukan sifat dan etiologi manifestasi neurologis yang menyertai penyakit
DHF/seperti DSS fatal.
Perawatan sangat hati-hati harus dilakukan untuk mencegah komplikasi iatrogenik
dalam pengobatan DHF/DSS, untuk mengenalinya dengan cepat bila terjadi dan untuk
tidak keliru terhadap komplikasi iatrogenik yang dapat dicegah dan diatasi dengan temuan
DHF/DSS normal. Komplikasi ini termasuk sepsis, pneumonia, infeksi luka, dan hidrasi
berlebihan. Penggunaan jalur intravena terkontaminasi dapat mengakibatkan sepsis Gram-
7
negatif yang disertai dengan demam, syok dan perdarahan berat; pneumonia dan infeksi
lain dapat menyebabkan demam dan menyulitkan pemulihan. Hidrasi berlebihan dapat
menyebabkan gagal jantung atau pernapasan, yang mungkin dianggap keliru dengan syok.
Gagal hepar telah dihubungkan dengan DHF/DSS, terutama selama epidemik di
Indonesia pada tahun 1970-an dan epidemik di Thailand pada tahun 1987. Gagal hepar ini
mungkin karena keberhasilan resusitasi pasien dengan gagal sirkulasi berat, atau karena
dengan tropisme hepar tak lazim karena strain viral tertentu. Serotipe virus dengue 1, 2,
dan 3 telah diisolasi dari pasien yang meninggal karena gagal hati, dengan infeksi dengue
primer maupun sekunder. Hepatosit nekrosis ditemukan meluas pada beberapa kasus ini.
Antigen dengue terdeteksi pada hepatosis, pada sel-sel Kupffer dan kadang pada sel
inflamasi akut. Temuan histopatologis dibedakan dari temuan yang terlihat pada sindrom
Reye. Apakah cedera hepar karena efek langsung infeksi dengue atau respons penjamu
terhadap infeksi, masih diselidiki. Ensefalopati yang berhubungan dengan gagal hepar
akut umum terjadi, dan gagal ginjal adalah kejadian akhir yang umum.
Manifestasi takumum lain yang dilaporkan mencakup gagal ginjal dan sindrom
uraemik hemolitik, kadang pada pasien dengan kondisi dasar mis, defisiensi glukosa-6-
fosfat dehidrogenase (G6PD) dan hemoglobinopati. Infeksi bersamaan seperti
leptospirosis, hepatitis-B virus, demam tifoid, cacar dan melioidosis, telah dilaporkan dan
dapat memperberat manifestasi takumum dari DHF/DSS.
8
Pentahapan keparahan penyakit pada waktu pemulangan telah menunjukkan manfaat
secara klinis dan epidemilogis pada epidemik DHF pada anak-anak di Wilayah WHO
Amerika, Asia Tenggara dan Pasifik Barat, dan pengalaman di Kuba, Puerto Riko dan
Venezuela menunjukkan bahwa pentahapan juga bermanfaat untuk kasus orang dewasa
(WHO, 1999).
2.9 Pathway
9
BAB III
TINJAUN KASUS
PENGKAJIAN
Analisa Data
Sympthym Etiologi Problem
DS : pasien mengatakan Koagulopati Inheren Resiko Perdarahan
mengalami panas 3 hari.
DO:
Gusi Berdarah dan Epistaksis
Akral dingin, suhu : 37,8°C
TD : 90/60 mmHg
Nadi : 100x/menit
RR : 22x/menit
Hb : 10g%
Leukosit : 8500/mm³
Ht : 60%
Trombosit : 42000/mm³
DS : pasien mengatakan nyeri Agens Cedera Biologis Nyeri Akut
dibagian ulu hati.
P : hepatomegali
Q : seperti ditusuk-tusk
R : 2 jari dibawah arcus costae
S : skala 1 (0-4)
T : hilang timbul
TD : 90/60 mmHg
Nadi : 100x/menit
10
RR : 22x/menit
Suhu : 37,8
Diagnosa Keperawatan
1. Resiko perdarahan berhubungan dengan koagulopati inheren ditandai dengan
trombositopenia
2. Nyeri akut berhubungan dengan agens cedera biologis ditandai dengan
hepatomegali
C : Kolaborasikan dengan
tim medis dalam pemberian
terapi obat
Nyeri akut b.d agens cedera Tujuan : O : Lakukan pengkajian
fisik ditandai dengan Setelah dilakukan asuhan nyeri dan tanda-tanda vital
hepatomegali keperawatan selama 2 x 24 secara komprehensif
jam diharapkan nyeri klien
berkurang. M : Kontrol lingkungan
11
klien yang dapat
Kriteria Hasil : mempengaruhi nyeri seperti
1. Diharapkan rasa nyeri suhu ruangan, pencahayaan
hilang atau berkurang dan kebisingan.
E : Ajarkan klien teknik
relaksasi
C : Kolaborasikan dengan
tim medis untuk pemberian
analgesik.
Hari ke-1 Resiko perdarahan b.d 1. Mencatat nilai trombosit, S : pasien mengatakan
koagulopati inheren ditandai hemoglobin, hematokrit sebelum sudah tidak mengalami
dengan tromobositopenia dan sesudah pendarahan. panas lagi.
A : masalah belum
teratasi
12
P : intervensi 1,2,3,4
dilanjutkan
Hari ke-1
13